Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Sumpah Pemuda Defisit Karakter (4)

"Realitas defisit jiwa revolusioner sebagai karakter patriot warisan Sumpah Pemuda telah membuat bangsa kita semakin jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain dalam persaingan global, juga ke depan jika tidak segera diatasi!" tegas Temon.

"Hal itu tak terlepas dengan orientasi masyarakat global dalam pencapaian prestasi achievement--menurut kamus online, berarti: a great or heroic deed; something accomplished by valor--tindakan yang hebat atau heroik, suatu yang dicapai dengan keberanian! Maka itu, kalau dalam persaingan global yang digerakkan oleh achievement seperti itu kita mau ngapain saja serbaragu, takut risikonya, jelas kian terpuruk dalam persaingan global!"

"Untuk mengatasi defisit karakter itu, tampak potensi yang tersisa untuk memarakkan
kembali!" saran Temin. "Khususnya, potensi yang masih membara dalam perjuangan mahasiswa, memerlukan reinterpretasi justru dari kalangan berkuasa, untuk tak lagi menghadapinya dengan kekerasan hingga seperti kekuasaan penjajah menghabisi pejuang republik! Sebaiknya, simak seksama substansi perjuangan mereka, misalnya kritik pada penyelewengan! Jadi, penyelewengan itu yang harus ditindak, bukan mahasiswa pemrotes penyelewengan yang malah digebuki!"

"Tepatnya, kebenaran dalam menerapkan hukum akan menjadi promotor memarakkan kembali karakter perjuangan Sumpah Pemuda, sekaligus menghindarkan patriotisme kaum muda menjadi anarki karena digelorakan dengan kekerasan oleh penguasa!" tegas Temon.
"Kuncinya, pihak berkuasa menjalankan hukum dengan benar!" Bukan malah melindungi penyeleweng dan pelanggar hukum dengan segala rekayasa, lantas menindas perjuangan moral kaum muda!"

"Jiwa revolusioner yang mengaktualkan karakter berani mengambil risiko dan pantang menyerah itu lazim disebut dengan patriot, tak bisa ditawar-tawar lagi kebutuhannya bagi generasi pembaru dalam menghadapi persaingan era globalisasi!" tegas Temon.

"Jadi, kalau sikap patriot yang revolusioner masa itu dibutuhkan untuk memerangi dan mengusir bangsa asing yang menjajah, sekarang dibutuhkan untuk bersaing sehat--seperti dalam dunia olahraga, agar bangsanya tak terus terbelakang dan menjadi budak asing dalam versi kekinian!"

"Hal itu membuat sikap patriot kekinian juga tak lepas dari sifat revolusioner, sesuai makna revolusioner itu sendiri--gandrung perubahan cepat!" timpal Temin. Generasi pembaru harus bisa memacu perubahan, untuk bisa mengejar ketertinggalan bangsanya dari bangsa-bangsa lain! Untuk mempercepat perubahan itu diperlukan sikap patriot, berani mengambil risiko dan pantang menyerah! Kalau tak berani mengambil risiko, kena gerimis saja masuk angin lantas menyerah, jangan harap mampu menggerakkan perubahan!"
Selanjutnya.....

Sumpah Pemuda Defisit Karakter! (3)


"SEBAGAI bangsa yang lebih 30 tahun menjalani brain washing--cuci otak--dengan sistem yang menjustifikasi apa pun yang datang dari penguasa sebagai yang terbaik, dengan karakter ideal jadi Pak Turut atau Kang Panut, bisa merasa aneh sendiri jika suatu saat watak asilinya--yang revolusioner--muncul, seperti terjadi saat euforia reformasi!" tegas Temon. "Itu karakter yang dari generasi ke generasi dipendam dengan diinjak oleh penguasa feodal domestik, digilas mesin kekuasaan penjajah asing, lalu dikadali penguasa otoriter atas nama kemerdekaan!"

"Memang orang bisa terkejut sendiri ketika tiba-tiba karakter asli yang berfitrah egaliter, semua makhluk sama di depan Tuhan yang membedakan cuma amal perbuatannya, merasa tersinggung ketika diri atau kaumnya diremehkan (beramai-ramai menyerbu kantor aparat pelakunya), atau marah ketika milik mereka diambil tanpa izin--malingnya dibakar hidup-hidup!" sambut Temin. "Karakter asli yang bangkit dari segala bentuk pengerdilan nan membuatnya minderwardigheits complex--rendah diri! Jelas, jiwa revolusioner seperti pendorong Sumpah Pemuda merupakan satu-satunya alternatif yang mampu menggugah dan membangkitkan karakter asli sebagai insan merdeka yang egaliter--menyingkirkan segala bentuk pertuanan yang memperbudaknya!"

"Adakah dengan karakter asli manusia merdeka yang egaliter itu sistem sosial bisa terkendali, tak hilang keseimbangan?" potong Temon.
"Justru seperti sistem alam semesta jika gravitasi semua planetnya terjaga pada kapasitasnya, jagat raya akan selalu terjaga dalam keseimbangan! Tanpa kecuali, jumlah planet di semesta lebih banyak dari pasir di muka bumi! Demikian pula manusia sebagai planet-planet dalam semesta sosial!"

"Masalahnya, sekalipun di negeri koboi dengan karakter sangat keras, jika sistem hukum mampu menjaga setiap hak warga dari gangguan siapa pun, setiap anomali atau penyimpangan perilaku ditindak, sistem sosial dalam masyarakat revolusioner juga akan bisa selalu terkendali!" tegas Temin. "Sikap revolusioner itu diperlukan agar manusia tidak pasrah secara fatal pada nasib malangnya, sehingga akan selalu aktif dan agresif berusaha memenuhi kebutuhannya, bahkan pursuit the happiness--memburu kebahagiaan--sebagai hak setiap warga negara! Hukum yang selalu menjaga, lewat sistem yang efektif, agar segala usaha itu tak merugikan orang lain!"

"Tanpa disadari, itulah masyarakat liberal, yang bentuk mutakhirnya (neolib) melalui ratifikasi berbagai perjanjian internasional secara formal sistemnya telah diadopsi oleh negara, baik lewat ekonomi maupun politik!" timpal Temon. "Maka itu, jika karakter revolusioner sebagai prasyarat berpartisipasi dalam sistem itu tidak diamalkan, kita seperti kambing ditempatkan sekandang dengan singa--cuma jadi mangsa belaka!"
Selanjutnya.....

Sumpah Pemuda Defisit Karakter! (2)


"API karakter dimaksud jelas jiwa revolusioner!" tegas Temin. "Betapa tinggi jiwa revolusioner Bung Karno dan kawan-kawan berani melaksanakan Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, bisa dilihat dari prolognya! Tahun 1926, ratusan atau ada yang menyebut ribuan pejuang dibunuh dan ditangkap oleh penjajah Belanda akibat pemberontakan PKI! Setahun kemudian PKI dinyatakan sebagai partai terlarang! Dalam situasi yang mencekam dengan ancaman kekejaman Belanda menyapu bersih aktivis yang terlibat menentang penjajah, Bung Karno dan kawan-kawan melihat kekosongan Tanah Air dari gerakan aktif melawan penjajahan, justru mendirikan Partai Nasional Indonesia--PNI. Gerakan ini, bersama seluruh komponen pemuda pejuang negeri ini, efektif melakukan akselerasi--percepatan--langkah perjuangan, hingga hanya dalam satu tahun melangsungkan Kongres Pemuda, melahirkan Sumpah Pemuda yang menyatukan semua suku, agama, golongan menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa--menetapkan Indonesia Raya dan Merah Putih sebagai lagu dan bendera kebangsaan!"

"Selanjutnya dengan jiwa revolusioner sebagai api karakter Sumpah Pemuda itu pula para pemuda dan segenap bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan!" timpal Temon.
"Semua bukti itu membuat Bung Karno terobsesi oleh jiwa revolusioner--dengan intinya berani dan pantang menyerah-- yang harus dipelihara dan dibangun sebagai karakter bangsa Indonesia merdeka! Tak kepalang, Bung Karno memegang teguh obsesinya itu meski jatuh dari kekuasaan!"

"Namun layak diakui, jiwa revolusioner yang mendasari karakter pemuda berani dan pantang menyerah itu belum sepenuhnya habis di negeri kita!" tegas Temin.

"Contohnya, hampir setiap hari kita menyaksikan di televisi aksi-aksi mahasiswa memrotes penyelewengan dan sebagainya, dilakukan dengan keberanian dan semangat pantang menyerah! Kalaupun belakangan terlihat dilakukan sporadis dengan kasus lokal, itu justru merupakan pemeliharaan denyut keberadaan jiwa revolusionernya, untuk saat ada isu nasional yang besar, seperti Mei 1998, gerakan mahasiswa bahkan mampu menggulingkan sebuah rezim yang amat kokoh!"

"Masalahnya, peringatan Sumpah Pemuda masih selalu terkerangka dengan acara terkait penguasa yang dilakukan secara formalistik, maka tak aneh jika terasa defisit karakter pemuda!" tukas Temon. "Artinya, karakter kaum muda warisan Sumpah Pemuda sebenarnya masih hidup, meski terbenam di bawah karakter dominan yang penuh kepura-puraan! Saat pemberantasan korupsi tuntas dan kepura-puraan habis, karakter asli bangsa dari Sumpah Pemuda itu akan mencuat--karakter setiap warga seperti Bung Karno memandang bangsa lain!"
Selanjutnya.....

Sumpah Pemuda Defisit Karakter! (1)

"BUNG Karno selaku pelaksana Sumpah Pemuda menarik banyak inti sari dari peristiwa itu dalam pemikiran nasionalismenya! Konsistennya dia merujuk hakikat Sumpah Pemuda dalam tulisan dan pidato dengan selalu memilah nation and character building, bahkan juga sering dia sebut nation building and character building, menjadi isyarat sama pentingnya antara pembangunan bangsa (dengan aneka ragam kesatuan) dengan pembangunan karakter atau watak!" ujar Temon. "Soal semantik ini perlu dikritisi, karena ketika orang terbiasa menyebut nation character building, intonasi nation dengan kesatuan dan persatuan bangsa jadi lebih menonjol, sedang karakternya bukan cuma kabur, malah dalam peringatan Sumpah Pemuda pun bisa terasa jadi minus karakter!"

"Mungkin itu salah satu sebab bangsa kita dewasa ini krisis karakter!" sambut Temin. "Tapi itu bukan hal baru, terjadi sistematis sejak Orde Baru yang secara strategis menenggelamkan ajaran Bung Karno! Itu pula jawabnya, kenapa selama Orde Baru peringatan Sumpah Pemuda dibuat ritualistik, sumpahnya dibaca formalistik, tidak menggelorakan greget karakter pemuda pada epilog Sumpah Pemuda yang telah berhasil mengobarkan perjuangan kemerdekaan bangsa! Padahal, karakter pemuda pada epilog itulah inti peristiwa Sumpah Pemuda, baik untuk mencapai rumusan cita-cita maupun
semangat perjuangan mewujudkan cita-cita tersebut!"

"Kenapa karakter atau api yang menyulut dan memarakkan gelora perjuangan kemerdekaan itu justru dipadamkan oleh Orde Baru, padahal api itu tetap diperlukan untuk menyalakan semangat perjuangan mengisi kemerdekaan?" sela Temon. "Karena bara api itulah yang selalu membara di hari rakyat, telah menyatu sukar dipisahkan dari ajaran Bung Karno! Jadi, untuk memutuskan hubungan hati rakyat dengan Bung Karno, Orde Baru harus tak peduli padamnya api tersebut!"

"Tapi Orde Baru gagal memadamkan api karakter tersebut!" tegas Temin. "Pokoknya kalau api itu menyala, ajaran Bung Karnolah yang berkobar di hati rakyat! Para ideolog Orde Baru tak sanggup melawan kenyataan itu! Solusinya, mereka buat ajaran Bung Karno artifisial, yang esensinya sesuai tujuan penguasa Orde Baru. Diharapkan, ajaran tiruan ini bisa memperdaya dan nyambung dengan api ajaran Bung Karno yang menyala di hati rakyat! Program artifisial ini dibuat tidak kepalang, diintrodusir dengan Tap MPR 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan simpul Pancasila, terbukti nyambung dengan nyala api ajaran Bung Karno di hati rakyat! Tapi, tujuan program bukan untuk memarakkan, melainkan memadamkan! Maka itu tak heran, kalau karakter bangsa redup, justru sebagai bukti sukses program yang serius itu!"

"Tahu, apa yang dimaksud dengan api dari karakter Sumpah Pemuda itu?" tanya Temon.

Selanjutnya.....

Yupies, 'Young Urban Politician Smart'!

"YUPIES dalam aksen universal young urban professional, di Indonesia yang sukar mencapai status profesional dalam arti eksekutif muda sukses, berubah menjadi young urban politician, tanpa IES--idealist, excellent and smart!" ujar Umar. "Tanpa disadari, Yupies dalam arti lengkap sebagai young urban politician, idealist, excellent and smart--priyayi muda kota yang politisi idealis, unggul dan cerdas--merupakan prototipe kaum muda pejuang kita yang aktif meletakkan dasar kebangsaan Indonesia dari 1908 hingga 1928!"

"Kaum muda sekarang relatif terbatas pada young urban politician--tanpa IES--karena orientasinya menjadi politisi kebanyakan sekadar untuk meraih gaya hidup elite politik yang serba mewah dengan uang rakyat!" sambut Amir. "Gaya hidup CCC young urban professional kelas dunia memberi inspirasi, yakni condo (tempat tinggal serbaluks), car (mobil mewah), dan credit card (belanja dengan uang plastik). Bedanya, jika profesional muda dunia meraih CCC lewat kerja excellent and smart di bursa saham atau eksekutif perusahaan multinasional, young urban politician kita lewat menggaruk uang rakyat di APBD yang dikumpul dari recehan oleh pos-pos retribusi!"

"Maka itu, dalam memperingati 81 tahun Sumpah Pemuda, tak ada salahnya young urban politician kita mengeksplorasi apa itu idealisme, keunggulan dan kecerdasan yang istimewa pada para pelaku sejarah peletak dasar-dasar kebangsaaan Indonesia sepanjang 1908-1928!" tegas Umar. "Idealisme yang masa itu berupa mengutamakan
kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia, kini idealismenya selalu diucapkan dalam sumpah pejabat publik, yaitu lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, daripada kepentingan pribadi dan golongan! Sumpah itu yang dipertanyakan, karena kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan masih kuat, bahkan gejala korupsi tetap merajalela!"

"Belum lagi soal excellent--keunggulan kualitas pribadi--para pejuang zaman itu, bukan hanya dibanding warga lokal umumnya, bahkan dari kalangan kaum penjajah, intelektualitas dan penguasaan mereka atas masalah kemanusiaan dan sosial politik universal jauh lebih baik! Sebut misalnya Tjokroaminoto, Achmad Dahlan, Ki Hajar, Setiabudi, Sutomo, sampai ke Bung Karno, Hatta, dan seterusnya!" timpal Amir. "Sedang young urban politician sekarang, baca koran saja malas! Pendidikan bukan kualitatif menggali ilmunya, tapi cuma mengejar gelar!"

"Lebih mengagumkan soal smart, cerdas dan tajamnya mereka mengartikulasi penderitaan rakyat dan cita-cita perjuangan sehingga mampu membulatkan tekad seluruh bangsa untuk mengusir penjajah!" tegas Umar. "Bukan smart mengakali uang rakyat untuk studi banding agar bisa menjauh dari rakyatnya yang megap-megap tenggelam penderitaan!" n
Selanjutnya.....

PKL, Harus Masuk Program 100 Hari!

"DARI hari ke hari justru semakin seru penindasan aparat pemerintah daerah--Polisi Pamong Praja (Pol. PP)--terhadap pedagang kaki lima (PKL) di seantero Tanah Air!" ujar Umar. "Pada berita yang rutin ditayangnya nyaris semua stasiun televisi nasional itu, setiap kali tak terlihat kepedulian para pejabat pemerintah terutama kepala daerah dan DPRD--terhadap nasib buruk PKL! Pokoknya terkesan seolah memang harus begitu, termasik rekrutmen Pol. PP yang berlebihan juga memang spesialis untuk berantem merangsek PKL!"

"Setiap kali menyaksikan adegan penindasan PKL di televisi kita terkesima, seperti sedang menonton film cerita tentang sebuah bangsa tidak beradab!" sambut Amir. "Sekelompok orang berseragam menyerang sekelompok warga biasa, memukul sesukanya, mengubrak-abrik tanpa kecuali pakai peralatan berat, membakar dan merampas milik orang-orang yang dianiaya itu! Lebih fatal lagi, dalam peristiwa seperti itu sering terlihat polisi sang pelindung rakyat, tapi malah berpihak pada penyiksa yang sedang menyakiti rakyat!"

"Celakanya, atas peristiwa yang serjadi setiap hari di seantero Tanah Air hingga secara nyata telah menjadi masalah nasional menyangkut nasib jutaan pedagang kecil itu, seperti tak cukup kuat mengetuk hati para pemimpin nasional dan daerah untuk mencarikan solusinya!" tukas Umar. "Karena itu, sudah pada tempatnya kalau masalah ini diusulkan menjadi salah satu program 100 hari kabinet baru! Bukan menuntaskan seluruhnya tentu, tapi paling tidak, garis kebijaksanaannya telah tersusun, hingga dalam masa kerja kabinet lima tahun hal ini selesai secara menyeluruh!"

"Sekaligus sebagai ujian penanganan masalah secara lintas sektoral seperti terdesain dalam trilogi Kabinet Indonesia Bersatu II, karena hal ini menyangkut nasib pedagang (di bawah menteri perdagangan dan menkop-UKM), dan pemda (di bawah mendagri), dengan jutaan PKL jualan hasil pertanian lokal dan produk industri domestik!" timpal Amir. "Pada masa Orde Baru, priode 1970-an dan awal 1980-an masalah ini relatif reda karena untuk mengatasi PKL dibangun pasar inpres di tempat-tempat strategis! Seperempat abad ini pembangunan pasar inpres tak dilakukan lagi! Selain pertumbuhan PKL tak terakomodasi, pasar bagi produk pertanian lokal dan industri domestik juga ikut tak berkembang!"

"Kebuntuan PKL ini menimbulkan gejala baru, maraknya pasar tempel di sisi kompleks-kompleks perumahan!" tegas Umar. "Jika tak diantisipasi, ini bisa merebak jadi kawasan kumuh! Maksudnya, selain membangun sejenis pasar Inpres, buat PKL para developer juga diharuskan menyiapkan fasum untuk 'pasar lokal' buat melayani penghuni kompleksnya--syukur jika developer membangun kios untuk dikreditkan! Pasar lokal di lokasi perumahan ini sekaligus mengurangi kepadatan lalu lintas ke pusat kota!"
Selanjutnya.....

Trilogi Kabinet Indonesia Bersatu II

"DALAM rapat pertama Kabinet Indonesia Bersatu II, Jumat, selain menyerahkan program 100 hari kepada para anggota kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi pengarahan yang berintikan trilogi Kabinet Indonesia Bersatu II," ujar Umar. "Trilogi sebagai filosofi kerja kabinet itu, pertama, change and continuity--perubahan dan keberlanjutan. Kedua, de-bottlenecking, acceleration, and enhancement--penguraian hambatan, percepatan, dan peningkatan. Ketiga, unity, together we can!--bersatu, bersama kita bisa!" (Kompas, [24-10]).

"Logos pertama, perubahan dan keberlanjutan, bisa dipahami sebagai reorientasi dari program Kabinet Indonesia Bersatu I yang berporoskan perubahan, selain evaluasi sejauh mana program periode awal itu berjalan, harus dicarikan relevansi baru untuk dilanjutkan!" sambut Amir. "Dengan prinsip itu para menteri baru tak bisa sesukanya menyingkirkan program menteri lama kemudian menonjolkan program baru miliknya sendiri! Keberlanjutan dari program yang sudah ada justru menjadi keharusan!"

"Dan itu dilakukan dengan logos kedua!" timpal Umar. "Yakni de-bottlenecks--
menguraikan semua hambatan yang menyumbat di leher botol, guna dicari kisi-kisi untuk melakukan percepatan dan peningkatan pada tahap selanjutnya! Karena hambatan itu selalu tak berdiri sendiri di satu sektor, sering tak bisa dilepaskan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya, maka antarsektoral itu harus bersatu--unity--untuk bersama-sama memecahkan masalahnya--hingga hanya dengan bersama (itu pula) kita bisa!"

"Jadi jelas, dengan trilogi itu tamatlah riwayat ego sektoral departemen, apalagi egoisme pribadi menteri!" tegas Amir. "Mungkin bisa dikatakan, dengan resep ini penyakit lama ego sektoral yang selalu jadi penghambat proses pembangunan telah ditemukan obatnya! Namun, koordinasi lintas sektoral merupakan hal yang tak mudah selama ini, akan menjadi batu ujian apakah trilogi ini mampu menggalang koordinasi--sebagai hal yang nyaris mustahil sebelumnya itu!"

"Untuk mengawasi dan mengendalikan koordinasi itulah dibentuk unit kerja kepresidenan di bawah Kuntoro Mangkusibroto!" timpal Umar. "Reputasi mengordinasikan kegiatan multicomponents and multipurposes di Aceh pascatsunami, diyakini presiden akan mampu menghidupkan koordinasi lintassektoral yang selama ini nyaris mustahil itu!"

"Pokoknya ibarat mobil, semua komponen dan prinsip mekanisme kerja mesin Kabinet Indonesia Bersatu II sudah lengkap!" tegas Amir. "Namun, keefektifan kerja mesin itu untuk bisa berjalan lancar tergantung kapasitas setiap komponennya mengingat mesinnya tersusun dari komponen campuran, dari produk Amerika sampai produk lokal--dirakit bukan berdasar presisi kapasitas mekanis, tapi semata kecocokan kimia politiknya!" n
Selanjutnya.....

Kabinet Baru, 'The Winning Team'!

"BETAPA sukar menyusun 11 pemain sepak bola yang merepresentasikan kekuatan dari 220 juta penduduk negeri ini, ternyata dialami juga dalam menyusun kabinet! Tak mungkin bisa memuaskan semua orang, apalagi memastikannya sebagai the dream team!" ujar Umar. "Maka itu, bersamaan dengan penyusunan kabinet baru itu, segala sesuatu yang terkait harus dikondisikan, seperti tak perlu ada oposisi, agar tanpa lawan tanding yang bisa mengalahkan, kabinet baru ini bisa langsung dielu-elukan sebagai the winning team!"

"Hidup
the winning team!"
!" seru Amir. "Sorak itu mengekspresikan keikhlasan hati kita sebagai rakyat dari suatu bangsa yang penuh syukur atas apa pun yang diperoleh sebagai yang terbaik buat kita! Dengan keikhlasan itu tak harus mimpi punya tim nasional sekelas juara dunia seperti Brasil atau Italia, tapi cukuplah untuk tak henti bersyukur dengan yang kita
miliki, meski cuma tim Petruk, Gareng, dan punakawan lainnya!"

"Apalagi setiap dalang selalu taat pakem dalam menempatkan gareng dan para punakawan selalu paling dekat dengan penguasa!" timpal Umar. "Itu yang membuat dengan keikhlasan itu pula, kita selalu terlatih untuk sabar menerima kekalahan yang dialami tim nasional kita dari tim negara kecil seperti Singapura, Vietnam!"

"Dengan tiga dimensi watak dasar bangsa--ikhlas, syukur, dan sabar--itu, rakyat cenderung malu menonjolkan harapan atau ekspektasi terlalu tinggi!" tegas Amir. "Pungguk merindukan bulan, peribahasa yang selalu dijauhi sebagai gambaran setiap pribadi! Begitulah bangsa yang tahu diri!"

"Tapi keayeman dalam keikhlasan rakyat yang kebanyakan masih berkelas
kere nunggang bale--melarat tidur beralas bambu--itu belakangan ini diusik oleh promosi-promosi dengan undian berhadiah mobil be-em-we!" sela Umar. "Ini menumbuhkan ekspektasi rakyat setinggi langit, jauh dari bumi kenyataan tempatnya berpijak! Mungkin pengaruh promosi ini yang membuat munculnya keresahan terhadap tim nasional sepak bola saat kalah, atau juga tim kabinet yang belum mencerminkan potensi nasional!"

"Bisa jadi!" timpal Amir. "Meski hal itu juga harus dilihat secara komprehensif, justru iming-iming hadiah yang aduhai itu membentuk kesabaran dalam pemaknaan yang lebih bijak, nasib atau peruntungan itu seperti undian hadiah--hanya berlaku bagi mereka yang punya nomor kupon undian! Celakanya, mayoritas rakyat yang diiming-imingi hadiah
be-em-we tak punya nomor atau kupon undiannya!"

"Itu jawaban paling kena terkait rekrutmen kabinet!" entak Umar. "Rakyat berharap kabinet mengakomodasi tokoh-tokoh yang mencerminkan kekuatan 220 juta rakyat Indonesia, padahal mayoritas dari mereka tak memiliki kupon undian! Karena itu, yang terpilih jadi
the winning team!"
!" ***

Selanjutnya.....

Gerakan Oposisi Berbasis Media Massa!

"DALAM wawancara RRI seusai pelantikan kabinet baru, mantan Mensos dua periode Bachtiar Chamsyah menyatakan ke depan dia akan aktif di Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) mengelola diskusi-diskusi publik untuk mengritisi kinerja pemerintah!" ujar Umar. "Intinya, karena suara publik lebih efektif lewat saluran media, ia minta pekerja media mendukung masyarakat sipil membangun gerakan oposisi berbasis media massa!"

"Ajakan itu tidak mengada-ada!" sambut Amir. "Bachtiar Chamsyah memang tokoh gerakan massa, sewaktu mahasiswa dia Ketua Badko HMI Sumatera Bagian Utara (Aceh, Sumut, Sumbar, dan Riau), sebelum jadi menteri juga memimpin penerbitan koran harian di Medan! Gagasannya tentang gerakan oposisi masyarakat sipil berbasis media massa, jelas didukung integritas dirinya!"

"Masalahnya justru pada pihak media massa!" tukas Umar. "Dengan sistem politik
formal pemerintahan mutakhir yang tak kenal oposisi, pihak masyarakat sipil (terutama nonpartisan) dengan sendirinya menjadi satu-satunya alternatif yang diharapkan bisa efektif mengisi kebutuhan mutlak di negara demokrasi itu! Lain hal media massa, selain tak sedikit yang segera jadi terompet penguasa, kalangan yang bertahan independen juga punya tradisi memilih posisi imparsial--menjaga jarak baik dengan penguasa maupun dengan kalangan masyarakat sipil! Ini membuat gagasan itu tidak klop!"

"Namun perlu disadari, justru pada posisi media yang imparsial itulah diletakkan dasar dekade pembangunan PBB berbasis media, yang secara umum didasari pemikiran dua pemenang Nobel Ekonomi--Amartia Sen (1998) dan John Stiglitz (2001)," timpal Amir.

"Karena, justru hanya dengan posisi imparsial itu independensi media lebih terjaga untuk menjamin objektivitas berita dan tulisannya, yang sekaligus menjadi prasyarat akseptabilitasnya bagi penguasa! Jauh berbeda jika media itu menjadi bagian dari gerakan massa, bobot kepentingan massa menjadi amat subjektif dalam sajian media tersebut! Begitu pula media yang menjadi terompet penguasa, maupun media partisan alias terompet partai!"

"Jadi, gerakan oposisi berbasis media massa tetap bisa jalan tanpa media jadi bagian dari gerakan masyarakat sipil?" kejar Umar.
"Karena yang dibutuhkan penyampaian tetap kritis dan objektif setiap materi berita dan tulisan dari kalangan masyarakat sipil!" tegas Amir. "Lebih jauh lagi, pers juga tetap bisa kritis terhadap sepak terjang semua unsur masyarakat sipil itu sendiri, hingga integritas dan kredibilitas tokoh-tokoh masyarakat sipil juga tak lepas dari kontrol media! Dengan begitu, media juga tetap bisa menyeleksi tokoh yang memang layak ditokohkan! Bukan justru getol menonjolkan tukang tokoh alias penipu!"
Selanjutnya.....

'Soft Power' ala Demokrasi Terpimpin!


"BELAKANGAN ini merebak wacana soft power!" ujar Umar. "Pasti itu lawan kata hard power yang identik penguasa militer! Tapi wacana soft power yang berkembang itu dironai dorongan kuat ke sistem politik tanpa oposisi, hingga PDIP repot mencari istilah selain oposisi yang kurang cocok buat rezim, terlihat dari usaha merangkul semua kekuatan masuk kelompok berkuasa! Tapi, apakah dengan semua itu tak berarti, maksud soft power itu mirip demokrasi terpimpin di era Orde Lama?"

"Dilihat dari repotnya PDIP menyesuaikan diri, untuk kemudian memakai istilah mitra strategis atau penyeimbang, asal bukan oposisi meski tetap akan kritis pada pemerintah, kayaknya soft power yang dimaksud memang itu!" sambut Amir.

"Jika wacana soft power yang merebak itu menjurus ke sana,
soft power itu harus dilengkapi dua sayap untuk bisa take off--soup power dan soap power!"

"Apa pula soup dan soap power itu?" kejar Umar.

"Sup itu makanan yang secara universal dikenal banyak airnya, sebagai standar kesejahteraan rakyat!" jelas Amir. "Standar kesejahteraan itu berawal dari panti anak yatim Oliver Twist, di mana setiap hari anak-anak panti makan sup ayam yang sangat encer, bahkan ayam dalam sup itu cuma ambon-ambon (bau amisnya saja), sedang daging ayamnya setiap hari dilahap para pengurus pantinya! Selayak apa isi sup yang didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat, akan jadi penentu suksesnya soft power! Jika supnya terlalu encer, Oliver Twist dan anak-anak panti saja protes--apalagi rakyat! Jadi, tak mudah mewujudkan soft power--demokrasi terpimpin! Tokoh sepopulis Bung Karno saja gagal!"

"Lalu soap power, sabun untuk apa?" kejar Umar.

"Kekuatan sabun mencuci para pejabat negara dan birokrasi agar tercipta pemerintahan yang bersih!" tegas Amir. "Inti soap power itu tegaknya keadilan hukum, dengan hukum bukan sekadar undang-undang dan peraturan tertulis, tapi bersih dan adilnya perilaku dan sepak terjang seluruh aparat negara dan pemerintah!"

"Ah, bisa-bisa kau saja itu!" entak Umar. "Itu kan sudah ditegaskan dalam pidato pertama Presiden SBY seusai angkat sumpah masa jabatan kedua, fokus pemerintahannya dari 100 hari pertama, tahun pertama, dan lima tahun ke depan adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan!"

"Memang dalam kerangka itu!" tegas Amir. "Dan penguatan demokrasi dimaksud jelas berwacana soft power yang diembus kubu Partai Demokrat, tak terlepas dari kerangka kekuasaan baru yang tengah disusun di kabinet dan parlemen!"

"Berarti, sejauh mana penguatan demokrasi soft power itu ditentukan oleh seberapa padat isi sup yang dinikmati rakyat, dan sebersih apa keadilan hukum mencuci aparat negara dan pemerintah!" timpal Umar. "Kalau soup power dan soap power itu efektif, muluslah demokrasi terpimpin!"
Selanjutnya.....

Akhirnya, PDIP Jadi Mitra Strategis!

"ANTIKLIMAKS. Penegasan jadi oposisi ditunggu dari Megawati, yang datang justru pernyataan PDIP sebagai mitra strategis!" ujar Umar. "Pernyataan itu mengejutkan, betapa untuk itu Mega menolak kursi kabinet yang ditawarkan untuk PDIP, dan selaku mantan presiden Mega tak menghadiri pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden terpilih!"

"Instruksi Mega ke Sekjen PDIP Pramono Anung seusai pengambilan sumpah presiden terpilih yang upacaranya dipimpin Taufik Kiemas selaku ketua MPR itu, menunjukkan Mega sebagai politisi memiliki integritas tinggi--putusan sikapnya--tak bisa ditukar dengan kursi kabinet!" sambut Amir. "Artinya, tanpa dibarter dengan kursi kabinet pun, Mega bisa membuat keputusan paling ideal bagi kepentingan pemerintah! Bukan oposisi atau koalisi, tapi mitra strategis--posisi paling leluasa, tanpa ikatan!"

"Penetapan posisi PDIP di parlemen itu juga mengesankan Mega orang bijak!" tegas
Umar. "Pilihan di garis netral itu amat tepat bagi posisi Ketua Dewan Pembina PDIP selaku ketua MPR! Tanpa kecuali, putusan itu diambil di bawah tekanan media yang mengekspose seolah ada konflik Mega dan Taufik Kiemas yang dikesankan menyeret gerbong PDIP merapat ke koalisi pro-SBY demi kursi ketua MPR!"

"Semua itu merupakan aktualisasi kematangan Mega sebagai perempuan Jawa, yang mumpuni dan mrantasi menyelesaikan konflik!" timpal Amir. "Terbukti, dengan putusan itu baik secara internal keluarga maupun secara internal partai, semua dapat penyelesaian sebaik-baiknya!"

"Yang pasti, posisi tawar PDIP terhadap penguasa menjadi jauh lebih baik ketimbang partai lain dalam koalisi besar, yang secara formal telah pasrah bongkokan (terikat kontrak politik) sebagai harga kursi kabinet yang diperoleh!" tukas Umar. "Meski, dalam posisi sebagai mitra strategis itu PDIP--seperti kata Pramono Anung--akan membatasi diri hanya melakukan kritik terkait masalah prorakyat!"

"Maksud Anung mungkin bukan kritik antagonis atau kritik kontraparadigma yang lazim dilakukan oposisi--karena memang tak berdaya di depan koalisi di atas 75%!" timpal Amir. "Juga, tidak bisa membendung determinasi pemerintah dalam legislasi di parlemen! Bentuk kritik ideal dengan posisi itu mungkin 'kritik konstruktif', model kritik yang dituntut lebih banyak memuji daripada menggugat kesalahan!"

"Diragukan ideal kritik seperti itu bisa terwujud!" tegas Umar. "Tak sukar ditebak, kader-kader PDIP di parlemen akan tetap nyodok dengan kritik yang telah lazim mereka lakukan selama jadi oposan! Uniknya, anomali terakhir ini justru yang diharap masyarakat sipil (dan pers), yang kelimpungan mencari pintu partisipasi ke proses pengambilan keputusan di parlemen! Itu, kalau kriteria mitra strategis tidak justru lebih rigid dari koalisi!" ***
Selanjutnya.....

Indonesia Belum Banyak Berubah!


"AKU masih seperti yang dulu," nenek bergumam sambil merajut. "Merindukan..."

"Merindukan apa, Nek!" potong cucu.

"Perubahan yang dijanjikan lima tahun lalu!" tegas nenek. "Ternyata sepanjang lima tahun ini Indonesia tak banyak berubah! Korupsi, jalan terus! Justru lembaga antikorupsi yang terjepit! Pedagang kaki lima nyaris setiap hari jadi berita televisi nasional, digusur, lapak dan dagangannya diubrak-abrik, gerobaknya diangkut ke truk!"

"Ada perubahan, tapi justru memburuk!" timpal cucu. "Seperti listrik, giliran gelapnya makin luas dan makin lama, Jakarta dan Bali saja sudah ikut kena giliran gelap! Subsidi BBM pada minyak tanah untuk rakyat jelata dicabut, subsidi BBM kini lebih dinikmati kelas bos, para pemilik mobil!"

"Nelayan paling menderita akibat hilangnya minyak tanah bersubsidi! Sejak kenaikan harga BBM lebih 100% mereka mengganti bahan bakar perahu dari solar ke irex--minyak tanah!!" timpal nenek.
"Kini, minyak tanah tak ada, solar tak terbeli, gelombang besar acap pula menerjang! Tak bisa mengelak, nelayan menderita akibat dua keganasan--alam dan kebijakan pemerintah!"

"Petani juga jadi lebih sulit mendapatkan pupuk bersubsidi setiap musim tanam!" timpal cucu. "Tapi dari semua itu, paling menderita justru kaum buruh di tengah tekanan ancaman PHK yang tak kunjung usai dengan sektor riil yang tak kunjung bangkit dari semaput panjang! Pokoknya, tiada perubahan yang membahagiakan kaum buruh, sementara upah minimum setiap kali terasa semakin cekak saja!"

"Terbukti, pedagang kaki lima, nelayan, petani, dan kaum buruh, selama lima tahun ini belum merasakan perubahan dalam peningkatan kesejahteraannya, malah sebaliknya, kalaupun berubah kehidupan mereka justru ke arah yang semakin buruk!" tukas nenek.

"Masalah ini tentu layak dilihat secara jernih oleh mereka yang menjanjikan perubahan menuju taraf hidup lebih baik kepada mereka! Tak perlu lewat grafik dan sebagainya untuk melihat nasib pedagang kaki lima yang teraniaya--tunggu saja berita sore di televisi, akan terlihat kejamnya aparat pemerintah memperlakukan mereka!"

"Lewat berita televisi semua yang kita bicarakan tadi ada di sana!" timpal cucu.

"Cuma apakah semua itu disimak dan dipetik sari informasinya sebagai pengetahuan untuk direspons dengan kebijakan, atau semua berita itu malah berlalu begitu saja tak sedikit pun membekas di benak, di otak, atau apalagi di hati!"

"Harapan kita para pengelola negara selalu peka terhadap semua berita nasib malang rakyat yang mengalir di layar televisi!" tegas nenek. "Sebab kalau semua berita jeritan rakyat itu, seperti jeritan korban lumpur Lapindo, tak sedikit pun membekas di benak, di otak, atau di hati, jelas penguasa seperti itu telah mati rasa--seperti pembunuh berdarah dingin!" n 
Selanjutnya.....

Kabinet 'Alon-Alon Waton Kelakon'!


"KABINET baru yang disusun Presiden SBY dan Wapres Boediono, mirip gaya keduanya,alon-alon waton kelakon--pelan-pelan asal jalan!" ujar Umar. "Ibarat pemain bola, kebanyakan bukan pemain bintang di lininya!"

"Itu karena dua unggulan calon superstar--Sri Mulyani terkait skandal Bank Century, dan Marie Elka Pangestu gagal di pasar lokal yang didominasi produk industri impor!" sambut Amir. "Di luar yang kebanyakan itu Djoko Suyanto, Sutanto, dan Gamawan Fauzi! Sebagai Menko Polhukam, Djoko mumpuni untuk mengoordinasi para pemain lini belakang! Sutanto dan Gamawan Fauzi, memadai buat tumpuan reformasi birokrasi--mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik!"

"Kunci masalah di lini tengah (perekonomian) penyuplai bola ke para striker di lini
depan (kesra) yang harus mencapai millenium development goals (MDG's)" tegas Umar. "Capaian lini tengah dua kali sebelumnya pun, MDG's belum tentu tercapai!"

"Dengan MDG's sebagai standar prestasi kabinet, menteri kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, sosial, agama, pemuda, dan urusan perempuan menjadi ujung tombak pencetak gol!" timpal Amir. "Namun, capaian para pencetak gol itu tak harus sepenuhnya tergantung pada suplai bola dari lini tengah! Harus ada rekayasa para pencetak gol untuk mendukung pertumbuhan ekonomi agar MDG's tercapai! Jika tanpa rekayasa, tingkat pertumbuhan di bawah pas-pasan pula hingga tak cukup mengakomodasi angkatan kerja baru seperti lima tahun terakhir, bukan peningkatan kesejahteraan sosial yang dicapai! Jutru masalah baru muncul, memperuwet masalah laten yang tak kunjung teratasi--seperti kemiskinan dan pengangguran akibat pendidikan yang rendah!"

"Di lini depan itu, untuk mencapai MDG's rekayasa dalam peran menteri sosial, agama, pemuda dan perempuan harus diutamakan senahai problem solver!" tegas Umar. "Menteri agama, misalnya, merekayasa pembentukan baitulmal di setiap masjid untuk menggarap zakat nonfitrah guna mengatasi warga termiskin di lingkungan setiap masjid! Rekayasa itu dengan fasilitas mendidik tenaga pengelola baitulmal dalam semua dimensi operasionalnya, sampai baitulmal jalan mengatasi masalah seriusl di kalangan umat! Demikian pula menteri sosial, pemuda dan perempuan, rekayasa membentuk lembaga-lembaga penggerak massa untuk lebih produktif!"

"Untuk itu, meski bukan superstar di lininya, tak perlu apriori pada kemampuan para menteri! Meski alon-alon waton kelakon pun!" timpal Amir. "Terpenting semua lini direkayasa tepat, realistis dengan kondisi lapangan, hingga meski kecil dan bertahap selalu terjadi perbaikan secara nyata! Sebab, perbaikan nyata itu yang selama ini belum dirasakan lapisan terbawah! Sebaliknya, beban hidup dari hari ke hari terasa semakin berat! Perbaikan baru sebatas retorika!"
Selanjutnya.....

Hukum 'Entek Amek Kurang Golek'!


"DAHSYAT, Nek! Mabes Polri Senin besok akan menyita 36 berkas kasus dari KPK, selain berbagai material, termasuk rekaman CCTV yang memonitor sejumlah ruangan KPK!" ujar cucu. "Dengan segerobak bahan itu pasti dua mantan pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, tak lagi bisa lolos dari jerat sangkaan terakhir, pemerasan! Sebelumnya polisi gamang karena sangkaan penyalahgunaan wewenang dapat tekanan publik bukan domain polisi, tapi PTUN. Lalu sangkaan suap, Ary Muladi telah mencabut pengakuan menyerahkan uang suap secara langsung pada Bibit dan Chandra!"

"Maksudnya, sangkaan pemerasan dibuat setelah polisi gamang dengan dua sangkaan sebelumnya? Dan sangkaan baru itu masih dicarikan dasarnya dari penyitaan dari kantor KPK besok?" sambut nenek. "Kalau betul begitu, dalam ungkapan Jawa, kerja polisi itu disebut entek amek kurang golek--habis memetik (lagi) kurang mencari (lagi!). Tapi golek atau nggolek itu mencari yang belum tentu dapat, hingga ungkapan itu lazim disimpulkan mencari-cari atau mengada-ada! Sebab itu, kalau hukum memakai prinsip entek amek kurang golek, warga bisa celaka, ditangkap dulu, kesalahannya baru dicari-cari belakangan!"

"Itu bukti polisi kreatif!" tegas cucu. "Tidak habis kamus, apalagi mati langkah! Lebih-lebih terkait tersangka dua mantan pimpinan KPK, yang telah melibatkan presiden untuk mengeluarkan perppu dan penetapan pimpinan sementara KPK.
Kalau polisi tidak kreatif menjaga status tersangka dan membuat kasusnya lebih berat, apa kata dunia?"

"Tapi kalau praktek hukum entek amek kurang golek jadi preseden, contoh buruk yang menjadi konvensi atau kebiasaan Polri, eksesnya bisa mengganggu perlindungan hak-hak warga sipil!" tegas nenek. "Warga resah jika polisi seenaknya main tangkap, kesalahan dicari-cari belakangan!"

"Tapi itu cara paling praktis ketika penguasa, pada tingkat mana pun, harus menyingkirkan "klilip" dari lembaga apa pun!" tukas cucu. "Dengan begitu, polisi dapat tempat istimewa di semua tingkat kekuasaan, karena bisa dijadikan invisible hand penguasa untuk menuntaskan konflik yang bisa mengusik kekuasaannya!"

"Justru kebiasaan polisi dijadikan "tangan tak terlihat" penguasa itu, baik penguasa politik maupun penguasa ekonomi, bukan hanya bisa menjadikan jelata sebagai mangsa kekuasaan, secara langsung juga telah membuat preposisi atau keberpihakan polisi hanya pada kalangan penguasa dan kelompok kuat!"

"Setelah sukses penjeratan kasus pimpinan KPK, kemungkinan preseden itu menjadi kebiasaan terselubung sukar dihindari!" tegas cucu. "Maka itu, jangan kaget jika rumusan Nenek hukum entek amek kurang golek menjadi siasat jitu praktek hukum nasional! Selamat buat nenek!"
Selanjutnya.....

Giliran ICW, Penjinakan Antikorupsi!


"SETELAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selesai ditangani, 'operasi penjinakan' poros antikorupsi berlanjut dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat giliran jadi sasaran!" ujar Umar. "Koordinator ICW Emerson Yuntho dan aktivis ICW Illian Deta Arta Sari, ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik Kejaksaan Agung! Kedua tersangka hingga kemarin belum mau menghadiri panggilan polisi!"

"Itu karena laso yang dilemparkan ke kumpulan 'kuda liar' yang ingin dijinakkan salah simpul!" sambut Amir. "Surat panggilan polisi ditujukan kepada International Corruption Watch, bukan Indonesia Corruption Watch! Jadi, salah alamat! (Kompas, [16-10]). Kalau kesalahan itu diteruskan polisi dan jaksa, nasib kasusnya bisa seperti Syekh Puji, dakwaan jaksa jadi alasan pembebasan terdakwa!"

"Masalah error in persona--kesalahan pihak yang dituju sebagai pelaku pidana--juga terjadi pada Pasal 311 dan 316 KUHP yang digunakan oleh polisi sebagai laso untuk menjerat aktivis ICW!" tegas Umar.
"Pasal itu berlaku untuk orang, bukan lembaga seperti Kejaksaan Agung yang berdasar pengaduan Jaksa Widiyoko, 7 Januari 2009, telah dicemarkan nama baiknya oleh kedua aktivis ICW dalam berita di harian Rakyat Merdeka, 5 Januari 2009. Dalam berita tersebut, ICW mempersoalkan klaim Kejaksaan Agung menyelamatkan uang negara Rp8 triliun. ICW merujuk temuan BPK menyebutkan pada semester II 2008 Kejaksaan Agung belum menyelesaikan triliunan rupiah!"

"Kalau begitu, masalahnya lebih sebagai kritik ICW terhadap Kejaksaan Agung yang merupakan lembaga publk, dilakukan dalam wilayah hukum pers!" timpal Amir. "Jika dipaksakan terus nasib perkara ini bisa lebih buruk dari kasus Syekh Puji! Betapa, Kejaksaan Agung sebagai lembaga publik dengan itu telah menjadi antikritik, tak mau dikritik! Bayangkan kalau semua lembaga publik tak bisa dan tak boleh dikritik lewat pers, langsung mati fungsi kontrol pers! Selanjutnya selaku penegak hukum, semestinya jaksa pengadu itu tahu ada hukum atau UU pers yang mengatur hak jawab atas berita pers dengan sanksi pidana denda!"

"Sudahlah! Bukan penegakan hukum benar tujuan semua itu! Bahkan bukan mustahil hukum cuma dijadikan alat mencapai tujuan kekuasaan!" tegas Umar. "Contohnya, tak peduli kasusnya nanti divonis bebas oleh hakim, terpenting bisa unjuk kekuasaan dengan formalitas--panggilan pertama tak datang, kirim panggilan kedua! Panggilan ketiga tak datang jemput paksa! Dijemput tak jumpa, masukkan DPO, jadi buron! Pokoknya, dengan proses formal kekuasaan dijalankan saja, 'kuda-kuda liar' harus kooperatif--dipaksa jinak!"

"Berarti cukup alasan untuk optimistis, 'operasi penjinakan' poros antikorupi akan sukses!" timpal Amir. "Amanat MPR memberantas korupsi pun bisa jadi pepesan kosong !" ***
Selanjutnya.....

Anekaria, dari Antasari ke Syekh Puji!

"LIHAT di televisi, para pengunjung sidang tepuk tangan, aplaus buat Antasari Azhar yang sedang membaca sangkalannya atas dakwaan jaksa!" ujar Umar. "Pengunjung sidang pengadilan jadi seperti penonton acara televisi Anekaria Jenaka!"

"Itu karena dalam sangkalan Antasari menyebut dakwaan jaksa seperti roman picisan, mengurai detail hubungan asmaranya dengan Rani Juliani di kamar hotel--padahal kata Antasari, di kamar hotel itu tak terjadi apa-apa!" sambut Amir. "Tak kepalang, dalam dakwaan jaksa menggambarkan dahsyatnya geliat Antasari saat klimaks! Lukisan seperti itu memang bisa merasionalisasi kuatnya motivasi Antasari untuk merebut Rani dari Nasrudin Zulkarnaen!"

"Cerita siapa yang betul, tentu hakim nanti yang menentukan!" tegas Umar. "Tapi pada sidang pengadilan di kota lain, justru vonis hakim yang mengundang reaksi pengunjung! Itu terjadi saat hakim membebaskan Syekh Puji dari dakwaan jaksa yang tidak jelas dan salah menulis nama terdakwa! Konon, jalinan huruf di berkas dakwaan bukan nama orang yang duduk di kursi terdakwa!"

"Berita sidang kasus hukum yang bisa membuat penonton televisi jadi lebih tertarik menonton berita daripada acara hiburan sejenis
Anekaria!" tukas Amir.

"Sebab pada acara
Anekaria, kejenakan sering artifisial, dibuat-buat, malah dipaksakan, sedang dalam berita kasus-kasus hukum itu lucu dan konyolnya
alamiah, bahkan realistis! Apalagi setelah bebas gambar Syekh Puji ditayangkan televisi seperti mengolok-olok mereka yang menjebloskan dia ke terali besi dengan cibiran, 'Jam tiga pagi, dini hari, dingin sekali!' (meski tak dilanjutkan ia membuat bayangan dalam kondisi sedingin itu dia punya istri belia usia 12 tahun!)"

"Tapi bagaimana kalau sidang pengadilan sebagai prosesi penegakan keadilan yang amat terhormat itu kesannya pada praanggapan massa penonton sampai berubah, digemari sebatas hiburan karena jenaka?" timpal Umar. "Padahal, posisi terhormat pengadilan itu wajib dijaga setiap warga negara, barang siapa merendahkan pengadilan bisa dituntut
contempt of court!"

"Masalahnya, hal itu bukan dibuat oleh pelaku di luar pengadilan, tetapi terjadi akibat tindakan para pelaku dalam sidang pengadilan itu sendiri!" tegas Amir. "Jadi, hanya para pelaku di sidang pengadilan itu pula yang seharusnya menjaga kehormatan pengadilan! Bayangkan, bagaimana mau menuntut dengan
contempt of court para penonton di seantero negeri akibat terpingkal-pingkal menonton berita sidang pengadilan? Jadi, poin®MDNM¯nya bukan pada massa penonton, malainkan pada para aktor di ruang sidang pengadilan itu sendiri! Bukan pula salah Antasari atau Syekh Puji yang cuma pesakitan, jika kondisi sidang pengadilan menjadikan mereka bintang "komedi" situasional!" ***
Selanjutnya.....

Paradoks Subsidi Republik Byar-Pet!

"KONDISI listrik nasional yang terus memburuk, hingga Jakarta dan Bali sebagai beranda tamu asing juga sudah kena giliran gelap, melengkapi realitas negeri kita sebagai Republik Byar-Pet! ujar Umar. "Dengan giliran jadi lebih sering dan gelap lebih lama, tampak pelayanan kebutuhan energi yang vital bagi kegiatan semua sektor ekonomi dan soaial ini bukannya maju, melainkan justru kian mundur drastis!"

"Kalau dalam ilmu politik sering dibuat metafora pemerintah itu seperti listrik, jika di pusat nyala seluruh jaringan kekuasaan sampai ujung-ujung terjauhnya juga menyala, maka giliran gelap listrik juga menggambarkan realitas byar-petnya jaringan kekuasaan pemerintah!" sambut Amir. "Dalam Republik Byar-Pet itu selalu ada kawasan kekuasaan yang tak menyala! Contohnya pada zaman BLT, banyak bupati yang menolak penyaluran BLT di daerahnya karena dianggap promosi buat kekuatan politik tertentu! Di kawasan penolak BLT itu, aliran listrik kekuasaan bagi warga yang berhak menerima BLT jelas mengalami giliran gelap!"

"Tersendatnya pembagian BLT, dari semula ada kemudian menjadi tidak ada, sebagai gambaran kondisi Republik Byar-Pet, melukiskan tidak konsistennya kebijakan pemerintah!" tegas Umar. "Ketakkonsistenan itu terlihat nyata pada semakin besarnya subsidi APBN pada listrik, tapi semakin luas dan semakin lama pula giliran gelap terjadi!"

"Subsidi APBN terhadap PLN, yang tahun 2008 mencapai Rp28,5 triliun, tahun ini lebih besar lagi, bisa tembus Rp50 triliun! (
Gonjang-
Ganjing Listrik Nasional, www.antikorupsi.org). Jelas, paradoks subsidi seperti itu cuma terjadi di Republik Byar-Pet!" potong Amir. "Artinya, justru giliran gelap aliran listrik itu yang harus dibayar mahal dengan uang rakyat lewat subsidi listrik APBN!"

"Jadi, kembali ke metafora pemerintah dan listrik tadi, tercermin pula terjadinya giliran gelap yang serius dari pemerintah terhadap kendali subsidi listrik APBN dalam pengelolaan PLN!" timpal Umar. "Jika subsidi BBM
diublek-ublek terus dengan segala jenis jalan keluar untuk menurunkannya, lain halnya dalam subsidi listrik! Selain tak terlihat adanya usaha mencari jalan keluar atau substitusi untuk menekan subsidi APBN pada listrik yang terus membengkak, kondisi pelistrikannya sendiri juga justru terus memburuk!"

"Paradoks yang berpangkal pada 'giliran gelap' perhatian pemerintah terhadap subsidi APBN buat listrik atau PLN itulah
blunder-nya!" tegas Amir. "Tentu saja, agar tak terjadi decline--kemerosotan berkelanjutan yang tak bisa dihentikan--dalam kondisi listrik nasional, 'giliran gelap' perhatian pemerintah terhadap pengelolaan PLN itu harus diakhiri--justru sebagai kunci mengakhiri giliran gelap listrik nasional!" 
Selanjutnya.....

'Study Tour' ke Kuburan Kampung!

WAKIL kepala sekolah (kepsek) usul, "Sebaiknya study tour murid kita kali ini ke kuburan kampung kita saja!" ujarnya. Study tour ke pabrik seperti selama ini ternyata cuma memotivasi siswa untuk menjadi buruh pabrik, bukan inovator produk baru atau apalagi pengusaha pabrik, yang amat jauh dari realitas kemampuan mereka!"

"Tapi masak lantas
study tour ke kuburan?" entak kepsek. "Selain konyol jadi tertawaan wali murid, juga rawan kesurupan! Dari mana ide segila itu?"
"Bukan ide gila!" tangkis wakil. "Ide itu muncul saat menghadiri pemakaman tokoh kampung ini yang sukses di Jakarta! Tanpa kita sadari, banyak tokoh asal kampung ini sukses di rantau, bahkan luar negeri! Saat meninggal jasad mereka dibawa pulang, dimakamkan di kampung asalnya sini! Mereka itu pejabat tinggi, politisi nasional, diplomat, pengusaha miliarder!"

"Tunggu dulu!" potong kepsek. "Kau betul! Tokoh-tokoh itu anak kampung ini, dulu murid sekolah ini juga, terbukti bisa sukses di kancah nasional malah internasional!
Aku setuju itu bisa menjadi inspirasi konkret dan lebih dekat emosionalnya untuk memotivasi murid kita! Sama-sama anak kampung ini, kalau tokoh-tokoh itu bisa, mereka juga harus bisa! Tapi kita harus kerja keras lebih dulu, menyosialisasikan
esensi ide ini pada wali murid, tokoh masyarakat, aparat setempat, agar semua tahu persis ide dasarnya!"

"Itulah yang ingin kusampaikan tadi!" timpal wakil. "Masalahnya, nyata telah terjadi degradasi impian anak-anak kampung ini dari zaman ke zaman! Dulu setiap keluar kampung impiannya jadi pejabat tinggi, politisi nasional, diplomat, atau pengusaha besar, justru generasi sekarang ke luar kampung impiannya cuma jadi kuli pabrik! Kenyataan buruk ini cuma bisa kita tunjukkan pada mereka lewat kuburan! Untuk itu juga perlu kita ajak wali murid dan tokoh masyarakat ke kuburan, menunjukkan bukti degradasi itu, guna mengubah mindset mereka!"

"Setuju! Sekarang baru kita sadari kenapa leluhur menanamkan tradisi membawa pulang jenazah untuk dimakamkan di kampung!" ujar kepsek. "Ternyata itu diperlukan untuk retrospeksi lintas generasi, agar warga kampung ini bisa mendapat standar kualitas yang telah dicapai generasi pendahulu! Lewat standar itu generasi muda harus berjuang mencapai kualitas dan status sosial yang lebih baik! Bukan malah melorot jauh di bawah standar yang telah tercapai!"

"Sekaligus untuk disadari warga kampung, buat apa biaya mahal membawa pulang jenazah dari seberang pulau--bahkan dari luar negeri! Pasti tak sekadar mengantar bangkai!" timpal wakil. "Study tour ke kuburan bisa menjadi proses menalari
wisdom leluhur dalam menjaga agar peradaban jangan mundur--seperti terjadi kini--kampung asal pejabat tinggi berubah jadi kampung kuli!"
Selanjutnya.....

Monolitis Absolut, Wajik Bandung!

"DALAM monolitis absolut 92% suara partai politik (parpol) berhimpun dalam koalisi berkuasa di parlemen, kondisi politik nasional jadi seperti wajik bandung!" ujar Umar. "Itu sejenis kue Lebaran, dibungkus dengan kertas minyak warna-warni--biru, hijau, merah, putih, kuning, dan lain-lain--tapi isinya wajik yang sama!"

"Wajik bandung yang dibungkus dengan melintir kertas pembungkus di kedua ujungnya dengan menyisakan untuk rumbai penghias itu, disajikan dari rumah warga Betawi sampai pedalaman Sumatera Utara!" sambut Amir. "Artinya, wajik bandung merupakan hidangan Lebaran yang sangat merakyat! Sehingga, kondisi politik wajik bandung bagi rakyat nantinya bukan lagi hal yang aneh! Rakyat paham, meski bungkusnya warna-warni, isinya sama baik bahan maupun rasanya!"

"Apalagi bagi rakyat wajik bandung punya banyak keistimewaan!" timpal Umar. "Ia
diberi pewangi alami, vanili! Dimasukkan stoples, agar tak masuk angin! Bentuknya yang praktis mudah dikantongi anak-anak, sebagai camilan di jalan saat keliling kampung berlebaran!"

"Tapi di balik keistimewaan itu pula terdapat kelemahannya!" tegas Amir. "Salah satu
bahan wajik itu kelapa, sehingga kalau lebih seminggu harum vanili dikalahkan oleh bau tengik kelapa! Memang, dalam toples yang relatif kedap udara bisa lebih awet! Tapi itu berarti, wajik bandung tak tahan angin, harus selalu tertutup rapat! Dalam politik berarti relatif tertutup, bukan saja hampa dari kritik, tapi juga sukar mengakomodasi aspirasi rakyat--mungkin karena harus selalu menunjukkan loyalitas kepada sang penguasa, hingga lebih berorientasi kepentingan penguasa ketimbang kepentingan rakyat! Bentuk yang praktis dibawa ke mana-mana untuk kepentingan penguasa! Sedang kepentingan rakyat, baru nanti menjelang pemilu berikutnya
dipikirin¯!"

"Hal demikian bagi rakyat dianggap wajar, karena wajik bandung memang sajian ala kadarnya, asal ada yang disajikan di hari raya!" timpal Umar. "Dalam politik, kondisi wajik bandung juga jadi ala kadarnya, asal ada perwakilan rakyat! Soal efektif atau tidak fungsinya bagi rakyat, sudah cukup dengan warna-warninya yang mewakili warna aliran massa pendukung! Jadi, dalam soal warna, dalam kondisi politik wajik bandung semua warna aliran politik terakomodasi di parlemen!"
"Semua itu diandaikan jika koalisi berkuasa benar-benar berjalan rapijali, loyalitas dan satu bahasa dalam koalisi tak sedikit pun mengalami anomali!" tegas Amir. "Lain hal kalau tutup stoples wajik bandung tersingkap sedikit sehingga angin bisa masuk--bau tengik akan
sembribit keluar dari stoples koalisi--tapi justru itulah bau rakyat! Apakah koalisi berkuasa dalam monolitis absolut selalu bisa terpelihara dengan harum penguasa, atau terkontaminasi tengiknya bau rakyat, sejarah yang akan menentukan!"
Selanjutnya.....

Monolitis Absolut, Dominasi Makna!

"HAL yang sering menonjol dalam kiprah monolitis absolut adalah dominasi makna atas istilah-istilah politik, hukum, dan kemasyarakatan bernegara-bangsa yang khas menurut tafsir penguasa!" ujar Umar. "Misalnya istilah negara dalam kondisi darurat--syarat untuk mengeluarkan perppu--terminologi (nilai dan kriteria) penguasa yang berlaku, bukan kondisi dengan kriteria-kriteria yang lazim dipahami publik! Disebut dominasi, karena publik atau rakyat tak bisa mengubah makna yang digunakan penguasa!"

"Dominasi makna diperkokoh proses formal di DPR dengan monolitis absolut 92% suara pendukung yang melegalisasikan makna kondisi darurat tersebut!" sambut Amir.
"Dalam monolitis absolut, dominasi makna lewat proses formal DPR itu amat kokoh, seperti terminologi negara dalam kondisi darurat tadi, jika penguasa telah melansir suatu istilah dengan makna khusus lalu diperkuat parlemen, makna khusus itulah yang benar dan berlaku! Sehingga, andaikan sebuah benda warna merah dilansir penguasa sebagai hitam, lalu oleh parlemen dilegalisasikan sebagai hitam, seluruh waga bangsa harus ikut menyebut itu hitam!"

"Dominasi makna dengan pemberian kriteria baru yang khas menurut bahasa penguasa, membawa konsekuensi luas! Karena, setiap istilah dalam ucapan penguasa nantinya punya makna khusus, bahkan nilai-nilai dan kriterianya tak lagi sesuai dengan istilah sama dalam bahasa universal!" tegas Umar.

"Hal serupa pernah kita alami semasa Orde Baru! Istilah demokrasi misalnya, memiliki
nilai dan kriteria khas penguasa, berbeda dengan makna demokrasi yang berlaku universal!"

"Luasnya konsekuensi dominasi makna dalam kekhasan bahasa penguasa itu terlihat masa Orde Baru, hingga untuk menyosialisasikan makna yang berlaku menurut tafsir penguasa, harus dilakukan penataran P-4 secara nasional, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten sampai simulasi nilai dalam amalan sehari-hari di tingkat desa!" timpal Amir. "Sosialisasi makna sesuai maksud penguasa atas semua istilah bernegara-bangsa itu amat penting, sebab kalau tidak, setiap ucapan penguasa ditafsir dan dijalankan berbeda oleh birokrasi atau rakyat! Akibatnya negara bisa kacau seperti akhir sejarah menara Babilon--sesama warga menafsir beda ucapan lawan bicaranya!"

"Maka itu, karena dominasi makna merupakan sifat alami bawaan monolitis absolut, diperlukan kesiapan mengantisipasinya!" tegas Umar. "Lebih-lebih kalangan pengajar bahasa di sekolah dan perguruan tinggi, wajar mengintrodusir makna ganda istilah-istilah kunci, menurut tafsir penguasa dan tafsir universal! Tafsir universal tetap perlu diajarkan, agar tak bego ketika diskusi intelektual berbahasa universal! Tapi tafsir penguasa harus diutamakan, agar tak dapat masalah akibat salah tafsir terhadap perintah penguasa!" n 

Selanjutnya.....

Monolitis Absolut, Kader Gaji Buta!


"SETELAH dilantik dengan biaya puluhan miliar, rapat atau sidang DPR baru kok tak pernah diliput pers, terutama televisi?" tanya Umar.

"Mungkin belum rapat dan sidang, karena kabinet baru mitra kerjanya belum dilantik!" timpal Amir.

"Jadi setelah terima gaji di muka, langsung makan gaji buta?" kejar Umar.

"Uenak tenan!"

"Begitulah privilese--hak-hak istimewa--yang menjadi milik kader partai setelah menjadi elite politik!" jawab Amir. "Apalagi nyaris semua partai di DPR, 92%, bergabung dalam koalisi berkuasa sehingga jadi monolitis absolut, para kader partai di DPR itu praktis makan gaji buta sepanjang periode jabatannya! Sebab, dengan monolitis absolut pendukung penguasa begitu, tugas anggota DPR dalam koalisi relatif tinggal amin-amin saja atas apa pun yang diajukan pemerintah!"


"Amin-amin seperti kenduri?" entak Umar. "Jadi, meski setiap hari bergaya pakai jas dan dasi, sebenarnya mereka cuma seperti menghadiri pesta? Seingatku, di zaman Orde Baru anggota DPR dari partai berkuasa juga harus ulet adu argumenasi!"

"Berbeda monolitisme single majority 70% Orde Baru dengan monolitis absolut 92% koalisi berkuasa sekarang!" tegas Amir. "Di masa Orde Baru masih ada hampir 30% kekuatan kritis, PPP dan PDI, yang bisa mementahkan agenda-ageda yang dibawa penguasa ke DPR! Untuk itu, anggota DPR partai beruasa harus bisa mementahkan kontrargumen dari partai di luar pendukung pemerintah! Sedang sekarang, delapan persen suara di luar koalisi, cukup dilayani wakil dari partai berkuasa, hingga mayoritas kader dari partai koalisi cukup amin-amin saja! Sebab kalau semua bicara jadi keroyokan, tak efektif karena masalahnya melebar, tak fokus lagi--malah merugikan penguasa!"

"Kalau begitu lebih untung partai kecil yang tidak bergabung dalam koalisi, karena selalu bisa unjuk kebolehan mengkritisi pemerintah, meski kalah saat pengambilan keputusan!" timpal Umar.

"Memang partai kecil di luar kekuasaan selalu bisa menarik keuntungan jika mampu memanfaatkan peluang kritisnya!" sambut Amir. "Contohnya PK (sebelum jadi PKS) di DPRD Lampung cuma punya satu wakil, dengan memanfaatkan secara tepat peluang kritisnya bisa menambah anggota jadi enam setelah pemilu berikutnya!"

"Kalau cuma amin-amin begitu buat apa setiap anggota DPR diberi seorang staf dinas?" tukas Umar.

"Staf itu perlu!" tegas Amir. "Selain untuk menunjukkan pentingnya posisi diperlukan embel-embel, harus ada yang mencatat agenda anggota yang terhormat, mengurus administrasi dan surat-menyuratnya!"

"Jadi tak ada lagi pekerjaan tersisa buat para anggota terhormat?" entak Umar.

"Nikmat betul para anggota DPR dalam monolitis absolut, benar-benar makan gaji buta!"
Selanjutnya.....

Monolitis Absolut, Rakyat Punya Apa?


"DENGAN 92% koalisi partai politik (parpol) menjadi milik penguasa dalam monolitis absolut, rakyat punya apa lagi untuk mengkritisi pemerintah?" tukas Umar. "Pertanyaan itu layak diajukan mengingat parpol di parlemen selama ini lebih mengutamakan kepentingan partainya, selain kepentingan pribadi para anggota DPR--sedang untuk perjuangan aspirasi serta kepentingan rakyat di urutan belakang! Misalnya, dalam pemberantasan korupsi bukan saja para anggota DPR malah terlibat korupsi, dalam melaksanakan perintah Mahkamah Konstitusi untuk membuat Pengadilan Tipikor, malah menyelipkan usaha memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi!"

"Dalam masyarakat madani (civil society), rakyat selalu punya lembaga-lembaga di luar pemerintah yang membela kepentingan rakyat--seperti pers, ormas, LSM, dan komisi negara independen!" sambut Amir. "Menurut pengalaman masa Orde Baru, pers--media cetak dan elektronis (radio, televisi)--bisa dikooptasi oleh penguasa, di bawah ancaman UU yang bisa membreidel! Sedang ormas 'dibina' untuk tidak menyentuh kawasan politik!
Untuk media internet, LSM serta komisi negara independen yang khas hadir di era reformasi, masih harus diuji ketahanannya dari kooptasi!"

"Justru komisi-komisi negara independen meski eksistensinya dijamin konstitusi, seiring proses pelemahan KPK menyatakan ketakutan terkena kriminalisasi seperti pimpinan KPK!" tegas Umar. "Internet, lewat UU ITE yang belum berlaku saja bisa menjerat Prita Mulyasari, tak sukar ditebak seperti apa nantinya! Sedang LSM, di luar yang diekola profesional untuk kepentingan publik, tak sedikit yang 'plat merah', atau didirikan untuk mencari proyek, malah jadi selubung premanisme! Itu menunjukkan, LSM juga bisa dilemahkan lewat penonjolan LSM negatif!"

"Dari semua itu terlihat, lembaga-lembaga civil society tak bisa diharapkan berfungsi maksimal untuk membuat perimbangan dengan kekuatan monolitis absolut penguasa yang nyaris punya segalanya untuk melestarikan kekuasaan!" timpal Amir. "Apalagi kalau dibanding Orde Baru dengan monolitisme single majority 70%, dalam monolitis absolut sekarang dengan 92% koalisi berkuasa, lembaga-lembaga civil society yang secara konstitusional dibangun untuk membela dan melindungi kepentingan rakyat, ternyata bagi rakyat semua itu cuma seperti senapang locok yang mesiunya basah--kecil kemungkinannya bisa berfungsi efektif!"

"Rakyat sangat menyadari kemungkinan kurang efektifnya lembaga-lembaga civil society miliknya itu, seperti juga parpol yang mereka pilih!" tegas Umar. "Tapi rakyat punya tradisi fatalisme--pasrah dan manut apa pun maunya penguasa! Dengan itu terbukti, rakyat mampu bertahan dari rezim ke rezim!" ***
Selanjutnya.....

'Indonesia Baru', Monolitis Absolut!


"SUKAR diterima logika! Perjuangan mereformasi sistem politik dari monolitisme single majority 70% pendukung Orde Baru di DPR, justru berujung ke wajah 'Indonesia Baru' yang monolitis absolut 92 persen koalisi berkuasa!" ujar Umar.

"Nasib reformasi yang mendamba Indonesia Baru (tanpa tanda petik), malah seperti lepas dari mulut buaya jatuh ke pelukan godzila--kakeknya buaya!"

"Itu konsekuensi setelah Partai Demokrat menarik kursi ketua MPR dari PKS dan diberikan ke PDIP, disusul keberhasilan Aburizal Bakrie membawa Partai Golkar jadi subordinat Partai Demokrat!" sambut Amir.
"Hal itu tanpa kecuali Presiden SBY sebenarnya tak terlalu berharap Golkar masuk koalisi besar, ditunjukkan dengan sikapnya yang terbuka menghormati Golkar jika mau beroposisi setelah 21 Oktober!" (Kompas, [7-10])

"Tapi justru Golkar yang ngebet masuk koalisi berkuasa! Dengan itu, monolitis pun lebih absolut, hingga pemerintah jadi amat leluasa berbuat apa saja diamini semua parpol dalam koalisi, check and balances tinggal formalistik--tak sekritis yang seharusnya!" tukas Umar. "Sebaliknya, kalau ada kritik dari luar kekuasaan, justru jajaran koalisi jadi benteng pembela penguasa, merasionalisasi kebijakan yang dikritisi! Hal itu bisa membuat kebijakan pemerintah tak terasah lebih tajam oleh proses demokrasi, bahkan yang tumpul sekalipun akan diamankan agar tetap lolos! Lebih parah lagi, monolitis absolut ibarat mobil perangkat remnya blong, tak bisa menahan laju kemauan penguasa! Sehingga, bukan hanya menumbur rakyat pun dianggap oke-oke saja, kebablasan ke jurang berlumpur pun diberi tepuk tangan, dikira offroader!"

"Masalah serius monolitis absolut, bukan cuma kekuasaan berjalan tanpa kontrol efektif, tapi lebih lagi pada penyebab lemahnya kontrol!" timpal Amir. "Itu terjadi akibat parpol-parpol dalam koalisi besar jadi bersaing sesama mereka untuk mendapatkan kekuasaan (kedudukan) yang lebih besar dan mengamankan kedudukan yang telah diperoleh! Persaingan internal koalisi itu mendorong untuk harus selalu unjuk kebolehan dan loyalitas pada penguasa--demi 'gratifikasi ekstrakekuasaan'! Akibatnya, perjuangan parpol-parpol untuk membela kepentingan rakyat tinggal slogan! Ketika rakyat menghadapi konflik dengan kekuasaan, keberpihakan parpol pada rakyat tinggal basa-basi, karena loyalitas pada penguasa harus selalu dibuktikan dari isu ke isu!"

"Jadi, yang akan segera merasakan kehadiran 'Indonesia Baru' dalam monolitis absolut itu justru rakyat, karena pembelaan parpol terhadap nasib mereka saat berhadapan dengan kekuasaan, seperti ketika lapak dagangan mereka digusur, akan semakin nyaris tak terdengar!" tegas Umar. "Malah bisa-bisa pedagang yang disalahkan parpol, jualan di kawasan tak berizin! Padahal, harga kios berizin tak terjangkau! Itulah aduhainya 'Indonesia Baru'!" n 
Selanjutnya.....

Protes, Kenapa Bencana di Sumbar?

"BANYAK orang protes gempa 7,6 SR, pada 30 September pukul 17.16 dikaitkan Surat 17 Ayat 16 Alquran; Tuhan akan membinasakan suatu negeri karena keingkaran orang-orang yang hidup mewah di negeri itu, kenapa terjadi di Sumbar, bukan di Jakarta yang serbamewah?" ujar Umar. "Warga Sumbar banyak yang miskin, taat beribadah!"

"Jawabnya di cerpen pujangga Sumbar, A.A Navis,
Robohnya Surau Kami," timpal Amir. "Baca dari sini!"
Umar baca--Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. "O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadah, paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga seperti janji dalam Kitab-Mu."

"Kalian di dunia tinggal di mana?" tanya Tuhan./ "Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku."/"O, di negeri yang tanahnya subur itu?"/"Ya, benarlah itu, Tuhanku."

"Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya bukan?"/"Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami."/"Di negeri di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?"/"Benar. Itulah negeri kami!"/"Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain yang mengambilnya, bukan?"/"Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau."/"Engkau rela tetap melarat bukan?"/"Benar. Kami rela sekali, Tuhanku."

"Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?"/"Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala."/"Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?"/"Ada, Tuhanku."

"Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu tetap melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka."/Semua jadi pucat pasi. ***

Selanjutnya.....

Mengidam Proyek dari Bencana!


"MENYIMAK syair Ebiet di balik bencana selalu ada di antara kita yang berbuat nista, mungkin hari-hari ke depan ini kita akan melihat kesibukan para aktor bersandiwara di pentas bencana!" ujar Umar. "Kalau saat kritis berpacu dengan waktu menyelamatkan para korban yang masih hidup di reruntuhan bangunan, di layar televisi kita cuma menyaksikan sebuah ekskavator--satu-satunya alat berat yang mendominasi tayangan bencana di arena luas--jangan heran jika para pimpro mulai menghitung biaya rekonstruksi nanti, layar televisi kita akan dipenuhi belasan atau bahkan puluhan ekskavator dan alat berat lain, unjuk partisipasi!"

"Pokoknya arena bencana akan menjadi pentas kolosal partisipasi, mulai bersih-bersih puing sampai perhatian ekstra pascabencana!" sambut Amir. "Pentas kolosal itu dimainkan mereka yang mengidam proyek dari bencana, melihat bencana lewat keuntungan besar yang bisa diraup dari duka, derita dan nestapa para korban gempa! Dan semua itu dianggap wajar, karena toh, kegiatan membangun kembali lewat paket-paket proyek itu memang harus ada yang mengerjakan!"

"Semua usaha itu sebenarnya wajar jika saat kritis menyelamatkan korban yang masih hidup dalam reruntuhan kita juga melihat ramainya alat-alat berat mengerubuti puing-puing bangunan, memudahkan evakuasi korban! Sayang, gambar seperti itu tak terlihat!" tegas Umar.
"Kecepatan para pengusaha merespons bencana dengan mengerahkan seketika alat-alat beratnya ke lokasi bencana, dengan segala cara pokoknya harus bisa, terjadi pada gempa Liwa 1994--meski dengan medan lebih berat dibanding Padang! Jalan putus akibat gempa menuju Liwa cepat tersambung, evakuasi korban juga relatif tepat waktu!"

"Dan yang amat penting dicatat, para pengusaha Lampung melakukannya waktu itu tanpa pamrih!" timpal Amir. "Memang, di antara pengusaha itu kemudian ada yang dapat proyek rekonstruksi pascagempa, tapi masyarakat tidak melihat itu negatif, karena perolehan proyeknya juga lewat prosedur tender yang benar! Hal ini pantas dikemukakan karena mungkin, dalam perjalanan waktu 15 tahun antara gempa Liwa dan gempa Sumbar, negeri kita ini telah banyak berubah!"

"Perubahan berakibat perbedaan situasi di arena bencana itu, yang menyesakkan dada saat melihat di layar televisi! Untuk reruntuhan semasif gempa Padang itu, yang bisa disaksikan di layar televisi cuma sebuah ekskavator beroperasi!" tegas Umar. "Jelas, sekeras atau segigih apa pun evakuasi dilakukan, hasilnya tak maksimal!"

"Gambar televisi yang mencerminkan perubahan masyarakat kita antarzaman itu, layak diwaspadai karena menunjukkan sense of crisis bangsa yang menurun!" timpal Amir. "Padahal, ancaman bencana akibat faktor alam maupun tingkah kita, cenderung meningkat!" n
Selanjutnya.....

Bencana-Bencana di Balik Bencana!

"SEPERTI gempa yang diikuti gempa susulan, suatu bencana juga disusul bencana-bencana ikutan yang menambah berat derita korban atau malah membuat bencananya jadi lebih fatal!" ujar Umar. "Bencana di balik bencana dalam gempa Sumatera Barat terlihat pada kurang all out-nya pemerintah memobilisasi bantuan, hingga evakuasi korban dan distribusi bantuan berjalan lamban!"

"Kurang all out-nya mobilisasi bantuan pemerintah (terutama pusat) terlihat dari terbatasnya alat dalam evakuasi, berakibat bencana jadi lebih fatal, banyak korban hidup terperangkap di reruntuhan akhirnya tewas!" sambut Amir. "Juga lambannya distribusi bantuan pangan, obat-obatan, tenda, selimut, dan sebagainya, yang tampak diserahkan pada perangkat Pemda setempat yang sedang shock baru tertimpa bencana! Akibatnya, warga Sumbar yang terkenal tinggi moralitasnya pun secara amat terpaksa jadi penjarah!"

"Salah satu hal yang kurang kena dari pemerintah pusat--yang hingga kini belum menyatakan resmi gempa Sumbar sebagai bencana nasional, seperti nasib gempa Liwa--karena terlalu mengandalkan bantuan luar negeri!" tegas Umar.
"Tentu saja kita sambut baik bantuan luar negeri atas musibah yang menimpa kita, tapi kita harus tetap proporsional menempatkan bantuan asing itu bersifat komplementer, sedang peran sentralnya harus mutlak pada pemerintah kita! Tapi bantuan yang terlihat di lapangan, tak mencerminkan Indonesia negara yang besar!"

"Berarti, manajemen bencana yang tidak all out dari pemerintah pusat itu menjadi bencana dibalik bencana yang memprihatinkan!" timpal Amir. "Bencana ikutan yang menyedihkan selain soal evakuasi, juga distribusi bantuan untuk bertahan hidup (survival supporting), yang bertumpuk di posko-posko tapi tak cepat tersalur hingga terjadi penjarahan! Di tengah nestapa itu, mengandalkan sepenuhnya fasilitas lokal untuk mendistribusikan jelas riskan! Mungkin mobil ada, tapi dalam masa duka, cari sopirnya sulit! Kenapa tak mengerahkan heli dari Jakarta dan kota-kota lain, agar bantuan terjamin diterima tepat waktu?"

"Semua bencana ikutan tak perlu terjadi seburuk itu, andai pemerintah pusat all out mengelola segala bantuan darurat yang harus dilakukan!" tegas Umar. "Lebih ironis lagi, kalau kedatangan rombongan pejabat pusat yang beruntun justru cuma merepotkan para pejabat dan orang daerah untuk menyambut dan melayani para tamu terhormat itu, sehingga lebih banyak tenaga lokal digunakan untuk meladeni tamu daripada membantu korban bencana!"

"Lebih parah lagi kalau arena bencana justru dijadikan panggung popularitas!" timpal Amir. "Bisa dinilai demikian jika rombongannya cuma merepotkan yang berduka untuk melayaninya, padahal kehadirannya tak membuat manajemen bantuan lantas menjadi efektif! Hal seperti ini jelas, termasuk bencana di balik bencana!" n
Selanjutnya.....

Memaknai Bencana dengan Tafsir!


"TUMBEN, tekun membaca tafsir Alquran!" ujar Umar. "Tafsir resmi Kerajaan Arab Saudi pula!"

"Tafsir ini paling banyak dimiliki orang Indonesia, dibagi gratis kepada setiap jemaah haji!" jawab Amir. "Aku diminta teman-teman untuk membuka tafsir, lewat SMS mereka tentang waktu gempa Sumatera Barat yang berulang-ulang disebutkan oleh pembaca berita televisi, terjadi pukul 17.16. Desak mereka, baca Surat 17 Ayat 16."

"Bagaimana bunyi ayat itu?" kejar Umar.

"Apa adanya dalam tafsir ini, Surat 17 Ayat 16 berbunyi: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya!" Amir membaca kata demi kata.


"Begitu bunyinya, tanpa ditambah atau dikurangi!"

"Tapi apa tidak cuma kebetulan, waktu kejadian bencana gempa 30 September itu bertepatan dengan surat dan ayat Alquran?" timpal Umar.

"Kita simak bunyi SMS selanjutnya!" sambut Amir. "Gempa kedua atau susulan hari itu terjadi pukul 17.58. Lantas esoknya, gempa (di Jambi) terjadi pukul 08.52."

"Apa bunyi ayat sesuai waktu itu?" kejar Umar.

"Surat 17 Ayat 58 berbunyi, 'Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya, sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh)," baca Amir. "Lalu Surat 8 Ayat 52 berbunyi, '(keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya, serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Amat Keras siksaan-Nya."

"Dari ketepatan rangkaian waktu dengan ayat-ayat Alquran itu, jadi sukar mengesampingkan, apalagi menepiskan isyarat-Nya!" tegas Umar. "Apalagi isyarat berupa peringatan keras itu terkait bencana yang terjadi sepenuhnya di luar domain manusia! Hingga masalahnya, tanpa kita sadari ternyata kemewahan hidup kalangan mampu di negeri kita telah melampaui batas kewajaran Illahiah! Malah, gaya hidup mewah itu telah diwarnai keingkaran dari perintah-Nya!"

"Kita bukan mau menggurui, memaknai bencana dengan tafsir!" timpal Amir. "Kita menarik buat diri sendiri, hikmah peringatan-Nya yang amat keras itu, agar selalu berusaha membersihkan diri, harta, maupun penghasilan dari segala kotoran yang dimurkai-Nya! Jadilah umat yang dilindungi dan diselamatkan-Nya seperti umat Musa, meski dalam kekuasaan Fir'aun!" ***

Selanjutnya.....

Anggoro, 'Big Boss' Penegak Hukum!

"TERNYATA, the real big boss aparat penegak hukum Indonesia itu bernama Anggoro Widjojo!" ujar Umar. "Buktinya, singa-singa penegak hukum yang paling ditakuti di negeri ini, seperti Antasari Azhar saat menjabat aktif sebagai ketua KPK yang tidak kenal kompromi, atau Susno Duadji dalam posisi efektif Kabareskrim Mabes Polri, melapornya justru kepada Anggoro sebagai tersangka korupsi yang bersembunyi di Singapura!"

"Ungkapan tim pengacara KPK bahwa mereka punya bukti Susno jumpa Anggoro di Singapura 10 Juli 2009, setelah 7 Juli 2009 KPK mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Anggoro selaku tersangka penyuapan terhadap para pejabat Komisi IV DPR dan Dephut terkait kasus sistem komunikasi radio terpadu di Dephut, jelas amat mengejutkan!" sambut Amir. "Betapa hebat Anggoro, para pejabat tinggi penegak hukum yang paling ditakuti itu telah bertekuk lutut sungkem padanya ke Singapura! Tanpa peduli statusnya sebagai buron tersangka kasus korupsi--suatu kejahatan luar biasa--extraordinary crime!"

"Fakta yang mencerminkan betapa menyedihkan mental para pejabat tinggi penegak hukum kita yang merendahkan martabat hukum itu, benar-benar menyayat pedih perasaan rakyat yang taat, patuh, menghormati dan menjunjung hukum!" tegas Umar.
"Karena itu, layak harapan bertumpu ke bos-bos formal instansi-instansi penegakan hukum di negeri ini, agar secepatnya bertindak, mengambil langkah konkret menjernihkan aparat hukum dari kekeruhan yang memprihatinkan tersebut! Sedikit saja terlambat bertindak, bisa berakibat kekeruhan itu menjadi semakin pekat, sehingga citra aparat penegak hukum menjadi amat buruk di mata rakyat, akan sangat sulit atau perlu waktu amat panjang untuk memulihkan citra dimaksud!"

"Tanpa kita muntahkan pun unek-unek itu, para bos formal instansi penegakan hukum pasti sudah mafhum konsekuensi dari semua itu!" timpal Amir. "Masalahnya, kenapa kemafhuman itu meski ditunggu-tunggu oleh rakyat selalu tidak berbuah respons, sehingga tokoh-tokoh seperti Andan Buyung Nasution, Hidayat Nurwahid dan lain-lain telah mengacung-acungkan di depan bos formal agar segera bertindak, tapi tak bertindak juga! Jadi, kepekaan bos formal terhadap aspirasi dan perasaan rakyat itulah pokok soalnya!"

"Kalau tokoh-tokoh besar itu pun tak didengar, mau apa lagi?" tukas Umar. "Harapan tinggal, bertanya pada rumput yang bergoyang!"
"Tak perlu absurd begitu!" sambut Amir. "Dalam demokrasi, suara rakyat suara Tuhan! Jadi, kalau rakyat ramai-ramai menyerukan aspirasi dan perasaan mengiringi doanya--ora et labora, berdoa sambil berusaha--yakinlah, Anggoro tak lagi jadi big boss penegak hukum kita!" n 
Selanjutnya.....

'Executive Heavy', Dijamin 'Happy'!

"BUKAN hanya karena mata seluruh warga bangsa sedang tertumpu ke korban bencana gempa! Bukan pula karena rakyat telanjur kecewa pada pelantikan wakilnya di DPR yang supermewah, di tengah mayoritas rakyat sengsara di samudera kemiskinan!" ujar Umar.

"Pelantikan anggota DPR 2009--2014 tak mendapat perhatian rakyat secara memadai, lebih sebagai akibat sejak jauh hari telah diketahui matangnya janji koalisi mayoritas mutlak untuk lebih seia-sekata di parlemen dalam mendukung pemerintah!"

"Dengan begitu bagi rakyat DPR sudah selesai, kembali ke era tukang stempel!" sambut Amir. "Tak ada lagi hal baru apalagi kejutan bisa diharap untuk menggugah rasa ingin tahu mereka! Kalau pun nantinya ada yang sok kritis, ngeyel, meledak-ledak interupsi, tak lebih dari basa-basi!"

"Tanpa kecuali akting antagonis itu diperankan dari kelompok pengibar bendera oposisi! Karena, dengan kalah suara mutlak, segala bentuk kontrol dan kritiknya jarang mencapai sasaran!" timpal Umar.
"Pihak mayoritas mutlak pun, bersama pemerintah yang didukung, bisa melenggang santai--anjing menggonggong kafilah lalu! Begitulah konstelasi politik executive heavy, yang harus menjamin executive benar-benar happy!"

"Jaminan happy berkat DPR menjadikan dirinya sebagai capsule, melindungi executive dari segala kritik dari luar kelompok berkuasa, apalagi yang mengganggu kenyamanan penguasa!" tegas Amir.

"Jaminan kapsul pelindung dari DPR itu bukan hanya menggoda executive untuk menjadi otoriter. Justru kuatnya tameng penepis segala bentuk kritik dan kontrol itu, dengan sendirinya membuat penguasa menjadi encapsulated authoritarian--otoriter terselubung!"

"Dalam konstelasi politik demikian, fungsi kontrol DPR mandul," timpal Umar. "Sedang fungsi budgeting dan legislasinya lebih berorientasi power building--membangun kekuasaan--usaha memperkuat posisi dan popularitas penguasa! Hubungan penguasa dengan rakyat praktis semata-mata demi kepentingan penguasa, lewat program-program terkait power building!"

"Pengalaman lima tahun terakhir, power building itu hanya memperkuat partai berkuasa! Sedang partai-partai koalisinya, meski kelompok berkuasa, tak menikmati cukup signifikan!" tukas Amir. "Dari hasil Pemilu Legislatif 2004 terlihat, PKB dan PPP malah kehilangan banyak kursi! Jadi, kecuali secuil nikmat buat segelintir elite partainya di kabinet, koalisi membonceng kekuasaan bukan untung, tapi buntung!"

"Itu akibat dalam koalisi berkuasa tak bisa tidak, harus selalu mendukung apa pun kepentingan partai berkuasa!" sambut Umar. "Tanpa kecuali harga mahal harus dibayar, kepentingan massa konstituen partai sendiri justru ditelantarkan!" ***
Selanjutnya.....

Lagi, Bencana Menegur Tingkah Kita!

"MUNGKIN Tuhan amat bosan melihat tingkah kita, hingga lagi-lagi bencana menerpa silih--berganti, pertanda tak hentinya Dia menegur kita!" ujar Umar. "Bencana gempa secara ilmiah bisa dijelaskan bukan human error! Tapi justru karena di luar domain manusia, didasari keyakinan tiada sesuatu pun terjadi tanpa izin-Nya, membuktikan teguran itu benar-benar datang dari-Nya!"

"Teguran itu logikanya lebih tertuju pada para pemimpin, pengarah perilaku warga, terutama politisi hasil pilihan rakyat yang jika tingkahnya membosankan Tuhan, bisa mengundang tulah terhadap rakyat yang salah memilihnya!" sambut Amir. "Tapi bagaimana sih tingkah pemimpin? Tak jauh dari pantun ini--Terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati.
Jangan percaya mulut politisi, berani sumpah tak takut korupsi!"

"Bentuk korupsinya seperti kata Lord Acton pula, power tend to corrupt!" timpal Umar. "Itu, bukan cuma korupsi uang dan harta, tapi jauh lebih luas, abuse of power--penyalahgunaan kekuasaan!"

"Maka itu, ketika bencana datang dan datang lagi, setiap kita, pemimpin atau warga biasa, layak introspeksi atas tingkah, perbuatan, atau pilihan kita, yang mungkin tak berkenan bagi-Nya!" tegas Amir. "Introspeksi jauh lebih serius juga dituntut pada pemimpin umat, lebih-lebih yang berkaliber ulama, karena tingkahnya yang membosankan diberi ancaman berat dari-Nya! Itu, sebagaimana sabda Nabi saw. yang disebar Djalaluddin Rahmat lewat SMS pascagempa Jabar--Celaka umatku karena ulah ulama buruknya, yang menjual ilmunya sebagai dagangan kepada penguasa dengan keuntungan untuk diri mereka, Allah hancurkan dagangan mereka--KnzUm 29034."

"Dagangan politisi yang utama justru konstituen--massa pendukungnya! Semakin besar jumlah konstituennya, kian tinggi pula nilai tukar atau transaksionalnya dengan jumlah kursi yang bisa diperoleh dari penguasa!" timpal Umar. "Jika politisi itu ulama pula, tak kepalang ancaman kehancuran yang bisa terjadi ketika tingkahnya sudah amat membosankan Dia!"

"Untuk itu, buat para korban gempa beruntun dari Jawa Barat, Sumatera Barat, Jambi, sampai Bengkulu, kita tundukkan kepala bermohon ke hadirat-Nya, semoga arwah mereka diterima sebaik-baiknya dan diberi tempat sebagaimana dijanjikan pada syuhada--mereka yang mati sahid!" tegas Amir. "Sedang para korban yang tinggal dengan segala deritanya akibat bencana, semoga diberi ketabahan dan kekuatan untuk berbenah guna melanjutkan kehidupan dan ibadahnya!"

"Tak boleh lupa buat para pemimpin, politisi, lebih-lebih yang ulama, untuk introspeksi dan menghentikan segala bentuk tingkah yang membosankan-Nya!" tegas Umar. "Kita cukupkan sudah teguran-teguran keras yang diberikan-Nya! Innalillahi, apa pun itu, semua datang dari-Nya!"

Selanjutnya.....