Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Dialog Narapidana!


"MASA hukumanmu tinggal beberapa hari lagi kok wajahmu malah murung?" tanya seorang narapidana—napi—ke teman satu selnya. "Kau pasti cemas menghadapi kenyataan di luar sana! Sebagai residivis susah cari kerja, pandangan orang selalu terasa mencibirmu, dan seterusnya!"

"Memang, aku berpikir lebih baik kalau aku lebih lama di dalam sini!" sambut teman.

"Tapi bukan itu alasannya!"

"Lantas, apa alasanmu?" kejar napi.

"Kalau penjara selama ini cuma menjadi tempat meningkatkan kualitas penjahat, maling ayam keluar jadi maling kambing, dalam waktu dekat terjadi perubahan! Penjara akan seperti kampus, tempat belajar ilmu pengetahuan sesungguhnya dari para dosen bergelar profesor, doktor maupun praktisi kelas atas seperti direktur bank besar!" tutur teman.

"Ah, kau berlebihan mengira orang-orang terhormat itu akan sampai ke tempat seperti ini!" sambut napi.

"Kenapa tidak, kalau pengadilan memvonis mereka bersalah dan kena hukuman penjara, pasti mereka masuk kemari!" entak teman. "Bukankah semua warga negara sama di muka hukum, tak peduli profesor, direktur bank atau menteri sekalipun!"

"Itu menurut teori!" timpal napi. "Berapa banyak direktur bahkan pemilik bank yang divonis hukuman penjara, tak ada di dalam sini, malah santai menikmati hasil jarahannya di luar negeri!"

"Saat kasusnya diproses mereka jatuh sakit, lantas harus berobat ke luar negeri!" ujar napi. "Sejak itu mereka tak pernah kembali, hingga vonisnya juga dijatuhkan secara in absensia!"

"Sekarang lain!" timpal teman. "Begitu kasusnya mulai diproses, mereka dicekal tak boleh pergi ke luar negeri!"

"Berobat di dalam negeri juga bisa!" sambut napi. "Pokoknya sampai perkaranya diputus Mahkamah Agung, mereka bisa tak menjalani hukuman dengan alasan berobat! Dalam masa itu pula, salah satu tingkat pengadilan akhirnya membebaskannya!"

"Maksudmu pasti, banyak jalan menghindari penjara!" tukas teman.

"Terutama dalam kasus korupsi kelas atas!" sambut napi. "Kalau korupsi kelas bawah, tak beda dengan maling-maling kecil! Sejak awal sudah masuk, baru keluar setelah masa hukuman selesai dijalani!"

"Kata teman satu selku sebelum kau, Solon yang hidup sebelum Socrates pernah mengatakan hukum itu seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah!"

"Meskipun cuma sarang laba-laba, kalau itu laba-laba tarantula, makhluk kuat juga akan terkulai kena sengatannya!" timpal teman. "Dan hukum itu memang tarantula karena bisa menyengat monster-monster dalam masyakarat dengan hukuman mati!"
"Solon bicara soal jaringnya!" tegas napi. "Dan masalahnya selalu, jaringnya itu!" ***

-------------
Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi 23 Mei 2005. Artikel terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan Bapak H. Bambang Eka Wijaya kembali pulih.

Selanjutnya.....

Kecelakaan Kerja!

"ADIKMU mau jadi wartawan?" tukas Umar. "Kalau boleh kuingatkan, sebaiknya jangan! Risikonya, kalau terjadi kecelakaan kerja dalam profesinya, langsung masuk penjara!"

"Lantas harus kerja apa?" sambut Amir.

"Di bank saja! Risikonya, kalau jatuh di atas tumpukan duit!" anjur Umar. "Apalagi adikmu sarjana, salah-salah mutasi bisa jadi direksi!"

"Risiko direksi bank dan wartawan tak beda!" timpal Amir. "Ketika terjadi kecelakaan kerja, sama-sama masuk penjara!"

"Kenapa risiko kecelakaan kerja wartawan dan direksi bank langsung masuk penjara?" sambut Umar. "Padahal profesi lain tak begitu! Hakim misalnya, sesalah apa pun memutus perkara, yang juga semacam kecelakaan kerja, yang dialami hanya koreksi atas putusannya oleh pengadilan tinggi! Begitu seterusnya hingga kasasi dan PK!"

"Diakui, setiap profesi punya keunikan teknis dan prinsip pengabdian! Tapi kecelakaan
kerja bisa terjadi pada semua profesi, sehingga suatu pengaturan proses penanganan kasusnya dari sisi kecelakaan kerja seharusnya bisa dilakukan! Ini dimaksudkan agar tercipta keadilan antarprofesi, tidak lagi profesi yang satu jika mengalami kecelakaan kerja langsung masuk bui, sementara profesi lain senantiasa mendapat kesempatan perbaikan secara sistemik tanpa risiko apa pun!"

"Gugatan keadilan perlakuan antarprofesi itu terasa ada benarnya, tapi belum terbayang harus mulai dari mana mewujudkannya!" timpal Umar. "Masalahnya, jangankan rasa keadilan antarprofesi, dalam perbedaan sosial saja, penjabarannya dalam praktek keadilan formal maupun sosial masih jauh dari harapan!"

"Logika begitu terbalik!" tegas Amir. "Justru kalau rasa keadilan perlakuan antarprofesi saja tak bisa dihadirkan, padahal ini menyangkut nasib kaum profesional yang relatif melek hukum, bakal lebih jauh lagi peluang bagi terciptanya rasa keadilan di tengah dikotomi sosial kaya-miskin dan kuat-lemah itu!"

"Lantas, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk bisa menguak harapan agar semua ideal itu tak mustahil!"

"Kayaknya kita kekurangan pemikir sekelas filsuf bidang hukum yang mampu mendesain suatu sistem hukum yang komprehensif!" tukas Amir. "Lihat misalnya DPR sebagai produsen UU, produknya selalu sepotong-sepotong, sering tidak klop antara satu UU dan lainnya atau malah kurang relevan dengan semangat zaman saat UU itu sendiri dilahirkan!"

"Mencari pemikir sekomprehensif Bapak-bapak Pendiri Bangsa untuk me-review ulang perjalanan bangsa, agaknya tak mudah!" timpal Umar. "Konsekuensinya, sesulit itu pula usaha menguak harapan terpenuhinya rasa keadilan multidimensi dalam masyarakat bangsa!" ***

---------
Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi 13 Mei 2005. Artikel Buras terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan Bapak H. Bambang Eka Wijaya kembali pulih.


Selanjutnya.....

Operasi Jantung!


PULANG besuk sejawat yang dioperasi jantung akibat merokok, istri memancing suami yang perokok berat, "Ngeri ya, operasi jantung akibat tersumbat nikotin!" "Kenapa mesti ngeri, di tangan dokter ahli terbaik!" sambut suami.
"Tak kaulihat dadanya seperti habis dicabik-cabik beruang bekas irisan untuk mem-by pass saluran darahnya?" entak istri. "Setelah melihat yang seperti itu, wajar orang takut dan berhenti merokok!"

"Kenapa harus takut dan berhenti merokok?" timpal suami. "Justru dengan menyaksikan sendiri sakit jantung akibat merokok sudah bisa diatasi dengan operasi by pass, perokok merasa aman, ada jalan keluar dari ancaman mematikan itu!" "Tapi pikirkan biaya operasinya yang mahal, puluhan bahkan ratusan juta!" tukas istri.

"Yang membayar kan asuransi!" sambut suami. "Tak salah memanfaatkan fasilitas yang telah dibeli dengan bertahun-tahun disiplin membayar preminya!". "Susah bicara dengan pecandu yang berstadium masokhis, mencari kenikmatan dengan menyakiti diri sendiri!" timpal istri.

"Lebih baik masokhis, mencari kenikmatan dengan menyakiti diri sendiri, daripada politisi busuk dan berbagai jenis penindas lain yang terbiasa mencari kenikmatan untuk dirinya dengan merugikan, menyakiti, atau mengorbankan orang lain!" sambut suami. "Lebih buruk lagi, yang dirugikan dan dikorbankan itu rakyat, yang seharusnya wajib ia bela dan perjuangkan nasibnya!"
"Justru wajar kalau orang punya kekuasaan mengutak-atik anggaran, mengalihkan dana publik yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemuas nafsu dirinya dan kelompok elite semata!" tukas istri. "Kalau tak begitu tak ada segala bentuk dikotomi elite-massa, dari feodalisme sampai demokrasi-demokrasian model dari rakyat, oleh elite, untuk elite; mendapat kekuasaan dari rakyat, dijalankan oleh elite, untuk sebesar-besarnya kemakmuran elite!"

"Akibat demokrasi-demokrasian seperti itu mencengkeram bangsa kita sepanjang lima dekade, negara jadi seperti penderita jantung tersumbat candu hak-hak istimewa elite!" timpal suami. "Karena itu, negara-bangsa ini perlu operasi jantung, mem-by pass saluran darah yang tersumbat candu kebiasaan buruk elite tersebut!"
"Bagaimana mengoperasinya?" kejar istri. "Di-by pass dengan mengefektifkan kontrak sosial para elite, hingga setiap jabatan publik yang diperoleh dari rakyat sepenuhnya diaktualisasi dan diorientasikan pada kepentingan rakyat! Dengan aktualisasi dan orientasi sikap-tindak elite yang sedemikian, demokrasi kembali ke fitrahnya: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat!"
"Tapi bagaimana kalau masih banyak elite yang alergi pada kontrak sosial, bahkan mendengar istilahnya saja pun?" tukas istri. "Justru itu yang di-by pass!" timpal suami.

"Saluran-saluran tersumbat itu diganti dengan saluran baru agar distribusi darah lancar sampai jaringan pembuluh kapiler paling ujung sekalipun!". "Tapi mengefektifkan kontrak sosial itu tak mudah!" sambut istri. "Sama tak mudahnya dengan menghentikanmu dari kecanduan merokok!"

Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi Minggu, 13 Maret 2005. Artikel Buras terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan H. Bambang Eka Wijaya kembali pulih.

Selanjutnya.....

Seranjang Beda Impian!


"BANGUN! Bangun!" entak suami mengoyang tubuh istri yang berteriak-teriak dalam tidur.

"Maling! Ada maling!" jawab istrinya sambil membalikkan badan untuk kembali tidur.

"Bangun dulu!" ujar suami. "Kalau tidur lagi, mimpi buruk bisa nyambung! Teriakanmu tadi memutus impianku yang indah!"

"Mimpi indah?" istri tersentak dan bangkit ikut duduk. "Masak kita tidur seranjang, sekasur, sebantal, impiannya berbeda?"

"Maka itu! Tidur seranjang saja impian orang berbeda, ideologi apa pun takkan bisa memaksa warga agar bermimpi sama!" tegas suami.

"Begitulah seharusnya!" timpal istri. "Justru kebebasan menikmati impian masing-masing itulah yang menjadi inner dinamic sebuah bangsa! Seperti harga sebagai invisible hand yang menggerakkan mekanisme pasar dalam teori Adam Smith, impian juga menjadi invisible hand yang menggerakkan mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara!"

"Sebab itu, istilah invisible hand tak harus ditafsirkan negatif seperti tangan hantu yang merusak impian tertentu!" sambut suami. "Tapi, seperti harga dalam terminologi Adam Smith, impian sebagai invisible hand dalam mekanisme berbangsa adalah nilai!"

"Nilai memang sinonim harga!" tegas istri. "Setiap nilai mendorong setiap warga yang meyakininya untuk mewujudkan atau menghindarinya, lewat suatu tawar-menawar dalam proses demokrasi! Demokrasi pun, tak ayal, menjadi sinonim pasar, tempat tawar-menawar nilai, tawar-menawar impian!"

"Dalam demokrasi, setiap warga berhak mewujudkan impian yang diyakininya sesuai harga yang disepakati bersama warga sebangsa!" timpal suami. "Berlangsungnya proses tawar-menawar secara terbuka itu meniscayakan demokrasi sebagai jalan mewujudkan impian lewat jalan damai!"

"Maka itu, tak pada tempatnya jika dalam proses tawar-menawar itu terjadi pemaksaan, karena demokrasi tercipta sebagai 'pasar' tempat orang meraih impiannya secara damai!" timpal istri. "Amat tak etis jadinya, mendiskredit suatu golongan yang membawa nilai-nilai yang diyakininya ke proses tawar-menawar di arena demokrasi sebagai invisible hand negatif, dianggap sebagai ancaman bagi proses transisi!"

"Justru sebaliknya, proses transisi atau reformasi jadi tersendat-sendat akibat adanya kecenderungan pemaksaan kehendak, mewarnai proses tawar-menawar di 'pasar' demokrasi dengan bayang-bayang kekerasan!" tegas suami. "Gejala itu hanya bisa dihilangkan jika setiap kita menghormati impian orang lain di antara sesama kita! Seranjang saja impian berbeda, bagaimana memaksa orang lain harus sama impian dengan kita! Mustahil!" ***

============================================================
Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi 3 Juni 2006. Artikel buras terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan Bapak H. Bambang Eka Wijaya pulih kembali.

===================================================

Selanjutnya.....

Regenerasi Pungli!


"PULANG ngaji jangan langsung nonton televisi sampai tertidur di sofa!" entak ibu menjewer putranya. "Ayo belajar, mengulang pelajaran hari ini agar lebih meresap ilmunya!"

"Bosan!" timpal Putra. "Pagi sekolah, sore kursus ini-itu, magrib ngaji, malam belajar lagi! Kata kawan-kawan, yang kerja keras siang-malam cuma anak buah!"

"Kau bicara apa?" sambut ibu, kaget.

"Bicara kalau besar jadi bos!" tegas Putra. "Bos tak perlu kerja keras, tak perlu sekolah! Yang penting kebal, dibacok tidak mempan! Semua anak buah setor!"

"Maksudmu bos preman yang kalian lihat di pasar atau terminal?" tukas ibu. "Sudah tak musim lagi! Awak bus antarkota Lampung sudah mogok pekan lalu, disusul kemarin awak bus Jawa Barat di Bandung! Semua itu pemanasan mogok nasional awak angkutan umum menuntut pungli dihabisi, kini sedang dibahas Rakernas Organda di Jakarta!"

"Tuntutan awak bus itu pungli oleh petugas!" timpal Putra.

"Tapi sopir angkot Sukaraja—Tanjungkarang kepada Radio Elshinta justru lebih mengeluhkan pungli preman yang menyebar di segala penjuru!" tegas ibu. "Berarti, para petugas yang dituding pungli segera membersihkan lebih dulu para calo dan preman! Karena tanpa pungli preman, tekanan pungli terhadap awak bus tidak mencapai titik kritis hingga tidak mampu mereka pikul!"

"Jadi pungli oleh petugas akan bertahan?" sambut Putra. "Tapi untuk jadi petugas susah! Rajin belajar saja tidak cukup!"

"Maksud ibu, rajin belajar bukan untuk jadi tukang pungli juga!" entak ibu. "Kenapa kau tak berpikir jadi dokter, pilot atau..."

"Aku ingin jadi dokter? Pilot?" timpal Putra. "Teman sekelasku bisa tertawa seharian!"

"Kenapa kalian putus asa begitu?" kejar ibu.

"Bukan putus asa! Tapi paling realistis!" ujar Putra. "Coba hitung berapa pilot ada di kota kita? Tidak satu pun! Dokter, juga cuma sedikit! Kenapa begitu? Karena tidak mudah untuk jadi pilot atau dokter! Sedang untuk jadi tukang pungli, cukup memulainya dari tukang parkir gelap di daerah aman dulu!"

"Gawat! Obsesi kalian pungli dan pungli melulu!" entak ibu. "Pantas sukar membasmi pungli! Dari zaman Kopkamtib Sudomo bukannya kian habis, tapi malah merajalela karena regenerasinya alamiah!"

"Yang lebih menarik, untuk jadi tukang pungli itu tak ada sekolahannya!" timpal Putra. "Tapi mereka bisa melakukan pekerjaan itu dengan benar-benar profesional, hingga meskipun setiap penguasa dari waktu ke waktu berjanji dalam kampanye bakal menuntaskan pembasmian pungli, tidak satu pun penguasa yang tercatat dalam sejarah berhasil melakukannyai!"

"Kalau dalam cerita ketoprak, untuk tugas berat yang unik begitu raja membuat sayembara, siapa yang berhasil dikawinkan dengan putri raja atau diberi kekuasaan tertentu dalam kerajaannya!" sambut Putra.

"Sekarang juga secara tidak langsung ada sayembara!" tukas ibu. "Barang siapa mampu melakukan pungli terbaik dengan setoran terbesar, akan mendapat jabatan penting!"

"Pantas, pungli sukar dibasmi!" timpal Putra. ***

===========================
Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi Rabu, 25 Januari 2006. Artikel Buras terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan Bapak H. Bambang Eka Wijaya kembali pulih.
============================================================

Selanjutnya.....

Kepastian Hukum!


"ENAK jadi raja di negeri monarki absolut, ya? Setiap ucapan raja dicatat sebagai hukum!" ujar baginda. "Kenapa moyangku dulu memilih monarki demokrasi parlementer, dengan pemerintahan dijalankan perdana menteri dan parlemen yang memilihnya?"

"Karena zaman berubah dengan hadirnya prinsip fox populi fox dei—
suara rakyat suara Tuhan!" jawab Jonaha. "Sejak itu raja selaku kepala negara juga harus menaati konstitusi! Sistem Sabdo Pandito Ratu, setiap ucapan raja sebagai hukum, tak lagi berlaku!"

"Tapi raja kan tetap kepala negara, sedang menurut pemikir, hukum itu bukan semata undang-undang yang tertulis, tapi apa yang dilakukan para pejabat negara dan pemerintahan, dari adipati, polisi, jaksa, hakim sampai para penggawa!" tukas baginda. "Dengan begitu malahan, bukan hanya ucapan atau tindakan raja yang menjadi hukum, tapi juga tindakan para penggawa!"

"Tapi secara formal hukum itu tetap yang dihasilkan suatu majelis, seperti parlemen pembuat undang-undang atau sidang pengadilan yang memutus perkara!" sambut Jonaha.

"Bahkan majelis hakim di sidang pengadilan bersifat independen, bebas dari intervensi dan pengaruh orang lain, tanpa kecuali dari seorang raja sekalipun! Lantas peraturan yang dibuat dan dijalankan jajaran pemerintahan juga harus merupakan turunan dari hukum yang dibuat di parlemen, hierarkinya sampai tingkat bawah; seorang adipati harus menjalankan peraturan daerah yang dibuat parlemen lokal! Menyimpang atau keluar dari itu, sang adipati bisa dituntut di muka hakim!"

"Tapi kenyataannya sampai sekarang pun apa yang kuucapkan tetap seperti hukum, dianggap itulah yang benar!" tutur baginda. "Demikian pula ucapan para pejabat dan penggawa!"

"Kebiasaan masyarakat seperti itulah yang membuat hukum di negeri kita terkesan kacau!" timpal Jonaha. "Karena setiap pejabat, bahkan setiap orang atau kelompok, merasa hanya ucapannya yang paling benar! Karena semua pihak merasa paling benar itu, rakyat jadi bingung, yang mana sebenarnya hukum itu! Pernyataan si A atau si B? Ini berpengaruh negatif pada kesadaran hukum rakyat karena rakyat jadi bingung dan tak bisa memastikan lagi hukum yang sesungguhnya itu seperti apa?"

"Kondisi kesadaran hukum rakyat seperti itu memprihatinkan!" tukas baginda. "Rakyat bisa menjadi korban ketidakpastian hukum, yang dianggapnya benar dan dia lakukan ternyata malah salah dan membuat dirinya masuk bui! Berarti perlu suatu upaya untuk menegakkan kepastian hukum yang mudah dipahami rakyat kebanyakan, sehingga tanpa kebingungan pula rakyat menaatinya!"

"Upaya itu harus bermula dari Baginda sendiri!" sambut Jonaha. "Cukup dengan menjaga setiap ucapan dan tindakan Baginda tak membingungkan rakyat!"

"Bagaimana kalau rajanya juga bingung, kurang jelas harus bertindak seperti apa untuk menjalankan hukum!" entak baginda.

"Pasti rakyat jadi lebih bingung lagi!" timpal Jonaha. ***
-----------------------------------------------
Pembaca Budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi Minggu, 17 Juli 2005. Kami akan kembali menampilkan buras terkini setelah kondisi kesehatan Bapak Bambang Eka Wijaya kembali pulih.
---------------------------------------------------------

Selanjutnya.....

Cespleng, Gaji Presiden Naik!


"ASYIK amat, cukup sekali Presiden Yudhoyono curah isi hati (curhat) gajinya tujuh tahun tak kunjung naik, langsung mendapat perhatian Menteri Keuangan yang kemarin menyatakan gaji Presiden akan dinaikkan bersama 8.000 pejabat negara lainnya!" ujar Umar. "Kenaikan itu nantinya termasuk tunjangan prestasi yang melekat pada gaji!"

"Maka itu, seorang Presiden tak boleh curhat atau mengeluhkan soal gajinya!" sambut Amir. "Sebab dijamin cespleng dipenuhi! Itu bisa membuat rakyat iri, terutama buruh, yang keluhannya bertahun-tahun untuk menaikkan upah pada tingkat KHL—kebutuhan hidup layak—saja jangankan dipenuh, didengar atau diperhatikan pun tidak! Padahal secara nyata, siapa yang lebih butuh penyesuaian?"

"Soal siapa yang sebenarnya lebih butuh penyesuaian itu belum lagi Presiden mendapat dana taktis Rp2 miliar per bulan, serta fasilitas sepenuhnya jabatan presiden, tempat tinggal di istana, jaminan keamanan dengan pengawalan ketat, jaminan kesehatan dengan dokter kepresidenan, transportasi dari mobil sampai pesawat udara, pakaian, makanan dan sebagainya, yang semua itu bahkan membuat gajinya tak perlu disentuh lagi!" tukas Umar. "Lebih tak patut lagi seorang Presiden mengeluh gajinya tak kunjung naik ketika ibu-ibu rumah tangga kalang kabut dibuat harga kebutuhan dapurnya meroket seperti sekarang! Artinya, kalau kenaikan gaji Presiden dan para pejabat negara itu dalam bentuk tunjangan prestasi, tunjukkan dulu prestasi bahwa mereka mampu menahan laju kenaikan harga kebutuhan pokok yang makin mencekik rakyat!"

"Kalau orang gedean tak perlu membuktikan prestasi, tunjangan prestasinya jalan terus!" timpal Amir. "Lain wong cilik, prestasinya sudah terbukti sekalipun, kolom tunjangan prestasi tak tersedia dalam daftar gajinya!"

"Perbedaan antara elite dan jelata itu pada privilese—hak-hak istimewa—yang hanya dimiliki kalangan elite!" tegas Umar. "Hak-hak istimewa elite itu yang membuat dalam banyak hal, tanpa kecuali di negeri maju sekali pun, persamaan antarsesama warga negara yang dijamin konstitusi prakteknya selalu tak mulus! Konon lagi di negeri terbelakang, hak-hak istimewa elite setiap kali diklaim dan terus bertambah variannya!"

"Memang di negeri terbelakanglah elite yang sudah menikmati seabrek hak-hak istimewa tak merasa malu mengeluhkan hak-hak istimewa yang diterimanya masih kurang!" tukas Amir. "Bukan hendak menyatakan elite seperti itu serakah! Tapi terlalu berorientasi pada kepentingannya sendiri, sehingga tak melihat dirinya hidup mewah di tengah samudera kemelaratan yang menenggelamkan rakyatnya dalam penderitaan tanpa jalan keluar!" ***

Selanjutnya.....

Pejabat Dicopot Terkait Gayus!


"SENIN (24-1) muncul pernyataan Kementerian Keuangan, pencopotan lima pejabat—di antaranya Dirjen Pajak Tjiptardjo—terkait kasus Gayus H.P. Tambunan! Pernyataan senada juga dari Polri, menonaktifkan 17 polisi terkait mafia hukum!" ujar Umar. "Kedua alasan penindakan disusulkan guna memberi bukti ke publik Instruksi Presiden (Inpres) tentang Gayus tidak macet, terutama instruksi nomor tujuh, menindak aparat terkait mafia hukum dan mafia pajak!" (Metro TV, 24-1)

"Pernyataan itu jelas mengejutkan, karena secara tidak langsung Kementerian Keuangan memajang bukti bahwa bos mafia pajak ternyata seorang dirjen! Juga Polri, mereka tunjukkan mafia hukum di markasnya tanpa kecuali berpangkat jenderal!" sambut Amir.

"Pernyataan demikian jelas punya konsekuensi, yakni harus dilakukannya proses hukum terhadap para pejabat teras tersebut sebagai terduga bos atau anggota jaringan mafia di birokrasi pemerintah dan aparatur negara! Soal ini jelas amat menarik diikuti oleh rakyat!"

"Harus dibedakan antara pernyataan bertujuan mendukung retorika Inpres tidak macet, dengan proses hukum sebagai apa para pejabat teras itu disebut dalam retorika tersebut!" sambut Umar. "Sekadar membuat pernyataan mudah sekali, apa pun bunyinya! Tapi untuk melakukan tindakan, apalagi proses hukum yang menjadikan pejabat-pejabat teras tersebut sebagai tumbal retorika, tidaklah mudah! Bagaimana pun juga, stelsel kekuasaan para pejabat di instansi yang pernah lama dipimpinnya tak akan mendiamkan hal itu terjadi! Konon pula, jika proses hukum itu bisa merambat luas ke dalam instansinya!"

"Meski begitu, pembeberan kesan bahwa bos mafia pajak itu tak lain dirjennya sendiri sudah telanjur sukar diubah!" tukas Amir. "Dengan kesan itu orang menganyam rangkaian berita media, dari penyataan Gayus dia cuma teri, dan terbukti betul ada big fish-nya! Lalu kalau si teri Gayus saja bisa main seratus miliar, seberapa besar pula mainan big fish!"

"Siapa yang mau mengungkap dan membuktikan itu?" timpal Umar. "Maksudku, soal penyebutan big fish itu terkait kasus mafia pajak Gayus cuma diperlukan sebatas untuk mendukung retorika Inpres Gayus tidak macet! Titik! Proses hukum yang diharapkan rakyat itu, seperti terjadi di Polri selama ini, hanya berlangsung secara internal! Usai itu, rakyat dibuat lupa perlunya proses hukum atas para pejabat itu sebagai konsekuensi pernyataan tadi! Apalagi Gayus sudah dikurung dalam penjara, tak ada lagi yang ngoceh di televisi agar menggoreng big fish!" ***

Selanjutnya.....

Mengamankan Harga Pangan!

"INFLASI kelompok pangan 15,64% pada 2010, jauh di atas inflasi nasional 6,96%, terlihat membuat pemerintah panik!" ujar Umar. "Pagi-pagi awal tahun 2011 pemerintah membuat kebijakan membebaskan bea masuk impor bahan pangan seperti beras, gandum, kedelai, dan pakan ternak! Kebijakan itu, masih diperkuat dengan mengimpor beras 1,2 juta ton!"

"Usaha mengamankan agar ketersediaan pangan dengan harga tetap terjangkau juga didorong oleh iklim ekstrem yang melanda seantero bumi!" timpal Amir. "Ke dalam negeri, pemerintah akan memberikan ganti rugi biaya tanam dan sarana produksi kepada petani atas tanaman padi yang fuso atau gagal panen akibat banjir! Ini hal baru di negeri kita, pelaksanaannya masih harus diuji!"

"Gerak cepat pengamanan itu didorong kenyataan harga pangan dalam negeri kini sudah amat tinggi, masih diperparah ekses iklim ekstrem yang belum berakhir hingga pasokan tak lancar—truk menumpuk di sejumlah penyeberangan!" timpal Amir. "Di sisi lain, dengan iklim ekstrem mendunia, stok pangan di pasar internasional juga menipis hingga harganya cenderung untuk terus naik!"

"Dengan paduan masalah dalam dan luar negeri itu jadi tak mudah pemerintah menekan harga pangan dalam negeri!" tebak Umar. "Hal itu tak bisa disepelekan dengan
bandingan di Tunisia, Presiden Ben Ali yang berkuasa 23 tahun jatuh akibat gagal mengendalikan harga pangan! Padahal, inflasi Tunisia 2010 hanya 4,3% dengan pendapatan per kapita dua kali lipat Indonesia!"

"Itu menunjukkan tantangan yang kita hadapi jauh lebih berat, sehingga kebijakan bebas bea impor pangan dan impor beras 1,2 juta ton yang merugikan nilai tukar petani (NTP) ditempuh dengan kompensasi penggantian gagal panen bagi petani!" timpal Amir. "Sebatas teori semua itu oke! Cuma implementasinya, janji mengganti ternak korban erupsi Merapi yang cuma terkait empat kabupaten saja—Sleman, Klaten, Boyolali, Magelang—hingga kini belum terealisasi dengan baik! Bayangkan kalau cara kerja serupa dipakai menangani penggantian gagal panen di seluruh Tanah Air!"

"Tantangan utama kebijakan mengamankan harga pangan tampak justru pada birokrasi pemerintahan itu sendiri!" tegas Umar. "Intinya bahkan, pada konsistensi Pemerintah Pusat dalam merealisasikan janji-janjinya! Kalau terus mencla-mencle, pagi tempe sore kedelai, tren kenaikan harga kebutuhan pokok di pasar yang sekarang masih terus menanjak, susah diatasi! Dan, beban hidup rakyat pun terus bertambah berat!" ***


Selanjutnya.....

Budaya Uang, Karakter Pasar!


"KETIKA Presiden Yudhoyono mencurahkan isi hati (curhat) di Rapim TNI-Polri gajinya tujuh tahun tak kunjung naik, tebersit implikasi budaya uang merasuki siapa saja, tak peduli Presiden atau kacung, dengan karakter pasar yang mengukur segala sesuatu dengan satuan nilai mata uang!" ujar Umar. "Jelas menyedihkan jika seorang pemimpin berharap di muka umum untuk menilai dirinya dengan satuan nilai mata uang!"

"Tapi itu kan cuma curhat!" timpal Amir.

"Meski cuma curhat!" tukas Umar. "Konteksnya kurang tepat, membandingkan gajinya dengan gaji prajurit yang dinaikkan setiap tahun! Padahal, prajurit mengabdikan jiwa-raganya secara tulus-ikhlas untuk negara, tanpa pamrih, hingga justru dikerdilkan jika pengabdian mulia itu hanya diukur dengan satuan nilai mata uang!"

"Dari situ yang perlu ditarik hikmahnya!" sambut Amir. "Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, bagai air mancur (fountain) di kolam bangsa! Jika dari air mancur itu mengalir warna tertentu, warna air seisi kolam jadi sama!"

"Bangsa kita memang sudah terputar dalam pusaran budaya uang dengan karakter pasarnya!" tegas Umar. "Dalam politik, ikut pilkada harus tahu harga kursi yang direbutnya, mulai sewa perahu, kampanye, sampai operasi fajar! Terkait hukum harus bayar pengacara! Dalam ekonomi, mau buka usaha sebelum melangkah harus lebih dulu membuat akta badan usaha, SIUP, SKITU, HO, dan lain-lain! Pokoknya uang, uang, dan uang!"

"Budaya uang dengan karakter pasarnya melucuti nilai-nilai budaya dengan sendi humanitasnya lewat rumus P4—product, price, promotion, place!" timpal Amir. "Suatu ritual budaya sakral, atau gelar seni yang indah, dipaket menjadi product, dilabeli harga (price) sekali tampil, dipromosikan agar pembeli tertarik, lalu disajikan di tempat (place) yang bukan semestinya buat ritual sejenis! Kesakralan dan nilai humanitas keindahan seni dikosongkan, diganti satuan nilai mata uang!"

"Akibat segala sesuatu diukur dengan satuan nilai mata uang, tanpa kecuali manusia bahkan oleh seseorang atas dirinya sendiri, budaya uang dengan karakter pasarnya mendegradasi harkat-martabat manusia jadi sekadar benda fungsional dengan harga sesuai supply-demand!" tegas Umar. "Sisi manusia buruh disisihkan karena secara fungsional cuma alat produksi, nilai satuan mata uang (UMK dan UMP Lampung) diri mereka cuma di bawah satu juta rupiah sebulan! Tapi jangan kira itu cuma pada buruh! Dengan determinasi budaya uang dan karakter pasar di kolam bangsa, setiap kita juga cuma satuan nilai mata uang sesuai fungsionalnya!" ***

Selanjutnya.....

'Mulang Tiuh' Versi Way Kanan!


"DATA Badan Pusat Statistik (BPS) mengisyaratkan fenomena signifikan pada gengsi warga Lampung atas pekerjaan dan tempat tinggal!" ujar Umar.

"Periode Agustus 2009—Agustus 2010, 281 ribu orang alih pekerjaan ke sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, pekerja sektor ini naik 15,36%! Sebagian mereka mulang tiuh—pulang kampung—dari kota!"

"Geliat mulang tiuh setiap hari sekitar 750 orang—setara 15 bus jemaah haji—sepanjang tahun itu menurunkan jumlah pekerja sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi 5,49%! Peran sektor industri juga turun dari 8,82% penduduk, jadi 7,78%," sambut Amir. "Fenomena yang menaikkan peran sektor informal menampung hingga 76,52% angkatan kerja ini menunjukkan naiknya gengsi pekerjaan sektor tradisional, bertani, dan tinggal di kampung, daripada jadi buruh di kota dengan upah buruh efektif Lampung terendah ketiga nasional di atas Jateng dan Jatim, alias terendah di luar Jawa!" (Metro+10, Metro-TV, 18-1)

"Gejala itu kontras dengan pengalaman Bustami Zainudin, Bupati Way Kanan, dalam buku Mulang Tiuh!" timpal Umar. "Sejak jadi wakil bupati ia rajin ke kampung-kampung terpencil menginap di rumah warga, menemukan sikap negatif yang umum—orang tua berusaha anaknya tak jadi petani tinggal di kampung menderita seperti dirinya, si anak pun ingin cepat hengkang dari kampung!"

"Berkat pengalaman itu, gejala perubahan gengsi pekerjaan bertani dan pulang kampung segera ia jadikan peluang! Program membangun kampung dia pertajam jadi Gerakan Mulang Tiuh: Way Kanan Bumi Petani!" tegas Amir. "Hari ini gerakan itu dicanangkan Menko Kesra Agung Laksono!"

"Tapi, sejauh mana realitas gerak massif statistik BPS itu di Way Kanan?" timpal Umar. "Ada, meski sporadis! Mulang tiuh justru terlihat pada keluarga terdidik yang punya visi dan tanah, pulang dari kota menanam singkong, karet, sawit, kakao, tebu dalam skala modal sedang! Ini berkat harga komoditas perkebunan keluarga, terutama karet mencapai 5 dolar AS per kilogram, tertinggi sepanjang Abad, hingga bersama komoditas sawit, kakao dan kopi yang juga sedang baik harganya, mendongkrak nilai tukar petani (NTP) Lampung mencapai 117 (September 2010)—t, ertinggi nasional jauh di atas rata-rata 102,5!"

"Justru momentum mulang tiuh ditopang fondasi yang rapuh, fluktuasi harga komoditas perkebunan, pencanangan Gerakan Mulang Tiuh tepat untuk menjaga keberlanjutannya!" tegas Umar. "Mulang Tiuh harus diartikan luas, terutama partisipasi warga perantau asal Way Kanan untuk ikut membangun kampungnya! Dengan dukungan perantau, gerakan sporadis bisa jadi massif!" ***

Selanjutnya.....

Gayus Men-'Cakra' Pucuk Kekuasaan!


"SEUSAI divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta, Gayus H.P. Tambunan membidikkan panah cakra ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang bersarang di pucuk kekuasaan negara—Istana Presiden!" ujar Umar. "Hasilnya, dalam tempo singkat juru bicara Istana menyatakan Presiden SBY meminta Satgas melapor dalam 1 x 24 jam tentang tudingan Gayus kerja Satgas merekayasa hukum untuk kepentingan kekuasaan!"

"Cakra itu panah Prabu Kresna, berujung bulat—bukan lancip! Fungsinya untuk menyingkap jati diri di balik segala topeng penyamaran!" ujar Umar. "Berkat panah Gayus itu tercatat rekor reaksi tercepat Presiden SBY dalam merespons tudingan dari luar istana!"

"Sekalian membuktikan, Gayus mastermind—penjahat berotak cemerlang—
lolos dari jerat kasus korupsi lebih Rp100 miliar dengan hanya dihukum atas penggelapan Rp300 juta, mampu mengguncang pucuk kekuasaan negara dengan tudingan yang telak!" tegas Umar. "Tak main-main, tudingan itu bisa merusak kredibilitas Oresiden karena telah membuat status negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan! Kalau selama ini kesan hukum dikalahkan oleh kekuasaan dan uang baru pada tataran aparat lembaga penegak hukum, cakra Gayus menyingkap wabah itu sudah merebak di pucuk kekuasaan negara! Lugasnya, riwayat negara hukum sudah tamat!"

"Masalahnya, bagaimana jika justru tudingan Gayus itu benar?" timpal Amir.

"Contohnya dalam skandal Century, kasus yang dikirim dari Istana langsung diproses polisi dan politisi PKS, salah satu penggagas membongkar skandal itu, Misbakhun, masuk penjara! Sedang berkas dari DPR, dengan rekomendasi paripurna untuk ditangani kasus korupsi dan pidana lainnya, satu tahun tak ditangani oleh penegak hukum!"

"Bukti itu membuat orang melihat kebenaran bukan soal siapa yang mengatakan, tapi apa yang dikatakan!" tegas Umar. "Dari penanganan hukum kasus Century terlihat, hukum telah berhamba pada kekuasaan! Pada kasus mafia pajak dan mafia hukum terkait Gayus Tambunan, hukum berhamba pada uang!"

"Kenyataan bisa lebih parah ketika hal itu terjadi tak hanya pada prioritas penanganan kasus oleh penegak hukum!" timpal Amir. "Gayus juga menyingkap rekayasa kekuasaan lewat Satgas untuk mengamankan pejabat-pejabat Ditjen Pajak dari sengatan kasus Gayus! Lalu, perubahan status tersangka jaksa Cyrus Sinaga menjadi saksi, berkaitan dengan kasus Antasari Azhar—Gayus membuat kesan Cyrus punya bargaining mengungkap kasus Antasari juga rekayasa kekuasaan!"

"Akhirnya terpulang penilaian kita!" tegas Umar. "Apakah 'apa yang dikatakan' Gayus kebenaran?" ***

Selanjutnya.....

Gerakan Moral Vs Kekuasaan!


"PESAN 165 lewat SMS dari ESQ—emotional spiritual quotient—Selasa subuh (18-1) berbunyi, 'Tahukah Anda siapa musuh paling berbahaya? Takut dan ragu-ragu! Keduanya hanya akan membuat kita berdiam diri meski kesempatan terbentang di depan mata!" ujar Umar. "Mungkin cuma kebetulan pesan rutin ESQ—yang juga gerakan moral membangun 'Indonesia Emas'—itu terkirim setelah dini harinya pertemuan Presiden SBY dan tokoh lintas agama di istana terberita mubazir!"

"Tapi pesan itu membuat orang menebak-nebak, siapa yang takut dan ragu sehingga kesempatan emas memadu dua kekuatan—gerakan moral dan kekuasaan—sebagai sinergi andalan mengatasi masalah bangsa jadi sia-sia, bahkan mendorong perbedaan sikap-pandang kedua kutub jadi makin tajam!" sambut Amir. "Padahal, kehancuran moralitas dewasa ini merupakan masalah paling serius dalam birokrasi kekuasaan—terutama terkait praktek politik, hukum dan sosial-ekonomi!"

"Kubu kekuasaan resisten terhadap kritik tokoh lintas agama karena dikemas sebagai kebohongan rezim!" timpal Umar. "Banyak pihak juga menilai terlalu vulgar pemakaian istilah kebohongan oleh tokoh lintas agama yang terhormat itu!"

"Penilaian tidak tepat istilah kebohongan sebagai kemasan kritik itu hanya karena orang tidak tahu, kritik dengan entakan keras tokoh lintas agama itu tidak ujug-ujug!" tegas Amir. "Secara berkala selama bertahun-tahun tokoh lintas agama menyampaikan kritik konstruktif dengan irama merdu, tapi tak dilirik penguasa dengan sebelah mata pun! Salah satu kritik tokoh lintas agama dilantunkan dari Gedung Wanita Kota Metro, Lampung, beberapa tahun lalu—waktu itu dari Katolik hadir langsung Kardinal! Seiring ketakpedulian penguasa yang berkepanjangan terhadap kritik tokoh lintas agama berkemasan patut itu, kerusakan moral bangsa utamanya dalam birokrasi kekuasaan semakin fatal! Tak ada pilihan lain, buruknya realitas sudah tak bisa ditoleransi lagi, kemasan kritik pun dibuat kontras dengan bunyi bisa mengorek telinga penguasa!"

"Dari situ terlihat, jika pada dialog lanjutan kubu kekuasaan tetap kontraproduktif atau bahkan membeku jadi status quo, justru menciptakan momentum bagi gerakan moral untuk tambah relevan sebagai poros gerakan perubahan memperbaiki moralitas bangsa!" timpal Umar. "Dalam gerakan moral menghadapi kekuasaan status quo, massa kaum muda yang idealismenya masih murni seperti 1966 dan 1998 biasanya tampil di depan mengadopsi gagasan perubahan yang telah mengkristal sebagai energi perjuangan! Ini belum tentu terjadi, tapi bisa jadi!" ***

Selanjutnya.....

Tak Efektif, Dialog Presiden-Tokoh Lintas Agama!

"SAYANG! Dialog Presiden SBY dengan tokoh lintas agama tak efektif mencairkan visi kedua pihak jadi kerja sama mengatasi masalah bangsa yang mendesak, seperti realitas penderitaan rakyat miskin dan kekalahan hukum dari kekuasaan dan uang!" ujar Umar. "Dari tuturan Din Syamsuddin dan Pendeta Andreas Yewangoe kemarin, dialog tak menyentuh substansi! Malah terkesan, tokoh lintas agama yang kritis itu 'diadu' dengan tokoh-tokoh agama yang di forum itu mengapresiasi dan memuji-muji sukses pemerintahan SBY!"

"Menyedihkan cara berpikir kubu Istana menyia-nyiakan kesempatan emas demi agenda seperti itu!" sambut Amir. "Padahal, jika substansi kritik tokoh lintas agama diakomodasi secara proporsional oleh Presiden, lalu dikemas dalam aksi bersama pemerintah dan tokoh lintas agama, bisa jadi big bang—letusan besar—optimisme rakyat melihat masa depan lebih baik!"

"Sebaliknya dengan agenda Istana yang absurd itu!" tukas Umar. "Masalah malah keluar forum, merebakkan gejala konflik horizontal—di satu sisi tersebar spanduk menyebut Din Syamsuddin provokator berkedok tokoh agama, di sisi lain kelompok kaum muda membuat topeng wajah Presiden SBY dengan hidung Pinokio yang jadi panjang jika
berbohong!"

"Perkembangan yang memprihatinkan!" timpal Amir. "Namun, karena ini baru dialog pertama, diharapkan ada dialog lanjutan yang lebih konstruktif! Relevansi dialog lanjutan itu, karena tokoh lintas agama tidak memiliki agenda politik atau kekuasaan! Kritiknya semata beralas kenyataan penderitaan umat yang memang perlu penanganan nyata lebih serius dari pemerintah!"

"Tapi justru di situ letak perbedaan tokoh lintas agama yang berdasar kenyataan hidup umat, dengan pemerintah yang bertolak dari angka-angka pertumbuhan dan pendapatan per kapita!" tegas Umar. "Itu terkait kemiskinan! Terkait hukum dan soal lain sesungguhnya banyak hal yang secara substansial masih harus ditangani pemerintah dengan tindakan nyata, tak cukup hanya dengan retorika!"

"Dari tayangan media tentang dialog itu terkesan, benturan kekuatan moral (tokoh lintas agama) dengan kekuasaan (pemerintah) itu belum mendapat titik temu menuju jalan keluar!" timpal Amir. "Jika akumulasi dukungan mengalir pada kedua pihak seperti mulai tampak kemarin, meski tokoh lintas agama tanpa agenda politik dan kekuasaan, umat bisa menggumpal jadi kekuatan moral! Kekuatan moral umat seperti itu disebut people power, tak boleh disepelekan—berdasar pengalaman Kardinal Sin di Filipina, Uskup Desmon Tutu di Afrika Selatan, atau Uskup Bello di Timor Leste!" ***



Selanjutnya.....

Pelayanan Publik Terpadu Pemprov! (3-Habis)


"ASAS yang dalam penyelenggaraan pelayanan publik bakal 'ramai' bisa diprediksi, keterbukaan!" ujar Umar. "Penyebabnya, selain UU No. 25/2009 menyiapkan sistem informasi terbuka sebagai poros mekanisme interaksi pelayanan publik, eksternal kontrol selain dari Ombudsman diatur UU, kontrol masyarakat dibuka sampai pengaduan ke pimpinan penyelenggara dan pengadilan!"

"Dari sisi lain, masih satu semangat dengan UU Pelayanan Publik, hadir UU Keterbukaan Informasi dan Komisi Informasi Publik, yang orientasinya juga mewujudkan proses pelayanan publik transparan sebagai amanat konstitusi untuk melaksanakan kewajiban negara melayani rakyat memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya!" sambut Amir. "Keterbukaan ditempatkan strategis untuk lebih cepat terwujudnya pelayanan publik yang prima, mengejar ketertinggalan Indonesia dalam MDG's dengan IPM ranking 111, di bawah Palestina—110."

"Indonesia memang harus ngebut membenahi pelayanan publik yang terbengkalai 20 tahun dalam program MSG's 1990-2015, sehingga jumlah absolut warga di bawah garis kemiskinan justru bertambah!" tegas Umar. "Pada 1990 dengan garis kemiskinan 1 dolar AS per hari, jumlahnya 27,2 juta jiwa (15,1% dari penduduk), 2010 dengan garis kemiskinan lebih rendah, 72 sen dolar AS per hari (Rp192 ribu/bulan) jadi 31,2 juta jiwa (meski persentasenya turun jadi 13,33%)."

"Itu terjadi karena pelayanan publik yang buruk menciptakan kemiskinan struktural, penguasa menindas dan mengisap rakyatnya, majikan menindas dan mengisap buruhnya, segala bentuk patron mengisap kliennya!" timpal Amir. "Hal itu lebih buruk terjadi justru di era otonomi daerah, eksekutif, dan legislatif berkonspirasi memeras rakyat dengan meredusir puluhan jenis pungutan retribusi dan pajak daerah baru sehingga nyaris setiap langkah kegiatan rakyat terjaring kutipan, 'darah perekonomian rakyat' jadi semakin kering kerontang terhisap! Padahal, pada era sama curahan dana dari pusat jauh berlimpah-limpah dari era sebelumnya! Kontroversi inilah yang harus diatasi dengan pelayanan publik yang baik agar target MDG's tercapai pada 2015!"

"Target MDG's itu diharapkan bisa tercapai, jika pacuan perbaikan pelayanan publik di seluruh negeri berhasil finis mewujudkan asas terakhir, prestise!" tegas Umar. "Prestise itu suatu kondisi lembaga pelayanan terpadu dan pelayanan publik secara komprehensif memiliki integritas dan kredibilitas yang bergengsi! Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) atas kinerjanya optimal!"

Selanjutnya.....

Pelayanan Publik Terpadu Pemprov! (2)


"MESKI pelayanan terpadu diatur khusus dalam UU, ia hanya salah satu dimensi dalam pelayanan publik bidang administratif!" ujar Umar. "Lingkup pelayanan publik ditetapkan UU 25/2009 jauh lebih luas—

pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya!"


Senin, 17 Januari 2011
BURAS
Pelayanan Publik Terpadu Pemprov! (2)

"MESKI pelayanan terpadu diatur khusus dalam UU, ia hanya salah satu dimensi dalam pelayanan publik bidang administratif!" ujar Umar. "Lingkup pelayanan publik ditetapkan UU 25/2009 jauh lebih luas—

pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya!"

"Belum lagi dilihat dari asal dana pengadaan barang publik dan jasa publik, baik murni dari APBN atau APBD, sebagian saja dari APBN atau APBD, atau sama sekali dari luar APBN atau APBD tapi ketersediaannya menjadi missi negara!" timpal Umar. "Artinya, Pergub Pelayanan Publik Terpadu Pemprov baru ayunan cangkul pertama di lahan luas yang harus digarap komprehensif setiap bidangnya! Selain luasnya, pelayanan publik juga rumit (sophisticated) dengan dinamika tinggi karena adaptabilitas mengikuti derajat perubahan layanan sesuai tuntutan kepuasan masyarakat pengguna, sehingga negara-negara maju pun menggunakan konsultan perencana manajemen terkemuka dunia sekelas Sigma untuk antisipasi hingga tahap melatih stafnya!"

"Untuk itu UU 25/2009 menyiapkan asas sebagai dasar pedoman penyelenggaraan pelayanan publik secara komprehensif dengan 12 prinsip standar!" tegas Umar. "Ke-12 asas itu, (a) kepentingan umum. (b) kepastian hukum. (c) kesamaan hak. (d) keseimbangan hak dan kewajiban. (e) keprofesionalan. (f) partisipatif. (g) persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. (h) keterbukaan. (i) akuntabilitas. (j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. (k) ketepatan waktu, dan (l) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan!"

"Setiap prinsip dalam asas itu memiliki perangkat nilai standar yang interpretasi dan pemaknaan dalam praksis tak mudah!" timpal Amir. "Prinsip kepentingan umum contohnya, pelaksanaannya dalam proses pengadaan barang publik terkait lahan, masih sering jadi masalah! Apalagi prinsip kepastian hukum, sejauh ini belum berhasil diwujudkan kalangan penegak hukum!"

"Terlihat, pelaksanaan pelayanan publik menuntut kesiapan sikap aparatur dalam perubahan karakteristik sesuai tuntutan adaptabilitas, sejalan dengan persiapan teknis yang komprehensif!" tegas Umar. "Tanpa itu, pelayanan publik bisa-bisa cuma asal ada, jauh dari harapan melaksanakan kewajiban negara melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya sesuai amanat UUD 1945!"

Selanjutnya.....

Pelayanan Publik Terpadu Pemprov!


"RANCANGAN Pergub tentang Pelayanan Publik Terpadu untuk Perizinan di Pemprov Lampung, Kamis diekspos Gubernur Sjachroedin Z.P.," ujar Umar. "UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik memerintahkan pembentukan pelayanan publik terpadu itu selambatnya enam bulan setelah pengesahan UU-nya, 18 Juli 2009. Berarti Lampung terlambat, tapi lebih baik daripada tidak!"

"Terpenting realisasi dipercepat agar pemenuhan hak rakyat yang dijamin UU tersebut tak tertunda lebih lama lagi!" sambut Amir. "Itu sesuai prinsip dasar pada alinea pertama UU-nya, 'Bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945."


"Jadi, orientasi kegiatannya jika semula sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) dihimpun lewat satker-satker, setelah jadi pelayanan publik terpadu difokuskan sebagai implementasi tugas negara melayani rakyat!" tegas Umar. "Karena itu, ukuran keberhasilan bukan lagi PAD yang didapat, tapi indeks kepuasan masyarakat (IKM)—survei IKM 2010 yang dilakukan KPK terhadap Kota Bandar Lampung—indikator provinsi Lampung—meraih nilai terburuk kedua nasional setelah Medan! IKM, ukuran kualitas pelayanan publik itu unsur Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ukuran capaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG's). Karena IKM di Lampung belum ditangani—pergubnya saja belum jadi—IPM Lampung jadi terendah dari semua provinsi di Sumatera!"

"Itu akibat karakteristik pemerintah di Lampung belum serius melayani rakyat, tapi lebih bernafsu memeras rakyat yang melayaninya lewat retribusi tanpa imbal layanan—seperti di Bandar Lampung, mobil odong-odong antar-jemput anak sekolah saja mau ditarik retribusi, atau nelayan melaut harus mengantongi izin penangkapan!" timpal Amir. "Jadi, untuk mewujudkan pelayanan publik di Lampung, karakteristik pemerintahan semua tingkat harus diubah menjadi pelayan rakyat—
dengan standar adaptabilitas layanan, yakni derajat perubahan layanan sesuai tuntutan yang diharapkan rakyat—pada 14 unsur pengukur IKM!"
"Ke-14 unsur penilaian IKM itu, (1) Prosedur pelayanan. (2) Persyaratan pelayanan. (3) Kejelasan petugas. (4) Kedisiplinan petugas. (5) Tanggung jawab petugas. (6) Kemampuan petugas. (7) Kecepatan. (8) Keadilan mendapatkan pelayanan. (9) Kesopanan dan keramahan. (10) Kewajaran biaya. (11) Kepastian biaya. (12) Kenyamanan lingkungan. (13) Keamanan. (14) Prestise!" jelas Umar. "Untuk semua itu pada 2010 Lampung dinilai terburuk nasional kedua!"

Selanjutnya.....

Gayus, 'Dragonfly' Bernama Besar!


"NAMA besar Dragonfly, harfiahnya naga terbang, memberi kesan pada naga dalam legenda China atau film barat—makhluk penyembur api bermulut panjang mirip komodo—naga asli purbakala!" ujar Umar. "Kesan itu keliru! Wajah aslinya justru bulat, sangar dengan mata besar dan taring menonjol! Dialah Dragonfly (Order odonata), sejenis capung alias kinjeng, serangga pemangsa sesama serangga—nyamuk, lalat, semut—makhluk kecil yang dilabeli nama besar, naga terbang!"

"Mirip 'pegawai kecil' golongan III/a Gayus H.P. Tambunan yang memangsa banyak sesama masuk penjara, dari perwira polisi sampai hakim!" sambut Amir. "Sang Dragonfly ini pun dari dalam tahanan polisi leluasa terbang keluar, sampai Bali, Singapura, Kuala Lumpur, dan Makau!"

"Terdakwa mafia pajak dan mafia hukum itu juga dilabeli nama besar, tak kepalang, oleh Presiden SBY saat eman-eman agar kasus Gayus tetap ditangani polisi!" tegas Umar. "Lalu dari segala penjuru ikut memberi label nama besar! Patrialis Akbar dan Ito Sumardi menyebut ada sindikat besar di belakang Gayus yang membiayai selama ia dalam tahanan! Adnan Buyung, lewat kasus Gayus bisa dibongkar tuntas gembong mafia hukum dan mafia pajak! Dan lain-lain, hingga terakhir DPR tak mau ketinggalan membentuk Panitia Kerja Gayus Tambunan!"

"Tak ubahnya Dragonfly yang setiap hinggap mengembangkan keempat sayapnya yang lebar dan transparan, Gayus dalam pembelaan dirinya di pengadilan mengembangkan kasusnya dengan menyebut tokoh-tokoh besar di kepolisian dan kejaksaan yang disuap pengacaranya, Haposan Hutagalung! Tak lupa, ia sebut mafia kelas kakap bersarang di Ditjen Pajak, sedang dia sendiri cuma pemain kelas teri!" timpal Amir. "Mungkinkah Gayus 'Dragonfly' Tambunan mengepakkan sayapnya memangsa tokoh besar mafia hukum dan mafia pajak yang dia ungkap di pengadilan?"

"Kalau Gayus sendirian, meski seperti Dragonfly yang dilabeli nama besar, kemampuannya tetap terbatas hanya bisa memangsa nyamuk dan lalat!" tegas Umar. "Jika tak ada lembaga penegak hukum yang benar-benar serius membongkar tuntas mafia hukum dan mafia pajak lewat kasus Gayus, yang terjadi cuma seperti selama ini, kasus Gayus dibonsai justru untuk melindungi mafia hukum dan mafia pajak tetap nyaman beroperasi di sarangnya!"

"Maka itu banyak yang mendesak KPK mengambil-alih kasus Gayus!" timpal Amir. "Tapi apa benar, KPK sekarang sehebat ekspektasi amat tinggi itu—hanya memperalat capung berlabel nama besar naga terbang—mampu memangsa macan?" ***

Selanjutnya.....

Belok Kiri Bayar, Belok Kanan Bayar!


KAKEK dari pelosok yang baru pertama ke Jakarta dibawa cucu jalan-jalan. Dia perhatikan, saat mobil belok kiri keluar ruas tol yang satu masuk ruas tol lain, cucunya membayar di loket! Begitu pula saat belok kanan masuk ruas tol berikutnya!

"Gila nian hidup kalian di Jakarta!" entak kakek. "Bawa mobil belok kiri bayar, belok kanan bayar!"

"Huahaha...!" cucu terbahak. "Bahkan setelah ini kita keluar tol, lurus pun harus bayar!"

"Itu lebih gila lagi!" timpal kakek. "Padahal, kalian di Jakarta ini kebanyakan sekolah tinggi, orang-orang pintar! Seperti ayahmu, jauh dari desa kemari untuk kuliah! Setelah pintar malah lebih mudah 'dipintari' orang lain, belok kiri bayar, belok kanan bayar, lurus juga harus bayar! Warga desa yang tak sekolah tinggi saja sesuka hati belok atau berputar di jalan raya tidak bayar!"

"Karena jalan raya yang melintas desa itu jalan negara, dibangun dengan anggaran negara!" ujar cucu. "Sedang jalan tol dibangun investor karena negara tak sanggup memenuhi kebutuhan jalan buat pertambahan kendaraan yang amat pesat, jadi modalnya harus kembali dan dapat untung!"

"Untung selamanya?" potong kakek.

"Seharusnya tidak!" jawab cucu. "Di negeri lain, investor jalan tol terikat kontrak BOT—build, operation, transfer (bangun, operasi, dan serahkan). Setelah 30 tahun operasi, investornya menyerahkan kepada negara! Di jalan antarkota Jepang dan China kulihat, pada ruas tol yang sudah transfer pelintas gratis, masuk ruas yang belum transfer bayar! Di sini wacana transfer tak terdengar, atau mungkin bisa diperpanjang!"

"Kok bisa begitu?" tanya kakek.

"Karena 'negara' kita selalu bermurah hati kepada investor, terutama asing!" jelas cucu.

"Contohnya dalam kontrak bagi hasil dengan PT Freeport yang diberi konsesi gunung emas di Papua, 'negara' kita cuma ambil bagian 10%! Rakyat Papua protes, tokoh lintas agama protes, hasil audit mendesak renegosiasi, tapi 'negara' memilih tetap begitu!"

"Baru tahu aku kalau kekayaan alam negeri kita dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran investor asing, sedang rakyatnya dibiarkan miskin terus! Bahkan jika ada konflik investor dan rakyat, 'negara' memihak investor!" timpal kakek. "Seperti rakyat Papua, dianugerahi Tuhan gunung emas, sampai lelah konflik pun akhirnya cuma bisa menonton investor asing yang menikmatinya!"

"Meski begitu, dalam kaitan dengan investor warga Papua masih mending, bisa menonton gratis!" tegas cucu. "Sedang orang-orang pintar di Jakarta tak bisa mengelak, belok kiri bayar, belok kanan bayar, lurus pun harus bayar!" ***

Selanjutnya.....

Pelayanan Publik Bandar Lampung Justru Memburuk!


"MESKI survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diumumkan November 2010 menempatkan pelayanan publik kota Bandar Lampung terburuk nasional kedua setelah Medan, eksekutif dan legislatifnya tak melakukan langkah perbaikan mengurangi 'ranjau' pungutan terkait gerak kegiatan warga untuk meringankan beban rakyat, tapi justru memperburuknya!" ujar Umar. "Itu terlihat dari proses legislasi yang malah memperbanyak 'tentakel' pengisap 'darah rakyat' dengan penyiapan raperda retribusi lebih progresif!"

"Dengan memperbanyak 'tentakel' retribusi, pelayanan publik berubah jadi gurita yang nalurinya memangsa, bukan melayani!" timpal Amir. "Proses legislasi sejumlah raperda retribusi itu terkesan tak disemangati prinsip pelayanan publik sebagai dimensi ketiga Millenium Development Goal's (MDG's) yang paralel—sama pentingnya dengan dua dimensi lainnya—pendidikan dan kesehatan!"

"Tanpa mengacu prinsip itu berarti mindset eksekutif dan legislatif Bandar Lampung lepas dari konteks realitas IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Provinsi Lampung (70,30) yang terendah di Sumatera setelah NAD (70,76)—statistik terakhir yang bisa diakses di situs BPS!" tegas Umar.

"Padahal, IPM itu tolak ukur capaian MDG's, sasaran pembangunan nasional/daerah!"

"Semua itu tecermin pada tiga raperda yang sedang diproses, retribusi jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu! Pada jasa umum saja terdapat 13 jenis retribusi!" timpal Amir. "Contoh banyaknya 'tentakel' di retribusi turunan perizinan tertentu bidang perikanan! Ada izin usaha, lain lagi izin penangkapan (keduanya SIUP dengan retribusi Rp150 ribu), dikenakan ke orang atau pribadi serta badan usaha yang melakukan penangkapan atau pembudidayaan ikan! Lalu untuk penangkapan harus ada dua retribusi lagi, surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal penangkap ikan (SKIP) sampai Rp200 ribu per tahun sesuai gross ton kapal! Di budi daya lebih banyak tentakel, beda air tawar, payau, atau laut, beda pembesaran dari pembibitan, retribusi beda pada luas lahan!"

"Tentakel' sebanyak itu dari satu jenis retribusi, perikanan! Nelayan tak bebas lagi melaut seperti sebelumnya! Harus lengkap izin digembol ke laut!" tegas Umar. "Sebab, telah disiapkan 400 personel baru Satpol PP—setara empat SSK—memperkuat Satpol PP yang ada, untuk menjamin pelaksanaan perda! Hidup rakyat diperuwet dalam stelsel kekuasaan yang seram, itulah pelayanan publik yang memburuk di Bandar Lampung—yang dari banyaknya 'tentakel' pajak bahkan lebih kejam dari penjajah keparat sekalipun!" ***

Selanjutnya.....

Seruan Melawan Kebohongan Rezim SBY!


"PARA tokoh lintas agama Senin menyerukan agar rakyat melawan kebohongan rezim Presiden SBY! Mereka rilis daftar sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru!" ujar Umar. "Seruan itu Selasa diperkuat oleh aktivis sejumlah LSM di Jakarta dengan daftar kebohongan sama! Salah satu kebohongan lama jumlah orang miskin berkurang jadi 31,02 juta jiwa. Padahal penerima beras rakyat miskin 70 juta jiwa, dan penerima Jamkesmas 76,4 juta jiwa! Cuma bagaimana cara melawan kebohongan, apalagi yang senyata itu?"

"Tentu mendesak rezim SBY supaya jujur!" jawab Amir. "Memenuhi janjinya! Seperti dalam debat capres 2009, SBY berjanji menyelesaikan kasus lumpur Lapindo, tapi sampai sekarang tak selesai! Lalu, tindak lanjut kepentingan bangsa, seperti audit pemerintah atas PT Freeport mengusulkan renegosiasi, tapi hingga sekarang tak dilakukan!"

"Kalau cuma ngomong mendesak agar rezim penguasa jujur, tidak ingkar janji, menindaklanjuti kepentingan bangsa, mudah! Tapi apa digubris?" timpal Umar. "Rakyat tidak punya kapasitas dan otoritas untuk mendesak, apalagi mendikte rezim melakukan semua itu! Otoritas untuk itu telah diamanatkan kepada para wakil rakyat di semua tingkat! Kalau wakil rakyat tidak melaksanakan amanat itu, apalagi malah melakukan konspirasi dengan penguasa, rakyat tak bisa apa-apa! Andai pun rakyat demo, kalau pada dasarnya para wakil rakyat dan penguasa sudah tak mau mendengar suara hati nurani rakyat, juga percuma saja!"

"Tak boleh menyerah secara fatalistik begitu sebelum mencoba!" tegas Amir. "Hak-hak rakyat tak habis dan gugur meski telah diamanatkan kepada wakil rakyat! Melalui berjuang untuk menegakkan hak-haknya yang dicundangi rezim, kekuatan rakyat jadi nyata! Perlawanan seperti itu yang dimaksud tokoh lintas agama!"

"Tapi mayoritas rakyat kini sangat lemah, untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya saja waktunya tak cukup! Tak ada waktu lagi untuk ikut gerakan perlawanan seperti itu!" timpal Umar. "Sementara retorika—secara implisit artinya berisi kebohongan—penguasa, semakin intensif lewat tayangan iklan berulang-ulang! Retorika itu menyesaki benak rakyat hingga kebohongan jadi terbiasa dan hal yang lazim! Akibatnya, rakyat jadi imun atau kebal dengan kebohongan rezim!"

"Itu dia!" tegas Amir. "Seruan tokoh lintas agama itu menggugah keimunan rakyat dari kebohongan penguasa, agar rakyat tak mau dibohongi terus! Jika rezim menyadari rakyat tak bisa dibohongi lagi, rezim pun akan berhenti berbohong! Sampai di situ, tercapai tujuan perlawanan rakyat!" ***

Selanjutnya.....

Petani Lampung Korban Jarak Pagar!


"PEMERINTAH dalam skala nasional tahun 2007 mengampanyekan tanaman jarak pagar untuk biofuel—energi terbarukan—bahan bakar diesel alternatif!" ujar Umar. "Dengan gaya sosialisasi pemerintah yang meyakinkan cerahnya masa depan komoditas itu, banyak petani di Lampung terpikat menanam jarak pagar! Tapi kini, mereka terpaksa membabat kembali tanaman jarak pagar karena selain proses pascapanennya susah, harganya juga rendah, Rp1.000—Rp1.500/kg!"

"Harganya amat jauh dari bahan baku biofuel lain, CPO (sawit) yang kini di kisaran 1.200 dolar AS/ton atau Rp10.800/kg di pasar internasional!" timpal Amir. "Dengan disparitas harga sedemikian jauh pasti ada yang tak beres di balik sosialisasi dan tindak lanjutnya oleh pemerintah! Ketakberesan kerja pemerintah itu berakibat mengorbankan petani!"

"Salah satu kelalaian pemerintah, sosialisasi yang dilakukan tidak segera diikuti dengan pengadaan pabrik pengolahan biji jarak menjadi biofuel di kawasan produsen dengan skala sesuai potensi produksinya!" tegas Umar. "Ketika produksi biji jarak seantero negeri melimpah tak jelas di mana pabrik pengolahannya, harganya jatuh!"

"Padahal, dibanding minyak jelantah restoran cepat saji di Bogor bisa diolah jadi biofuel untuk bus kota Pakuan Ekspres, pabrik biji jarak untuk biofuel juga seharusnya bisa berskala kecil dengan konsumen tertentu pasar lokal!" timpal Amir.

"Tapi pemerintah teledor, tak memfasilitasi pengadaan pabrik biji jarak berkapasitas sesuai potensi kawasannya, para petani dikorbankan secara konyol! Lebih tragis, teknik mengupas biji jarak dari kulitnya yang praktis tak diajarkan, hingga dikupas tangan dua orang sehari cuma dapat 10 kg—jauh dari nilai ekonomis pekerjanya!"

"Jangan-jangan nasib malang petani Lampung seperti di Kecamatan Katibung Lampung Selatan yang di sejumlah desa pada setiap desa bertanam jarak pagar 50 sampai 80 hektare, masalahnya karena belum ada pabrik biji jarak berskala kecil dan teknik praktis atau teknologi tepat guna untuk mengupasnya!" tukas Umar. "Kalau itu masalah utamanya, berarti pemerintah benar-benar ngawur ketika tiga tahun lalu menyosialisasikan kepada petani agar menanam jarak pagar!"

"Nasi telah menjadi bubur! Perlu dicatat, jarak pagar kasus kesekian yang mengorbankan petani Lampung! Sebelumnya lewat lembaga UKM, petani Lampung Barat jadi korban kegiatan menanam sisal rami!" timpal Amir. "Agar jangan terulang, lapisan pemerintah terbawah—kepala desa, camat, dan bupati—diharapkan bisa memagari warganya dari segala jenis pepesan kosong!" ***

Selanjutnya.....

Rp86 Triliun buat Garis Kemiskinan 72 Sen Dolar/Hari!


"DENGAN garis kemiskinan 2010 konsumsi per jiwa Rp192,354 per bulan—
per hari 72 sen dolar AS (kurs Rp9.000/dolar)—ada 31,02 juta orang miskin di Indonesia, 13,33% dari 237 juta penduduk!" ujar Umar. "Untuk menekan kemiskinan itu jadi 11,25-12,5% pada garis kemiskinan 72 sen dolar AS itu, APBN 2011 mengucurkan Rp86,1 triliun, naik dari 2010 Rp80,1 triliun!" (Kompas, 8-1)

"Jika pakai cara orang bodoh, APBN Rp86,1 triliun itu dibagi tunai kepada 30,2 juta orang miskin, setiap orang dapat tunjangan konsumsi lebih Rp2,5 juta setahun atau lebih Rp200 ribu per bulan, pada 2011 angka kemiskinan bukan cuma turun jadi 11,25-12-5 persen, malah langsung jadi nol persen!" sambut Amir. "Tahun berikutnya, dana itu dilembagakan sebagai jaminan sosial seperti di negara kesejahteraan—
welfare state! Artinya yang dapat pekerjaan tetap atau usahanya tumbuh, jaminan dihentikan! Sedang yang baru bernasib malang kena PHK, dapat jaminan sosial!"


"Tapi yang dipakai cara orang pintar!" entak Umar. "Dana itu dipecah dalam beraneka program yang melibatkan banyak lembaga dan orang ikut menanganinya, harus pula bisa digunakan para pejabat teras untuk membangun citra pemerintah yang murah hati dengan menyerahkan langsung paket bantuan pada warga miskin!"

"Karena terlalu banyak lembaga dan orang yang menanganinya, sebagian besar dananya malah habis buat biaya transpor, rapat-rapat, sosialisasi, seremoni penyerahan bantuan, tinggal sedikit yang benar-benar diterima warga miskin!" tukas Amir. "Akibatnya, usaha menurunkan kemiskinan, dengan dana APBN 2010 sebesar Rp80,1 triliun yang didistribusikan pakai cara orang pintar itu cuma menurunkan kemiskinan 1,5 persen! Begitu pula target APBN 2011 dengan Rp86,1 triliun!"

"Boncengan berbagai kepentingan dalam program mengatasi kemiskinan, terutama kepentingan politik yang menjadikan kemiskinan sebagai lahan membangun popularitas, membuat kegiatannya jadi lebih bernuansa teatrikal dramatis, tak sebanding dengan besar dananya!" timpal Umar. "Juga rendahnya garis kemiskinan mempersempit warga miskin yang jadi sasaran! Padahal, jumlah sesungguhnya warga miskin negeri kita jauh lebih besar dari itu! Jika garis kemiskinan dibuat genap satu dolar AS per hari saja, jumlah orang miskin di atas 50 juta! Apalagi pakai garis kemiskinan Bank Dunia dua dolar per hari, bisa di atas 100 juta!"

"Maka itu, harus diprioritaskan program yang bisa langsung ke sasaran!" tegas Amir. "Kalau tidak, dana program kemiskinan lebih dinikmati para pembonceng ketimbang warga miskin!" ***

Selanjutnya.....

Dicari, Seribu Gayus untuk Singkapkan Borok Pemimpin!


"NEGERI ini butuh banyak terobosan buat keluar dari gelap dan pengapnya kondisi bangsa akibat blunder pengelolaan negara terutama dalam politik, hukum dan sosial-ekonomi!" ujar Umar. "Untuk itu, diperlukan setidaknya seribu jagoan menerobos seperti Gayus H.P. Tambunan—68 kali lolos dari teralis tahanan polisi hingga leluasa ke Bali, Singapura, Kuala Lumpur dan Makau—untuk menerobos dan menyingkapkan penyakit kronis semua jaringan kekuasaan agar tak ada lagi dusta bisa ditutupi di antara (para pemimpin) kita!"

"Seorang Gayus saja buat negeri kita ternyata tak cukup!" sambut Amir. "Meski demikian gamblang Gayus menyingkap semua jaringan mafia hukum dan pajak di berbagai instansi terkait, dengan mudah dihambarkan oleh kehipokritan kalangan pemimpin lewat membelokkan bola yang dilempar Gayus ke arah ‘oknum' hingga mata rantai tanggung jawabnya jauh dari pimpinan!"

"Dengan begitu, sejelas apa pun terobosan Gayus menyingkap kebobrokan dalam kelembagaan pemerintah dan negara akibat mafia hukum dan pajak, perbaikan substansial tak bisa diharap karena inti masalahnya yang terletak pada sikap hipokrit pemimpin malah tak tersentuh!" tegas Umar.

"Hanya dengan lebih banyak Gayus yang terobosannya bisa menerangi secara terang-benderang dari semua sisi borok pemimpin hingga terlihat sejelas-jelasnya, sikap hipokrit kekuasaan sang pemimpin bisa dikalahkan!"

"Tapi bagaimana bisa mendapatkan seribu Gayus, muncul satu orang saja kita seolah tak percaya ada orang mampu seperti itu!" timpal Amir. "Maka itu, bukan bagaimana kita bisa menggandakan kehadirannya secara kuantitatif, melainkan secara kualitatif dengan menjadikan realitas kebobobrokan lembaga-lembaga pemerintahan dan negara yang disingkap oleh terobosan Gayus itu sebagai model yang harus dibenahi!"

"Harapan demikian bukan mustahil, terutama untuk meyakinkan rakyat dengan pembuktian belum semua pemimpin di negeri ini terkena wabah hipokrit!" tegas Umar. "Dengan seribu Gayus para pemimpin lembaga pemerintahan dan negara, 33 provinsi, serta 500-an kabupaten/kota se-Tanah Air membuat terobosan membersihkan semua jajaran birokrasinya dari 'oknum' dengan unjuk tanggung jawab dirinya sebagai pemimpin!"

"Seribu Gayus diperlukan untuk menghilangkan kata 'oknum' dari mulut pemimpin!" timpal Amir. "Begitu pemimpin menyebut 'oknum' untuk melempar tanggung jawab atas kesalahannya, itu membuktikan dirinya hipokrit, menolak tanggung jawab atas lembaga yang dia pimpin!" ***

Selanjutnya.....

LPI, 'Safety Valve' Amarah pada PSSI!


"HARI ini laga perdana Liga Primer Indonesia (LPI) digelar di Stadion Manahan Solo, antara Ksatria XI Solo FC lawan Persema Malang!" ujar Umar. "LPI digelar sebagai usaha sekelompok pembina sepak bola nasional mengatasi kebuntuan prestasi sepak bola negeri ini sepanjang dua dekade—terakhir juara SEA Games 1991 Manila—akibat pengelolaan PSSI yang semakin terkooptasi haus kekuasaan segelintir pengurus, belakangan bahkan menyeret PSSI dalam kepentingan berorientasi politik!"

"LPI juga menjadi safety valve—katup pengaman—bagi sesaknya amarah di dada mayoritas pencinta sepak bola nasional pada kepengurusan PSSI di bawah Nurdin Chalid!" timpal Amir. "Selain kepengurusan mereka minus prestasi, juga sering melontar pernyataan kontroversial berbau intrik dan menyakitkan hati setiap merespons saran dan kritik dari sesama pembina sepak bola nasional! PSSI telah dikelola seperti perseroan terbatas, di bawah kekuasaan absolut, orang lain komentar saja tak boleh! Padahal, PSSI milik bangsa, didirikan untuk sarana perjuangan masa revolusi!"

"Berlatar kepentingan bangsa yang lebih besar dan solusi bagi kekesalan mayoritas warga itulah, ketika PSSI berusaha mengaborsi—membunuh sebelum lahir—LPI dengan segala cara dan intrik, pemerintah lewat Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bersama Polri menyelamatkan kelahiran bayi LPI!" tegas Umar. "Dengan berbagai jurus, hunjaman, dan sabetan pedang PSSI ke kandungan LPI dielakkan sehingga hari ini lahir sebagai proses reformasi sepak bola nasional!"

"Bagi proses reformasi, hak konstitusional setiap warga negara untuk berserikat, berekspresi, berpendapat dijamin dan dilindungi oleh negara!" timpal Amir. "Karena itu, jika ada UU yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi tersebut—seperti yang dipakai PSSI untuk mengaborsi LPI—justru UU itu yang harus diperbaiki lewat Mahkamah Konstitusi! Tak boleh ada kekuatan tertentu mengencundangi hak konstitusional warga negara Indonesia, tanpa kecuali badan asing yang sering disebut Nurdin Halid sebagai lembaga pemberi otoritas PSSI sebagai satu-satunya organisasi sepak bola yang sah di negeri ini!"

"Tapi dari situ terlihat, konflik sesungguhnya PSSI lawan LPI plus pemerintah justru baru dimulai dengan laga perdana LPI. Sebab, pengaduan PSSI atas LPI ke penegak hukum tetap harus diproses!" tegas Umar. "Dengan kondisi penegakan hukum di negeri kita seperti sekarang, apa jadinya LPI ke depan belum bisa dijamin, apalagi dipastikan! Meski begitu, selamat bertanding!" ***

Selanjutnya.....

Satono Datang, Satono Berjuang, Satono Menang!


"DALAM Kamus Webster, sinonim judge (hakim) itu umpire (wasit). Bahkan dalam sepak bola, wasit pinggir lapangan lazim disebut hakim garis!" ujar Umar. "Itu menunjukkan dunia hukum dan dunia olahraga punya persamaan, setidaknya dalam istilah! Malah hasil akhir pertandingan dalam olahraga, kalah-menang, sering dipakai orang yang berperkara di pengadilan! Saling mengadopsi!"

"Dalam olahraga ada dua pihak bertanding dan satu tim hakim melaksanakan aturan main (hukum) di lapangan! Sidang pengadilan juga merupakan arena pertarungan antara terdakwa dan pembelanya melawan tim jaksa, dengan tim hakim sebagai penentu pelaksanaan aturan hukumnya!" sambut Amir. "Karena itu, kalau dalam Olimpiade setiap atlet bertekad vini, vidi, vici—aku datang, aku berjuang, dan aku menang—ke pengadilan juga seorang terdakwa dan penasihat hukumnya, seperti Satono, wajar saja bertekad Satono datang, Satono berjuang, Satono menang!"

"Ternyata begitulah dengan putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang yang membatalkan demi hukum dakwaan jaksa yang tidak cermat terhadap Satono dalam perkara penyimpanan APBD Kabupaten Lampung Timur senilai Rp119 miliar di Bank Tripanca!" tegas Umar. "Lewat putusan sela itu bisa disebut Satono menang mudah, seperti Timnas Indonesia mengalahkan Malaysia 5-1 di babak penyisihan Piala AFF 2010! Tapi kompetisi belum selesai! Seperti Malaysia, tim jaksa masih punya peluang untuk membalas kekalahannya pada jenjang pertandingan yang lebih tinggi dan lebih menentukan hasil kompetisi!"

"Pokoknya tim jaksa harus bisa seperti Malaysia, memiliki mental juara, kekalahannya pada babak awal justru memalu keras menempa mental baja dirinya, sehingga jadi lebih keras dan tajam!" timpal Amir. "Bagaimana agar bisa menghasilkan mental juara yang membaja itu, mungkin tim jaksa akan mendapat dukungan banyak pihak jika harus memperolehnya lewat studi banding ke Malaysia! Itu karena penonton menginginkan pertandingan yang lebih seimbang di babak berikutnya! Jadi, tak boleh terulang tim jaksa kalah mudah! Lebih seru lagi kalau bisa menang!"

"Hal itu mutlak harus dilakukan tim jaksa, karena bagaimanapun, tim Satono pasti memperkuat diri dalam segala hal untuk menghadapi pertarungan babak berikutnya!" tegas Umar. "Karena itu, kalau pada pertarungan berikutnya tim jaksa cuma mengandalkan tendangan-tendangan kosong, penonton bisa curiga jangan-jangan itu bukan pertandingan sungguhan, tapi cuma smack down!" ***

Selanjutnya.....

Ekonomi Lampung dalam Telikungan!


"KENAPA inflasi Bandar Lampung 2010 sampai 9,95%, jauh di atas inflasi nasional 6,96%," entak Temin. "Padahal Lampung menurut data BPS pada 2010 masih provinsi termiskin kedua di Sumatera dengan penduduk miskin 18,94%, setelah NAD 20,98%. Di bawah rata-rata nasional 13,33%."

"Malah data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terakhir yang bisa diakses dari www.bps.go.id, Lampung terbawah dari 10 provinsi di Sumatera dengan skor 70,30, di bawah NAD 70,76. Rata-rata nasional 71,17," timpal Temon. "Dengan kondisi sosial-ekonomi di bawah rata-rata nasional itu warga Lampung harus menanggung beban hidup jauh di atas rata-tara nasional! Belum lagi, inflasi tertinggi berasal dari kelompok pangan, 15,64% (Kompas, 4-1), warga lapisan terbawah alokasi terbesar pendapatannya hanya untuk pangan!"

"Itu karena ekonomi Lampung dalam telikungan! Telikung itu hambatan ganda atas gerakan!" sela Teman. "Dalam ekonomi, hambatan atas suplai barang harus dihilangkan! Dari sentra produsen di Jawa akibat iklim truk harus antre lebih lama di Merak. Lalu dari Bakauheni harus memutar lewat jalan rusak di Ketapang, menambah waktu jalan truk tiga jam! Jalan rusak juga menelikung suplai dari sentra produksi lokal! Semua biaya ekstra dihitung pedagang yang tak mau rugi, bebannya dialihkan ke konsumen!"

"Akibat telikungan itu kelompok warga terlemah kena imbas terparah!" timpal Temin.

"Memang! Tapi tingginya inflasi di Lampung tak sebatas akibat faktor suplai! Sisi permintaan juga signifikan!" tegas Teman. "Terlepas dari kelompok lemah penderita itu, petani berlahan menengah ke atas 2010 menikmati booming harga komoditas dengan NTP (nilai tukar petani) tertinggi di Indonesia—117,03 (September). Ini di atas DIY 114,22 dan Kalsel 107,11. Daya beli kelompok ini di puncak dengan harga karet di atas 5 dolar AS per kg—tertinggi sepanjang abad! CPO 1.200 dolar AS per ton. Diikuti kopi di atas Rp15 ribu per kg, kakao di atas Rp20 ribu, dan lada hitam di atas Rp35 ribu per kg!"

"Kelompok booming itu jumlahnya besar, lebih 70% tanaman karet di Lampung milik rakyat!" timpal Temin. "Jumlah uang tunai besar di tangan rakyat, dampak inflatoarnya tinggi pula!"

"Itu dia! Karena ekonomi dalam telikungan, nilai tambah booming yang terjadi ditelan inflasi nyaris 10%, jadi kurang efektif bagi stimulus gerak maju ekonomi lokal!" tukas Teman. "Lain hal jika sektor publik berfungsi baik, suplai barang lancar dan inflasi lebih terkendali, kelompok lemah tak terlalu menderita, nilai tambah booming komoditas bisa menyumbang pertumbuhan cukup signifikan!" ***

Selanjutnya.....

Mewaspadai Pembusukan Kekuasaan!


"KAKEK pernah cerita tentang kapur barus—kamper pewangi alami—asal Tapian Nauli, ditemukan penakluk di bawah takhta raja Persia!" ujar cucu. "Sepenting itu rupanya aroma harum takhta sehingga harus didatangkan pewangi terbaik dari pantai barat Sumatera ke Timur Tengah!"

"Aroma harum takhta jelas prioritas bagi raja, bahkan semerbaknya harus menebar luas ke luar istana!" timpal kakek. "Aroma itu dijadikan raja sebagai citra—kesan—tentang dirinya di benak rakyatnya, bahwa raja itu harum! Citra yang kuat itu jelas bisa menutupi kalaupun ada bau kurang sedap di lingkungan istana!"

"Namun dengan catatan sejarah istana Persia pernah ditaklukkan invasi asing menunjukkan, sekadar citra harum saja tak cukup!" tukas cucu. "Meski citra wanginya raja bisa menutupi bau kurang sedap, proses pembusukan kekuasaan di seputar istana terus berlangsung memperlemah negaranya hingga kalah saat diserang asing!"

"Orang memang harus belajar dari sejarah! Dalam hal ini untuk mewaspadai pembusukan kekuasaan yang bisa memperlemah negara!" timpal kakek. "Lebih lagi jika harumnya citra penguasa kalah oleh bau kurang sedap di sekitar kekuasaannya!"

"Justru itu yang cenderung sedang terjadi!" potong cucu. "Di balik citra harumnya penguasa, rupanya merebak semilir bau kurang sedap dari lingkungan kekuasaan sehingga jajak pendapat Kompas akhir 2010 mencatat sebanyak 80,6 persen responden menilai pemerintahan Yudhoyono tidak bersih korupsi!" (Kompas, 3-1)

"Kalau sudah sedemikian besar skala responden yang menilai begitu, tampak sikap mewaspadai pembusukan kekuasaan harus jadi prioritas, khususnya justru oleh lingkungan dalam kekuasaan itu sendiri!" tegas kakek. "Dengan skala empat dari setiap lima responden telah mencium bau kurang sedap itu, bisa jadi telah mengalahkan harumnya citra penguasa! Jika hal itu tak disikapi dengan tepat, proses pembusukan kekuasaan bisa berlanjut menjadi lebih buruk!"

"Penyikapan tepat penting, sebab hasil jajak pendapat yang diberi judul ‘2011, Kepercayaan kepada Pemerintah Pudar' itu juga mencatat negatif dengan skala serius berbagai hal yang bisa mempercepat proses pembusukan kekuasaan!" tegas cucu. "Antara lain, 73 persen responden tak puas atas kinerja wakil rakyat di DPR, 68 persen mengapresiasi negatif parpol, 73,8 persen kecewa pada usaha pemerintah menangani kasus-kasus korupsi! Secara komprehensif terlihat, lebih dua per tiga elemen negatif telah meruyak dalam proses pembusukan kekuasaan! Mau dibiarkan sejauh mana lagi?" ***

Selanjutnya.....

Semua Beban Bertumpu Menekan Lapisan Terbawah!


SEORANG seniman bermain kecapi di lobi hotel bintang sambil melantunkan syair bahasa daerah. Sebagai bagian dari layanan hotel, ia tak menarik perhatian tamu asing, bahkan turis domestik yang juga tak tahu makna syairnya! Meski begitu, ada seseorang berdasi menegurnya, agar tak melantunkan syair yang mengada-ada!

"Ada apa?" tanya Umar yang duduk di coffee shop lobi hotel, tak jauh dari tempat seniman bertugas.

"Dia tadi melantunkan ramalan!" jelas Amir.

"Ramalan Joyoboyo?" kejar Umar.

"Bukan!" jawab Amir. "Ramalan suram tentang dirinya sendiri di 2011. Ia seperti wong cilik umumnya, pada 2011 akan kian jauh ditinggalkan bapak-bapak pejabat dan wakil rakyat yang kian jauh saja jelajah pesawat jetnya ke luar negeri! Ia bersama wong cilik umumnya juga akan semakin terbirit-birit mengejar laju inflasi yang semakin cepat, sambil meloncat-loncat untuk menggapai kenaikan harga kebutuhan pokok yang serentak melambung hingga kian tak terjangkau!"

"Tapi syair ramalannya realistis!" potong Umar.

"Justru itu, ada yang tersinggung!" tegas Amir. "Nasib malang itu, dia lantunkan, akan bertambah buruk kian jauh 2011 berjalan, karena semua beban kenaikan harga BBM yang telah dipastikan pemerintah akhirnya menimpa masyarakat lapisan terbawah! Begitulah hukum alam, karena warga lapisan atas selalu punya kekuasaan melepaskan beban dari pundaknya ke warga lapisan di bawahnya!"

"Semua beban bertumpu menekan ke bawah itu bagian dari teori relativitas!" entak Umar.

"Tak pakai teori-teorian pun mudah dibuktikan!" timpal Amir. "Kotak kartun berisi agar-agar kemasan setengah gelas itu tak boleh ditimpa kartun sama lebih dari lima kotak! Kalau ditimpa lebih banyak, kotak terbawah penyok dan agar-agar di dalamnya hancur!"

"Maka itu, para penguasa di atas sono tepo seliro bertenggang rasalah, dengarkan lantunan syair pemain kecapi bersama wong cilik umumnya yang kewalahan menahan semua beban terlalu berat buatan para penguasa di atas!" seru Umar. "Semua beban dari lapisan atas itu bertumpu menekan lapisan terbawah yang tak berdaya!"

"Artinya, kaum penguasa di atas setiap membuat keputusan bukan cuma menghitung angka-angka keekonomiannya semata, tapi jangan lupa hitung beban sosial dan kemampuan rakyat memikul dampaknya!" tegas Amir. "Kasihan ibu-ibu lapisan terbawah bingung di pasar, harga kebutuhan pokok serentak naik drastis! Jangan tambah beban jauh lebih berat dari atas pada mereka hanya demi angka keekonomian!" ***

Selanjutnya.....

Perlu 'Grand Design' Investasi Lampung!

"REFLEKSI akhir tahun Gubernur Sjachroedin Z.P. yang menyebut investasi di Lampung 2010 turun drastis memberi isyarat perlunya menyiapkan sebuah grand design investasi untuk daerah ini!" ujar Umar. "Itu diperlukan karena investasi kegiatan multidimensi, dengan setiap dimensinya harus saling dukung dalam mencapai tujuan!"

"Selama ini cenderung ada persepsi kurang pas dalam promosi investasi, sehingga investor yang datang kebanyakan dari jenis usaha yang butuh lahan luas!" timpal Amir.
"Jadi, sebelum feasibility study-nya menyentuh faktor infrastruktur dan kecukupan energi, banyak investor sudah 'balik kanan' karena tak ada lahan lagi! Apalagi, banyak investasi yang sudah ada pun faktor lahan masih sering jadi masalah!"

"Berarti, dimensi pertama grand design itu harus mengeliminasi kebutuhan lahan yang luas!" tegas Umar. "Dimensi kedua jenis industri dengan lahan terbatas, paling tepat manufaktur—mengolah bahan-bahan mentah yang tersedia di Lampung sampai jadi produk etalase! Contohnya, Nestle! Masih banyak bahan mentah di Lampung yang bisa mendukung industri manufaktur!"

"Dimensi ketiga tentu kapasitas dukungan secara kuantitatif setiap jenis bahan mentah serta nilai ekonomisnya untuk usaha jangka panjang industri manufaktur!" lanjut Amir.

"Dan berbagai dimensi lagi selain infrastruktur dan energi! Tanpa panduan grand design spesifik memadai plus advantage dan kemudahan yang terjamin bukan janji palsu, suatu daerah bisa kalah dalam bersaing menarik investasi!"

"Grand design investasi terbaik menempatkan setiap investasi sebagai akomodasi peningkatan nilai tambah dan perluasan pasar produk-produk lokal yang ada, hingga sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat produsen serta warga yang berpartisipasi dalam kehadiran kegiatan usaha baru tersebut!" tegas Umar. "Jadi, eliminasi kedua dilakukan terhadap investasi yang enklave, tak ada maslahatnya bagi produk dan partisipasi warga lokal—sebaliknya, malah merusak alam, seperti pertambangan di hutan lindung!"

"Usaha lebih baik menarik investor ke Lampung harus dilakukan, karena investasi amat diperlukan untuk membuka lapangan kerja baru dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah!" timpal Amir. "Dengan grand design yang tepat, akomodasinya kuat terhadap produk dan SDM lokal, menjadikan investasi sebagai stimulan ekonomi masyarakat! Karena itu, jika tahun 2011 tak menaikkan target pemasukan investasi, peningkatan usaha menjadikan Lampung laik dan memikat bagi investasi harus tetap dilakukan!" ***

Selanjutnya.....

Pembangunan Negeri Siluman!

"SELAMAT Tahun Baru 2011, bersama kabar gembira!" seru Umar. "Lampung dapat anggaran pembangunan dari pusat untuk 2011 ini Rp14,6 triliun! Itu dari dana perimbangan Rp9,151 triliun, dan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Rp5,543 triliun! Naiknya signifikan dari tahun 2010 sebesar Rp11,3 triliun, dan 2009 sebesar Rp11,1 triliun!"

"Anggaran pembangunan Rp14,6 triliun untuk 14 kabupaten-kota di Lampung itu relatif besar! Rata-rata per kabupaten-kota satu triliun, plus untuk Pemprov!" sambut Amir.

"Dengan anggaran berbilang triliun per daerah tingkat dua itu diharapkan rakyat bisa melihat secara nyata sosok pembangunan yang dilakukan, dan merasakan manfaatnya! Itu perlu ditekankan karena dari anggaran sejenis dua tahun terakhir, 2009 Rp11,1 triliun dan 2010 Rp11,3 triliun, total jadi Rp22,4 triliun, tak ada ekspos atau wujud sosok nyata hasilnya yang bisa dilihat rakyat! Pembangunan dengan anggaran sebesar itu seperti dilakukan di negeri siluman, tak terlihat nyata hasilnya, apalagi dirasakan rakyat manfaatnya!"

"Bukan sama sekali tak terlihat!" potong Umar. "Ada juga yang terlihat nyata dan dirasakan manfaatnya, seperti di Tulangbawang yang dalam dua tahun terakhir pembangunan fisiknya menonjol! Bahkan di daerah otonomi baru (DOB) Tulangbawang Barat, pada 2010 pembangunan jalan kabupaten dilakukan lebih 90 km, sisanya diprioritaskan lagi tahun ini!"

"Pengecualian itu layak diberikan!" timpal Amir. "Karena dorongan keluar dari negeri siluman perlu diberikan ke sejumlah kabupaten lain! Seperti Lampung Tengah, jalan kabupaten dan provinsinya 60 persen rusak, sisanya yang 40 persen lagi rusak parah!"

"Rumus untuk membebaskan suatu daerah dari negeri siluman itu sederhana—melakukan pembangunan yang bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat!" tegas Umar.

"Meski sederhana, penguasa kabupaten—eksekutif dan DPRD—selama ini terlena karena ada program pusat (terutama PNPM) yang dipadu dengan swadaya masyarakat desa! Kepada rakyat penguasa lokal 'mengklaim' itu program pemerintah, pusat atau kabupaten sama saja karena pemerintah itu satu! Akibatnya, share Pemkab dalam pembangunan desa sendiri malah jadi siluman, tak bisa dilihat dan dirasakan rakyat manfaatnya!"

"Pokoknya, para penguasa di Lampung—eksekutif dan legislatif—saatnya menyadari mereka membangun di dunia nyata, bukan di negeri siluman!" timpal Amir. "Untuk itu, dengan anggaran Rp14,6 triliun pada 2011 ini wujudkan pembangunan yang secara nyata bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat!" ***

Selanjutnya.....