Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Century Gate, Pacuan KPK dan DPR!


"GEMURUH dukungan membongkar Century Gate--skandal Bank Century Rp6,762 triliun--dari aksi jalanan sampai pernyataan sikap tokoh-tokoh penting yang menerima roadshow tim penggagas hak angket DPR (Tim 9), mendorong lebih seru pacuan KPK dan DPR untuk lebih cepat mencapai finis!" ujar Umar. "Senin KPK gelar perkara secara internal, Selasa DPR rapat paripurna membentuk Panitia Khusus (Pansus) Angket Century Gate--dan akan langsung bekerja meski sejak akhir pekan nanti DPR sebenarnya reses!"

"Kedua lembaga tentu ingin segera membuktikan kesungguhan baktinya kepada rakyat!" sambut Amir. "Yang satu lewat jalur hukum, satu lagi jalur politik! Rakyat nantinya dipersilakan menilai sendiri, jalur mana yang lebih efektif! Untuk itu, kedua lembaga layak didukung dan disemangati agar berusaha keras demi baktinya tidak sia-sia!"

"Apakah tindakan lewat jalur masing-masing itu tidak overlap--tumpang tindih?" tukas Umar.


"Bisa saja! Seperti sekarang, kedua lembaga sama-sama bertolak dari hasil audit investigasi BPK!" tegas Amir. "Tapi, karena jalur dan orientasi tugas masing-masing berbeda, kedua lembaga justru bisa share, saling berbagi informasi bahkan fakta-fakta seperti laporan BPK yang formalnya untuk DPR! Dengan demikian, semua celah Century Gate digerebek secara saksama, hingga diharapkan tidak ada lagi bukti penting yang tersisa dari usaha pengungkapannya! Atau di pihak lain, gerak yang saksama itu bisa saling melapisi, jika angket DPR melempem seperti angket-angket sebelumnya, masih ada KPK yang tak bisa dihentikan!"

"Tetap adanya kemungkinan hak angket kandas itu membuat cukup beralasan jika Teten Masduki, Ketua Transparansi Internasional Indonesia (TII), menekankan agar dalam membongkar Century Gate ini lebih fokus pada KPK!" timpal Umar.

"Tapi gemuruhnya dukungan di belakang DPR untuk kali ini, juga harus diperhitungkan!" tegas Amir. "Mungkin benar, dalam langkah-langkah secara hukum KPK bisa lebih efektif! Tapi langkah KPK juga akan lebih ringan jika dukungan publik pada pembongkaran Century Gate ini semakin kuat! Karena, meski dukungan itu secara verbal ditujukan pada usaha DPR, substansinya sama! Jadi, dukungan itu secara tidak langsung juga mendukung KPK membongkar Century Gate! Apalagi kalau hasil akhir angket DPR yang terkait korupsi oleh DPR diserahkan ke KPK, lebih klop!"

"Cuma, apakah gemuruh itu bisa mengalahkan dalih seperti kata Presiden saat menanggapi hasil verifikasi Tim 8 bahwa kucuran dana itu untuk menyelamatkan perbankan nasional dari dampak sistemik krisis keuangan global?" tanya Umar.

"Justru garis finis pacuan KPK dan angket DPR itu pembuktian, adanya perampokan dana triliunan rupiah dengan topeng dampak sistemik krisis global!" tegas Amir. "Mampukah KPK dan DPR mencapai finis, membuka topeng itu?"
Selanjutnya.....

Century Gate, Manuver Demokrat!

"ELEGAN! Fraksi Demokrat di DPR mendukung 100 persen hak angket skandal Bank Century, setelah BPK menyampaikan laporan audit investigasi bank tersebut--adanya laporan itu syarat dukungan Demokrat!" ujar Umar. "Disebut elegan, karena kasak-kusuk di balik pengusulan hak angket itu mencurigai Partai Demokrat kecipratan dana Century Gate, selain dua tokoh penting dalam pemerintahan Demokrat--Boediono dan Sri Mulyani--jadi sasaran tembak angket!"

"Manuver Demokrat itu sejalan perintah Presiden SBY ke polisi dan jaksa untuk mengungkap tuntas skandal Bank Century, guna membersihkan fitnah atas dirinya dan Partai Demokrat yang dikaitkan dengan skandal itu!" sambut Amir. "Anehnya, dukungan penuh Demokrat dicurigai kalangan penggagas dan pendukung hak angket! Kasak-kusuk berubah jadi gerakan terbuka menyambut rapat paripurna DPR, untuk menangkal agar pimpinan hak angket tak diraih Demokrat!"

"Berarti rapat paripurna DPR besok bakal seru, menjadi ajang perebutan pimpinan hak angket!" timpal Umar. "Karena pihak penggagas curiga jika hak angket dipimpin Demokrat, bisa mati suri--seperti hak angket BLBI 700 triliun, dan BBM!"

"Sebetulnya dukungan penuh Demokrat bertujuan membersihkan partai dari fitnah terkait Century Gate, sekaligus agar hak angket tidak dibelokkan ke arah lebih jauh,
pemakzulan!" tegas Amir. "Untuk itu, tanpa heboh pun--kalau koalisi berkuasa di parlemen memang solid--Demokrat akan dengan mudah meraih mayoritas suara, atau dialihkan ke tokoh partai koalisi yang dijamin setia pada kepentingan demokrat!"

"Kenapa kau dingin sekali, tak peduli pimpinan hak angket jatuh ke kelompok yang membekukan kegiatan hak angket?" tukas Umar. "Padahal, dari gelagat pimpinan PPATK sampai meminta perlindungan DPR untuk mengungkap aliran dana Bank Century yang telah mereka temukan, 50 transaksi mencurigakan ditelusuri sampai tujuh lapis transaksi, sukses hak angket membongkar skandal itu sudah terbayang semakin nyata!"

"Dramatisasi seperti itu justru membuat peluang sukses hak angket lebih terancam oleh usaha pengencundangan!" timpal Amir. "Karena itu, kita lihat dulu seefektif apa hasil kerja para penggagas dan pendukung hak angket itu, karena terkait skandal yang canggih, kegigihan dan semangat heroik saja tidak cukup!"

"Itu kalau prosesnya lepas dari kontrol publik!" tegas Umar. "Kalau kontrol publik kuat dengan tekanan yang besar pula, seperti pada kasus cicak lawan buaya, kecurangan atau manipulasi dalam prosesnya justru menyulut reaksi publik dan massa yang lebih dahsyat lagi!"

"Kalau suara publik, seperti kata Ketua MK Mahfud M.D., memang tak bisa dilawan!" timpal Amir. "Tapi menurut pengalaman, sebesar apa tekanan publik itu harus dibuktikan lebih dahulu!"
Selanjutnya.....

UN, Unjuk 'Ngangkangi' Hukum!


"UN--ujian nasional--akhirnya memojokkan petinggi Departemen Pendidikan Nasional hingga unjuk (kekuasaan me-)ngangkangi putusan kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap!" ujar Umar. "Sesuai vonis PN yang dikukuhkan MA, memerintahkan pemerintah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana, serta akses informasi di sekolah seluruh Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN. Nyatanya, tanpa memenuhi perintah PN/MA itu, Mendiknas Moh. Nuh menyatakan akan tetap melaksanakan UN 2010 dengan kilah, tak ada perintah eksplisit melarang UN, lagi pula masih ada satu langkah hukum bagi pemerintah, PK!"

"Dalam kasus itu amat memprihatinkan sikap pimpinan lembaga pengelola pendidikan nasional, yang telah menjadi contoh buruk bagi bangsa, terutama anak didik, dalam mengingkari putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap!" sambut Amir. "Kalau satu generasi yang terlibat UN periode ini (SD, SMP, SMA dan sederajat) meniru sikap membangkang terhadap putusan hukum itu, negeri ini akan segera menjadi lawless country--negeri kacau balau karena tak ada lagi warga yang taat dan percaya pada hukum!"


"Memang, pernyataan berkilah untuk berkelit dari ketentuan hukum itu hanya layak disampaikan oleh pengacara hukum--itu pun sebelum keluar putusan berkekuatan hukum tetap!" tegas Umar. "Sedang tentang PK, awam pun kini sudah paham itu upaya hukum luar biasa jika ada novum baru, pengajuannya tak memengaruhi status kekuatan hukum tetap yang telah diputuskan MA!"

"Kemelut itu sebenarnya berpangkal dari masalah utama yang juga diperintahkan oleh putusan MA kepada pemerintah, yakni melakukan peninjauan kembali sistem pendidikan nasional!" timpal Amir. "Dalam diskursus seputar UN, faktor pendidikan nasional yang one way hanya untuk mengantar anak didik menuju perguruan tinggi, hingga UN pun berstandar tunggal untuk itu, membuat potensi pendidikan yang luasnya tak bertepi malah mengandaskan mayoritas anak didik yang realitasnya tak mampu baik secara sosial-ekonomi maupun kapasitas hasil didiknya dari pilihan jalan hidup yang justru direduksi sistem pendidikan! Korbannya, jutaan anak setiap tahun masuk barisan pengangguran!"

"Sistem multipurpose education memang harus menjadi pilihan bangsa kita, sesuai dengan aneka potensi wilayah dan budaya masyarakat, hingga pendekatan local genius jadi pilihan spesialisasi pengembangan pendidikan!" tegas Umar. "Dan itu berarti, UN yang memonilitis-sentralistikkan sistem untuk semua wilayah dan latar sosial-budaya, bertentangan dengan kodrat realistis negerinya! Tak mudah tentu menjabarkan bhinneka tunggal ika dalam pendidikan! Tapi mengingkarinya, apalagi harus mengangkangi putusan MA, jelas amat tidak bijaksana!"
Selanjutnya.....

Berhala-Berhala Modern!!


"SESUAI konteks zaman, menurut Kakek apa yang paling relevan dari Iduladha?" tanya cucu.

"Hikmah Iduladha keteladanan tauhid Nabi Besar Ibrahim!" jawab kakek. "Semua relevan sepanjang zaman! Khusus buat kaum muda masa kini, yang mudah terpengaruh budaya Barat, perlu belajar dari sikap Ibrahim terhadap berhala, bagi kalian tentu berhala-berhala modern!"

"Berhala modern seperti apa?" kejar cucu.

"Orang dekat Ibrahim itu pematung! Patung buatannya disembah warga sebagai tuhan!" jelas kakek. "Ibrahim hancurkan semua patung di pusat penyembahan, disisakan yang paling besar dia kalungi kampak yang dipakainya, agar dikira patung besar itu pembabat patung lainnya!"

"Warga percaya asumsi begitu?" tanya cucu.


"Ternyata tidak!" tegas kakek. "Kata mereka, tak mungkin berhala yang tak bisa
bergerak itu menghancurkan patung-patung lain! Di situlah Ibrahim memasukkan ajaran tentang adanya Tuhan Mahaagung, hingga menyembah patung itu bukan hanya keliru, tapi malah syirik! Pada zaman modern ini, banyak berhala membawa umat hanyut dalam kemungkaran! Salah satu berhala modern itu, gaya hidup!"

"Apa salahnya dengan gaya hidup?" kejar cucu.

"Gaya hidup percaya ramalan-ramalan di media massa, seperti lewat televisi kemudian SMS tanya masa depan dirinya! Atau, ramalan nasib dalam bentuk lain!" jelas kakek.

"Peramalnya sendiri tak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya semenit ke depan, bagaimana ia bisa tahu nasib orang yang tak dikenalnya! Hukumnya syirik, percaya atas hal-hal gaib--qada dan kadar--pada selain Allah!"

"Berhala modern lainnya?" kejar cucu.

"Segala bentuk gaya hidup yang bersandar pada riba! Kau cari sendiri, apa saja itu!" tegas kakek. "Dalam ceramahnya pada Forum Takmir Masjid Bandar Lampung baru-baru ini, Eri Sudewo--pendiri Lampung Peduli dan wali amanah Dompet Duafa Jakarta--memberi contoh tentang buruknya riba. Ia kutip sebuah Hadis sahih, sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seburuk apa gambaran riba itu? Jawab Rasulullah, seburuk seorang anak yang berzina dengan ibu kandungnya!"

"Astagfirullah!" cucu tersentak. "Padahal soal riba itu bukan cuma dilakukan warga, negara pun mempertaruhkan nasib pada riba, mengendalikan perekonomian nasional lewat suku bunga Bank Sentral, mencari dana membangun lewat obligasi atau surat utang negara dengan suku bunga, dan sebagainya! Jadi, secara sistemik negara-bangsa ini bernafas dalam riba! Dan itu terjadi dengan utang luar negeri sejak awal Orde Baru!"

"Mungkin itulah jawaban, kenapa negeri kita yang dianugerahi kekayaan alam berlimpah terkesan tidak berkah, kemiskinan dan kesulitan hidup rakyat laten, bencana juga silih berganti!" tukas kakek. "Solusinya, bagaimana bangsa ini bisa lepas dari berhala modern itu, tentu dimulai dari pemimpinnya! Selamat Iduladha!"
Selanjutnya.....

Masalah Personifikasi Kekuasaan!


"GEJALA personifikasi kekuasaan terlihat ketika menyampaikan tanggapan yang diharap menjadi solusi tuntas kasus Bibit-Chandra, Presiden SBY cenderung personalized--bersikap subjektif dengan lebih menonjolkan kapasitas pribadinya!" ujar Umar. "Akibatnya, sedikit sekali dan samar-samar saja akomodasinya terhadap sajian realitas objektif (dari luar dirinya) baik itu opini publik yang luas maupun rekomendasi Tim 8 yang dia bentuk untuk mengobjektifkan solusinya!"

"Pada bahasa tubuhnya juga terlihat, setiap kali menyebut diri dengan kata saya, selalu diiringi dengan menepuk dada!" sambut Amir. "Sebutan saya terasa lebih mempribadi, sehingga karena bicara dalam kapasitas suatu jabatan kekuasaan, sikapnya itu menjadi personifikasi kekuasaan, atau universalnya lazim disebut personalized power!"

"Personalized power? Wow! Itu istilah yang hanya dengan sekali klik di Google, di bawah setengah menit kita diberi sajian 309 juta pilihan bacaan!" tegas Umar.
"Salah satunya yang diprioritaskan oleh Google Books, definisi dari Kouzes and Posner (1987) yang dikutip Edwin A. Locke and Associates dalam The Essence of Leadership (Lexington Books, 1999), yang intinya berbunyi, A leader with a personalized power motive seeks power as an end in itself, ... they focus on collecting symbols of their own personal prestige--Seorang pemimpin dengan suatu personalized power bermotif mencari kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, ... mereka fokus untuk mengoleksi simbol-simbol prestise mereka sendiri!" (halaman 22--23)

"Maka itu, dengan kekuasaan dijadikan tujuan, harus dijaga dan dirawat sebaik-baiknya, jangan sampai terpercik noda sekecil apa pun!" timpal Amir. "Sebaliknya, kekuasaan yang lebih mengemuka pada sosok penguasa, hiasan ragam permata terbaik kelas dunia di mahkota, berupa prestise atau citra, selain harus terus ditambah juga rajin digosok agar makin berkilau! Untuk semua itu, penguasa harus selalu menjaga dirinya untuk tidak mencampuri hal-hal praksis, lebih-lebih yang mengandung kotoran seperti KKN karena mahkota bisa kecipratan noda kotor itu!"

"Pantas, saat tanggapannya atas rekomendasi Tim 8 yang ditunggu rakyat seantero negeri, ia justru menyampaikan lebih dahulu kasus Bank Century!" tukas Umar. "Itu karena, skandal Bank Century mencemari mahkota--prestise dan citranya, hingga harus prioritas menepisnya! Termasuk menjamu pimpinan media nasional malam sebelumnya!"

"Sayangnya, keketatan menjaga diri dari cemaran lewat kegiatan praksis itu, mengurangi fleksibilitas kepemimpinannya!" timpal Amir. "Padahal. dalam sistem presidensial posisi presiden amat kuat, hingga sebenarnya bisa berbuat banyak dalam hal apa saja! Tapi akibat eman-eman kekuasaan dari cemaran atas prestise dan citra pribadinya, tugas yang sebenarnya bisa dilakukan lugas pun harus dibawa berputar, tujuan selangkah ditempuh lewat jalan yang butuh ribuan langkah!" n
Selanjutnya.....

Kontroversi Hukum dan Keadilan (3)


"ANTIKLIMAKS! Itulah akhir penantian titah Presiden SBY menuntaskan konflik cicak lawan buaya--cerminan kontroversi hukum dan keadilan!" ujar Umar. "Pupus dan tumpaslah momentum reformasi total memulihkan kepercayaan rakyat kepada lembaga penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan! Momentum yang telah matang disia-siakan!"

"Pernyataan Presiden Senin malam itu memang samar, retorikanya menyelubungi esensi sikapnya, membuka peluang multitafsir, bahkan salah tafsir!" sambut Amir. "Faktor bahasa yang sejak awal menyulut kontroversi hukum dan keadilan, tak terselesaikan oleh pidato Presiden itu. Sebaliknya, publik dibuat menduga-duga apa yang dimaksudnya! Seperti, menyatakan solusi yang lebih baik ditempuh dalam kasus Bibit-Chandra, polisi dan jaksa tidak membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan! Namun, ia berkelit, dirinya tidak boleh masuk ke wilayah itu dan tidak akan masuk ke wilayah itu, karena kewenangan penghentian penyidikan ada di tangan Polri, kewenangan penghentian penuntutan ada pada kejaksaan, sedang pengesampingan perkara melalui asas oportunitas kewenangan Jaksa Agung!"

"Sayang, saat Presiden menyebut dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, sebenarnya telah mengebalorasi hukum dan keadilan!" timpal Umar.
"Tapi, keburu dikilahnya sendiri dengan sikapnya, usaha perujukan hukum dan keadilan itu ikut jadi samar! Akibatnya, Polri merespons pidato Presiden dengan tetap menyelesaikan kasus Bibit dan meneruskan ke jaksa, selanjutnya terserah jaksa! Lalu Jaksa Agung pun merespons akan mempelajarinya 14 hari, ditentukan nanti apa dilanjutkan atau dikesampingkan! Jadi, secara nyata belum ada kepastian nasib Bibit--Chandra, prosesnya masih bisa berubah sewaktu-waktu!"

"Dari semua itu, keruwetan dalam kontroversi hukum dan keadilan semakin berakar di ranah krisis bahasa, bahkan bahasa yang jauh lebih samar lagi!" tegas Amir.
"Kesamaran bahasa itu mungkin akibat retorika Presiden berjangkar pada personifikasi kekuasaan! Lewat personifikasi kekuasaan, masalah serius pemicu kontroversi hukum dan keadilan dalam kasus cicak lawan buaya hingga melibatkan publik amat luas, ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum terutama polisi dan jaksa, jadi luput dari prioritasnya! Buktinya, ia hanya memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung membenahi lembaganya! Padahal, kegagalan pembersihan internal lembaga itu sepanjang reformasi merupakan dasar ketidakpercayaan publik!"

"Maka itu, setelah penyia-nyiaan momentum reformasi hukum yang matang itu, usaha melebur kontroversi dengan elaborasi hukum dan keadilan gagal!" timpal Umar. "Juga usaha memulihkan ketidakpercayaan publik pada lembaga penegak hukum, ikut terbengkalai!" n 
Selanjutnya.....

Kontroversi Hukum dan Keadilan! (2)


"PALING tragis dalam kontroversi hukum dan keadilan pada kasus cicak lawan buaya, Komisi III DPR gagal mengartikulasi nurani rakyat yang prokeadilan!" ujar Umar.

"Dengan gaya bahasa normatif lazimnya penguasa, DPR membendung tsunami aspirasi rakyat yang melanda Polri dan Kejaksaan Agung--tanpa kecuali Presiden sudah menyelematkan diri dengan pelampung darurat buatannya, tim verifikasi fakta dan proses kasus Bibit-Chandra! Sepekan penuh, siang dan malam sampai larut, lewat rapat dengan Kapolri, Jaksa Agung, dan KPK baik masing-masing maupun bersama-sama yang juga disiarkan langsung televisi nasional, DPR berusaha merasionalisasikan retorika penguasa prohukum! Hasilnya DPR puas sendiri, sedang rakyat yang diwakilinya justru kian kecewa pada sikap DPR yang tidak aspiratif itu!"

"Komisi III DPR memang terjebak merasionalisasi bahasa retorika penguasa prohukum, sehingga saat koalisi LSM antikorupsi yang mereka undang rapat dengar pendapat menyampaikan esensi hati nurani rakyat prokeadilan, mereka malah berang, ngacir meninggalkan tamu yang mereka undang itu!" sambut Amir. "Fatalnya ketika anggota DPR Komisi III sendiri, Prof.
Gayus Lumbun, yang lelah sepanjang pekan itu berputar-putar di retorika penguasa hukum ingin masuk ke esensi masalah, kebenaran fakta hukum kasus Bibit-Chandra, malah ditolak Jaksa Agung maupun sikap rekan sekomisinya! Prof. Gayus Lumbun pun walk out!"

"Apa penyebab semua itu terjadi?" kejar Umar.

"Masih soal bahasa, khususnya yang telah dirusak oleh retorika!" jawab Amir. "Hal itu bisa dipahami lewat jawaban Kong Fu-tze saat ditanya muridnya, apa target awalnya jika memegang kekuasaan? Saya perbaiki bahasa! Selama penggunaan bahasa tak beres (seperti dalam retorika--BEW), maka yang diucapkan bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud tidak dikerjakan, dan yang dikerjakan bukan yang dimaksud! Hukum pun jadi kacau, pemerintah ruwet, negara berantakan!"

"Jawaban guru yang hidup di abad 5 SM itu kena sekali pada retorika dengan bahasa normatifnya!" timpal Umar. "Terutama penguasa bidang hukum yang oleh presiden diyakini telah terkooptasi oleh markus--makelar kasus--hingga pengganyangannya masuk prioritas program 100 hari kabinetnya!"

"Maka itu, jika penguasa tak bisa keluar dari retorika, tenggelam dalam bahasa normatif yang bertentangan dengan realitas dan hati nurani rakyat yang sedang menggelinding, pemerintah akan selalu terjebak dalam keruwetan yang dibuat sendiri!" tegas Amir. "Pemerintah dalam hal ini penguasa hukum ngotot ngalor sedang rakyatnya nguncluk ngidul seperti terjadi dalam kontroversi hukum dan keadilan kini, negara meski secara fisik masih utuh dalam persatuan dan kesatuan, tapi dalam batin dan pemikiran sebenarnya telah berantakan seperti kata Kong Fu-tze!" ***
Selanjutnya.....

Kontroversi Hukum dan Keadilan!

"HUKUM ditegakkan sesuai bunyi pasal undang-undang (UU), tapi rasa keadilan masyarakat pedih tersayat sembilu! Itulah yang terjadi pada kasus Nenek Minah, yang dihukum percobaan satu bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Purwokerto karena mencuri tiga buah kakao!" ujar Umar.
"Kontroversi hukum dan keadilan itu satu dua hari ini menuju klimaks--uji pemihakan aras kekuasaan negara--lewat kasus cicak lawan buaya, di mana penguasa kukuh untuk menegakkan hukum tapi publik mendesak ditegakkannya keadilan! Apa sesungguhnya biang kerok kontroversi itu?"

"Biang keroknya sepele!" jawab Amir. "Penguasa hukum menafsirkan tegakkan hukum meski langit akan runtuh untuk semboyan ®MDRV¯fiat justitia ruat coelum®MDNM¯, sedang publik atau rakyat menafsirkan tegakkan keadilan meski langit akan runtuh!"
"Berarti krisis hukum di negeri kita terakhir ini mirip krisis bahasa di menara Babilonia sekitar tahun 5.000 SM?" potong Umar.

"Begitulah jauhnya kemunduran bangsa kita!" tegas Amir. "Karena itu, jika pemimpin kita salah dalam memilih keberpihakan, negara ini bukan mustahil bisa mengulang keterpurukan Babilonia! Jadi, belajarlah dari sejarah! Sejarah itu rekaman pengalaman, guru paling bijaksana!"

"Dengan cita-cita kemerdekaan kita mencapai masyarakat adil-makmur dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, wajarnya pemimpin bangsa
prokeadilan!" timpal Umar. "Namun, bagaimana dengan hukum yang konstitusi juga menegaskan negara kita sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan?"

"Hukum yang dimaksud konstitusi adalah dengan projustisia keadilan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa!" tegas Amir. "Orientasi keadilan dengan demikian hablun minallah, penegakan hukum tak boleh terlepas dari kaitan ilahiah eksistensi manusia, yaitu hati nurani! Hukum yang hanya ditegakkan dengan pasal-pasal UU semata--apalagi UU itu warisan kolonial, tanpa dibubuhi pertimbangan rasa keadilan menurut hati nurani, hasilnya seperti vonis terhadap Nenek Minah, atau kekukuhan penguasa hukum mengesampingkan rasa keadilan masyarakat lewat seruan nurani segenap bangsa dalam kasus cicak lawan buaya!"

"Bagaimana cara mengelaborasi pasal-pasal hukum yang positivistik itu dengan hati nutani yang holistik dalam penerapannya?" kejar Umar.
"Kejujuran pada hati nurani penegak hukum itu sendiri!" tegas Amir. "Ukuran amalan jujur pada nutani itu, sang aparat melakukan setiap langkah sesuai kebenaran fakta, tidak dipengaruhi hal-hal lain termasuk nafsunya, apalagi kepentingan makelar kasus seperti dalam sadapan KPK yang diputar di MA! Ketika penegak hukum ingkar dari nuraninya, produknya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat--yang mengukur itu dengan nurani! Karena sifat nurani itu ilahiah, esa!"
Selanjutnya.....

Masjid Pengaman Sosial!


SESUAI pesan kakeknya saat melepas Midun pergi merantau, sesampai kota tujuan tengah malam ia mencari masjid untuk menginap sementara--sebelum dapat tempat tinggal. Ternyata pintu masjid terkunci, sekeliling sepi. Ia yang kelelahan rebahan di emper masjid tanpa alas, berbantalkan bungkusan sarung bekalnya merantau!

"He, bangun! Bangun! Gelandangan dilarang tidur di sini!" entak suara membangunkan Midun.

"Saya bukan gelandangan, Pak Hansip!" sambut Midun. Ia jelaskan siapa dirinya dan kenapa tidur di emper masjid.

"Itu dulu!" tegas hansip. "Sejak jam dinding dan loudspeaker masjid hilang, malam masjid dikunci!"

"Berarti tak pernah ada yang iktikaf?" tanya Midun.

"Iktikaf itu apa?" hansip balik bertanya.


"Iktikaf itu orang-orang beribadah malam di masjid sehingga jam dan barang masjid tak hilang!" jelas Midun. "Rumah takmir di mana?"

"Di belakang!" jawab hansip. "Tapi tak di rumah, katanya pergi dua hari ikut penataran masjid sebagai lembaga pengaman sosial, yang digelar Lampung Peduli di Hotel Bukit Randu!"

"Alhamdulillah! Dia sedang mendapat hidayah!" timpal Midun. "Penataran itu mempersiapkan masjid sebagai crisis center mengatasi kemiskinan dan kondisi darurat duafa di sekitar masjid!"

"Mengatasi pakai apa?" entak hansip. "Bukankah soal kemiskinan urusan pemerintah?"

"Mengatasinya pakai zakat, infak, sedekah--ZIS!" jawab Midun. "Di setiap masjid takmir membentuk baitulmal permanen, seperti yang dibuat Umar bin Khatab, untuk mengelola ZIS sepanjang tahun! Jadi kemiskinan diatasi pada skala mikro di lingkungan masjid masing-masing, membantu pemerintah yang mengatasinya dalam skala makro! Dengan baitulmal, zakat harta dan zakat penghasilan, serta infak dan sedekah digarap sepanjang tahun lewat sosialisasi pengertian tentang wajib zakat dan pelaksaaannya, sehingga sepanjang tahun pula kaum duafa setempat dibina, tak cuma dapat pembagian setiap Idulfitri saja! Itu maksud masjid sebagai pengaman sosial!"

"Selama ini orang sudah menunaikan zakat, juga zakat harta dan penghasilan saat Ramadan, tapi dibagi habis malam Idulfitri!" timpal hansip.

"Itu awal yang baik bagi baitulmal!" tegas Midun. "Nantinya baitulmal mengatur, agar orang miskin tak makan kenyang cuma sekali setahun, tapi lewat binaan berusaha dari baitulmal, insya Allah bisa makan kenyang setiap hari sepanjang tahun!"

"Hansip bisa ikut binaan usaha itu?" kejar hansip.

"Tergantung wali amanah, yang menentukan prioritas program di baitulmal masing-masing masjid!" jelas Midun. "Tapi siapa pun yang masuk kelompok prioritas pengentasan kemiskinan, pasti dapat! Kita doakan Forum Silaturahmi Takmir Masjid (Forsitam) dan Lembaga Amil Zakat Daerah (Lazda) terutama Lampung Peduli yang berusaha untuk itu mendapat rida-Nya! Amin!"
Selanjutnya.....

Jelek, Kiprah Politik Partai Demokrat!


"SELAKU pemenang Pemilu Legislatif 2009, kiprah--tarian pembuka--Partai Demokrat (PD) di pentas politik ternyata jelek!" ujar Umar. "Di Pusat, Ketua DPR Marzuki Alie dari PD membuat disposisi agar sidang paripurna DPR tidak membahas usul hak angket skandal Bank Century. Di Lampung, Ketua DPRD Provinsi Marwan Cik Asan, juga dari PD, membuat Koalisi Lampung Membangun (KLM) untuk menyingkirkan tiga fraksi--PKS, Golkar, dan PDIP--dari kursi alat kelengkapan Dewan! Pada lima komisi dan tiga Badan (Legislasi, Anggaran, dan Musyawarah), ketiga fraksi di luar KLM itu tak satu pun kebagian kursi!"

"Kasihan!" sambut Amir. "Kiprah politik PD terlalu tendensius, sehingga terkesan kekanak-kanakan! Gaya politik yang hanya menonjolkan kekuasaan! Politik sebagai seni mengelola kepentingan dan kekuasaan jadi kehilangan seninya!"

"Masalahnya bukan hanya kehilangan seni dan kedewasaan sikap dalam berpolitik!" tegas Umar.
"Pada sidang paripurna DPR di Senayan, karena usul penggunaan hak angket tak disebut dalam daftar pembahasan, mengakibatkan interupsi bertubi-tubi, akhirnya malah jadi prioritas! Sedang di DPRD Lampung, menyulut konflik perpecahan di Dewan yang merugikan rakyat, karena energi Dewan akan terkuras untuk konflik yang berlarut-larut!"

"Itu yang perlu dikasihani!" timpal Amir. "Karena, PD yang menang pemilu legislatif berkat terkatrol keidolaan Ketua Dewan Pembinanya, Presiden SBY, seyogianya menampilkan kiprah politik yang elegan! Kenyataan di pentas politik jauh dari harapan itu! Kiprah politiknya mentah, tak layak dicontoh!"

"Menurutmu, apa yang kurang dalam PD sehingga kiprahnya jadi jelek begitu?" tanya Umar.

"Amat sepele!" jawab Amir. "Masalah yang seharusnya diatur atau dijalankan lewat lobi tertutup, malah ditempuh lewat kelembagaan formal secara terbuka! Akibatnya jadi tampak konyol! Coba kalau menggembosi usulan hak angket di DPR dan mendominasi alat kelengkapan di DPRD Lampung ditempuh lewat lobi tertutup, sedang di tataran formalnya secara sistematis berjalan efektif mewujudkan apa yang dikehendaki PD--pemilik kursi terbanyak di DPR dan DPRD--seni politiknya akan terlihat mantap dan manis sekali!"

"Memang, dengan koalisi mayoritas mutlak DPR di genggaman kekuasaan PD, jika lobinya jalan dan para kader partai koalisinya di DPR sejak awal committed mendukung kebijakan PD, usul hak angket skandal Bank Century tak semudah itu meraih dukungan dari anggota DPR partai koalisi!" tegas Umar. "Sebaliknya akibat lobi terlambat, malah PD yang terkucil dari usulan hak angket skandal Bank Century! Kasihan! Kalaupun akhirnya nanti koalisi mayoritas mutlak PD berhasil menggembosi hak angket, partai-partai koalisi yang putar haluan jadi terlihat konyol di mata konstituennya yang kecewa!"
Selanjutnya.....

Petani Terjerat Utang Kemitraan!


"TERGIUR iming-iming panen singkong 80--100 ton per hektare, ratusan petani Lampung Timur dan Lampung Selatan malah terjerat utang kemitraan miliaran rupiah, sertifikat tanah atau BPKB yang dijadikan jaminan kredit--untuk olah tanah, bibit, pupuk, dan lain-lain-- ditahan perusahaan inti!" ujar Umar. "Masalah timbul saat panen, produksi cuma 15--20 ton! Lalu, inti juga menolak membeli hasil panen itu, padahal sebelumnya wajib dijual pada inti dengan harga khusus! Akibat dua wanprestasi inti itu, petani pun meninggalkan perusahaan inti tersebut pada musim tanam berikutnya--meski kontraknya tiga musim tanam!"

"Paling menyedihkan dari peristiwa itu, hancurnya kegandrungan petani pada inovasi baru, bahkan bisa berbalik jadi trauma! Apalagi hasilnya jeblok, di bawah produk singkong lokal 20--30 ton per hektare, atau lebih!" sambut Amir. "Meski secara kronologis pihak petani meninggalkan inti setelah pihak inti wanprestasi, dalam hukum kedua pihak sama-sama melanggar kontrak! Jadi, yang terbaik penyelesaian secara kekeluargaan! Seperti apa bentuknya, dirembukkan! Artinya, harus ada dialog, bukan ngotot maunya masing-masing!"

"Untuk itu harus kembali ke pangkal masalah!" tegas Umar. "Yakni, jadi atau tidak usaha inti membangun pabrik etanol di Sekampung Udik, Lampung Timur.
Inti melanggar kontrak dengan menolak membeli singkong hasil panen petani, karena pabrik yang dibangun sejak 2006, pada akhir 2007 dan awal 2008 saat petani panen belum siap! Kedua, uji teknis di lahan Lampung Timur tentang iming-iming inti dalam sosialisasi, apa betul bisa menghasilkan 80--100 ton per hektare! Jika dua pangkal masalah ini tidak benar, berarti sejak awal petani telah tertipu hingga sebagai korban mereka tak wajib bayar utang, sebab petani juga meninggalkan inti selain setelah pihak inti wanprestasi atas kontrak, juga janji utama inti tak bisa dibuktikan!"

"Tapi pendekatan kekeluargaan tetap penting, karena peristiwa itu terjadi juga tak terlepas dari krisis keuangan global hingga wajar saja jika dana pembangunan pabrik tersendat, padahal inti tetap harus mengembalikan kredit bank yang telah digunakan ke rakyat!" sambut Temon. "Tapi memang, rakyat punya hak menuntut keringanan dengan pembebasan dari kreditnya, karena panen mereka dari bibit yang dibagikan inti hasilnya lebih rendah dari bibit lokal, apalagi dari yang dijanjikan, 80--100 ton per hektare!"

"Rakyat tak keberatan pendekatan kekeluargaan, tapi karena mereka menyadari pihaknya secara sosial ekonomi lemah dibanding inti yang kuat, rakyat memerlukan moderator atau pengantar yang berpihak pada mereka! Untuk itu, rakyat memilih DPRD Lampung Timur jadi moderator!" tegas Umar. "Sekalian, rakyat ingin tahu komitmen wakil rakyat terhadap nasib warga yang mereka wakili!" n 
Selanjutnya.....

Presiden Pelajari Rekomendasi Tim 8!


"PRESIDEN SBY telah menerima laporan akhir dan rekomendasi Tim Delapan, akan mempelajarinya sampai Senin!" ujar Umar. "Menurut Menko Polhukham Djoko Suyanto, pekan depan Presiden akan menyampaikan kepada publik hasil telaah laporan Tim Delapan dan solusinya!"

"Sikap positif Presiden saat menerima laporan akhir Tim Delapan mengesankan betapa serius ia merespons hasil kerja tim tersebut!" sambut Amir. "Kepala Negara mengucapkan terima kasih dan menghargai kerja keras tim melakukan verifikasi fakta-fakta dan menyusun rekomendasi, termasuk rekomendasi untuk memperbaiki kinerja semua lembaga penegak hukum--polisi, jaksa, KPK dan LPSK! Ia menilai rekomendasi itu sangat penting bagi upaya reformasi di bidang hukum yang menjadi prioritas kita semua!"

"Kesan sikap Presiden yang open mind itu amat penting dalam mendorong masyarakat untuk menentukan kebenaran sesuai fakta-fakta yang telah diverifikasi!" tegas Umar.
"Dengan kebenaran fakta itu, solusinya berorientasi pada tujuan tugas Tim, membersihkan negara dari ketidakadilan dan korupsi!"

"Itu berarti Presiden dan pemerintah harus konsekuen dalam menentukan langkah dan kebijakan dalam masalah ini sesuai kebenaran fakta-fakta hasil kerja Tim Delapan dan orientasinya!" timpal Amir. "Sebab, jika Presiden dan pemerintah hanya akomodatif terhadap fakta-fakta yang hanya menjustifikasi langkah penguasa yang disoroti dan ditentang publik selama ini, publik akan dengan mudah membacanya dan kemudian bersikap retroaktif--kembali ke sikap sebelum Tim Delapan bekerja! Artinya, susah payah dan kerja keras Tim Delapan bisa sia-sia!"

"Kemungkinan bakal seperti apa sikap publik dengan open mind mudah ditebak, karena selama Tim Delapan bertugas setiap kali melaporkan kepada publik temuannya, sekaligus menjadi proses kanalisasi sikap publik mendukung Tim Delapan!" tegas Umar.

"Sehingga, sejak Tim Delapan dibentuk dan bekerja, kondisi publik seantiasa kondusif, karena aspirasi publik telah teraktualisasi dalam hasil-hasil kerja Tim. Itu bisa menjadi ukuran, hingga publik mudah tahu jika fakta-fakta hasil kerja Tim dibelokkan dalam implementasinya!"

"Dalam menerima kebenaran fakta-fakta terverifikasi itu, bagi publik yang terpenting implementasinya berorientasi membersihkan negeri ini dari ketidakadilan dan korupsi! Apa pun bentuknya, terserah Presiden!" timpal Umar. "Jika ternyata diimplementasikan sebaliknya, hanya menjustifikasi ketidakadilan dan menghambat pemberantasan korupsi, open mind di pihak penguasa terbaca tidak tulus, mengingkari kebenaran fakta-fakta dan orientasinya! Sikap publik bisa kembali sebelum ada Tim Delapan!"
Selanjutnya.....

Rakyat Menanti Solusi Krisis Hukum!

"RAKYAT, yang sejak reformasi juga disebut publik, menanti solusi krisis hukum dewasa ini!" ujar Umar. "Inti krisis, dalam versi publik, penegakan hukum yang dilakukan dengan tata cara formal dan legalistik--seperti dalam kasus Bibit-Chandra--ternyata diboncengi kepentingan tersembunyi aparat hukum! Jadi, masalahnya bukan formal legalistiknya, malainkan kepercayaan pada aktornya!"

"Ketidakpercayaan itu diperkuat oleh pemutaran rekaman sadapan KPK di MK, seperti kata Ketua MK (Metro TV, 13-11), apa kata Anggodo di rekaman yang disadap bulan Juli itu, terjadi dalam proses hukum terhadap Bibit-Chandra dua bulan kemudian, September dan Oktober!" sambut Amir.

"Ketidakpercayaan publik mengkristal karena di balik proses formal legalistik itu, ternyata ada skenario yang bahkan didiktekan makelar kasus (markus). Akibatnya tak
kepalang, Presiden SBY langsung mencanangkan gerakan ganyang mafia hukum dan makelar kasus masuk dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II."

"Dengan semua itu, solusi yang dinantikan publik cukup jelas, membebaskan negeri tercinta ini dari ketidakadilan dan korupsi!" tegas Umar. "Tidak adil karena proses hukum yang dijalankan secara formal legalistik itu cuma mengikuti maunya makelar kasus! Lebih parah lagi, markus bermain untuk mengamankan kasus korupsi dari tindakan hukum! Konsekuensi logisnya, proses formal legalistik yang dijalankan justru menjadi promotor ketidakadilan dan korupsi! Jadi, seperti ditegaskan tadi, bukan formal legalistiknya, melainkan aktornya sebagai pokok masalahnya!"

"Untuk itu, solusi yang dinanti jelas, berupa usaha mereformasi personalia lembaga penegak hukum, lewat reorientasi pada sistem yang dijalankan secara bersih, tidak didikte mafia hukum untuk melindungi koruptor!" timpal Amir.

"Itu bukan berarti di lembaga-lembaga penegak hukum personalianya kotor semua! Bukan! Justru karena diyakini sebenarnya masih lebih sangat banyak yang jujur, bisa kiat diyakini usaha reformasi akan berhasil! Masalahnya, struktur lembaga seperti air mancur, kalau air yang mancur dari atas bersih, air kolam juga ikut bersih! Sedang dalam kasus terakhir ini justru di pucuk air mancur yang keruh, sayang kalau kolam yang jernih ikut jadi keruh?"

"Tepat sekali! Solusi yang ditunggu publik adalah penjernihan di puncak air mancur!" tegas Umar. "Dalam kelembagaan, teladan dan ketegasan sikap pucuk air mancur amat menentukan! Di kepolisian misalnya, saat Sutanto yang keras dan tegas antijudi, seluruh kolam jadi jernih dari judi, seantero negeri bersih dari judi! Pasti ada tokoh dalam lembaga-lembaga penegak hukum yang benar-benar antikorupsi, sehingga korupsi bisa disapu bersih keluar dan ke dalam! Kalau dalam institusinya bersih korupsi, proses hukum formal legalistik yang dijalankan juga akan bersih, bisa kembali dipercaya publik!"

Selanjutnya.....

'The Day After', Kunci Sukses Presiden!

"SENIN, 16 November, hari terakhir tugas Tim Delapan alias TPF, atau Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Bibit-Chandra!" ujar Umar. "Setelah tim menyerahkan ke Presiden SBY laporan lengkap dengan rekomendasi hasil tugasnya, selanjutnya terserah Presiden mau diapakan laporan TPF itu!"

"Pokoknya
the day after TPF menyerahkan laporan ke Presiden, rakyat Indonesia menunggu dengan harap cemas, tindakan apa yang akan ditempuh Presiden menyelesaikan krisis aparat penegak hukum, khususnya terkait konflik Polri, Kejaksaan, dan KPK" sambut Amir. "Tindakan Presiden amat menentukan masa depan sistem dan praktek hukum negeri kita, karena konflik yang berkobar telah jadi arena perjuangan rakyat mendobrak konstelasi mafia hukum di kalangan aparat dan makelar kasus--markus, jadi berkat terselubung bagi Presiden untuk mereformasi aparat hukum!"

"Semua itu tergantung langkah pertama Presiden pada
the day after, setelah TPF menyelesaikan tugas dan hasilnya menjadi otoritas Presiden!" tegas Umar. "Perlu diingat, setelah tugasnya selesai, posisi TPF sebagai representasi publik untuk mewujudkan reformasi hukum beralih pada Presiden!
Artinya, Presiden menjadi representasi publik dalam membela KPK. Seperti dikobarkan TPF selama ini, harus mampu membenahi Polri dan kejaksaan sesuai harapan publik!"

"Langkah awal yang sejak minggu pertama tugas telah TPF rekomendasikan, Presiden melangkah
gambit--mengorbankan buah catur dekat Raja--untuk membuka jalan kemenangan!" timpal Amir. "Hanya dengan langkah gambit itu, tindakan mengatasi konflik Polri, jaksa versus KPK, terpadu dengan reformasi hukum di tubuh Polri, jaksa, dan KPK, sekaligus menumpas mafia hukum dan markus yang telah dicanangkan
Presiden seusai pemutaran sadapan KPK di MK!"

"Meski mudah terbaca, langkah
gambit itu tampak menjadi satu-satunya pilihan memenuhi harapan publik!" tegas Umar. "Langkah itu punya jaminan berhasil berkat dukungan publik yang amat mendambakan reformasi hukum! Sebaliknya jika membuat langkah lain, harapan publik yang bertumpu pada Presiden sebagai representasi dan pemangku aspirasinya dikecewakan, hasil usaha presiden meredam gerakan massa di jalanan dan gerakan publik di Facebook yang tercapai lewat pembentukan TPF, akan buyar kembali! Akibatnya, selain usaha pemberantasan korupsi, reformasi hukum, dan pemusnahan markus akan gagal, jalannya pembangunan juga bisa kurang nyaman oleh tekanan rakyat mendesak reformasi hukum berdasar rasa keadilan masyarakat!"

"Tapi diyakini, Presiden yang sedang di atas angin sebagai representasi publik dengan hasil TPF, tak menyia-nyiakan peluang mereformasi hukum!" tegas Umar. "Peluang emas yang tak terulang sebagai kunci sukses periode kedua jabatannya." n
Selanjutnya.....

Cicak Vs Buaya, Larangan 'Live'!


"GEMPAR cicak versus buaya juga merebak ke pers, dengan munculnya usulan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melarang siaran langsung (live) atas sidang pengadilan, dan selanjutnya sidang DPR!" ujar Umar. "Contoh kasusnya siaran sidang Antasari saat menghadirkan Rhani Yuliani, istri ketiga almarhum Nasruddin sebagai saksi, bicaranya vulgar! Sedang untuk sidang DPR, menurut KPI kadang mengandung hal yang tidak mendidik seperti makian, atau anggota Dewan terlibat adu kekerasan!"

"Kalau anggota DPR perilakunya buruk, mulutnya kotor bicaranya caci-maki melulu, suka berantem adu jotos di ruang sidang, bukan publik yang harus diberangus dari hak dasarnya memperoleh informasi!" sambut Amir. "Tapi partainya yang harus me-recall anggota tersebut, karena anggota DPR itu pilihan dari putra-putri terbaik bangsa yang harus bisa diteladani, bukan malah ditakuti sebagai penebar contoh buruk kepada rakyat!"


"Terkait larangan live sidang pengadilan, tidak kepalang, Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof. Harifin A. Tumpa yang pertama bereaksi!" tegas Umar. "Menurut Ketua MA, sidang pengadilan harus terbuka! Kewenangan menentukan sidang terbuka dan bisa disiarkan atau tidak, ada pada hakim! Hakim yang tahu jika harus sidang tertutup!"

"Jadi, masalah keterbukaan sidang pengadilan itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, sehingga tak satu pun kekuasaan lain boleh mencampurinya!" timpal Amir. "Konon lagi KPI, sebagai lembaga publik produk reformasi, yang kehadirannya terutama diperlukan untuk menjamin hak-hak dasar rakyat untuk mendapat informasi (people rights to know) yang dijamin secara universal, di masa Orde Baru hak rakyat tersebut justru dikencundangi penguasa lewat beragam pembatasan dan sensor! Jadi konyol, kalau KPI malah melakukan sensor--selain melawan kodrat eksistensialnya, UU tentang pers menjamin tak ada lembaga sensor terhadap pers! Pers itu, menurut UU, media cetak dan elektronik yang teridiri dari radio, televisi, dan internet!"

"Lebih lagi sidang DPR, tempat para waki rakyat memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya, forum terpenting bagi praktek keterbukaan justru sebagai implementasi prinsip reformasi--check and balances!" tegas Umar. "Dengan demikian, jika KPI mensponsori ketertutupan DPR, berarti bertentangan dengan semangat dasar reformasi, KPI telah menjadi Malin Kundang--lupa asal-usul keberadaannya!"

"Maka itu, semua yang serbasalah ditinjau dari kekuasaan kehakiman dan fungsi DPR itu, lebih baik dianggap wacana pribadi, cuma kebetulan orangnya dari KPI, jadi bukan dari lembaganya!" tukas Amir. "Mungkin akibat demikian kuat kisaran konflik cicak versus buaya, ada saja orang maupun lembaga yang terseret putaran imbasnya! Namun, alangkah tak bijaksana kalau rakyat ikut dibawa terseret latah-latahan begitu!".
Selanjutnya.....

Cicak Vs Buaya, Balik ke Century!


"VARIAN langkah catur cicak versus buaya yang penuh entakan skak itu, akhirnya berputar balik ke skandal Bank Century--penyulut amarah buaya saat diusik terkait kasus tersebut!" ujar Umar. "Langkah skak itu, seperti lebih sejuta facebooker, beserta mahasiswa dan aktivis seantero negeri bergerak mendukung cicak; pemutaran sadapan KPK di MK; rekomendasi Tim 8 kasus Bibit-Chandra lemah, Komisi III DPR meninggalkan LSM yang diundangnya, Wiliardi Wizard menyingkap di sidang pengadilan rekayasa menjebak Antasari!"

"Begitu runyam konflik cicak versus buaya yang sejatinya hanya untuk mengalihkan dan menutupi skandal Bank Century, ketika kembali ke pangkal juga langsung telak--delapan dari sembilan fraksi DPR mengajukan hak angket!" sambut Amir. "Jadi kalau selama ini selalu dikesankan seolah-olah kasus cicak versus buaya itu masalah hukum yang diseret ke ranah politik, kini jadi jelas sebenarnya justru kasus cicak versus buaya itu kasus hukum yang diciptakan untuk menutupi skandal politik! Selubung itu akhirnya terkuak dan kembali ke tempat asal masalah, skandal politik! Meski, di ranah politik pun skandal ini akan alot, bahkan bisa mengalami musibah keguguran di jalan!"


"Kenapa bisa keguguran di jalan?" kejar Umar.

"Karena, meski pengusul hak angket itu delapan fraksi, saat di titik krusial nanti bisa tinggal tiga fraksi--PDIP, Gerindra, dan Hanura--jika voting tergelempang!" tukas Amir. "Masalahnya, saat pengusulan hak angket itu dilakukan secara perseorangan anggota DPR, nama fraksi dikaitkan pada nama anggota! Lain nanti saat penentuan sikap fraksi sebagai kepanjangan tangan partai, kontrak politik yang dibuat waktu koalisi akan bicara--semua harus ikut sikap pemimpin koalisi, Partai Demokrat--yang tak ikut mengusulkan hak angket skandal Bank Century!"

"Kesimpulan itu cuma berdasar isu, Demokrat tak setuju skandal Bank Century dibuka karena terkait tokoh dalam kabinet, sehingga bisa merusak citra partai berkuasa itu!" timpal Umar. "Isu itu sesat jika pernyataan Ketua DPR dari Partai Demokrat benar, partainya tak ikut mengusulkan hak angket karena menunggu hasil audit investigasi BPK terhadap Bank Century! Berdasar alasan ini pula para anggota DPR dari koalisi berkuasa memberi dukungan pada usulan hak angket! Karena kalau pernyataan itu benar, Partai Demokrat tak ada masalah terkait dengan penyingkapan skandal Bank Century!"

"Lihat saja nanti! Di negeri ini isu sering lebih benar dari pernyataan resmi, karena pernyataan malah cuma retorika untuk menutupi kebenaran--yang justru mencuat lewat isu!" tegas Amir. "Dan semua itu menunjukkan, sebagai biang kerok kasus cicak versus buaya, skandal Bank Century juga tak kalah runyam!" ***
Selanjutnya.....

Disorientasi Antarorgan Negara!


"PERLU diagnosis komprehensif dan tuntas, sakit apa sebenarnya negara kita sekarang ini!" ujar Umar. "Konflik 'patah arang' terjadi antarorgan negara: rakyat yang diberi label 'publik' dengan lembaga formal kekuasaan negara--polisi, jaksa, DPR (Komisi III). Publik ngotot harus ngalor, polisi, jaksa, dan DPR memaksa bangsa harus ngidul!"

"Itu menunjukkan bangsa ini sedang mengalami disorientasi, atau lazim disebut split personality!" sambut Amir. "Kalau satu bagian tubuh memaksa ngalor sedang bagian lainnya ngotot ngidul, kasihan tubuh bangsa, bisa terkoyak! Karena itu, perlu diperingatkan dengan keras pada kedua pihak, selain kalau tak segera diobati akibatnya bisa sangat buruk, split personality sejenis penyakit jiwa--artinya, bangsa ini mengidap gejala gila!"


"Meski begitu, untuk sementara ini kita bersyukur Presiden SBY berhasil menganalisasi eskalasi emosi publik dengan membentuk Tim 8, sehingga gejala ketegangan yang mulai meluas di jalanan kota-kota Indonesia berhasil diredam dengan upaya personifikasi publik pada figur Tim 8!" tegas Umar. "Dengan begitu, seperti terlihat di pentas konflik, wayang yang berhadap-hadapan kini cukup Tim 8 lawan polisi, jaksa dan DPR! Cuma, kalau rasa keterwakilan publik pada Tim 8 itu pudar, seperti akibat kalah dalam legal-formal dengan polisi, jaksa dan DPR, riwayat peran Tim 8 sebagai peredam goncangan bisa tamat! Apa artinya? Publik terlepas kembali dari kohesivitas peran Tim 8, menjadi kelompok-kelompok bebas yang memaksa bangsa ini untuk ngalor!"

"Kalau hal itu sempat terjadi, variabel materi atau pasal penyulut konflik akan terpecah dalam detail yang berserak di seputar konflik KPK-Polri dan jaksa!" timpal Amir. "Ada yang berkobar dengan kasus Bibit-Chandra, ada menekan ke kasus Bank Century yang disebut-sebut jadi penyebab konflik KPK-Polri, tak bisa dihindari pula kalau ada yang masuk dari Anggodo, yang dalam pemutaran sadapan KPK di MK terkuak jelas sebagai makelar kasus dengan berbagai kesalahan lain tapi tetap tak tersentuh hukum!"

"Mendingan kalau Anggodo itu putra Subali dari Poncowati, tokoh dalam lakon Ramayana, jika publik marah yang jadi sasaran cuma beruk berbulu merah, representasi Anggodo putra Subali!" entak Umar "Harus diwaspadai kalau tokoh antagonis yang untouchable itu bukan putra Subali dalam lakon Ramayana!"

"Pokoknya, diagnosis komprehensif yang tuntas atas penyakit bangsa ini harus segera siap, agar terapinya bisa segera diterapkan begitu masa tugas Tim 8 selesai Senin depan dan tim itu dibubarkan--tak ada lagi representasi publik yang bisa meredam eskalasi gerakan publik!" tegas Amir. "Tak bisa dibayangkan apa yang bisa terjadi ketika jutaan rakyat berlabel publik memaksa bangsa yang split personality untuk ngalor!" ***

Selanjutnya.....

Polri Buat Perimbangan Informasi!


"POLRI menggelar konferensi pers untuk membuat perimbangan informasi, baik atas pencabutan BAP Wiliardi Wizard maupun sebagai pembuktian tidak ada kriminalisasi atas pimpinan KPK dilakukan polisi!" ujar Umar. "Wartawan diminta menilai sendiri video yang diputar, tanpa tanya-jawab. Video memperlihatkan Wiliardi merokok santai saat diperiksa, untuk membantah adanya tekanan seperti dia sebut di pengadilan! Lalu gambar Antasari ke KPK untuk mengkloning isi laptop dinasnya, dan bicara dia siap menamatkan KPK!"

"Saya juga nonton konferensi pers itu!" sambut Amir. "Akibat dibatasi tanpa tanya-jawab, justru pertanyaan wartawan yang minta jaminan video itu tidak dipotong-potong, tidak dapat jawaban! Padahal, setiap potongan gambar punya konteks, misalnya, dalam konteks apa atau pertanyaan bagaimana Antasari bicara seperti itu!"

"Amat dihargai polisi memberi perimbangan informasi, terserah wartawan dan masyarakat menilainya sendiri! Itu hal penting dalam era keterbukaan, hingga semuanya jelas tak ada yang ditutup-tutupi lagi!" tegas Umar.
"Meski buktinya, reaksi publik segera nyargin menyebut pengakuan Wiliardi di bawah sumpah lebih bisa dipercaya daripada tayangan gambar oleh Polri itu--terlihat pada Suara Anda di Metro TV!"

"Artinya, usaha polisi memperbaiki citra di mata publik, hasilnya justru sebaliknya!" timpal Amir. "Mungkin, polisi perlu menyadari apa sebenarnya yang sedang menggelinding di balik kasus demi kasus yang semakin ruwet itu! Yakni, mindset publik yang lebih dahulu didominasi virus kepercayaan yang rendah kepada polisi! Virus yang merebak lewat opini publik itu, perlu vaksin untuk melumpuhkan, tak cukup hanya kontraisu yang terbukti cuma menambah kebal virusnya!"

"Dengan metafora virus pada opini publik, berarti harus kembali ke hukum alam dalam membuat vaksin, yakni mengkloning virus itu sendiri dengan proses degenerasi, agar virus itu jadi lemah dan kemudian tak berdaya setelah berbiak bersama vaksin!" tegas Umar. "Itu yang ditempuh Presiden SBY dengan membuat vaksin TPF, yang terbukti begitu TPF bekerja demam tinggi di jalanan kota-kota besar oleh demo yang mulai bakar-bakaran ban mereda perlahan! Itu karena tekanan virus dinetralkan TPF, hingga tekanan panas dalam opini publik menurun!"

"Pokoknya Presiden SBY piawai, bisa menetralkan tekanan opini publik yang sudah nyaris meletus itu dengan TPF!" timpal Amir. "Tapi kenapa polisi, jaksa, dan DPR (Komisi III) tidak belajar dari presiden, tidak mencari benefit dari vaksin yang dibuat presiden dan telah terbukti berhasil meredam tekanan opini publik itu, tetapi malah memperkuat antibodi melawan vaksin--tubuh bangsa jadi alergi, akibat kontraindikasi antibodi poisi, jaksa dan DPR dengan vaksin presiden!".
Selanjutnya.....

Skenario Seret Antasari Tersingkap!

"KASUS mantan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai terdakwa pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen memasuki tahap baru--saksi kunci dari jaksa penuntut umum, Williardi Wizard, menarik dan membatalkan BAP kesaksiannya dalam sidang pengadilan itu!" ujar Umar. "Menurut dia, itu BAP kedua yang dibuat di bawah tekanan bekas atasan mantan Kapolres Jakarta Selatan itu, menyeret Antasari dalam kasus pembunuhan dengan janji dirinya akan dibebaskan! Yang betul BAP pertama, sama sekali tak menyebut Antasari!"
"Luar biasa!" sambut Amir. "Akhirnya tersingkap juga, skenario menyeret Antasari dalam kasus pembunuhan! Kalau pengakuan Wiliardi itu benar, tampak adanya skenario melumpuhkan KPK!"

"Tidak pun dalam rangkaian skenario untuk menghancurkan KPK, membuat skenario untuk menyeret orang tak bersalah dalam kasus pembunuhan yang diancam hukuman mati saja, merupakan perbuatan aparat hukum yang sangat keji, tak bisa dimaafkan!" tegas Umar. "Lebih lagi kalau skenario sekeji itu sebagai rekayasa merusak KPK, tujuan jahatnya
menjegal program nasional bangsa, pelaku kejahatan itu merupakan musuh bersama bangsa dan negara!"

"Maka itu, karena sedemikian seriusnya masalah, pengadilan harus mendalami secara maksimal kebenaran pengakuan Williardi itu!" timpal Amir. "Jika skenario itu benar, betapa buruknya praktek hukum di negeri kita, telah dijadikan ajang rekayasa menghancurkan bangsa! Jika itu benar, pelaku rekayasa yang menekan Williardi membuat kesaksian palsu atas Antasari harus diberi sanksi setimpal agar hal serupa tak berulang!"

"Sebaliknya kalau Wiliardi berdusta di pengadilan atas kepalsuan BAP yang dibawa ke sidang itu, sanksi hukum ekstra juga harus diberikan kepada Wiliardi oleh pengadilan!" tegas Umar. "Kepastian tentang adanya skenario itu diharapkan diberi prioritas oleh pengadilan, mungkin lewat putusan sela, agar tak menambah keresahan masyarakat yang sempat merebak oleh kasus Bibit-Chandra!"

"Menjaga ketenteraman warga itu layak menjadi prioritas semua pihak, lebih-lebih terkait rasa keadilan publik yang sedemikian rentan dan eksplosif sehingga Presiden cepat membentuk TPF untuk meredamnya!" sambut Amir. "Isu skenario menyeret Antasari dalam kasus pembunuhan ini bisa lebih eksplosif dari kasus Bibit-Chandra yang dikaitkan dengan penyalahgunaan wewenang! Untuk itu, semakin cepat diselesaikan masalah demi masalah, mulai kasus Bibit-Chandra sampai kasus Antasari Azhar, agar ketenteraman rakyat yang terusik bisa tersulut! Sekaligus, kasus besar yang diselimuti skenario dan rekayasa tersebut seperti disebut TPF bisa dimunculkan, sehingga setelah sewot berlarut-larut, publik bisa mencapai
happy ending!"
Selanjutnya.....

Cicak Vs Buaya, Pepesan Kosong!


"KESIMPULAN sementara Tim Delapan (Tim Pencari Fakta bentukan Presiden) dipimpin Adnan Buyung Nasution menegaskan, fakta-fakta hukum tidak lengkap sebagai bukti untuk melanjutkan proses hukum kasus Bibit-Chandra!" ujar Umar. "Bukti aliran dana terputus hanya sampai Ary Muladi, tak ada bukti sampai ke KPK! Soal penyalahgunaan wewenang, lemah karena terkait pasal karet! Hal serupa juga sudah dilakukan pimpinan KPK periode sebelumnya!"

"Bah! Jadi kasus cicak versus buaya, tuduhan penyuapan atau pemerasan yang ditimpakan ke pimpinan KPK hingga dijebloskan ke tahanan itu cuma pepesan kosong?" sambut Amir. "Ceritanya cuma karangan, skenario dan kronologisnya rekayasa belaka! Gawat itu! Apa pun langkah Presiden dalam merespons rekomendasi itu nanti, isi rekomendasi yang telah disampaikan kepada pers tersebut lebih dahulu membakar ludes kepercayaan publik pada polisi dan jaksa--yang di depan Komisi III DPR menjamin punya bukti cukup dalam kasus Bibit-Chandra!"


"Pilihan kebijakan Presiden dalam merespons rekomendasi Tim Delapan itu akan menentukan langkah penegakan hukum ke depan, khususnya dalam pemberantasan korupsi!" tegas Umar. Jika presiden bersikap seperti selama ini, meski sudah ada rekomendasi Tim Delapan tetap mempersilakan jaksa memproses kasus tersebut sebagaimana mestinya, penegakan hukum di Indonesia akan berjalan di atas puing-puing sisa kepercayaan publik terhadap polisi dan jaksa!"

"Kalau pilihan itu yang diambil, proses penegakan hukum akan semakin berat, karena berhadapan dengan kepercayaan publik yang rendah pada aparat penegak hukum!" sela Amir. "Sebaliknya, jika presiden mengikuti rekomendasi Tim Delapan, misal, secara tertutup memerintahkan Jaksa Agung menghentikan kasus Bibit-Chandra, risiko besar juga mengadangnya!"

"Risiko besar seperti apa?" potong Umar.

"Risiko harus menyimultankan 'kondisi darurat hukun', menyempurnakan 'kondisi darurat' yang telah ditetapkannya saat mengeluarkan perppu pengisian jabatan kosong pimpinan KPK!" tegas Amir. "Artinya, Presiden harus mencanangkan reformasi hukum secara overhaul--membongkar tuntas lembaga kepolisian dan kejaksaan, dengan patokan semangat baru dalam penegakan hukum ke depan! Overhaul seperti mobil turun mesin, menurut kamus Webster--to examine thoroughly and make necessary repairs and adjusment--menguji secara keseluruhan dan melakukan perbaikan serta penyesuaian yang diperlukan!"

"Ternyata, kalau Presiden mau menarik hikmah dari kasus cicak versus buaya, terbuka baginya peluang melakukan reformasi hukum lewat 'kondisi darurat hukum' yang telah dia tetapkan!" timpal Umar. "Kita tunggu, sejauh mana Presiden menarik hikmah dari peluang yang menganga!"
Selanjutnya.....

Korupsi di Balik Formal Legalistik!

"SEPEKAN ini informasi kontroversial dari berbagai sisi terkait kasus kriminalisasi KPK melimpah!" ujar cucu. "Bagaimana menilai mana yang benar?"

"Kebenaran setiap informasi tergantung bukti-bukti pendukungnya!" tegas kakek. "Sulit menilai mana yang benar, karena banjir informasi itu terkait kekuasaan, yang cenderung korup seperti kata Lord Acton! Selain korupsi juga merupakan kejahatan luar biasa, ®MDRV¯extraordinary crime®MDNM¯!"

"Contoh kekuasaan cenderung korup!" kejar cucu.
"Dengan kekuasaan orang bisa membuat aturan untuk semua, tapi hanya menguntungkan diri dan kelompoknya!" tegas kakek. "Dengan itu, ketika ia menjalankan aturan itu secara formal legalistik, yang efektif terjadi justru sebuah korupsi--dengan benefit berupa apa pun itu!"

"Korupsi sebagai kejahatan luar biasa!" kejar cucu.
"Ketika pejabat main mata dengan pengusaha dalam proyek, misal, rehabilitasi jalan!" jelas kakek. "Semua aturan main formal legalistik dijalankan, tender, pengawasan dengan menguji di semua titik kualitas proyeknya! Tapi, setelah proyek selesai, jalan yang seharusnya tahan dua tahun saat musim hujan sudah berlubang-lubang
kembali! Itu contoh korupsi kejahatan luar biasa, selalu ada hal-hal yang sukar disingkap di balik formal legalistik yang serbaberes itu!"

"Jadi rakyat tahu ada korupsi karena jalan cepat rusak lagi, atau bangunan baru ambruk tanpa gempa atau badai, aparat hukum tak bisa menemukan kesalahan karena aturan formal legalistiknya beres!" timpal cucu. "Begitulah korupsi sebagai kejahatan luar biasa! Cuma, kembali ke masalah tadi, bagaimana jutaan orang bisa menilai lalu mendukung salah satu pihak--seperti dilakukan facebookers--padahal tak mudah memastikan bentuk dan sifat korupsi kekuasaan di balik proses formal legalistik?"

"Kalau orang banyak begitu, penilaian bertolak dari pengalaman bersama bersifat umum, hingga masalah terakhir itu cuma salah satu dari semua pengalaman bersama yang dirasakan tentang praktek di balik proses formal legalistik--dalam hal ini yang dilakukan polisi!" jawab kakek. "Contoh, sebagian besar facebooker itu pernah mengurus SIM dengan tarif formal legalistik di formulir Rp52.500, tapi entah berapa yang mereka bayar! Ini membuat mereka bisa cepat memihak!"

"Penilaian orang banyak itu bisa salah, jika kali ini polisi melakukannya dengan benar!" timpal cucu.

"Memang!" tegas kakek. "Tapi kasus terakhir ini bagi mereka cuma pemicu, sedang tujuan mereka perbaikan praktek formal legalistik polisi secara komprehensif dan mendasar, mengubah total budaya kerja polisi yang mereka anggap korup! Karena itu, kalau mereka salah dalam kasus ini, tekanan opini mereka justru akan jadi lebih besar, karena selain penasaran, kasus terakhir ini juga cuma sasaran antara! Masalahnya, kenapa diberi peluang dapat pemicu trigger factor !?"
Selanjutnya.....

Ketika Opini Publik Mendobrak!


"PEKAN ini opini publik mendobrak keangkuhan kekuasaan yang mati rasa dari opini publik memuat aspirasi rakyat menuntut keadilan atas kriminalisasi terhadap pimpinan KPK!" ujar Umar. "Keangkuhan yang meremehkan opini publik itu pun jebol! Untuk meredam tekanan opini publik yang membesar pesat dengan efek bola salju itu, Presiden SBY membentuk Tim Pencari Fakta (TPF)--rekomendasi pertamanya cespleng, penahanan dua pimpinan KPK, Bibit-Chandra, ditangguhkan!"

"Dengan pemenuhan tuntutan publik itu, logisnya tekanan opini publik menurun dan reda!" sambut Amir. "Namun, karena berlarut-larut polisi tak kunjung menetapkan Anggodo jadi tersangka--seperti rekomendasi TPF, ditambah Komisi III DPR dalam rapat dengan Kapolri juga tak melantunkan aspirasi rakyat, tekanan publik justru memuncak lebih fantastis! Kalau sebelumnya laju tertinggi dukungan facebookers pada KPK tercapai saat MK memutar sadapan telepon Anggodo dengan 100 akun per menit, saat Susno yang mengidentikkan diri dengan buaya itu melelehkan air mata, laju dukungan facebookers pada KPK mencapai rekor baru, 130 akun per menit--hingga kemarin tembus satu juta pendukung! Bagi facebookers, mungkin, yang meleleh itu air mata buaya!"


"Artinya, tekanan opini publik memuncak justru setelah presiden melangkah cari solusi!" tegas Umar. "Kenapa jadi begitu?"

"Tekanan opini publik itu sejak awal bukan ke arah presiden!" jawab Amir. "Tapi lebih fokus ke polisi dan jaksa, sedang presiden cuma kena imbasnya! Ternyata, polisi dan jaksa bukan mengantisipasi opini publik itu untuk mencari solusi. Sebaliknya, malah melawan arus dengan kampanye pembenaran diri semata! Akibatnya, bukan saja kian lumat tergilas arus opini publik, juga kontraproduktif! Ironisnya, DPR malah ikut kapal bocor itu!"

"Kenapa jadi begitu?" ulang Umar mendesak.

"Karena polisi dan jaksa bersikukuh pada sikap formal legalistik sebagai satu-satunya kebenaran!" tegas Amir. "Celakanya, kepercayaan rakyat yang rendah pada polisi (ketua Komisi III DPR menyebut di titik nadir), kekukuhan sikap itu justru dicurigai untuk menyembunyikan udang di balik batu--penyimpangan proses demi kepentingan terselubung! Kecurigaan itu disulut penetapan tersangka Bibit-Chandra dengan berubah-ubah kasus, sedang Anggodo dengan rekayasa kriminalisasi dan penyuapan yang terang benderang tak dijadikan tersangka! Kecurigaan itu menusuk nurani rakyat dan menyayat rasa keadilan publik, sekaligus menjadi bahan bakar opini publik medobrak keangkuhan kekuasaan polisi dan jaksa!"

"Lantas, apa jalan keluarnya?" tanya Umar.

"Mengobati luka nurani dan rasa keadilan publik!" tegas Amir. "Sikap formal legalistik polisi dan jaksa dibedah, dicari tahu apa yang disembunyikan di baliknya! Itulah yang dilakukan TPF, tunggu saja hasilnya!".

Selanjutnya.....

Dipilih Rakyat, Jadinya Wakil Partai!


"METRO TV (6-11) minta tanggapan mahasiswa Yogyakarta tentang rapat Komisi III DPR dengan Kapolri Kamis malam sampai pukul 03.00!" ujar Umar. "Mahasiswa pertama mengaku aneh, DPR kok cuma memuji-muji polisi! Mahasiswa kedua mengaku kecewa, di tengah ramainya tekanan opini publik terhadap polisi sampai presiden membentuk tim pencari fakta (TPF), DPR kok tak mencerminkan aspirasi rakyat--publik! Kesan itu tak jauh beda dengan kesanku yang awam!"

"Itu cuma berarti cara berpikir dan cita rasa para mahasiswa, kelompok intelektual muda, lebih dekat dengan awam!" sambut Amir. "Kalangan DPR sebaliknya, cenderung jauh dengan pemikiran dan cita rasa intelektual muda dan awam! Karena jauh dari rasa dan karsa kalian yang merasa diri rakyat itulah, kalian dengan mudah menilai DPR tak mencerminkan aspirasi rakyat!"


"Mereka kan wakil rakyat!" entak Umar. "Kalau bukan aspirasi rakyat, lantas mewakili siapa?"

"Aku juga menonton televisi sampai larut!" timpal Amir. "Apa tak kau lihat, setiap minta bicara para anggota DPR itu menyebut dirinya atas nama siapa, juga ketika pimpinan rapat menyilakan?"

"Meminta dan dipersilakan atas nama partai!" jawab Umar. "Tapi mereka di dewan perwakilan rakyat, bukan dewan perwakilan partai!"

"Itu dia! Tapi rapat Komisi III DPR dengan Kapolri malam itu konteksnya amat khusus, ada gelagat untuk mengenyampingkan adanya tekanan opini publik terhadap polisi!" tegas Amir. "Dari pihak polisi dalam menjelaskan penangguhan tahanan Bibit-Chandra menegaskan bukan karena tekanan pihak lain--padahal orang tahu adanya rekomendasi TPF! Demikian pula dari pihak DPR, cenderung kurang respek pada TPF bentukan presiden untuk keluar dari tekanan publik!"

"Kita sebenarnya tetap hormat pada DPR sebagai hasil pilihan rakyat!" timpal Umar.

"Publik itu rakyat, opini publik pendapat rakyat! Idealnya DPR responsif terhadap opini publik, karena itu opini rakyat yang diwakilinya! Tapi tak diabaikan, justru ketika opini publik itu sedang mengarus deras, terutama seusai pemutaran cakram sadapan KPK di Mahkamah Konstitusi--MK! DPR malah melawan arus opini publik sehingga rakyat yang mereka wakili kecewa pada tampilan DPR malam itu! Apalagi DPR sinis pada MK dan TPF bentukan presiden, yang jadi tumpuan rakyat untuk mencapai solusi konflik antarpenegak hukum!"

"Masalahnya sederhana!" tegas Amir. "Malam itu secara fisis anggota DPR berdekatan dengan mitra kerja, Kapolri dan jajarannya! Wajar jika mereka berempati--menempatkan diri dalam situasi mitra kerjanya itu! Cuma, kebetulan sang mitra sedang berlawanan dengan arus opini publik! Tak terelak, penampilan anggota DPR di televisi nasional pun jadi tampak cebleh--serbasalah--di mata publik, rakyat yang diwakilinya! Apalagi secara eksplisit, setiap bicara mereka menyebut diri wakil partai!" ***
Selanjutnya.....

Bersihkan Negeri dari Bedebah!


"DI negeri para bedebah/para pejabat hidup mewah/rakyatnya makan mengais sampah/atau kerja di luar negeri dengan upah serapah dan bogem mentah!" Umar membaca sajak Adhie M. Massardi. Lalu melanjutkan dengan versinya sendiri, "Para pejabat hidup mewah/memainkan cerita arahan para bedebah/menindas kebenaran bertameng hukum penuh gegabah/hancurkan lembaga pemberantas korupsi lewat rekayasa fitnah/publik sebah mau muntah/bangkit membela korban fitnah/bersatu di dunia maya dalam sejuta amarah!"

"Di negeri para bedebah/komitmen pejabat bulat pada bedebah/setia dan siap pertaruhkan jabatan demi bedebah!" sambut Amir. "Di negeri mana para bedebah dipuja semulia dewa/dipuji sesuci malaikat dari dosa/disidik berhari-hari pun tak bisa ditemukan kesalahannya/penyidik kehabisan formula jerat hukum dan mantra/terkesiap guna-guna bedebah perkasa/martabat para penegak hukum disihir jadi martabak bangka!"


"Di negeri para bedebah/polisi dan jaksa dihitung sebagai anak buah/nama presiden pun disebut-sebut sebagai bagian dari wabah!" tegas Umar. "Dasar bedebah!/Keparat penjarah/menggasak uang rakyat dari anggaran negara dengan nafsu serakah/merusak
mental aparat dari atas sampai bawah/membuat hidup rakyat semakin susah!"

"Karena itu, untuk menyelematkan negeri dari para penjarah/dan perusak sistem hukum hingga bubrah/bersihkan negeri dari para bedebah!" tegas Amir. "Presiden memimpin secara langsung pembersihan negeri dari bedebah/terutama pada kelompok mafia hukum dan peradilan yang membuat pejabat melanggar sumpah/kesadaran seluruh rakyat yang resah digugah/laporkan ke presiden setiap tahu mafia hukum dan peradilan mengatur langkah/memanipulasi hukum dengan menabur rupiah/agar bisa diringkus itu bedebah!"

"Bersihkan negeri dari bedebah/agar eksistensi negara hukum tidak goyah/oleh polah bedebah yang banyak tingkah/mendikte aparat hukum untuk mengatur langkah/sesuai kepentingan para bedebah/untuk menjustifikasi tindakannya apa pun yang mereka jarah!" timpal Umar. "Bersihkan negeri dari bedebah/rakyat sudah muak dan gelisah/karena akibat leluasanya kiprah para bedebah/semua janji kesejahteraan selalu mentah/karena penyaluran anggaran negara untuk itu selalu dijarah/oleh para bedebah!"

"Bersihkan negeri dari para bedebah/karena bisa merasuki pejabat negeri jadi siluman bedebah/sehingga berperilaku seperti bedebah/demi kepentingan para bedebah/mengabdi hingga mempertaruhkan jabatan demi bedebah!" tegas Amir. "Bersihkan negeri dari bedebah/agar sistem demokrasi atau pemerintahan oleh rakyat bisa megah/bukan cuma didikte oleh bedebah/untuk bebas menjarah/hingga rakyat cuma kebagian bertahan hidup dengan mengais sampah! Parah!".

Selanjutnya.....

Cicak Vs Buaya, Harapan Terganjal!


"KELEGAAN atas langkah pertama TPF melepaskan Bibit-Chandra dari tahanan setelah tercekam kegemasan mendengar rekaman sadapan telepon Anggodo selama 4--5 jam, tak bertahan lama!" ujar Umar. "Rabu sore kegemasan kambuh begitu polisi menyatakan, setelah memeriksa Anggodo lebih 12 jam polisi tak menemukan satu pun pasal yang bisa menjeratnya sebagai tersangka! Ini jelas antiklimaks dari rekomendasi TPF agar Anggodo segera ditangkap atas perannya yang besar dalam membuat kronologi rekayasa kriminalisasi KPK sesuai rekaman yang diputar di sidang MK!"

"Rasa lega itu mungkin cuma dirasakan sebagian warga yang positif menyambut gebrakan awal TPF!" sambut Amir. "Di lain sisi, tak sedikit publik yang tetap skeptis pada usaha jalan keluar dari konflik cicak versus buaya yang dibuat Presiden SBY! Hal itu bisa dilihat, meski sudah ada langkah nyata dibuat TPF, aksi massa hari Rabu tetap marak dari Jambi, Padang, Klaten, Sukabumi, Bojonegoro, sampai Yogya! Juga dukungan dari facebookers, usai pembebasan Bibit-Chandra tercatat 637 ribu orang, pukul 20.00 Rabu justru lebih dari 773 ribu orang--peningkatan justru lebih pesat dari sebelumnya!"


"Itu menunjukkan, harapan publik yang sempat tumbuh usai pemutaran sadapan KPK atas telepon Anggodo diikuti langkah nyata TPF, seketika layu kembali!" timpal Umar. "Kenapa?"
"Mungkin, publik kesal melihat gaya Humas Mabes Polri saat menjelaskan pelepasan Bibit-Chandra dari tahanan, dia sebut atas permohonan yang baru dimasukkan malam itu, tanpa ada tekanan dari mana pun!" tukas Amir. "Padahal publik tahu, permohonan penangguhan dari KPK sudah diserahkan beberapa hari lalu, juga pembebasan Bibit-Chandra malam itu atas tekanan dari TPF bentukan Presiden! Jadi, publik menangkap gelagat ketidakjujuran dan arogansi yang masih menonjol! Itu bisa membuat harapan publik yang sempat mekar jadi pupus dan terganjal! Demikian pula sikap di Kejaksaan Agung, justru berusaha menunjukkan seolah tak sedikit pun terpengaruh oleh kejadian di MK!"

"Kalau sikap kedua lembaga itu yang mengganjal harapan publik, ditambah tak didapatnya satu pasal pun yang bisa menjerat Anggodo sebagai tersangka di balik rekaman yang sudah didengar publik seantero negeri selama 4,5 jam penuh dengan segala pernyataannya mengatur praktek hukum baik lewat kiriman 'duren' maupun penggunaan uang miliaran yang dia ributkan dengan pengacaranya, usaha Presiden dan TPF mencairkan tekanan publik bisa berbalik--justru tekanan publik akan semakin besar dan keras, arusnya kian tak lagi bisa dikanalisasi!" timpal Umar. "Alasannya sepele, publik bertanya--begitu saktikah Anggodo, sehingga atas sekian banyak petunjuk pelanggaran hukum dalam rekaman, tak satu pun bisa menjeratnya?"

Selanjutnya.....

TPF Respons Rekaman Sadapan KPK!


"DAHSYAT! Usai mendengarkan rekaman sadapan KPK terhadap telepon Anggodo Widjojo di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), tim independen pencari fakta untuk verifikasi dan klarifikasi (TPF) penahanan pimpinan KPK Bibit--Chandra langsung merespons dengan tindakan!" ujar Umar. "Tindakan itu, pertama agar polisi malam itu juga menangkap Anggodo Widjojo yang perannya amat besar dalam upaya penyuapan aparat penegak hukum sesuai pengakuannya dalam pembicaraan di rekaman!

"Kedua, agar Mabes Polri membebaskan Bibit-Chandra malam itu juga, langsung disetujui Kapolri yang menunggu pengacara KPK dan TPF di Mabes Polri.

"Ketiga, agar Presiden membebastugaskan semua pejabat yang namanya disebut-sebut dalam rekaman! Ini akibat pembicaraan telepon tersebut mencerminkan buruknya sistem hukum di Indonesia, hingga tindakan ini akan jadi dasar pembenahan secara menyeluruh!


"Keempat, agar polisi segera mencari Yuliana, perempuan yang dengan suara lantang menjamin pada Anggodo dalam rekaman itu bahwa SBY sudah beres diatur! Berdasar itu, saat Anggoro telepon menanyakan soal RI-1, Anggodo menjawab sudah oke!"

"Luar biasa!" sambut Amir. "Tampaknya Adnan Buyung dan kawan-kawan ingin membuktikan, TPF yang ini tak sama mandulnya dengan berbagai TPF sebelumnya! Lalu, bagaimana penilaian TPF ini soal rekayasa kriminalisasi pelemahan KPK dalam rekaman itu?"

"Rekayasa itu, menurut Bang Buyung, bukan suatu bentuk terencana oleh para pejabat yang disebut-sebut dalam rekaman!" jawab Umar. "Melainkan, keterlibatan para pejabat dari kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan tindakan dengan peran masing-masing sesuai kronologi konspirasi yang dibuat Anggodo!"

"Busyeeet!" entak Amir. "Betapa hebat si Anggodo itu, bisa dengan mudah menjadikan para pejabat tinggi menjadi wayang mainannya!"

"Sebaliknya! Betapa menyedihkan para pejabat tinggi kepolisian dan kejaksaan, begitu mudah dijadikan wayang mainan Anggodo!" timpal Umar. "Maka itu, bisa dimaklumi jika TPF tanpa sedikit pun ragu memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menonaktifkan semua pejabat yang namanya disebut-sebut dalam rekaman!"

"TPF boleh tanpa ragu memberi rekomendasi, kembali pada pengalaman TPF sebelumnya, macetnya justru pada penerima rekomendasi, tak melaksanakannya!" tegas Amir.

"Kuncinya respons penerima rekomendasi! Kalau responsif, bagian penting tugas TPF sudah selesai, bisa dijadikan dasar reformasi hukum nasional! Sebab, dengan langkah awal TPF ini, yang membebaskan (menangguhkan penahanan) Bibit-Chandra dan menonaktifkan semua pejabat terkait rekaman, gelar perkara dan agenda TPF dua minggu ke depan tinggal menjadi pelengkap laporan TPF yang sekaligus merangkum rancangan paradigma baru praktek bersih penegakan hukum nasional!"
Selanjutnya.....

TPF Vs TPF--Tekanan Publik Fantastis!


"MENGHADAPI tekanan publik yang fantastis (TPF) atas penahanan pimpinan KPK nonaktif Bibit-Chandra, setelah meminta masukan sejumlah tokoh Presiden SBY membentuk TPF--Tim Pencari Fakta!" ujar Umar. "Jadilah TPF versus TPF! Dan TPF dalam arti Tim Pencari Fakta, selama ini sudah teruji merupakan alat yang ampuh bagi meredam TPF dalam arti tekanan publik yang fantastis! Itu terbukti pada TPF kasus Munir dan berbagai TPF lain, termasuk tim pencari fakta kerusuhan Mei 1998! Untuk tujuan menyelesaikan masalah, sejauh ini belum ada TPF yang berhasil!"

"Mungkin karena itu, meski TPF kasus penahanan Bibit-Chandra telah dibentuk, aksi mendukung KPK yang merebak di seantero Tanah Air belum reda!" sambut Amir. "Bukan hanya mahasiwa dan unsur masyarakat madani di kota-kota besar, sampai kota-kota kabupaten seperti Majene, Cirebon, tetap turun ke jalan melancarkan aksi! Malah di Gedung KPK Jakarta, koalisi mahasiswa melancarkan aksi menginap dan mogok makan!"

"Semua itu menunjukkan betapa berat tugas TPF yang dibentuk presiden sebagai solusi konflik penahanan Bibit-Chandra!" tegas Umar.
"Dari tokoh-tokoh yang dipilih memang tak perlu diragukan! Tapi ingat, tugas TPF cuma sebatas memberi rekomendasi--kebijakan selanjutnya jadi wewenang pemberi tugas. Itulah penyebab tak efektifnya pembentukan TPF berbagai kasus!"

"Namun, sebaiknya kita tidak berburuk sangka, meski banyak contoh sia-sianya kerja TPF!" timpal Amir. "Setidaknya kali ini, perbesar keyakinan bakal berhasilnya TPF menyelesaikan konflik yang melibatkan publik amat luas secara nasional itu--lebih-lebih dilihat dari tekanan publik lewat Facebook yang mencapai ratusan ribu orang!"

"Memuaskan publik seluas itu tak mudah bagi TPF!" tegas Umar. "Itu terbersit dari ucapan Fahri Hamzah, anggota DPR dari PKS di Metro TV (2-11), kalau TPF hanya melakukan verifikasi terbatas pada kasus penahanan Bibit-Chandra, tanpa menyentuh akar masalah timbulnya konflik dua lembaga yang dibiayai uang rakyat, Polri dan KPK! Maksudnya, kalau kerja TPF tak menyelesaikan sampai akar masalahnya, tekanan publik tak akan sepenuhnya reda! Ini akan membuat kondisi bangsa selalu tercekam situasi kurang nyaman!"

"Berharap TPF menyelesaikan masalah seluas itu, seperti dimaksud Fahri Hamzah, jelas tak mungkin dengan masa tugas TPF yang dibatasi hanya dua minggu!" timpal Amir.

"Sehingga, paling tepat, kita terima dan syukuri sebatas apa pun yang bisa dihasilkan TPF kasus Bibit-Chandra! Kalau ada yang masih perlu dibenahi lagi, dilanjutkan nanti! Karena, memang lebih sukar memperbaiki yang telanjur rusak atau nambal (ungkapan Jawa ini dicontohkan pada kain), yang sebaik apa pun dilakukan tak pernah bisa sebaik hasil kerja atas bakal--menjahit dari bahan baru! Apalagi yang harus ditambal TPF rusaknya kaprah nian!"
Selanjutnya.....

Cicak Vs Buaya, Versi Partai Demokrat!

"SAYAP hukum Partai Demokrat (PD) ternyata tidak conform dengan tindakan Polri dalam penahanan Bibit-Chandra!" ujar Umar. "Ketua Bidang Hukum PD, Amir Syamsuddin, menilai penahanan itu memberikan citra awal yang buruk terhadap pemerintahan Presiden SBY, dan membayangi pemerintahan SBY lima tahun ke depan! Penahanan itu merupakan sejarah hitam penegakan hukum dan sekaligus kemenangan bagi koruptor!" (Kompas, [31-10])

"Hidup Demokrat!" seru Amir. "Terbukti partai berkuasa membaca situasi secara jernih, sehingga bisa melihat jelas beban berat yang menimpa dan harus digendong pemerintah lima tahun ke depan akibat laku lajak kekuasaan hingga mengundang pressure dari seluruh elemen masyarakat sipil! Sikap demikian sejalan dengan massa konstituen yang hanyut dalam opini publik karena ikut merasa terancam seperti nasib yang dialami Bibit-Chandra! Kalau pimpinan KPK saja bisa diperlakukan begitu, apalagi jelata yang tak punya embel-embel apa pun!"

"Amir meyakini Polri juga telah salah menafsirkan perintah Presiden untuk mengusut tuntas disebutnya nama RI 1 dalam percakapan telepon Anggodo Widjojo dan sejumlah pejabat kejaksaan dan kepolisian! Itu yang harus diusut, lo kok malah menahan Bibit-Chandra, dan mau mencari siapa yang membocorkan rekaman!" lanjut Umar. "Amir menilai alasan penahanan itu sama sekali tak masuk akal dan tak bisa diterima! Bagaimana mungkin Polri mempersalahkan Chandra dan Bibit karena mencekal Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo hanya karena keputusan itu tak ditandatangani secara kolektif oleh pimpinan KPK! Anggoro buronan KPK, sedang Djoko narapidana!"

"Cukup jelas sikap sayap hukum PD!" timpal Amir. "Itu memberi isyarat agar polisi tak gegabah, karena dengan tak mutlak lagi dukungan partai berkuasa pada tindakan polisi, mengurangi dukungan moralnya! Tindakan hukum merupakan determinasi moral, dengan sumber moralnya pada rasa keadilan masyarakat pendukung sistem! Jika sumber moral hukum pada rasa keadilan itu tersumbat atau apalagi dicabut, tindakan hukum diambil tanpa dukungan moral! Akibatnya, hukum dijalankan tanpa rasa keadilan!"

"Bahkan dalam kasus Bibit-Chandra, disebutkan oleh banyak tokoh, hukum dijalankan dengan zalim! Ini yang diwanti-wanti Presiden dalam konperensi persnya, agar jangan sampai terjadi kezaliman!" tegas Umar. "Cuma bagaimana kalau meski polisi salah menangkap maksud perintah presiden saat menjalankannya, seperti kata Amir Syamsuddin, tapi presiden menerima hasilnya hanya karena disebutkan tugas itu dijalankan secara profesional?"

"Kalau hal seperti itu terjadi, produk akhirnya jadi kezaliman profesional!" timpal Amir. "Dengan sikap tadi, PD bebas dari stigma buruk itu!"
Selanjutnya.....

Cicak Vs Buaya, Keadilan Terkoyak!


"SOAL penahanan pimpinan KPK nonaktif Bibit--Chandra, Presiden SBY telah memberi penjelasan, dilengkapi keterangan Kapolri, kenapa justru makin banyak tokoh mendukung Bibit--Chandra, dengan komentar keras pula!" ujar Umar. "Ada yang menegaskan, rasa keadilan publik telah terkoyak! Dukungan lewat facebook juga mengalir kian deras, hitungan detik!" (Kompas, [31-10])

"Kesannya justru penjelasan Presiden dan Kapolri itu yang menggenjot eskalasi dukungan terhadap Bibit--Chandra!" sambut Amir. "Keberpihakan Presiden pada Polri hanya berdasar buntut atau akibatnya, posisi terakhir Bibit-Chandra ditahan--yang dianggap bukan hal luar biasa--dengan tak melihat prosesnya secara utuh dari kasus cicak lawan buaya, jadi penyebabnya! Itu membuat sebagian besar pangkal masalahnya justru disembunyikan--terkait yang merugikan polisi--hingga yang diangkat kasusnya hanya yang menguntungkan polisi saja!"

"Kalau penegakan hukum tidak utuh, memilah yang merugikan dan menguntungkan begitu, keadilan publik memang telah terkoyak!" tegas Umar.
"Celakanya bukan hanya para tokoh, publik awam pun hafal kisah cicak lawan buaya--yang mencuat dari ucapan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji ketika tahu hape-nya disadap KPK terkait 'penyelesaian' kasus Bank Century! Ia sesumbar dirinya buaya dan KPK hanya cicak, lalu ia buktikan dengan lebih cepat menjadikan pimpinan KPK tersangka kasus penyalahgunaan wewenang!

"Kemudian muncul testimoni Antasari Azhar dijadikan pemberat atas Bibit--Chandar dengan kasus penyuapan!" "Testimoni berdasar keterangan buron Anggoro dijadikan bukti penyuapan, kesaksian Ary Muladi yang dalam testimoni menyerahkan uang kepada Bibit juga dicabut, karena pada hari dan jam yang disebutkan Bibit bertugas ke Peru, sangkaan suap jadi tak berdasar!" timpal Amir.

"Lalu dimunculkan sangkaan baru, pemerasan, prosesnya tak jelas!" "Dalam perjalanan gonta-ganti sangkaan itu, dari KPK mengalir pula rekaman pembicaraan Susno dengan Anggoro di Singapura dua hari setelah Anggoro ditetapkan tersangka oleh KPK! Disusul rekaman rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK!" tegas Umar.

"Ini, kata Teten Masduki, membuat polisi panik hingga menahan Bibit--Chandra!"

"Semua yang mengisyaratkan gesekan lembaga Polri dan KPK itu dikesampingkan, gesekan itu dinyatakan tidak ada, lalu Presiden cuma fokus pada kasus Bibit--Chandra sebagai kasus pribadi hingga dia tak boleh campur tangan!" tukas Umar. "Sikap presiden itu bisa mengundang kecurigaan, seperti disitir facebooker, Wendi Citra, kepada Ahmad Arif (Kompas, idem): 'Kasus itu saya rasa adalah sebuah skenario upaya untuk menyembunyikan kasus besar agar publik tidak akan pernah mengetahuinya, karena KPK disibukkan untuk mengatasi masalah tersebut.' Nah!" ***
Selanjutnya.....