Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pemilu dengan KPU Bermasalah!

"PEMILU tinggal 19 hari lagi, pelaksanaannya di Lampung layak dianggap mengkhawatirkan!" tukas Umar. "Tanpa kecuali Bawaslu optimistis pemilu tetap berjalan meski Ketua KPU dicopot, masalahnya tak sebatas itu! Tapi juga, karena dua anggota KPU Provinsi itu dicopot terkait kesalahan dalam merekrut anggota KPUD tujuh kabupaten/kota, tentu semua itu harus dibereskan juga!"

"Itu dia!" timpal Amir. "Sebagai konsekuensinya, juga harus dilakukan pembersihan tujuh KPUD dari para anggota hasil kesalahan rekrutmennya! Perombakan tujuh dari 11 KPUD di Lampung, yang prosesnya bersamaan dengan perombakan KPU Provinsi, dalam waktu amat pendek sekaligus di puncak kesibukan lembaganya menyelenggarakan pemilu itu, terbayang kondisi yang tak mustahil--kalang-kabut menangani tugas yang bertumpuk-tumpuk! Ditambah lagi kerepotan akibat kurang lancarnya distribusi sarana pemilu, serta tetap dipakainya surat suara salah cetak!"

"Maka itu, dengan tetap menghormati optimisme Bawaslu tentang pemilu tetap berjalan, suatu ancang-ancang mengatasi jika kondisi kritis tiba-tiba terjadi juga harus disiapkan!" tegas Umar. "Tak boleh terjadi saat mendadak jeblok semua pihak cuma bengong, padahal risiko kegalauan pemilu bisa menyulut situasi jadi chaos!"

"Cuma, siapa yang harus mempersiapkan ancang-ancang gawat darurat bagi kondisi kritis pemilu itu?" sambut Amir. "Sebab, pemerintah dalam hal ini gubernur, serta aparat polisi dan militer tak boleh mencampuri pemilu! Mereka hanya bisa menangani di luar msalah teknis pemilu, seperti mencegah situasi chaos dan sejenisnya!"

"Tentunya dari pihak KPU dan Bawaslu sendiri!" tegas Umar. "Meski menurut UU penggantian pada setiap anggota KPU dan KPUD sudah tersistem, kalau waktunya kejepit di puncak kesibukan di sekitar hari 'H', di balik persiapan yang tidak serbarapi pula, suatu kemungkinan terjadinya kondisi kritis harus tetap diantisipasi!"

"Pokoknya harus dihadapi dengan kesadaran dan kesiapan, kita sedang menyelenggarakan pemilu dengan KPU yang bermasalah!" timpal Amir. "Tak layak gegabah semua akan berjalan baik dengan sendirinya, apalagi dengan persaingan sengit di antara peserta pemilu--partai, caleg DPRD, DPR, dan DPD yang jumlahnya tidak sedikit! Apalagi pemilu kali ini harus menghitung perolehan suara setiap caleg, jauh lebih repot dari sebelumnya yang cuma menghitung perolehan suara partai!"

"Itu dia!" sambut Umar. "Harapan kita sih, segala sesuatunya berjalan baik-baik saja, pemilu sukses! Walau begitu, juga harus realistis jika dengan perangkat penyelenggara yang sekarang pilkada di Lampung Utara saja harus dilalui dengan masalah-masalah yang ruwet, konon lagi pemilu legislatif dengan skala pekerjaan yang jauh lebih besar dan menuntut ketelitian lebih tinggi!"
Selanjutnya.....

Kecurangan Sistematis Pemilu!

"ISU kecurangan sistematis membayangi pemilu legislatif yang tinggal 20 hari lagi!" ujar Umar. "Penyulutnya, kasus coblos ulang di Pilgub Jatim, dengan modus mengkloning nama pemilih--satu nama bisa muncul di banyak TPS lain! Bukti-bukti sudah di tangan polisi tapi pengusutan dihentikan atas perintah dari atas sehingga kapoldanya yang diganti mengundurkan diri dari kepolisian!"

"Modus pengkloningan nama pemilih itu menurut Sekjen PDI-P Pramono Anung dilakukan dengan canggih, sehingga orang yang penguasaan IT--information technology--nya terbatas tak bisa menyingkap!" sambut Amir. "Sebuah nama yang dikloning saat database di-reset tak muncul karena terkunci oleh salah satu huruf, hanya terbuka jika kuncinya diklik beberapa kali!"

"Luar biasa canggihnya!" entak Umar. "Tapi kalau begitu ruwet prakteknya, kok disebut sistematis?"

"Sistematis pada kasus tersebut lebih terkait teknisnya, memainkan 'sistem' operasi komputer daftar pemilih tetap--DPT!" jawab Amir. "Tapi, kecanggihan teknis itu justru menjadi lebih kecil peluang peniruan modusnya! Paling berbahaya sebetulnya kecurangan sistematis yang dilakukan dengan modus tradisional, apalagi gejalanya juga cenderung sudah dicoba-coba pada berbagai pemilihan kepala daerah--pilkada!"


"Modus tradisional seperti apa?" kejar Umar.

"Pada DPT terakhir nama para pendukung calon tertentu di suatu kawasan hilang, sekaligus tak tersedia formulir undangan buat mereka!" tegas Amir. "Dengan demikian, para pendukung tersebut tak bisa memberikan suara buat calon favoritnya karena secara sistematis mereka digolputkan!"

"Kalau itu sudah sering terjadi, termasuk di desa tetangga kita!" tukas Umar. "Lalu agar perubahan jumlah DPT tak mencolok, nama orang yang sudah mati atau pindah, juga anak-anak, muncul sebagai penggantinya!"

"Munculnya nama orang mati, pindah, dan anak-anak itu untuk menutupi jejak, seolah-olah itu cuma human error, bukan suatu modus yang terencana!" tegas Amir. "Maka itu, jauh lebih berbahaya kecurangan sistematis yang dilakukan dengan modus-modus tradisional, terutama yang sudah dicoba dan gejalanya berhasil pula! Lebih berbahaya karena relatif mudah ditiru!"

"Kalau begitu kecurangan gaya kuno juga perlu diwaspadai!" timpal Umar. "Mulai kecurangan dalam perjalanan kotak suara, sampai rekapitulasi suara di berbagai tingkat, harus diberi perhatian lebih khusus oleh para peserta pemilu--parpol dan caleg! Jangan sampai, pada hitungan awal sesuai angka dari para saksi partai dan calegnya unggul, dalam rekap resmi malah jadi juru kunci!"

"Pokoknya, segala bentuk kecurangan mengusik ketenangan banyak pihak!" tegas Amir. "Ini tentu sangat menyedihkan dibanding dengan tahapan gemilang demokrasi yang telah dicapai Pemilu 1999 dan 2004! Kenapa demokrasi kita tiba-tiba mundur demikian jauh?"

Selanjutnya.....

Aneka Ancaman Pemilu Legislatif!

"BARU jadi anggota panwascam saja sibukmu gak ketulungan!" tukas Umar. "Apa sih arti garis-garis merah dan bayangan yang kau gambar itu?"

"Garis merah itu aneka ancaman langsung pada pemilu legislatif!" jawab Amir. "Pertama akibat kurangnya sosialisasi, di TPS bisa terjadi beda persepsi antara petugas KPPS dengan para saksi dan warga tentang batal dan sahnya suara! Ketentuan contengan lebih dari satu sah sesuai dengan perppu terakhir belum dipahami warga, juga cara-cara dan aturan baru dalam pemilu kali ini!"

"Soal itu bisa mengundang adu urat leher di TPS!" timpal Umar. "Lebih lagi kalau kalangan saksi tak dibekali pedoman standar yang seragam!"

"Masalah saksi lebih seru lagi!" tegas Amir. "Di Lampung terdapat 204 PPK, 2.344 PPS, 14.786 TPS dengan 5.351.733 pemilih! Untuk 14.786 TPS, per saksi Rp100 ribu, setiap parpol harus menyediakan uang saksi Rp1.478.600.000 alias nyaris Rp1,5 miliar! Itu dikalikan 38 partai, ditambah dikali 58 calon DPD! Total uang saksi kalau semua TPS diisi semua partai Rp66 miliar lebih, sedang dari calon DPD Rp82 miliar lebih!"

"Dari nilai rupiahnya itu, hampir pasti kehadiran saksi dari peserta pemilu bisa compang-camping!" timpal Umar. "Kurangnya saksi di TPS, dan pengawal kotak suara dari TPS ke PPS, PPK, dan KPU kab./kota, membuat beralasan kecemasan para pimpinan pusat partai bisa terulangnya manipulasi DPT seperti di Pilgub ulang Jatim, maupun hal-hal lain di lapangan!"

"Hal yang mudah mengundang keributan adalah hak melaporkan kecurangan hanya pada panwas di semua tingkat!" lanjut Amir. "Para saksi dan warga yang biasa melakukan protes spontan di TPS, bisa sewot ketika protesnya dianggap sepi!"

"Bisa tersinggung harga dirinya!" timpal Umar.

"Saat harga dirinya tak dihormati, orang bisa sukar dikendalikan!" tukas Amir. "Hal itu bisa diredam dengan penyaluran masalahnya kepada pemantau independen! Namun dalam pemilu kali ini, gairah lembaga pemantau terasa kurang! Pemilu sebelumnya, relawan Forum Rektor sudah di lapangan sebelum kampanye! Kini tak terlihat!"

"Lebih dari itu, pemilu sebelumnya emosi massa segera terkesiap setelah sorenya ada hasil quick count! Pengetahuan cepat atas hasil pemilu bisa meredam emosi terhadap pemilu untuk segera beralih pada hal lain!" sambut Umar. "Tapi kali ini, hasil quick count tak bisa disiarkan langsung, menunggu pergantian hari! Artinya, disiapkan waktu panjang bagi eskalasi ketegangan!"

"Kurang efektifnya peran peredam konflik dari komponen civil society--lembaga pemantau dan quick count--itulah bayang-bayang kelabu di balik ancaman langsung bergaris merah di gambarku ini!" tegas Amir. "Harapan kita, aneka ancaman itu hanya prakiraan terburuk yang perlu diantisipasi agar semua pihak berusaha menghindarinya sehingga pemilu berjalan tertib dan aman!"




Selanjutnya.....

Pembagian BLT Masa Kampanye!

"BANGUN! Subuh!" entak nenek membangunkan kakek. "Kalau berangkat jangan lupa bontotnya dalam kresek di meja dapur!"

"Memangnya aku harus ikut kampanye partai apa, disiapkan bontot segala?" sambut kakek.

"Bukan kampanye! Buat apa repot membuat bontot untuk orang kampanye!" jawab nenek. "Kau lupa, ya? Hari ini 18 Maret, Hari 'H' pembagian BLT--bantuan langsung tunai! Kalau tak bawa bontot dan air minum, nanti semaput dan terinjak-injak jubelan orang yang berebut ke depan! Iklimnya juga sedang tak ramah, kalau tidak hujan, panasnya terik bukan kepalang!"

"Membagi BLT-nya kok masa kampanye?" tukas kakek. "Kan kasihan parpol yang giliran kampanye, massanya malah berkumpul di kantor pos, bukan di lapangan!"

"Katanya sih karena duitnya ada sekarang, jadi dibagi saat ini pula!" sambut nenek. "Tapi jumlahnya tak sebanyak sebelumnya, BLT I Rp300 ribu, dan BLT II Rp400 ribu. Kali ini cuma untuk dua bulan, Rp200 ribu! Jumlah penerimanya juga berkurang, dari 19 jutaan, jadi 18,6 juta RTS!"


"RTS, apa pula itu?" potong kakek. "Biasanya kan RTM--rumah tangga miskin!"

"Huruf S itu singkatan kata sangat!" jelas nenek. "RTS, rumah tangga sangat miskin, miskin, dan agak miskin!"

"Informasimu lengkap sekali, dari mana?" tanya kakek. "Tak punya radio, televisi, apalagi koran!"

"Informasi getok tular setiap petan--perempuan desa duduk berbanjar mencari kutu kepala perempuan di depannya! Termasuk infromasi bisik-bisik!"

"Informasi bisik-bisik seperti apa?" bisik kakek, latah.

Dengan berbisik pula nenek mengatakan, "BLT dibagi saat kampanye untuk mengingatkan siapa pemimpin yang membagikan uang tersebut! Jika 18,6 juta lebih RTS penerimanya, setiap RTS sata-rata empat jiwa, berarti ada 75 jutaan suara pendukung sang pemimpin dalam pemilu nanti!"

"Wah, itu sudah 50 persen dari total suara dalam pemilu nasional!" entak kakek.

"Ssst, jangan keras-keras bicaranya, itu informasi rahasia!" ujar nenek. "Kalau cuma itungan model ibu-ibu petan begitu bukan rahasia!" tegas kakek. "Anak kecil juga bisa menghitung kali-kali empat seperti itu!"

"Jangan keras-keras suaranya!" potong nenek geram, dan melanjutkan berbisik, "Kalaupun ada sampai 35 persen penerima BLT tak tahu diri, tak berterima kasih pada pemimpin yang membagi dana itu, sang pemimpin masih tetap menang pemilu satu putaran!"

"Huahaha...! Gosip perempuan cari kutu!" kakek terbahak. "Tak masuk itungan pakar politik!"

"Karena pakar tak menerima BLT, tak mengalami bagaimana rasanya menerima BLT saat semua jalan buntu! Lagi pula, kalau tidak karena tempua bersarang rendah, BLT tak dibagi saat kampanye!" ***
Selanjutnya.....

Peka terhadap Penderitaan Rakyat!

"MATAMU merah, kenapa? Sakit?" tanya Temon.

"Apa iya?" sambut Temin terkejut. "Mungkin gara-gara di bus kota tadi, seorang perempuan hamil tak dapat tempat duduk, sehingga terpaksa berdiri! Tak sampai hati aku melihatnya!"

"Ternyata peka sekali perasaanmu terhadap penderitaan kaum lemah!" timpal Temon. "Lalu kau berikan tempat dudukmu pada wanita itu?"

"Enak aja!" jawab Temin. "Kututup saja mataku pura-pura tidur agar tak berkepanjangan melihat penderitaan itu!"

"Selompret! Rupanya kau tak beda dari para politisi Dewan masa kini! Karena terlalu peka perasaan mereka terhadap penderitaan rakyat, mereka ogah melihat kehidupan rakyat yang penuh penderitaan!" tukas Temon. "Akibatnya, dambaan para politisi Dewan itu sebisa mungkin menjauh dari penderitaan rakyat yang diwakilinya, hingga setiap ada raperda baru mereka buru-buru mengatur jadwal studi banding ke luar daerah!"


"Daripada pedih melihat penderitaan seperti mataku tadi, kan lebih asyik jalan-jalan cuci mata agar lebih cerah membaca isi raperda yang akan dibahas!" sambut Temin. Lagi pula, apa urusan raperda dengan penderitaan rakyat? Selain menangani masalahnya juga cuma memusingkan! Seperti kemiskinan sebagai penyebab penderitaan rakyat di Provinsi Lampung, diberi anggaran pada APBD sekian ratus miliar rupiah pun dalam empat tahun terakhir, ternyata hasil survei BKKBN mencatat angka kemiskinan tambah mencolok, jadi 65 persen!" (Lampung Post, 17-2-2009)

"Kalau cuma dianggarkan, seberapa besar pun angkanya boleh-boleh saja!" tegas Temon. "Tapi kalau ketepatan sasaran anggarannya tak ditengok--apalagi diverifikasi secara fisik--oleh para anggota Dewan karena perasaaannya yang peka tak tega melihat penderitaan rakyat hingga memilih tutup mata dengan pergi studi banding sejauh mungkin, yang terjadi di lapangan justru kepesatan peningkatan jumlah rakyat miskin, menjadi 65 persen itu!"

"Kalau saja para politisi Dewan mengawal setiap sen dana anggaran untuk kemiskinan itu, tidak malah menutup mata dengan pergi jauh studi banding, mungkin dengan dana ratusan miliar selama empat tahun itu banyak rakyat dientaskan dari derita kemiskinan yang mencekamnya!" timpal Temin. "Misalnya, kalau salah satu kriteria miskin dalam survei BKKBN itu rumahnya masih berlantai tanah, dengan setiap keluarga miskin itu diberi 10 sak semen untuk mengubin rumahnya, dengan anggaran sekian ratus miliar rupiah itu bisa puluhan ribu atau bahkan lebih keluarga miskin yang tercoret dari daftar keluarga miskin!"

"Maka itu, cukuplah pengalaman buruk rakyat dengan politisi Dewan masa kini itu!" tegas Temon. "Kebetulan menjelang pemilihan umum anggota legislatif, tuntutlah kontrak politik dari caleg, agar ke masa depan mereka serius dalam mengawal setiap sen anggaran untuk mengatasi penderitaan rakyat! Hanya dengan itu sepeka apa pun perasaan politisi akan siap melihat rakyat yang penderitaannya secara gradual terus berkurang! Lain hal kalau ditinggal studi banding terus, kian miris pula para politisi Dewan melihat penderitaan rakyat yang diwakilinya!"
Selanjutnya.....

Cari Caleg yang Gigih, Pekerja Keras!

"HARI ini kampanye terbuka pemilu legislatif dimulai, ibu mau menghadiri kampanye partai apa?" tanya anak.

"Menghadiri kampanye terbuka di lapangan panas terik atau diguyur hujan?" sambut ibu. "Ogah!"

"Bagaimana ibu bisa membuat pilihan tepat kalau tak melihat dan mendengar langsung penampilan para calon anggota legislatif?" kejar anak.

"Aku sudah punya dedekan, kok!" jawab ibu.

"Dedekan seperti buah di pohon ditandai dengan bungkus plastik begitu?" timpal anak.

"Rupanya ibu sambil jalan ke pasar memperhatikan pamflet caleg yang ditempel di pohon-pohon, ya?"

"Bukan itu!" jawab ibu. "Dengan duduk di rumah pun selama ini ndilir--datang dan pergi--caleg yang mempromosikan dirinya! Salah satu dari caleg yang kampanye door to door itu cukup meyakinkan ibu untuk didedeki sebagai pilihan!"

"Pasti ibu diberi uang pengingat!" tukas anak.

"Diberi uang caleg? Tidak sama sekali!" tegas ibu. "Justru yang ibu dedeki itu bukan orang yang memberi kartu nama dengan cetakan bagus! Beda dari yang lain, ia memberikan sepotong kertas kecil berisi nama, nomor urut, dan partai dengan tulisan tangannya sendiri!"

"Apa yang membuat ibu tertarik pada caleg kere itu?" entak anak.

"Kegigihan dia kampanye tanpa modal, sekaligus menunjukkan dia seorang pekerja keras!" jawab ibu. "Ia datang saat hujan masih menyisakan rintik-rintik, membawa payung untuk melindungi anak di gendongannya! Ia terus terang tak punya uang untuk mencetak kartu nama, mencetak pamflet, apalagi pasang spanduk dan baliho yang besar! Sejak daftar caleg tetap keluar, ia berjalan kaki menyambangi setiap pintu rumah yang buka di semua desa sekecamatan dapilnya ini!"

"Wow! Rupanya caleg seperti itu idola ibu!" timpal anak. "Apa dasar pertimbangannya?"

"Terlihat ia melakukan itu dengan ikhlas, menjaga amanah partai yang memberi kepercayaan pada dirinya!" tegas ibu. "Sikap amanah menjaga kepercayaan itu, hal terpenting dimiliki wakil rakyat saat terpilih nanti! Lalu, kegigihan dan semangat kerja keras memperjuangkan amanah itu dengan memaksimalkan apa pun yang bisa dia lakukan, seperti potongan kertas bertulis tangan itu, merupakan model pemimpin yang kita cari--tetap mampu bekerja mencapai tujuan secara tak ada rotan akar pun jadi! Bandingkan dengan para wakil rakyat sekarang, disiapkan rotan masih menuntut gading, itu pun tak mencapai hasil!"

"Itu karena saat kampanye menghabiskan banyak uang, di antaranya lewat utang yang harus dibayar kembali dari hasilnya duduk di lembaga legislatif, wajar menuntut gading buat mengganti modal atau utang kampanye!" tukas anak.

"Maka itu, yang kampanye menghabiskan uang wajar prioritasnya mencari uang pengganti yang telah dihabiskannya! Maka itu, dia yang kampanye dengan kegigihan dan kerja keras membayarnya kembali dengan kegigihan dan kerja keras pula!" tegas ibu. "Wakil rakyat gigih dan pekerja keras demi menjaga amanah yang dipercayakan pada dirinya itulah idola ibu! Lebih lagi yang bisa bekerja maksimal dengan sarana serbaterbatas! Bukan wakil rakyat yang hanya menghabiskan anggaran rakyat untuk menara gadingnya!"
Selanjutnya.....

Kampanye Terbuka Suara Terbanyak!

"BESOK parpol dan para calegnya mulai kampanye terbuka! Keluarga kami bingung, bukan cara nyontrengnya, tapi dalam membagi suara!" ujar Umar. "Soalnya, keluarga di rumah empat orang, famili dekat yang nyaleg enam orang, beda-beda parpol pula! Kalau diberikan setiap satu suara pada yang empat, tak adil buat yang dua lagi!"

"Supaya fair, kalian hadiri kampanye setiap famili itu! Lalu dinilai sendiri, pada siapa suara masing-masing layak diberikan!" saran Amir. "Hal serupa dialami konstituen parpol di pemilu sistem suara terbanyak ini! Dalam kampanye terbuka partai, sebutlah untuk DPRD kabupaten, pada dapil kecamatan tentu calon parpol dari kecamatan tersebut tampil bareng dan menyatakan dirinya paling baik mewakili parpolnya dari kecamatan itu! Pasti konstituen memilih yang menurut mereka paling layak di antara caleg yang semua menyatakan dirinya terbaik itu!"


"Tapi setiap konstituen punya subjektivitas untuk menilai mana yang terbaik menurut dirinya! Ada yang terpikat cantiknya, ada pula jatuh hati pada kumisnya, dan seterusnya!" timpal Umar. "Karena itu suara konstituen jadi tersebar di semua calon, dengan akibat, meski partainya mendapat suara terbanyak, bisa saja tak satu caleg pun memenuhi syarat minimal perolehan suara!"

"Hal itu bisa terjadi pada semua parpol!" tegas Amir. "Artinya, meski masih ada mekanisme lanjutan untuk menentukan yang terpilih dengan suara terbanyak, nantinya praktis mayoritas anggota legislatif akan duduk dengan dukungan minimal--di bawah syarat jumlah suara! Itu bisa seperti genset dengan kapasitas terpasang kecil, tapi dipasang untuk beban yang besar!"

"Untuk itu jangan salahkan mesin jika nyala listrik politik nantinya byarpet, atau malah kena giliran pemadaman!" potong Umar. "Saat itu terjadi, seperti pemadaman listrik, kelompok kuat yang punya akses atau pengaruh ke pengelola mesin akan selalu lebih diuntungkan, sedang rakyat lemah di pinggiran akan selalu dikorbankan dengan lebih sering kena giliran pemadaman!"

"Dengan demikian, betapa idealnya pun pemilu dengan sistem suara terbanyak ini, tetap saja tidak dengan serta-merta mengubah fitrah politik kaum pinggiran--sekalipun kebutuhan watt-nya kecil, tetap saja selalu tak kebagian!" tukas Amir. "Sebaliknya mereka di center of power--dalam lingkaran pusat kekuasan--dengan watt amat besar pun, selalu dapat berlebihan!"

"Padahal pemerintah selalu dilukiskan seperti listrik, dan pusat kekuasaan seperti power plant--pusat pembangkit listrik! Ketika pembangkit dinyalakan, seluruh jaringan ikut menyala!" timpal Umar. "Kenapa padanan dengan listrik itu terhadap kekuasaan selalu meleset?"

"Salah nenek kita juga!" tukas Umar. "Hasil buah kebunnya yang bagus-bagus selalu dijual untuk dikonsumsi orang kota! Sedangkan buah-buah bongkeng, pisang penyet dan mentimun bungkuk, disisakan untuk dimakan sendiri! Akibatnya, elite kota yang berkuasa pun selalu memberikan pada warga pinggiran yang bongkeng, sedang yang bagus-bagus untuk mereka! Simpulnya, hal itu tidak serta-merta bisa dibalikkan hanya dengan pemilu sistem suara terbanyak!" ***
Selanjutnya.....

Fenomena Obama, Harapan Kalla!

"BAGAIMANA kali-kali di balik Koalisi Kebangsaan Golkar dan PDI-P, padahal Mega dan JK sama-sama sudah menyatakan akan maju sebagai calon presiden di Pilpres Juli mendatang?" tanya Umar.

"Kalau kedua partai besar memang serius untuk membangun poros nasionalisme yang kokoh, kedua pihak harus siap fair menjadikan pemilu legislatif sebagai konvensi calon presiden dari kedua partai!" jawab Amir. "Artinya, kalau PDI-P unggul dari Partai Golkar pada Pemilu 9 April, maka Mega yang jadi calon presiden dan JK cawapres! Sebaliknya jika Golkar yang menang!"

"Apa tak aneh, kalau Mega turun jadi wapres?" timpal Umar.


"Kenapa aneh? Di Rusia ketika Medvedev lebih populer, Vladimir Putin malah meng-endorse-nya untuk calon presiden--dan jadi! Sedang Putin, mengalah sebagai perdana menteri!" tegas Amir. "Lebih dahsyat di Israel, Simon Peres dari perdana menteri ke menteri luar negeri! Ehud Barack dari perdana menteri jadi menteri pertahanan, atau Netanyahu dari perdana menteri jadi mendagri sebelum akhirnya kembali jadi perdana menteri!"

"Cara berpikir seperti apa untuk itu?" kejar Umar.

"Prinsip keikhlasan mengabdi bagi negara-bangsa tidak tergantung pada tongkrongannya, tetapi siap berkorban sepenuh jiwa raga di posisi mana pun!" jawab Amir. "Kalau tak dapat tongkrongan bergengsi tak lantas merongrong wibawa pemerintah atau tokoh yang sedang memimpin!"

"Kalau pemilu legislatif secara tidak langsung dijadikan ukuran konvensi calon presiden antara JK dan Mega, berarti JK seperti Obama bersaing dengan Hillary Clinton, dong!" tukas Umar.

"Kayaknya memang fenomena Obama yang jadi harapan JK!" tegas Amir. "Selain konvensi melawan tokoh perempuan yang memiliki mesin politik paling tangguh dan canggih di negerinya, dalam pola kualifikasi pertokohan politik, JK yang berasal dari luar Jawa tergolong dari kelompok minoritas, dengan kelompok mayoritasnya tokoh asal Jawa! Obama juga dari minoritas, warga kulit hitam hanya sekitar 20 persen dari penduduk AS!"

"Dengan berharap terjadinya fenomena Obama atas JK, sekaligus berarti bangsa Indonesia harus membuktikan negerinya telah bersih dari rasisme, primordialisme kesukuan, sektarianisme agama, maupun beragam diskrimasi politik lainnya!" sambut Umar. "Hanya dengan prakondisi realitas warga bangsa sudah sedemikian idealnyalah, seperti halnya orang kulit putih mengunggulkan Obama, orang luar Jawa pun bisa diunggulkan di seantero negeri!"

"Untuk itu ada faktor lain yang harus dilengkapi JK agar tercipta fenomena Obama!" tegas Amir. "Pertama, siap satu paket konsep perubahan komprehensif yang memilah tegas realitas kini seperti apa lalu mau diubah jadi seperti apa, lewat determinan apa pula! Kedua, kemampuan retorika seperti Obama, mengurai konsep rumit dalam bahasa sederhana hingga bisa dipahami awam!"

"Kau mengada-ada!" potong Umar. "Kapasitas Obama yang terakhir itu, jangankan di Indonesia, di dunia pun sukar dicari tandingannya!"

"Kalau tak memenuhi kapasitas itu," timpal Amir, "yang ada cuma fenomena Obama-Obamaan!"
Selanjutnya.....

Kesepakatan Mega-JK: Penyejuk!

"SUDAH baca lima butir kesepakatan Ketua Umum DPP PDI-P Megawati dan Ketua Umum DPP Golkar Jusuf Kalla?" tanya Umar. "Isinya menyejukkan suasana politik menjelang Pemilu Legislatif! Dua partai besar pemenang Pemilu 1999 dan 2004 itu satu bahasa dalam hal-hal prinsipiil kehidupan berbangsa, mengeliminasikan ancaman konflik yang justru mudah tersulut hal-hal tersebut!"

"Memang, belakangan ini langkah tokoh-tokoh sentral parpol cukup menggembirakan dengan saling merapat dalam jalinan silaturahmi!" timpal Amir. "Meski masih ditafsirkan sebagai penjajakan koalisi menuju Pilpres 2009, kedekatan hubungan dan silaturahmi pucuk pimpinan parpol itu amat kuat pengaruhnya dalam mengurangi ketegangan persaingan di lapisan bawah--dari persaingan antarcaleg hingga massa pendukung! Suasana lebih sejuk di lapangan semakin bisa dirasakan!"


"Apalagi diperkokoh dengan kesepakatan seperti yang dibuat oleh Mega dan JK, yang memperkuat komitmen terhadap sistem ketatanegaraan pascapemilu yang berorientasi pada kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat!" tegas Umar. "Kesepakatan seperti itu bisa mendorong semua komponen bangsa berwawasan ke masa depan, goal oriented, tidak lagi lebih mengutamakan kepentingan sesaat! Orientasi seperti itu, memang harus disosialisasikan lewat lembaga-lembaga formal yang secara struktural punya mekanisme hierarkis untuk pelaksanaan ke dalam jajaran organisasinya! Terutama parpol yang untuk itu punya mekanisme sanksi bagi unsur-unsurnya!"

"Setelah butir satu dan dua sepakat membangun sistem presidensial yang kuat berdasar UUD 1945 untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat, aku suka visi nasionalisme kedua partai besar pada butir tiga--memperkuat sistem ekonomi untuk melaksanakan program ekonomi yang berdaulat, mandiri dan berorientasi pada kepentingan rakyat!" ujar Amir. "Butir itu jelas masih perlu dijabarkan lebih terinci sistem operasionalnya! Namun, semangatnya cukup kuat dalam memberi jawaban terhadap kebingungan bangsa yang terputar dalam liberalisasi ekonomi global dewasa ini! Integritas bangsa dalam pengelolaan ekonomi, khususnya atas sumber-sumber kekayaan alam, menjadi kabur oleh aturan main global yang lebih menguntungkan para pemilik modal dan teknologi! Bagi hasil tambang emas misalnya, ada yang hanya 10 persen untuk negara dan Pemda, sedang kalau rakyat mencari sisanya di tempat pembuangan ampas gilingannya ditembaki!"

"Kenyataan itu jelas akibat program ekonomi tak berdaulat, tak mandiri, dan tak mengutamakan kepentingan rakyat!" tukas Umar. "Nasionalisme ekonomi kedua partai besar yang tertuang dalam kesepakatan tersebut harus dipegang erat-erat oleh rakyat, guna bisa dijadikan dasar menuntut ketika mereka berkuasa! Betapa, visi tersebut merupakan hal penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dari sumber-sumber kekayaan alam negara--tak seperti selama ini, lebih dinikmati bangsa lain! Visi ekonomi dalam kesepakatan ini jelas lebih menyejukkan lagi!" ***
Selanjutnya.....

Pemerintah 'Broke', Belum 'Broken'!

DI forum Hipmi, Presiden Yudhoyono mengakui, Government is broke!--pemerintah merugi!" ujar Umar. "Penyebabnya menurut Presiden, penerimaan pemerintah menurun karena pajak yang masuk berkurang, insentif banyak yang diberikan! Situasi demikian tak terhindarkan dalam suasana krisis ekonomi. Tugas utama pemerintah adalah terus menjaga agar roda perekonomian nasional tetap bergerak!"

"Keterbukaan Presiden mengenai kondisi kurang ideal keuangan negara itu amat dihargai! Lewat itu rakyat yang dalam kesulitan juga tahu ujung pangkal masalah yang mengimpitnya, karena ekonomi rakyat dan keuangan negara merupakan kesatuan yang simultan!" sambut Amir. "Lebih lagi dengan kejelasan keuangan negara pada kondisi broke, merugi, belum broken--berantakan, rakyat bisa memelihara harapan badai pasti berlalu!"

"Memang jauh berbeda persepsi rakyat seandai pemerintah menutupi situasi kurang ideal itu dengan menyebutkan semua dalam kondisi ideal, padahal rakyat secara nyata merasakan tekanan sosial-ekonomi yang semakin berat!" timpal Umar. "Justru dengan keterbukaan itu rakyat bisa mengukur kemampuan keluarga dengan realitas kurang ideal tersebut, sehingga tekanan bisa diperlonggar oleh penyiasatan dan adaptasi warga terhadap kesulitan yang dihadapi!" "Apalagi secara awam mudah dipahami situasi krisis dengan fluktuasi nilai tukar mata uang asing--melemahnya kurs rupiah terutama pada yen dan dolar AS--yang membuat pemerintah broke!" tegas Amir.

"Nilai yen yang pada awal krisis--macetnya kredit sektor perumahan AS Juli 2008 mencapai kisaran Rp125 per yen--kurs naik hingga 60 persen! Artinya, tanpa menambah utang baru pun nilai utang luar negeri maupun kewajiban membayar pokok utang dan bunga dalam yen--utang luar negeri kita yang terbesar--naik 60-an persen! Juga utang dalam dolar AS, yang diawal krisis kursnya masih Rp8.500 per dolar AS, kini sudah di kisaran Rp12 ribu!"

"Akibat gejolak kurs mata uang dunia itu, terjadi tambahan beban utang luar negeri kita pada 2008 sebesar Rp5,871 miliar dolar AS!" timpal Umar. "Dari total utang luar negeri pemerintah 2008 jika didolarkan sebesar 59,576 miliar dolar AS, akibat fluktuasi mata uang bertambah menjadi 65,447 miliar dolar AS! (Kompas, 11-3) Berapa besar itu dalam rupiah, hitung sendiri dengan kurs Rp12 ribu per dolar AS!"

"Tambahan utang akibat fluktuasi kurs itu saja sekitar Rp70 triliun, setara stimulus yang akan diluncurkan pemerintah mulai April nanti guna meredam bantingan krisis global terhadap perekonomian nasional!" tukas Amir. "Broke sebesar itu jelas tak bisa ditutup-tutupi! Maka itu, lebih tepat pemerintah sendiri yang mengungkapkan, ketimbang pihak lain yang tak urung diiringi tudingan bermuatan kebenaran cukup telak--pemerintah menutupi borok pada keuangan negara! Lalu dipelintir pula, agar rakyat tak bisa memahami dan menimpakan kesalahan pada pemerintah atas kebijakannya yang broke! Ini bukti keterbukaan lebih aman dari tertutup!"

Selanjutnya.....

Antisipasi Keriuhan Usai Pemilu!

"SMS dari siapa, dipelototi terus?" tanya Umar.

"Dari caleg!" jawab Amir. "Isinya memprediksi keriuhan yang bisa terjadi usai pemilu legislatif dipicu ketentuan ambang batas parliamentary threshold 2,5 persen suara sah nasional untuk pemilu anggota DPR! Jika tidak mencapai 2,5 persen suara sah nasional, sebuah parpol tidak berhak mendapat kursi DPR, berapa banyak pun suara yang diperoleh di daerah pemilihan--dapil!"

"Kalau dari berbagai dapil parpol dapat 10 kursi DPR, karena jumlah itu belum cukup 2,5 persen dari suara sah nasional, yang 10 kursi itu gugur?" kejar Umar.

"Menurut ketentuannya, begitu!" jawab Amir. "Kalau ada 10 parpol yang mengalami hal itu, bisa terjadi seratusan anggota legislatif hasil pilihan rakyat langsung yang dieliminasi! Itu sebabnya kupelototi SMS ini, karena pemilih dari 100 orang anggota legislatif yang terpilih langsung tapi dieliminasi itu, jika rata-rata setiap anggota dipilih oleh 300 ribu orang, jumlah pemilih yang suaranya sia-sia itu 30 jutaan orang! Betapa riuh jika 30 juta orang itu teriak bersama!"

"Setengah juta saja mahasiswa teriak bersama di Senayan bisa menjatuhkan rezim Orde Baru yang telah bercokol 32 tahun!" timpal Umar. "Betapa jauh lebih dahsyat teriakan 30 juta orang itu jika terjadi usai pemilu! Lalu, dikemankan suara rakyat yang pilihan aslinya dieliminasi itu?"

"Sesuai ketentuan semua suara dibagi habis di tingkat provinsi, tentu suara itu disatukan dengan sisa suara dapil-dapil lalu dimatrikkan kembali sesuai urutan perolehan suara caleg yang ada!" jawab Amir. "Justru di situlah diperoleh alasan protes buat pemilih, karena bukan caleg yang benar-benar terpilih langsung oleh rakyat yang duduk di DPR! Pemilu dengan pemilihan langsung oleh rakyat pun jadi kehilangan makna, karena yang duduk malah bukan hasil pilihan rakyat!"

"Padahal sejak awal pilihan rakyat itu dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perubahan di DPR, tapi karena akhirnya yang menikmati suara buangan itu dari kalangan partai besar lama yang membuat aturan itu untuk keuntungan partainya, harapan terjadinya perubahan di DPR gagal!" tukas Umar. "DPR pun kembali bermain dengan gaya lama yang mengecewakan rakyat!"

"Dalam sistem politik negeri kita, rakyat kecewa dari satu pemilu ke pemilu berikutnya itu sudah menjadi tradisi!" sambut Amir. "Karena bukan untuk mengatasi kekecewaan rakyat resep utama dalam setiap menyusun aturan pemilu, melainkan peningkatan kenikmatan dari setiap porsi kekuasaan yang diperoleh partai besar! Karena itu, dari pemilu ke pemilu hasilnya bukan peningkatan kesejahteraan rakyat, melainkan semakin luasnya konsesi kekuasan diiringi tambah besar dan berlimpahnya fasilitas kekuasaan!"

"Kecenderungan begitu bisa membuat teriakan 30 jutaan orang yang hasil pilihannya dieliminasi itu bisa lebih keras!" timpal Umar. "Kalau hal itu terjadi, gempita keriuhan usai pemilu bisa lebih jauh dari yang diperkirakan!" ***
Selanjutnya.....

Nyanyian buat Anak Buruh Tani!

"CANGKUL-cangkul, cangkul yang dalam! Tanah yang longgar jagung kutanam!" Temin mengajari anaknya yang masih usia TK bernyanyi.

"Temin!" potong Temon. "Mengajari anak nyanyi kok lagu mencangkul! Kapan majunya? Lagi pula, tanah longgar mana yang mau kautanami jagung, sejengkal saja tak punya tanah sendiri! Apa mau kau ajari anakmu menyerobot tanah orang?"

"Soalnya yang bisa kunyanyikan satu-satunya cuma lagu itu!" sambut Temin. "Itu pun kudapat dari ayahku! Lagi pula, nyanyi saja apa salahnya?"

"Justru dari nyanyian itu akan terjadi penyadaran pada anak tentang idaman hidup masa depan! Karena satu-satunya lagu ajaran ayahmu yang buruh tani cuma apa yang bisa dia lakukan, akhirnya kau pun cuma bisa jadi buruh tani juga!" tegas Temon. "Jadi, sekalipun untuk anak buruh tani, lagunya harus berorientasi masa depan! Misalnya, 'Download-download, download datanya, kita olah jadikan uang!' Dengan begitu yang tertanam dalam memori anakmu tentang komputer, beridaman menjadi ahli komputer, cari uang dari komputer!"

"Tapi negara kita kan negara pertanian, jadi anak kita juga harus punya kesadaran tinggi bahwa pertanian itu andalan utama ekonomi bangsa!" timpal Temin. "Akibat sok maju hingga pertanian tak mendapat perhatian memadai dari kalangan elitelah, sektor pertanian sebagai andalan malah jadi tempat bejubelnya warga miskin! Memang ada program revitalisasi pertanian, tapi lebih besar porsi retorikanya dari realisasinya! Buktinya, anggaran negara, provinsi atau kabupaten untuk itu jauh dari memadai! Coba cermati semua level anggaran, susah mencari anggaran pemeliharaan irigasi! Konsekuensinya, jangankan membangun irigasi baru, merawat yang ada saja tak ada anggaran, hingga sawah yang sebelumnya panen dua kali, tinggal panen sekali, itu pun rebutan air!"

"Maka itu, jangan dorong anak kita terjun ke sektor pertanian, cuma akan jadi korban janji kampanye dari pemilu ke pemilu!" tukas Temon. "Tengok saja dialog partai-partai politik dengan para pakar di Metro TV Senin malam, hanya untuk memberikan jawaban yang memuaskan penonton atas pertanyaan pakar saja jago-jago parpol gagal! Apalagi mewujudkan janjinya dalam kenyataan, buktinya dirasakan petani yang hidup semakin sulit dari waktu ke waktu! Konon pula buruh taninya, jauh lebih ngos-ngosan lagi!"

"Kalau orasi kampanye saja nyangklak--tak bisa memuaskan, bagaimana pula pelaksanaannya nanti?" timpal Temin.

"Pokoknya berlebihan kalau dijadikan harapan, apalagi sebagai tumpuan masa depan anak!" tegas Temon. "Maka itu, kau cari lagu lain untuk menanamkan dambaan masa depan anakmu! Mendambakan jadi dokter, atau pilot, misalnya! Jangan anak buruh tani cuma diberi dambaan jadi buruh tani juga!"

"Anak buruh tani diberi dambaan jadi dokter atau pilot, biaya sekolahnya dari mana?" entak Temin.

"Soal itu tergantung rezeki anakmu!" tegas Temon. "Dia itu anak panah, kau busurnya! Jangan belit anak panah pada tali busurnya! Tapi arahkan dia pada dambaan masa depan, agar bisa melesat mencapai sasarannya sendiri!" ***
Selanjutnya.....

Prihatin terhadap Karakter Bangsa!

"RASA prihatin mendalam pada realitas karakter bangsa meronai majelis Tanwir Muhammadiyah di Lampung pekan ini!" ujar Umar. "Sejumlah tokoh hadir membahas masalah itu, mencari simpul untuk mengakhiri salah kaprah karakter bangsa!"

"Buruknya karakter bangsa terekspresi pada perilaku korup di kalangan elitenya!" timpal Amir. "Sebaliknya di lapisan bawah, kebablasan dalam karakter bangsa kere, sabung nyawa antre sembako sampai jatuh korban jiwa!"

"Tapi paling diprihatinkan gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah, justru hasil survei lembaga internasional yang menempatkan Indonesia dalam kelompok negara terkorup di dunia!" timpal Umar. "Padahal, Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia! Apalagi kurun terakhir, yang terseret kasus korupsi tokoh-tokoh partai berbasis massa muslim!"

"Maka itu, simpul solusi dari gerakan keagamaan amat diharapkan! Lebih-lebih Muhammadiyah yang punya pengalaman mendalam di bidang pendidikan--poros pembentukan karakter!" tegas Amir. "Meski dalam pandangan budaya ada yang meyakini karakter bersifat native--bawaan lahir seperti ungkapan bibit-bobot-bebet--dalam Islam dipahami setiap bayi lahir seperti kertas putih, bersih! Corak dan warna seperti apa nantinya karakter anak, tergantung sentuhan pengaruh sejak usia dini (0--5 tahun), dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pendidikan!"

"Tapi sentuhan pengaruh itu tak selalu senada!" sambut Umar. "Bisa saja terjadi dalam keluarga relatif baik, di lingkungan masyarakat agak bias, lalu justru di lingkungan pendidikan mengalami enkulturasi, misalnya, budaya uang! Uang jadi penentu segalanya dalam dunia pendidikan! Akibatnya, proses internalisasi yang mendalam justru arti uang--sang penentu segala hal! Lalu, sosialisasi atau output karakternya pun mencapai segalanya dengan uang! Karena itu harus mencari uang, tanpa peduli halal-haram caranya!"

"Itu awalnya!" tukas Amir. "Menurutku, harus dicari antitesis yang bisa meretas kelanjutan proses tersebut dalam kondisinya yang sangat ekstrem seperti berikut: dalam kandungan dimanja asupan dari hasil korupsi, sejak lahir sampai play group praktis tumbuh dengan hasil korupsi! Lalu sejak play group, TK, SD, hingga wisuda sarjana secara sadar mendapat jalan mudah lewat hasil korupsi! Termasuk saat masuk pegawai, tanpa susah payah mengisi tes dengan benar, lolos! Semua itu proses enkulturasi dan internalisasi sempurna budaya korupsi! Terakhir proses sosialisasi--pengenalan segala teknik, taktik dan strategi korupsi yang tak terendus perangkat supermodern KPK!"

"Korupsi yang membiologis dan sistematis begitu merupakan tipe ideal di tengah realitas, sehingga yang kejegrek setiap kali justru tokoh yang tak disangka-sangka korupsi--akibat bermain di luar tipe ideal yang tersistem!" tukas Umar, "Sedang yang banyak korupsi, malah hidup nyaman!"

"Dari semua itulah yang harus ditarik antitesisnya dalam sebuah aransemen cultural engineering komprehensif yang disimfonikan seluruh bangsa!" tegas Amir. "Simfoninya harus lebih seru dan lebih gegap gempita dari reformasi, dengan irama mars yang entakannya menggerakkan setiap orang berubah karakter dengan cepat!" ***
Selanjutnya.....

Antisipasi Tsunami Ekonomi Dunia!

"JADI susah sekali cari duit!" keluh Tuman pada Temin. "Kita kumpulkan daun lidah buaya dari pekarangan rumah warga, yuk! Kalau dengan alasan membersihkan sarang nyamuk aedes agepty, pasti disambut gembira! Setelah daun terkumpul banyak, kita titipkan Temon untuk disetor ke pabrik, dicampur dengan daun lidah buaya hasil panenan dari ladangnya!"

"Apa? Mau mencampur daun lidah buaya dari pekarangan dengan hasil panen ladangku?" entak Temon yang tiba-tiba muncul. "Dasar Tuman! Di zaman krisis mau neko-neko! Kalau campur daun lidah buaya beda clone ke dalam bahan baku minuman segar itu, di negeri tujuan ekspor sana nanti konsumennya muntah-berak shampo! Ekspor komoditasnya kemudian ditolak dan pabriknya tutup, lalu ratusan buruh pabrik dan petani daun lidah buaya jadi penganggur!"

"Entah kenapa, otak Tuman sering kotor!" sela Temin. "Kayak spekulan, saat krisis malah cari kesempatan dalam kesempitan, tanpa peduli akibatnya merugikan orang banyak, sekaligus merusak perekonomian bangsa!"

"Memang! Lebih 10 tahun krisis multidimensional tak kunjung pulih, karena para spekulan justru suka bermain di saat krisis!" tukas Temon. "Ada yang impor beras hingga harga beras petani jeblok! Ada yang memainkan distribusi minyak goreng, sehingga meski produk dalam negeri berlimpah, rakyat harus antre minyak goreng! Ada yang spekulasi minyak tanah, dan lain-lain!"

"Malah ada yang beli udang cacat dari China, lalu diekspor ke Amerika pakai label Indonesia!" timpal Temin. "Akibatnya, berkapal-kapal ekspor udang dari Lampung ditolak dan kembali ke Panjang! Baru setelah pejabat bea cukai Amerika datang melihat lapangan produksi dan proses packing-nya, masalah selesai!"

"Itu dia! Bayangkan berapa ribu petambak dan pekerja pabriknya bisa jadi penganggur kalau pejabat Amerika tak mau tahu urusan produsen di sini!" tegas Temon. "Semua itu perlu diangkat sebagai tanda bahaya kepada semua pihak di negeri kita agar tak neko-neko di saat krisis yang terakhir ini! Krisis terdahulu saja yang cuma riak kecil untuk skala dunia, lebih 10 tahun kita tak bisa bangkit kembali! Apalagi krisis terakhir ini yang dilukiskan Alan Greenspan sebagai tsunami ekonomi dunia! Jika kecenderungan spekulasi dari pihak mana pun itu tak bisa dihentikan saat labrakan krisis global ini sampai di negeri kita, entah jadi seperti apa rusaknya negeri ini nanti!"

"Maka itu, Tuman! Jangan neko-neko!" sela Temin.

"Bagaimana tak berpikir neko-neko, kalau rakyat kecil seperti saya sekarang cari duit sangat susah sekali!" jawab Tuman. "Boro-boro cari kerja, yang sudah kerja saja puluhan ribu di-PHK!"

"Tunggu saja dana stimulus proyek padat karya infrastruktur, siapa tahu bisa kebagian giliran kerja!" timpal Temon.

"Cuma itu yang bisa diharap?" sambut Tuman. "Tak sebanding dengan gegap-gempita iklan-iklan suksesnya di televisi!" ***
Selanjutnya.....

Tiada Lagi Alasan untuk Optimis!

"WAJAHMU seketika redup seperti lentera habis minyak! Kenapa?" tukas Umar. "Apa tak ada lagi alasan untuk optimis?"

"Persis! Sergapan situasi seperti dapat hukuman tendangan penalti itulah yang membuatku terkesiap oleh isi koran yang kubaca!" jawab Amir. "Dengarkan, kubaca apa adanya--Data perekonomian terkini menunjukkan tidak ada satu indikator fundamental perekonomian pun yang bisa menerbitkan optimisme!" (Kompas, 5-3)

"Stop bacanya!" sela Umar. "Aku jantungan, bisa shock di tempat! Betapa tidak shock, perasaanku belakangan ini berbunga-bunga dibuat iklan-iklan kampanye partai politik yang berebut saling mengklaim sukses tokoh maupun kadernya! Di tengah kondisi begitu tiba-tiba kau sodorkan masalah yang membuat orang jadi miris!"

"Itu justru simpul bahasan dua ujung tombak pengelola ekonomi negara, Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) selaku pengelola moneter, dan Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal!" tegas Amir. "Menyikapi data mutakhir, BI menurunkan lagi tingkat pertumbuhan, yang sebelumnya dari 6 persen diturunkan jadi 4,5 persen, terakhir jadi tinggal 4 persen! Angka 4 persen itu pun bersifat pesimistis, karena berpotensi besar turun lagi! Sedang Menteri Keuangan melihatnya dari ekspor dan Neraca Pembayaran yang serbanegatif! Angka ekspor Januari 2009 anjlok 17,7 persen dari ekspor Desember 2008! Neraca pembayaran malah kena defisit ganda, yakni dalam transaksi perdagangan serta transaksi modal dan keuangan!"

"Ternyata dampak krisis keuangan global lebih cepat imbasnya dari perkiraan sebelumnya--triwulan kedua 2009! Gejalanya justru keburu nongol triwulan pertama!" tukas Umar. "Anehnya, fakta itu justru memberiku perspektif baru!"

"Jangan sok jenius, melihat peluang di balik tsunami ekonomi dunia!" entak Amir.

"Aku tak mengatakan peluang, tapi perspektif!" tegas Umar. "Dalam perkiraan kalangan ekonom terkemuka dunia, pada triwulan pertama 2009 pukulan dampak krisis keuangan global akan terlihat di emerging country seperti BRICK --Brasil, Rusia, India, China, dan Korea! Baru pada triwulan kedua, imbas krisis dari emerging country, memukul negara-negara berkembang!"

"Maksudmu pasti, dengan dampak tersebut telah memukul negeri kita di triwulan pertama, berarti negeri kita sudah tergolong emerging country sekelas BRICK!" potong Amir. "Itu das sollen, yang seharusnya, atau sepatutnya negeri kita yang kaya sumber daya alam dan berpenduduk banyak bisa mencapai posisi sekelas India dan China! Tapi de facto, kenyataannya, kita masih tertinggal jauh dari kemajuan India dan China yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen berturut-turut sepanjang satu dekade!"

"Lalu, bagaimana bisa masih di awal triwulan pertama negeri kita sudah rontok oleh terpaan dampak krisis global?" kejar Umar.

"Kayaknya itu terjadi karena bangunan ekonomi negeri kita secara nyata seperti gubuk reyot!" jawab Amir. "Sehingga, diterpa angin seriwing-seriwing saja rontok! Entah bagaimana jadinya kalau diterjang badai yang lebih dahsyat!" ***
Selanjutnya.....