Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pemilu, Salip-Menyalip Hukum!

"PEMILU--pemilihan umum--di negeri kita rupanya bukan hanya adu canggih memikat suara rakyat, melainkan juga dalam salip-menyalip hukum yang jadi dasar pelaksanaan pemilu itu sendiri!" ujar Umar. "Selain banyak gugatan masuk ke MK--Mahkamah Konstitusi--terkait penghitungan suara dalam pemilu legislatif, uji materi dari Zaenal Ma'arif dan kawan-kawan menyalip ke MA--Mahkamah Agung--atas peraturan KPU mengenai pembagian kursi, menghasilkan sebuah putusan MA yang membuyarkan pembagian kursi oleh KPU, serta sejumlah putusan MK terkait perolehan kursi!"

"Semua itu belum cukup!" timpal Amir. "Terakhir muncul Partai Hanura dan Gerindra, bersamaan dengan empat calon anggota DPR dari PPP--Partai Persatuan Pembangunan--menyalip pula dengan uji materi agar MK membatalkan Pasal 205 Ayat (4) UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang multitafsir sehingga menjadi biang kekisruhan pembagian kursi legislatif!"

"Untuk uji materi terakhir ini, guru besar hukum Undip yang menjadi Gubernur Lemhannas, Prof. Muladi, menyatakan, demi kepastian hukum, permohonan uji materi yang disampaikan sejumlah parpol ke MK, tentang pembatalan Pasal 205 Ayat (4) UU No. 10/2008 harus dikabulkan MK!" sambut Umar. "Menurut Muladi, selain cacat hukum, jika tidak dibatalkan atau direvisi, pasal itu akan menimbulkan ketidakstabilan politik!" (Kompas, 31-7)

"Salip-menyalip hukum dalam proses pemilu ini terjadi akibat kurang matangnya penyusun UU baik dalam merumuskan bunyi pasal dan ayatnya, maupun dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat ke depan--bahkan untuk tempo yang pendek sekalipun! Mentah dalam dimensi materiil hukum dan dimensi sosialnya!" tegas Amir.
Kelemahan itu menjadi lebih fatal karena UU itu menyangkut aturan main politik, yang merupakan pengelolaan kepentingan di arena adu kekuatan massa pendukung! Muladi benar, apabila masalah ini tak diselesaikan secara baik, bisa menyulut ketidakstabilan politik! Eksesnya bisa mengimbas pada ketidakstabilan ekonomi dan bidang-bidang kehidupan lainnya! Saat bangsa belum pulih dari keterpurukan akibat krisis multidimensi, segala kemungkinan yang menjurus ke arah itu harus dicegah dengan upaya semaksimal mungkin!

"Benteng terakhir mencegah agar kemungkinan buruk itu tak sampai terjadi ada pada MK dan KPU!" timpal Umar. "MK dengan dasar menjaga semangat integralisme negara yang menjiwai konstitusi, harus tegas mengoreksi setiap UU yang berpotensi menyulut ketidakstabilan politik! Sedang KPU, menyelesaikan tugasnya berdasar hukum dan di atas kepentingan semua golongan, hingga keberpihakan yang sempat dituduhkan di balik berbagai kisruh dan salip-menyalip selama pemilu, berakhir dengan pembuktian diri sebagai penyelenggara pemilu yang benar-benar fair!" ***
Selanjutnya.....

Siap Menerima Peraturan Baru KPU!

"KPU--Komisi Pemilihan Umum--usai rapat Kamis (30-7) menyatakan akan membuat peraturan baru cara pembagian kursi DPRD kabupaten/kota dengan mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi--MK, dan Mahkamah Agung--MA," ujar Umar. "Bagaimana cara pembagian kursi anggota legislatif nantinya, masih belum jelas, menunggu bunyi peraturan KPU yang baru!"


"Keputusan rapat KPU itu bisa membuat banyak orang kena serangan jantung!" sambut Amir. "Orang-orang yang telanjur selametan terpilih jadi anggota legislatif, tiba-tiba khawatir tergusur dari kursi DPRD sebelum dilantik! Situasi itu jelas mendebarkan, hingga perlu usaha khusus agar siap mental menerima apa pun bunyi peraturan baru KPU! Jika mental untuk itu tidak disiapkan, korban peraturan baru KPU bisa shock fatal, berakibat buruk pada dirinya!"


"Orang shock--terkejut berat--bukan cuma pingsan atau lunglai, tapi ada juga yang pitam, marah tak terkendali!" sambut Umar. "Karena itu, jika tidak
disiapkan dengan baik untuk menerima peraturan baru KPU tentang pembagian kursi DPRD kabupaten/kota itu, akibat buruk dari orang yang shock itu bisa mengimbas ke orang lain!"

"Imbas berantai pada orang lain itu yang salah-salah bisa merebak jadi keributan horizontal!" tegas Amir. "Sebab, ketika si pitam menyerang orang dari pihak lawan politiknya yang dianggap bagian dari yang mempermalukannya, kisruhnya meluas ke antarkelompok, bahkan antargolongan! Kemungkinan ke arah itu harus dicegah, tak boleh terjadi! Maka itu, orang-orang bijaksana di sekitar orang-orang yang diperkirakan bakal shock dengan peraturan baru KPU itu, agar secara dini mendekatinya dan membuatnya siap menerima kenyataan jika yang dikhawatirkan itu terjadi!"


"Jangan malah sebaliknya, orang yang bakal kena gusur oleh peraturan baru KPU itu dikompori, yang justru membuatnya siap meledak begitu peraturan baru itu muncul!" timpal Umar. "Jelas tak mudah meredam amarah orang yang sedang kehilangan muka, sudah selametan jadi anggota legislatif tahu-tahu dibatalkan! Peluang untuk meredam itu cuma ada dalam lingkungan dekat orang bersangkutan, baik dari kalangan keluarga maupun golongan politiknya! Untuk itu, kesiapan menerima peraturan baru KPU itu harus dimulai dari orang-orang lingkungan dekat tersebut!"


"Tepatnya, kita semua harus bersiap menerima apa pun peraturan baru yang dikeluarkan KPU untuk cara pembagian kursi legislatif, sebagai realitas sejarah bangsa!" tegas Amir. "Untuk selanjutnya, pemerintah dan DPR agar menyeleksi lebih baik saat merekrut anggota KPU, memlilih orang yang betul-betul tepat untuk menjalankan tugas negara, tidak lagi salah merumuskan UU ke peraturan yang lebih rendah, sehingga kisruh serupa tak terulang! Belajarlah dari sejarah!" ***
Selanjutnya.....

Simbolisme Tangan Kepala Daerah!

"KALAU Batara Guru sebagai eksekutif penguasa kayangan dilukiskan bertangan empat, karena banyaknya masalah yang harus ditangani, kenapa kepala daerah sebagai eksekutif penguasa di bumi cuma bertangan dua?" tanya cucu. "Bukankah tugas kepala daerah juga banyak?"

"Beda gambaran simbolis wayang dan simbolisme dalam kenyataan hidup manusia, khususnya lagi tangan kepala daerah!" jawab kakek. "Secara simbolis, tangan kepala daerah seperti realitasnya tangan manusia, cuma dua! Tangan kanannya yang mengatur semua aparat dan menjalankan fungsi pemerintahan di daerahnya! Kepala daerah boleh gonta-ganti datang dan pergi, struktur pemerintah sebagai tangan kanan kepala daerah selalu siap di tempatnya!"

"Kalau begitu tangan kanan kepala daerah adalah sekretaris daerah (sekda), yang membawahi semua staf dari asisten, biro sampai seksi!" tebak cucu. "Lalu tangan kirinya siapa, kalau semua staf praktis di bawah sekda, bagian tangan kanan?"
"Tangan lain kepala daerah adalah wakil kepala daerah, baik wakil bupati atau wakil
wali kota!" tegas kakek. "Tampak, dengan begitu secara simbolis tangan kepala daerah cukup dua!"

"Tapi dengan gambaran simbolis yang kakek buat, sekda lebih diuntungkan, sebagai tangan kanan!" tukas cucu. "Tangan kanan, selain menangani tugas-tugas utama kepala daerah, juga dipakai untuk menyuap makanan ke mulut, untuk salaman dan lain-lain yang serbamenyenangkan! Sedang tangan kiri, cuma untuk cebok! Atau, tugas lain yang kurang menyenangkan!"
"Simbolisme yang melekat pada fungsi tangan kanan dan kiri seperti kau uraikan itulah yang justru cenderung benar-benar dirasakan banyak wakil kepala daerah!" tegas kakek. "Pokoknya banyak wakil kepala daerah merasa diposisikan pada fungsi yang kurang menyenangkan! Gejala seperti itu bisa membuat hubungan kepala daerah dan wakilnya jadi kurang harmonis!"

"Tapi, bukankah simbolisme itu alamiah, dalam arti sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku, tak bisa tidak sekda sebagai unsur pemerintah yang permanen dengan perangkat birokrasinya memang harus menjadi tangan kanan kepala daerah yang secara formal dipilih dari luar birokrasi!" timpal cucu. "Sedang wakil kepala daerah, sekalipun dalam chart struktur organisasi berada satu kotak dengan kepala daerah, secara fungsional tak bisa menggantikan atau mengambil alih fungsi sekda sebagai tangan kanan kepala daerah!"

"Justru karena dalam chart struktur organisasi wakil kepala daerah itu satu kotak dengan kepala daerah, seharusnya bukan sekda sebagai padanan fungsionalnya!" tegas kakek. "Ia juga bagian dari kepala daerah--yang harus disuapi tangan kanan! Artinya, wakil kepala daerah juga harus dijadikan bagian yang menyenangkan!" ***
Selanjutnya.....

Andai MK Membatalkan Hasil Pilpres!

“DUA pasangan calon presiden (capres), Mega-Pro dan JK-Win, memanfaatkan peluang mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas hasil pemilihan presiden (pilpres) yang telah ditetapkan KPU dengan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenangnya!” ujar Umar. “Mungkinkah ada konsekuensi serius dari kedua gugatan itu?”

“Konsekuensi serius mungkin bisa terjadi andai MK mengabulkan gugatan salah satu dari pasangan penggugat dengan membatalkan hasil pilpres!” jawab Amir. “Tapi sebelum sampai kemungkinan terjauh itu, kita sambut positif dulu langkah kedua pasangan capres itu memanfaatkan peluang yang disediakan UU Pilpres! Dengan berjalannya proses hukum ini, justru bisa diharapkan keseluruhan tahapan pilpres akan cepat selesai!”
“Dari bagian akhir ucapanmu, yang menyatakan pengajuan gugatan tersebut justru mempercepat tahapan pilpres selesai, terkesan kau kurang yakin MK bakal mengabulkan gugatan kedua pasangan capres?” tukas Umar.

“Kesan seperti itu boleh-boleh saja!” tegas Amir. “Namun, kesiapan mental semua pihak
untuk menerima apa pun putusan MK, diperlukan! Bukan saja kesiapan jika MK menolak gugatan itu, hingga hasil pilpres sah dan harus diterima semua pihak. Sebab, bisa lebih repot lagi mengondisikan agar putusan diterima semua pihak justru andai MK membatalkan hasil pilpres yang telah ditetapkan KPU. Padahal, dengan keyakinan MK betul-betul netral dalam menangani gugatan itu, peluang putusan MK masih fifty-fifty—kemungkinan yang mana pun bisa terjadi!”

“Kalau begitu penyiapan menghadapi putusan MK harus sebanding, baik andai MK menolak maupun mengabulkan gugatan tersebut!” timpal Umar. “Artinya, segenap warga bangsa harus siap menerima putusan MK, apa pun putusan itu, seperti warga AS menerima putusan MA saat menetapkan secara kontroversial Bush sebagai pemenang pilpres atas lawannya, Al Gore!”

“Hasil pilpres ditetapkan oleh sebuah mahkamah merupakan hal baru bagi kita!” tegas Amir. “Jadi, bagaimana respons warga nantinya, akan lebih ditentukan oleh sikap tokoh pemimpinnya. Sebab di Amerika juga, waktu MA memutuskan Bush yang menang, tim sukses Al Gore menolak putusan itu! Lain hal Al Gore sendiri, ia justru langsung menelepon Bush mengucapkan selamat menang pilpres sesuai putusan MA!”

“Kalau begitu, rakyat negeri kita jauh lebih manut pada pemimpinnya dibanding rakyat AS!” timpal Umar. “Ketika pemimpinnya menyatakan oke, rakyat akan menimpali dengan oke banget! Cuma, apakah pemimpin Indonesia bisa seperti Al Gore?”
“Untuk pertanyaanmu terakhir itu, kayaknya tak ada orang yang berani menjamin!” tegas Amir. “Karena baru kali pertama kita akan melihatnya lewat putusan MK nanti! Lebih-lebih, andai MK membatalkan hasil pilpres!” ***

Selanjutnya.....

Jika Hukum seperti Onde-Onde!

"AYO tebak, onde-onde ini bulat atau gepeng?" tantang Temin.
"Onde-onde ini bulat! Tapi kalau dipencet begini," jawab Temon sambil menekan onde-onde dengan telapak tangannya, "onde-onde ini jadi gepeng!"
"Kalau tergantung sentuhannya begitu, onde-onde juga bisa jadi persegi empat!" timpal Temin. "Tapi bentuk onde-onde lazimnya kan bulat!"
"Begitu pula hukum, lazim rumusannya bulat sehingga tafsiran setiap pasal undang-undangnya tunggal!" tegas Temon. "Lain halnya rumusan Undang-Undang (UU) Pemilu 2009, tidak bulat! Akibatnya terjadi simpang-siur tafsir yang saling berbeda, antara tafsir KPU, MK dan MA!"

"Jadi, ibarat onde-onde hukumnya malah tak ada yang bulat! Tapi gepeng, lonjong dan persegi!" entak Temin. "Lantas bagaimana jadinya dengan pelaksanaan putusan hukum yang berbeda-beda itu untuk diimplementasikan pada hasil pemilu?"
"Tentu cuma salah satu dari putusan yang harus dilaksanakan! Dan entah putusan mana yang akan dipilih KPU, kita tunggu!" tegas Temon. "Tapi, dari kasus itu terkesan pada masyarakat, kelemahan mendasar pada pihak pembuat UU, yang gagal merumuskan secara bulat materi hukum yang diciptakannya! Akibatnya, bukan salah KPU, MK atau MA kalau masing-masing mengeluarkan tafsir yang berbeda, karena materi hukumnya sendiri memang membuka peluang multitafsir!"

"Waduh, pembuat UU itu eksekutif/pemerintah dan legislatif/DPR! Sedang pimpinan
eksekutif dan legislatif hasil pilihan rakyat!" sambut Temin. "Itu bisa berarti, rakyat juga yang menjadi pangkal kesalahan--dalam hal ini salah pilih!"
"Rakyat bisa saja dijadikan kambing hitam dalam kesalahan memilih kualitas pembuat UU yang sedemikian!" tegas Temon. "Tapi harus diingat juga, pilihan rakyat dibatasi pada calon-calon yang disiapkan partai-partai politik! Maka itu, jika akibat tidak bulatnya rumusan hukum sehingga bisa menimbulkan multitafsir yang dirugikan ternyata kalangan partai politik itu sendiri, jelas ini merupakan 'hukum karma' (dalam tanda petik) yang menimpa partai-partai politik! Siapa yang menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri!"

"Artinya, putusan mana pun yang nantinya dipilih KPU untuk menetapkan anggota DPR terpilih, pengalaman ini layak dijadikan pelajaran oleh kalangan partai politik agar menyiapkan calon-calon anggota DPR dengan pendekatan kualitas pada bidangnya, bukan pendekatan lain!" timpal Temin. "Risiko buruk bagi partai sendiri akibat salah seleksi calon-calon anggota legislatifnya, berimbas pada buruknya kualitas keterwakilan rakyat di legislatif! Kalau cuma bisa membuat hukum seperti onde-onde, hingga mengamankan kepentingan partainya saja tidak becus, apalagi mengamankan kepentingan rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Bocah Memegangi Tali Kambingnya!

PELINTAS dari kota menghampiri seorang bocah desa yang memegangi tali kambingnya. "Kenapa talinya tidak kau ikat di tengah padang itu, lantas kau bisa bermain?" tanya pelintas. "Kalau diikat di tengah padang dia ribut! Karena panas, kedua anaknya ini bermain jauh di tempat yang teduh!" jawab bocah. "Maka itu kubawa ke tempat teduh, supaya dia dan anak-anaknya bisa tetap berkumpul dan lebih tenang makan!" "Kalau begitu, di tempat teduh ini kan bisa kau ikat, sehingga kau tak perlu memegangi talinya terus?" kejar pelintas.


"Kalau di terik panas begini diikat di tempat teduh, dia bukannya makan, tapi malah tiduran sambil memamah biak! Akibatnya, petang nanti perutnya tidak betul-betul kenyang!" jelas bocah. "Maka itu kupegangi terus, setiap dia mau tiduran langsung kutarik talinya agar dia kembali makan!" "Kenapa kau lebih mementingkan kenyangnya kambingmu, ketimbang bermain?" tanya pelintas.

"Karena ini kambingku, hadiah naik kelas empat dari ayahku! Waktu itu belum beranak, karena setiap hari makan kenyang, jadi cepat beranak!" jawab bocah. "Maka itu, kuusahakan setiap hari kenyang, agar cepat jadi banyak! Jika banyak, aku bisa sekolah sampai jadi sarjana! Kalau kutinggal bermain, serbasalah. Kuikat, jadi tidak kenyang! Jika kulepas talinya, dia masuk kebun orang!"


"Teruskan pelihara baik-baik kambingmu!" tegas pelintas. "Setelah besar nanti kau bisa menjadi politisi yang baik!"

"Politisi itu apa?" tanya bocah.

"Politisi itu pemimpin, fungsinya seperti gembala juga. Tapi yang digembalakan umat atau rakyat!" jelas pelintas. "Politisi yang baik akan berusaha seperti kau, agar umat atau rakyat gembalaannya selalu kenyang! Dia berusaha agar umat atau rakyat gembalaannya tidak teriak-teriak protes kepanasan, serta tenteram dalam keteduhan hati bersama anak-anaknya!"

"Jadi politisi yang baik tidak asyik bermain sendiri meninggalkan gembalaannya?" kejar bocah. "Betul!" jawab pelintas. "Sebaliknya politisi kurang baik, pikirannya selalu tercekam untuk studi banding, pergi bermain meninggalkan jauh-jauh gembalaannya, tanpa peduli entah makan atau tidak gembalaannya itu!"


"Politisi seperti itu tak menyayangi gembalaannya seperti aku menyayangi kambingku!" tukas bocah. "Kalau begitu tak cepat bertambah banyak!" "Justru bisa semakin habis gembalaannya!" tegas pelintas. "Apalagi karena mereka lepas talinya, gembalaannya banyak yang masuk ke kebun orang! Anehnya politisi itu berteriak, menuding pemilik kebun yang dimasuki gembalaannya itu curang!"

"Huahaha!" bocah terbahak. "Gembalaannya yang tidak diurus masuk kebun orang, malah orang lain yang dituduh curang!" ***
Selanjutnya.....

Hasil Pilpres Masih Terganjal!

"KPU telah mengumumkan hasil pemilihan umum presiden (pilpres), pasangan SBY-Budiono menang telak! Namun, secara formal keabsahannya masih terganjal oleh peluang mengajukan gugatan ke MK yang ditetapkan UU selama tiga hari!" ujar Umar. "Pasangan Mega-Pro telah memastikan untuk mengajukan gugatan ke MK atas sejumlah kecurangan. Sedang pasangan JK-Win menolak hasil pilpres dengan alasan kisruh DPT dan KPU memihak SBY-Budiono!"

"Usaha menyelesaikan sengketa pilpres secara hukum lewat MK pilihan terbaik! Diharapkan, tim sukses JK-Win juga menempuh cara serupa agar penolakan hasil pilpres tidak berlarut!" sambut Amir.
"Untuk selanjutnya tentu, apa pun putusan MK diterima secara final! Dengan begitu, pekerjaan besar bangsa memilih pemimpin negara selesai! Dengan selesainya suatu pekerjaan besar itu, bangsa kita yang tertinggal dalam berbagai dimensi dari bangsa-bangsa lain, bisa kembali melangkahkan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan tersebut!"

Harapan demikian terkesan sederhana! Tapi karena sedehana itu justru mencerminkan aspirasi mayoritas warga bangsa--terutama dari lapisan terbawah--yang cara berpikirnya tidak cenderung macem-macem" tegas Umar. "Artinya, kalangan pemimpin diharapkan arif dalam melihat realitas kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu--pileg dan pilpres--sebagai pengalaman untuk ditarik hikmahnya sebagai pelajaran! Pengalaman sebagai guru paling bijaksana!"

"Dari sisi lain, sejauh mana pun kecurangan bisa dibuktikan, lalu suara kemenangan yang terkait kecurangan itu dibatalkan, dengan selisih angka perolehan suara yang cukup jauh hasilnya tidak akan mengubah posisi pemenangnya!" timpal Amir. "Bukan berarti kecurangan tak perlu dibuktikan! Justru menjadi keharusan, agar pada pemilu selanjutnya kecurangan sama bisa dicegah secara dini lewat aturan mainnya! Karena layak diakui, salah satu kelemahan dalam Pemilu 2009 terletak pada aturan main yang kurang memadai dalam mengakomodasi dinamika masyarakat dan kemajuan teknologi! Dinamika msyarakat terkait mobilitas penduduk saja gagal diakomodasi sehingga DPT semrawut, mahasiswa dan pekerja di luar desanya tak bisa memilih! Sedang dalam teknologi, laporan dari daerah pemilihan ke KPU Pusat sering macet!"

"Maka itu, jika semua kesalahan akibat kelemahan aturan main dan teknologi dipertahankan sebagai dasar menolak hasil pilpres, jelas masalah tak selesai!" tegas Umar. "Konsekuensinya, negara bisa bubar tak punya pemimpin, karena semua itu telanjur sedemikian rupa tak mungkin diperbaiki! Jalan satu-satunya, menerima segala kekurangan sebagai kenyataan masih setingkat inilah kualitas demokrasi yang bisa kita hasilkan!" ***
Selanjutnya.....

Bukan Isu, Ada Teroris Asal Lampung!

"MIN, teman-teman ponakanmu yang jualan keset dan sapu lidi beritahu, sebaiknya jangan jualan dulu!" bisik Temon. "Karena teroris asal Lampung yang ditangkap Densus 88 disebut kerjanya jualan keset dan sapu lidi! Kasihan, nanti mereka dikira teroris!"

"Jangan menyebar isu!" sambut Temin. "Mana ada teroris asal Lampung!"


"Ini bukan isu, bukan rumor!" entak Temon. "Tapi kenyataan, dua tersangka teroris asal Lampung dua hari berturut ditangkap Densus 88 di Jawa Tengah! Pertama ditangkap Ahmadi alias Ahmad Jenggot yang mengaku di Lampung jualan keset dan sapu lidi! Lalu kemarin ditangkap lagi Abdul Somad, juga disebut teroris asal Lampung!"

"Jadi bukan isu, ada teroris asal Lampung!" timpal Temin. "Sejauh mana keterlibatan mereka?"

"Menurut berita Metro TV semalam, Ahmadi kurir penghubung antara kelompok Palembang dan kelompok Cilacap!" jelas Temon. "Sedang Abdul Somad belum diumumkan polisi, sejauh mana perannya dalam jaringan terorisme!"


"Kalau belum ada bukti tersangka yang ditangkap begitu, sungguh, aku tak percaya ada teroris asal Lampung!" timpal Temin. "Meski begitu tetap saja terasa aneh, dari Lampung bisa muncul teroris!
Apa ada alasan, Lampung melahirkan teroris?"

"Sama sekali tak ada alasan, karena di Lampung selama ini tak pernah terdengar adanya ajaran radikal yang bisa memicu kemunculan terorisme!" tegas Temon. "Ahmadi juga, menurut aparat desanya di Jawa, meski dulu ikut orang tuanya transmigrasi ke Lampung, terkontaminasinya oleh terorisme lebih cenderung dari pergaulan terakhir dengan anasir teroris yang telah ditangkap lebih dulu! Penangkapan itu membuat dia katakutan dan menyerahkan diri lewat aparat desa!"

"Aku berani jamin, Abdul Somad yang tertangkap belakangan juga bukan terkontaminasi terorisme di Lampung!" entak Temin.

"Jangan tergesa menyimpulkan! Kita lihat dulu hasil penyelidikan yang berwajib!" tegas Temon. "Meski harapan kita sama, jangan sampai ada alasan yang memungkinkan terorisme lahir di Lampung! Untuk itu, menjadi tugas bersama kita warga Lampung untuk menjaga dan memelihara kondisi daerahnya agar tetap tidak memberi peluang sekecil apa pun bagi lahirnya terorisme!"


"Sikap tegas setiap warga Lampung untuk tidak mau kompromi sedikit pun dengan segala bentuk terorisme, menjadi penentu ke depan dalam menutup peluang terorisme untuk bersemi di daerah ini!" timpal Temin. "Dengan semangat antiterorisme pada warga yang sedemikian pula, setiap ada hal-hal aneh yang berindikasi menjurus ke arah munculnya gerak-gerik terorisme, akan lebih cepat terendus oleh warga!"


"Pokoknya ini harus menjadi kali terakhir ada teroris bisa disebut berasal dari Lampung!" tegas Temon. "Untuk masa selanjutnya, no way!" ***

Selanjutnya.....

'Juvenile Deliquency', Bom Bunuh Diri!

"KENAKALAN remaja, dengan terminologi universal juvenile deliquency, untuk anak kampung bentuknya mungkin cuma curi mangga di kebun tetangga, atau tawuran anak sekolah di kota!" ujar Umar. "Maka itu, amat mengejutkan ketika terjadi lonjakan tak terkira pada remaja kita, mencapai puncak kekerasan--melakukan bom bunuh diri--dalam kasus Mega Kuningan!"

"Pelaku bom bunuh diri di Hotel J.W. Marriott yang menurut polisi berusia 16--18 tahun, tinggi tubuh 180--190 cm, sepatu nomor 42--43 dan berkulit putih, spesifikasi biologisnya jelas tak seperti rata-rata anak Indonesia! Bisa jadi ia memang punya kelainan dibanding remaja Indonesia umumnya--untuk kebodohannya memilih jalan sia-sia!" sambut Amir. "Meski dengan kelebihan yang menjadi kelainannya itu, ia tetap satu dari puluhan juta remaja Indonesia seusianya! Dengan kelebihannya, baik fisik, mental (lebih dewasa dari usianya), atau kecerdasannya, seorang remaja justru lebih mudah dieksplorasi dan dieksploitasi perilakunya untuk berbeda dari remaja umumnya! Tampaknya itulah pangkal masalah pada remaja pelaku bom bunuh diri Mega Kuningan! Tapi tetap harus diakui, perekrut dan pencuci otaknya cukup piawai, hingga anak yang dengan kelebihan fisik memiliki masa depan lebih baik, justru siap mengorbankan jiwanya demi kesia-siaan itu!"

"Dengan kelebihan yang cenderung mendorong remaja berperilaku berbeda dari remaja lain umumnya, seperti dipahami dalam terminologi juvenile deliquency itu, membuat kita tak perlu terlalu mencemaskan relevansi pelaku bom Mega Kuningan itu pada remaja kita umumnya!" tegas Umar. "Yang mungkin bisa jadi masalah justru, kelangkaan sistem sosial kita buat menangani remaja yang punya kelebihan, baik secara fisik, mental maupun kecerdasannya! Batasan usia masuk sekolah misalnya, di banyak sekolah terlalu ketat, padahal banyak anak usia tiga tahun di play group sudah bisa baca-tulis, yang kalau mendapat penyaluran tepat bukan mustahil usia 14 bisa lulus sarjana, atau malah seperti Hasan Al Banna, hafal Alquran!"

"Penanganan yang salah memang bisa membuat remaja punya kelebihan malah divonis nakal, lalu tersingkir ke kancah kekerasan, yang justru mendorong radikalisasinya!" timpal Amir. "Bisa saja, pelaku bom bunuh diri satu dari remaja punya kelebihan itu, akibat susah menempatkan diri di lingkungan yang tidak memahami kelebihannya, jatuh ke tangan yang lebih buruk!"

"Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada pemerataan kesempatan juga belum memadai dalam memfasilitasi keistimewaan di kalangan anak bangsa!" tukas Umar. "Bom bunuh diri dengan pelaku remaja dengan ciri-ciri istimewa jelas disayangkan, sekaligus menuntut kita lebih memahami remaja! Hanya dengan pemahaman sesuai, remaja tak terseret arus yang salah--jadi teroris!" ***
Selanjutnya.....

Gasing Politik Rekapitulasi Pilpres!

"DARI tadi kau putar tutup gelas selayak gasing!" tukas Umar. "Mau menebak soal apa?" "Mau tahu akhir gasing politik rekapitulasi hasil pemilihan umum presiden--pilpres!" jawab Amir. "Saksi dari pasangan capres Mega-Pro di sejumlah provinsi, seperti Lampung dan Sumut, tidak menandatangani hasil rekapitulasi KPUD!"

"Dengan tutup gelas bulat tanpa mata panah penunjuk begitu, kau putar terus pun tak akan menunjukkan arah tertentu!" tegas Umar. "Itu bisa berarti, diputar seperti apa pun gasing politik, hasil rekapitulasi pilpres akan tetap bulat seperti tutup gelas itu! Karena menurut Undang-Undang (UU), tanpa ditandatangani saksi dari capres pun hasil rekapitulasi KPU tetap sah! Jadi tak perlu pusing menebak arah gasing politik!"

"Kalau kekosongan tanda tangan saksi dari capres pada rekapitulasi tak mengurangi keabsahan hasil pilpres, syukurlah! Kita tak perlu khawatir pada kemungkinan buruk akibat ketiadaan tanda tangan saksi!" timpal Amir. "Tapi, kalau jelas ketentuan UU soal tanda tangan tak masalah, buat apa tak menandatangani rekapitulasi KPU?"
"Para saksi tingkat provinsi itu cuma menjalankan instruksi dari pimpinan nasionalnya!" tegas Umar. "Instruksinya, melaporkan semua masalah di daerahnya selama proses pilpres!"

"Itu lagi! Selain tak menandatangani rekapitulasi KPU, mengirim semua masalah dalam pilpres!" entak Amir. "Pasti ada gasing politik yang masih berputar! Perputaran gasing itu harus kita tebak!"

"Arah terjauhnya sebatas dinamika demokrasi, seperti minderheits nota, karena secara legal formal semua itu tak bisa membatalkan hasil pilpres!" tegas Umar. "Tapi harus diakui, segala bentuk catatan tentang kekurangan yang terjadi dalam proses pilpres itu amat penting bagi memperbaiki sistem pemilihan umum kita, hingga proses demokrasi negeri kita semakin mendekati kesempurnaan dari waktu ke waktu!"
"Kau terlalu positive thinking, segala sesuatu kau anggap semata menuju pematangan demokrasi!" tukas Amir. "Dengan itu kau lupa, sesuatu bisa jadi matang hanya jika ada penggodokan, penggorengan, pemanggangan, yang semua itu dihasilkan oleh suhu yang panas!"

"Soal suhu bisa panas di tahap akhir proses pilpres cuma ramalan intel, yang tugasnya memang harus melihat kemungkinan terburuk!" timpal Umar. "Ramalan itu tak mengalkulasi kedewasaan partai politik di negeri kita dalam berdemokrasi! Dengan kedewasaan partai politik kita dimaksud, pilihan jalan damai pasti diutamakan! Soal pilihan ini tak perlu diragukan! Pimpinan nasional partai politik belum terlalu gila kekuasaan, sehingga rela mengorbankan massa pendukung setia partainya hanya untuk melampiaskan ambisi politik di luar akal sehat! Artinya, suhu panas dalam gasing politik pematangan demokrasi hanya terjadi dalam dialektika!" ***
Selanjutnya.....

Mbah Surip, Melawan Kemapanan!

"TAK gendong ke mana-mana! Ha ha...!"Temin bergumam sambil jalan.
"Kau keranjingan lagu Mbah Surip?" tegur Temon."Enak, tau!" jawab Temin, masih dari lirik lagu Mbah Surip, Tak Gendong. "Meringankan beban pikiran! Tak perlu penghayatan!""Kenapa hal seperti itu sejak Mei 2009 seketika diterima secara massal oleh warga kita, sehingga Mbah Surip mendadak jadi idola?" kejar Temon."Mungkin karena otak rakyat mayoritas terlalu berat dijejali janji-janji kesejahteraan dalam kampanye pemilu, cuma menambah beban yang sudah sangat berat dalam hidup mereka, lagu Mbah Surip rupanya bisa membebaskan dari semua beban itu!" jawab Temin.

"Bayangkan muluknya janji kesejahteraan dari tatanan kehidupan yang serbaformal, ditimpali tontonan kemewahan sinetron televisi yang overekspose, padahal realitas hidup mayoritas rakyat semakin berat untuk lolos dari serbakekurangan! Sajian gaya hidup gembel menggelandang bebas dari Mbah Surip jadi lebih kena!"

"Maksudmu gaya hidup dan lagu Mbah Surip jadi alternatif bagi realitas hidup rakyat yang amat berat, sehingga diidolakan karena seburuk-buruk kehidupan pun sesungguhnya masih bisa dinikmati?" tukas Temon. "Dengan kata lain, tak perlu berpikir muluk-muluk mendambakan taraf hidup yang serbamapan, karena dengan apa adanya, bahkan gembel menggelandang pun tetap bisa menyenangkan! Maka itu, lepas semua beban pikiran untuk neko-neko, lupakan janji-janji muluk, karena setiap saat hangatnya gendongan (Mbah Surip) yang sederhana bisa dirasakan!""Enak to! Mantep to!" sambut Temin, lagi-lagi dari lirik Tak Gendong.

"Betapa, godaan untuk meraih kehidupan mapan itulah yang justru menjadi penyiksa mayoritas orang susah, membanting tulang dari rezim ke rezim untuk
menggapainya, tapi selalu kandas oleh kepalsuan janji politisi--yang setelah terpilih selalu lebih mengutamakan kepentingan dirinya saja! Lewat gaya slengekan-nya ternyata Mbah Surip membuat orang bisa menikmati yang tidak mapan, bahkan keluar dari pakem status sosial sekalipun!""Hal-hal yang keluar dari pakem formal menjadi alternatif masyarakat kita memang selalu terlihat, seperti dalam kasus dukun cilik Ponari!" tegas Temon.

"Dengan demikian, larisnya lagu dan penampilan Mbah Surip di televisi dan panggung hiburan bukan semata mengatasi kejenuhan dari sajian serbamapan, melainkan justru merupakan kebutuhan untuk jalan keluar dari iming-iming kemapanan yang overekspose--hingga tak akan pernah bisa dicapai oleh sebagian besar rakyat!

"Dengan begitu fenomena Mbah Surip mungkin bisa dipahami, standar hidup bukan semata bersifat elitis maupun teknokratis!" timpal Temin. "Gembel juga punya standar sendiri--kebahagiaan sejati tercapai dengan keinginan terbatas!!" ***
Selanjutnya.....

Sayuran Berserat versi Nenek!

NENEK ke rumah cucu membawa pisang dan sayuran sebagai oleh-oleh. Makan malam, bawaan nenek terhidang, genjer dan gambas--petula--tampil dalam hidangan berbeda!"Ayo dimakan, nenek pilih sayuran berserat tinggi!" ajak nenek."Dari mana Nenek tahu soal sayuran berserat?" sambut cucu."Di televisi kan sering disiarkan!" jawab nenek.

"Genjer itu alot seratnya, bisa tetap utuh sampai dikeluarkan dari perut! Sedang gambas, apalagi yang sudah tak terlalu muda seperti yang nenek bawa, seratnya sekuat sabut kelapa, hingga bisa dijamin kotoran dalam perut dan telur cacing akan tersapu bersih dibuatnya!"Cucu tercengang. "Tapi Nek, yang dimaksud serat pada buah dan sayuran di televisi itu bahan pelembut makanan untuk dicerna, sekaligus jadi pelicin buat pengeluaran kotoran dari perut! Jadi bukan serat seperti sabut penggosok karat dari lingkar sepeda!""Bahasa Inggris untuk serat yang kau maksud apa?" kejar nenek."Bahasa Inggrisnya fiber!" jawab cucu,"Lantas fiber optic atau serat optik untuk kabel multimedia bentuknya seperti apa? Apakah seperti pelunak atau pelicin batang panjat pinang?" entak nenek.

"Bentuk serat optik justru mirip sabut yang dipilin! Pabriknya pasti tak salah memberinya nama fiber atau serat!""Dalam bentuk wujudnya itu memang Nenek tak salah!" timpal cucu. "Tapi serat yang dimaksud pada buah dan sayuran bukan seperti itu!""Nenek paham apa yang kau maksud!" tegas nenek. "Tapi serat lunak saja tak cukup untuk membersihkan kotoran dalam perut, seperti inspektur daerah dan pusat maupun polisi dan jaksa yang terkesan lunak dalam membersihkan koruptor mirip cacing mengotori perut bangsa--menggasak sari makanan sehingga organ-organ bangsa yang sangat membutuhkan malah jadi serba kekurangan!"

"Cuma, bagaimana memasukkan sabut gambas ke dalam perut bangsa?" tanya cucu."Kan sudah dilakukan dengan perintah konstitusi membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi--KPK!" tegas nenek. "Jadi, KPK itu serat keras pembersih kotoran dalam perut seperti cacing yang licin dan terbukti sering lolos dengan pembersihan oleh serat lunak! Bukan berarti serat lunak tak penting, tetap penting, namun cuma membersihkan perut dari kotoran yang sesuai dengan sifat-sifat serat lunak! Sedang serat keras jelas, segala bentuk kotoran bisa dia jerat dan sapu bersih!""Akhirnya tahu juga aku maksud nenek" tebak cucu. "Agar perut kita bersih dari segala jenis dan bentuk kotoran, serat lunak dan keras digunakan secara saksama! Kalau serat lunak dan keras malah saling menghabisi, seperti gejala yang membersit, justru cacing dan segala kotoran jahat dalam perut yang pesta pora!" ***
Selanjutnya.....

Bom Teroris, Jangan Tebar Curiga!

"PENGAMAT teroris Asia Tenggara, Sidney Jones, memastikan di Metro TV (18-7), serangan bom ke Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton Jumat dilakukan teroris terkait jaringan Noordin M. Top, bukan elemen lain! Jadi bukan terkait pemilu yang masih diproses!" ujar Umar. "Penegasan Jones layak disimak, agar di antara sesama kita tak saling mencurigai, apalagi saling menuduh, hingga akibat teroris masyarakat kita malah jadi terpecah belah! Padahal, yang dihadapi adalah teroris sebagai musuh bersama seluruh bangsa!"

"Kalau ada yang terpancing dan menebar curiga, prasangka buruk di antara sesama warga bangsa, justru membuat usaha teroris untuk menciptakan kekeruhan, kekacauan, dan perpecahan dalam masyarakat Indonesia mencapai sasaran!" timpal Amir. "Juga mengait-ngaitkan serangan bom teroris itu dengan temuan intelijen terkait pemilu, karena yang terjadi justru akibat intel terobsesi pada ancaman terhadap pemilu, dan terbenam dalam paranoid obsesi tersebut, malah kebobolan serangan teroris!"

"Artinya, jangan pula masyarakat bangsa diseret ke dalam obsesi kalangan intelijen! Karena, ditarik dalam sejarah pemilu di Indonesia, obsesi itu jelas sangat berlebihan!" tegas Umar. "Lebih baik kita kembali ke realitas, masyarakat bangsa Indonesia semakin matang berdemokrasi, obsesi-obsesi sebaliknya cuma menyesatkan! Seandai nanti ada demo menolak hasil penghitungan KPU, misalnya dengan alasan DPT yang kacau, itu pun masih bagian dari demokrasi, karena kekacauan DPT juga kenyataan! Apalagi di sisi lain, sudah ada tokoh seperti Gus Dur yang secara terbuka menolak hasil pemilu!"

"Maka itu, kita hadapi terorisme sebagai musuh bersama--common enemy--masyarakat bangsa!" timpal Amir. "Intel-intel silakan merekam dan menganalisis ancaman dalam masyarakat, tapi alangkah baiknya jika setiap ancaman itu dibandingkan dengan realitas, sejauh mana perkembangan masyarakat kita dalam hal-hal tertentu--sejauh mana pula anomalinya, kalau ada! Tapi jelas, dalam masyarakat yang makin gandrung kedewasaan berdemokrasi sekarang, terlalu berlebihan diprediksi akan menempuh jalan revolusi untuk mencapai tujuan kekuasaan!"

"Pokoknya, daripada neko-neko dengan paranoid kekuasaan hingga mencurigai tanpa alasan rakyat sendiri sebagai ancaman serius bagi keamanan nasional, lebih baik kalangan intel berkonsentrasi memusatkan perhatian untuk melacak jejak para teroris yang masih menjadi ancaman nyata itu!" tegas Umar. "Sangatlah ironis, jika intelnya lebih sibuk menguntit gerak-gerik rakyat yang lantas disimpulkan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, sedang para teroris malah dibiarkan leluasa menyiapkan serangan!" ***

Selanjutnya.....

Bom Teroris Justru Satukan Rakyat!

"TERKUTUK! Bom teroris kembali mengguncang Jakarta, menewaskan banyak orang, warga kita dan warga asing di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton Jumat pagi!" tegas Umar. "Perbuatan tak kenal perikemanusiaan itu merupakan serangan terhadap rakyat Indonesia yang jadi terganggu keamanan dan ekonominya karena membuat turis dan penanam modal takut ke Indonesia!"

"Maka itu, kalau dengan serangan bom itu teroris ingin menimbulkan kekacauan dengan membuat rakyat takut, keliru besar!" sambut Amir. "Bom teroris itu justru mempersatukan rakyat! Seluruh rakyat pagar betis saling bersandar bahu berdiri di belakang Presiden menghadapi teroris! Berkat dukungan penuh rakyat itu, setiap kali teroris menyerang, selalu bisa diungkap dan ditangkap kepolisian Indonesia! Ini layak dibanggakan karena Amerika Serikat saja belum berhasil mengungkap pelaku teror 11 September 2001."

"Seperti peristiwa terakhir di J.W. Marriott dan Ritz Carlton, kepolisian di hari pertama sudah bisa memastikan itu serangan bom bunuh diri!" timpal Umar. "Berarti pelakunya ada di antara jenazah para korban, sehingga usai identifikasi bisa diurut komplotan dan otak serangan! Kita doakan agar polisi segera mendapat petunjuk sehingga cepat menggulung seluruh mereka yang terlibat!"

"Untuk mempercepat pengungkapan, satu hal harus dipegang teguh polisi, yakni benar-benar fokus pada pokok masalah!" tegas Amir. "Belajar dari kegagalan Amerika mengungkap pelaku sesungguhnya teror 11 September, karena tidak fokus--terlalu luas menebar kecurigaan pada setiap elemen umat, ternyata semua jalur yang ditelusurinya buntu! Untuk melampiaskan amarah karena harus ada yang bertanggung jawab atas serangan teroris itu, sarang teroris di Afghanistan jadi sasaran! Meski kemudian, setelah tokoh teroris dari seantero dunia dikumpulkan di Guantanamo, tak bisa dibuktikan keterlibatannya langsung pada teror 11 September!"

"Pengalaman itu layak jadi pelajaran!" timpal Umar. "Lebih-lebih saat seluruh rakyat bersatu di belakang pemimpin nasional dalam menghadapi teroris, jangan pula ditebar kecurigaan ke arah elemen-elemen rakyat sehingga akhirnya justru hanya menciptakan perpecahan sesama rakyat!"

"Pengalaman polisi dalam fokus menangani kasus teroris, jadi modal penting untuk mengungkap dan menggulung jaringan teroris yang melakukan serangan terakhir ini!" tegas Amir. "Untuk itu polisi agar tetap mengetatkan geraknya pada fokus, jangan biarkan pembonceng ikut dengan tujuannya sendiri, yang akhirnya bukan saja meruwetkan, melainkan juga menyesatkan penyidikan!"

"Dengan kesatuan tekad rakyat mendukung polisi, diharapkan ada keanehan di pelosok mana pun akan cepat diketahui polisi!" sambut Amir. "Rakyat pasti cepat melapor jika ada keanehan, daripada ketempuhan--terseret kasus bom!" ***
Selanjutnya.....

SBI, Sekolah Berstandar Instan!

"SBI, sekolah berstandar internasional, yang rintisannya dimulai sejumlah sekolah di Lampung, terkendala oleh komitmen pemerintah daerah terhadap perintah Undang-Undang (UU) Sisdiknas tentang penyediaan dana 30 persen dari Pemprov dan 20 persen pemkot/pemkab!" ujar Umar. "Bagi pemerintah daerah, terkesan SBI menjadi sekolah berstandar instan--anggarannya sukar dipenuhi pemerintah daerah karena harus diproses sesuai mekanisme yang ada, tak bisa serbainstan!"

"Lebih tak mungkin secara instan lagi, seperti kata pengamat pendidikan Dr. Arief Rachman, (Metro TV, 16-7) penetapan standar mutunya!" sambut Amir. "Mutu pendidikan hasil suatu proses, semua dimensinya dipenuhi dan dijalankan konsisten! Dari kalangan penyelenggara SBI di Lampung diketahui, masih sulit mendapatkan tenaga pengajar yang memenuhi standar!"

"Dua hal instan yang jadi kendala bagi SBI itu, anggaran dan mutu pendidikan, jelas bukan hal yang mudah diatasi!" tegas Umar. "Kekurangan anggarannya, jika diproyeksikan untuk ditutupi lewat pungutan terhadap wali murid, dengan fasilitas untuk memenuhi standar internasional yang tak sedikit, bisa terlalu berat dipikul orang tua murid! Karena itu, perintah UU agar biaya SBI 50 persen ditanggung APBN, 30 persen APBD provinsi, dan 20 persen APBD kota/kabupaten tetap harus ditagih! Desakan harus dilakukan, agar anggarannya dimasukkan dalam perubahan dan tambahan (PT) APBD!

"Demikian pula untuk memenuhi tenaga pengajar berkualitas!" timpal Amir. "Sekolah yang ikut SBI harus membuka lowongan terbuka untuk umum, mencari tenaga pengajar yang memenuhi syarat melalui seleksi terbuka! Seleksi tertutup yang tak bebas dari KKN bisa merugikan murid, sekaligus merugikan masyarakat yang membiayai SBI lewat mekanisme anggaran publik!"

"Tapi tak bisa ditutup-tutupi, semua itu memberi isyarat persiapan SBI di Lampung masih 'nabrak-nabrak!" tegas Umar. "Sejak awal, termasuk ke arah pemerintah daerah, sosialisasinya relatif kurang! Sehingga, dukungan kelembagaan yang sedemikian pentingnya dari pemerintah daerah, terasa jauh dari memadai!"

"Namun, untuk menunda, apalagi membatalkan pelaksanaannya di Lampung, sudah tak mungkin lagi!" timpal Amir. "Jadi, bagaimanapun adanya, harus tetap dijalankan, dengan reserve, kesiapan menerima kekurangan yang mungkin terjadi, lewat menjustifikasinya sebagai program rintisan! Meski bersamaan itu, usaha penyempurnaan dari segala seginya, khususnya dukungan pemerintah daerah, selalu diusahakan secara maksimal!"

"Tepatnya, meski seperti nasi telah menjadi bubur, tetap diusahakan agar buburnya tidak hambar!" tukas Umar. "Sebagai rintisan, diharapkan begitu pemerintah daerah menaati perintah UU, SBI bisa berjalan optimal!" ***
Selanjutnya.....

Soal Pengangkatan Guru Honorer!

"SELURUH pengangkatan tenaga honorer selesai tahun ini! Begitu ditegaskan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi!" ujar Umar. "Sekilas ucapan itu menggembirakan, karena bisa berarti semua guru honorer akan diterima menjadi PNS! Tapi kalau disimak lebih jauh, 2009 ini untuk tenaga honorer di seluruh negeri tersedia 78.576 formasi, padahal menurut data Persatuan Guru Honorer Murni (PGHM) di Lampung saja terdapat lebih 50 ribu orang guru honorer, justru kekhawatiran yang mencekam--bukan mustahil banyak guru honorer yang bakal terlewatkan dari pengangkatan jadi PNS!""Kekhawatiran itu memang bisa timbul dengan penegasan seluruh pengangkatan tenaga honorer selesai 2009!" sambut Amir.

"Sebab, formasi yang disediakan masih jauh lebih kecil dari tenaga honorer yang belum diangkat! Apalagi jika tenaga honorer dimaksud termasuk di daerah pemekaran yang jumlahnya cukup besar!""Maka itu, alangkah baiknya jika pembatasan waktu untuk pengangkatan tenaga honorer pada 2009 itu dikoreksi!" tegas Umar. "Bukan cuma guru honorer yang bisa khawatir bakal lebih sulit mengharapkan pengangkatan jadi PNS di masa depan, tapi juga banyak jenis tenaga honorer lainnya! Konon lagi pengangkatan tenaga honorer di lingkungan pemerintah daerah cenderung kian ramai, salah satunya justru dengan modus agar mendapat prioritas jika ada pengangkatan PNS!"

"Terpenting, bagaimana hak sama setiap tenaga honorer untuk diangkat jadi PNS tetap dijaga!" timpal Amir. "Semua menyadari kemampuan keuangan negara terbatas untuk mengangkat semua tenaga honorer sekaligus! Tapi de facto semua tenaga honorer--terutama guru--memang dibutuhkan pada tempat bertugasnya sekarang, menjadi dasar untuk tidak tergesa membatasi waktu pengangkatan bagi mereka!""Sejalan dengan itu, pembukaan jalur-jalur lain dalam penerimaan PNS jelas menggembirakan, seperti jalur sekretaris desa dan jalur umum, sejauh jalur-jalur lain itu tak mengurangi formasi pengangkatan tenaga honorer guru yang sebagian besar telah menunggu cukup lama!" tegas Umar.

"Pengangkatan jadi PNS merupakan tumpuan harapan terpenting bagi guru honorer yang rela berkorban menderita berkepanjangan dengan kebanyakan hanya menerima honor antara Rp200 ribu sampai Rp400 ribu per bulan!""Namun demikian, pernyataan Meneg PAN soal batas waktu pengangkatan tenaga honorer pada 2009 itu bisa dipahami!" sambut Amir. "Itu batas waktu mandat buat Kabinet Indonesia Bersatu! Tentu mandat baru lagi bakal diberikan untuk masa bakti kabinet berikutnya! Termasuk mandat untuk mengangkat tenaga honorer jadi PNS, yang mungkin tak akan pernah tuntas dilakukan!" ***
Selanjutnya.....

Serangan Balik Koruptor ke KPK!

"SEBAGAI masyarakat pecandu bola, berbagai cara permainan sepak bola juga menjadi bagian dalam bermasyarakat negara-bangsa! Misal, serangan balik koruptor ke Komisi Pemberantasan Korupsi--KPK!" ujar Umar. "Serangan balik itu tak sekadar membuat gol! Menurut Saldi Isra (Kompas, 14-7), serangan balik itu menjadi upaya membunuh KPK, sepertinya berjalan secara sistematis!"

"Ihwal yang bisa disebut sistematis mungkin seperti dalam RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tidak ada jaminan mempertahankan komposisi hakim ad hoc yang ada saat ini!" sambut Amir. "Lalu bola liar yang sedang menggelinding saat ini, yaitu usaha-usaha untuk melakukan kriminalisasi terhadap penyadapan yang dilakukan KPK! Malah dalam sistem yang akan dibangun ke depan dikesankan, metode-metode unggulan KPK dalam membongkar korupsi, seperti penjebakan lewat proses penyadapan, akan ditiadakan! Metode pencegahan yang terbukti gagal dari zaman ke zaman, akan kembali diunggulkan!"

"Tanpa hakim ad hoc dan teknik-teknik luar biasa dalam menyingkap korupsi itu, KPK memang bisa kehilangan rohnya!" tukas Umar. "Hingga, meski secara formalitas KPK nantinya masih ada, sosoknya telah kopong dari jiwa, sikap, dan sifat dasarnya! KPK bukan lagi super body yang ditakuti koruptor, tapi seperti macan sirkus yang jinak pada pawangnya!"
"Tapi apakah skenario dambaan koruptor itu bisa menjadi kenyataan? Tergantung arah pergumulan kepentingan yang masih akan terus berlangsung!" timpal Amir. "Meski yang terbaik adalah tidak berprasangka buruk, karena pada akhirnya akan selalu ada tokoh negarawan yang mampu untuk meluruskan kembali jalannya sejarah! Dalam hal ini, kalau pada masa terakhir ini bicara Presiden SBY yang kembali terpilih terkesan kurang jernih menyangkut kelembagaan pemberantas korupsi ini, mungkin hanya akibat terlalu lelah kampanye sejak pemilu legislatif dan pemilu presiden! Harapan tetap menggunung, pada saat yang amat menentukan nantinya, selaku negarawan SBY akan menempatkan KPK pada posisi semestinya kembali!"

"Harapan itu memang menjadi satu-satunya tumpuan menyelamatkan KPK, sekaligus misinya memberantas korupsi!" tegas Umar. "Lebih-lebih jika sampai batas waktunya DPR belum berhasil menyelesaikan RUU Pengadilan Khusus Tipikor menjadi UU, pada sisa waktu yang ada Presiden SBY harus mengeluarkan Peraturan Pengganti UU (Perpu) tentang Pengadilan Khusus Tipikor itu! Di situlah kejernihan pikirannya selaku negarawan dibuktikan! Diharapkan, saat itu segala bentuk serangan balik koruptor ke KPK dipatahkan! Bukan sebaliknya, harapan rakyat memberantas korupsi yang malah patah arang!" ***
Selanjutnya.....

Cicak Berani Melawan Buaya!

"SEBAGAI reaksi atas diulur-ulurnya koreksi UU Tipikor yang menguntungkan koruptor, serta terancamnya personel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadikan tersangka penyadapan terhadap seorang pejabat yang dicurigai terlibat kasus korupsi, tokoh-tokoh nasional antikorupsi bersama kelompok musik Slank mendeklarasikan gerakan Cicak--Cinta Indonesia cinta KPK--di Tugu Proklamasi, Jakarta!" ujar Umar.

"Deklarasi itu dilakukan dengan membentangkan logo bulat bergambar cicak dan buaya, dilingkari tulisan 'Saya cicak, berani lawan buaya!'"
"Kayaknya ada latar belakang sehingga koruptor digambarkan sebagai buaya dan KPK cuma cicak!" sambut Amir. "Sebab cukup aneh kalau KPK yang oleh konstitusi dibentuk sebagai superbody malah diidentifikasi sebagai cicak, sedangkan koruptor sebagai pesakitan dilambangkan dengan buaya! Dikotomi terbalik yang antilogis itu cenderung ditonjolkan sebagai sinisme, ketika para pejuang antikorupsi berusaha menyelamatkan personel KPK dari dijadikan tersangka kasus penyadapan!"

"Pokoknya deklarasi itu menamengi dari segala hal terkait gejala yang arahnya memperlemah KPK!" tegas Umar. "Dengan gejala yang cenderung dijalankan bukan secara head to head, tapi main samping dengan berbagai modus dan selubung, pilihan paling tepat menghadapinya jelas dengan gerakan yang tidak frontal, tapi lewat cara-cara seperti ditempuh cicak--dari tempat terlindung pun bisa menangkap mangsa di tempat terbuka!"
"Tapi cicak melawan buaya?" potong Amir.
"Dalam budaya Jawa, terutama wayang, sosok besar atau kecil tak menentukan kemampuan atau kesaktian suatu tokoh!" tegas Umar. "Sang Hiyang Wenang, atau Dewa Ruci, tampil dengan sosok kecil sekali pun! Tapi Bima yang tubuhnya sangat besar, ketika masuk ke liang telinganya, melayang di ruang yang luasnya tak bertepi!"

"Gambaran tentang tokoh kecil yang sakti begitu memang kena buat KPK!" timpal Amir. "Badan super dengan kewenangan dari konstitusi yang bebas menerobos semua lembaga negara dan pemerintahan itu organisasinya memang kecil, komisioner anggotanya tak sebanyak jari tangan yang utuh--tapi mampu menjangkau seantero Tanah Air! Itu membedakannya dengan lembaga negara atau pemerintah lain, yang organisasinya terdiri dari lebih banyak orang dengan sebaran anggota yang luas pula!"

"Cicak seperti itulah yang dideklarasikan berani melawan buaya!" tegas Umar. "Deklarasi itu selayaknya menjadi peringatan bagi buaya-buaya koruptor, tanpa kecuali yang memiliki taring dan rahang besar dan kuat! Karena, meski wujudnya hanya cicak kecil, ia adalah cicak harapan bangsa untuk menggulung habis semua buaya koruptor perusak negara secara moral maupun sosial yang menyengsarakan rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Koperasi, Saka Guru Kekuasaan!

"KENAPA sebagai amanat konstitusi koperasi tak kunjung berhasil menjadi saka guru perekonomian bangsa?" tanya Temin. "Seperti dewasa ini, setiap ada gejala krisis para ekonom khawatir modal asing lari meninggalkan negeri kita, karena jika itu terjadi perekonomian negeri kita rubuh!"
"Kekhawatiran para ekonom terhadap pelarian modal asing itu, sekaligus menawarkan kebijakan supaya bisa tetap menahan modal itu di dalam negeri, secara tidak langsung menunjukkan saka guru sebenarnya perekonomian negeri kita adalah modal asing!" sambut Temon. "Kalau yang kau tanyakan kenapa koperasi tak kunjung jadi saka guru ekonomi nasional, jawabnya karena skala usaha koperasi belum ada apa-apanya jika dibanding modal asing--baik dalam perputaran di pasar uang maupun dibanding skala usaha korporasi asing!
Bahkan dibanding skala usaha korporasi lokal, termasuk BUMN, koperasi cuma embel-embel--bisa bertahan hidup berkat dana 5% dari keuntungan BUMN tempat sandarnya!""Bukankah dari zaman ke zaman setiap penguasa selalu memprioritaskan pembinaan koperasi, dengan membentuk departemen khusus, diberi dana APBN berkesinambungan?" tukas Temin. "Dengan semua itu seharusnya koperasi mampu bersaing dengan korporasi, baik asing, BUMN, maupun swasta nasional! Tepatnya berdiri sama tinggi dan sama kuat dengan semua kekuatan lain itu, sebagai sesama saka guru perekonomian!""Idealnya memang begitu!" tegas Temon.
"Para penguasa juga menginginkan seperti itu, sebagai bukti sukses kepemimpinannya menegakkan konstitusi di bidang ekonomi! Apalagi, legitimasi setiap kekuasaan di negeri ini hanya mendapat justifikasi atau pembenaran jika menunjukkan kesungguhan membina koperasi! Akibatnya, sebelum ideal koperasi sebagai saka guru ekonomi nasional terwujud, koperasi selalu lebih dahulu menjadi saka guru kekuasaan! Tanpa ditopang komitmen pada koperasi, kekuasaan bisa kebilangan saka guru penopang legitimasinya!""Terpenting bagaimana koperasi tak cuma jadi saka guru kekuasaan, tapi benar-benar menjadi saka guru ekonomi nasional?" entak Temin."Berpikir rasional juga perlu!" tegas Temon. "Jika korporasi minta tanah diberi negara HPH ratusan ribu hektare, sedang koperasi cari satu hektare saja untuk jemuran gabah, harus beli tunai! Jadi, kata kuncinya, apa atau siapa yang mau dibuat jadi saka guru ekonomi nasional, ditentukan oleh penguasa!
Kalau penguasa mau membuat koperasi sebatas saka guru kekuasaannya, sekadar itu pulalah yang bisa kita terima!""Berarti koperasi masih sebagai cerminan rakyat yang selalu nrimo!" timpal Temin. "Ada subsidi pupuk lewat koperasi nrimo, subsidinya dihapus--seperti petani hortikultura-nrimo juga! Koperasi belum jadi sarana perjuangan rakyat, untuk sekadar usul pun, apalagi menuntut! Selanjutnya.....

Waspada, Flu Babi Mengganas!

"FLU babi, influenza akibat virus A-H1N1 merebak pesat! Menurut WHO, 100 ribu orang di 137 negara terserang, 440 orang tewas! (Kompas, 11-7) Di Indonesia sudah 52 orang terinfeksi, kini dirawat di berbagai rumah sakit!" Ujar Umar. "Malah, 200 warga Indonesia di Korea Selatan tertahan tidak bisa pulang ke Tanah Air karena dirawat untuk memastikan, termasuk 12 orang rombongan Elfa's Singer yang mengikuti Festival Musik Pop Se-Asia!"

"Dibanding flu burung (H5N1), flu babi lebih cepat dalam penularan antarmanusia!" sambut Amir. "Kasus di Indonesia, baru akhir Juni ditemukan pada turis asal Australia di Bali, kini banyak yang positif terinfeksi! Itu hanya setengah bulan!"
"Celakanya, meski merebak di Meksiko, penderita flu babi terbesar justru di negara maju, di AS sudah belasan ribu kasus, dan Inggris hampir 10 ribu kasus, 14 orang dilaporkan tewas Kamis lalu!" tukas Umar. "Artinya, kalau di negeri maju saja bisa bablas virusnya, konon lagi di negeri kita, bisa lebih parah! Seperti di Thailand, dalam tempo satu bulan saja lebih 3.000 kasus!"

"Tapi kenapa usaha pencegahan di negeri kita tak seserius waktu virus SARS dulu, cepat diberlakukan wajib pakai masker di bandara dan tempat umum lainnya!" timpal Amir. "Padahal, sama-sama virus yang tak terlihat! Juga, warga Indonesia yang terkena virus SARS dulu belum sebanyak yang positif terinfeksi flu babi sekarang!"
"Mungkin karena lebih tercekam oleh kesibukan pemilu presiden, canangan bahaya flu babi di dalam negeri bisa mengurangi popularitas yang juga diperkuat dengan jaminan rasa aman selama pesta demokrasi itu!" tegas Umar. "Karena itu, kita yang harus proaktif mengingatkan sesama warga agar waspada terhadap ancaman virus flu babi! Pokoknya, kalau terasa demam dengan panas yang tinggi, secepatnya ke dokter!"

"Menurut Wikipedia, wabah ini bermula 5 Februari 1976, tentara di Fort Dix, AS, menyatakan dirinya kelelahan dan lemah, esoknya meninggal dunia! Dokter menyatakan kematiannya itu disebabkan virus ini, seperti terjadi 1918. Presiden AS kala itu, Gerald Ford, diminta melakukan vaksinasi, tapi batal,"tutur Amir.
"Pada 20 Agustus 2007, virus ini muncul lagi menjangkiti seorang warga di Pulau Luzon, Filipina!" "Betapa jauh jarak dan waktu kemunculannya kembali?" entak Umar. "Apalagi terakhir muncul di Meksiko!"

"Kemisteriusan itu justru membuat kita harus lebih waspada lagi!" tegas Amir. "Terpenting disimak dari Wikipedia gejalanya, seperti demam, batuk, sakit pada kerongkongan, sakit pada tubuh, kepala, panas dingin, dan lemah lesu. Beberapa penderita juga melaporkan buang air besar dan muntah-muntah! Hal lain, karena wabah ini sudah menular manusia ke manusia, oleh WHO sejak 30 April 2009 namanya diganti bukan flu babi lagi, tapi influenza A-H1N1." ***
Selanjutnya.....

Menu Tambahan Gudeg dan Cubadak!

KALI pertama ke restoran hidangan nusantara, Edo sok tahu membaca menu dan menulis pesanan ketika Edi ke toilet. "Kau doyan gudeg, kan?" ia tanya Edo begitu Edi muncul. "Kalau tak doyan terlalu, aku saja bukan orang Jawa kangen!"
"Selain gudeg kau tadi pesan apa saja?" tanya Edi.

"Ini ada kutandai di daftar menunya!" sambut Edo. "Selain gudeg, juga kupesan gulai cubadak, jangan tewel, dan sayur gori!"
"Stop!" entak Edi. "Bawa kembali pesanan kami!"
"Kenapa?" sela Edo kecewa. "Kau tak pernah mau mencoba selera pilihanku, sekali saja pun!"
"Sebab yang kau pesan itu sejenis, semua dari nangka muda! Cuma namanya yang beda sesuai daerah asal menunya!" tegas Edi. "Gulai cubadak itu sama dengan jangan tewel alias sayur gori! Itu masakan Minang, di sana namanya cubadak! Kau satukan pula dengan gudeg!"

"Kupikir tadi sejenis gulai cula badak!" timpal Edo. "Tapi pesanan biarkan saja, meski sama-sama nangka muda, lain olahan pasti lain pula rasanya! Tambah saja ayam atau ikan goreng!"
"Oke!" sambut Edi. "Pelayan, tambah satu porsi ayam goreng! Ternyata, tambahan menu menjadi ide yang bagus!"
"Kenapa tambahan menu ide bagus?" kejar Edo.
"Soalnya gonta-ganti presiden pun bagi rakyat kebanyakan sama saja dengan makan gudeg ganti gulai cubadak, ganti jangan tewel dan sayur gori, yang dirasakan rakyat pada dasarnya tetap begitu-begitu juga!" jawab Edi. "Maka itu, kalau bakal begitu-begitu juga, ngapain susah-susah ganti presiden? Lebih baik yang sudah ada! Mungkin akan lebih baik bagi rakyat, selain olahan begitu-begitu terus, ada menu tambahan!"
"Jadi kau berharap agar presiden yang terpilih kembali memberi hidangan menu tambahan ayam goreng buat rakyat?" timpal Edo.

"Betul!" tegas Edi. "Jangan seperti Pak Harto, enam kali terpilih kembali jadi presiden, menu sajiannya dari gudeg ke gudeg terus! Lama-lama rakyat jadi bosan juga!"
"Ayam goreng kalasan, ya!" teriak Edo ke pelayan.
"Itu yang diinginkan rakyat!" sambut Edi. "Juga merupakan janji kampanye presiden yang terpilih kembali, mengurangi sajian-sajian berbau asing--dalam menangkis julukan diri dan pasangannya sebagai promotor neolib!"


"Menu tambahan itu sebaiknya dijadikan sajian pembuka masa dinas keduanya nanti, sekaligus diutarakan pada Pidato Kenegaraan 16 Agustus!" tegas Edo. "Dengan begitu rakyat kebanyakan mendapat suatu hidangan ekstra selain gudeg, cubadak, jangan tewel dan sayur gori yang disantapnya dari zaman ke zaman!"
"Rakyat kebanyakan tak terlalu berharap macam-macam! Mengingat janji pada mereka pun tidak!" timpal Edi. "Karena, meski menu tambahan selalu dijanjikan, bisa menyantap tiwul dengan sayur gori saja sudah syukur!" *** Selanjutnya.....

Menuju Monolitisme Kekuasaan!

"KATA orang, dahulu ini arena adu ayam!" ujar cucu. "Kakek puas dong makan daging jago!"
"Daging jago kalah tarung tak boleh dimakan!" tegas kakek. "Taji lawannya beracun!"
"Kasihan jago kalah tarung, dagingnya saja tak boleh dimakan!" timpal cucu. "Berarti jagoan yang baru kalah tarung juga bisa diperlakukan seperti itu, dianggap tak bertuah, lalu disingkirkan!"
"Kau bicara soal jagoan apa?" sergah kakek.

"Teringat dialog pengamat di televisi!" jawab cucu. "JK yang kalah tarung dalam pilpres itu mau disingkirkan oleh 'Trio A'-Akbar, Aburizal, Agung--dari ketua umum Golkar lewat musyawarah nasional dipercepat! Perahu Golkar mau dibawa merapat ke kubu SBY-Boediono!"

"Kalau pengamat itu benar, arena politik negeri kita menuju monolitisme kekuasaan!" tegas kakek. "Suatu kondisi tak jauh beda dengan era Orde Baru, ketika kekuasaan presiden didukung lebih 70 persen suara di parlemen!"
"Tapi itu kan perubahan dari parliament heavy, yang dikeluhkan selama ini, jadi executive heavy yang semestinya dalam sistem presidensial!" kilah cucu. "Maksudnya, dengan dukungan kuat di DPR, proses semua program presiden mulus!"

"Dengan dukungan seperti itu, pengalaman masa Orde Baru, parlemen cuma jadi stempel segala kepentingan eksekutif!" tegas kakek. "Akibat tak ada pengontrol efektif di parlemen, kekuasaan jadi monolitis--semua semata maunya presiden! Lain hal jika di parlemen ada penyeimbang, semisal selain PDI-P ada kekuatan lain sebesar Golkar sebagai oposan di luar kubu koalisi kekuasaan presiden yang 56% nantinya, proses pengambilan keputusan masih lebih kritis!"
"Selama ini malah cuma PDI-P yang oposan, kok bisa jadi parliament heavy?" kejar cucu.
"Meski cuma PDI-P yang formal beroposisi, partai-partai lain belum terikat koalisi permanen seperti ke depan ini!" tegas kakek. "Dengan ikatan koalisi mutakhir ini, mayoritas mutlak di parlemen bisa menjadikan tiga pilar kekuasaan utama, eksekutif, legislatif, dan yudikatif (yang disusun eksekutif dan legislatif) menjadi konspirasi monolitis!"

"Kemungkinan terjadinya monolitisme kekuasaan tiga pilar utama negara demokrasi itu sudah jadi pemikiran Thomas Jefferson dekade kedua kemerdekaan AS!" timpal cucu. "Maka itu, 1791 amendemen pertama konstitusi AS dilakukan, menetapkan kemerdekaan pers sebagai pilar keempat negara demokrasi! Sehingga, meski ketiga pilar berkonspirasi, tetap ada pers yang bisa mengontrol ketiga pilar tersebut!"

"Dalam suatu monolitisme kekuasaan, seperti era Orde Baru, ketiga pilar itu tak sulit menciptakan UU atau hukum membelenggu pers, dengan pembredelan!" tegas kakek. "Monolitisme amat sulit dicegah, kecuali penguasa yang pada sikap dasarnya memang demokratis berusaha keras mencegah sendiri terjadinya monolitisme pada kekuasaannya!" ***
Selanjutnya.....

Budaya Demokrasi yang Dinamis!

"SELAMAT! Jagoanmu, pasangan SBY-Boediono, menang!" seru Temin. "Hasil quick count Metro TV memastikan itu dengan perolehan suara SBY-Boediono 58,51%, disusul Mega-Pro 26,32%, dan JK-Win 15,18%. Juga, SBY-Boediono unggul di 25 provinsi, syarat pemilu selesai satu putaran!"

"Resminya masih menunggu perhitungan KPU!" sambut Temon. "Puji syukur kita, pemilu presiden berjalan lancar, aman dan damai di seluruh Tanah Air! Jika ada insiden kecil dalam pelaksanaannya di sana-sini, tak cukup berarti untuk mengurangi sukses pemilu! Tanpa kecuali, masa persiapannya penuh dinamika terkait kisruh nama ganda di DPT yang tak selesai sampai hari pencontengan!"

"Semua kekurangan dalam pelaksanaan pemilu itu kita jadikan pelajaran, untuk diperbaiki pada pemilu berikutnya!" tegas Temin. "Sedang pemilu damai yang berhasil diciptakan segenap elemen bangsa itu kita lembagakan sebagai budaya demokrasi yang dinamis! Suatu budaya di mana persaingan kepentingan masa kampanye selesai dengan diperolehnya pemenang pemilu, kembali menjadi satu keluarga bangsa yang mendukung sepenuhnya pemerintahan baru hasil pemilu! Sesuai peribahasa nenek moyang kita, biduk lalu kiambang bertaut! Kiambang itu gelombang air yang terbelah oleh haluan perahu!"

"Itu yang kita harapkan! Meski begitu, dukungan dimaksud dalam budaya demokrasi yang dinamis--sebagai proses membangun peradaban--masih perlu dipahami lebih jauh lagi!" timpal Temon. "Terutama kedinamisan luar-dalam yang terkesan masih asing! Dinamika internal (ke dalam) pada poros-poros kekuasaan di negeri ini cenderung direspons sebagai pengkhianatan, lalu dipecat atau PAW! Padahal internal kontrol, mengoreksi segala kelemahan dan kekurangan dalam suatu tubuh organisasi, amat diperlukan untuk tumbuh lebih sehat dan lebih sempurna! Sama halnya kontrol dari luar, langsung direspons sebagai musuh! Padahal, koreksi dari luar dan dalam itu bertujuan memperbaiki kekurangan dan kesalahan, hingga prosesnya mendorong untuk lebih sempurna bagi terciptanya peradaban demokrasi lebih maju!"


"Untung kau yang jagonya menang menyatakan itu!" tegas Temin. "Budaya demokrasi kita jelas masih perlu pengembangan dalam akomodasinya terhadap dinamika internal dan eksternal, guna terus meningkatkan kualitas secara esensial pengelolaan negara-bangsa! Jika internal kontrol dieliminasi, eksternal kontrol dinafikan, bisa terjadi political decay--pembusukan politik!"
"Dalam pembusukan politik, demokrasi tinggal formalitas! Sedang prosesnya dalam poros-poros kekuasaan cuma praktek otoriter!" timpal Temon. "Karena itu, budaya politik yang tidak dinamis bisa menjurus ke status quo, baik secara integral maupun terbatas pada poros-poros kekuasaan--praktek politik yang bertentangan dengan peradaban demokrasi sejatinya!" *** Selanjutnya.....

Hari Penentuan Nasib Bangsa!

"NASIB bangsa ke depan ditentukan oleh pilihan kita hari ini!" ujar Umar "Pengalaman empat dekade bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan, hasilnya hanya lebih dinikmati 20% warga kelas atas, dengan ketimpangan pendapatan menajam lebih dua kali lipat, dari Rasio Gini 0,18 pada 1971 menjadi 0,37 pada 2007." (Buras, 21-6-2009)

"Ketimpangan itu menajam secara drastis justru pada era reformasi, dari Rasio Gini 0,24 pada 1997 menjadi 0,37 pada 2007!" sambut Amir. "Secara absolut penajaman ketimpangan itu terlihat pada distribusi kue nasional (PDB), 40% penduduk berpendapatan rendah pada 2002 mendapat bagian 20,82%, pada 2007 turun menjadi 19,1%. Lalu 40 persen kelompok menengah pada periode sama merosot dari 38,89% menjadi 36,11%. Di lain pihak, 20% warga kelas atas naik dari 42,2% jadi 44,8%. Gejala itu jelas harus dihentikan, karena Rasio Gini tersebut makin mendekati angka 0,5, kondisi terburuk realitas sosial-kemanusiaan!"

"Jarak menuju 0,5 itu tinggal 0,13 poin, sama dengan rekor yang dicetak selama satu dekade reformasi!" tegas Umar. "Artinya, kalau model pembangunan selama reformasi ini dilanjutkan, dalam satu dekade ke depan bangsa Indonesia bisa sampai ke titik yang tak boleh terjadi itu! Tanpa kecuali, indikator makroekonomi tampak kian menggembirakan--bagi mereka yang selalu menikmati maksimal kue pertumbuhan ekonomi nasional--20% warga lapisan atas!"

"Maka itu, kepada setiap warga yang memiliki hak pilih, jangan sia-siakan hak pilihnya! Ramai-ramai ke TPS, tentukan masa depan bangsa, agar nasib anak-cucu kelak tidak lebih buruk dari mayoritas warga bangsa dewasa ini!" tegas Umar. "Jangan terpengaruh ikut golput, karena pilihan menjadi golput itu amat buruk akibatnya bagi tanggung jawab pribadi setiap warga terhadap nasib anak-cucu! Artinya, dengan menjadi golput itu sengaja menyerahkan masa depan anak-cucu pada orang lain yang belum tentu melakukan pilihan dengan akal sehat!"

"Dengan empat dekade pembangunan nasional hanya semakin membenamkan warga lapisan bawah pada kedalaman kemiskinan lebih dua kali lipat itu, menurut akal sehat, diperlukan model atau paradigma baru pembangunan!" timpal Amir. "Paradigma baru itu mungkin bisa dicari dari tawaran para capres dan cawapres selama kampanye! Tawaran mana yang paling diyakini mampu menghentikan laju penerjunan ke jurang Rasio Gini 0,5 satu dekade ke depan, itulah pilihan paling tepat untuk menyelamatkan anak-cucu dari kondisi terburuk pada zamannya kelak!"


"Namun, pasangan capres-cawapres mana yang paling mumpuni membawa bangsa menghindari jurang itu, sepenuhnya tergantung pada penilaian masing-masing!" tegas Umar. "Terpenting tidak golput, tetapkan pilihan dengan akal sehat dan doa, semoga Allah meridai pilihan bangsa!" *** Selanjutnya.....

Putusan MK pun Sisakan Masalah!

"MK--Mahkamah Konstitusi--memutuskan KTP bisa digunakan pemilih dalam Pemilu Presiden 8 Juli 2009!" ujar Umar. "Penggunaan KTP dalam pemilu harus dilengkapi kartu keluarga atau sejenisnya, di TPS sesuai alamat KTP, daftar di KPPS, hadir satu jam sebelum pemungutan suara ditutup!"

"Dengan keputusan MK itu hak konstitusional warga negara untuk memberikan suara dalam pemilihan umum telah dipulihkan!" sambut Amir. "Ini kemenangan rakyat yang sebelumnya hak pilihnya dikencundangi karena tidak masuk DPT! Salut pada MK telah meluruskan konstitusi, juga Refli Harun dan teman atas judicial review-nya!"
"Salut pada MK karena putusan tersebut sekaligus mengeliminasi kekhawatiran penolak penggunaan KTP untuk memilih, yang bisa disalahgunakan buat memobilisasi pemilih dari luar kawasan TPS!" tegas Umar. "Kekhawatiran itu dicegah dengan aturan hanya berlaku di TPS sesuai alamat KTP!"

"Namun, demi memupus kekhawatiran penolak penggunaan KTP untuk memilih, putusan MK itu menyisakan masalah--mereka yang bekerja atau belajar di luar daerah tak bisa memberikan suara di tempat kerja atau kuliahnya! Dengan waktu yang amat sempit, tak sempat lagi pulang untuk menconteng!" tukas Amir. "Tak ada gading yang tak retak! Apalagi retak itu menentukan kualitas, mengeliminasi kekhawatiran atas hal yang bisa lebih buruk akibatnya! Sehingga, masalah tersisa terkait tempat kerja atau belajar itu jadi bersifat teknis, sedang yang prinsipil, hak konstitusional warga negara, telah selesai dengan penetapan bisa menggunakan KTP untuk memilih di pilpres!"

"Meski MK telah menyelesaikan masalah bagi yang tak tercantum dalam DPT dengan penggunaan KTP, masih tersisa masalah terkait nama-nama yang tak berhak tapi tercantum dalam DPT--pemilih ganda, telah meninggal, pindah, serta anak-anak di bawah umur!" timpal Umar. "Memang, untuk itu KPU dan tim sukses ketiga kandidat mulai tadi malam telah merevisi daftarnya! Secara teknis, menghapus daftar nama anak-anak di bawah umur dari DPT bisa dilakukan komputer! Tapi terkait daftar orang yang telah meninggal dan pindah, hanya ketua RT setempat yang bisa memastikannya! Jadi, hasil kerja KPU dan tim sukses merevisi DPT cuma bisa dipandang positif terkait terbukanya KPU atas DPT untuk perbaikan--sebelumnya tertutup sekali! Sedang hasil efektif revisinya, tetap harus diikhlaskan jika masih ada kekurangan!"

"Terpenting dicatat, keterbukaan KPU atas DPT itu terjadi setelah ultimatum dua pasangan capres, Mega-Pro dan JK-Win dari Gedung Muhammadiyah Minggu malam, lalu dilurug kedua pasangan Senin pagi!" tegas Amir. "Jika desakan pers sejak jauh hari direspons KPU, seharusnya DPT jadi lebih baik! Menyedihkan, untuk melakukan yang seharusnya saja KPU perlu ultimatum!" *** Selanjutnya.....

Janji Temon seperti Janji Politisi!

TEMON yang tak bisa nyanyi, setiap ada organ tunggal selalu bersembunyi untuk menghindari permintaan agar dia menyanyi. Tapi pada suatu malam, saat ada organ tunggal, di depan teman-temannya dia berkata lantang, “Kalau malam ini aku tak diminta menyanyi, aku tidak pulang!”
“Tumben!” entak Temin terkejut. Dia dan teman-teman pun serentak mencari kertas dan pena untuk membuat request agar Temon menyanyi.

Tak lama Temon dipanggil pembawa acara untuk menyanyi. Dengan senyum Temon menghidupkan sepeda motornya dan bersiap pulang! Temin mengejarnya, “Kau tadi janji alau malam ini tak diminta menyanyi kau tidak mau pulang!”
“Betul!” jawab Temon. “Karena sudah diminta untuk menyanyi, berarti aku sudah bisa pulang! Aku tidak melanggar janji, kan?”
“Janjimu seperti janji politisi!” tukas Temin. “Secara logika tidak melanggar janji, tapi dalam praktek terjadi sebaliknya! Janjimu menyanyi, tapi dengan rasionalisasi jadi tetap logis meski tidak menyanyi!”

“Memangnya kita rakyat ini mau belajar dari siapa kalau tidak dari politisi?” timpal Temon. “Misalnya janji meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan parameter turunnya angka kemiskinan yang diukur dengan satuan konsumsi! Secara logika memang angka-angka parameter kemiskinan menurun, tapi penderitaan rakyat yang efektif dirasakan justru bertambah berat! Kenapa bisa begitu? Karena angka satuan konsumsi naiknya dalam dua tahun dari sekitar Rp169 ribu jadi Rp182 ribu atau tak sampai 10 persen! Padahal, harga beras pada periode sama naik dari Rp3.000 menjadi Rp5.500 alias lebih 70 persen! Konon lagi beras dan bahan pangan lain mengakomodasi lebih 60 persen konsumsi warga miskin!”
“Asumsinya beras itu produksi mayoritas rakyat petani, sehingga kenaikan harga beras dianggap menaikkan pendapatan petani!” tegas Temin. “Asumsi itu 100 persen betul dan logis buat petani kaya berlahan luas!” timpal Temon.

“Tapi bagi sebagian besar petani berlahan sempit yang di musim tanam sudah membeli beras, apalagi buruh tani yang membeli beras dari musim ke musim, peningkatan harga kebutuhan pokok menjadi peningkatan beban hidup yang beratnya sebanding dengan selisih persentase peningkatan harga satuan konsumsi yang di bawah 10 persen dengan peningkatan konsumsi nyata yang lebih 70 persen! Itu lebih dekat pada pengukuran kemiskinan dengan Rasio Gini” (Buras, 21-6-2009).

“Begitulah janji politisi, secara logis dengan angka-angka kuantitatif terlihat adanya peningkatan kesejahteraan rakyat, tapi secara kualitatif yang dirasakan warga miskin beban hidup justru terasa semakin berat saja!” tegas Temon. “Dengan logika angka-angka itu politisi memang terkesan tidak melanggar janji—seperti janjimu untuk menyanyi yang tetap logis meski kau tidak menyanyi!” ***
Selanjutnya.....

DPT, Cermin Kemunduran Bangsa!

"KEMBALI bermasalahnya daftar pemilih tetap--DPT--pilpres, seperti tayang ulang kisruh DPT pemilu legislatif!" ujar Umar. "Pengalaman ketua RT 17 Sumur Batu, Telukbetung Utara, yang bersama warganya proaktif dalam perbaikan DPS dengan mendaftarkan 46 warga yang belum masuk DPS, yang diakomodasi DPT cuma 16. Istri ketua RT jadi satu dari 30 warga yang tak masuk DPT!"

"Dari laporan media, tayang ulang serupa terjadi setidaknya di 16 provinsi! Hal itu menunjukkan, sebagian besar aparat publik negeri kita tak mau belajar dari kesalahan, hingga kesalahan sama berulang!" sambut Amir. "Dilihat dari pemilu-pemilu sebelumnya, terutama 1999 dan 2004 yang sama-sama di era reformasi, kesalahan serupa tak terjadi! Tapi kini, setelah kesalahan di pemilu legislatif tak berhasil diperbaiki di pilpres, tecermin realitas bangsa kita mengalami kemunduran!"
"Tapi, di mana letak pangkal kemunduran itu?" kejar Umar.
"Kita urut saja pangkal tolak perjalanan DPS dari pemilu legislatif ke pilpres !"
jawab Amir. "DPS diterima KPU pusat dari Departemen Dalam Negeri, dihimpun dari Dinas Kependudukan kabupaten/kota se-Tanah Air! Oleh KPU Pusat, DPS dibagikan ke KPU daerah--artinya kembali ke daerah asal daftar tersebut! Menurut penelusuran Ari Darmastuti, dosen FISIP Unila, daftar penduduk itu bertahun-tahun tak di-up date instansi kependudukan kabupaten/kota! Ketika daftar basi itu dijadikan DPS, jelas kacau! Revisi DPS seperti itu ke DPT jadi tidak mudah!"

"Ketika warga dan aparat desa melakukan revisi dengan nama warga yang belum masuk DPT, seperti warga Sumur Batu tadi, kan seharusnya bisa jadi kesempatan perbaikan daftar penduduk tersebut!" timpal Umar.

"Kalaupun daftar tambahan warga yang berhak memilih itu diakomodasi, tetap saja daftar yang mati, pindah dan lahir tak ter-up date!" tegas Amir. "Daftar penduduk yang tidak di-up date secara on time setiap terjadi perubahan, dalam waktu tak terlalu lama saja susah dirunut untuk merevisi kejadian RT per RT se-kabupaten! Konon lagi data itu bertahun-tahun tak di-up date!"

"Lalu apa yang dikerjakan para pegawai instansi itu selama bertahun-tahun?" entak Umar.
"Jangan berpikir negatif, memvonis mereka bertahun-tahun cuma makan gaji buta!" sambut Amir. "Mungkin karena pekerjaan tersebut tak sempat ditangani, akibat para kepala daerah keranjingan mutasi, sehingga orang yang tidak paham administrasi kependudukan ditempatkan di instansi itu! Ketika baru mulai belajar, keburu dimutasi lagi! Pekerjaan pun terbengkalai!"
"Berarti pangkal kemunduran itu terletak pada kepala daerah yang keranjingan mutasi!" tegas Umar. "Akibat pesatnya mutasi, kebanyakan aparat jadi the wrong man on the wrong placed! Daftar kependudukan produknya pun kacau!" *** Selanjutnya.....

Semua Baik, Pilih Capres Terbaik!

"INI hari terakhir para calon presiden (capres) kampanye!" ujar Umar. "Mulai besok selama tiga hari, pada masa tenang, kita putar ulang semua memori tentang ketiga capres dan cawapres baik penampilan dan janjinya selama kampanye, maupun track record mereka satu per satu untuk membulatkan hati saat memilih di hari 'H', 8 Juli!""Pada dasarnya semua capres baik, bisa diberi nilai minimal delapan!" sambut Amir. "Dari renungan masa tenang diharapkan menemukan nilai tambahan, untuk bisa diberi nilai lebih baik atau sembilan!
Setelah itu putar kembali memori untuk mencari yang terbaik, nilai 10!""Nilai 10 atau sempurna cuma milik Tuhan!" tegas Umar. "Manusia selalu punya
kekurangan, hingga nilai terbaik bagi manusia mungkin cuma 9,9! Atau, kalau yang lain cuma bisa dapat sembilan, nilai 9,1 juga sudah jadi yang terbaik!""Menurutmu siapa yang terbaik?" tanya Umar."Tergantung dari sisi mana memandangnya!" jawab Amir. "Dari sisi kesetaraan gender, tentu orang bisa menyatakan Mega yang terbaik! Dari sisi prajurit kesatria yang pintar, tentu SBY yang terbaik! Jika dilihat dari sisi pengusaha ulet yang banyak akal, JK pula yang terbaik!
Maka itu, serahkan saja pada masing-masing orang menentukan pilihan mana yang terbaik sesuai persepsi nilai yang dominan pada dirinya!""Model pilihan seperti itu cuma berlaku pada kalangan independen!" timpal Umar. "Dan orang independen mungkin minoritas!
Sedang mayoritas lainnya, justru partisan yang kebanyakan cuma ikut pilihan pemimpin partainya! Kaum partisan yang mayoritas itu sebagian besar menapikan penilaian pribadi, manut grubyuk lazimnya massa, pejah-gesang nderek hidup-mati ikut--pilihan pimpinan partainya!""Fanatisme seperti itu memang ada pada massa partisan negeri ini!" tegas Amir.
"Tapi pilihan pada ketokohan figur calon, tetap tak bisa disepelekan! Pada faktor ketokohan figur calon inilah, seperti pengalaman dalam pilkada, subjektivitas pemilih menjadi penentu! Di luar massa fanatis partai, kalangan yang simpatisan partai atau berikatan lebih longgar lagi dengan partai, akan lebih menilai lewat ketokohan tersebut! Pemilih jenis ini juga bisa menentukan kemenangan, jadi penguat massa fanatis yang telah ada!""Kalau begitu, karena semua capres dan cawapres punya massa pendukung fanatis tapi masing-masing jumlahnya belum bisa menjadi pemasti kemenangan, arah suara nonpartisan justru yang bakal jadi penentu hasil akhirnya!" timpal Umar. "Di masa tenang, golongan ini sulit dipengaruhi!""Karena itu, klaim-klaim kalangan tim sukses bisa saja meleset!" tegas Amir. "Apalagi kalau pilihan diputuskan dari hasil istikharah, cuma Tuhan yang bisa memastikan pemenangnya! Maka itu, ojo dumeh! Jangan gegabah!" *** Selanjutnya.....

RSBI, Tak Siap Bisa Antiklimaks!

"RSBI--rintisan sekolah berstandar internasional, dengan tujuan baik sekalipun, kalau dilaksanakan dengan tidak benar-benar siap tenaga pengajar dan fasilitasnya, bisa berujung antiklimaks!" ujar Umar. "Proses belajar-mengajar di RSBI memakai pengantar bahasa Inggris, dengan kemampuan guru tidak betul-betul clear untuk dipahami murid, transfer of knowledges yang dilakukan tidak maksimal! Apalagi kalau peserta didiknya lebih ditentukan oleh kemampuannya membayar, bukan diutamakan pada kemampuan bahasanya!"

"Itu baru satu segi dari faktor bahasa! Dengan itu saja, kuantitas dan kualitas transfer ilmu di kelas berbahasa Inggris bisa lebih rendah dari kelas bahasa Indonesia!" timpal Amir. "Akibatnya, dari proyeksi berstandar internasional, dibanding kelas berbahasa Indonesia saja kualitas ilmunya lebih rendah, hasilnya bisa antiklimaks--bukan standar kualitas internasional, tapi malah kelas kambing!"

"Anak-anak sekarang belum tahu kelas kambing! Itu tempat duduk paling depan di bioskop zaman dahulu, tempatnya paling rendah, menontonnya dengan wajah mendongak!" tegas Umar. "Itulah kira-kira gambaran anak-anak di kelas RSBI, jika persiapannya tak betul-betul matang, mendongak terus mendamba kualitas yang terlalu tinggi!"
"Bahkan masih dalam faktor bahasa pengantar, setiap cabang keilmuan memiliki kekhasan bahasa dengan idiom-idiom tersendiri!" sambut Amir. "Jika disampaikan dengan bahasa umum, bisa terjadi penyimpangan pengertian! Alhasil, ilmu yang diajarkan tidak standar!"

"Celakanya, dengan RSBI masa belajar di sekolah sampai sore, menutupi kekurangan itu para murid tak ada waktu lagi untuk les tambahan, apalagi kalau harus mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah!" tegas Umar. "Semua itu wanti-wanti buat sekolah yang sebenarnya belum siap untuk mengikuti program RSBI! Karena di sisi lain, juga ada sekolah yang sudah sejak jauh hari berbenah menunggu kesempatan baik ini! Yang bisa disebut relatif siap itu bukan cuma sekolah di kota Bandar Lampung! Di Kotabumi, misalnya, malah sejak lama ada SMK berstandar internasional yang dapat pengakuan nasional maupun mitranya di luar negeri--meski sekolah itu tak masuk daftar RSBI! Atau di Gadingrejo, sejak lama ada SMA punya laboratorium multimedia yang operasionalnya atas bantuan kerja sama BCA!"

"Untuk itu, yang terbaik mungkin pengelola pendidikan di Lampung lebih selektif dalam memberikan izin RSBI! Selain agar tidak cuma membebani orang tua murid, bantuan pusat dan provinsi seperti dijanjikan UU juga bisa lebih efektif hasilnya!" tegas Amir. "Artinya, kalau cenderung masih coba-coba,
lebih baik berbenah dulu untuk menyusul periode berikutnya! Jangan korbankan murid untuk coba-coba!" *** Selanjutnya.....

Usaha Pemerintah Amputasi KPK!

"USAHA pemerintah mengamputasi wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya terbuka!" ujar Umar. "Pada draf RUU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disusun pemerintah, sebagian dari sekurangnya 15 poin kelemahan draf RUU itu memgurangi wewenang KPK, sehingga mendelegitimasi dan mengancam pemberantasan korupsi di Indonesia!"(MI, 1-7)

"Wewenang apa saja yang diamputasi?" sela Amir.
"Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), di antara wewenang KPK yang diamputasi adalah untuk penuntutan dan penyadapan!" jelas Umar. "Jadi wewenang KPK hanya sampai penyidikan! Sedang eksistensi Pengadilan Tipikor tak disebut secara jelas dan tegas dalam RUU tersebut!"
"Berarti iklan yang menyebutkan pemerintahan sekarang antikorupsi cuma retorika!" timpal Amir. "Boleh tahu 15 kelemahan RUU itu?"
"Kenapa tak boleh?" sambut Umar. "Satu, tidak mencantumkan ancaman pidana minimal! Dua, masa kedaluwarsa (hapusnya penuntutan) 18 tahun! Tiga, korupsi di bawah Rp25 juta, pelaku menyesal dan mengembalikan uang korupsi tidak dituntut pidana! Empat, pengadilan tipikor tidak disebutkan jelas dan tegas! Lima, kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan! Enam, ada ancaman pidana bagi pelapor palsu, terlapor berpotensi melaporkan balik pelapor! Tujuh, korupsi oleh advokat hanya dijerat dengan kode etik! Delapan, pembekuan rekening tidak diatur! Sembilan, pengelolaan aset hasil korupsi tidak diatur! 10, pembatalan kontrak akibat korupsi tidak diatur! 11, penyertaan, percobaan, dan permufakatan korupsi tak diatur! 12, penyadapan tidak diatur! 13, peran serta masyarakat terbatas, dan terkesan copy paste UU korupsi yang lama! 14, kewajiban pelaporan kekayaan tidak diatur! Dan 15, penahanan tidak diatur!"

"Dengan masih banyaknya anggota DPR yang terancam tindakan KPK, dari kasus aliran dana BI baru Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdu yang dipidana, juga kasus hutan Tanjung Api-api, sampai penerima suap seleksi Wakil Gubernur Senior BI, masing-masing kasus bisa melibatkan anggota DPR per komisi, layak diragukan
draf itu akan mendapat koreksi yang kritis dari DPR!" tegas Amir. "Memang, setelah diundangkan masih bisa dikoreksi lewat Mahkamah Konstitusi (MK), tapi selain hasil ke MK belum bisa dipastikan, kerepotan judicial review bisa menguras daya-upaya dan waktu! Masalah intinya jadi, kenapa pemerintah bersikap yang bertentangan dengan arus zaman dalam pemberantasan korupsi?"

"Soal sikap pemerintah itu maupun DPR nantinya, biar rakyat menilainya sendiri!" timpal Umar. "Kita cuma heran, kenapa pemerintah membawa bangsa menyusuri jalan melingkar ke belakang, kembali ke masa lampau yang buruk?" ***
Selanjutnya.....

Polisi Belum Akrab dengan Rakyat!

"TRANSISI kelembagaan Polri dari jajaran militer ke aparat sipil tampak masih menyisakan agenda penting dalam pelaksanaan fungsi utamanya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat!" ujar Umar. "Sukar dibantah polisi masih belum akrab dengan rakyat! Banyak orang lebih takut pada polisi daripada begal--hingga menghindari jalanan ramai karena bisa ketemu polisi, dengan memilih jalan sepi meski tahu sering ada begal!"

"Kecenderungan itu membuat polisi sebagai pelindung dan pengayom pembawa payung untuk rakyat, tapi rakyat yang harus dipayungi berada di sisi lain jalan!" sambut Amir. "Bukannya polisi dan rakyat tak sering bertemu! Acap kali pun bertemu! Cuma,
dalam posisi berhadap-hadapan, atau malah bentrok--saat mahasiswa atau rakyat demo karena lapak dagangannya digusur! Pada kondisi seperti paling sering tampil dalam tayangan berita televisi itu, polisi masih lebih tampak militeristik ketimbang aparat sipil!"

"Memang, tak mudah berempati--menempatkan diri dalam situasi dan kondisi (berpihak pada) rakyat yang tengah bangkit kesadarannya akan hak-haknya berkat dorongan proses demokrasi!" tegas Umar. "Tapi keduanya sama-sama datang dari kandungan reformasi--pensipilan polisi dan kegandrungan demokrasi--seyogianya tak harus ada kontroversi di antara kedua elemen, apalagi sampai seperti minyak dengan air begitu!"

"Harus diakui, di pihak rakyat ada euforia dengan demokrasi! Dalam euforia itu, demokrasi dipahami sebagai kebebasan yang (nyaris) tanpa batas!" timpal Amir. "Di sisi lain, polisi juga dalam transisi menuju civil society, reposisinya belum pas betul sebagai bagian dari demokrasi! Padahal, dalam civil society peran sentralpolisi melindungi dan mengayomi agar demokrasi berjalan sebaik-baiknya! Kedua hal itu harus sama-sama didalami kedua pihak, rakyat dan polisi! Rakyat perlu menyadari demokrasi harus berjalan dengan aturan main--hukum! Seiring dengan itu, polisi juga harus menyadari, aturan main atau hukum akan berjalan dengan baik jika demokrasi--proses pemenuhan hak-hak rakyat--bisa dilaksanakan! Komitmen polisi pada pemenuhan hak-hak rakyat itu sikap dasar--tak cuma mencapai tata tentrem, tapi harus lengkap dengan kerta raharja!"


"Komitmen dan orienntasi mewujudkan tata tentrem kerta raharja itulah yang mengharuskan polisi bukan saja akrab dengan rakyat, melainkan harus menjadi bagian dari rakyat!" tegas Umar. "Untuk itu, di negara maju polisi tak tinggal di asrama, tapi di apartemen bersama warga! Di sini, sebaiknya mereka yang tak bakal promosi pindah daerah diberi fasilitas tinggal di perumahan BTN atau perkampungan bersama warga, dipencar hingga tanpa patroli pun polisi ada di mana-mana! Dengan begitu tanpa perlu berempati, polisi telah menjadi bagian dari warga, akrab dengan rakyat! Dirgahayu bhayangkara rakyat!" *** Selanjutnya.....