Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Rumput Laut, Harapan Baru!


"DINAS Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung memproyeksikan potensi budi daya rumput laut di pesisir Lampung bisa mencapai Rp13 triliun pada 2014!" ujar Umar. "Proyeksi itu tentu didukung perhitungan matang jika potensi 1.105 km pantai pesisir Lampung bisa digarap komprehensif oleh puluhan ribu pemulia rumput laut! Sebuah harapan baru bagi Lampung!"

"Di Pesisir Lampung, pemuliaan rumput laut telah dilakukan warga Bakauheni! Hasilnya lumayan sebagai sumber penghidupan, tapi tidak lantas para pemulia rumput laut menjadi jutawan!" sambut Amir. "Maksudnya, hadirnya rumput laut sebagai lapangan kerja baru yang bisa menampung ribuan orang, tentu amat disyukuri! Namun, dengan promosi angka triliunan rupiah bisa menyilaukan seolah rumput laut cepat mengangkat para pemulianya menjadi jutawan, hingga salah persepsi! Padahal, pemuliaan rumput laut juga usaha yang menuntut keseriusan dan kerja keras!"

"Terutama di Lampung, warga berpengalaman mendapat pepesan kosong, dari sisal sampai jarak pagar!" tegas Umar. "Karena itu, usaha budi daya rumput laut memerlukan penanganan sungguh-sungguh agar para pemulianya bisa mencapai hasil maksimal dan jauh dari kekecewaan! Untuk itu, penandatanganan kerja sama untuk usaha pengembangan rumput laut di Lampung antara PT Lampung Jasa Utama, PT Hutama dari Jakarta, dan Yayasan Al Bahri Nusantara di Lempasing besok, bisa menjadi harapan baru yang berdasar!"

"Hal yang menguras tenaga dan makan waktu untuk usaha ini adalah mobilisasi para pemulia dan alih teknik budi daya serta perawatan sampai pemanenannya!" timpal Amir.

"Jika setiap pemulia diberi kredit modal Rp10 juta untuk tiga gawang tanaman (per gawang 1/4 ha) dengan masa panen 45 hari, jika waktu tanam antargawang diberi tenggang 15 hari, bisa teratur panen setiap setengah bulan! Dengan demikian rumput laut bisa menjadi sumber penghasilan tetap!"

"Jika PT Lampung Jasa Utama sebagai host bisa memobilisasi 1.000 pemulia per bulan—sekaligus menyalurkan modal Rp10 miliar—dalam setahun aktif 12 ribu pemulia dengan putaran modal Rp120 miliar!" lamjut Umar. "Perputaran modalnya langsung di tengah warga jadi stimulan signifikan ekonomi daerah! Jika mobilisasi pemulia rumput laut setiap tahun bertambah dengan jumlah sama, dalam lima tahun rumput laut menjadi bisnis masif dengan 60 ribu keluarga pemulia di Lampung! Bayangkan pula perputaran uang hasil panennya, tentu jauh lebih besar lagi! Tantangan kemudian, kewalahan mengatur duitnya!" ***

Selanjutnya.....

Perbaikan Jalan, Perlu Komitmen!


"LEWAT rapat evaluasi diketahui, dari 2.369 km jalan provinsi di Lampung, 56,82% rusak!" ujar Umar. "Berarti, panjang jalan provinsi yang rusak sekitar 1.300 km! Menurut Sekprov Berlian Tihang di HUT 47 Provinsi Lampung, biaya perbaikan keseluruhan jalan yang rusak itu butuh Rp3 triliun! APBD 2011 untuk perbaikan jalan provinsi Rp281 miliar! Perlu tahapan 10 tahun APBD agar semua jalan yang rusak dapat giliran perbaikan!"

"Padahal dalam 10 tahun itu, jalan yang telah diperbaiki pun sudah kembali rusak lebih parah dari sebelum diperbaiki!" timpal Amir. "Artinya, hanya tergantung pada ketersediaan dana untuk perbaikan jalan di APBD saja, dari waktu ke waktu kondisi jalan provinsi di Lampung akan semakin hancur! Padahal, visi ke masa depan seharusnya tergambar jelas jalan provinsi itu dari waktu ke waktu semakin baik, juga semakin lebar dan lebih besar daya tahannya terutama sebagai feeder jembatan Selat Sunda (JSS) yang megah!"


"Memang konyol jika hanya berpikir dan berbuat apa adanya APBD sedemikian, 10 tahun kemudian ketika JSS selesai dibangun, begitu meluncur keluar dari JSS masuk jalan provinsi langsung terperosok masuk kubangan kerbau!" tukas Umar. "Jangan disepelekan, hal itu bisa terjadi jika tak ada terobosan keluar dari sikap cuek serupa!"

"Celakanya, jalan provinsi itu telanjur rusak parah akibat sikap cuek demikian yang diamalkan pimpinan (eksekutif dan legislatif) di Provinsi Lampung awal abad 21 ini!" timpal Amir. "Untuk itu diperlukan komitmen kalangan pimpinan daerah untuk mengatasi keterbatasan ‘anggaran klasik' itu agar perbaikan jalan provinsi bisa dilakukan dengan proses tahapan yang terus membaik!"

"Mengatasi keterbatasan 'anggaran klasik' untuk perbaikan jalan itu jangan dengan cara konyol, seperti minta bantuan perusahaan swasta!" tukas Umar. "Usaha swasta sudah ditarik segala bentuk pajak, hasilnya disalurkan dari APBN ke APBD, sehingga tugas pemerintah memperbaiki jalan untuk kelancaran usaha pembayar pajak! Diminta dari CSR-nya lebih konyol lagi, karena CSR hak warga lingkungan itu 2,5% s.d. 5% dari laba yang sudah kena pajak laba 15% s.d. 35%. Komitmen itu bisa diwujudkan dengan mengusahakan dana ekstra dari Pusat, sekaligus mengatur pembagian dana APBD yang lebih adil untuk itu!"

"Dasar perjuangan ke pusat tak mengada-ada!" sambut Amir. "Untuk perbaikan dan pemeliharaan jalan nasional di Lampung sepanjang 1.159,57 km dalam 2011 disediakan Rp780 miliar! Untuk jalan provinsi yang dua kali lebih panjang, selayaknya bantuan pusat berskala sebanding!" ***

Selanjutnya.....

UU Intelijen buat Negara-Bangsa atau Penguasa?


"BERTELE-TELENYA pembahasan RUU Intelijen hingga tak selesai dalam satu periode jabatan DPR tak lepas dari kuatnya tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan publik!" ujar Umar. "Kekuasaan menghendaki UU Intelijen fleksibel hingga bisa digunakan untuk kepentingan penguasa! Sedang publik, wanti-wanti agar UU itu rigid, tak mudah digunakan untuk kepentingan penguasa! Publik ingin UU Intelijen benar-benar efektif melindungi negara-bangsa dari segala bentuk ancaman yang bersifat strategis terkait dengan eksistensi negara-bangsa, bukan demi kenyamanan nikmat sang penguasa!"

"Polemik RUU Intelijen memanas soal kewenangan badan intelijen negara menyadap, menangkap, memeriksa, dan menahan orang yang dicurigai melakukan tindak pidana tertentu tanpa disertai surat perintah dan keterangan!" timpal Amir. "Jika kewenangan itu lolos, kita masuk zaman koboi! Orang bisa ditangkap, diperiksa, dan ditahan tanpa batas waktu dan putusan pengadilan hanya dengan sebuah tuduhan yang tidak jelas! Dengan ancaman bisa diperlakukan seperti itu, rakyat di bawah jadi bulan-bulanan diperas intel, malah lebih buruk dari masa Orde Baru yang masih pakai tuduhan jelas—tak bersih lingkungan!"

"Menangkap, memeriksa, dan menahan warga tanpa proses justice system itu jelas melanggar telak hak-hak sipil (civil rights) yang bersifat universal!" tegas Umar.

"Kalau kewenangan itu lolos, kita mundur ke zaman praperadaban yang belum mengenal hak-hak sipil universal!"

"Lebih gawat lagi, kewenangan itu dilengkapi hak menyadap!" sambut Amir. "Selain rakyat bisa dimata-matai penguasa, juga bisa dibuat rekayasa jebakan untuk mencelakakan atau memerasnya! Misalnya, pada nomor tertentu yang mungkin nomor saingan politik penguasa, direkayasa pengiriman pesan yang membuat seolah orang tersebut terlibat pidana tertentu! Lewat itu, dengan mudah dihabisi karier politik setiap muncul calon potensial pesaing penguasa!"

"Maka itu, UU Intelijen memang diperlukan, tapi yang betul-betul berorientasi pada kepentingan menangkal setiap ancaman strategis terhadap negara-bangsa—bukan sebagai justifikasi atau alat bagi penguasa menindas rakyat!" tegas Umar. "Untuk itu, harus diurai jelas, dalam negara yang dilindungi UU itu ada unsur rakyat, sedangkan komponen utama bangsa adalah warga! Artinya, keselamatan rakyat dan warga dalam negara-bangsa harus menjadi kepentingan dasar bagi operasional UU Intelijen! Bukan sebaliknya, malah keselamatan rakyat yang dibuat terancam demi lestarinya dinasti penguasa!" ***

Selanjutnya.....

Pemerintah Tak Akui Nurdin Halid!


"PEMERINTAH RI melalui keputusan yang dibacakan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora) Andi Mallarangeng Senin sore menegaskan tidak mengakui PSSI di bawah kepengurusan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes!" ujar Umar. "Jajaran pemerintah di pusat dan daerah, serta kepolisian, diminta tak memberikan pelayanan pada kegiatan olahraga di bawah kepengurusan itu! Kebijakan ini diambil berdasarkan kewenangan pemerintah sesuai UU No. 3/2005 serta PP No. 16/2007."

"Meski terlambat, keputusan pemerintah itu tetap disambut baik oleh mayoritas pencinta sepak bola nasional yang selama ini sudah sakit perut dibuat pengurus PSSI di bawah Nurdin Halid dan Nugraha Besoes!" timpal Amir. "Untuk itu, segala langkah yang diambil pemerintah untuk menyelamatkan PSSI dan sepak bola nasional dari kehancuran lebih parah lagi, pasti mereka dukung! Langkah pemerintah ini diharapkan menjadi pangkal bagi persepakbolaan nasional mencapai prestasi terbaik di level internasional!"

"Pokoknya dengan langkah pemerintah itu PSSI bisa dikembalikan ke fungsinya sebagai lembaga pembina olahraga yang meningkatkan kesehatan jasmani-rohani dengan sportivitas yang tinggi dalam masyarakat!" tegas Umar. "Soal sportivitas itulah yang selama ini menyayat nurani mayoritas pencinta bola! Bukan saja tak diberi keteladanan oleh PSSI, malah sebaliknya, yang ditonjolkan kepengurusan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes justru tindakan mencederai sportivitas itu sendiri! Contohnya, Statuta FIFA mereka ubah dalam aturan PSSI, residivis yang seharusnya dilarang jadi ketua, dibuat boleh jadi ketua!"

"Itu dia! Olahraga sebagai penyebar semangat juang tak kenal menyerah dengan menjunjung tinggi kejujuran dan sportivitas, sempat ditangani orang licik dan jahil dengan mengesampingkan kejujuran dan sportivitas! Jelas, masyarakat bisa kena ekses negatifnya, di antaranya menurunnya semangat sportivitas dalam kehidupan sehari-hari mereka!" timpal Amir. "Lebih-lebih kemerosotan moral dengan rendahnya penghargaan terhadap sportivitas itu mengaktual dalam pertandingan sepak bola yang ditonton mayoritas pencinta bola—termasuk para remaja, eksesnya dalam kemerosotan moralitas warga bersifat langsung! Dengan itu, langkah pemerintah menyelamatkan PSSI amat besar artinya bagi usaha peningkatan moralitas menjunjung kejujuran dan sportivitas!"

"Langkah itu menjawab keheranan luas selama ini, kejujuran dan sportivitas dilecehkan, seolah 240 juta warga bangsa tak berdaya melawannya!" tukas Umar.

"Ternyata, ada pemerintah!" ***

Selanjutnya.....

Penjara, Cermin Sukses Ekonomi!


"PEMKAB Banyuwangi menyiapkan lahan 3,5 hektare untuk lokasi membangun LP—lembaga pemasyarakatan!" ujar Umar. "Menurut berita Radio Elshinta, pembangunan LP baru mendesak karena penghuni LP sudah lebih dua kali lipat dari kapasitas LP yang ada sekarang!"

"Kalau cuma tentang penghuni LP dan rutan—rumah tahanan—sudah lebih dua kali lipat dari kapasitas yang ada, di Lampung juga terjadi, bahkan dengan fasilitas LP relatif baru seperti di Way Huwi!" timpal Amir. "Gejala membengkak pesat jumlah napi bersifat nasional! Dan itu bukan hanya akibat 'lunaknya' hukum terhadap pelaku kriminal hingga efek penjeraan dari tindakan hukum kurang efektif, tapi sebagian besar masuk bui dengan motif kesulitan ekonomi!"

"Berarti penjara itu cermin sukses atau gagalnya pembangunan ekonomi bangsa!" sela Umar. "Jika pembangunan ekonomi sukses jumlah penghuni penjara cenderung menurun, sedang jika ekonomi gagal jumlah penghuni bui meningkat!"

"Begitulah! Dan dalam cerminan kegagalan negeri kita itu, bukan hanya bui-bui lokal dilimpahi lebih dua kali kapasitasnya, tapi bahkan juga melimpah sampai ke bui-bui negara tetangga—Malaysia!" tegas Amir. "Maksudnya, meski juga tak sedikit orang masuk bui bukan akibat motif ekonomi, kasus bermotif ekonomis selalu dominan! Bahkan pada kasus korupsi dan narkoba, tak sedikit yang juga bermotif ekonomi!"

"Memang, jika pembangunan ekonomi berhasil menciptakan kondisi yang baik, warga mudah mendapatkan pekerjaan, meski gaji kecil, dengan punya pekerjaan orang tak mudah tergoda melakukan kejahatan sekalipun hasilnya jauh lebih besar dari gajinya!" timpal Umar.

"Sebaliknya dalam kondisi perekonomian gagal, berusaha maksimal di jalan yang baik selalu gagal dapat pekerjaan, apalagi penghasilan, padahal tuntutan perut tak tertahan, terpaksa terdorong ke jalan kejahatan! Celakanya, untuk dapat penghasilan di jalur kejahatan juga tak mudah, maka terjadlah curas—pencurian dengan kekerasan!"

"Karena itu, para tokoh yang mendaulat dirinya pemimpin rakyat, sering menjanjikan peningkatan kesejahteraan rakyat, lebih-lebih mereka yang berwenang membuat kebijakan atas dana publik, sebaiknya rajin ke penjara untuk melihat indikasi apakah tugasnya sukses atau gagal!" tegas Amir. "Kalau terbukti gagal, ikuti model Banyuwangi, bangun tambahan bui agar korban kegagalan dirinya tak lebih tersiksa—tidur cuma bisa dengan tubuh miring, bergiliran dengan yang berdiri memberi kesempatan mereka berbaring!" ***

Selanjutnya.....

Kiriman Dana BOS Sempat Gembos!

"SAMPAI minggu terakhir Maret ini, kiriman dana biaya operasional sekolah (BOS) dari Pusat ke rekening SD dan SMP se-Provinsi Lampung sebagian besar belum sampai!" ujar Umar. "Dana untuk triwulan pertama itu dari Pusat dikirim serentak 15 Januari lewat kas daerah (APBD kabupaten/kota) seluruh Indonesia. Jumlah dana BOS untuk Provinsi Lampung 2011, Rp527 miliar!"

"Kalau dikirim medio Januari sampai akhir Maret belum sampai, agaknya roda kedaraannya sempat gembos, sehingga harus ditambal dulu, atau malah harus diganti bannya!" timpal Amir. "Kelambatan penerimaan biaya operasional satu triwulan itu jelas membuat kepala sekolah tambal-sulam menutupi semua kebutuhan sesuai dengan jadwalnya! Itu bagi kepala sekolah yang mampu cari tambalan dan sulaman! Pada yang kebetulan tak mampu, berarti pemenuhan banyak kebutuhan ditunda, sehingga operasional sekolah terganggu!"

"Dari ramainya keluhan terkesan hal terakhir yang banyak terjadi—keterlambatan diterimanya BOS mengganggu kelancaran operasional sekolah!" tegas Umar. "Sedihnya, hal itu terjadi bukan karena dana BOS yang ini kali pertama dikirim lewat kas APBD itu ditahan oleh Pemkab atau Pemkot, tapi karena sebagian dinas pendidikan tingkat dua tak menyosialisasikan perubahan format adminstrasinya tepat waktu! Akibatnya, banyak kepala sekolah terlambat menyesuaikan administrasi pengajuannya!"

"Dalam kasus ini masalahnya bukan cuma Dinas Pendidikan yang lambat menyosialissikan dan sekolah yang lambat mengantisipasi perubahan!" timpal Amir. "Tapi lebih dari itu, mulai birokrasi

pendidikan dan keuangan Pusat hingga birokrasi pendidikan Provinsi dan keuangan kabupaten/kota terkesan tak peduli dengan perubahan format administrasi itu, sehingga tak memberi perhatian khusus untuk membantu agar aliran dana BOS tak terganggu oleh perubahan tersebut, menunjukkan birokrasi negara ini masih karatan--belum sedikit pun terlihat adanya sentuhan reformasi birokrasi!"

"Lebih menyedihkan lagi hal itu terjadi pada dunia pendidikan yang diandalkan menjadi roda kemajuan bangsa!" tukas Umar. "Pengandalan peran itu membuat APBN dan APBD pendidikan dipatok minimal 20%! Tapi jika ditangani oleh birokrasi yang karatnya belum tersentuh oleh semangat reformasi begitu, harapan besar bangsa ini dalam menjadikan pendidikan sebagai andalan bisa berbalik menjadi kekecewaan—dunia pendidikan yang diharapkan sebagai roda kemajuan bangsa, realitasnya cuma ban gembos!" ***

Selanjutnya.....

Kala Si Kampret Jadi Pengantin!


MAHASISWA meneliti karakter massa, menemui carik. "Kenapa warga desa ini pemberang, pernah membakar hidup-hidup maling sapi?" tanya mahasiswa. "Juga merebut penjahat dari tahanan Polsek!"

"Kesabaran warga desa habis setelah puluhan tahun tertekan oleh hasil kerja aparat hukum, polisi, jaksa, hakim, dan sipir, yang bukan membuat penjahat jera, tapi malah jadi profesional!" jelas carik. "Contohnya Si Kampret, anak seberang rawa! Ia pertama tertangkap curi ayam, kami serahkan ke polisi. Beberapa bulan kemudian tertangkap lagi mencuri kambing, juga kami serahkan ke polisi. Ganti tahun, saat warga menangkap maling sapi, ternyata lagi-lagi Si Kampret! Warga jadi kesal, aparat penegak hukum menangani pelaku kejahatan seperti sekolah penjahat, dari maling ayam naik kelas jadi maling kambing, keluar penjara naik kelas lagi jadi maling sapi!"

"Itu bukan salah aparat penegak hukum!" bantah mahasiswa. "Tapi akibat sistem peradilan pidana (criminal justice system—CJS) yang acuannya KUHAP (UU No. 8/1981) bersifat restributif, amat menguntungkan pelaku kejahatan seperti Si Kampret! Dalam CJS tersebut Si Kampret dijadikan pengantin, hak-haknya ditetapkan dengan rinci tanpa boleh dilanggar oleh aparat penegak hukum! Kalau dilanggar, praperadilan siap menegakkan kembali hak-hak Si Kampret—dengan ancaman yang sebaliknya, justru aparat penegak hukum yang mendapat ganjaran dihukum!"

"Bagaimana hak-hak korban kejahatan Si Kampret, juga rasa keadilan masyarakat desa yang telah terganggu ketenteramannya?" ujar carik.

"Justru semua itu belum cukup diatur KUHAP sekarang, yang orientasi keadilannya lebih terfokus buat Si Kampret!" tegas mahasiswa. "Padahal, syarat bagi terwujudnya justice for all—keadilan buat semua—nasib korban kejahatan dan rasa keadilan masyarakat harus terakomodasi dalam sistem! Artinya, dengan KUHAP yang sekarang, impian mewujudkan justice for all masih sebatas wacana! Karena untuk justice for all acuannya juga harus mengutungkan korban dan masyarakat! Tak cuma menguntungkan si Kampret!"

"Itu dia! Meskipun tak tahu teori-teori hukum, warga desa bisa merasakan ada yang tidak beres dengan proses penegakan hukum di negeri kita!" entak carik. "Tapi syukurlah, hal yang terasa tak enak di hati warga itu bukan bersumber pada kesalahan aparat penegak hukum, tapi karena sistemnya yang kurang pas! Cuma, karakter massa yang pemberang juga susah diredam sebelum sistem hukum yang menyulut amarah dan amuk massa itu dibereskan!" ***

Selanjutnya.....

'Marosok', Praktek CJS ala Lampung!


"RAPAT koordinasi aparat penegak hukum pelaksana criminal justice system (CJS)—polisi, jaksa, pengadilan, Kanwil Hukum dan HAM (kehakiman)—di Lampung pada Rabu lalu kabarnya menghasilkan sembilan kesepakatan, kok tak kau tulis dalam beritanya?" tanya redaktur.

"Sudah kuminta pada humas rakor itu, tapi tak diberi!" jawab reporter. "Katanya, kesepakatan itu soal internal!"

"Itu kesepakatan antarlembaga penegak hukum, seharusnya terbuka selain buat masyarakat, juga anak buah setiap lembaga itu di lapangan layak mengetahuinya!" ujar redaktur. "Kenapa forum kerja samanya itu dibuat tertutup?"

"Rakor itu sendiri sebagai usaha membangun sinergi antarlembaga penegak hukum dengan mengatasi kendala formal acuan utama CJS—UU No. 8/1981 tentang KUHAP—yang operasional hubungan antarkomponen penegak hukum pelaksananya tersistem dalam model diferensiasi fungsional, terkotak-kotak secara fragmentaris!" ujar reporter. "Faktor sistemik itu yang membuat meski KUHAP telah berusia 30 tahun, berkas kasus bisa bolak-balik polisi jaksa sampai lebih tiga kali karena kotak-kotak fragmentaris itu mengakibatkan beda tafsir dan pemahaman antarlembaga atas suatu masalah! Kalau kesepakatan antarlembaga yang bertujuan mengatasi kendala sistemik acuan CJS itu dibuat terbuka, bisa jadi ada yang menilai kurang pas—dianggap membuat 'kebijaksanan' buat mengakali sistem hukum yang baku!"

"Memang, itu termasuk hal sensitif juga!" timpal redaktur. "Harifin A. Tumpa selaku ketua MA saja pernah diprotes akibat kehadirannya di Istana Bogor (padahal dia diundang) ketika dari Istana itu keluar kesepakatan pimpinan antarlembaga tinggi penegak hukum yang menguntungkan penguasa! Namun, bagaimana sinergitas aparat hukum dilakukan dalam kerja sama tertutup itu?"

"Dilakukan dengan marosok, seperti pedagang sapi di Sumatera Barat tawar-menawar lewat jari-jari tangan yang ditutupi kain sarung!" jelas reporter. "Dengan proses tertutup itu, transaksi lancar tanpa diketahui pedagang lain berapa sebenarnya harga sapi yang mereka jual-belikan!"

"Kalau dengan tradisi proses tertutup baru bisa diharapkan transaksi lancar, dalam CJS berarti sinergitas antarkomponen penegak hukum berjalan optimal maka pilihan cara ala Lampung untuk mengatasi kendala yang sudah mengganjal secara sistemik CJS sepanjang 30 tahun ini bisa jadi contoh buat daerah lain!" ujar redaktur. "Itu kalau semua kesekapatan CJS terlaksana optimal sehingga kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat memancar dari Lampung!" ***

Selanjutnya.....

'Bail or Jail', Mitos Uang Jaminan Tahanan Luar!


"ADA gertakan di negeri Paman Sam, 'bail or jail'—bayar jaminan atau masuk tahanan!" ujar Umar. "Di sini itu mitos, meski lengkap syarat formal untuk tahanan luar seperti tak melarikan diri, tak menghilangkan barang bukti, dan tak mengulangi perbuatannya, ada jaminan orang/keluarga, kalau tak ada uang jaminan tak dapat tahanan luar!"

"Kok disebut mitos? Mitos itu seperti ada hantu kalau magrib duduk di pintu, hantunya tak terlihat!" timpal Amir. "Sedang uang jaminan untuk tahanan luar di negeri kita hal yang sah! Bukan mitos! Sudah menjadi hal yang legal, seperti uang jaminan dalam film Law and Order!"

"Begitu?" sambut Umar. "Kok tak pernah disorot televisi saat hakim menetapkan bail dan besarnya uang jaminan untuk tahanan luar seperti di film Law and Order? Tak adanya berita di televisi itu mengesankan seolah di negeri kita hal itu tak terlihat, hingga warga berkesan itu seperti hantu, mitos, yang andai pun ada tak terlihat!"

"Berarti bedanya, realitas itu ada dan bisa dilihat, sedang mitos itu ada tapi tak terlihat—seperti hantu magrib di pintu!" tegas Amir. "Kalau begitu saya tak bicara soal terlihat atau tidak, tapi soal legalitas uang jaminan untuk tahanan luar yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pasal 35 berbunyi, (1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri. (2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu tiga bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke kas negara."

"Kalau begitu yang salah wartawan, tidak tertarik melaporkan penentuan dan besarnya jaminan untuk penangguhan penahanan!" timpal Umar. "Lantas, jika tersangka atau terdakwa kabur, orang yang menjadi penjamin bagaimana?"

"Di Pasal 36," jawab Amir. "(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. (2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke kas negara melalui panitera pengadilan negeri. (3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1) jurusita menyita barang miliknya untuk dilelang dan hasilnya disetor ke kas negara melalui panitera pengadilan negeri."

"Bail or jail?" tukas Umar. "Bail, yang bukan mitos!" ***

Selanjutnya.....

Belajar Solidaritas dari Media Jepang!


"LAMA amat bicara di hape!" tukas Umar.

"Telepon teman di Jepang!" jawab Amir. "Dia rajin menelepon jika ada kabar baru tentang teman lain di sono! Tadi jadi lama karena dia cerita tentang kekagumannya pada media massa Jepang yang beberapa hari sejak gempa dan tsunami disusul bocornya reaktor nuklir, tak satu pun televisi Jepang menyiarkan iklan komersial!"

"Lantas, menyiarkan apa?" kejar Umar.

"Breaking news berita bencana dari satu area ke area lain, dari satu dimensi atau aspek ke dimensi atau aspek lainnya!" jelas Amir. "Sedang waktu untuk iklan diganti tayangan layanan masyarakat terkait bencana, mengajak warga membantu apa saja yang bisa diberikan untuk meringankan beban mereka yang ditimpa musibah!"

"Luar biasa ekspresi keprihatinan media massa Jepang atas bencana yang diaktualissikan dengan usaha menggalang solidaritas dan simpati rakyat negerinya pada korban dengan mengganti jam tayang iklan dengan layanan masyarakat!" timpal Umar. "Kita selayaknya belajar dari media Jepang sejak menjalankan fungsi sebagai sarana penyebar informasi saat bencana berlangsung sehingga bisa menekan jumlah korban, sampai ekspresi prihatin dengan mengesampingkan iklan komersial!"

"Bukan cuma iklan, juga acara-acara komersial dari hiburan, musik, sandiwara sampai masak-masak—yang terakhir ini di Jepang justru pengisi program prime time!" tegas Amir. "Usaha media massa mempertinggi ketabahan warga bangsanya menghadapi cobaan berat itu! Cobaan, sepanjang pantai timur Pulau Honshu—daratan utama Jepang—itu sebenarnya sudah dipasang tanggul setinggi 10 meter, ternyata tsunami yang datang lebih dahsyat dari kesiapan yang mereka buat!"

"Lantas bagaimana dengan usaha yang terlihat seperti pelampiasan putus asa, pakai helikopter mengangkat air laut untuk mendinginkan reaktor nuklir yang kebocorannya sudah menebar radiasi keluar kompleks PLTN?" tanya Umar.

"Jangan sepelekan usaha mereka menimba air laut dengan helikopter dan kemudian dengan mobil pemadam kebakaran yang tak henti menyemprot reaktor yang memanas!" entak Amir. "Justru dalam air laut terdapat yodium dan berbagai zat yang efektif mendinginkan reaktor nuklir, membantu proses pendinginan dengan zat-zat kimia lain yang didatangkan dari Korea Selatan dan Prancis! Orang Jepang melakukan itu dengan keyakinan ilmiah, dan terbukti ancaman bencana nuklir belakangan mereda! Warga Fukushima di luar radius bahaya PLTN juga tetap tenang, yakin semprotan air laut itu ampuh!" ***

Selanjutnya.....

Ironis, Distribusi Air Bersih di Perkotaan!


"BARU tanggal 22 kok belanja ke warung bawa buku catatan utang?" tanya suami.

"Malah sudah sejak lima hari lalu!" jawab istri. "Harga berbagai macam kebutuhan pokok secara perlahan tapi pasti terus naik, tanpa kecuali air minum, hingga uang gaji sisa pembayar hutang warung bulan sebelumnya jadi lebih cepat habis!"

"Kok air minum kau masukkan jadi kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng saja?" entak suami. "Dalam penghitungan ragam jenis kebutuhan pokok untuk standar upah minimum buruh, air minum dan air mandi, cuci baju serta cuci piring tidak termasuk!"

"Tapi kenyataannya kan jadi pengeluaran pasti keluarga kita, penyebab uang gaji jauh lebih cepat habis!" timpal istri. "Itu termasuk keanehan dalam distribusi air bersih perusahaan air minum (PAM) di kota kita, yang salurannya hanya ke wilayah perumahan warga mapan saja, sedang kawasan warga miskin apalagi kumuh, tak dapat saluran air bersih! Sebagian warga kumuh minum dengan membeli air, sedang yang tak mampu beli, minum air sumur dangkal yang keruh, sehingga dimasak pun residu karat larutan logamnya tak hilang!"

"Ironis sekali distribusi air bersih di perkotaan!" tukas suami. "Layanan air bersih yang pengadaan fasilitasnya disubsidi uang rakyat malah lebih dinikmati kelompok mapan dari ekonomi mampu, sedang rakyat jelata yang amat membutuhkan malah tak kebagian!"

"Jadi ada dua ketakadilan!" timpal istri. "Pertama, air bersih yang sudah menjadi kebutuhan pokok dan harus dibeli tidak masuk daftar kebutuhan yang dihitung dalam penetapan standar upah minimum! Kedua, distribusi air perkotaan yang justru hanya dinikmati kalangan mampu! Tapi bagaimana cara memperjuangkan agar ketakadilan itu bisa diperbaiki?"

"Kebetulan, aku baru teringat, 22 Maret ini Hari Air Sedunia PBB, dengan tema 2011 Water for Cities, Responding to The Urban Challenge!" ujar suami. "Bagaimana penguasa kota membuat rancangan lebih adil dalam distribusi air bersih, terutama dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan kalangan kurang mampu, bukan sebaliknya!"

"Tapi sulit berharap keadilan atas air bersih yang telah jadi komoditas—barang dagangan—sekaligus kebutuhan pokok itu!" tukas istri. "Memang, 70% permukaan bumi ini air, tapi 97% dari semua air itu asin! Cuma 3% air tawar, terdiri dari salju, air tanah, air permukaan, dan uap air! Semakin jadi barang langka air bersih, makin kuat penguasa berusaha mengamankannya untuk kepentingan barisan elitenya!" ***

Selanjutnya.....

Senin, 21 Maret 2011 BURAS Tiada Lagi Maaf Bagimu, Khadafi! H. Bambang Eka Wijaya "BRUTALITY, itu kata kunci pernyataan Presiden AS Obama, Perdana M

"BRUTALITY, itu kata kunci pernyataan Presiden AS Obama, Perdana Menteri Inggris Cameron, dan Presiden Prancis Sarkozy, buat serangan ketiga negara itu ke Tripoli Sabtu malam!" ujar Umar. "Kebrutalan dimaksud kekejaman rezim Khadafi yang tidak seketika dihentikan setelah DK PBB mengeluarkan resolusi all necessary measures untuk melindungi warga sipil Libya—sebaliknya, justru lebih gencar! Jadi, serangan lebih cepat dari dugaan eksekusi Resolusi DK PBB itu, bisa juga disebut sebagai penegasan pemimpin tiga negara barat tersebut, tiada lagi maaf bagimu, Khadafi!"

"Tapi salut pada Khadafi yang menerima 112 rudal Tomahawk dari pasukan tiga negara Sabtu malam seakan suntikan adrenalin yang menjadikannya lebih sangar, menegaskan siap perang (waktu) panjang!" sambut Amir. "Ia ancam penyerang, para agresor akan dihancurkan!"

"Juga jadi lebih ganas!" timpal Umar. "Jika akibat serangan udara ke Tripoli warga sipil yang tewas 48 orang, CNN mengutip AFP menyebut serbuan pasukan Khadafi ke kota terbesar kedua Libia, Benghazi, sejak resolusi DK PBB hingga Minggu menewaskan warga sipil 94 orang! Khadafi unggul jumlah untuk warga sipil yang dibantai!"

"Tapi mungkinkah eksekusi resolusi SK PBB oleh Sekutu Barat mencapai target seperti disebut Menlu Hillary Clinton, Khadafi lengser dan angkat kaki dari Libya—hingga Israel menawarkan suaka buat Khadafi selama di pengasingan?" tanya Amir. "Realitasnya, sekutu bisa secara empuk melakukan serangan pertama dengan klaim pertahanan udara Libya 'severaly disable'—nyaris lumpuh! Beda
serangan pertama ke Irak pada Perang Teluk I atau II, kesiapan sejumlah kapal induk dan massifnya pesawat penyerang!"

"Dibanding Perang Teluk, konflik Libya ini bagi sekutu terkesan no big deal! Di Perang Teluk, sebelum serangan pertama 18 negara siap di garis depan!" jawab Umar. "Tapi justru karena itu, sulit memprediksi akhir konflik Libya! Seberapa lama Khadafi mampu bertahan, salah satu penentunya! Itu tergantung berapa besar ia rela membongkar simpanannya untuk membeli mesin perang terus-menerus, atau menikmati tumpukan jarahan itu di pengasingan seperti rezim tumbang lazimnya!"

"Berarti tergantung keluarga Khadafi yang telah 40 tahun menguasai semua sektor perekonomian negaranya, hingga dengan ekspor minyak 1,6 juta barel per hari, 2/3 dari 6,5 juta rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan!" timpal Amir. "Sebab, selain tentara bayaran (asing) yang ada harus dipertahankan, mayoritas rakyat yang miskin juga siap membela Khadafi asal bayarannya besar!" ***


Selanjutnya.....

Libya, Gencatan Justru Pergencar Serangan!


"CARA berpikir Khadafi itu gimana sih?" tanya Umar. "Begitu Dewan Keamanan PBB menetapkan Resolusi All Necessary Measures—segala tindakan yang diperlukan—untuk melindungi warga sipil Libya, rezim Khadafi menyatakan gencatan senjata! Tapi di balik gencatan yang diumumkan itu militer justru mempergencar serangan altileri dan tank ke Kota Zintan, Misurata, Ajdabiya, bahkan kota pusat pejuang anti-Khadafi—Benghazi!"

"Dari situ bisa disebut, cara berpikir Khadafi licik dan mau benar sendiri saja—kalau dicalonkan dalam pemilihan ketua umum PSSI mungkin bisa menang!" sambut Amir. "Dengan situasi negerinya dipantau banyak media dunia dari menit ke menit itu, masih bisa seenaknya juru bicara pemerintah menyatakan gencatan senjata terlaksana real credible and solid! Padahal, pasukan pemerintah sendiri gila-gilaan melanggar gencatan senjata!"

"Tak kepalang lucu ketika Khadafi mengirim pesan khusus ke Presiden AS Barack Obama, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, dan PM Inggris David Cameron, menegaskan mereka semua tak punya hak untuk mencampuri urusan dalam negerinya!" timpal Umar.

"Untuk itu Khadafi mengancam, 'neraka' menanti setiap kekuatan asing yang masuk Libya! Pada kesempatan sama Khadafi meminta Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengirim tim pencari fakta ke negerinya, permintaan lama yang sering diulang Saif Khadafi—putra sang diktator—tak dipenuhi malah dijawab PBB dengan resolusi!"

"Lebih lucu saat DK PBB sidang Saif menyatakan sidang itu sudah terlambat, karena pasukan loyalis Khadafi dalam 48 jam akan selesai merebut kembali semua kota yang dikuasai demonstran!" tegas Amir. "Ternyata belum 48 jam resolusi PBB keluar, Khadafi membuat gencatan senjata tapi di lapangan program Saif dalam 48 jam merebut semua kota terus dijalankan!"

"Begitulah rezim Khadafi, licik, penuh tipu daya, bertindak sesukanya!" timpal Umar.

"Itu membuat jiwa warga sipil Libya lebih terancam dalam waktu antara keluarnya resolusi dan eksekutor resolusi tiba, karena dalam waktu yang singkat itu rezim Khadafi bisa melampiaskan haus darahnya dengan pembantaian besar-besaran warga sipil Libya!"

"Sedihnya, andai massacre dilakukan rezim Khadafi dalam waktu singkat ini, justru dicatat sejarah sebagai korban demokrasi!" tukas Amir. "Sebab, pembunuhan besar-besaran itu terjadi saat proses demokrasi debat panjang-lebar dan bertele-tele berlangsung di parlemen Inggris, Prancis, dan AS, untuk membuat persetujuan buat pemerintahnya mengirim pasukan eksekutor PBB ke Libya!" ***

Selanjutnya.....

Apa Golongan Darah Bangsa Indonesia?


Agum Gumelar, Ketua Umum Ikal—Ikatan Alumni Lemhanas, juga Ketua Umum Pepabri—Persatuan Purnawirawan ABRI!"

"Apa jawab Agum?" kejar Amir.

"Agum terkejut mendengar pertanyaan itu. Dan karena belum punya jawaban, ia balik bertanya, kenapa Bapak tanyakan itu?" lanjut Umar. "Jawab si pejuang tua, dia heran melihat bangsa ini yang sekarang jadi rapuh, mudah dipecah-belah, diadu-domba! Mendengar itu Agum terus terang tak tahu apa sebenarnya golongan darah bangsa ini! Saat hal itu ia bawa ke forum Ikal, forum justru menyepakati untuk mencari tahu lewat seminar—yang hari ini digelar Ikal di Bandar Lampung! Dari seminar itu kita berharap segera tahu, apa golongan darah bangsa Indonesia!"

"Kita juga heran melihat para panutan bangsa di parlemen, kalau bicara suka membentak-bentak, tak peduli itu terhadap tokoh terhormat yang hadir di DPR justru memenuhi undangan lembaga terhormat, parlemen!" tukas Amir. "Padahal, sejak kecil kita diajari agar menghormati tamu! Orang yang datang atas undangan kita kan berarti tamu, kok dibentak-bentak—seperti gelandangan terlambat bangun di kaki lima toko orang saja!"

"Kalau para tokoh yang mengatur negara juga terkesan butuh pendidikan budi pekerti begitu kan pantas sang pejuang tua bertanya, golongan darah bangsanya?" timpal Umar.

"Jangankan tokoh yang diundang ke DPR tak pada tempatnya dibentak-bentak, pejabat pemerintah dan mitra kerja komisi juga bukan bawahan anggota DPR, melainkan mitra kerja, yang meski oleh (arogansi) anggota DPR tak layak dianggap sejajar dengan dirinya, setidaknya pantas diperlakukan sedikit lebih terhormat dari yang terkesan selama ini!"

"jangan tanya masalah substansi kualitatif realitas bangsa! Baru bicara soal tata krama kelembagaan saja, sudah mencolok acak-kadutnya negeri ini!" tegas Amir. "Dari situ juga terlihat, rentannya emosionalitas hingga mudah diadu-domba dan dipecah-belah itu bukan cuma pada masyarakat lapisan bawah! Terlihat, bara emosionalitas itu justru mengalir dari atas!"

"Maka itu, dari seminar Ikal ini yang kita harap bukan cuma rumusan masalahnya!" timpal Umar. "Tak kalah penting rancangan program nyata Ikal—pendidikan singkat calon elite di daerah! Inti materinya, menggalang etika-moral berbangsa dengan kultur berpolitik dan bermasyarakat yang menjunjung pekerti luhur, cermin bangsa dengan golongan darah 'U'—unggul!" ***

Selanjutnya.....

Koruptor Diadili Pakai Uya-Kuya!


"KENAPA banyak kasus korupsi macet di kepolisian atau prosesnya lama bolak-balik polisi-jaksa? Tak kepalang sampai ada tersangkanya lupa punya kasus!" tukas Umar.

"Saat diajukan ke pengadilan, yang didapat vonis bebas pula!"

"Itu karena tersangka koruptor tak mengakui perbuatannya!" timpal Amir. "Kalau ada cara membuat mereka mau jujur mengakui segala perbuatannya, polisi dan jaksa tak serepot itu!"

"Siapa bilang tak ada cara yang bisa membuat para koruptor mengakui secara jujur perbuatan korupsi mereka?" tukas Umar. "Para koruptor itu akan mengakui perbuatan mereka apa adanya, jika diadili pakai cara Uya-Kuya, seperti di reality show SCTV setiap petang!"

"Huahaha..! Betul juga!" sambut Amir. "Setiap petang anak-anak berkerumun nonton acara Uya-Kuya di televisi, di mana seseorang dihipnosis lalu ditanya soal apa saja terkait apa yang pernah dia lakukan atau hal-hal lain, yang dia jawab apa adanya dari bawah sadar, tak ada usaha untuk berbohong!"

"Kalau koruptor diadili pakai Uya-Kuya, hingga akan mengakui sendiri apa saja yang dia korupsi, berapa jumlahnya, siapa saja teman-temannya melakukan itu, dan lain-lain lagi, kasus korupsi bisa diselesaikan lebih cepat!" tegas Umar. "Lebih heboh lagi, pengadilan koruptor pakai Iya-Kuya, acaranya bukan cuma reality show, tapi berubah jadi breaking news sidang pengadilan Tipikor—tindak pidana korupsi!"

"Kalau bisa dilakukan begitu hasilnya pasti luar biasa, tak ada koruptor bisa berkelit lagi!" timpal Amir. "Tapi sayang, dalam proses hukum formal di negeri kita hal itu tak bisa dilakukan! Karena, saat menjalani proses proyustisia harus dipastikan seseorang dalam kondisi sehat fisik-mental, dan dalam keadaan sadar! Sedang dalam Uya-Kuya orangnya dihipnosis, dalam kondisi tidak sadar!"

"Tapi pengadilan di negeri kita punya preseden sumpah pocong, yang tak dikenal dalam sistem hukum formal!" tegas Umar. "Di Amerika polisi dibantu tenaga ahli jiwa, yang dengan teknik tinggi, justru lebih canggih dari hipnosis membuat tersangka mengarah ke barang bukti—yang harus ditemukan sendiri oleh polisi! Di pengadilan polisi bukan membawa pengakuan tersangka dalam kondisi Uya-Kuya, tapi barang bukti konkret!"

"Di sini kemungkinan itu tipis sekali!" timpal Amir. "Sebab, keistimewaan koruptor juga terletak pada penasihat hukumnya yang hebat, selalu punya dalih untuk menyangkal tuduhan polisi dan jaksa, apalagi kalau disusun lewat proses Uya-Kuya!" ***

Selanjutnya.....

Awas, Generasi Baru Teroris!


"DARI perbincangan pakar dan tokoh di media massa nasional tersimpul, salah satunya, agar masyarakat waspada kemungkinan munculnya generasi baru teroris dengan salam kenal tiga paket bom yang mereka kirim Selasa lalu!" ujar Umar. "Dengan tiga tokoh yang dipilih jadi alamat paket bom itu, Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal—JIL), Goris Mere (Kepala Badan Narkotika Nasional—BNN), dan Yapto Surjosumarno (tokoh Pemuda Pancasila—PP), menunjukkan adanya penciptaan multiinterpretasi penyesatan bagi pengendusan motif dan pelakunya!"

"Kalau benar itu salam kenal generasi baru, suatu serangan dengan strategi dan cara atau teknik-teknik baru perlu diwaspadai—selain paket bom!" sambut Amir. "Generasi baru dengan—bisa jadi—kecerdasan, kemampuan teknis dan tipu muslihat yang lebih tinggi mengandung ancaman lebih serius bagi masyarakat! Sebab, teroris seperti itu tak mudah dikenali warga masyarakat, hingga antisipasi warga untuk mencegahnya sukar!"

"Namun demikian, peran warga masyarakat untuk mencegah serangan teroris generasi baru ini tetap menjadi andalan!" tegas Umar. "Warga segera berembuk dengan sesama jika melihat hal-hal agak aneh atau ganjil di lingkungannya, sehingga menjadi kesadaran bersama warga usaha menangkal serangan teroris lewat berbagai cara tak terduga itu! Kesadaran dan kesiagaan warga yang sedemikian akan menjadi lahan tandus yang tak nyaman buat sarang teroris!"

"Kesadaran dan kesiagaan seperti itu mungkin terbatas pada kelompok tertentu! Sebaliknya, ada pula kelompok lain punya latar belakang berbeda yang justru menjadi tempat subur pengembangan gagasan yang menumbuhkan benih teroris!" timpal Amir.

"Karena itu, berharap saja pada masyarakat untuk melakukan sesuatu, tanpa diiringgi tindakan yang mendukung dari pihak pemerintah, hasilnya tak optimal! Lebih celaka lagi jika serangan teroris—yang multitafsir—justru diinterpretasikan warga sebagai aktualisasi dari perjuangan mereka untuk membebaskan diri dari penindasan oleh sistem—dan diasumsikan sistem yang menindas itu adalah pemerintah itu sendiri!"

"Maka itu, amat banyak kemungkinan layak untuk diwaspadai dengan generasi baru teroris!" tegas Umar. "Jauh lebih celaka sebenarnya jika teroris itu hanya mempermainkan fanatisme suatu aliran agama sebagai kamuflase gerakannya, sedang tujuan aksinya sendiri justru menyulut bentrokan antarsesama umat seagama tersebut! Fanatisme buta warga memudahkan tujuan teroris untuk memecah belah umat seagama, tercapai!" ***


Selanjutnya.....

Jangan Sepelekan Paket Bom ke Ulil!

"SEBUAH paket buku berisi bom yang pada label luarnya tertulis ditujukan buat Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), yang juga fungsionaris DPP Partai Demokrat, Selasa sore meledak di Kantor Berita Radio 68H, Utan Kayu, Jakarta!" ujar Umar. "Sejumlah orang terluka akibat ledakan bom itu, di antaranya seorang komisaris polisi dan dua satpam KBR68H! Dalam paket buku itu juga terdapat surat buat Ulil untuk menulis pengantar buku tersebut yang berisi daftar orang yang pantas dibunuh karena merugikan umat Islam!" (Metro-TV, 15-3)

"Apa pun motifnya, tindakan mengirim paket bom—apalagi terbukti mencelakakan orang-orang yang tak ada hubungan dengan si pengirim bom—tak bisa dimaafkan, tak bisa ditoleransi, dan tak boleh disepelekan!" timpal Amir. "Tindakan yang dilakukan dengan cara kekerasan gaya teroris itu mengancam peradaban! Bahkan dalam kasus ini yang secara langsung jadi korban serangan adalah stasiun radio, yang punya peran sentral dalam penyebaran informasi dan amat penting bagi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa!"

"Serangan paket bom itu tak boleh disepelekan karena meski dalam catatan pengirimannya lebih ditekankan pada keberadaan Ulil sebagai pendiri JIL, Ulil juga
tak bisa dikesampingkan posisinya sebagai Ketua Partai Demokrat!" tukas Umar. "Sebagai pendiri JIL saja, selama ini Ulil tak sampai dapat kiriman paket bom! Paket itu diperoleh setelah kiprahnya sebagai tokoh Partai Demokrat menonjol! Bisa jadi si penyerang berasumsi, selama Ulil tanpa peranti kekuasaan membina JIL perkembangannya tak terlalu mencemaskan! Tetapi dengan Ulil berkendara Partai Demokrat mengembangkan JIL, bisa dibayangkan bakal sepesat apa lajunya, layak menyulut kecemasan tak kepalang mereka yang anti-JIL!"

"Maka itu, meski menyerahkan sepenuhnya kepada yang berwajib untuk mengusut motifnya, tidak salah jika Ketua Divisi Hubungan Masyarakat Partai Demokrat Ruhut Sitompul meminta semua kader Demokrat waspada terkait paket bom buat Ulil itu!" sambut Amir. "Artinya, bukan mustahil jika kasus paket bom buat Ulil itu nantinya juga bisa mengimbas ke Partai Demokrat!"

"Ekornya yang bisa menyabet kian-kemari hingga merusak banyak aspek, ekses negatif terburuknya adalah menebar rasa kebencian dan bahkan rasa permusuhan di antara sesama umat Islam!" tegas Umar. "Karena itu, tindak pidana pengiriman paket bom itu harus diusut tuntas oleh penegak hukum, agar modus sejenis yang hanya bertujuan memecah belah umat Islam bisa dihentikan!" ***
Selanjutnya.....

SBY, Serangan itu 'Character Assassination'!


"SETELAH hak jawabnya dimuat pers Australia, Presiden SBY menyimpulkan di balik serangan lewat bocoran WikiLeaks itu ada usaha melakukan character assassination—pembunuhan karakter—terhadap dirinya!" ujar Umar. "Untuk itu SBY akan berusaha mendapatkan keadilan dengan cara-cara yang demokratis! Usaha itu kira-kira, mencari tahu siapa penyuplai data yang mengandung fitnah kepada kalangan diplomat Amerika Serikat yang kemudian dikirim ke Washington itu!"

"Salah satu sumber yang disebut WikiLeaks File itu mantan staf ahli presiden bidang pertahanan, T.B. Silalahi, yang telah mengkalrifikasi sama sekali tidak benar informasi itu bersumber dari dirinya!" timpal Amir. "Dari segi materi informasinya, juga tidak benar! Dalam WikiLeaks File disebutkan Hendarman Supandji diminta menjalankan misi SBY terkait kasus korupsi pada akhir 2004, padahal menurut Silalahi, Herdarman Supandji dilantik sebagai Jampidsus pada Mei 2005!"

"Amat mustahil tokoh dengan kredibilitas tinggi seperti T.B. Silalahi mau membocorkan informasi yang amat sembrono itu ke pihak asing!" tegas Umar. "Apalagi T.B. Silalahi secara pribadi amat dekat dengan Presiden SBY sehingga bulan lalu Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono dinobatkan sebagai pasangan Raja Batak dalam acara adat yang digelar T.B. Silalahi dan kawan-kawan! Itu menunjukkan tokoh yang disebut WikiLeaks sebagai sumber data yang dibobolnya, bisa langsung dicoret dari daftar calon tersangka pelaku character assassination atas Presiden SBY!"

"Lalu siapa yang bakal masuk daftar nominator tersangka pelaku pembunuhan karakter terhadap Presiden itu, sebaiknya tak repot dicari-cari lagi karena Presiden minta agar tak memperpanjang isu ini, masih banyak masalah lebih penting yang harus kita selesaikan!" timpal Amir. "Sejak semula juga memang, hanya dengan dikesampingkanlah isu-isu semacam itu jadi tak bernilai, kehilangan relevansi politik dan aktualitasnya! Sebaliknya jika ditanggapi heboh, semua lini sibuk menyanggah, isu demikian mendapatkan relevansi politik dan aktualitas!"

"Maka itu, menghentikan bergunjng tentang isu tersebut lalu mengesampingkan masalahnya jelas pilihan tepat!" tegas Umar. "Meski untuk itu harus siap dengan konsekuensinya! Terutama, citra baik Presiden SBY yang sempat dirusak oleh berita itu di level internasional harus direhabilitasi dengan fakta-fakta nyata tentang praktek hukum di Indonesia berjalan elegan, bersih dari campur tangan kekuasaan atau abuse of power, tidak seperti yang dituduhkan dalam WikiLeaks File!" ***

Selanjutnya.....

Gempa Sendai Jadi Bencana Nuklir!


"JURU bicara pemerintah Jepang, Yukio Ediano, mengumumkan akibat gempa Sendai di perfektur (provinsi) Miyagi Jumat, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepco di perfektur Fukushima bocor dan mengakibatkan radiasi!" ujar Umar. "Sembari berusaha mengatasi kebocoran dan merawat 160 orang korban radiasi, tim darurat bencana telah mengisolasi kawasan PLTN itu dari penduduk dengan radius sejauh 10 km, untuk tahap berikutnya diperluas menjadi 20 km!"


"Warga Jepang yang sudah berpengalaman kena serangan bom atom (sejenis dengan nuklir) justru bisa terbuka dan terus terang mengenai ancaman bencana nuklir yang sedang mereka hadapi, ekses gempa 8,9 SR dan tsunami! Tanpa kecuali, akibat radiasi bom atom Agustus 1945 terhadap warga Hirosima dan Nagasaki ada yang masih dirasakan hingga hari ini!" timpal Amir. "Kita tentu amat menghargai keterbukaan itu, meski malah jadi lebih prihatin karena tak berkemampuan teknis untuk membantu mengatasi kebocoran! Tapi tak berlebihan, kita tetap bisa memberi bantuan yang terbaik, yakni doa—semoga bencana nuklir Fukushima bisa segera diatasi, tak seburuk di Chernobyl, Rusia, 1986!"

"Setelah kebocoran instalasi nuklir Chernobyl lalu Bophal, India, dunia dihantui bencana nuklir lebih buruk yang bisa memusnahkan umat manusia dari muka bumi!" tegas Umar. "Termasuk bencana nuklir akibat gempa Sendai, meski Jepang punya standar bangunan dan instalasi tahan gempa 10 SR, tapi seperti kata PM Jepang Naoto Kan bencana ini paling dahsyat dari yang terjadi sebelumnya, penanganan superekstra diperlukan dalam mengatasi kebocoran nuklir Fukushima!"

"Memang, ada petunjuk di luar kewajaran, lebih jauh dari destruksi 8,9 SR!" timpal Amir. "Pertama terjadi pergeseran sejauh 225 cm lempeng Eurasia di titik benturan dari lempeng Pasifik! Padahal, waktu gempa dan tsunami Aceh yang dahsyat itu, lempeng Eurasia hanya bergeser 6 cm dibentur oleh lempeng Indoaustralia! Kedua, Pulau Honshu, daratan terbesar Jepang, akibat benturan keras lempeng Pasifik itu bergeser sejauh 25 meter! (Kompas, [13-3]) Hal itu perlu dikemukakan untuk menduga kebocoran instalasi nuklir bisa saja tak sekecil diumumkan, terutama dilihat dari korban radiasi seketika saja jumlahnya lebih 100 orang!"

"Perkiraan terburuk memang tak boleh dilupakan! Apalagi saat bencana beruntun, gempa diiringi tsunami, lalu disusul nuklir!" tegas Umar. "Namun harapan terbaik juga yang didambakan—warga Jepang tabah mengatasi bencana beruntun itu!" ***

Selanjutnya.....

Pers Australia Serang SBY!


"PERS Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, menyerang Presiden SBY pada hari kunjungan Wapres Boediono ke negeri itu, Jumat!" ujar Umar. "Harian The Age menyebut SBY abused power--menyalahgunakan kekuasaan, mengintervensi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh politisi korup dan menekan musuh-musuhnya! Juga menggunakan intel untuk memata-matai rival-rivalnya, termasuk menteri seniornya!"

"Tulisan pers Australia bersumber bocoran Wikileaks atas kawat-kawat diplomatik laporan Kedubes AS Jakarta ke Washington!" sambut Amir. "Sydney Morning Herald dalam tulisan di halaman 17 (Focus) menuduh Ibu Negara Ani Yudhoyono memperkaya diri melalui koneksi politik! Sedang M. Jusuf Kalla dituding menghabiskan jutaan dollar untuk mengambil alih kendali atas partai terkuat di Indonesia (pascapemilu 2004), Golkar!"


"Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Luar Negeri menyampaikan bantahan melalui Kedubes Australia di Jakarta!" timpal Umar. "Sedang Jusuf Kalla, yang saat berita itu tersiar berada di Jepang, lewat wawancara Radio Elshinta ia membantah soal jumlah uang yang dikeluarkan! Tak sampai jutaan dolar, kata Kalla, tapi hanya membayari tagihan kamar hotel peserta kongres dari daerah yang di luar tanggungan panitia! Tapi, tegas Kalla, hal-hal begitu biasa dalam partai politik di Indonesia!"
"Pernyataan Jusuf Kalla itu bisa dipercaya!" tegas Amir. "Artinya, ada hal-hal yang di Indonesia dianggap biasa, di negeri lain seperti Australia--home base Wikileaks--dianggap aneh! Atau di Jepang, Menlunya baru saja mundur karena menerima sumbangan dana politik yang dianggap ilegal setara Rp5 juta!"

"Dari situ tampak, atas isi kawat yang oleh Kedubes AS di Jakarta disebut laporan mentah, belum dikonfirmasi, terjadi perbedaan nilai dalam memahaminya!" timpal Umar. "Hal-hal yang dalam nilai-nilai Indonesia dianggap wajar, dalam persepsi negeri lain bisa terlihat aneh, bahkan abuse of power!"

"Beda rasa atas fakta antara kita dengan bangsa-bangsa lain itu bukan hal baru!" tukas Amir. "Jelas terasa kurang enak ketika yang kita rasa biasa-biasa saja, oleh mereka dianggap buruk! Seperti abused power, realitasnya dalam masyarakat kita sebatas apakah aparat penegak hukum bisa mencium dan membuktikan! Tanpa keberhasilan pembuktian itu, bangsa Indonesia justru punya kesadaran hukum tinggi dengan menjunjung asas praduga tak bersalah!"

"Maka itu, paling tepat respon Jusuf Kalla, yang penting tonjolkan substansinya dengan ekspresi dan intonasi merasa tak bersalah!" timpal Umar. "Sisanya, biarkan orang menikmati kemerdekaannya menilai sendiri!"

Selanjutnya.....

Gempa-Tsunami Melanda Jepang!


"GEMPA 8,9 SR diikuti tsunami setinggi 10 meter berkecepatan 800 km/jam melanda pesisir timur Jepang, berpusat di 130 km timur Sendai, Provinsi (Prefektur) Iwate-Miyagi, Honshu, 373 km tenggara Tokyo, Jumat pukul 14.46 waktu lokal!" ujar Umar.

"Betapa ganas terjangan tsunami terlihat dalam tayangan TV Al Jazeera, yang menurut Badan Meteorologi Jepang gempa ini terdahsyat dalam kurun 140 tahun terakhir!"

"Untuk Jepang, gempa ini melampaui gempa di Kanto, Honshu, 1 September 1923 berkekuatan 7,9 SR yang menewaskan sedikitnya 140 ribu jiwa di sekitar kawasan Tokyo!" timpal Amir. "Juga lebih besar dari Gempa Kobe 1995 yang kerugian ekonomisnya 100 miliar dolar AS, diklaim bencana alam termahal sepanjang sejarah! Nilai itu bisa dibandingkan, jika kerugian gempa-tsunami Aceh enam tahun lalu dinilai 10 miliar dolar AS!"

"Terlihat betapa ganas tsunami yang berasal dari bahasa Jepang itu melabrak dan menyeret setiap material di kota-kota pantai yang dilaluinya!" tegas Umar. "Tapi Perdana Menteri Jepang Naoto Kan meminta warganya tetap tenang, meyakini semua peranti pengamanan darurat bencana bekerja efektif! Jumlah korban jiwa sampai tadi malam memang masih relatif kecil, dibanding dengan besarnya skala bencana!"

"Tetap tenangnya Naoto Kan juga terlihat saat gempa dia sedang rapat di gedung parlemen! Ketenangan Perdana Menteri itu memberi contoh penting bagi warganya untuk tidak terlalu panik, melainkan bereaksi sesuai kebutuhan!" timpal Amir. "Teladan seperti itu bisa diberikan, salah satunya berkat keyakinan semua perangkat pengaman darurat berfungsi semestinya! Terutama peranti pengaman darurat atas gempa, dengan standar setiap bangunan baru di Jepang dibuat tahan gempa 10 SR, bahan penyekat ruang serba ringan termasuk dinding kertas! Sedang untuk tsunami, yang akrab di telinga mereka, terkait efektifnya peranti peringatan dininya!"

"Malang bencana alam gempa dan tsunami tak bisa ditolak! Kesiapan semua hal menghadapi bencana, merupakan usaha terpenting manusia—
itulah yang dilakukan bangsa Jepang—bagaimana hasil akhirnya urusan Sang Penentu Takdir!" tegas Umar. "Kerusakan dan korban jiwa tak bisa dihindari, lebih-lebih dengan bencana gempa dan tsunami sebesar itu, tapi dengan telah maksimalnya usaha manusia membuat kesiapan menghadapinya, keikhlasan menerima takdir bahkan bisa dilakukan secara rasional! Kita perlu belajar mencapai rasionalitas keikhlasan dalam menerima takdir atas bencana seperti itu!" ***

Selanjutnya.....

60% Warga Tani Lampung Miskin!


"GUBERNUR Lampung Sjachroedin Z.P. menyatakan 60% warga Provinsi Lampung dengan mata pencarian di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (PPK) hidup dalam kondisi kekurangan (miskin), baik dari sisi ekonomi maupun akses sumber daya!" ujar Umar.

"Itu dinyatakan di rakor perencanaan penyuluhan, agar dalam revitalisasi penyuluhan tercipta sinergi kegiatan berbasis ekonomi produktif dan dimensi ketataruangan, hingga peningkatan kesejahteraan terintegrasi dalam pembangunan berkelanjutan!"

"Kalaupun 60% warga tani dari tujuh juta penduduk Lampung miskin, sebenarnya tidaklah terlalu buruk!" timpal Amir. "Dibanding Libya, produksi minyak buminya 1,8 juta barel per hari, 2/3 dari 6,5 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan!"

"Realitas hidup rakyat Lampung lebih baik dari rakyat Libya yang kaya minyak bumi itu, jelas luar biasa!" tukas Umar. "Luar biasa buruk dan amat serakahnya penguasa Libya, dengan kekayaan minyak bumi berlimpah pun mayoritas rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan! Luar biasa bagi Lampung, meski 60 persen warga taninya miskin, terbukti masih lebih baik dari Libya! Meski begitu, 60 persen warga di sektor PPK yang miskin itu harus diberi prioritas pengentasannya, karena jumlah warga miskin lebih separuh dari warga di sektornya itu, juga luar biasa!"

"Tepat, Gubernur mengangkat besarnya warga miskin itu di forum perencanaan penyuluhan, karena kemajuan teknik budi daya usaha tani bisa mempercepat peningkatan taraf hidup warga tani!" timpal Amir. "Tapi untuk itu diperlukan biaya alih teknologi, sehingga pemerintah harus membantu warga tani untuk mendapatkannya! Contohnya tanaman pisang rakyat didominasi pisang berbuah kecil-kecil dan harganya murah, sehingga sama-sama satu truk dibawa ke Jakarta, uang yang diterima bisa dua kali lipat kalau isi truknya pisang kepok dan pisang raja! Untuk itu perlu mengganti tanaman pisang rakyat secara massal lewat bibit produk kultur jaringan, yang butuh dukungan teknologi dan dana pemerintah!"

"Jenis bibitnya harus ditambah dengan pisang ambon, barangan, dan cavendis, harganya bisa meningkatkan pendapatan petani!" tegas Umar. "Masalahnya, apakah Pemprov dan pemkab bisa mendukung anggaran untuk mengintrodusir teknologi budi daya bagi usaha peningkatan kesejahteraan warga tani itu? Banyak temuan dan inovasi yang bisa diadopsi, cuma kepeloporan pemerintah terutama dalam kesiapan dananya, masih perlu diperjelas!" ***

Selanjutnya.....

Sulit BBM, ‘Ngebar, Ngebir, Ngebor’!


"WARGA asing ramai kemari ngapain?" tanya Temin. "Mereka kumpul di bangunan pojok sana!"

"Bangunan di pojok itu bar!" jelas Temon. "Jadi, orang yang mojok ke sana tentunya ngebar!"

"Ngebar itu ngapain?" kejar Temin.

"Ngebar itu ngebir, minum bir!" jelas Temon.

"Ngebar dan ngebir, lalu ngapain?" tanya Temin.

"Ngebar, ngebir, lalu ngebor!" tegas Temon.

"Ngebar, ngebir, ngebor!" entak Temin. "Ngebor apa?"

"Ngebor sumur minyak bumi—BBM!" tegas Temon. "Warga asing itu pekerja tambang minyak!" jelas Temon. "Mereka tak bisa ngebor karena perusahaan tak mau bayar pajak sebelum pengeborannya mengeluarkan minyak! Sedang ketentuan UU baru yang berlaku, pajak dibayar saat mulai pengeboran, tak harus menunggu minyaknya lebih dulu keluar! Begitu kata ahli perminyakan, Kurtubi!" (Metro TV, 9-3)

"Sudah tahu itu, kok tetap di sini?" tanya Temin.

"Mereka perkirakan, banyak sumur minyak yang ada segera kering, kalau tak ngebor sumur baru jumlah produksi turun, akhirnya tak cukup untuk konsumsi!" jelas Temon,

"Saat itu terjadi, mereka pasti ditugasi ngebor sumur baru!"

"Ternyata tidak begitu!" timpal Temin. "Produksi minyak mentah kita yang sempat mencapai 1,6 juta barel per hari kini sudah merosot sampai 700 ribu barel per hari, hingga untuk konsumsi dalam negeri saja pun tak cukup! Akibatnya, kalau dulu kita anggota OPEC—negara pengekspor BBM—kini keluar dan jadi negara pengimpor BBM! Setiap hari, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, kini kita impor dari Timur Tengah 300 ribu barel!"

"Busyet! Ternyata ku banyak tahu tentang BBM!" tukas Temon. "Masalahnya, kita sekarang jadi kesulitan BBM, padahal kan tinggal ngebor!"

"Selain UU yang dibiarkan mengganjal, kita juga ditakut-takuti orang asing cadangan minyak kita hampir habis, padahal tak sepenuhnya benar!" timpal Temin. "Seperti cadangan minyak kita di bawah laut, kata Kurtubi, banyak yang belum disentuh! Dari semua itu tampak, justru yang benar adalah kenyataan pemerintah sekarang ini yang tak mampu menangani pertambangan BBM, hingga produksi terus merosot dengan alokasi impor kian membengkak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang juga terus naik!"

"Gawatnya, ketika bersiap membatasi subsidi BBM, harga BBM dunia meroket berakibat subsidinya justru membengkak!" tegas Temon. "Opsi-opsi mengatasinya pun muncul, semua punya dampak inflatoar—naiknya harga kebutuhan hidup rakyat! Ujungnya, rakyat jelata di lapisan sosial terbawah yang harus menanggung beban deritanya!" ***

Selanjutnya.....

Desakan Percepat Membangun JSS!


"DUA anggota DPR asal Lampung, Zulkifli Anwar (PD) dan Abdul Hakim (PKS), mendukung desakan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ke Pemerintah Pusat agar mempercepat pembangunan jembatan Selat Sunda—
JSS!" ujar Umar. "Untuk percepatan itu, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto menyatakan Kementerian Keuangan, Kementerian PU, dan Menko Perekonomian setuju menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membentuk Badan Pelaksana Pembangunan JSS pertengahan tahun ini! Badan ini bertugas melakukan studi kelayakan, membuat desain, dan menenderkan pelaksanaan konstruksi, Djoko optimistis tahun 2014 semua pekerjaan persiapan dasar selesai!"

"Berarti, mau didesak seperti apa pun, pekerjaan teknis-fisis pembangunan JSS baru bisa dimulai 2014!" sambut Amir. "Itu jika tak ada perubahan terkait klaim yang dibuat, seperti tersedia banyak investor asing dan lokal siap jadi mitra megaproyek berdana lebih Rp100 triliun itu, juga JSS tak terpengaruh tsunami Gunung Anak Krakatau!"

"Tapi bukan berarti Pemprov Banten dan Lampung bersama kabupaten tuan rumah JSS lantas cukup berdiam diri terima beres menunggu pusat menyelesaikan semua tugas membangun JSS!" tegas Umar. "Paling tidak, lahan kawasan gerbang kedua sisi JSS sudah dijamin beres 100 persen oleh pemda setempat, agar saat proyek selesai kelak jalan akses JSS tak ditanami pisang oleh warga karena urusan pembebasan lahannya tak beres!"

"Juga mematangkan kesiapan mental-budaya dan sosial-ekonomi warga sekitar JSS, agar peristiwa seperti di Jembatan Suramadu—baut jembatan dicopoti orang—tak terulang di JSS!" timpal Amir. "Untuk itu, upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di kedua provinsi, Banten dan Lampung, harus dipacu lebih pesat dari sebelumnya! Dengan kesiapan sosial-ekonomis warga lapisan bawah yang lebih baik, arti JSS sebagai pelancar lalu lintas barang didukung oleh tingkat produktivitas warga di satu pihak dengan daya beli untuk konsumsinya yang cukup memadai di lain pihak! Dengan begitu, arti sosial-ekonomis keberadaan JSS sebanding! Tak seperti sering dicemaskan atas megaproyek, kapasitas terpasangnya terlalu besar hingga pengembalian investasinya terlalu lama!"

"Tingkat kesebandingan sosial-ekonomi JSS bisa diprediksi cepat terpenuhi, terlihat dari arus truk yang belakangan melimpah sampai tak tertampung kapal penyeberangan!" tegas Umar. "Tapi perlu dijaga, dari limpahan muatan truk itu maksimal dari dan ke Lampung, bukan lebih dominan yang cuma numpang lewat—seperti nasib muatan kereta api barang!" ***

Selanjutnya.....

Ketidakpastian, Sulitkan Rakyat!


"PRRIITT..!" Banpol nyemprit pengendara motor. "Tak lihat larangan berputar kecuali hari libur?"

"Kulihat!" jawab pengendara. "Aku memutar di sini, karena ini hari liburku!"

"Itu berlaku hanya pada hari libur umum! Bukan libur pribadi!" tegas Banpol. "Kalau libur pribadi berlaku, bisa menyulitkan rakyat pengendara lain untuk menebak apa orang yang datang dari arah lain libur atau tidak! Salah tebak, tabrakan! Pakai ketentuan dengan logika yang berlaku umum, karena kalau pakai yang khusus pribadi begitu bisa menimbulkan ketidakpastian!"

"Ketidakpastian pula yang kau cemaskan!" timpal pengendara. "Ketidakpastian itu sudah jadi tradisi petinggi negara kita! Contohnya reshuffle kabinet, diramaikan sejak voting kasus Bank Century di DPR, sampai voting lagi kasus mafia pajak, bosan rakyat mengikuti beritanya tak kunjung ada kepastiannya! Juga soal pembatasan subsidi BBM, dari semula akan berlaku 1 Januari 2011 diundur jadi 1 April, kini diundur lagi sampai waktu yang tak ditentukan! Ketidakpastian seperti itu terus
berlangsung dari waktu ke waktu!"

"Ketidakpastian seperti itu urusan orang atas! Kita lakukan terbaik yang terkait diri kita, agar dalam kehidupan sehari-hari kita tak terjerat oleh ketidakpastian yang datang dari atas itu!" tegas Banpol. "Memang sulit mengelak sepenuhnya dari ekses ketidakpastian itu, seperti fluktuasi harga yang membuat pedagang mumet selalu!"

"Ah, kau, baru Banpol, tamtama juga belum, sok melindungi atasan dari tindakannya yang serba tidak pasti sehingga menyulitkan rakyat!" timpal pengendara. "Itu baru ketidakpastian dalam kebijakan yang akan dijalankan! Belum lagi terkait substansinya! Seperti mafia hukum dengan salah satu bentuk jaringannya, mafia pajak! Mafia-mafia itu dihabisi atau dilindungi, jadi ketidakpastian pula! Buktinya, saat kalangan DPR berusaha membongkar mafia pajak lewat hak angket, bukan hanya dijegal oleh barisan penguasa, bahkan penguasa marah hingga pemrakarsa hak angket mafia pajak ditendang keluar dari koalisi!"

"Itu, lagi-lagi, kembali ke penggunaan logika yang berlaku umum oleh para pemrakarsa hak angket bahwa mafia pajak adalah kejahatan yang harus dibongkar dan dihabisi!" tukas Banpol. "Padahal, kubu berkuasa memakai cara berpikir khusus yang berkesimpulan usaha membongkar dan menghabisi mafia pajak itu harus dijegal dengan opsi ditolak! Hasilnya terlihat ketidakpastian sikap penguasa terhadap mafia pajak, eksesnya sulit dihindarkan dari menyengsarakan rakyat!" ***

Selanjutnya.....

Lika-liku Politik Transaksional !


"AYO.., ikut ke markas!" tegas pria berseragam.

"Ke mana saja, asal sesuai tarif!" jawab wanita.

"Kau kami tangkap keluyuran mencurigakan!" entak pria. "Bicara tarif pula, sesuai dakwaan!"

"Maksudku tarif demonstrasi! Memangnya tarif apaan?" tegas wanita. "Di tempat begini pendemo bayaran menerima order! Transaksi, mau massa berapa orang, poster-spanduk dan yel-yel yang diteriakkan apa, jika bentrok tambah berapa!"


"Lebih 10 tahun caranya masih sama!" entak pria. "Sebelum tahun 2000 aku Pamswakarsa, demo bayaran zaman itu! Tapi prinsipnya sama, politik transaksional, siapa dapat apa melakukan apa!"

"Justru politik transaksional sekarang bukan lagi dominasi pemain jalanan—pendemo bayaran dan Pamswakarsa—merebak luas ke rakyat di lapisan terbawah, ke atas menajam sampai kabinet dan parlemen!" tegas wanita. "Di lapisan terbawah, rakyat yang berpengalaman pemilihan langsung, jadi lihai menghadapi tawaran dalam sistem politik transaksional untuk menentukan siapa paling berhak mendapatkan suaranya! Di tingkat atas, partai politik (parpol) menjelang pemilihan presiden sudah bertransaksi—dengan kontrak tertulis—partai dan konstituennya mendukung calon tertentu! Kalau calon itu menang, parpol pendukung dapat kursi menteri sesuai besar suara konstituennya yang tercermin pada perolehan kursi di DPR! Dalam kontrak juga disepakati, para wakil partainya di DPR terikat koalisi, wajib menaati garis partai pemimpin koalisi!"

"Mentransaksikan suara konstituen dengan kursi menteri kabinet itu di era 1950-an disebut politik dagang sapi!" timpal pria. "Model itu masih lebih baik ketika terbukti parpol zaman itu tetap gigih memperjuangkan kepentingan konstituennya, hingga kabinet (parlementer) sering jatuh akibat perubahan komposisi parpol pendukung di DPR!"

"Politik transaksional sekarang cenderung lebih buruk, karena parpol pendukung koalisi tak bisa lagi mengekspresikan aspirasi atau kepentingan konstituennya! Satu-satunya kepentingan yang harus diikutinya di DPR hanya garis perjuangan parpol pemimpin koalisi!" tukas wanita. "Dengan tradisi politik Indonesia parpol terbentuk oleh aneka aliran budaya, agama, dan sosial-politik, garis kebijakan parpol pemimpin koalisi dengan itu tak terjamin nyambung dengan kepentingan konstituen parpol pendukung koalisi, bahkan bisa bertentangan! Akibatnya, demi kekuasaan yang diperoleh elite parpol (kursi menteri), kepentingan konstituen dan rakyat umumnya dikorbankan! Itulah keburukan politik transaksional masa kini!" ***


Selanjutnya.....

Akhlak Politik, Amar Makruf Nahi Mungkar!


"APA cerita Kiai Husin, guru ngajimu semasa kecil itu, hingga kau lupa kita harus siap pulang ke kota sebelum asar?" tanya Amir.

"Cerita soal partai-partai politik (parpol) berbasis massa kaum saleh!" jawab Umar.

"Mungkin akibat terlalu lama tak ada teman bicara yang tak segan mengkritisi ucapannya, dia jadi bersemangat jika kusangkal asumsinya! Misalnya tentang tradisi amar makruf nahi mungkar—memperjuangkan kebenaran/kebajikan dan memerangi kejahatan/keburukan—sebagai dasar moralitas dalam mengekspresikan akhlak politik, cenderung makin ditinggalkan parpol berbasis massa kaum saleh itu demi orientasi yang makin kuat pada kekuasaan!"

"Penilaian Kiai Husin itu benar 100 persen!" entak Amir. "Kau sangkal dengan dalih apa pula?"

"Bahwa cara berpikir elite parpol tidak lagi hitam-putih seperti Kiai Husin, kalau tidak makruf berarti mungkar! Di antara hitam dan putih ada abu-abu!" jelas Umar.

"Lalu dia berkeras, warna abu-abu sebagai bentuk yang meragukan hanya boleh dijadikan pilihan sepanjang tidak bertentangan dengan sang makruf! Sedang pada elite parpol-parpol itu, dipilih justru sebagai usaha melindungi dan berpihak pada kemungkaran dan kejahatan—
semisal mafia pajak yang merongrong keuangan negara hingga menyengsarakan rakyat! Berarti, elite parpol-parpol itu mengorbankan rakyat dan bersyubhat dengan kekuatan jahat semata demi kekuasaan sebagai imbalannya!"

"Bagaimana pula kau sangkal itu?" kejar Amir.

"Bahwa keberpihakan pada mafia dan kejahatan itu demi orientasi pada kepentingan yang lebih tinggi serta luhur!" jawab Umar. "Yakni, akhlak berkoalisi, yang berulang-ulang diucapkan ketua partai induk koalisi, akhlak berkoalisi adalah harus selalu satu sikap dan satu bahasa!"

"Apa kata Kiai Husin atas kilahmu itu?" tanya Amir.

"Kembali ke kebiasaannya, setelah debat melewati argumen tahap ketiga, yang menurut Kiai Husin jika dilanjutkan hanya akan jadi debat kusir, dia lantas mengambil kitab kuning!" jawab Umar. "Ia buka satu halaman, disuruhnya aku membaca, untung aku masih ingat huruf Jawi—Arab gundul! Bunyinya, 'Untuk menuju Allah, ada dua langkah yang disukai-Nya. Pertama, langkah kamu untuk mengokohkan barisan di Jalan Allah. Kedua, langkah kamu untuk menyambungkan kasih-sayang. (Al Bihar, 78: 58)"

"Berarti Kiai Husin bisa menerima argumentasimu membela pimpinan parpol-parpol berbasis massa kaum saleh dalam koalisi?" timpal Amir.

"Dengan syarat!" jawab Umar. "Kasih sayang yang dipintal itu dalam bingkai amar makruf!" ***

Selanjutnya.....

PKS, 'Hukuman' Ditendang Keluar dari Koalisi!


"PERNYATAAN Juru Bicara Presiden Julian Pasha tentang rencana reshuffle sudah final, bisa diartikan tinggal soal waktu 'hukuman' pada PKS ditendang keluar dari koalisi dilakukan!" ujar Umar. "Hukuman' itu dijatuhkan akibat dinilai melanggar kesepakatan saat PKS mendukung hak angket mafia pajak di DPR, berlawanan dengan Partai Demokrat selaku pimpinan koalisi yang menolak hak angket itu!"

"Apa mungkin 'hukuman' seberat itu?" sela Amir.

"Itu justru dilihat dari tegasnya ucapan Presiden SBY Selasa lalu saat bicara tentang mitra koalisi!" jawab Umar. "Setidaknya, PKS harus siap andai hukuman terberat itu dipilih penguasa koalisi!"

"Kalau 'hukuman' berat itu yang diterima, betapa mahal pelajaran yang harus dibayar PKS dengan berkoalisi!" tukas Amir. "Warga yang mengikuti proses politik tentu masih ingat, PKS bergabung koalisi beberapa menit menjelang deklarasi pasangan SBY-Boediono sebagai calon presiden-wakil presiden di Bandung! Presiden PKS Tifatul Sembiring hari itu menandatangani kontrak PKS (dan konstituennya) memberikan pilihan pada pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009! Koalisi itu mahal, karena setelah PKS dan konstituennya memenangkan pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009, setiap PKS menyuarakan nurani sesuai amanah moral umat dan konstituennya justru mendapat ancaman ditendang dari koalisi!"

"Bisa lebih mahal lagi harga yang harus dibayar PKS jika setelah menyerahkan suara konstituen memenangkan pasangan SBY-Boediono itu, juga harus menyerahkan nuraninya dicopot dari amanah moral umat dan konstituennya!" timpal Umar. "Untuk itu, wajar jika tak perlu menghitung lebih jauh seberapa besar arti segala sesuatu yang telah PKS berikan pada koalisi! Karena, jauh lebih berarti dan lebih penting bagi PKS menjaga komitmennya untuk tetap di jalan moral yang diamanahkan umat dan konstituennya itu!"

"Kesiapan buat keluar dari koalisi memang sudah terlihat matang di semua lapisan jajaran partai dakwah itu!" tegas Amir. "Bahkan dari daerah-daerah mengarus keras desakan untuk keluar dari koalisi, seperti yang disampaikan lewat siaran pers DPD PKS Solo. 'Koalisi dan SBY justru sudah keluar dari semangat untuk menciptakan clean and good government sehingga sudah selayaknya untuk tidak dipertahankan!' tegas Muhammad Ikhlas Thamrin, ketua bidang politik dan hukum DPD PKS Solo." (CiberNews, 3-3, 17.57).

"Sejak awal koalisi itu cenderung cuma hasrat tokoh pusat PKS!" timpal Umar. "Maka itu, keluar dari koalisi disambut gembira pengurus di daerah, karena kembali bersih dari noda koalisi!" ***

Selanjutnya.....

CSR, Bukan Cuma Penyisihan Laba!


"CSR—corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan)—yang sedang diidam-idamkan kalangan politisi daerah (eksekutif dan legislatif) di Lampung, bukan cuma dana yang disisihkan dari laba perusahaan!" ujar Umar. "Tapi jauh lebih luas baik dalam makna istilah maupun praktek operasional pelaksanaannya!"

"Memang!" sambut Amir. "Di Indonesia, jauh hari sebelum lahir UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dengan pasal 74 yang menetapkan kewajiban perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan, dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah diatur dan dilaksanakan dengan baik program CSR! Ini dijadikan semacam 'politik etis' pemerintah, guna membedakan badan usaha milik pemerintahan negara merdeka dari badan usaha milik kapitalis di zaman kolonial yang enclave—tertutup dari kepentingan warga sekitar secara sosial dan ekonomis!"

"Filosofi dasar CSR di Indonesia untuk menghapus enclave—segala pembatas antara perusahaan dan warga sekitar lokasi usahanya, membuat kedua pihak terjalin dalam komunikasi langsung dan hidup berdampingan secara rukun dan harmonis saling mengisi dan saling mendukung!" tegas Umar. "Berbagai hal yang telah dilakukan selama ini dalam realisasi CSR, selain membantu modal usaha warga sekitar, juga dilakukan program community development—pembangunan sarana lingkungan perkampungan warga, seperti jalan, sekolah, rumah ibadah dan sebagainya!"

"Itu saja belum cukup!" timpal Amir. "Hal penting dalam CSR adalah pemberian prioritas kepada warga sekitar dalam rekrutmen karyawan! Ini bukan dengan mengadu anak-anak lokal dengan warga luar dalam testing penerimaannya, yang sering anak lokal justru tersisih! Dalam CSR, agar anak-anak lokal mampu menangani pekerjaan dengan kualifikasi teknis tertentu, perusahaan memberi pelatihan, sekaligus masa magang untuk menyesuaikan kemampuan dan bidang kerjanya!"

"Di Eropa, meski tak diatur dengan UU seperti di negeri kita (nantinya), banyak perusahaan besar menjalankan CSR sebagai strategi bisnis yang dikelola bagian promosi!" tegas Umar. "Kegiatan CSR didukung dana promosi yang besar, karena semakin kuat kesan korporasinya berakar dalam masyarakat, ramah lingkungan sosial dan alam, makin kuat pula posisinya di pasar saham!"

"Dari situ tampak CSR itu kegiatan multiguna!" timpal Amir. "Menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan warga sekitar lokasi usaha justru memberi benefit berupa corporate image yang baik didukung kenyamanan berusaha!" ***

Selanjutnya.....

Presiden pun Bicara soal Koalisi Partai!


"AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun bicara soal koalisi partai pendukung SBY-Boediono!" ujar Umar. "Meski tak menyebut partai atau kasus hak angket mafia pajak di DPR, SBY mengingatkan adanya komitmen berkoalisi yang disepakati dan secara eksplisit ditandatangani untuk ditaati dan dipatuhi! Tapi, dengan kecewa SBY menukas adanya partai yang ke depan harus siap tegas dan jelas menaati komitmen itu!"

"Respons SBY atas kontradiksi Partai Golkar dan PKS dengan Partai Demokrat sebagai pemimpin koalisi dalam usulan hak angket mafia pajak di DPR itu dibaca orang sebagai isyarat dekatnya reshuffle kabinet, mengganti menteri-menteri dari Golkar dan PKS! Reshuffle kabinet itu hak prerogatif presiden!" sambut Amir. "Namun, sejauh ini belum ada yang berspekulasi bagaimana akhir nasib koalisi—semisal mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi, sekaligus mencopot semua menteri dari kedua partai! Mungkinkah akhir sedramatis itu dipilih SBY, memenuhi maksimal desakan elite Partai Demokrat?"

"Sampai terjadinya pertarungan hak angket mafia pajak itu di DPR, jelas sebagai bukti kelemahan Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi!" tegas Umar. "Masa koalisi partai berkuasa yang mengatur negara berpenduduk 237 juta jiwa, tak bisa menyatukan visi di dapur politiknya sehingga membawa pertempuran antarsesama kekuatan dalam koalisi tersebut ke ruang publik! Konsekuensi logisnya, bagaimana mau mengatur negara sebesar ini, jika mengatur sejumlah orang dalam forum Setgab saja mereka tak mampu?"

"Tak bisa disatukannya visi antarpartai koalisi itu mungkin akibat dalam kesepakatan yang dibuat lebih berorientasi pada kepentingan kekuasaan! Sehingga, ketika terbentur perbedaan pandang terhadap sesuatu yang berorientasi nilai universal, tak bisa diatasi akibat keyakinan masing-masing partai pada kebenaran visinya!" timpal Amir. "Itu terjadi pada penilaian pentingnya menyingkap penyimpangan dalam pengelolaan pajak agar bisa dilakukan pembenahan demi terciptanya sistem perpajakan yang efektif dan efisien, serta terjamin bebas dari kebocoran! Ternyata dalam koalisi ada partai yang tak sama visinya dengan prinsip itu, dengan akibat bukan saja mereka harus mengganjalnya di forum paripurna DPR, bahkan siap koalisinya berantakan!"

"Dengan semua itu jadi semakin menarik pilihan keputusan yang bakal diambil SBY dalam koalisi terkait kasus hak angket pajak!" tegas Umar. "Tapi salah-salah menarik keputusan bisa jadi blunder, terkesan koalisi berkuasa promafia pajak!" ***

Selanjutnya.....

Terbukti, Mafia Pajak itu Sakti!


"PARA menteri dari Golkar dan PKS mau diganti, ya?" tanya Umar. "Dari angkot pindah ke bus kota, bicara orang soal itu-itu juga!"

"Bisa jadi!" timpal Amir. "Partai Demokrat, kata Marzuki Alie, telah menyampaikan itu ke Ketua Dewan Pembina! (Metro TV, 28-2) Itu konsekuensi Golkar dan PKS kalah voting hak angket mafia pajak di DPR, meski didukung PDIP dan Hanura!"

"Kalah voting cuma dua suara!" entak Umar. "Itu terjadi akibat sebelum paripurna itu belasan anggota DPR dari Golkar dan PDIP ditahan KPK untuk kasus pemilihan deputi senior gubernur BI! Itu pun tak masalah jika Gerindra yang biasa satu barisan dengan PDI-P dan Hanura, saat itu tak tiba-tiba beralih ke kubu Demokrat!"

"Semua proses yang berujung pada kalahnya kubu pendukung hak angket mafia pajak, dengan akibat Golkar dan PKS bisa kehilangan menteri-menterinya dari kabinet, menunjukkan betapa sakti mafia pajak itu!" tukas Amir. "Tanpa adanya angket mafia pajak di DPR, bisa dibayangkan bakal nyamannya beroperasi mafia pajak di negeri ini! Seperti penyingkapan skandal mafia pajak di lingkaran Gayus Tambunan setelah kasusnya dibongkar oleh Susno Duadji, berjalan lamban! Bahkan yang namanya disebut-sebut Gayus di pengadilan pun, bisa tetap tenang!"

"Betapa tak kuat kalau 151 perusahaan dikurangi tiga Bakrie Group, jadi ada 148 perusahaan, punya kepentingan agar isi kolor perusahaan mereka tak dibeberkan di DPR!" timpal Umar. "Artinya, kubu penolak hak angket pajak di DPR itu bukan berdiri di atas angin! Tapi, memang ada kekuatan dan kepentingan nyata yang harus dilindungi dari tindakan politik yang bisa menyusahkan ke-148 pemilik-pengelola perusahaan tersebut!"

"Tapi bagaimana dengan kebocoran penerimaan pajak yang menurut Nudirman Munir dari Golkar per tahunnya Rp300 triliun?" tukas Amir. "Apakah itu sebanding dengan 'tak ada makan siang gratis' dalam langkah politik yang penting itu, seperti diucapkan di Metro TV (28-2) oleh seorang tokoh partai yang jadi ikut menolak hak angket pajak?"

"Untuk kepentingan politik partai yang sampai tega mengorbankan pentingnya arti pajak bagi rakyat, apalagi langkah politik itu ditempuh demi kenyamanan beroperasi jaringan mafia pajak dan banyak perusahaan besar yang terlibat, nilainya jelas tak sekadar 'makan siang gratis!" timpal Umar. "Begitu politik! Bukan kepentingan rakyat untuk lebih cepat mencapai kesejahteraan dengan kesempurnaan penerimaan pajak diutamakan! Tapi, konstelasi kekuasaan yang harus selalu menjadi prioritas!" ***

Selanjutnya.....