Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kekerasan dan Kekerasan Lagi!


"BERITA kekerasan silih berganti mengisi media massa nasional!" ujar Umar. "Pekan lalu kekerasan di Sumut dengan antiklimaks serangan balik teroris ke Mapolsek Hamparan Perak, tiga polisi tewas, impas dengan teroris yang tewas! Itu disusul aksi belasan rampok bersenjata api di Padang, empat rampok tewas dalam adu tembak dengan polisi!"

"Pekan ini kekerasan berlanjut ke Tarakan, Kaltim! Antarkelompok warga secara masif bentrok Senin sampai Rabu, lima orang tewas, sejumlah rumah dibakar! Sekitar 30 ribu perempuan dan anak-anak mengungsi ke instalasi TNI, polisi, dan sekolah!" timpal Amir. "Itu disusul kekerasan antarkelompok warga di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menewaskan tiga orang!"

"Itu sampai Rabu! Kamis pagi sebuah bom bunuh diri meledak di Pasar Bekasi! Pelaku tertangkap, tangannya putus oleh bom sendiri!" tegas Umar. "Masalahnya, kenapa kekerasan merebak?"

"Kekerasan itu salah satu bentuk bahasa, ekspresi penyampaian pesan!" jawab Amir.

"Dalam ajaran moral ditegaskan, jika tak bisa diselesaikan dengan mulut (bahasa lisan), selesaikan dengan tangan—tindakan! Bentuk tindakan itu bablas jadi kekerasan sebagai wujud pemaksaan kehendak!"

"Berarti ada masalah dengan komunikasi dalam masyarakat, hingga 'bahasa mulut' dalam aneka bentuk operasionalnya sebagai peranti mekanisme sosial—terutama hukum—menjadi kurang efektif, sehingga 'bahasa tangan' terpaksa digunakan!" tukas Umar. "Kenapa 'bahasa mulut' bisa bias makna, antarkelompok jadi tak saling memahami bahasa di antara mereka hingga salah tafsir berujung konflik kekerasan?"

"Layak dipahami, hukum—sendi utama 'bahasa mulut' yang mengikat makna setiap kata dengan konsekuensi—bukan hanya undang-undang yang tertulis, tapi lebih penting lagi sepak terjang para pejabat yang setiap ucapan dan tindakannya adalah amalan hukum!" jelas Amir. "Celakanya, ucapan pejabat (termasuk politisi) jadi terlalu retoris—isi ucapan beda dengan realitas yang dilihat dan dirasakan rakyat—hingga makna kata dalam bahasa sehari-hari dan bahasa hukum pun hambar, akhirnya sirna! Setiap kata jadi punya makna spesifik pada setiap orang, tak lagi bisa mengikat komitmen bersama! Sesama hamba dan pakar hukum memaknai satu kata berbeda-beda, sesuai kepentingan masing-masing!"

"Kalau begitu yang dibutuhkan bukan pakar komunikasi, tapi pakar miss communication!" timpal Umar. "Dengan itu salah kaprah, makna dalam komunikasi buah retorika bisa diterima sebagai realitas, tak harus diselesaikan lewat kekerasan!" ***

Selanjutnya.....

Gagah-gagahan, RSBI Dinilai Gagal!


"DEWAN Pendidikan Kota Bandar Lampung menilai delapan sekolah di yurisdiksinya yang dilabeli rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) gagal menuju sekolah berstandar internasional—SBI," ujar Umar. "Kata ketua dewan itu, Yudirman Madlani, setelah tiga tahun berjalan, peningkatan dari reguler ke RSBI baru 20 persen! Paling parah tenaga pendidiknya, mayoritas belum siap masuk kelas internasional dengan dua bahasa! Bahkan, semua kepala sekolahnya belum bersertifikat!"

"Begitulah kalau program cenderung ditetapkan secara gagah-gagahan, tidak realistis dengan kondisi yang ada!" timpal Amir. "Lebih buruk lagi, penetapan status RSBI ada yang dimotivasi untuk memperbesar aliran dana publik (APBN/APBD), sekaligus pembenaran buat mengutip dana ekstra dari orang tua murid!"

"Modus matre di balik pelabelan RSBI itu jelas tak tepat dilakukan di dunia pendidikan, kancah menempa karakter generasi muda!" tegas Umar. "Untuk itu, instansi yang bertanggung jawab diharap segera bertindak menyelamatkan program RSBI yang telanjur menyedot dana publik dan orang tua murid!"

"Terpenting, kesan RSBI hanya akal-akalan untuk meraup dana publik dan orang tua murid harus segera dieliminasi!" timpal Amir. "Kasihan orang tua murid, membayar seharga emas pendidikan anaknya yang ternyata cuma sekualitas loyang! Pencemaran kredibilitas mutu pendidikan, apalagi tingkat kelulusan murid juga tak sesuai harapan, harus secepatnya dicarikan jalan keluar terbaik! Tak boleh dilakukan pembiaran terhadap tindakan merugikan orang tua murid dan dana publik itu!"

"Salah satu jalan keluarnya adalah pembentukan sebuah tim lengkap dengan satuan tugas untuk meng-up grade tenaga pendidik dan kependidikan (TPK) semua RSBI yang dinilai gagal itu!" tegas Umar. "Terbaik tentu, tim tersebut dibentuk atas kerja sama instansi pendidikan dan Dewan Pendidikan, sehingga standar yang diinginkan Dewan bisa dipenuhi!"

"Usaha perbaikan RSBI lewat tim itu mendesak, karena Yudirman mengindikasikan dengan semua kelemahan tersebut besar kemungkinan Menteri Pendidikan akan mencabut semua RSBI di Bandar Lampung!" timpal Amir. "Tindakan sekeras itu diharapkan tidak terjadi, karena justru menghanguskan 'investasi' dana publik dan dana orang tua murid yang telah ditanamkan selama ini! Juga memupus harapan masyarakat memiliki lembaga pendidikan yang berkualitas prima! Maka itu, lebih baik berusaha mencukupkan yang masih kurang, bukan membunuh potensinya!" ***

Selanjutnya.....

Calo Raup 30 Persen Aliran Dana Daerah!


"DIBANDING masa Orde Baru, aliran dana pusat ke daerah sekarang jauh lebih berlimpah—ada DAU, DAK, dekon, program kementerian dan lembaga, hingga bisa melebihi 70 persen dari APBD!" ujar Umar. "Tapi kenapa di era Orde Baru daerah tingkat II dan tingkat I bisa membangun jalan baru dan infrastruktur lainnya, sekarang untuk memelihara yang sudah ada saja kewalahan?"

"Era Orde Baru anggaran berimbang! Anggaran rutin dan pembangunan sama besarnya!" sambut Amir. "Sekarang anggaran rutin bisa di atas 70 persen, hingga anggaran pembangunan yang jadi lebih kecil itu untuk pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada pun tak cukup!"

"Kenapa dulu bisa seimbang, kini anggaran rutin jadi membengkak?" kejar Umar.

"Belanja rutin itu belanja pegawai, gaji sampai peralatan dan fasilitas kerjanya! Selama otonomi daerah, pengangkatan pegawai baru dikebut, hingga jumlahnya jadi nyaris dua kali lipat dari era Orde Baru!" jelas Amir. "Kemudian fasilitas para pejabatnya lebih serbamewah! Dulu mobil dinas kepala daerah cukup Terrano, kini Land Cruiser, harganya tiga kali lipat dari mobil dinas lama!"

"Wow! Tapi anggaran pembangunan yang di bawah 30 persen itu kesannya jauh lebih kecil yang bisa dirasakan rakyat?" tukas Umar.

"Itu karena proyek-proyek yang ditempatkan pada sisi anggaran pembangunan itu kebanyakan hasil buruan para pejabat daerah untuk mendapatkan alokasi dana dari pusat!" timpal Amir. "Perburuan itu melalui perantara, calo, yang menurut berita Kompas (28-9) bisa meraup dana sampai 30 persen dari total dana dari pusat ke daerah! Bayangkan saja, sudahlah di bawah 30 persen dari APBD, kena sunat 30 persen pula! Sisa yang di bawah 20 persen dari APBD buat anggaran pembangunan itu pun masih belum bersih untuk fisik proyek! Sejak proses tender sampai proyeknya selesai, bukan rahasia umum lagi bisa saja terjadi kebocoran dan tercecer di sana-sini!"

"Apalagi dipakai standar Bank Dunia, kebocoran dalam proses pelaksanaan proyek pembangunan bisa mencapai 30 persen, anggaran pembangunan itu tinggal cangkang, isinya sudah kopong!" tukas Umar. "Tak aneh kalau fisik proyeknya tak sekokoh idealnya, bangunannya belum diresmikan sudah ambruk! Jalan usai diperbaiki, satu bulan kembali rusak seperti sebelumnya! Apa usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi semua itu?"

"Segala daya upaya sudah dilakukan, tapi hasilnya jauh dari memadai!" jawab Amir.

"Tinggal doa rakyat yang disengsarakan oleh segala bentuk penyimpangan itu yang bisa diharapkan!"

Selanjutnya.....

'Marhalah Qisas', Pakistanisasi ala


"PERINGATAN Kapolri Bambang Hendarso Danuri bahwa target teroris adalah mengambil-alih kekuasaan (Kompas, 25-9) layak diperhatikan!" ujar Umar. "Terlebih dengan munculnya Musthofa Abu Tholut—yang ahli perang kota—jadi pimpinan teroris! Jika usaha teroris memancing polisi melayani spesialisasi mereka berhasil, Indonesia bisa terjebak perang kota seperti Pakistan!"

"Proses Pakistanisasi itu layak diwaspadai atas dua alasan," sambut Amir. "Pertama, sesuai informasi yang diperoleh pengamat terorisme Al Chaidar (Koran Tempo, 27-9), polisi baru melumpuhkan enam dari 114 sel jaringan teroris yang dibentuk Abu Tholut! Jadi, di atas kertas, jaringan teroris masih cukup kuat. Kedua, menurut pengamat terorisme Dynno Chressbon (Koran Tempo, idem), dengan keahlian itu pasukan Abu Tholut memakai prinsip marhalah qisas—pembalasan setimpal! Prinsip ini lazim digunakan eks pelatihan teroris di Afghanistan dan Filipina, dinyatakan terpidana teroris Asep Jaya dan Dahlan di pengadilan!"

"Praktek marhalah qisas terlihat pada serangan balik teroris ke Mapolsek Hamparan Perak yang menewaskan tiga anggota polisi, pembalasan setimpal atas tewasnya tiga teroris—dua dalam penyergapan di Tanjung Balai, satu di Hamparan Perak!" timpal Umar. "Hamparan Perak itu koridor antara Kota Medan (dari Titi Papan ke Belawan) dan Kota Binjai. Jadi, relatif kawasan urban!"

"Dengan para senior sel jaringan Abu Tholut telah berpengalaman perang kota di Palu dan Ambon, metodenya pun menurut Dynno jauh berbeda bahkan sejak awal menentang pola bom bunuh diri model Noordin M. Top dan Azahari! Abu Tholut lebih suka bom mobil dan serangan terbuka, seperti di Mapolsek Hamparan Perak!" tegas Amir. "Hal itu bisa dipahami, menurut Al Chaidar, Abu Tholut merupakan instruktur perang di kamp Hudaibiyah, Mindanao, Filipina! Faktor ini pula membuat dia bisa membangun sel jaringan teroris luas dengan inti muridnya dari kamp latihan itu!"

"Maka itu, untuk menggagalkan usaha teroris melakukan Pakistanisasi di kota-kota Indonesia, aparat keamanan harus lebih cepat mempreteli sel-sel jaringan terorisme, terutama di bawah Abu Tholut dan tokoh-tokoh dekatnya!" timpal Umar. "Tentu tak mudah mengungkap sel-sel jaringan teroris itu, apalagi kebanyakan berupa sleeper cell—sel tidur—yang siap menunggu komando! Tapi berkat pengalaman Densus 88 yang selama ini berhasil mengungkap banyak sel seperti itu, bisa diharapkan semua sel jaringan teroris bisa dibuat layu sebelum beraksi!"

Selanjutnya.....

Tanda Kemajuan itu Siapa Punya?

"EKONOMI kita menunjukkan tanda-tanda kemajuan signifikan!" ujar Umar. "Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang saat krisis keuangan global awal 2009 nyaris menyentuh angka 1.000, kini telah melampaui level 3.000! Seiring itu kapitalisasi saham di BEJ meningkat sebanding, sehingga mencatat rekor kelipatan tertinggi di dunia!"

"Dahsyat!" sambut Amir. "Tapi tanda kemajuan itu siapa punya? Siapa yang menikmatinya?"

"Jangan tanya itu, dong!" timpal Umar. "Kan sudah jelas, pemain lokal di BEJ di bawah satu persen! Berarti, yang menikmati gain peningkatan harga saham itu para investor asing! Juga penerima dividen, laba perusahaan go public yang dibagikan setiap tahun!"

"Lantas siapa yang harus membayar gain, peningkatan harga saham itu, kalau awal tahun lalu mereka—para investor asing—beli dengan harga 1.000, kini kalau mereka jual harganya jadi 3.000?" tanya Amir.

"Meski secara tak langsung karena harus lewat pialang, yang harus membayar dengan harga sekarang tentu perusahaan pemilik saham yang sebelumnya telah menerima hasil penjualan sahamnya!" jawab Umar.

"Kemajuan membawa sengsara kalau begitu!" tukas Amir. "Dia terima hasil penjualan sahamnya 1.000, lantas 20 bulan kemudian harus mengembalikan 3.000 atau tambah gain 200 persen, sama dengan setiap bulan membayar bunga 10 persen tambah pembagian laba tahunan atau dividen! Ketahuan siapa untung dan siapa buntung dengan kemajuan itu!"

"Jangan cuma dilihat dari sisi itu, dong!" timpal Umar. "Tapi lihat secara makro arti masuknya modal asing lewat mekanisme bursa saham, yang telah mendukung tercapainya
cadangan devisa lebih 60 miliar dolar AS!"

"Kalau cadangan devisa terkumpul dari situ, betapa mahal gain dan dividen yang harus dipikul bangsa ini setiap tahunnya?" entak Amir. "Sedang cadangan devisa yang diperoleh lewat menjual obligasi—baik obligasi negara maupun swasta dengan pasaran bunga minimum 9 persen per tahun—bisa dihitung biaya per miliar dolar per tahunnya! Bisa habis nilai tambah ekonomi kita untuk menyangga cadangan devisa!"

"Kalau bukan dari putaran modal jangka pendek lewat bursa, dan modal jangka menengah lewat obligasi, dari mana lagi bisa dapat cadangan devisa sebanyak itu?" timpal Umar.

"Dari selisih neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) dan TKI? Jelas jauh dari memadai!"

"Memang, tanpa itu kita tak bisa punya cadangan devisa sebanyak itu!" tegas Amir.

"Tapi konsekuensinya, kita harus mengeluarkan biaya amat besar untuk menyangga cadangan devisa, padahal kita kekurangan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat!"




Selanjutnya.....

Administrasi itu Inti Pemerintahan!

"SECARA universal dipahami administrasi sebagai inti dari kerja pemerintahan! Lazim, Pemerintahan Clinton disebut Clinton Administration!" ujar Umar. "Maka itu, bisa dianggap kecolongan fatal dalam Yudhoyono Administration ketika di balik putusan MK atas gugatan Yusril diketahui kosongnya dasar administratif pengangkatan jaksa agung!"

"Tak aneh jika Mensesneg dan Staf Ahli Presiden Bidang Hukum berkilah dari putusan MK, Presiden SBY tetap bersikap positif pada putusan MK dan mengeluarkan Keppres Pemberhentian Jaksa Agung!" sambut Amir. "Atas pengalaman itu, para pembantu Presiden diharapkan tidak lagi asal reaktif tanpa dasar tepat! Jika itu dilakukan terus, yang hadir reactionary administration, pemerintahan pembangkang—dari putusan hukum!"

"Administrasi secara harfiah berarti pengelolaan pemerintahan berdasar aturan-aturan dasar tertulis, menjalankan, mengontrol, memperbaiki dengan ketetapan dan proses yang serba-tertulis pula!" lanjut Umar. "Namun, hakikatnya tak mutlak begitu! Pada negara monarki, seperti Inggris, tak dikenal aturan dasar konstitusi, tapi konvensi—khususnya atas tradisi raja memutuskan dengan titah! Administrasi menjadi tata kelola pemerintahan oleh administrator—perdana menteri!"

"Tapi secara prinsip sama, setiap langkah harus ada dasar formalnya! Dasar itulah yang kosong pada jabatan jaksa agung sejak 20 Oktober 2009!" timpal Amir. "Itu terjadi mungkin karena dalam penyusunan kabinet orientasi dukungan politik lebih dominan daripada keahlian spesialis (zaken) di bidang tugasnya! Hal itu kian mencolok ketika putusan MK ditanggapi kubu pemerintahan dengan pendekatan kekuasaan, bukan administratif!"

"Karena itu, meskipun soal ini telah selesai dengan Keppres Pemberhentian Jaksa Agung, tak ada jaminan hal sejenis tak terulang, akibat banyak anggota kabinet duduk demi dukungan politiknya ketimbang keahlian spesialisnya!" tegas Umar. "Betapa, kasus terakhir itu hanya lanjutan berbagai kasus sejenis sebelumnya, dari usaha penerapan kontrol terhadap konten media massa padahal UU yang ada antisensor, melengkapi Pol. PP dengan senjata api, larangan ekspor sapi bakalan tanpa menghitung kecukupan sapi lokal menyuplai kebutuhan domestik hingga harga daging melonjak dua kali lipat!"

"Semua itu terkait dengan tata kelola administratif, sehingga terlihat bangsa ini oleh administrator pemerintahannya cenderung selalu dijadikan eksperimen!" timpal Amir. "Karena eksperimen itu gagal, langkah bangsa ini pun selalu tertinggal dari bangsa-bangsa lain!"

Selanjutnya.....

Terorisme, Hidup Selayak ‘Game’ PS!


"TERORISME itu isme yang meremehkan nilai dan arti kehidupan serta nyawa manusia—baik milik para korbannya maupun dirinya sendiri yang juga tewas dalam aksinya—jadi sekadar selayak game (permainan) dalam PlayStation—PS, atau Counter Strike, perang polisi lawan teroris, dalam game online!" ujar Umar. "Dengan pandangan demikian, teroris pelakunya selayak memainkan joystick PS saat harus membunuh korbannya—bahkan saat dirinya tewas pun, dianggap sekadar game over!"

"Menjadi remehnya nilai dan arti hidup dan nyawa manusia itu terjadi karena diangkat secara amat tinggi nilai dan arti misi/tujuan ismenya, sedang jiwa korban dan pelaku teroris yang melayang cuma sebagai cara mencapai tujuan!" sambut Amir. "Tampak, terorisme itu isme yang semata berorientasi pada tujuan, tanpa peduli cara-cara mencapainya bertentangan dengan nilai dan arti tujuan—kalaupun benar tujuan itu bernilai tinggi dan mulia! Artinya, terorisme bertentangan dengan kaidah etika-moral yang menyejajarkan antara tujuan dan cara-cara mencapainya!"

"Karena serasa hidup di dunia game yang maya itu, orang yang sudah masuk jaringan teroris pada dirinya sendiri merasa teralienasi dari realitas masyarakat umum sehingga sukar berempati—menempatkan diri dalam situasi orang lain/warga lingkungannya!" tegas Umar. "Gagal empati itu membuatnya melihat warga masyarakat tanpa jalinan rasa dan emosi lagi, cuma selayak gambar-gambar di dunia maya belaka! Karena tanpa empati dan emosi itulah, dalam membuat target serangan mereka tak mempermasalahkan siapa saja yang jadi korban, bahkan tempat yang dipilih pun semakin ramai hingga semakin besar jumlah korban yang jatuh akan membuat makin tinggi pula kepuasan dan rasa bangga mereka!"

"Lebih celaka lagi, ada teroris yang melihat warga masyarakat di luar kelompok mereka sebagai najis dunia belaka, sehingga harus mereka habisi atau taklukkan jika dianggap bisa dibawa dalam cara hidup seperti mereka!" timpal Amir. "Kelompok ini paling ganas, satu agama pun kalau beda sekte atau mashab mereka habisi juga!"

"Karena demikian berbahayanya bagi masyarakat, terorisme harus dibasmi jaringan organisasi dan aksinya sampai tuntas!" tegas Umar. "Sejalan dengan usaha melindungi masyarakat lingkungan dari teroris, warga agar proaktif membantu polisi! Jika ada yang mencurigakan di sekitar tempat tinggalnya, segera lapor kepada polisi terdekat! Jangan biarkan teroris menjadikan masyarakat lingkungan kita sebagai korban sia-sia selayak mainan di video game! Ayo, ganyang teroris!" ***

Selanjutnya.....

Hukum Singkong, Bisa Jadi Apa Saja!


MELIHAT ibu membawa singkong mentah, Putri menebak, "Mau digoreng untuk ngopi sore?"

"Bukan!" jawab ibu singkat melenggang ke dapur.

"Mau direbus, atau diparut dibuat onde-onde, atau dibuat lontong dipotong-potong jadi kicak diberi parutan kelapa dan gula merah cair!" Putri menebak berbagai kemungkinan sekalgus.

"Juga bukan!" tegas ibu. "Tergantung pada sang pengolah mau dijadikan apa! Pokoknya surprise!"

"Ibu ini aneh! Menjadikan singkong seperti hukum, sukar ditebak mau diproses jadi apa, karena oleh pengolahnya bisa dibuat jadi apa saja!" timpal Putri. "Lalu ujung-ujungnya surprise!"

"Sebaliknya, hukum dibuat seperti singkong, bisa dijadikan apa saja tergantung pengolahnya! Dan itu, selalu dironai surprise!" tegas ibu. "Contohnya antara lain putusan MK atas gugatan Yusril, proses terkait kasus Gayus, sampai skandal Century!"

"Di mana surprise kasus-kasus itu?" tanya Putri.

"Terkait putusan MK atas gugatan Yusril, surprise pada bantahan Mensesneg Sudi Silalahi! Masak putusan MK yang bersifat final dan mengikat dibantah!" jelas ibu.

"Lebih surprise lagi, Presiden menyatakan selalu menaati putusan MK! Dalam kasus ini, Mensesneg melangkahi sikap Presiden! Lalu, usai putusan MK itu staf ahli Presiden bidang hukum menyampaikan penafsirannya yang kontroversial dengan putusan itu! Lalu kubu Yusril membuat tafsir sendiri pula! Terlihat, hukum bisa jadi apa saja tergantung pengolahnya!"

"Dalam kasus Gayus dan Century?" kejar Putri.

"Dalam kasus Gayus, surprise-nya terletak pada dijadikannya tersangka pembongkar kasus itu, Susno Duaji! Sedang dari kalangan polisi, justru penerima suap terkecil yang dipenjara—Kompol Arafat dan AKP Sumartini—sedang yang di sidang pengadilan disebut menerima lebih besar belum satu pun jadi tersangka, termasuk jaksa yang mengarahkan peringanan bagi Gayus! Tampak, hukum bisa jadi apa saja, tergantung pengolah!" tukas ibu. "Dalam kasus Century, usai paripurna DPR menegaskan ada indikasi pidana perbankan dan korupsi, surprise ketika polisi, jaksa, bahkan KPK sampai sekarang belum bisa mengajukan satu kasus pun dari situ! Di sisi lain, setelah paripurna DPR, berbagai fraksi di DPR menyatakan sikap kontroversial dari putusan! Jadi tampak, hukum bisa jadi apa saja, tergantung pada pengolahnya!"

"Hukum kan seharusnya punya kepastian, hingga warga punya standar menaatinya!" timpal Putri.

"Itu di negeri yang tak kenal singkong!" tegas ibu. "Sedang di negeri kita, singkong saja bisa diolah jadi apa saja, apalagi hukum! Ditangani 'raja olah' pula—
singkong jadi lebih enak dari roti!" ***

Selanjutnya.....

Kenapa Negara Tak Seadil Kakek?


SETELAH kakek wafat, wasiat untuk warisan pada tiga cucunya dibacakan. "Cucu tertua, si sulung, mendapat satu ekor sapi induk! Cucu kedua tujuh induk kambing! Cucu ketiga, si bungsu yang paling kecil, 70 induk ayam kampung! Nilai yang diterima setiap cucu kalau diuangkan sama!" ujar notaris. "Rumah, tanah pekarangan, sawah, dan harta lain jadi milik bersama, agar dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran keluarga! Jelas?"

"Jelas!" jawab si sulung. "Selain adil dalam nilai, juga adil dalam bentuk warisan sesuai posisi sosial setiap cucu! Cucu tertua dapat warisan berwujud terbesar, meski sapi beranak setahun sekali, cukup untuk menopang status sosialnya! Si bungsu, meski cuma dapat ayam, setiap hari bertelur hingga hidupnya tak akan telantar!"

"Memang kakek adil, penerima pendapatan besar bergengsi, meski anak sapi lahir setahun sekali!" timpal si bungsu. "Sedang penerima nilai recehan, telur ayam, pendapatannya mengalir setiap hari!"

"Mungkin kakek belajar dari kegagalan negara mengujudkan keadilan!" sambut cucu tengah. "Para penerima bagian bernilai besar dari negara, pejabat tinggi negara seperti anggota DPR, justru menerima lebih sering—gaji per bulan Rp65 juta—sedang si kecil yang cuma terima BLT Rp100 ribu per bulan justru sudah setahun tak menerima! Sedang untuk raskin, mereka harus membayar Rp2.000 per kg, hingga banyak yang terpaksa dimodali cukong menebusnya, lalu jatah raskinnya dibagi dua! Padahal, penerima nilai besar, pejabat tinggi dan anggota DPR, selain gaji bulanan yang besar, masih bisa meraup lagi lewat berbagai dalih, seperti uang saku studi banding yang dalam perjalanan sepekan bisa puluhan juta rupiah!"

"Memang sangat aneh ketidakadilan negara itu!" tukas sulung. "Yang mendapat bagian besar bisa meraup lebih banyak dengan berbagai dalih, si kecil yang mendapat bagian kecil masih dibebani menebus raskin, BLT mereka kini tak ada kabarnya lagi! Aneh, kenapa negara tak seadil kakek?"

"Mungkin karena dalam kehidupan bernegara kita berlaku hukum rimba—survival of the fittest—yang paling kuat, paling berkuasa, paling mungkin menentukan segala sesuatu sehingga selalu bisa mendapat paling banyak!" timpal bungsu. "Jika dalam APBN 2010 biaya perjalanan (segelintir) pejabat negara ke luar negeri Rp19,5 triliun diprotes luas, yang terjadi justru unjuk the fittest—siapa terkuat—lewat menetapkan biaya perjalanan pada APBN 2011 jadi Rp20,7 triliun! Jauh dari Jamkesmas 22 juta rakyat miskin Rp4,5 triliun per tahun, biaya mengentas kemiskinan Rp7 triliun!" ***

Selanjutnya.....

MDGs ‘On the Track’, tapi Angka Absolut Kemiskinan Naik!


"MESKI menyatakan Millenium Development Goals (MDGs)—tujuan pembangunan milenium—di Indonesia on the track, di jalur yang benar, Nila Djuwita Moeloek, selaku utusan khusus MDGs mengingatkan agar menyimak detailnya!" ujar Umar. "Contohnya kemiskinan sebagai salah satu sasaran MDGs, selain batasannya amat rendah di bawah pendapatan 1 dolar per hari, setelah MDGs jalan 20 tahun, 1990—2010, angka absolut warga miskin justru meningkat—dari 27,2 juta pada 1990, jadi 31,7 juta Maret 2010!" (Kompas, 20-9)

"Lantas yang tampak on the track atau ada gambaran kemajuan, apanya?" tanya Amir.

"Persentasenya dari jumlah penduduk!" jawab Umar. "Pada 1990, 27,2 juta itu 15,1%. Pada 2010, 31,7 juta itu 13,33%!"

"Tapi program MDGs kan 25 tahun, 1990—2015, berarti ada waktu lima tahun lagi untuk membuat impas jumlahnya kembali ke 27,2 juta jiwa orang miskin!" tegas Amir.

"Apalagi untuk memperkecil jumlah orang miskin itu tak terlalu sulit!"

"Tak terlalu sulit bagaimana?" kejar Umar.

"Dengan menurunkan lagi batasannya, misalnya dari pendapatan 1 dolar AS menjadi 75 sen dolar per hari! Jumlahnya pasti merosot tajam!" jawab Amir. "Masalah penetapan batasan itu terkesan tak prinsipil! Contohnya, kalau 1 dolar atau Rp9.000 per hari sebulan 30 hari berarti Rp270 ribu, batasan miskin versi BPS terakhir konsumsi sekitar Rp190 ribu per jiwa per bulan, 'kan malah cuma 65 sen dolar per hari! Jadi, kalau 75 sen dolar sehari masih lebih tinggi dari standar BPS!"

"Dengan batasan 1 dolar sehari saja Nila Djuwita Moeloek sudah miris, hingga wanti-wanti agar memperhatikan detailnya agar tak gebyah uyah asal di atas 1 dolar sudah dianggap tidak miskin, padahal mayoritas warga pendapatannya cuma sedikit saja di atas 1 dolar per jiwa per hari!" entak Umar. "Karena itu, selain mengentaskan kemiskinan pada sasaran kaum miskin, penyebab usaha itu terseok juga harus tuntas diatasi!"

"Penyebab utamanya korupsi, yang bersarang di tata kelola pemerintahan yang tidak efektif dan efisien! IMF pekan lalu mengingatkan bahaya korupsi di Indonesia, bisa menghambat proses kemajuan! (Tajuk Kompas, 21-09). Dalam praktek, korupsi juga mengimbas berbagai dimensi MDGs!" timpal Amir. "Andai dalam KTT MDGs di markas PBB Senin-Rabu waktu New York kendala itu dibahas, mungkin didapat dorongan lebih kuat untuk memberantas korupsi! Tapi kemungkinan itu kecil, karena menghapus kemiskinan dan korupsi merupakan pasangan yang laku dijual saat kampanye—jadi harus selalu dipelihara!" ***

Selanjutnya.....

Hari Raya Ketupat dan 'Urban Shock'!


"BUAT apa ketupat plastik dari parsel kakek simpan?" tanya cucu.

"Semula mau kakek gantung di atas pintu depan pada H plus 7," jawab kakek. "Teringat masa kecil di desa, pada H plus 7 atau 9 Syawal orang merayakan selesainya puasa Syawal enam hari dengan Hari Raya Ketupat—
menggantung ketupat di atas pintu rumah!"

"Kan mubazir ketupat digantung di pintu?" kejar cucu.

"Pagi itu anak-anak membawa galah keliling kampung, memanen ketupat dari pintu ke pintu!" jawab kakek. "Hari Raya Ketupat isyarat telah disempurnakannya semua ibadah Ramadan dan Idulfitri! Sedang ketupat di atas pintu simbol semangat Ramadan dan Idulfitri yang sempurna itu dijadikan bekal menjalani kehidupan sepanjang tahun! Puasa Syawal yang melengkapi puasa Ramadan jadi sama dengan berpuasa sepanjang tahun, lewat Hari Raya Ketupat semangatnya diambil untuk mengamalkan sikap moral dan perilaku orang sedang berpuasa dalam sepanjang tahun menjalani hidup!"

"Dahsyat sekali nilai di balik tradisi itu!" timpal cucu. "Tradisi memelihara mental pada standar nilai ideal sepanjang tahun! Kenapa tradisi itu tak berkembang ke kota, di desa juga kian kurang menonjol?"

"Itu cuma salah satu dari sekian banyak tradisi kita yang kena erosi arus westernisasi berlabel modernisasi!" jawab kakek. "Akibatnya, orang yang merasa dirinya modern bertingkah kebarat-baratan, bukan cuma ogah mengikuti tradisi, malah menilai tradisi itu kuno hingga ditinggalkan karena dianggap kolot kalau mengamalkannya!"

"Bertingkah sok barat tanpa kendali internal atas sikap dan perilakunya, sedang nilai dari tradisi lama untuk kendali dirinya telah ditinggalkan, bagaimana kehidupan dijalaninya?" tanya cucu.

"Itulah kondisi urban ala Indonesia!" tegas kakek. "Kendali internal dirinya secara tradisional telah ditinggalkan, sedang secara barat moralitas hukumnya belum solid! Hingga, andalan untuk mengendalikan sikap dan perliku justru dari luar diri, yakni pelaksanaan hukum! Saat jangkauan hukum pada seluruh warga relatif terbatas, lalu pelaksanaan hukumnya juga masih jauh dari harapan, maka terjadilah urban shock—segala bentuk kejahatan merajalela, dari rampok, tipu, hipnotis, sampai korupsi!"

"Tapi belakangan gelombang religiositas warga urban (perkotaan) terus membesar!" timpal cucu.

"Gelombang itu diharapkan mampu menekan urban shock, agar negara yang religius ini tak lagi berjuluk terkorup di dunia!" tegas kakek. "Tentu, harapan itu terwujud jika gelombang religiositas urban itu bukan cuma ketupat plastik—gelombang simbolis produk hipokritisme!"

Selanjutnya.....

Ketika Presiden Marah kepada Dirut Telkomsel!


"SOMBONG!" entak Edi begitu jumpa Edo. "Dikirimi ucapan Selamat Lebaran lewat seluler tak jawab!"

"Mohon maaf lahir-batin!" sambut Edo. "Mungkin kau kirim pakai Emotion MMS Telkomsel!"

"Memang!" timpal Edi. "Itu kan program unggulan Telkomsel, bisa mengirim ucapan selamat dengan gambar pilihan yang unik dan lucu!"

"Sayangnya, banyak Selamat Lebaran yang kuterima lewat program itu justru pemberitahuan gagal kirim!" jelas Edo. "Seperti ini: Message has expired. Subject: Emotion. Estimated size 15 kb. Expired 17.35; 11-09-2010. Class: Personal Message."

"Bahkan tak ada nomor pengirimnya!" entak Edi. "Bagaimana hal itu bisa terjadi pada program Telkomsel yang diunggulkan saat Lebaran? Berarti banyak customer lain yang bernasib sama!"

"Sudah, jangan marah!" timpal Edo. "Cukup Bapak Presiden SBY yang memarahi Dirut Telkomsel saat telekonferensinya di tol Cikampek dengan Kapolda Jateng terganggu oleh jaringan Telkomsel (dan Telkom) yang rusak! Dari tayangan televisi saat terjadinya gangguan pada telekonferensi Presiden tampak, kerusakan bukan pada sistemnya, tapi gangguan acak pada item program tertentu dan menara tertentu saja! Hal sama terjadi pada MMS di sejumlah menara sekitar Bandar Lampung!"

"Bagaimana kau bisa mengira begitu?" kejar Edi.

"Karena di menara-menara sekitar Rajabasa, bulan-bulan terakhir pengiriman dan penerimaan MMS lebih sering gagal!" jelas Edo. "Nasib program MMS Emotion agaknya terkait gangguan itu!"

"Kalian customer sekitar Rajabasa seharusnya komplain ke 101," timpal Edi.

"Pelanggan Telkomsel itu puluhan juta!" jawab Edo. "Telepon ke 101 kalaupun bisa masuk selalu dapat nada tunggu! Lalu, setelah menunggu sampai habis pulsa, tak diangkat juga!"

"Kalau begitu, teknisi Telkomsel yang harus aktif setiap hari mengontrol fungsi semua komponen sistemnya di semua menara!" tegas Edi. "Tak perlu menunggu Presiden memarahi Dirutnya untuk tugas pelayanan yang vital bagi pelanggan itu!"

"Bukan cuma itu!" timpal Edo. "Keseluruhan unit dalam sistem pelayanan Telkomsel harus segera dibenahi tuntas, demi profesionalitas pelayanan Telkomsel yang sempat membanggakan itu tak berbalik arah kembali ke pola BUMN kuno lagi!"

"Jadikan teguran keras Presiden sebagai cambuk untuk meningkatkan kualitas pelayanan Telkomsel pada puluhan juta pelanggan!" tegas Edi. "Tak layak dukungan pelanggan sebanyak itu dilayani dengan kontrol menara seolah sambil lalu!"

Selanjutnya.....

Ketika Presiden Marah kepada Dirut Telkomsel!


"SOMBONG!" entak Edi begitu jumpa Edo. "Dikirimi ucapan Selamat Lebaran lewat seluler tak jawab!"

"Mohon maaf lahir-batin!" sambut Edo. "Mungkin kau kirim pakai Emotion MMS Telkomsel!"

"Memang!" timpal Edi. "Itu kan program unggulan Telkomsel, bisa mengirim ucapan selamat dengan gambar pilihan yang unik dan lucu!"

"Sayangnya, banyak Selamat Lebaran yang kuterima lewat program itu justru pemberitahuan gagal kirim!" jelas Edo. "Seperti ini: Message has expired. Subject: Emotion. Estimated size 15 kb. Expired 17.35; 11-09-2010. Class: Personal Message."

"Bahkan tak ada nomor pengirimnya!" entak Edi. "Bagaimana hal itu bisa terjadi pada program Telkomsel yang diunggulkan saat Lebaran? Berarti banyak customer lain yang bernasib sama!"

"Sudah, jangan marah!" timpal Edo. "Cukup Bapak Presiden SBY yang memarahi Dirut Telkomsel saat telekonferensinya di tol Cikampek dengan Kapolda Jateng terganggu oleh jaringan Telkomsel (dan Telkom) yang rusak! Dari tayangan televisi saat terjadinya gangguan pada telekonferensi Presiden tampak, kerusakan bukan pada sistemnya, tapi gangguan acak pada item program tertentu dan menara tertentu saja! Hal sama terjadi pada MMS di sejumlah menara sekitar Bandar Lampung!"

"Bagaimana kau bisa mengira begitu?" kejar Edi.

"Karena di menara-menara sekitar Rajabasa, bulan-bulan terakhir pengiriman dan penerimaan MMS lebih sering gagal!" jelas Edo. "Nasib program MMS Emotion agaknya terkait gangguan itu!"

"Kalian customer sekitar Rajabasa seharusnya komplain ke 101," timpal Edi.

"Pelanggan Telkomsel itu puluhan juta!" jawab Edo. "Telepon ke 101 kalaupun bisa masuk selalu dapat nada tunggu! Lalu, setelah menunggu sampai habis pulsa, tak diangkat juga!"

"Kalau begitu, teknisi Telkomsel yang harus aktif setiap hari mengontrol fungsi semua komponen sistemnya di semua menara!" tegas Edi. "Tak perlu menunggu Presiden memarahi Dirutnya untuk tugas pelayanan yang vital bagi pelanggan itu!"

"Bukan cuma itu!" timpal Edo. "Keseluruhan unit dalam sistem pelayanan Telkomsel harus segera dibenahi tuntas, demi profesionalitas pelayanan Telkomsel yang sempat membanggakan itu tak berbalik arah kembali ke pola BUMN kuno lagi!"

"Jadikan teguran keras Presiden sebagai cambuk untuk meningkatkan kualitas pelayanan Telkomsel pada puluhan juta pelanggan!" tegas Edi. "Tak layak dukungan pelanggan sebanyak itu dilayani dengan kontrol menara seolah sambil lalu!"

Selanjutnya.....

Hapus Kemiskinan, Syarat kian Berat!


"USAI Lebaran kok loyo?" sapa Umar.

"Akibat syarat menghapus kemiskinan kian berat!" sambut Amir. "Berdasar kuliah Prof. David T. Ellwood dari Harvard di Istana Negara (15-9), syaratnya sulit dipenuhi! Empat syaratnya, pertumbuhan ekonomi tinggi, keunggulan bersaing global, pemerintahan dan kelembagaan yang efektif, ada perencanaan yang saksama!"

"Pertumbuhan ekonomi tinggi harus berkualitas—tinggi pula daya serapnya pada tenaga kerja!" tegas Umar. "Dengan jumlah penduduk 237 juta (sensus 2010), pertumbuhan angkatan kerja baru kini jadi 3 juta lebih per tahun! Jika satu persen pertumbuhan berkualitas menyerap 400 ribu tenaga kerja, untuk menampung angkatan kerja baru butuh pertumbuhan 7,5 persen!"

"Celakanya, selain pertumbuhan dekade ini tak pernah mencapai 7 persen per tahun, pertumbuhan berbasis konsumsi dikatrol sektor keuangan yang tak padat karya, daya serapnya setiap persen di bawah 250 ribu tenaga kerja!" timpal Amir. "Buat akomodasi angkatan kerja baru saja tak cukup! Padahal isyarat Ellwood, inti usaha mengentas kemiskinan itu pekerjaan sebagai sumber penghidupan!"

"Untuk keunggulan bersaing global, kita kelepek-kelepek! Ekspor kita serbamentah, minyak bumi, CPO, kopi, dan sebagainya!" tegas Umar. "Malaysia saja, sudah jadi eksportir semikonduktor terbesar dunia, ekspor sawit mereka dalam aneka produk kemasan branded! Perlu strategi baru jangka panjang membenahi keunggulan bersaing global kita! Kalau tidak, kian jauh tertinggal!"

"Lalu syarat pemerintahan dan kelembagaan yang efektif, bisa diukur sejauh mana reformasi birokrasi beringsut! Dari sisi ini tampak, efektivitasnya rendah!" timpal Amir. "Dari sisi anggaran di daerah, pemerintah ibarat warung, belanja pekerja warungnya (anggaran rutin) jauh lebih besar dari nilai dagangan yang ditangani (anggaran publik). Bagaimana bisa menghapus kemiskinan, jika belanja daerah lebih besar untuk aparaturnya daripada untuk rakyat?"

"Terkait pemerintah daerah itu, syarat adanya perencanaan yang seksama masih perlu proyeksi!" tegas Umar. "Terencana saksama—komprehensif (jelas ragam garapan-sasaran dan anggarannya) serta berkesinambungan (jelas tahapan demi tahapan serta terget capaian setiap tahapnya)—belum ada konvensi dalam APBD Tingkat II. Jadi kalau Gubernur selalu menegaskan kemiskinan bukan urusan Pemprov, tapi urusan bupati dan wali kota, maka di APBD Tingkat II belum ada konvensi perencanaan saksama seperti maksud Ellwood, sekaligus juga sumber anggarannya! Kloplah, tak satu pun syarat Ellwood lolos!!" ***

Selanjutnya.....

'Republik Amplop', Mati Demi Angpau!


MUDIK jadi peluang Temon menyampaikan isi hati ke ayahnya lewat cerita tentang angpau—amplop berisi uang yang dibagi pada Hari Raya Tionghoa!

"Menurut kakek teman dari tradisi itu, angpau di Hari Raya dulu diberikan seorang ayah ke anaknya sebagai modal memulai usaha sendiri!" tutur Temon. "Jumlah angpau itu cukup untuk modal, bukan alakadarnya seperti sekarang—meski orang siap mati terjepit demi angpau di open house!"

"Kau mau buka usaha apa?" timpal ayahnya.

"Usaha membuat amplop bervariasi ilustrasinya, untuk tempat uang saat open house Lebaran dan acara amal lainnya, agar secara nyata bisa terlihat amplop itu isinya halal, hasil kemurahan hati dari penguasa atau pengusaha! Secara sekilas pun bisa dibedakan dari amplop suap, gratifikasi, atau modus korupsi lainnya!" jelas Temon.

"Amplop khas yang memastikan isinya halal itu untuk kelancaran proses amal kepada si miskin, akan diperlukan dalam jumlah besar karena negara ini sedang berubah menjadi Republik Amplop!"

"Republik Amplop apa maksudmu?" potong ayah.

"Republik di mana pembagian amplop berisi uang tunai buat kaum miskin dari para pejabat negara, pemerintah, BUMN, semua tingkat kekuasaan dan pengusaha semua skala bisnis, menjadi penentu tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat!" tegas Temon. "Hal itu dilakukan kalangan penguasa dan pengusaha dengan kesadaran dan keikhlasan total! Nantinya tak aneh jika MURI berburu rekor barisan kaum miskin terpanjang dalam acara amal pembagian amplop seperti itu!"

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" kejar ayah.

"Pertama, karena adanya keteladanan beramal dengan kemurahan hati buat barisan panjang kaum miskin itu dari Istana! Contoh baik ini wajar diikuti para pejabat lebih rendah, terutama di daerah!" jelas Temon. "Kedua, karena sistem ekonomi neoliberalisme (neolib) yang berlaku di dunia, termasuk negeri kita, hanya mendistribusi benefit-nya pada kaum kapitalis asing lewat bursa saham (di BEJ pemain lokal di bawah satu persen) atau eksplorasi kekayaan alam, yang semua itu sama sekali tak ada urusan dengan kaum miskin! Untuk itu, kemurahan hati para penguasa dan pengusaha membagikan langsung amplop ke tangan kaum miskin menjadi satu-satunya alternatif untuk peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat!"

"Apakah bisa diyakini lewat jalur amal penguasa dan pengusaha tanpa rancangan saksama itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat bisa terwujud?" tanya ayah.

"Terpenting telah disadari dan dipilih jalan untuk mengatasi kegagalan sistemnya!" tegas Temon. "Sejauh mana hasilnya, kita lihat nanti!" ***

Selanjutnya.....

Masalah Tumbal Pembangunan!


"HATI-HATI jaga anak di rumah!" pesan suami ke istri. "Meski berita penculikan anak reda, kita tak boleh lengah! Siapa tahu situasi tenang diciptakan sindikatnya agar orang kurang waspada!"

"Katanya anak-anak diculik untuk dibuat tumbal pembangunan bendungan?" tanya istri.

"Itu isu zaman Belanda!" jawab suami. "Sekarang, seperti terungkap dari culik yang tertangkap, anak yang diculik dijual ke luar negeri!"

"Berarti tetap hidup, dipelihara orang kaya yang tak punya anak?" kejar istri. "Tak dibunuh seperti kalau dijadikan tumbal pembangunan?"

"Tumbal itu orang yang sengaja dikorbankan, tak mesti dibunuh!" jelas suami. "Memang ada tumbal dibunuh! Seperti dalam film warga primitif, orang yang jadi tumbal dibunuh sebagai persembahan di depan berhala yang mereka sembah!"

"Berarti setiap ada yang sengaja dikorbankan ada semacam berhala, alasan tumbal, kepada siapa persembahan ditujukan?" tanya istri.

"Meski tidak selalu eksplisit!" tegas suami. "Bisa terbersit dari demi ini demi itu yang dijadikan alasan untuk sejumlah atau sekelompok orang sengaja dikorbankan alias dijadikan tumbal!"

"Ada contoh yang nyata?" kejar istri.

"Para korban pembumihangusan permukiman nelayan di Kualakambas dan Kualasekapuk, yang menyangkut nasib 759 jiwa warga bangsa!" jelas suami. "Dalam pidato di forum resmi, seseorang yang mungkin merasa tanggung jawabnya tak terlepas dari pembumihangusan permukiman nelayan itu menyatakan para korban di Kualakambas dan Kualasekapuk itu sengaja dikorbankan demi pelestarian alam TNWK!"

"Contoh lain yang lebih dekat, ada?" cecar istri.

"Para gelandangan pengemis dan anak-anak telantar di Kota Bandar Lampung yang sengaja dikorbankan demi kota itu terihat selayak kota makmur yang tanpa kaum duafa!" tegas suami. "Dikorbankannya mereka bukan semata sengaja, malah dilakukan secara de jure—barang siapa memberi uang atau bantuan kepada para duafa itu diancam hukuman badan atau denda!"

"Kalau terbukti ada kelompok-kelompok orang yang sengaja dikorbankan atau dijadikan tumbal begitu, apakah pembangunan nasional sekarang tak lagi pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat?" tanya istri.

"Bahkan, slogan itu kini nyaris tak terdengar!" jawab suami. "Dengan kenyataan ada kelompok-kelompok warga yang sengaja dikorbankan, terlihat manusia bukan lagi orientasi utama pembangunan! Keadilan sosial (tak lagi) bagi seluruh rakyat Indonesia! Menyedihkan!"

Selanjutnya.....

Rahasianya di Mulut Nenek!


SETIBA di desa, anak Timan usia setahun lebih yang dibawa mudik naik sepeda motor menangis terus! "Badannya panas! Bagaimana ini, Lebaran tak ada dokter, apotek tak buka!" ujar istri Timan panik.
"Tak Lebaran pun di desa ini tak ada dokter dan apotek!" timpal Timan. "Serahkan ke neneknya!"

"Mari! Sudah capek dibawa naik motor jarak jauh, masuk angin pula cucuku ini!" nenek ambil si cucu dari gendongan ibunya. "Ibunya mandi dulu! Bapaknya cari daun jarak untuk tapel anaknya!"

Nenek membawa cucunya ke dapur, mengambil bahan-bahan jamu di sumpit tergantung! Ia ambil delingo, bengle, lempuyang, dan kencur masing-masing sekerat dimasukkan ke mulut lalu dikunyahnya sampai lembut! Kemudian mulut cucunya ia cekoki dengan cairan jamu langsung dari mulut nenek! Setelah itu tubuh cucunya ia bersihkan dengan air hangat, perutnya ditempeli daun jarak yang dilayukan, dan diolesi minyak tanah!
Begitu ibunya selesai mandi dan ganti baju, anaknya sudah mau disusui hingga tertidur. "Diberi obat tidur, ya?" tukas si ibu.

"Betul!" jawab nenek. "Obat tidur terbaik buat bayi susu ibu! Jika tak kau susui, tak bisa tidur!"
"Sebelumnya disusui tak mau, nangis melulu!" timpal ibunya. "Nenek beri apa?"
"Dicekoki!" sela Timan. "Bahan jamu dikunyah nenek, dari mulut nenek dikucurkan ke mulut anak! Resep nenek moyang yang paling manjur!"

"Jadi bersama ludah dari mulut nenek dikucurkan ke mulutnya?" entak ibunya.
"Justru rahasianya di mulut nenek!" tegas Timan. "Nenek penginang, makan sirih, kapur dan gambir lalu dioles susur—tembakau basah—segala jenis bakteri tak ada yang mampu bertahan hidup di mulut nenek! Lihat gigi nenek yang hitam itu, masih utuh dalam usia selanjut sekarang! Jadi, mulut nenek dijamin steril sebagai tempat untuk memproses dan menyuapkan obat!"

"Ih!" istri Timan bergidik.
"Begitulah kita, warga pinggiran kota!" tukas Timan. "Pada mulut nenek yang telah teruji steril dari zaman nenek moyang, kita jijik! Tapi pada mulut pemimpin, bahkan yang sudah sering kita ketahui lain di mulut lain di hati, beda ucapan dari tindakan, malah kita puji, kita pilih setiap pemilu!"

"Itu karena pilihan yang tersedia begitu semua, orang cuma bisa memilih terbaik di antara yang buruk!" timpal istri Timan. "Kriteria terbaik dalam pilihan itu ternyata retorikanya, sehingga rakyat jadi terbiasa menikmati ucapan indah tentang penderitaan mereka yang amat pedih! Semakin dalam penderitaan rakyat, semakin indah pula retorika menutupinya!"
Selanjutnya.....

Jatah Kucing Saja Mau Dirampas!


DALAM seleksi program inovasi dibiayai badan swasta, dibahas usul percepatan pelunakan tulang ayam untuk meningkatkan nilai tambah usaha. "Kan sudah banyak bisnis ayam goreng bertulang lunak?" tukas tim seleksi pada pengusul.
"Betul!" jawab pengusul. "Tapi di Solo saja, asal bisnis ini, proses pengolahan masih terlalu lama hingga pembeli sering antre berjam-jam!"

"Kami sudah pelajari proposal Anda!" tegas ketua tim seleksi. "Hasilnya, kami tolak!"
"Ditolak? Apa alasannya?" kejar pengusul.
"Tanpa bersepakat pun, tiga dari lima tim seleksi menulis di proposal Anda penilaian sama, 'Tulang jatah kucing saja mau dirampas’!" jelas ketua tim. "Alasan sebenarnya, percepatan pelunakan tulang ayam dengan peningkatan suhu dalam prosesnya itu terlalu sederhana untuk program inovasi yang dibiayai lembaga kami! Anda cukup mengirim leaflet panduan teknis ke para pengusaha bisnis itu, gagasan Anda akan langsung menjadi kenyataan!"

"Memang!" sahut pengusul sambil beranjak. "Tapi dengan cara itu, sudahlah merampas jatah kucing, saya tak dapat apa-apa pula!"
"Ternyata, soal 'dapat apa-apa' lebih penting daripada implementasi gagasannya!" ujar ketua pada tim sepeninggal pengusul. "Orientasi pada 'dapat apa-apa' yang mengalahkan keikhlasan menyumbang pengetahuan bagi kemajuan, jadi salah satu penghambat kemajuan bangsa!"

"Mending pengusul tadi orientasinya pada 'dapat apa-apa' itu tentatif, tergantung kerelaan, bukan terkait tugas dan tanggung jawabnya!" timpal anggota tim. "Lebih gawat ketika orientasi 'dapat apa-apa' terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, seperti para anggota DPR yang dipidana akibat menerima suap saat menyusun UU BI dan memilih Deputi Gubernur Senior BI!"

"Bagi para legislator yang berkedudukan tinggi dalam struktur jabatan kenegaraan, suap senilai yang mereka terima itu sebenarnya cuma seperti jatah kucing, yang ternyata mereka gasak juga!" tegas ketua tim. "Akibat jatah kucing saja digasak dalam perilaku korupsi berorientasi 'dapat apa-apa' itu kemiskinan meruyak diiringi runtuhnya kehormatan lembaga tinggi negara tersebut!"
"Implikasinya, bukan semata akibat kemiskinan yang jadi wajah jutaan pencari kerja kita maka rasa hormat warga negeri tetangga pada bangsa Indonesia menjadi rendah!" tukas anggota tim. "Tapi, akibat kehormatan para pejabat lembaga tinggi negara kita yang juga rusak oleh korupsi itu bangsa kita jadi rendah sebenang dalam berdiplomasi dengan negara tetangga! Diplomasi yang terbebani citra elite penggasak jatah kucing!"

Selanjutnya.....

Ke Depan atau ke Belakang ‘Sami Mawon’!


"PAGI-PAGI muka kecut, mules ya?" tegur bukde pada Budi yang pertama dibawa ayahnya mudik ke Yogya. "Ke belakang sana, agar mukamu manis kembali!"
"Ke belakang ngapain?" Budi tanya ayahnya.
"Ke belakang buang air!" jelas ayah. "Di sini umumnya kamar mandi dan toilet di bagian belakang rumah!"

Hari kedua Lebaran, mudiknya lanjut ke Sukoharjo, Solo, rumah keluarga ibu Budi. "Muka Budi kok kecut? Mules?" tegur bibinya. "Ke depan sana, agar kembali ceria!"
"Ke depan ngapain?" Budi tanya ayah.

"Maksudnya sama dengan saat bukde Yogya menyuruh kamu ke belakang!" jawab ayah. "Sami mawon!"
"Masak ke belakang dan ke depan sama?" kejar Budi.
"Karena di Sukoharjo, pemilik pekarangan luas membuat sumur, kamar mandi, toilet, dan tempat wudu di bagian depan rumah!" jelas ayah.

"Kalau begitu aku mau sami mawon!" ujar Budi.
"Tunggu!" cegat ayahnya. "Sami mawon maksudnya sama saja, bukan tujuan ke belakang di Yogya atau ke depan di Sukoharjo!"
"Nah, lebih kacau lagi! Setelah ke belakang dan ke depan sinonim, kini maksud dan tujuan menjadi dua hal berbeda, kontroversial!" entak Budi. "Gejala apa bahasa jadi kacau makna itu?"

"Pemakaian bahasa memang bisa kontekstual dan kasuistik! Itu penyebab orang terjebak kekacauan makna!" jawab ayah.

"Kalau kontroversi masih dalam konteks realitas seperti beda tempat toilet di Yogya dan Sukoharjo mendingan, tak ada konsekuensi sosio-politis-kultural! Celakanya gejala itu merasuki bahasa hukum, hingga terminologi hukum yang seharusnya menjadi standar proses legal formal, malah ditafsirkan secara kontekstual dan kasuistik sesuai kepentingan yang tersembunyi di baliknya!"
"Contoh konkretnya?" kejar Budi.

"Obral remisi buat koruptor pada 17 Agustus dan Idulfitri ini!" tegas ayah. "Korupsi itu kejahatan luar biasa, hingga seluruh proses hukumnya dilakukan secara luar biasa! Tapi di balik kepentingan tersembunyi yang kasuistik, pemerintah obral remisi (potongan hukuman) pada koruptor dan menyamakan korupsi dengan kejahatan biasa, bahkan menegaskan tak boleh ada diskriminasi karena remisi wajib hukumnya!

Terminologi hukum jadi kacau, kejahatan luar biasa direduksi jadi biasa!"
"Kalau bahasa hukum kacau, yang dijalankan hukum formal, produk efektifnya bisa hukum rimba—survival of the fittest, yang terkuat-berkuasa selalu diuntungkan! Praktek hukum menjadi kontroversial, terutama pada rasa keadilan masyarakat!" timpal Budi.

"Konsekuensinya dalam pemberantasan korupsi, retorika menyebut maju ke depan, realitasnya justru mundur jauh ke belakang!"

Selanjutnya.....

Kenapa Tak Setiap Hari Jadi Idulfitri?


"MAK, asyik ya, Ramadan! Orang-orang memberi kita makanan enak untuk berbuka, ngasi beras, duit, ada yang ngasi sarung dan baju untukku!" ujar anak duafa pada ibunya.

"Malam takbiran tahun lalu, orang masjid memberi beras dan duit!"

"Memang! Bulan Ramadan orang bersedekah dan bayar fitrah ke kita!" sambut ibunya.

"Pada malam takbir Idulfitri, fitrah dibagi amil zakat masjid!"

"Kenapa tidak semua bulan dijadikan Ramadan, dan setiap hari jadi Idulfitri?" tanya anak.

"Bersyukur kita setiap tahun ada Ramadan dan Idulfitri!" timpal ibu. "Dengan itu ada keharusan orang mampu untuk merasakan pedihnya perut dan lemahnya tubuh menahan lapar seperti kita rasakan sepanjang tahun! Mereka diingatkan pada penderitaan kita, lalu sebagian mereka berusaha membantu untuk mengurangi derita kita! Semua ibadah Ramadan itu disempurnakan dengan membayar zakat fitrah sebelum salat Idulfitri!"

"Maka itu, alangkah indahnya kalau semua bulan jadi Ramadan dan setiap hari Idulfitri, tak ada putusnya perhatian mereka pada kita!" timpal anak. "Sebab, begitu kembali ke bulan dan hari lain, jadi lain pula perhatian mereka pada kita!"

"Tidak semuanya!" tegas ibu. "Sesekali kita dapat bantuan juga dari mereka! Meskipun amat sedikit dari mereka yang melakukan itu, harus kita syukuri, karena tetap tersisa orang yang setelah menjalani latihan sepanjang Ramadan, masih mengamalkan hasil latihan itu sepanjang tahun!"

"Kenapa bisa tinggal sedikit?" kejar anak.

"Mungkin karena ibadah Ramadan dan Idulfitri mereka anggap telah cukup untuk menghapus dosa sepanjang tahun lalu!" tebak ibu.

"Jadi, karena dosanya sudah habis, sepanjang tahun berikutnya tak takut membuat dosa baru lagi sebab bisa dibayar Ramadan mendatang?" tukas anak. "Bagaimana kalau usia mereka tak sampai Ramadan selanjutnya?"

"Andai menyadari itu, akan lebih banyak orang mengamalkan sepanjang tahun berikutnya hasil latihan Ramadan ini!" jelas ibu. "Tapi tak sedikit dari mereka justru berpacu mengejar kepuasan duniawi seolah akan hidup selamanya!"

"Apa yang bisa membuat mereka agar seimbang dalam mengejar dunia dan akhirat?" tanya anak.

"Doa kita, orang-orang menderita yang dijanjikan akan diijabah!" jawab ibu.

"Begitu? Ayo, kuimami berdoa!" sambut anak. "Ya Allah, berkatilah warga muslim yang mampu dengan hidayah-Mu, agar mereka mengamalkan sepanjang tahun ibadah hasil latihan selama Ramadan!"

"Amin!" timpal ibu. "Selamat Idulfitri!" ***

Selanjutnya.....

Polemik tentang Regulasi Zakat!


"ORANG kota sudah datang!" Pak Modin, pengurus keagamaan dusun, menyambut kehadiran Temon di musala. "Langsung mau bayar zakat fitrah?"

"Itulah salah satu alasan mudik, membayar fitrah di kampung!" jawab Temon. Seusai bayar fitrah ke amil, sambil duduk dekat Pak Modin ia menukas, "Jangan-jangan ini jadi kesempatan terakhir membayar zakat fitrah ke amil musala!"

"Memangnya ada apa?" tanya Modin.

"Saya baca di koran, pemerintah menyiapkan perubahan menyeluruh Undang-Undang (UU) tentang Zakat Nomor 38/1999 untuk meregulasi zakat! (Koran Tempo, Editorial, [6-9]). Maksudnya, pengelolaan zakat yang sekarang ini ditangani masyarakat, nantinya dikelola negara!" jelas Temon. "Dengan dikelola negara itu, wajib zakat akan diberi sanksi denda dan hukuman jika enggan atau lalai menunaikan kewajibannya!"

"Begitu? Perubahan luar biasa itu!" timpal Modin. "Kami para petugas amil zakat musala tentu amat senang menyambutnya, tak perlu repot lagi menangani zakat warga karena bakal ada pejabat negara yang mengurusnya!"

"Jadi Pak Modin setuju?" tanya Temon.

"Kalau UU-nya begitu, siapa berani melanggar?" jawab Modin. "Soal zakat diurus negara, di zaman sahabat sebagai khalifah dahulu begitu! Sedang sanksi hukumnya, mungkin sebanding dengan penegasan Abu Bakar Siddik ra., bahwa dia akan memerangi siapa yang tidak melunasi zakatnya!"

"Tapi kenapa koran itu menentang pengalihan pengelolaan zakat dari masyarakat ke negara dengan sanksi hukum itu?" timpal Temon.

"Polemik itu mungkin karena masyarakat sudah terbiasa pada pengelolaan zakat yang sekarang!" jawab Modin. "Juga kepercayaan masyarakat pada badan amil zakat (BAZ) pelat merah masih kurang, sehingga lebih banyak orang memilih untuk membayar zakat ke masjid dan musala, atau lembaga amil zakat (LAZ) swasta yang terlihat nyata penggunaan dananya bagi umat!"

"Soal kepercayaan itu yang penting!" timpal Temon. "Kalau zakat dikelola negara seperti pajak, bisa-bisa ditangani ala Gayus Tambunan pula!"

"Tak perlu suuzan!" tegas Modin. "Tapi sebaiknya Presiden dan DPR memikirkan masak-masak soal ini, agar maksud baik tak malah jadi bencana! Juga, yang selama ini sudah berjalan baik tak berubah justru menjadi buruk!"

"Paling tidak buktikan dahulu pengelolaan uang negara bersih dari korupsi, baru masukkan zakat dalam keranjang keuangan negara!" timpal Temon. "Kan lucu kalau yang tak bayar zakat dibui, padahal uang zakatnya dikorupsi!"

Selanjutnya.....

Mudik, Hormati Para Sinoman!


"ASYIK, mudik naik motor duduk di depan pakai kaca mata hitam dengan helm kecil begitu!" ujar adik pada abang, keduanya mudik naik mobil di jok belakang, melihat pemudik berkendara motor. "Lihat! Keren, kan!"

"Tapi ngeri!" jawab abang. "Lihat itu, ayahnya ngebut, mobil kita saja disalip! Silap sedikit bisa tumburan dengan mobil yang datang dari depan!"

"Memang, kalau tak hati-hati bisa bahaya!" timpal ibunya. "Dalam mudik tahun lalu, dari H-7 sampai H+7, menurut Masyarakat Transportasi Indonesia, terjadi kecelakaan yang menewaskan 900 orang, 70 persen berkendara sepeda motor!"

"Kecelakaan bisa dikurangi jika semua pengendara menghormati para sinoman!" sela ayah.

"Sinoman itu apa?" kejar abang.

"Dalam pesta di desa, kerabat dan tetangga secara sukarela dan ikhlas menangani segala pekerjaan sampai semua beres tanpa diberi upah, terutama melayani tamu! Mereka disebut sinoman!" jelas ayah. "Mudik pesta umat, yang jadi sinoman polisi, pos kesehatan, petugas penyeberangan, awak servis kendaraan dari diler, penyaji di tenda minuman energi dan jamu gratis dan sebagainya di sepanjang jalur mudik!"

"Mereka kan digaji, honor, atau malah lembur!" tukas ibu. "Tidak sesukarela sinoman di pesta warga desa!"

"Memang, tapi honor atau uang lemburnya itu tak sebanding dengan pengorbanan mereka! Di hari Idulfitri tidak kumpul dengan keluarga, tak sungkem dan bersilaturahmi dengan kerabat dan sobat demi melayani umat yang mudik agar selamat dan sehat sampai tujuan!" tegas ayah. "Mereka ikhlas melakukan itu demi melayani umat mudik, itulah semangat sinoman! Maka itu, kalau pengabdian mereka dihormati, panduan polisi terhadap semua kendaraan dipatuhi terutama oleh motor, saat tubuh terasa kurang fit lapor ke pos kesehatan, motor terasa kurang mantap singgah ke servis diler, agar tak ngantuk dan masuk angin mampir ke minuman energi dan jamu, kecelakaan akibat human error dan faktor kendaraan bisa direduksi!"

"Tapi kenapa semua layanan gratis itu kurang dimanfaatkan pemudik, khususnya pengendara motor hingga menjadi 70 persen dari 900 korban tewas?" tanya adik.

"Karena di antara mereka banyak yang ingin lebih cepat sampai tujuan!" jawab ayah.

"Dan itu untuk disombongkan pada teman di kampung, mudik pakai mobil sampai 14 jam, dengan bangga dikatakan dia pakai motor tembus 10 jam!"

"Tapi, karena mau lebih cepat empat jam sampai kampung, malah lebih cepat masuk kubur!" timpal abang. "Itu akibat kurang menghormati sinoman!"

Selanjutnya.....

Mudik, Dimensi Manusia dalam Kemanusiaan!


BERKEMAS untuk mudik, dua bocah sibuk untuk membawa kesayangannya! Budi memasukkan kucingnya yang pintar menangkap tikus ke kantong plastik, Nina membungkus bunga pot pasangan taplak untuk meja guru di sekolah!

"Apa-apaan ini?" tegur ayahnya. "Membawa tas pakaian dan aneka oleh-oleh saja kewalahan saat berebut naik kereta api, apalagi membawa anak-anak seperti kalian yang bisa terjepit dan terinjak-injak, mau bawa macem-macem pula!"
"Kucingku tak ada yang ngasi makan selama 10 hari kita mudik!" kilah Budi.
"Bungaku mati 10 hari tak disiram!" timpal Nina.


"Kunci rumah nanti kita titikan ke tetangga, sekaligus minta tolong memberi makan kucing, menyiram bunga, menghidupkan lampu teras saat senja dan mematikannya di pagi hari!" sela ibu. "Mudik itu pulang kampung! Jadi, yang pulang kampung itu kita, manusia! Kucing dan bunga tak punya kampung, jadi tidak mudik!"

"Lebih lagi, kita mudik dalam rangka Idul Fitri, untuk menyempurnakan kefitrian atau kesucian diri sebagai manusia setelah sebulan berpuasa Ramadan! Penyempurnaan kefitrian itu utamanya dengan melunasi zakat memenuhi kewajiban dimensi kemanusiaan kita terhadap anak yatim, fakir miskin dan kaum lemah lain selaku mustahik sebelum Solat Idul Fitri; serta silaturahmi saling memaafkan pada orang tua, kerabat dan sesama!"

"Karena orang tua dan kerabat lazim berkumpul di kampung saat Lebaran, mudik atau pulang kampung jadi lebih afdol saat Lebaran!" timpal ibu. "Kucing dan bunga pot tak ada kaitan dengan dimensi manusia dan kemanusiaan mudik itu!"

"Prioritas pada dimensi manusia dan kemanusiaan itu amalan Hablun Minannas, hubungan antarmanusia, yang menjadi syarat atau jembatan mencapai Hablun Minallah--hubungan manusia dengan Allah!" lanjut ayah.

"Karena itu, tercapainya kefitrian dalam dimensi manusia, serta memenuhi kewajiban dalam dimensi kemanusiaan dengan memprioritaskan perhatian dan bantuan pada kaum lemah (mustahik) ketimbang yang lain--kucing, pot bunga atau sejenisnya--harus diusahakan maksimal sepanjang Ramadan dan Idul Fitri!"

"Bagaimana jika dalam berpuasa Ramadan ada orang menyatakan demi kucing, pot bunga atau sejenisnya itu ia memilih bahkan menganjurkan untuk mengorbankan sejumlah kaum duafa mustahik tak ditolong dan dibiarkan terlantar sengsara?" tanya Budi.

"Orang seperti itu layak dikasihani, hari gini tak kenal kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai dasar bernegara!" tegas ayah. "Semoga dia cepat mendapat hidayah-Nya!"

Selanjutnya.....

Kenapa Polisi BaikDikutuk Jadi Batu?


DUA bocah ikut mudik, duduk di jok belakang. Sembari mengamati jalanan, si abang berkata, "Polisi di sini baik-baik, ya? Mereka siaga berdiri dekat simpang, tak menyetopi mobil seperti di televisi!"

"Memang!" sambut adik. "Tapi tubuh polisi baik itu kulihat membatu!"

"Kulihat juga begitu!" timpal abang. "Jangan-jangan polisi-polisi baik itu dikutuk jadi batu!"

"Kenapa polisi baik dikutuk jadi batu?" kejar adik.

"Mungkin tak boleh begitu! Cuma tegak di simpang, tak menyetop mobil!" tebak abang. "Ingat berita televisi tentang jenderal polisi?"

"Jenderal yang mana?" tanya adik.

"Yang dipuji sebagai polisi baik!" jawab abang. "Pujian itu membuat banyak polisi lain berusaha mencari bukti, dia bukan polisi baik! Polisi lain berhasil, jenderal itu dibui!"

"Itu bisa berarti, tak boleh ada polisi baik?" timpal adik. "Kalau baik dikutuk jadi batu, atau dengan mudah dibuktikan tidak baik!"

"Aneh!" tukas abang. "Apa karena kerja polisi menangani penjahat, seperti tukang ikan menangani ikan yang amis, jadi amis juga?"

"Bukan begitu!" potong ibunya geli mendengar celoteh anaknya. "Polisi yang kalian sebut dikutuk jadi batu itu, patung! Patung simbol kedisiplinan polisi, tak kenal siang atau malam, panas atau hujan, tak beranjak dari pos tugasnya! Sedang polisi dibui jika bisa dibuktikan bersalah! Sebagian besar polisi tak dibui, karena belum dibuktikan bersalah!"

"Apa yang disiplin bukan cuma patungnya?" sela Adik.

"Kita lihat sepanjang jalur mudik!" tegas ibu. "Di tempat lalu lintas padat, polisi seharusnya hadir mengatur, apa ada polisi di situ!"

"Bukan di tempat ramai yang perlu polisi! Tapi di jalan sunyi, tempat penjahat beraksi!" timpal abang. "Di tempat sunyi itu truk dan mobil travel dirampok geng bersenjata api, dompet semua penumpang dirampas hingga mudik tanpa duit lagi!"

"Dengan rampoknya banyak, bersenjata api pula, kalau satu atau dua polisi saja bisa kewalahan!" tukas adik. "Lebih tepat di lokasi sunyi dibuat pos bayangan pakai lampu suram tapi terlihat banyak polisi di dalamnya, agar penjahat segan beraksi di sekitar itu!"

"Begitu banyak tempat sunyi, tak cukup polisi untuk mengisi pos bayanganmu setiap malam!" timpal ibu.

"Maka lampunya suram, karena yang bertugas di situ setiap malam cuma maneken berbaju polisi! Siang pos itu kosong, petang dipasang, subuh diambil!" tegas adik. "Penjahat yang melintas akan menghindari beraksi di sekitar pos yang setiap malam penuh 'polisi' itu!"

"Antar-jemput maneken dan kontrolnya menjadi patroli rutin!" timpal abang. "Penjahat ogah kepergok patroli!" ***

Selanjutnya.....

Citra Bangsa, Bukan Budak Antarbangsa!


"MENANGGAPI maraknya aksi massa dalam negeri memprotes perlakuan polisi Malaysia terhadap tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI yang di luar batas kemanusiaan, Presiden SBY mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menjauhi kekerasan demi menjaga citra bangsa!" ujar Umar. "Maksudnya, citra dan jati diri bangsa yang bermartabat dalam menjalin hubungan internasional tanpa kehilangan prinsip dasar politik luar negeri yang bebas aktif dan diabdikan untuk kepentingan nasional!"

"Kita sepakat kekerasan bukan cara yang benar untuk menyelesaikan masalah!" sambut Amir. "Kita juga sepakat citra dan jati diri sebagai bangsa yang bermartabat harus dijaga! Namun karena itu, aksi massa memprotes tindakan Malaysia mencederai martabat bangsa kita itu, selayaknya juga bisa dipahami sebagai usaha menjaga citra dan jati diri bangsa dimaksud!"

"Sejauh mana relevansi tindakan massa melempar Kedubes Malaysia dengan kotoran manusia dan membakar bendera mereka?" tanya Umar.

"Diakui, tindakan massa itu juga kelewat batas! Meski begitu harus dilihat, tindakan itu hanya reaksi yang sebanding dengan tindakan polisi Malaysia yang lebih dahulu kelewat batas!" jawab Amir. "Lebih jauh lagi, tindakan polisi Malaysia itu menyulut amarah massa kita yang terpendam atas nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) yang selama ini diperlakukan selayak budak oleh warga Malaysia! Jadi, esensi aksi massa yang meluas itu juga untuk menolak citra bangsa Indonesia yang dicederai warga Malaysia dengan dipandang dan diperlakukan selayak budak! Indonesia bukan bangsa budak, apalagi budak antarbangsa!"

"Citra bersifat objektif, seperti gambar sosok di cermin! Jadi, citra bukan apa yang saya katakan tentang diri saya, melainkan apa yang dipantulkan cermin tentang diri saya!" timpal Umar. "Namun, sebagai cermin buat citra bangsa kita, ternyata warga Malaysia cermin yang retak, memantulkan citra salah lewat sikap dan perlakuan mereka! Maka itu, kalau pemerintah kita bijak, aksi yang meluas itu juga lebih mendesak pemerintah kita sendiri untuk memperbaiki cermin retak itu, agar pencitraan warga Malaysia atas bangsa kita bisa lebih tepat!"

"Tegur tetangga sindir menantu! Itu peribahasa lama buat aksi massa kita!" tegas Amir. "Sayang, 'si menantu' tak bijak, tak bisa menangkap esensi pesan yang disindirkan ke tetangga! Maka itu, perbaikan citra bangsa yang dipantulkan salah lewat sikap dan perlakuan tetangga sebagai inti pesan aksi massa itu tak menjadi agenda langkah pemerintah dalam menyelesaikan masalah!" ***

Selanjutnya.....

Galaksi Bimasakti lewat 'Black Hole' Telinga Dewaruci!


"APA dasar ceritanya, Indonesia punya nama khas Bimasakti untuk galaksi tempat tata surya kita berada, padahal secara universal galaksi ini lebih dikenal dengan Milky Way?" tanya cucu.

"Bima yang sakti itu tokoh wayang, ia mendapat kesaktiannya setelah perjuangan panjang mencari ilmu berujung harus masuk telinga kiri Dewaruci! Ternyata itu sebuah black hole, lewat mana Bima menemukan ilmu hakikat semesta alam yang luasnya tak bertepi sebagai esensi jiwa dalam diri manusia!" jawab nenek. "Karena lewat black hole Dewaruci Bima mencapai kesaktian menemukan galaksi, maka galaksinya diberi nama Bimasakti! Nama itu lebih dahulu dari Milky Way!"

"Black hole seperti di ilmu astronomi?" sela cucu.

"Nenek kutip ucapan Dewaruci pada Bima yang ragu tubuhnya sebesar bukit bisa masuk telinga Dewaruci yang bertubuh sebesar liliput. 'Wahai Bima si dungu anakku, sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam!" tutur nenek. "Mendengar itu Bima meloncat masuk ke telinga Dewaruci! Di dalam Bima melihat jagad semesta yang luas, bahkan ia melihat Dewaruci berada di jagad walikan—dimensi lain dari alam semesta!"

"Ah, Nenek kutak-katik gatuk saja!" entak cucu. "Masak konsep semesta alam orang Indonesia bisa mirip hasil penelitian Stephen Hawking, dari black hole sampai dimensi lain alam semesta!"

"Apa yang nenek utarakan ada dalam semua versi cerita Dewaruci, bagian dari Mahabrata karya pujangga Walmiki!" tegas nenek. "Inti cerita ini, ilmu luasnya tak bertepi dan selalu punya dimensi lain, harus diraih lewat perjuangan topobroto, segala keprihatinan dan penderitaan!"

"Ajaran kuno!" timpal cucu. "Di zaman posmo ini, untuk mendapat hal baru semacam ngelmu bagi realitas hidup, justru perlu tempat aneka rekreasi, kolam renang, health center, mal dan sebagainya, seperti gedung seharga Rp1,6 triliun yang akan dibangun DPR di kompleksnya, Senayan!"

"Itu pemborosan! Menunjukkan DPR tidak peka pada nasib mayoritas rakyat yang masih hidup menderita!" tegas nenek. "Dana Rp1,6 triliun itu, kata Kompas (1-9) sama dengan biaya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk 22 juta warga miskin! Bayangkan, dana sebanyak itu hanya untuk tempat rekreasi 560 anggota DPR! Jomplang nian ketimpangan struktural di negeri kita! Sudahlah begitu, menyimpang pula dari tradisi perjuangan leluhur dalam meraih ilmu bagi kemaslahatan umat lewat keprihatinan!"

Selanjutnya.....

Harga Beras Tak Dinikmati Petani!


"BERAS dibeli Bulog ke petani Rp4.500/kg. Tapi di pasar, harga beras premium rata-rata Agustus 2010 mencapai Rp6.662/kg! (Kompas, 31-8). Selisih Rp2.162, atau 48 persen!" ujar Umar. "Saat panen pembelian Bulog itu harga tertinggi, hingga lazim petani menjual lebih rendah sekitar Rp4.000. Jadi, petani tak menikmati harga riil beras, di lain pihak konsumen membayar jauh lebih mahal!"

"Lebih seru lagi, beras petani yang bermutu baik dijual dalam kemasan berlabel di supermarket per karung isi 25 kg kini Rp210.000, atau Rp8.000 lebih per kg!" sambut Amir. "Kenapa harga riil beras lebih dinikmati pedagang, sedang petaninya justru dikurangi terus subsidi sarana produksi (saprodi)-nya)—pupuk dan obat-obatan antihama?"

"Itu bisa dibaca, strategi pengendalian harga beras khususnya oleh Bulog gagal! Sedang secara umum, kebijakan pemerinatah kurang berpihak pada petani!" tegas Umar.

"Dengan dua dimensi—khusus dan umum—itu, akibatnya petani hanya jadi korban, cuma jadi pelengkap penderita!"

"Realitas itu menuntut dilakukannya perubahan mendasar dalam kebijakan di sektor pertanian agar benar-benar berpihak pada kaum tani! Serta, perubahan strategi pengendalian harga beras oleh Bulog! Pokoknya, bagaimana harga riil beras dan keringanan biaya produksi dinikmati petani!"

"Penyebab harga gabah jatuh di sentra produksi saat panen, terutama infrastruktur jalan buruk!" sambut Umar. "Saat iklim buruk tanaman padi dirusak banjir, akibat infrastruktur irigasinya tak fleksibel juga sebagai saluran pembuangan air saat curah hujan tinggi! Itu diperparah lagi oleh akses petani mendapatkan benih unggul tahan wereng terbatas, dan harga saprodi mahal, serangan wereng terus meluas! Wereng menurunkan produksi petani di Karawang, Jabar, dari 7,32 ton GKP per ha musim lalu, kini menjadi 6,76 ton GKP per ha!" (Kompas, idem)

"Tampak, perubahan mendasar kebijakan dengan keberpihakan pada petani itu diwujudkan lewat membalik tren subsidi dari terus mengurangi dengan terus menambah, kemudian fokus pada perbaikan infrastruktur, jalan dan penggandaan fungsi irigasi dari semata penyalur air ke sawah, menjadi juga pembuang air dari sawah!" tegas Amir. "Sedang dalam strategi pengendalian harga beras, kalau sebelumnya Bulog melepas bebas spekulan menaikkan harga dulu baru 'icak-icak' operasi pasar—hingga selalu gagal menurunkan harga—diganti mencegat ke depan langkah spekulan dengan droping beras ke pasar sebelum harga dinaikkan spekulan! Tepatnya, Bulog lebih proaktif bermain di pasar!"

Selanjutnya.....