Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Sinabung, Amuk Sang Pendiam!


"SINABUNG, tampak berdiri gagah dari jalan raya Berastagi-Kabanjahe, gunung dengan prisma kepundan utuh, tak punya kawah, 400 tahun diam seribu bahasa!" ujar Umar.

"Sinabung pendiam terutama dibanding Sibayak, tetangganya, dekat Bandar Baru—perbatasan Deli Serdang dan Tanah Karo—yang justru sangat aktif! Kawah Sibayak yang menganga selalu mengepulkan asap, di kakinya banyak mata air panas belerang menyembur! Maka aneh, kalau justru Sinabung yang meletus Minggu malam lalu!"

"Sinabung yang tenang membuat pengawas gunung api terlena, tak memantau aktivitasnya dalam jangka waktu lama!" sambut Amir. "Tapi justru amuk dadakan sang pendiam itu mengingatkan pada masalah jauh lebih serius—terbukanya kembali jalur cincin api lama oleh desakan lempeng Australia ke lempeng Eurasia di wilayah Sumatera sejak gempa besar dan tsunami—
disusul gempa-gempa berikutnya!"

"Masalah jauh lebih serius akibat terbukanya kembali cincin api lama oleh rentetan gempa itu pasti kemungkinan ikut terbukanya jalur cincin api Supervolcano Toba!" tegas Umar. "Jika hidupnya kembali cincin api atas Sinabung yang tenang saja kita bisa kecolongan, bukan mustahil pula untuk kecolongan pada Supervolcano Toba! Padahal, tak terbayangkan betapa dahsyatnya jika kecolongan pada Supervolcano Toba, yang saat meletus debunya menutup permukaan bumi dari sinar matahari berbilang tahun lamanya!"

"Karena itu, kita tak cukup hanya prihatin dengan realitas buruknya manajemen informasi bencana (MI, [30-8]) pada meletusnya Sinabung!" timpal Amir. "Lebih dari itu, pengalaman buruk tersebut harus dijadikan cambuk bagi bangsa kita untuk membenahi dan meningkatkan kualitas informasi tentang gunung api kita—terutama karena kita hidup di sekitar cincin api tersebut!"

"Konon lagi kita di Lampung, bagian dari jalur cincin api itu! Krakatau dan Anak Krakatau sangat aktif! Gunung Tanggamus juga aktif! Lalu Gunung Rajabasa, meski pendiam mirip Sinabung, di kakinya banyak mata air panas belerang, isyarat kaitannya dengan cincin api tak bisa disepelekan!" tegas Umar. "Ungkapan para ahli asing tentang dorongan lempeng Australia ke Eurasia bisa mengaktifkan kembali cincin api lama, tentu layak diwaspadai! Untuk itu, alangkah baik jika sistem informasi gunung api bisa diandalkan! Dengan itu sejauh mana ancaman bencana bisa diketahui dan diantisipasi lebih dini! Bukan sebaliknya, saat terjadi justru dibuat bingung oleh manajemen informasi bencana yang buruk!"

Selanjutnya.....

Hati-hati Kalau Bagi Sembako!


"PADA 10 hari terakhir Ramadan biasanya banyak orang membagi-bagi paket sembako pada warga miskin! Namun beberapa tahun terakhir momen kemurahan hati itu sering berubah menjadi bencana. Banyak perempuan tua dan anak-anak terinjak-injak, bahkan ada yang tewas!" ujar Umar. "Maka itu, siapa pun mau bagi-bagi zakat, baik paket sembako maupun dalam bentuk lain, supaya berhati-hati agar niat baik tidak berubah menjadi petaka!"

"Apalagi akhir pekan lalu juga terjadi kejadian yang sama di Tulungagung dan Bekasi. Banyak yang terinjak-injak dan pingsan dalam pembagian sembako gratis!" timpal Amir.

"Di Tulungagung, 4.000-an warga miskin berdesakan saling dorong untuk mendapat paket sembako yang dibagi Pemda! Di Bekasi, banyak yang menerobos hingga berebut sebelum sembako dibagikan oleh yayasan yang memberi bantuan! Akibatnya, selain banyak yang terinjak-injak, banyak pula yang tak kebagian!"

"Kejadian terakhir itu menunjukkan kemiskinan masif belum berkurang, atau bisa jadi justru semakin parah!" tegas Umar. "Disesalkan tentu Pemda Tulungagung, tak memberi contoh bagaimana cara membagi paket sembako yang baik! Seharusnya Pemda tak mengumpulkan warga miskin sedaerah tingkat dua di Kantor Pemda yang pasti crawded! Lebih tepat disalurkan lewat kecamatan, lalu kecamatan minta kepala desa membuat daftar warga miskin dan mengirim paket sembako sesuai dengan daftar itu ke kepala desa!"

"Dengan begitu bisa dihindari bencara pembagian sembako, sekaligus lebih tepat sasaran!" timpal Amir. "Namun, masalahnya tak sesederhana itu! Di era kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah ingin menunjukkan betapa besar perhatian dirinya kepada rakyat miskin, hingga makin besar jumlah warga miskin yang berumpul di kantor Pemda, makin berhasil pula sang kepala daerah membangun citra politik kerakyatan!"

"Politik citra yang memanipulasi kemiskinan itulah inti masalahnya, bukan hanya di daerah, bahkan juga tak kalah serius di tingkat nasional!" tukas Umar. "Karena dengan begitu kemiskinan bukan merupakan sasaran sebenarnya dari kerja pemerintah untuk pengentasannya, tapi malah dieksploitasi atau digoreng sebagai sarana peningkatan citra kerakyatan pemimpin!"

"Namun demikian, dalam rangka membantu kaum miskin, kita tak harus mempermasalahkan motivasi seseorang atau suatu lembaga dalam melakukan bagi-bagi sembako!" timpal Amir. "Terpenting, bagaimana agar paket sembako bisa dibagikan secara tertib dan aman, tidak malah membuat warga miskin menderita terinjak-injak!"

Selanjutnya.....

Belajar Konflik dari Malaysia!

"SEJAK kasus Sipadan-Ligitan Malaysia dimenangkan Mahkamah Internasional sebagai pemilik kedua pulau itu, dalam konflik selanjutnya dengan Indonesia negeri jiran itu selalu unggul selangkah!" ujar Umar. "Itu terlihat dari kasus Ambalat yang disulut gertakan kapal perang Malaysia, Indonesia cuma bisa defensif! Lalu terkait kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri itu, Indonesia selalu menempatkan tangan di bawah!"

"Lebih parah dalam penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) RI oleh polisi Malaysia di perairan Indonesia, aparat negara kita ditelanjangi dan diperlakukan sama dengan penjahat, pembebasannya dibarter tujuh nelayan Malaysia yang tertangkap mencuri ikan di perairan Indonesia! Jadi, pejabat negara kita disetarakan maling dari Malaysia!" sambut Amir.

"Sudahlah begitu, menghadapi protes rakyat Indonesia bukannya pemimpin Indonesia berinisiatif membuat langkah sebanding dengan aspirasi yang meruyak di dalam negeri, justru Menlu Malaysia yang membuat shock therapy—mengeluarkan travel warning agar warga Malaysia membatasi kunjungan ke Indonesia!"

"Dalam kasus terakhir itu, Indonesia bukan lagi cuma kalah selangkah, malah seribu langkah!" timpal Umar. "Seharusnya Indonesia yang menyerang dengan shock therapy, tapi malah keduluan Malaysia! Para pejabat tinggi kita cuma sibuk debat kusir untuk membenarkan tindakan masing-masing! Pokoknya tak ada yang salah dengan mereka—para pejabat kita—itu, meski secara de facto kita semakin direndahkan oleh Malaysia!"

"Dengan posisi lebih dahulu 'kaki kita terinjak' demikian bisa dibayangkan bakal seperti apa pertemuan Menlu Indonesia dengan Menlu Malaysia di Kinabalu, Serawak, 6 September 2010!" tegas Amir. "Tentu pertama memberi tahu 'kaki kita terinjak', lalu minta tolong kaki yang menginjak diangkat dulu! Istilahnya, kita kalah setting, termasuk setting tempat pertemuan di wilayah Malaysia—bukan di tempat netral, Singapura misalnya! Dan karena kalah setting, tujuan pertemuan menyampaikan tuntutan rakyat Indonesia agar Malaysia meminta maaf telah memperlakukan pejabat Indonesia seperti penjahat, bisa-bisa malah terbalik court, justru kita yang disuruh meminta maaf!"

"Bukan mustahil, kalau gaya diplomasi Indonesia dalam konflik dengan Malaysia tidak berubah!" timpal Umar. "Untuk itu tampak, kita justru harus belajar dari Malaysia supaya bisa unggul dalam konflik! Yaitu, membuat langkah skak lebih dulu, bukan diskak melulu! Hanya dengan itu negara besar ini tak selalu tangan di bawah dalam konflik dengan negara kecil!"







Selanjutnya.....

Hukuman Mati Ancam 345 WNI!


"NASIB WNI di Malaysia kian buruk, 345 orang (angka KBRI) atau 177 orang (angka Kementerian Tenaga Kerja) terancam hukuman mati terkait pembunuhan, narkoba, dan pemilikan senjata api!" ujar Umar. "Berkat tekanan media, pekan ini (24-8) Presiden SBY membentuk tim bantuan hukum diketuai Menlu Marty Natalegawa untuk mengusahakan keringanan bagi WNI yang terancam pidana mati!"

"Adanya tim memberi harapan bisa dapat keringanan!" sambut Amir. "Namun, hubungan RI-Malaysia sedang tegang terkait dengan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan ditangkap polisi Malaysia di perairan RI dan diperlakukan selayak penjahat! Ini menyulut kemarahan warga Indonesia, termasuk anggota DPR dan elite di luar pemerintahan, kerja tim itu diperkirakan tak semulus diharapkan!"

"Sikap pihak Malaysia atas WNI terancam hukum mati bisa saja jadi lebih alot akibat tekanan besar dari dalam negeri Indonesia terkait kasus tiga petugas DKP!" timpal Umar. "Hal itu tak terlepas dari stereotipe orang Malaysia yang cenderung memandang rendah orang Indonesia dengan menjuluki Indon! Itu pula penyulut amarah orang Indonesia pada aparat Malaysia yang acap memperlakukan orang Indonesia tak manusiawi!"

"Amarah warga Indonesia pada Malaysia yang mendidih tergambar pada desakan tokoh-tokoh di luar pemerintah agar RI memutus hubungan diplomatik dengan Malaysia, jelas merepotkan pemerintah RI dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan Malaysia!" tegas Amir.

"Tentu pemerintah tak layak ikut emosional karena setiap langkahnya dinilai bangsa-bangsa sedunia! Namun, kalau mengambil langkah bertentangan dengan amarah yang membara di dalam negeri, pemerintah bisa terjepit di dalam negeri! Sekarang saja langkah pemerintah terkait dengan Malaysia di dalam negeri dicap sangat lembek!"

"Maka itu, pemerintah tak bisa menafikan tekanan dalam negeri, sekaligus harus tetap menjaga tak mencederai tata krama antarbangsa!" timpal Umar. "Untuk itu, pemerintah harus memilih langkah tegas terkeras yang masih dibenarkan tata krama antarbangsa! Dengan langkah itu, aspirasi dalam negeri tersalur! Kepada Malaysia, keangkuhannya diberi pelajaran dengan penilaian terburuk di mata bangsa-bangsa sedunia!"

"Dengan itu bisa diharap keringanan buat WNI yang terancam hukuman mati, justru sebagai kunci perbaikan wajah Malaysia dari penilaian terburuk di mata bangsa-bangsa sedunia!" tegas Amir. "Masalahnya, mampukah Pemerintah RI mengubah kebiasaan lembek dan ragu dengan yang tegas dan terhormat di mata bangsa-bangsa sedunia?"

Selanjutnya.....

Rampok Mengganas, Polisi Kedodoran!


"RAMPOK bersenjata api Agustus ini mengganas di sejumlah kota, sasarannya bank, nasabah bank, dan toko emas!" ujar Umar. "Di Bank CIMB Niaga Medan, gerombolan 16 perampok bersenjata AK 56 dan pistol FN, menewaskan seorang anggota Brimob dan melukai dua satpam, menggondol Rp400 juta lebih!"

"Di sisi lain, polisi kedodoran dalam menangkal maupun mengungkap kasusnya!" sambut Amir. "Untuk kasus yang menewaskan polisi di Medan itu, hingga sepekan sejak kejadian (18-8), juru bicara Polda Sumut kepada Metro TV (24-8) menyatakan belum berhasil mengidentifikasi para pelakunya!"

"Pelaku dalam jumlah besar itu seharusnya lebih mudah dilacak!" timpal Umar. "Tapi karena dari cara memegang senjata mereka profesional, masuk bank pakai helm dan sarung tangan hingga tidak ada sidik jari, membuat polisi sulit mengungkapnya!"

"Bukan cuma di Medan!" tegas Amir. "Juga di Kelapa Gading Jakarta (4-8), toko emas Pontianak (6-8), tiga toko emas Pasar Puteran, Bukit Duri, Jakarta (6-8); Pegadaian Buleleng, Bali (9-8); dua kantor pemerintah Tasikmalaya, Jabar (15-8); dua karyawan koperasi Jatidana, Semarang (16-8); toko emas Klaten, Jateng (19-8); Koperasi Telkom Tanjung Priok, Jakarta (20-8); SPBU Cirebon; dan nasabah BRI Denpasar, Bali (23-8). Dari semua itu hanya satu yang berhasil digagalkan massa—bukan polisi—perampokan nasabah bank di Dwi Sartika, Cawang (23-8). (Kompas, 24-8) Sedang polisi 20 hari baru menemukan satu rampok toko emas Bukit Duri di Ambarawa. (Lampost, 25-8)

"Dari sebaran dan frekuensi kejadian, ditambah kualitas kejahatan dan besarnya hasil rampokan—ratusan juta rupiah dan berkilo-kilo emas—terlihat terjadinya lonjakan drastis kejahatan mengancam masyarakat tanpa diimbangi antisipasi kepolisian yang memadai!" timpal Umar. "Apa penyebab polisi sempat kecolongan sedemikian fatal, jelas layak dicari tahu! Namun, sembari memberi waktu polisi untuk itu, juga mengungkap semua kasus dan meningkatkan penangkalan terhadap ancaman serupa, ada baiknya warga meningkatkan kewaspadaan dari gangguan penjahat di lingkungan masing-masing!"

"Tepatnya sishankamrata—sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta—digerakkan lagi! Jika kewaspadaan rakyat diaktifkan secara fisik lewat ronda malam, gerak penjahat makin sempit!" tegas Amir. "Diperkuat kesadaran pengusaha setiap membawa uang dalam jumlah besar minta pengawalan polisi, kesempatan perampok juga direduksi! Hanya jika semua peluang bisa ditutup, lonjakan kejahatan bisa diturunkan! Tapi kuncinya tetap pada kemampuan polisi mengungkap kasus dan meringkus pelakunya!" ***

Selanjutnya.....

Klaim Penguasa Vs Pembuktian-Nya!


SEORANG korban banjir naik ke bubungan rumah. Saat helikopter SAR datang, ia menolak bantuan itu. Tapi setelah air melampaui bubungan dan merendam tubuhnya seleher, ia sambut helikopter yang kembali menolongnya.

"Kau tadi menolak bantuan karena yakin air akan surut?" tanya relawan.

"Bukan karena yakin air akan surut!" jawab korban. "Tapi, amat yakin akan datang pertolongan-Nya!"

"Pertolongan-Nya seperti apa?" kejar relawan.

"Mungkin suatu keajaiban!" jelas korban. "Tapi sepeninggal kalian aku sadar, aku manusia biasa tak mungkin mendapat keajaiban seperti nabi! Pertolongan-Nya pasti yang masuk akal hamba awam, seperti lewat helikopter kalian! Maka itu, aku menyesal sekali menolak bantuan kalian tadi yang pasti tak lepas dari kuasa-Nya!"

"Memang, kalau Dia tak menghendaki pasti kami tak melihatmu yang tampak seperti cumplung—kelapa sisa tupai—terapung di permukaan air!" tegas relawan. "Kami bersyukur, atas kehendak-Nya bisa melihatmu dan memberi pertolongan!"

"Tapi banjir yang menelan rumahku?" tanya korban.

"Salah sendiri membuat rumah di delta sungai!" jawab relawan. "Juga mengingatkan penguasa yang selalu mengklaim kerjanya serbasukses, termasuk dalam merehabilitasi kerusakan alam, padahal perusakan hutan di hulu tak bisa mereka hentikan sepenuhnya! Seperti kau katakan tadi, akal hamba awam bisa menalari jalaran sebab-akibat kehendak-Nya! Klaim penguasa yang hanya demi pembenaran tindakan sendiri bisa ketanggor pembuktian-Nya! Itu berlaku dalam segala hal!"

"Bagaimana kalau suatu kasus muncul ditutup dengan pembenaran penguasa, lalu muncul kasus lain ditutup lagi dengan pembenaran penguasa, begitu terus hingga masalah-masalah bertumpuk tanpa penyelesaian tuntas?" tanya korban. "Seperti apa pembuktian-Nya?"

"Pembuktian-Nya lewat sunatullah, hukum alam yang berorientasi sebab-akibat!" tegas relawan. "Bertumpuknya kasus tak terselesaikan tuntas itu pada gilirannya menjadi sebab—nyandung dan nyerimpet—
langkah bangsa ke depan! Akibatnya, bangsa ini memikul tumpukan beban berat itu hingga selalu tertinggal dalam pacuan kemajuan dengan bangsa-bangsa lain!"

"Apalagi kalau pertolongan-Nya lewat iklim baik dan panen bagus dinafikan, malah diklaim sebagai sukses penguasa!" timpal korban. "Sedang ketika pembuktian-Nya tiba, iklim labil panenan kurang baik, yang disalahkan alam! Itu mungkin watak umum penguasa, enggan introspeksi karena lebih mudah membuat pembenaran sendiri!"

Selanjutnya.....

Paradoks Retorika dan Kebijaksanaan Terkait Koruptor!


"DALAM pidato di DPR 16 Agustus, Presiden SBY menegaskan bangsa Indonesia harus berjuang melawan korupsi! Ini sejalan pernyataannya terdahulu, untuk menjadikan koruptor sebagai musuh besar bangsa!" ujar Umar. "Namun saat bersamaan, pemerintah memberi potongan hukuman (remisi) pada terpidana korupsi—
empat mantan pejabat BI, serta pengampunan (grasi) pada mantan Bupati Kutai Syaukani Hasan Rais!"

"Itulah paradoks antara retorika—pidato Presiden dengan kebijaksaan pemerintah terkait koruptor!" timpal Amir. "Paradoks itu lebih jelas lagi dengan pernyataan pihak pemerintah, pemberian remisi dan grasi hal biasa, padahal korupsi kejahatan luar biasa--extra ordinary crime!"

"Realitas paradoksal itu disesalkan Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid (Kompas, [22-8]), yang menyebut tindakan itu semakin mencederai nurani rakyat yang jadi korban praktek korupsi tersebut!" tegas Umar. "Pengampunan terhadap koruptor itu dinilai Edy Suandi membuktikan pemerintah tak sungguh-sungguh memberantas korupsi!"

"Kebijaksanaan—pengecualian dalam pelaksanaan aturan—
remisi hanya pada empat terpidana koruptor dan grasi pada satu terpidana koruptor, juga tidak memperlakukan sama di muka hukum!" timpal Amir. "Jadi, ketidakadilan juga terjadi pada sesama terpidana korupsi! Artinya, makin banyak dimensi keadilan yang dicederai, kian buruk pula kebijaksanaan!"

"Dihadapkan pada gejala kian maraknya korupsi—
terutama di daerah—di satu pihak, dan kian lemahnya pemberantasan korupsi di lain pihak seperti terlihat di KPK sejak kasus cicak vs buaya, dan di kepolisian dengan penanganan mafia hukum dan pajak yang tak tuntas pada para penyuap Gayus Tambunan serta orang-orang di lingkaran tugasnya, pemberian remisi dan grasi yang pilih kasih itu cuma menambah ruwetnya pemberantasan korupsi!" tegas Umar. "Telaknya, kepercayaan terhadap usaha pemerintah dalam memberantas korupsi bisa kian merosot! Harapan rakyat bagi suksesnya menghabisi korupsi cuma terpenuhi sebatas retorika, sedang dalam tindakan justru sebaliknya!"

"Jika pemberantasan korupsi sudah lain kata dari perbuatan begitu, karena korupsi tak mungkin dihabisi hanya dengan retorika, rakyat cuma bisa memohon pertolongan Allah, agar para koruptor disadarkan untuk menghentikan sendiri korupsi mereka!" timpal Amir. "Ampuni para pemimpin yang tak mampu memenuhi harapan kami, Ya Allah! Hanya pada-Mu tumpuan harapan kami!"

Selanjutnya.....

Memangkas Biaya Tinggi Pilkada


"DALAM pidato di DPR 16 Agustus Presiden SBY mengaku prihatin dengan maraknya demokrasi berbiaya tinggi, khususnya dalam pemilihan umum kepala daerah—pilkada!" ujar Umar. "Menurut Presiden, kegiatan demokrasi hendaknya sumber dananya legal, besarannya sesuai aturan. Tapi nyatanya, justru menumbuhkan politik uang bahkan memicu perbuatan anarkistis!"

"Keprihatinan Presiden bisa dipahami, biaya tinggi pilkada berakibat buruk!" sambut Amir. "Kepala daerah terpilih harus mengembalikan itu dari APBD--lewat penyalahgunaan kekuasaan! Lalu, cari modal untuk pilkda berikutnya, atau berburu jabatan usai jabatan kepala daerah!"

"Untuk memangkas biaya tinggi itu, tentu harus diurut prosesnya dari awal orang mau jadi calon kepala daerah!" tegas Umar. "Pertama harus sewa 'perahu', parpol! Untuk 'sewa perahu', bukan rahasia umum lagi, berbilang miliaran rupiah!"

"Sewa perahu saja tak cukup!" timpal Amir. "Harus ditambah dana operasional mesin partai! Dihitung dari tim sukses (TS) tingkat dua, anak cabang dan ranting, bekerja sejak sosialisasi, kampanye, dan saksi di semua TPS, PPS, PPK! Dana operasional ini bisa lebih besar dari sewa perahu!"

"Celakanya, meski bayar dana operasional, ada parpol mesin partainya tak bekerja maksimal!" tukas Umar. "Calon harus membentuk TS sendiri lagi! Justru TS yang sering tak didaftarkan parpol pengusung ke KPUD itu, lebih praktis mendekati kelompok pemilih, dan sulit dibuktikan kaitannya dengan calon jika melakukan politik uang!"

"Untuk memangkas biaya tinggi itu, berarti faktor pertama pada parpol! Maukah parpol dari pusat sampai daerah memangkas sewa perahu dan dana operasional?" timpal Amir.

"Faktor kedua, tokoh-tokoh pemimpin paguyuban atau kelompok sosial, maukah mereka berubah orientasi, mengajak warganya menolak politik uang dan memilih pemimpin semata berdasar kualitas?"

"Atas kedua faktor itu, pencerahan lewat berbagai dimensi pendidikan politik saja butuh waktu lama untuk mencapai tujuan!" tegas Umar. "Harus ada pressure yang kuat lewat peluang yang ada! Misal, karena ketokohan jadi penentu di pilkada, tokoh yang berakar dalam masyarakat diarahkan lewat jalur independen! Jika semakin banyak calon independen menang, keefektifan parpol dalam pilkada menurun, sewa perahu akan turun!"

"Pressure begitu juga perlu waktu!" timpal Amir. "Artinya, pemangkasan biaya tinggi pilkada baru bisa diwacanakan, sedang prakteknya cuma bisa dikeluhkan—bahkan oleh Presiden! Kecuali, partai Presiden berani memberi contoh solusi, bukan cuma menjadi bagian dari masalah!"

Selanjutnya.....

Kaisar Caligula Angkat Kudanya


"CALIGULA, kaisar ketiga Roma (berkuasa 37-41 Masehi) mengangkat kuda kesayangannya, Incitatus, menjadi senator!" ujar Umar. "Sebagai senator negara adidaya, Incitatus diberi rumah mewah dan pelayan! Pesta-pesta besar diadakan dengan 'Senator Incitatus' sebagai tuan rumahnya!"

"Caligula sebenarnya sukses mengujudkan hidup sederhana di istana dalam 200 hari memerintah!" sambut Amir. "Tapi sejak jatuh hati pada Drusilla, adik kandungnya, menyuruh si adik meninggalkan suaminya, Caligula berubah jadi penguasa absolut! Ia katakan hal itu biasa pada Firaun-Firaun Mesir, sedang saat itu Roma memerintah Mesir, jadi ia lebih tinggi dari Firaun!"

"Caligula mendewakan diri, tak ada yang berani menolak perintahnya!" timpal Umar.

"Hal tragis menimpa Gemelius, sepupu sesama pewaris takhta dari kakeknya, Tiberius! Saat makan malam mulut Gemelius bau obat batuk, oleh Caligula dituduh minum penawar racun! Gemelius ia perintahkan bunuh diri dengan pedangnya sendiri!"

"Unjuk kekuasaannya absolut, selain mengangkat kudanya jadi senator, Caligula melakukan banyak hal sesukanya!" tegas Amir. "Saat kebun binatang kehabisan stok daging makanan hewan, Caligula menetapkan, semua tahanan yang kepalanya botak dijadikan makanan hewan tersebut!"

"Merasa setara dewa, Caligula tak lagi mandi air biasa! Ia mandi aneka wewangian mahal! Juga perjamuan megah yang setiap kali menghabiskan 2,5 juta dinar!" timpal Umar. "Pemborosan itu menguras keuangan negara peninggalan Tiberius! Untuk mengisi kembali kas negara, Caligula menetapkan pajak atas hampir semua barang!"

"Juga ia tangani sendiri pelelangan budak dan gladiator, sebagai juru lelang!" tambah Amir. "Ia undang paksa orang-orang kaya, siapa yang mengangguk meski karena mengantuk, dianggap deal atas harga yang ia tawarkan! Pernah terjadi ketika seorang peserta lelang tertidur, saat terjaga menemukan dirinya telah membeli 13 gladiator dengan harga amat mahal, 2,25 juta dinar!"

"Kekejaman Caligula hingga dibenci di hampir seluruh kemaharajaan Romawi berujung pada 24 Januari 41," ujar Umar, "Ia hina melampaui batas perwira pengawalnya, Cassius Charerea, hingga Cassius menebaskan pedangnya ke bahu Caligula! Tindakan Cassius itu diikuti pasukannya, sampai Caligula tewas!"

"Caligula merupakan contoh penguasa yang suka bertindak sesukanya, bertentangan dengan akal sehat karena merasa tak ada yang berani menolak putusannya!" tegas Amir.

"Anehnya, di zaman modern ini pun ada saja penguasa seperti itu!"

Selanjutnya.....

Nasib Petani Terlupakan!


"NASIB petani yang mayoritas warga bangsa dan kantong kemiskinan ternyata terlupakan, tak disinggung dalam pidato Presiden SBY di DPR 16 Agustus!" ujar Umar. "Akibat pidato yang tidak menukik ke persoalan substansial pertanian itu muncul kekhawatiran, pembangunan pertanian tak sampai ke daerah hingga jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar!" (Kompas, [19-8])

"Kenyataan itu cukup memprihatinkan!" sambut Amir. "Padahal, di sisi lain, para petani dewasa ini menuntut perhatian yang lebih serius, selain iklim labil dan serangan hama terus meluas, banyak masalah lama belum teratasi dengan revitalisasi pertanian yang dicanangkan sejak priode pertama pemerintahan SBY!"

"Masalah lama itu seperti permodalan, yang meski ada tapi aksesnya sulit oleh petani, sehingga jadi tidak signifikan!" timpal Umar.

"Itu menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir pada Kompas (idem). Juga soal kekurangan 17 ribu tenaga penyuluh! Belum lagi infrastruktur pertanian seperti jaringan irigasi dan damnya banyak rusak—senasib infrastruktur jalan raya!"

"Bahkan masalah revitalisasi pertanian sudah sejauh mana hasilnya sama sekali tak disinggung dalam pidato itu!" tegas Amir.

"Di sisi lain, pasar dalam negeri semakin tergantung pada produk pertanian asal impor, dari gandum, buah-buahan, sampai kedelaihingga tak kepalang mengubah pola konsumsi warga, dari aneka olahan gandum hingga produk olahan kedelai seperti susu!"

"Pada konsumsi buah, untung masih ada pisang, pepaya, melon, semangka dan lengkeng yang bisa produktif sepanjang tahun!" timpal Umar. "Tanpa itu, konsumsi buah kita juga bisa sepenuhnya tergantung pada impor seperti gandum!"

"Untuk itu, sejalan dengan peningkatan aliran dana APBN ke daerah, diharapkan para kepala daerah dan DPRD mengambil peran lebih besar dalam peningkatan usaha tani di daerahnya!" tegas Amir.

"Isu yang merebak di pusat seolah kemampuan daerah menyerap anggaran rendah jadi tak relevan lagi, mengingat justru dana yang diperlukan daerah untuk memprioritaskan sektor pertanian dan revitalisasinya ini bahkan jauh lebih besar dari peningkatan anggaran ke daerah!"

"Dengan demikian, justru ketika Presiden terlupa memberikan janji dan solusi bagi peningkatan kesejahteraan petani, ditarik menjadi peluang penting bagi pemerintah dan politisi daerah untuk mengisi perannya!" tegas Umar.

"Terbuka peluang lebih besar bagi kepala daerah dan politisi DPRD untuk mewujudkan janji kampanye mereka kepada kaum tani! Jangan sia-siakan itu!"

Selanjutnya.....

Remaja Naik Motor Bertiga tanpa Helm!

NENEK ngomel melihat remaja usia SMP bahkan SD ramai ngabuburit—jalan-jalan sore menunggu waktu berbuka puasa—naik sepeda motor berbonceng tiga tanpa memakai helm!

"Orang tuanya kok tidak khawatir, kalau jatuh kepala anaknya pecah!" entak nenek. "Selain itu membiarkan anaknya melakukan pelanggaran beberapa pasal undang-undang (UU) sekaligus! Dari mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM, bisa dipastikan karena usianya belum cukup untuk dapat SIM, sampai bonceng tiga tanpa helm!"

"Justru orang tuanya bangga anaknya masih kecil sudah bisa mengendarai sepeda motor!" timpal cucu.

"Kebanggaan begitu merupakan ekspresi sikap sok pamer!" tegas nenek. "Sikap itu mengalahkan kekhawatiran anaknya mendapat kecelakaan! Dengan dalih mengizinkan anaknya membawa sepeda motor itu merupakan haknya, kalaupun terjadi kecelakaan itu anak mereka sendiri, kok! Sikap sok demikian menunjukkan para orang tua itu lupa, UU dibuat terutama guna melindungi para pemakai jalan, orang-orang lain yang bisa jadi korban dalam kecelakaan yang diakibatkan remaja di bawah umur mengendarai sepeda motor secara melawan hukum, seperti anak mereka itu!"

"Kalau alasan bisa membahayakan orang lain sesama pemakai jalan yang nenek kemukakan, keberatan nenek bisa dipahami!" timpal cucu. "Apalagi telah terbukti,
kecelakaan di jalan raya merupakan penyebab kematian terbesar di negeri kita! Apakah kenyataan itu tak membuat orang tua berpikir lebih jauh demi keselamatan dan masa depan anaknya?"

"Soal masa depan anak itu lebih penting!" tegas nenek. "Khususnya kebiasaan buruk meremehkan hukum yang ditanamkan pada anak sejak usia belia itu! Bayangkan kalau sikap dan kebiasaan lawless—tak peduli hukum—itu terbawa ke masa dewasa, bisa membuatnya menjadi bajingan! Bahkan kalaupun ia sukses menjadi pejabat atau politisi, terminal akhirnya juga penjara—seperti banyak orang sukses yang ternyata bersikap lawless!"

"Sedang yang sejak kecil dididik dengan dasar etika-moral yang kuat—dari takut kualat, takut penjara, sampai takut neraka—saat besar salah bergaul hingga menjadi bajingan!" timpal cucu. "Konon lagi sejak dini ditoleransi bahkan disponsori untuk bersikap lawless oleh orang tuanya sendiri!"

"Remaja itu sedang dalam fase pancaroba, kondisi tidak stabil untuk mencari jatidiri!" tegas nenek. "Maka itu, kalau jatidiri lawless—mengendarai sepeda motor tanpa SIM bonceng tiga tak pakai helm—yang justru dilembagakan dalam dirinya oleh orang tuanya, jangan sesali jika kelak bablas!"










Selanjutnya.....

Jika Pertumbuhan Berbasis Konsumsi!


"MESKIPUN pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 hanya 4,3%, kita bangga karena masuk tiga besar di Asia setelah China (10%) dan India (8%). Selain, hal itu terjadi ketika krisis keuangan global banyak negara mengalami pertumbuhan negatif!" ujar Umar. "Itu terngiang di telingaku dari pidato Presiden di DPR 16 Agustus!"

"Hal itu memang layak disyukuri!" sambut Amir. "Inti syukurnya, negeri kita dianugerahi penduduk terbesar keempat dunia, setelah China, India, AS!"

"Inti syukurnya jumlah penduduk?" tanya Umar.

"Karena pertumbuhan ekonomi kita berbasis konsumsi!" jawab Amir. "Jika pertumbuhan berbasis konsumsi, negara terbesar penduduknya tertinggi pula pertumbuhannya! China, penduduk 1,3 miliar jiwa tumbuh 10%! India penduduk satu miliar tumbuh 8%! Penduduk Indonesia 237 juta (Sensus 2010), tumbuh 4,3%!"

"Pertumbuhan dihitung dari kelebihan nilai PDB—produk domestik bruto—periode sama tahun lalu. PDB dihitung dari sumbangan berbagai kelompok produktif!" sambut Amir.

"Jika pertumbuhan berbasis konsumsi, tentu bisa juga dihitung lewat sumbangan kelompok warga ke keranjang PDB, seperti per 100 juta jiwa—jika setiap 100 juta jiwa menyumbang 1% pertumbuhan, dari konsumsi 1,3 miliar penduduk China pertumbuhan menjadi 13%! Dengan pertumbuhan riil 10%, sumbangan per 100 juta penduduk China di bawah 1%! Sedang Indonesia, dengan 237 juta jiwa tumbuh 4,3%, sumbangan per 100 juta penduduk jadi dua kali lipat dari China!"

"Dari penghitungan itu tampak, tingkat konsumtif warga Indonesia dua kali lipat dari China dan India!" timpal Amir. "Celakanya, pertumbuhan China dan India didukung industri, isu terpenting di Indonesia kini justru sedang terjadinya proses deindustrialisasi—pertumbuhan sektor industri menjurus ke negatif! Lebih celaka, konsumtivitas Indonesia yang tinggi terjadi atas produk impor, sedang industrinya banyak perakitan (assembling) dan lisensi merek produk asing! Jadi, nilai tambah dan net profit industrinya lebih dinikmati asing!"

"Dengan komponen pertumbuhan seperti itu apa tetap layak kita banggakan?" tanya Umar.

"Tentu layak dibanggakan!" jawab Amir. "Namun, akan lebih baik dan sehat kalau komponen pertumbuhan dan nilai tambahnya benar-benar kita yang menikmati! Kalau begini terus, kita bekerja di ladang sendiri, panennya dibawa pulang orang asing! Realitas demikian menuntut kita lebih serius lagi mewujudkan kemerdekaan ekonomi agar rahmat kemerdekaan bisa benar-benar dinikmati bangsa Indonesia!" ***

Selanjutnya.....

Sabar, Guru Swasta Tidak Masuk Data!


"DAHULU ibu berdoa semoga anggaran pendidikan dipenuhi 20 persen dari APBN dan APBD, agar bisa berharap guru non-PNS yang mengajar di sekolah swasta—seperti Ibu—
bisa diangkat jadi PNS!" ujar anak. "Kini harapan itu pupus! Ada edaran Menteri Aparatur Negara (Menpan), guru sekolah swasta tidak masuk data Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk diusulkan jadi PNS ke Badan Kepegawaian Negara—BKN!" (Lampost, [15-8])

"Ibu tetap bersyukur doa ibu terkabul, anggaran pendidikan sudah dipenuhi 20 persen dari APBN dan APBD!" sambut ibu. "Kalau dengan anggaran 20 persen itu kami belum mendapat kesempatan ikut menikmatinya, tentu ibu tetap lapang dada bersabar! Sebab, sabar dan syukur itu pilar iman! Apalagi berita yang meminta kesabaran itu tiba di bulan Ramadan, sabar dan syukur nilainya tinggi!"

"Tapi di bulan yang sama, Presiden SBY 16 Agustus di DPR memastikan, peningkatan kesejahteraan guru diprioritaskan!" tegas anak. "Gaji minimum guru sudah di atas Rp2,5 juta per bulan!"

"Mungkin itu khusus bagi guru yang masuk pidato Presiden!" timpal ibu. "Sedang kami tidak masuk alias di luar pidato Presiden! Jumlah yang masuk dengan yang tidak hampir sama! Di Lampung, misalnya, dari sekitar 100 ribu guru, yang PNS di bawah 50 ribu, sedang non-PNS lebih 50 ribu!"

"Pantas ibu bisa sabar dan tetap tenang!" tukas anak. "Karena ternyata lebih banyak sejawat guru yang senasib! Berat sama dipikul, dengan banyak yang memikul bebannya jadi terasa ringan!"

"Beban berat jadi terasa ringan lebih sebagai buah keikhlasan para guru yang tak masuk pidato Presiden untuk bersabar dan selalu bersyukur tetap bisa mengabdi meski tersisih dari usaha perbaikan kesejahteraan guru yang dibanggakan Presiden!" timpal ibu. "Sama nasibnya dengan warga yang selalu tersisa dalam kelompok di bawah garis kemiskinan, di balik klaim sukses pemerintah mengentaskan kemiskinan!"

"Klaim demi klaim sukses pemerintah berlanjut, tapi nasib mayoritas guru dan warga di bawah garis kemiskinan tak kunjung membaik!" tegas anak. "Lebih lagi nasib guru yang menurut edaran Menpan dipastikan terlalu muluk untuk berharap bisa masuk data BKD!"

"Justru edaran Menpan yang membunuh harapan guru non-PNS di sekolah swasta untuk masuk data BKD, membantu para guru yang disingkirkan dari data itu untuk lebih mudah bersabar!" timpal ibu. "Betapa, sabar justru menjadi satu-satunya pilihan ketika tak lagi ada setitik pun harapan! Begitulah nasib guru non-PNS di sekolah swasta, sekadar setitik pun harapan tak tersisa lagi!"

Selanjutnya.....

Puasa, Pencoleng Merampok Rakyat!


IBU kembali dari pasar tanpa bawa belanjaan, "Pusing melihat orang ramai sekali di pasar!"

"Bulan puasa orang ramai ke pasar cari yang lebih lengkap!" timpal pria di angkot.

"Harga pun naik!"

"Logikanya mayoritas orang berpuasa, konsumsi turun!" timpal ibu. "Tapi yang terjadi sebaliknya! Ragam kebutuhan dan konsumsinya justru naik!"

"Anehnya, kata ustaz, saat Ramadan semua setan dibelenggu! Orang hanya diuji kendali nafsunya!" timpal pria. "Peningkatan konsumsi saat Ramadan menunjukkan orang lebih tak kuasa mengatasi nafsu sendiri, lebih buruk dari saat setan bebas!"

"Jauh lebih aneh, perilaku masif tak terkendali yang konvensional—berulang setiap Ramadan—mendorong kenaikan harga barang itu, tak pernah bisa diatasi pemerintah, baik lewat mekanisme pasar, hukum, maupun cara lain!" tegas ibu. "Pihak yang berwenang mengendalikan harga malah lepas tangan, menyatakan kenaikan harga saat Ramadan wajar! Tak peduli negara wajib melindungi seluruh warganya, tanpa kecuali dari perampokan atas nilai riil pendapatan rakyat oleh kenaikan harga barang yang laten menjadi inflasi tinggi! Terlalu naif penguasa menyatakan perampokan terus-terusan nilai pendapatan rakyatnya yang justru membuktikan kegagalan dirinya melindungi rakyat itu, dia sebut wajar!"

"Berarti dia anggap wajar pula dirinya gagal menjalankan fungsi melindungi rakyat!" timpal pria. "Padahal dua abad lalu Adam Smith telah menghadirkan invisible hands—tangan tak terlihat—dalam mekanisme pasar, salah satunya intervensi pemerintah! Jadi, sebelum Ramadan pemerintah seharusnya lebih dulu siap dengan penawaran (persediaan) yang tinggi sebelum permintaan bergerak naik, agar naik setinggi apa pun permintaan selalu di bawah penawaran!"

"Lalu, jika stok penawaran itu dikuasai pencoleng yang menimbun barang agar harga naik dan dia dapat untung besar, ada hukum (UU) yang bisa menjerat penjahat itu dengan hukuman berat—subversi ekonomi!" tegas ibu. "Tapi semua ‘turf card' pemerintah itu tak dimainkan! Tak peduli perampokan nilai pendapatan rakyat berlanjut—dilakukan oleh pencoleng penimbun barang!"

"Lebih parah lagi, sudahlah pemerintah tak efektif menjalankan fungsinya mengendalikan harga, kebijakan pemerintah justru memicu kenaikan harga lebih signifikan!" tukas pria. "Contohnya kebijakan daging sapi yang kacau! (Kompas, [14-8]) Harga daging sapi naik sampai di atas 50 persen! Jadi, boro-boro menstabilkan harga, kebijakan pemerintah sendiri malah menyulut kenaikan harga jadi lebih spektakuler!"

Selanjutnya.....

Kebiasaan Dulah Membaca Terbalik!


DALAM pesantren kilat Ramadan, semua murid diuji kemampuannya membaca Alquran. Dulah, murid baru pindahan sekolah, membaca Alquran terbalik, melihatnya dari sisi atas!

"Kenapa Alqurannya kau balik?" tanya guru.

"Karena sejak kecil kalau ibu mengajar ngaji aku dipangku, menyimak bacaan murid di depannya dari sisi atas!" jawab Dulah. "Jadi terbiasa!"

"Coba baca sesuai dengan kebiasaanmu!" ujar guru. Usai itu, Dulah disuruh membaca dengan posisi lazim. Guru menyimpulkan, "Ternyata lebih lancar dan akurat terbalik! Untuk itu kusarankan kau melatih diri dengan posisi normal sampai sefasih dalam posisi terbalik! Agar dari kedua sisi sama baiknya!"

"Kenapa harus begitu?" kejar Dulah.

"Untuk memenuhi syarat jika kelak kau menjadi pemimpin!" jawab guru. "Pemimpin harus fasih membaca bukan hanya dari sisinya, tapi juga dari sisi pengikut atau pendukungnya! Dengan begitu, pemimpin bisa klop memahami masalah, antara pandangan dari sisinya dan realitas hidup dan keinginan pengikut atau pendukungnya!"

"Rupanya ada pemimpin yang memahami masalah hanya dari sisinya saja?" tanya Dulah.

"Banyak seperti itu!" tegas guru. "Penyelesaian masalah dilakukan cuma dari sisi pemahamannya, dengan akibat tak nyambung atau menyentuh realitas masalah dan pemahaman pengikutnya! Akhirnya, selain masalahnya tak terselesaikan, timbul masalah baru akibat pemahaman sisi sang pemimpin yang dipaksakan!"

"Apa sebutannya pemimpin hanya menjalankan pemahaman dari sisinya saja, dan kalau memadu sisi dirinya dengan sisi pengikut?" tanya Dulah.

"Pemimpin yang hanya menjalankan pemahaman dari sisinya disebut pendekatan kekuasaan!" jelas guru. "Sedang yang memadu kedua sisi, sehingga kearifan sang pemimpin bekerja terpadu dengan realitas kebutuhan, keinginan, dan kemampuan berdasar kebiasaan pengikut, disebut pendekatan kultural! Pendekatan kultural lebih mungkin berhasil karena pengikut memiliki kemampuan berpartisipasi berkat kebiasaannya diakomodasi dalam penyelesaian masalah! Pendekatan kekuasaan sebaliknya, karena sering hanya bertolak dari ambisi pemimpin, jadi di luar kemampuan pengikut untuk berpartisipasi!"

"Kenapa kebanyakan pemimpin justru memilih pendekatan kekuasaan?" kejar Dulah.

"Karena sukses menurut pemahamannya sendiri lebih penting, ketimbang menurut pemahaman dan kebutuhan pengikut!" tegas guru. "Tapi itu sering terjadi karena pemimpin tak mampu membaca sisi pemahaman pengikut! Pemimpin jadi syur sendiri, mengklaim sukses sendiri!"

Selanjutnya.....

Ramadan Bulan Penuh Hidayah!

"DENGAN hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 bertepatan 17 Ramadan, hari Nuzulul Quran (Buras [15-8]), hari kemerdekaan kita itu pun puncak hidayah—turunnya ilmu pengetahuan—pencerahan Ilahiah!" ujar Umar. "Sejalan dengan itu, setiap Ramadan negeri kita juga menjadi bulan penuh hidayah, tadarus membaca Alquran dilakukan saksama setiap malam di masjid-masjid, surau-surau, maupun rumah-rumah!"

"Semoga hidayah pencerahan Ilahiah menyinari bangsa Indonesia yang memperingati 65 tahun kemerdekaan di bulan Ramadan! Amin!" timpal Amir. "Siklus pertemuan hari kemerdekaan dan Ramadan yang penuh hidayah membersitkan harapan kembalinya hidayah yang mencerahkan para pemimpin bangsa seperti pada bapak pendiri Republik Indonesia, yang berkat kemerdekaannya menempatkan Indonesia menjadi lokomotif penghela kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di dunia!"

"Dalam konteks kekinian, kita bisa menemukan titik restart yang baik dan benar hingga mampu mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang dahulu di belakangnya, dan menyalip emerging countries atau BRIC—Brasil, Rusia, India, China—bahkan membuat loncatan fenomenal di balik decline industri yang mengadang negara-
negara maju!" sambut Umar. "Untuk itu, selaras dengan tumpuan harap pada hidayah, para pemimpin masa kini sewajarnya istikamah, dengan ikhlas, sungguh-sungguh dan jujur untuk reorientasi—memurnikan semua tugas dari segala kepentingan politik kekuasaan golongan atau pribadi dengan selubung retorika, menjadi semata-mata demi kepentingan rakyat dan kemajuan negara!"

"Hanya dengan demikian hidayah yang digapai lewat tadarus Ramadan seantero negeri mungkin mengkristal dengan binar cahaya yang cerah menerangi titik restart pada langkah yang tepat dan benar untuk membawa bangsa ini keluar dari tumpukan masalah yang dari hari ke hari terus semakin ruwet!" tegas Amir. "Artinya, Ramadan penuh hidayah yang hadir bersama hari kemerdekaan bangsa, perlu disikapi dan dimaknai sesuai bobot tantangan yang dihadapi, bukan sekadar basa-basi atau retoris belaka!"

"Dengan intensnya tadarus seantero negeri, jika para pemimpin benar-benar tulus berusaha menggapai pijar cahaya (nur) hidayah yang menerangi jalan keluar bagi bangsa intuk dari keterpurukan berkepanjangan, bahkan mukjizat pun sebagai tanda kemahaagungan-Nya bukan mustahil dihadirkan-Nya!" timpal Umar. "Seperti mukjizat kemerdekaan yang telah Dia karuniakan kepada bangsa Indonesia!"




Selanjutnya.....

Ramadan Bulan Kemerdekaan!


"TAK sesuatu pun terjadi tanpa izin Allah!" ujar Umar. "Karena itu, pasti bukan kebetulan jika Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 bertepatan hari Jumat 17 Ramadan!" (Dwiki Setiyawan, Kompasiana, [24-8-2009])

"Fakta sejarah itu membuktikan, Ramadan bagi bangsa kita merupakan bulan kemerdekaan!" sambut Amir. "Lebih lagi, hari kemerdekaan jatuh pada Jumat, hari buat umat Islam yang mayoritas warga bangsa ini salat berjamaah di masjid! Kemerdekaan jadi waktu dan ruang bagi bangsa ini untuk ibadah berjamaah meraih rida-Nya!"

"Lebih istimewa lagi bertepatan 17 Ramadan, hari Nuzulul Quran, turunnya wahyu pembimbing umat manusia sebagai khalifah di bumi!" tegas Umar. "Dengan acuan Alquran yang sempurna, Islam jadi agama Rahmatan Lilalamin, rahmat bagi semesta alam! Betapa istimewa kemerdekaan kita, terangkai berbagai gerbang rahmat-Nya!"

"Syukur kita panjatkan atas rahmat kemerdekaan itu!" timpal Amir. "Lebih-lebih umat Islam sebagai mayoritas yang lewat momentum kemerdekaan didekatkan pada sendi-sendi kemahaagungan-Nya! Syukur kita ekspresikan dengan pengamalan sikap rahmatan lil alamin, memelihara harmoni kehidupan sesama manusia serta segala makhluk dan benda-benda ciptaan-Nya di semesta yang serba-berbeda—di Galaksi Bima Sakti saja terdapat 200-an miliar bintang seperti matahari tata surya kita! Galaksi Bima Sakti hanya satu dari sedikitnya 1.200 miliar galaksi di semesta tak terhingga!"

"Sebagai khalifah, wali amanah kekuasaan ilahiah dengan rahmat kemerdekaan, mengekspresikan syukur dengan menjaga dan mengelola perbedaan semua ciptaan-Nya itu, mengayomi yang kecil dan lemah dari yang besar dan kuat—semut tak boleh dianiaya seperti dikencingi sarangnya!" tegas Umar. "Kalau semut saja tak boleh diusik, apalagi menganiaya sesama manusia yang lemah dengan membumihanguskan gubuk-gubuk hujiannya, atau menyerang kaum yang berbeda dengan kaumnya! tindak kekerasan itu jelas bertentangan dengan kodrat manusia merdeka sebagai khalifah pengemban amanah-Nya! Khalifah yang dituntut memahami perbedaan diciptakan sebagai bukti mahabesar-Nya! Hingga, menolak perbedaan itu bisa berarti menolak
kemahabesaran-Nya serta rahmat kemerdekaan sebagai karunia bagi seluruh warga bangsa!"

"Maka itu, syukur kita panjatkan dengan tibanya Ramadan tahun ini dan dua tahun ke depan bersamaan hari kemerdekaan Indonesia!" timpal Amir. "Mari kita isi Ramadan dengan ibadah memaknai kemerdekaan! Dirgahayu Indonesia!"

Selanjutnya.....

Perempuan Karier di Bulan Puasa!


"DI kantor pekerjaan bertumpuk, tak selesai dari pagi sampai tutup kantor, pulang langsung ke pasar belanja, sampai rumah menyiapkan bukaan dan makan malam!" ujar perempuan karier. "Siap buka, salat magrib berjamaah ke masjid, pulang makan malam, kembali ke masjid salat tarawih! Selesai itu baru tidur! Belum puas tidur, bangun menyiapkan makanan sahur, siap sahur beres-beres dapur dan mencuci piring! Lalu salat subuh ke masjid, pulangnya mencuci pakaian dilanjutkan menyetrika! Kemudian menyiapkan anak-anak ke sekolah dan diri sendiri berangkat ke kantor! Sampai kantor, tumpukan pekerjaan menunggu yang tak selesai dikerjakan sampai jam pulang!"

"Mengeluh, nih?" sambut suami.

"Bukan mengeluh! Saya dan perempuan seperti saya semua melakukannya dengan ikhlas kok!" jawab perempuan karier cepat. "Itu tadi cuma mengingat agenda rutin, yang tak boleh terlewat satu pun karena seperti jalannya planet dan bintang-bintang di jagat raya, salah satunya saja menyimpang bisa terjadi disharmoni!"

"Kalau ikhlas, mau apa lagi?" timpal suami. "Itukan bagian dari kemajuan zaman emansipasi, sekaligus buah perjuangan kesetaraan gender!"

"Kesetaraan gender!" entak perempuan karier. "Konsep kesetaraan gender aslinya bukan cuma perempuan menangani pekerjaan pria, tapi timbal balik, pria menangani pekerjaan perempuan! Jika perempuan saja menangani pekerjaan pria, lantas pekerjaan perempuan sepenuhnya tetap ditangani perempuan juga, jelas perempuan yang gempor!"

"Tapi di negeri kita, terutama dalam budaya Jawa, dianggap saru dan tabu hingga diberi julukan negatif cupar kalau pria menangani pekerjaan perempuan!" tegas suami.

"Pria cupar dipandang rendah, karena dinilai tidak percaya pada istri!"

"Tabu itu budaya lama, feodalistik, seperti halnya perempuan harus dipingit hanya menangani pekerjaan dalam rumah—hingga diperjuangkan emansipasi atau pemerdekaannya dari pemingitan itu oleh Raden Ajeng Kartini!" tegas perempuan karier. "Tapi kini setelah merdeka lengkap dengan kesetaraan gender, tabu itu sudah tak relevan bahkan bertentangan dengan tuntutan zaman!"

"Jangan coba-coba melawan tabu budaya, apalagi menghabisinya, bisa kualat!" timpal suami. "Konon pula di balik tabu itu, keikhlasan suami dalam menerima pelayanan istri—nyaris dalam segala hal—menjadi penentu baik-buruknya amal pengabdian seorang istri dunia-akhirat!"

"Rupanya emansipasi dan kesetaraan gender baru kulitnya!" tukas perempuan karier.

"Sedang intinya, belenggu tabu budaya, belum tuntas!" ***

Selanjutnya.....

Upin-Ipin Borong Beraneka Ayam!


"SORE pertama puasa, Upin dan Ipin diberi uang jajan untuk membeli bukaan pilihan sendiri!" ujar Umar. "Diam-diam kedua bocah itu rupanya membongkar tabungan dibawa ke pasar, tempat dagang makanan! Upin dan Ipin pun memborong beraneka olahan ayam—goreng, bakar, gulai!"

"Puasa hari pertama, apalagi anak-anak, biasa begitu!" sambut Amir.

"Tapi saat berbuka tiba, Upin dan Ipin tak mampu menghabiskan semua olahan ayam yang mereka beli!" tegas Umar. "Ketika keduanya terengah-engah kekenyangan, Kak Ros mendesak agar mereka habiskan ayam yang mereka beli! Kalau tak dihabiskan mubazir, dan mubazir itu dilarang agama! Tapi perut Upin dan Ipin tak muat lagi! Kak Ros pun mengingatkan agar lain kali tak mengulangi perbuatan itu!"

"Sederhana sekali pelajaran adab berpuasa yang disampaikan lewat kartun televisi untuk anak-anak Malaysia itu!" timpal Amir. "Materi ceritanya wajar, tak mustahil dilakukan oleh anak-anak! Sementara anak-anak Indonesia, lewat lebih banyak stasiun televisi yang menyerbu ruang keluarganya, dicekoki banyolan orang dewasa yang sarkastis! Atau, pelecehan dengan menjadikan tertawaan perilaku orang bodoh—pandir! Selepas itu reality show yang konyol, mengerjai orang lewat hipnosis, atau jebakan perselingkuhan, semua tak layak buat anak-anak!"

"Sebenarnya anak Indonesia mendapat sajian banyak kartun, asal Jepang dan Hollywood!" tukas Umar. "Cuma, semua langka sentuhan agamanya, meski sekadar dalam episode khusus seperti Upin dan Ipin! Akibatnya jadi tidak sederhana!"

"Tak sederhana bagaimana?" kejar Amir.

"Banyak di antara kita relatif terlambat mendapat sentuhan kultural lewat proses media massa tentang banyak hal, juga masalah keagamaan!" jelas Umar. "Disebut proses kultural, pemahaman ditumbuhkan lewat proses perkembangan fisik dan mental anak sejak dini! Akibat proses kultural itu tak kita peroleh, tak aneh kalau sajian adab berpuasa Upin dan Ipin itu bagi masyarakat kita malah lebih tepat jadi pelajaran buat warga dewasa—lebih khusus lagi sebagian kaum ibu—karena masa kecilnya kurang bahagia, tidak mendapat sentuhan kultural sama tepat waktu!"

"Maksudmu ajaran adab puasa Upin-Ipin itu relevan buat sebagian ibu kita yang cenderung suka menyiapkan bukaan puasa berlebihan?" timpal Amir. "Selain aneka ragam hidangan, juga volumenya—untuk keluarga empat orang sering disiapkan hidangan yang tak habis disantap 10 orang sekalipun! Seperti Upin dan Ipin saja!"

Selanjutnya.....

Ibadah Senyum Vs Kaca Gelap!


NAIK mobil menuju kota, sepanjang jalan Tina membuka kaca mobil menebar senyum.

"Nanti dikira orang kau pelarian RSJ, senyum sendiri terus!" tegur Toni yang menyetir.

"Kata ustaz senyum itu ibadah!" kilah Tina.

"Tapi tidak dari atas mobil sepanjang jalan!" timpal Toni. "Kalau tidak gila, dikira mejeng! Dinilai orang negatif, apalagi dengan membuka kaca gelap mobil di panas terik begini! Sudah memalukan, kegerahan pula!"

"Untuk ibadah, meski sekadar senyum, wajar jika harus berkorban baik kegerahan maupun dikira ini-itu!" tegas Tina. "Lebih lagi dengan membuka kaca gelap mobil, tanpa warga sadari kita sedang mengatasi benturan budaya!"

"Benturan budaya apaan?" potong Toni.

"Budaya sosial kekerabatan masyarakat kita versus budaya individualisme!" tegas Tina. "Setiap perangkat teknologi diciptakan berdasar latar belakang ideologi masyarakatnya! Kaca gelap mobil bukan sekadar untuk kenyamanan, lebih dari itu untuk gaya hidup individualistik, yang cenderung menutup diri dari kehidupan sosial sekitarnya! Bahkan telah menyulut cultural shock, memaksa orang jadi antisosial—barang siapa membuka kaca mobil dan mengulurkan bantuan kepada pengemis atau anak telantar, diancam denda satu juta atau satu bulan kurungan!"

"Tidak menyangka budaya individualisme bawaan ideologi negeri asal kaca gelap mobil mendorong elite kita sejauh itu, antisosial dalam masyarakat Timur yang kental budaya sosial-kekerabatannya!" timpal Toni. "Belum lagi dihadapkan pada ajaran agama yang demikian banyak perintah Tuhan dan sunah Rasul agar kita mengasihi fakir miskin, yatim piatu, atau anak-anak telantar! Ternyata sedahsyat itu cultural shock yang terjadi!"

"Sebagai umat beragama berakal sehat—yang akalnya tak sehat bebas dari kewajiban ibadah fardu—kita lihat apakah tindakan antisosial bertentangan dengan ajaran agama itu solusi tepat," ujar Tina. "Di Jakarta, pembersihan peminta-minta dan anak telantar dari persimpangan jalan dengan dalih memacetkan lalu lintas! Terbukti, setelah mereka disapu bersih, lalu lintas malah jadi lebih macet! Di kota lain, aturan itu dibuat untuk menunjukkan ketegasan kepala daerah, memperkuat citra kepemimpinan memasuki pilkada! Kepala daerah yang di atas kertas paling populer itu, kalah dalam pilkada!"

"Oke! Karena di kawasan kebon, tak ada lagi yang butuh ibadah senyummu, kini tutup kacanya!" tegas Toni. "Silakan tidur, juga merupakan ibadah bagi orang puasa!"

Selanjutnya.....

Relevansi Sosial Ibadah Ramadan!


"RAMADAN telah tiba! Marhaban ya Ramadan! Bulan penuh rahmat dan ampunan!" ujar Umar. "Mari kita isi Ramadan secara maksimal dengan ibadah, terutama berpuasa, memenuhi kewajiban setiap orang beriman secara ikhlas, lillahi ta'ala! Semoga kita jadi orang yang takwa!"

"Amin!" sambut Amir. "Meski puasa hablun minallah, hubungan pribadi dengan Sang Khalik, pengamalan menahan haus dan lapar, menahan diri dari semua larangan, menggugah kesadaran terhadap nasib sesama yang sepanjang hidup serbaterbatas seperti yang dirasakan saat berpuasa! Penghayatan kesadaran terhadap nasib dan derita sesama itu gerbang hablun minannas—hubungan sesama manusia—syarat sempurnanya hablun minallah! Itulah dasar relevansi sosial ibadah Ramadan!"

"Relevansi sosial itu layak diberi tekanan dalam ibadah Ramadan, lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa mewujudkan cita-cita masyarakat adil-makmur--keadilan sosial bagi seluruh rakyat!" tegas Umar. "Betapa, realitasnya justru semakin tenggelam dalam ketakadilan sosial, kemiskinan!"

"Bicara soal ketakadilan sosial, juga lazim disebut ketakadilan substantif—sosial ekonomis—fokusnya bukan saja mereka yang mampu, tapi lebih sempit lagi, mereka yang mampu berkat kewenangannya membuat aturan yang mengikat berupa hukum dan peraturan baik di pusat maupun daerah (dan mengatur anggaran publik) untuk selalu berusaha mengutamakan orientasinya bagi mewujudkan keadilan sosial dimaksud!" timpal Amir. "Dengan nukleus kemiskinan yang diprioritaskan amil zakat di masjid-masjid setiap akhir Ramadan adalah fakir-miskin, yatim-piatu dan anak-anak telantar, mereka yang berwenang menciptakan hukum berkeadilan dan mengatur anggaran publik justru belum memberi perhatian memadai untuk itu—tanpa kecuali konstitusi (Pasal 34 UUD 1945) mengamanatkan dengan terang dan jelas!"

"Yang terjadi malah sebaliknya, pembuat hukum dan pengatur anggaran publik lebih mendesak aturan penambah nikmatnya sendiri—seperti dana aspirasi, rumah aspirasi—daripada melaksanakan amanat konstitusi bagi kaum duafa!" tukas Umar. "Pada tataran lebih rendah, aturan dibuat justru mendorong penistaan kaum duafa, menangkap paksa dan memulangkan mereka ke daerah asal—seperti mengusir semut dari tumpukan gula!"

"Maka itu, kita doakan semoga lewat amalan ibadah Ramadan, kesadaran baru tumbuh pada pengemban amanah konstitusi untuk memberi prioritas mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat!" timpal Amir. "Selamat beribadah Ramadan!"

Selanjutnya.....

‘Lampost’ 36 Tahun Ekspresikan Aspirasi!


"HARI ini, 10 Agustus 2010, Harian Lampung Post--Lampost—berusia 36 tahun," ujar Umar. "Usia matang dan dewasa untuk ukuran manusia!"

"Namun, dengan kerendahan hati diakui, Lampost masih banyak kekurangan, belum sepenuhnya mencerminkan kematangan usianya!" timpal Amir. "Usaha maksimal untuk objektif tak cukup, karena subjektivitas pengelola dalam memilih, menulis, dan menempatkan berita tak pernah bisa dilepas sepenuhnya! Lampost pun hadir dengan keterbatasan, objektivitas yang subjektif tak lepas dari ketaksempurnaan manusianya! Objektivitas sebatas formal, para pihak terkait berita terakomodasi!"

"Perkembangan pesat teknologi informasi, diiringi dinamika warga mengikutinya, juga membuat Lampost harus mengakui kekurangannya!" tegas Umar. "Khususnya dalam perubahan sistem komunikasi global dari broadcast—satu media mendikte jutaan audiens—ke sistem broadband—jutaan sumber melayani satu customer—dan kian interaktif! Dengan periode pelayanan 1 x 24 jam dan terbatasnya ruang akibat mahalnya biaya produksi, kapasitas media cetak juga kian terbatas dalam memenuhi tuntutan kebutuhan informasi warga yang semakin dinamis!"

"Tapi dengan luapan informasi dari jutaan sumber dalam sistem broadband, audiens juga butuh waktu untuk mengakses informasi yang benar-benar dia butuhkan!" timpal Amir. "Membantu warga yang waktunya amat berharga itu, media cetak menyeleksikan informasi yang dibutuhkan lewat kriteria genting/penting dan menarik! Di sini, subjektivitas pengelola media jadi penentu, dengan ketepatan pilihan topik dan materi justru sebagai ujian relevansi media bagi pembacanya!"

"Ujian berkriteria lebih selektif dan kualitatif lebih baik itu, agar pembaca tak terbenam kehabisan waktu dalam sampah asal tumplek berita, hingga pilihan media benar-benar mengekspresikan aspirasi pembaca, dijalani dengan pemilihan umum lewat pasar—market electoral system—setiap hari! Ini kelebihan pers dari partai politik yang diuji lewat pemilu lima tahun sekali, setimpal dengan posisi pers sebagai pilar keempat negara demokrasi!" tegas Umar. "Lewat pemilu setiap hari itu, kian kuat aspirasi pembaca diekspresikan, tambah kuat pula dukungan pembaca—yang bayar iuran tetap dengan melanggani media untuk pengekspresian aspirasinya!"

"Untuk semua itu, dengan segala kekurangan yang ada, kita ucapkan terima kasih kepada pembaca yang tetap mempercayakan Lampost mengemban dan mengekspresikan aspirasinya!" ujar Amir. "Dirgahayu Lampung Post!"

Selanjutnya.....

Perlu Ekstremitas Atasi Laju Korupsi!


"EKSES pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak drama cicak-buaya hingga kinerjanya tak lagi bringas semester pertama 2010, korupsi priode itu meningkat dua kali lipat dari prriode sama 2009 (Kompas, [5-8]), menuntut ekstremitas sikap dalam mengatasinya! (Kompas, [6-8])" ujar Umar. "Penyikapan ekstrem mendesak, lebih lagi karena menurut ICW lajunya dipuncaki korupsi di daerah, terminal akhir pelayanan rakyat!"

"Korupsi yang keterlaluan harus diatasi dengan tindakan represif yang ekstrem!" sambut Amir.

"Tindakan represif yang ekstrem saja tak cukup!" tegas Umar. "Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, tindakan ekstrem mengubah sistemnya secara menyeluruh harus dilakukan seiring tindakan represif, hingga tak ada lagi celah untuk korupsi! Artinya, sejalan penindakan refresif, pencegahan di semua dimensi sistemnya juga harus ekstrem!"



"Tapi semua itu baru faktor objektif--luar diri aktornya!" timpal Amir.

"Faktor subjektif dalam diri aktor pelaku sistemnya juga harus mendapat sentuhan ekstrem yang justru bisa membuatnya obsesif untuk taat berjalan di atas code of conduct pelayan masyarakat, siap berkorban—bukan justru berburu tambahan nikmat seperti anggota DPR!"

"Cuma, apa bisa mengubah sikap-mental korup yang sudah mendarah daging?" sambut Umar.

"Pesimisme itu diperkuat sulitnya mengubah pola hidup mewah keluarga aparatur korup! Maka itu, ekstremitas diperlukan dari sisi objektif, karena menggarap sisi subjektif akan sia-sia!"

"Meski begitu, peletakan dasar sisi subjektif itu diperlukan, agar ke depan kita bisa berharap memiliki birokrasi negara dan pemerintahan yang bersih, idealis dan obsesif pada kejujuran!" tegas Amir.

"Untuk membangun barisan masa depan seperti itu tentu harus dimulai sejak rekrutmen yang dilakukan sepenuh-penuhnya oleh lembaga independen, dalam arti seluruh prosesnya tidak sedikit pun dicampuri birokrasi pemerintahan daerah dan pusat!

Pemerintah hanya mengorder tenaga sekelas apa yang dibutuhkan, lembaga rekrutmen independen yang memenuhinya! Lalu, lembaga itu menggembleng mental dan idealisme antikorupsi CPNS yang lulus, baru diserahkan!"

"Rekrutmen ekstrem itu, meski sukar disetujui pemerintah dengan alasan yang bukan rahasia umum lagi, sejalan dengan ektremitas tindakan represif dan perubahan total sistemnya!" timpal Umar.

"Dalam situasi represi dan perubahan sistem yang ekstrem itu, bisa diharapkan mental antikorupsi CPNS baru yang telah tergembleng tak cepat luntur, hingga bisa jadi pilar penting dalam menegakkan birokrasi antikorupsi ke masa depan!"

Selanjutnya.....

Duka Cerita Nelayan Korban Bumihangus!


"DUKA cerita nelayan korban pembumihangusan permukiman Kualakambas dan Kualasekapuk kian pedih!" ujar Umar. "Di pengungsian tenda darurat beratap plastik asal ada itu kian banyak terserang infeksi saluran pernapasan atas (ispa)--batuk, pilek, demam! Balita kian rawan gizi, para manula makin lemah, salah satunya Suyuti (60), pekan ini menjadi korban meninggal berikutnya!"

"Menurut Koordinator Forum Komunikasi Nelayan Kualasekapuk dan Kuala Kambas, Adi, kondisi pengungsi semakin buruk, terancam kelaparan!" timpal Amir. "Sudah begitu, mereka diintimidasi pula oleh oknum terkait dengan pembumihangusan, agar tidak menyampaikan keluhan atas penderitaan mereka ke wartawan! Ibarat orang yang digencet tak boleh merintih kesakitan! Tragis nian!"


"Semua itu tentu tidak mengurangi rasa hormat pada sejumlah LSM yang memperhatikan mereka semampunya!" tegas Umar. "Antara lain Lampung Ikhlas dikoordinasi Nopi Juansyah, Tim Medis Bunda Delima, dan relawan Tim Psikologi Wahana Advokasi Remaja dan Anak-anak Universitas Muhammadiyah Lampung (Warda-UML). Dari mereka diketahui korban pembumihangusan itu berjumlah 755 orang, dengan kondisi fisik dan psikis yang amat mengenaskan!"

"Bisa dipahami kemampuan LSM yang swadaya dan swadana itu amat terbatas, sehingga jika tak ada bantuan pihak lain--terutama dari pengelola dana publik, seperti pos bantuan sosial APBD--yang cepat dan memadai, nasib pengungsi itu fatal!" timpal Amir.

"Selain bantuan darurat pangan dan obat-obatan, amat mendesak merelokasi mereka ke permukiman baru 199 kepala keluarga (KK) itu dengan kondisi tak separah sekarang, agar para nelayan bisa kembali melaut menafkahi keluarga! Tanpa itu, drama kemanusiaan yang jauh lebih tragis tak terelakkan!"

"Harapan untuk itu tidaklah berlebihan, apalagi mengada-ada!" sambut Umar. "Betapa sejuknya hati warga Lampung mendengar belakangan ini pemimpin daerah ini mempromosikan kebijakan prorakyat! Tentu bukan promosi kosong! Sebab itu, bisa diyakini, hanya soal waktu kebijakan prorakyat itu menjangkau pengungsi nelayan Kualakambas dan Kualasekapuk!"

"Untuk selanjutnya, kepada instansi yang punya kekuatan penghancur, agar mempertimbangkan dampak kemanusiaan penggunaan kekuatannya!" tegas Amir. "Sebab, tindakan penghancuran yang dilakukan tidak menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru yang lebih fatal bagi sendi dasar bernegara bangsa kemanusiaan yang adil dan beradab!" ***

Selanjutnya.....

Redenominasi, untuk Selubungi Ketimpangan!


"AMIN menabung di celengan sisa uang jajannya setiap hari satu koin, talen atau ketip. Setelah 100 koin, sesuai hitungan di ingatannya dari hari ke hari, jumlahnya Rp14,05. Berapa koin talen dan koin ketip dalam celengan Amin?" cucu membaca di monitor komputer kakek. "Ini soal apa, Kek?"

"Soal aljabar SMP kelas 2 tahun 1950-an!" jawab kakek. "Persamaan tersamar dengan dua bilangan anu—pertama talen bernilai 25 sen per koin, kedua ketip dengan nilai 10 sen per koin"

"Sulit amat!" entak cucu. "Kakek tulis buat apa?"

"Persiapan menyusun buku excercise aljabar, menyongsong redenominasi rupiah!" jelas kakek. "Kalau redenominasi memangkas tiga angka nol dari nilai rupiah sekarang, harus disiapkan uang receh untuk rakyat jelata—sen (seperseratus rupiah), gobang (satu seperempat sen atau setengah benggol), benggol (dua setengah sen), kelip (lima sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), dan suku (50 sen). Kita kembali ke zaman Belanda."

"Rumit sekali ragam satuan mata uang recehan untuk rakyat jelata itu!" timpal cucu.

"Memang, jauh lebih rumit dari satuan tunggal rupiah pada mata uang sekarang!" tegas kakek. "Maka itu, kalau redenominasi disebut untuk penyederhanaan mata uang, jelas keliru banget!"

"Lantas, sebenarnya untuk apa?" kejar cucu.

"Untuk menghilangkan kerisihan elite yang bergaji puluhan juta sebulan, seperti DPR Rp65 juta, atau Gubernur BI Rp235 juta, jauh sekali jaraknya dari pendapatan mayoritas rakyat—upah minimum buruh cuma Rp750 ribu sebulan! Jika dipotong tiga nolnya jadi tak ada lagi sebutan juta, apalagi ratusan juta, jadi terkesan tak ada ketimpangan!"

"Buset! Jadi redenominasi rupiah yang menguras dana menyiapkan mata uang baru dan sosialisasi itu hanya untuk menyelubungi ketimpangan pendapatan atau justifikasi ketimpangan sosial yang amat tajam?" timpal cucu. "Lalu rakyat jelata disusahkan pula dengan mata uang receh buat mereka yang ragam satuannya amat rumit!"

"Juga mempermudah korupsi!" tegas kakek. "Dengan uang sekarang, korupsi atau terima suap miliaran uangnya berkarung, susah disimpan di rumah, di bank tercium PPATK seperti Gayus!"

"Demi kepentingan elite berpendapatan besar dan koruptor, redenominasi pasti jadi!" timpal cucu. "Ternyata kemerdekaan seperti jalan melingkar, setelah 65 tahun merdeka kita kembali ke awal—zaman Belanda—di mana ketimpangan sosial punya banyak justifikasi! Rakyat jelata pun harus bawa pundi-pundi untuk recehan, jenis mata uang yang mampu mereka dapatkan!" ***

Selanjutnya.....

Korupsi Naik Dua Kali Lipat!


"ICW—Indonesia Corruption Watch—mengungkap, korupsi pada semester pertama 2010 meningkat dua kali lipat dari periode sama 2009! (Kompas, [4-8])," ujar Umar. "Rekor tertinggi korupsi pada sektor keuangan daerah, terkait dengan dana APBD!"

"Kenyataan pahit itu menunjukkan pengelolaan negara ini semakin buruk!" sambut Amir.

"Laju pemburukan terjadi bukan kepalang, dalam satu tahun bisa mencapai 100 persen!"

"Jika korupsi naik, tentu kinerja memberantasnya merosot!" tegas Umar. "Lebih parah lagi jika pada sisi pemberantasnya juga terjadi korupsi, seperti jaringan mafia hukum yang terbongkar di tubuh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan terakhir ini! Membersihkan lantai dengan sapu kotor, lantai jadi tambah kotor! Itu salah satu penyebab laju peningkatan korupsi bisa begitu pesat!"

"Penyebab kedua mungkin karena pemberantasan korupsi juga dilakukan secara simbolis!" timpal Amir. "Contohnya ketika Tim Anti-Mafia Hukum dari lembaga Kepresidenan sidak ke Rutan Pondok Bambu dan menemukan “istana” terpidana dalam penjara, tim itu bukan memproses hukum secara formal aparat yang terlibat, tapi menyerahkan kasusnya pada menteri terkait untuk diselesaikan secara internal! Jadi, penindakan cuma simbolis!"

"Lebih parah lagi penyebabnya adalah pembiaran terhadap indikasi korupsi! Contohnya di balik ledakan beruntun tabung gas yang menelan banyak korban jiwa, ada sembilan juta tabung gas dan perantinya dipasok tak sesuai dengan kualitas yang dibayar dengan uang negara!" tegas Umar. "Pemerintah menarik kembali sembilan juta tabung dan perantinya itu, tanpa mencari siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara dalam pengadaan tabung yang ditarik dan harus diganti dengan kualitas standar itu! Tak ada kontraktor, subkontraktor, atau pejabat yang menanganinya diproses hukum! Pembiaran atas masalah yang potensial korupsi itu bisa membuat tindakan penyimpangan sejenis menjadi hal biasa!"

"Dan banyak faktor lainnya, seperti pelemahan KPK, perpecahan di tim antimafia hukum, yang secara komprehensif menjadi paduan kekuatan memacu laju pemburukan usaha pemberantasan korupsi!" timpal Amir. "Karena itu, jika semua faktor pelemah pemberantasan korupsi itu tak dibereskan satu per satu, laju peningkatan korupsi bisa terus semakin pesat! Celakanya, pihak yang berwenang membereskan masalah itu tak terlihat berusaha ke arah sana! Sebaliknya, malah beretorika usaha memberantas korupsi telah maksimal dan sukses!"

Selanjutnya.....

Jika Pemerintah Tidur, Ekonomi Lebih Baik!


"BUDI, bangun! Sudah siang!" seru ibu. "Katanya mau jadi pejabat pemerintah atau politisi yang mengatur negara, untuk kuliah saja tidurnya sukar dibangunkan!"

"Justru jika pemerintah tidur, dijamin ekonomi lebih baik!" sambut Budi. "Itu prinsip laissez faire--sistem ekonomi pasar bebas seperti yang kini dikembangkan WTO--World Trade Organization!"

"Ada apa kalau pemerintah tak tidur?" kejar ibu.

"Kalau tak tidur cawe-cawe, ekonomi diintervensi demi kepentingan penguasa!" tegas Budi. "Seperti intervensi dalam pengadaan daging sapi, dengan membatasi impor sapi bakalan, yang diprotes para pedagang daging dengan mogok jualan di tiga pasar utama Bandar Lampung! Pembatasan impor sapi bakalan berakibat harga daging naik, karena harga sapi lokal lebih mahal, Rp26 ribu per kg timbang hidup, sedang sapi asal impor yang digemukkan Rp22 ribu per kg timbang hidup!"

"Tujuan pemerintah kan bagus, supaya kita bisa swasembada daging sapi!" timpal ibu.

"Untuk swasembada, bina secara komprehensif dulu peternaknya agar mampu bersaing dalam berbagai hal, termasuk harganya!" tegas Budi. "Jangan karena ambisi mendongkrak popularitas penguasa lewat swasembada, meski belum siap dipaksakan, malah mengorbankan konsumen yang harus membayar lebih mahal! Jadi terbukti, ketika pemerintah tidak tidur dan mengintervensi bisnis dengan regulasi eksesif, sistem ekonomi--dalam hal ini suplai daging sapi--jadi kacau!"

"Kalau regulasi untuk swasembada malah suplai terganggu, swasembada seperti maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai!" timpal ibu. "Juga tampak penguasa asal canang swasembada, tanpa perencanaan matang! Asal canang tanpa kemampuan nyata, swasembada daging jadi seperti deklarasi bebas byarpet nasional--byarpetnya jalan terus!"

"Maka itu, sebaiknya pemerintah jangan das sollen oriented, bertolak dari yang diinginkan secara muluk-muluk, tanpa melihat kondisi nyata, hingga bisnis yang berjalan baik malah diobok-obok!" tegas Budi. "Laissez faire dengan free trade-nya yang kini dipromosikan WTO itu, dalam Encyclopedia Americana diartikan, 'leave it (the economic system) alone'--biarkan itu (sistem ekonomi) sendiri! Negara-negara maju percaya pada sistem itu, dengan hukum alam mekanisme pasar yang oleh Adam Smith disebut tangan tak terlihat--invisible hand! Mereka pun mengelola ekonomi negara sesuai hukum alam tersebut! Kita malah memenggal hukum alam itu, memaksakan kepentingan penguasa semata! Akibatnya, sistem ekonomi berjalan anomalik--makin terbelakang!"

Selanjutnya.....

Redenominasi Rupiah, Semar cs. Berbagi Nol!


SEMAR menerima Rp10 ribu dari Arjuna, agar dibagi dengan ketiga anaknya. "Petruk, ini uang dari bendoro, bagi rata dengan Gareng dan Bagong" ujar Semar menyerahkan uang Rp1.000. "Aku sudah ambil bagianku, satu angka nol!"

"Untuk kami bertiga dengan tiga angka nol, jadi pas!" sambut Petruk. Ia serahkan uang Rp100 ke Gareng, "Bagi dua dengan Bagong! Aku sudah ambil bagianku, satu angka nol!"
Gareng menyerahkan Rp10 ke Bagong, dengan pernyataan sama. "Alhamdulillah!" sambut Bagong. "Sudah lama kucari koin puluhan ini, susah sekali! Padahal koin tak bergerigi tepinya ini paling cocok buat kerokan saat masuk angin!"

"Betapa bendoro kita adil, memberi uang bisa pas dibagi, setiap panakawan mendapat satu angka nol!" tegas Semar. "Bahkan siapa sangka, Bagong yang dapat angka nol terujung justru paling mensyukuri bagiannya! Itulah dahsyatnya arti barisan angka nol yang panjang pada mata uang rupiah, hingga jelata yang dengan banting tulang memeras keringat cuma bisa mendapatkan angka nol paling ujung pun, masih bisa bersyukur!"

"Memang sukar dibayangkan jika barisan angka nol yang mampu diraih jelata itu dibuang, seperti rencana Bank Sentral melakukan redenominasi rupiah!" timpal Petruk.

"Bik Cangik tak bisa lagi beli kinangan seikat sirih Rp200, sepotong gambir atau sedulit kapur Rp100, karena tak ada lagi angka nol paling ujung itu!"

"Juga Limbuk, putri Cangik, yang mampunya beli minyak goreng di warung cuma secanting Rp500 untuk menumis kangkung, tak ada lagi angka nol di ujung untuk membayarnya!" sambut Gareng.

"Jangan ditumis!" timpal Bagong. "Kangkungnya direbus, disantap pakai sambal terasi lebih asyik!"

"Dasar Bagong! Keterbatasan selalu jadi berkah terselubung!" tukas Petruk. "Tapi dengan apa dibeli terasi sepotong Rp500?"

"Mengutang di warung Mbok Sinem!" tegas Bagong. "Semua belanjaan yang tak ada mata uang pembayarnya dihitung dulu, dilunasi kelak setelah bisa mendapat uang yang cukup nilainya!"

"Warung Mbok Sinem bangkrut!" timpal Semar.

"Tampak, jelata jadi serbasusah kalau angka nol di barisan ujung nilai rupiah yang merupakan ruang perjuangan hidup mereka dihapus!" tegas Petruk. "Memang hal itu memudahkan mereka yang bergaji puluhan juta, seperti anggota DPR, pejabat tinggi, atau Gubernur Bank Sentral yang bergaji Rp235 juta sebulan! Tapi sepenting apa arti kemudahan itu jika hidup mayoritas jelata jadi lebih susah, ketiadaan alat pembayar sesuai kemampuan mereka mendapatkannya?"

Selanjutnya.....

Rumah Aspirasi, Usul Baru Anggota DPR!


DALAM training wirausaha kreatif, pelatih minta ke seorang peserta, "Beri contoh seperti apa yang bisa disebut kreatif, ulet, dan pantang menyerah!"

"Seperti anggota DPR!" jawab peserta. "Mula-mula minta 'dana aspirasi', proyek di daerah pemilihan setiap anggota DPR Rp15 miliar per tahun! Usul itu ditolak, minta 'dana desa' Rp1 miliar per desa! Usul ini kandas, kini usul proyek 'rumah aspirasi', setiap anggota DPR diberi Rp200 juta per tahun! Itu kreatif, ulet, dan pantang menyerah!"

"Contoh bagus, berdasar kenyataan!" sambut pelatih. "Kreatif, ulet, dan pantang menyerah pada anggota DPR itu pantas menjadi teladan bagi wirausaha muda dalam menciptakan peluang untuk memperoleh pendapatan tetap yang besar!"

"Tapi anggota DPR itu wakil rakyat, bukan wirausaha atau pengusaha yang tugasnya memang cari untung dari kegiatan bisnis!" protes peserta. "Uang yang mau diporoti anggota DPR itu uang rakyat, bukan transaksi bisnis seperti wirausaha!"

"Kita penataran wirausaha, kini sesi kreativitas, ulet, dan pantang menyerah!" kilah pelatih. "Jika anggota DPR itu wirausaha, kreativitasnya mencipta peluang bisnis itu jelas brilian! Sayangnya, mereka wakil rakyat dan yang diporoti uang rakyat! Jadi tidak pada tempatnya!"

"Lagi pula, untuk tujuan agregasi atau menyerap aspirasi rakyat itu, menurut anggota DPR Budiman Sujatmiko, dalam pendapatan bulanan anggota DPR sebesar Rp65 juta per bulan sekarang sudah ada dana tunjangan komunikasi intensif Rp14,14 juta per bulan, ditambah dana reses, hingga per tahun berjumlah Rp217,68 juta!" tegas peserta.

"Sehingga, kalau harus diberi biaya untuk 'rumah aspirasi' per anggota Rp200 juta lagi per tahun, penerimaan anggota DPR jadi tumpang tindih!"

"Daya kritismu tajam!" puji pelatih. "Daya kritis itu faktor utama dalam kreativitas! Dengan daya kritis yang tajam orang bisa membaca realitas secara jernih, dari situ muncul ide-ide baru yang kreatif!"

"Lewat ketajaman dan kejernihan daya kritis pula terlihat yang salah dan yang benar!" sela peserta. "Sedang dengan usaha memoroti uang rakyat yang merupakan perbuatan salah itu terlihat, daya kritis para anggota DPR sebenarnya tumpul dan keruh! Perlu diasah dan dicuci otaknya!"

"Kebutuhan untuk asah dan cuci otak itu disadari para wakil rakyat!" tegas pelatih.

"Untuk asah dan cuci otak itulah, wakil rakyat acap studi banding, DPR pusat ke luar negeri, DPRD ke luar daerah!"

"Studi banding moroti uang rakyat juga!" timpal peserta. "Kenapa setiap wakil rakyat menggeliat, ujungnya moroti uang rakyat melulu? Padahal rakyatnya sengsara, hidup serbakekurangan!"

Selanjutnya.....

Hikayat Negeri ‘Kethek Ogleng’!

"ALKISAH dalam pelestarian seni budaya asli rakyat topeng monyet yang sejatinya bernama kethek ogleng, disajikan hikayat anak negeri paling populer Sarimin pergi ke sawah!" Gendon berlatih suluk pembuka cerita gaya opera van televisi sambil memalu genderang gedombrengan.

"Ayo mulai!" entaknya pada monyet yang dia latih, ternyata belum bisa beraksi seperti diinginkan. "Capilnya dipakai begini, ambil pacul kau panggul begini, lalu jalan megal-megol keliling lingkaran!"

"Melatih monyet harus sabar!" sela Temon yang asyik melihat usaha Gendon menata masa depan. "Dituntut lebih sabar lagi ketika dianggap sudah jadi, karena hasilnya jauh dari memadai! Berbeda dengan lazimnya karya seni, hasil usaha maksimal mewujudkan keindahan--refleksi kesempurnaan! Gerak monyet dan bunyi genderang ogleng tak didasari nilai estetis, orientasinya cuma cari duit!"

"Memang, untuk asal bisa saja sulit sekali!" keluh Gendon. "Padahal, makanannya sudah kuberi istimewa, berlebih-lebih!"
"Huahaha...!" Temon terbahak. "Monyet kau beri remunerasi, manusia saja tak dijamin melakukan tugas sesuai diinginkan! Gayus contohnya!"
"Masak mengelola negara seperti kethek ogleng?" timpal Gendon.
"Asal gedombrengan, asal megal-megol, permainannya cuma seolah-olah--Sarimin ke sawah, Sarimin ke pasar!"

"Memang begitu! Banyak masalah ditangani cuma seolah-olah! Dikerjakan asal-asalan, tak sesuai ketentuan atau logika semestinya!" tegas Temon. "Contohnya pembagian tabung gas 3 kg! Sembilan juta tabung tak layak pakai, membahayakan jiwa pemakainya, bisa lolos terbagi! Baru diperiksa dan ditarik kembali setelah tabung gas dan perantinya meledak di mana-mana, merenggut banyak jiwa dan harta rakyat jelata!"

"Begitulah efek budaya kethek ogleng!" timpal Gendon. "Dalam kasus Gayus, ada uang suap Rp28 miliar tambah 74 miliar ditemukan polisi di kotak simpanan, tapi berkas perkaranya dilimpahkan tanpa seorang pun tersangka penyuapnya--meski Gayus mengakui menerima dari siapa saja. Malah menjabarkan secara rinci kapan dan bagaimana! (Kompas, [31-7]) Sebaliknya dalam kasus Anggodo, penyuap disidang tanpa ada bukti uang dan tersangka penerima suapnya!"

"Lebih dahsyat lagi efrk budaya kethek ogleng itu pada deklarasi bebas byarpet nasional!" tukas Temon. "Ternyata bebas byarpet nasional juga cuma seolah-olah! Usai deklarasi, byarpet lagi!"

"Demikianlah hikayat negeri kethek ogleng!" seru Gendon menutup acara. "Negeri tempat orang suka kerja asal-asalan! Janji dan harapan masa depan dipenuhi dengan keseolah-olahan belaka!"











Selanjutnya.....