Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Konsolidasi Ideologi NII!


"NII—Negara Islam Indonesia yang oleh aktivisnya di Lampung juga disebut En-Sebelas—dapat angin segar!" ujar Umar. "Menko Polhukam Djoko Suyanto menegaskan, NII bukan ancaman karena belum menghimpun kekuatan perlawanan secara masif untuk mengganti (bentuk) negara!"

"Kenapa penegasan sikap pemerintah sedemikian kau sebut angin segar buat NII?" tanya Amir.

"Karena NII menjadi lebih nyaman untuk melakukan konsolidasi ideologinya, yakni ideologi negara Islam sebagai pengganti negara Pancasila—yang mereka buat semakin hambar penghayatannya di kalangan warga bangsa!" jawab Amir. "Sekaligus mematangkan radikalisme, cara mencapai tujuan dengan kekerasan dalam ideologi itu, seperti praktek NII era DI/TII dan Komando Jihad!"

"Apa isyarat atau pertanda konsolidasi ideologi NII itu selama ini telah berlangsung dan mendapat pembiaran dari pemerintah?" kejar Amir.

"Lihat saja hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian dari UIN Syarif Hidayatullah di bawah pimpinan Prof. Bambang Pranowo, 49% pelajar SMP-SMA setuju aksi radikal berlabel agama, dan menyatakan Pancasila sudah tidak relevan! (Koran Tempo, 26-4)," tegas Umar. "Bandingkan dengan aksi-aksi kekerasan Komando Jihad yang digerakkan NII pada 1976, pelakunya banyak direkrut dari kalangan pelajar!"

"Tapi menurut mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, (Kompas, 30-4) lahan subur radikalisme yang di antaranya menjadi terorisme di Indonesia terdapat pada ketidakadilan dalam berbagai bidang yang dirasakan masyarakat!" sela Amir.

"Memang!" sambut Umar. "Tapi radikalisme perlu ideologi untuk menjelma menjadi gerakan kekerasan yang terorientasi! Contohnya Pepi Fernando, otak pelaku bom buku dan bom Serpong, menjadi teroris setelah mengamalkan ideologi NII!"

"Kalau konsolidasi ideologi NII berjalan senyaman itu, warga yang setuju radikalisme berlabel agama dan menganggap Pancasila tak lagi relevan menjadi lebih luas, sekali bangkit menjadi gerakan masif, apa tak kewalahan pemerintah mengatasinya?" tanya Amir.

"Sekarang saja sering disebut televisi, sudah ratusan ribu massa NII di sekitar Jabodetabek!"

"Masalah ruwet jika estimasi pemerintah salah!" tegas Umar. "Untuk bertindak, pemerintah tetap menunggu aksi kekerasan masif dari NII. Ternyata yang muncul bukan kekerasan tapi aksi damai. Tapi karena jumlahnya yang amat besar dan meluas di seantero negeri, melumpuhkan sendi-sendi kekuasaan! Ujungnya, pemerintah terpaksa takluk pada tuntutan massa, seperti di Mesir, atau justru jadi promotor kekerasan seperti Khadafi!" ***


Selanjutnya.....

‘Kabah Pusat Dunia’, Peluang Jam Hijrah!


"TERJEMAHAN Indonesia oleh Iwan Nurdaya-Djafar buku Al-Ka'bah Markaz Al-A'lam (Kabah Pusat Dunia) karya Saad Muhamad Al-Marsafi, dibahas di Bandar Lampung, Jumat!" ujar Umar. "Menurut penerjemah, dengan berbagai dukungan temuan ilmiah, fakta itu bisa dijadikan dasar mewujudkan standar waktu Kabah bagi jam Hijriah, melengkapi almanak Hijriah yang tanggal, hari, bulan, dan tahunnya sudah ada selama ini!"

"Peluang itu ideal, tapi harus dikaji dan diuji lebih jauh!" sambut Amir. "Karena, meski membuat jam Hijriah dengan patokan standar waktu Kabah secara prinsip tak ada masalah seperti banyaknya variabel pengukur dalam berbagai hal, misalnya termometer, ada Celsius ada Fahrenheid, sehingga dalam stantar waktu ada Greenwich juga, apa salahnya ada waktu Kabah, konsekuensi dari penetapan itu terkait syariah perlu dipelajari!"

"Setuju! Konsekuensinya pada masyarakat muslim jauh lebih penting disimak ketimbang resistensi Barat terhadap patokan waktu baru itu, karena patokan waktu Greenwich itu dulunya ditetapkan hanya lewat kesepakatan sejumlah negara semata, karena di tempat itu ada observatorium, bukan berdasar posisinya secara ilmiah sebagai pusat dunia seperti halnya Kabah!" tegas Umar. "Karena itu, selain dasar-dasar ilmiah yang sudah ada dan cukup kuat, penyempurnaan masih perlu pada dasar-dasar sosio-psikologis, terutama di kalangan umat muslim untuk bisa menerima jika waktu Kabah ditetapkan sebagai patokan jam Hijriah! Justru dalam lingkungan warga muslim sendiri terjadinya suatu perubahan amat rentan konflik, tanpa kecuali penetapan waktu Kabah sebagai jam Hijriah itu nantinya secara ilmiah dari semua dimensinya telah memenuhi syarat!"

"Penetapan jam Hijriah dengan patokan waktu Kabah menggantikan jam Masehi dengan patokan waktu Greenwich memang harus dilakukan setelah segalanya matang!" timpal Amir.

"Sebab, dalam waktu Greenwich perubahan hari pada pukul 00.00 dilakukan di Pasifik, jika dengan jam Hijriah perubahan hari dilakukan di Kabah, terjadi perubahan hari pada wilayah mulai Pasifik sampai Kabah! Misalnya Indonesia (WIB) yang semula empat jam lebih cepat dari Mekah, jika peralihan hari pukul 00.00 di Kabah, saat itu di kawasan WIB 20 jam lebih lambat dari hari baru di Mekah itu!"

"Itu yang sering terjadi selama ini!" entak Umar. "Ketika hisab dan rukyat berpadu serasi, Idulfitri atau Iduladha di Tanah Suci justru sehari lebih cepat dari kawasan WIB!"

"Hanya kebetulan itu!" timpal Amir. "Tapi sebagai wacana, jam Hijriah dan waktu Kabah menarik!" ***


Selanjutnya.....

‘Royal Wedding’, Cukup Satu Hari!


"PROSESI pernikahan agung kerajaan—the royal wedding—antara Pangeran William dengan Kate Middleton hari ini di London, menjadi pernikahan yang disaksikan dua miliar warga dunia lewat siaran langsung televisi dan internet!" ujar Umar. "Hal itu sesuai persiapannya, CNN melibatkan 400 orang di lokasi pengambilan gambar, CNBC 300 orang, dan seterusnya yang membuat orang di tempat kerja atau di jalan tetap bisa menyaksikan lewat ponsel mulai pukul 16.00 WIB sore ini!"

"Dibanding dengan pernikahan orang tua William, Pangeran Charles-Lady Diana Spencer di Katedral St. Paul 29 Juli 1981, pernikahan hari ini secara kualitatif kalah agung karena hanya digelar di Gereja Westminster Abbey!" timpal Amir. "Tapi dilihat dari jumlah penonton langsung lewat televisi yang waktu itu oleh 750 juta orang, maka pernikahan William-Kate belum ada duanya!"

"Tapi kenapa sampai miliaran orang siap nonton acara pernikahan pangeran itu?" tanya Umar.

"Jelas menarik, karena orang biasa saja saat menikah didandani dan dijadikan raja sehari menarik disaksikan!" jawab Amir. "Apalagi dalam pernikahan agung itu yang menikah raja beneran, pewaris mahkota raja sungguhan!"

"Tapi kenapa pernikahan agung raja sungguhan itu cukup dilakukan hanya dalam satu hari, sedangkan di kampungku upacara pernikahan tak dianggap agung jika tidak dilakukan tujuh hari tujuh malam?" kejar Umar.

"Pernikahan raja sungguhan jelas cukup dilakukan hanya dalam satu hari, sesuai kesempurnaan upacaranya, karena eksistensinya sebagai raja sudah teruji dalam darah daging bawaan lahir!" jelas Amir. "Sedangkan di kampungmu, selain kesempurnaan upacara pernikahannya memang disiapkan lebih dari satu hari, lebih banyak waktu lagi diperlukan untuk mengangkat eksistensinya sebagai raja—sekalipun sebatas gelar untuk status simbol, bukan raja dalam arti kekuasaan efektif!"

"Terbukti, dengan tujuh hari tujuh malam pesta pernikahan di kampungku lebih agung dari royal wedding sekalipun!" tegas Umar.

"Soal itu tak ada yang bisa membantah!" timpal Amir. "Tapi kalau pesta pernikahan raja beneran saja cukup satu hari, kenapa di kampungmu yang maksudnya juga mengangkat derajat keluarga dan pengantin jadi setingkat raja tak dilakukan sama dengan pelaksanaan pada raja asli saja? Bukankah pilihan cara yang sama lebih afdal?"

"Kalau dilakukan seperti raja asli, lantas apa lagi pembedanya?" entak Umar. "Justru karena dibuat tegas pembedanya itulah, kudukung sepenuhnya pesta tujuh hari tujuh malam di kampungku!" ***


Selanjutnya.....

49% Pelajar Setuju Aksi Radikal Agama!


"JALAN kekerasan ternyata jadi pilihan pelajar negeri kita justru lewat mata pelajaran agama!" ujar Imar. "Hasil penelitian terhadap pelajar SMP-SMA oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian dipimpin Prof. Bambang Pranowo dari UIN Syarif Hidayatullah, menyebutkan 49% pelajar setuju aksi kekerasan berlabel agama! Menurut pelajar, Pancasila juga tak relevan!" (Koran Tempo, 26-4)

"Gawat sekali hasil penelitian itu!" sambut Amir. "Tapi pasti ada alasan rasional jika sejumlah besar pelajar saksama memilih jawaban senada begitu! Misal, apa lewat jalan nonkekerasan dan nonlabel agama, seperti pengadilan, demokrasi, atau pemerintahan bangsa kita bisa menyelesaikan aneka masalah benar-benar adil? Jika di jalan-jalan itu ternyata dinilai gagal oleh para pelajar, jalan kekerasan berlabel agama sebenarnya justru merupakan peluang sempit yang memang kita sisakan sebagai alternatif tunggal buat mereka!"

"Berarti bukan salah pelajaran atau pengajaran agama di sekolah! Melainkan, justru realitas kehidupan berbangsa kita yang membuat mereka tak punya pilihan lain!" tegas Umar. "Karena itu, jelas keliru dan sia-sia menjadikan mata pelajaran agama di sekolah sebagai scape goat—kambing hitam—dari sikap pelajar kita yang cenderung gandrung kekerasan itu! Pokok masalahnya justru pada cara orang tua mengelola negara-bangsa yang nyata-nyata telah gagal mewujudkan keadilan lewat berbagai dimensi formal!"

"Realitas sedemikian tak bisa dibantah!" timpal Amir. "Artinya, pilihan berani 49% pelajar itu yang harus dijadikan dasar bagi orang tua—terutama yang berkuasa—untuk introspeksi, kenapa gagal menciptakan keadilan lewat jalan nonkekerasan, sehingga jalan kekerasan jadi pilihan pelajar! Itu juga tak terlepas dari penilaian pelajar, Pancasila tidak relevan—karena yang selama ini mereka saksikan cuma praktek seolah-olah itu Pancasila, bukan praktek dari Pancasila yang sejatinya! Jadi, untuk mengubah kesan para pelajar itu terhadap Pancasila, para aktor kekuasaan—dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif—harus mempraktekkan yang sejatinya nilai-nilai Pancasila!"

"Dengan demikian lebih jelas, yang salah bukan pelajaran agama di sekolah, apalagi NII gadungan yang cuma cari korban pemerasan lewat hipnotis dan cuci otak!" tegas Umar.

"Kesalahan justru pada orang tua yang berkuasa, karena telah gagal mewujudkan keadilan dalam berbagai dimensi dan substansinya dengan cara-cara nonkekerasan, serta mempraktekkan Pancasila sekadar dalam keseolah-olahan, tidak tulus mengatualisasikan Pancasila dengan nilai-nilai yang sejatinya!" ***


Selanjutnya.....

Lampung 5 Besar 'Parasamya' Baru!


"LAMPUNG masuk lima besar provinsi terbaik versi Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) yang diumumkan pada acara Hari Otonomi Daerah Ke-15 di Bogor, Senin (25-4)!" ujar Umar. "Kinerja tertinggi dicapai Sulawesi Utara, disusul Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan! (Radar Lampung, 26-4)
Pelaksanaan EKPPD ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah!"

"Seharusnya Lampung yang nomor satu dalam evaluasi kinerja pemerintahan itu, dengan bukti nyata NTP (nilai tukar petani) Lampung 118,6 pada akhir Maret 2011, tertinggi nasional jauh di atas rata-rata NTP nasional 103,4!" timpal Amir. "Lantas apa yang diunggulkan dari Sulawesi Utara untuk diposisikan teratas itu?"

"Hal objektif yang membuat Sulawesi Utara di tempat tertinggi, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan APBD-nya yang mendapat penilaian wajar tanpa pengecualian—WTP!" tegas Umar. "Prestasi itu untuk tahun ini pada tingkat provinsi hanya bisa diraih Sulawesi Utara! Sulsel yang menempel di posisi kedua cuma mencapai wajar dengan pengecualian—WDP!"

"Kalau itu dasarnya, salut buat Sulawesi Utara! BPK punya integritas dan kredibilitas tinggi!" timpal Amir. "Hal berintegritas jadi dasar penilaian akan membedakan EKPPD dengan Parasamya Purnakarya Nugraha, penghargaan untuk provinsi di zaman Orde Baru yang kehilangan integritas hingga terpaksa dihapus pada era reformasi!"

"Sama-sama penghargaan untuk provinsi, apa beda EKPPD dengan Parasamya?" tanya Umar.

"Diharapkan berbeda dalam memaknai data, yang sama-sama jadi dasar penilaiannya—PP 6/2008 (Pasal 1, Ayat 14) menyebutkan, suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis!" jawab Amir. "Data dalam Parasamya cenderung dimaknai ‘dana taktis', hingga menjadi ajang perebutan gengsi para kepala daerah! Pemaknaan sedemikian agaknya masih berlanjut pada Adipura sekarang, sehingga wali kota Bekasi masuk bui akibat korupsi gara-gara ingin meraih Adipura!"

"Kalau begitu perlu dibuat garis tegas pembeda EKPPD dengan Parasamya, yakni nilai utamanya hasil kerja lembaga berintegritas seperti BPK, Badan Pusat Statistik (BPS) untuk NTP, lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk indeks pelayanan publik!" timpal Umar. "Dasar penilaian sedemikian selain menghasilkan pemerintahan bersih, juga bermanfaat pada rakyat—NTP dan pelayanan publik jadi terjaga selalu prima!" ***


Selanjutnya.....

Aksi Kerah Putih Makin Ramai Saja!


"SENIN (25-4) aparat penegak hukum unjuk gigi!" ujar Umar. "Kejaksaan Agung menyingkap korupsi proyek KTP elektronik di Cilacap, Jawa Tengah, senilai Rp1,1 miliar! Disusul KPK menangkap tangan pejabat sekretariat Menegpora dan kontraktor fasilitas SEA Games Palembang, dengan ratusan juta uang tunai termasuk dolar AS, Australia, dan Euro! Terakhir polisi, mengungkap pembobolan dana Elnusa—anak perusahaan Pertamina—di Bank Mega sebesar Rp111 miliar!"

"Dahsyat!" sambut Amir. "Aksi penjahat kerah putih tampak semakin ramai saja! Malinda Dee masih jadi buah bibir, untuk kasus pembobolan dana nasabah puluhan miliar, kini muncul kelas yang lebih besar, ratusan miliar!"

"Lebih seru lagi, ada otak yang bermain di balik pembobolan dana Elnusa lebih 100 miliar itu yang ternyata buronan polisi sejak 1999, Richard Latif! (Kontan Online, 25-4). Ini tak kalah spektakuler dari Gayus Tambunan atau Malinda Dee!" tegas Umar.

"Bayangkan, pembobolan dana perusahaan publik milik negara dari bank swasta yang dikenal sangat berhati-hati bisa terjadi dengan diotaki buronan kasus pembobol bank! Kata Kanit Fiskal, Moneter dan Devisa Dit. Ekonomi Khusus Polda Metro Jaya, Kompol Sinto Silitonga, Richard itu otak pelaku delapan kasus pembobolan rekening!"

"Bagaimana orang bisa selicin itu?" sela Amir.

"Menurut Sinto, Richard Latif lihai mengambil hati korbannya dengan kemampuannya berbahasa! Ia menularkan virus kejahatannya kepada calon korbannya, termasuk pihak bank dan pemilik dana!" jelas Umar. "Dengan kemampuan yang dia dapat secara otodidak, ia cuma bisa mendekati pejabat bank tingkat cabang! Belum bisa tembus ke pejabat bank tingkat pusat!"

"Wah, fotonya harus dipampangkan di televisi dan koran, supaya pejabat bank di cabang-cabang tak sempat kena rayu Richard Latif!" tegas Amir.

"Sebentar lagi fotonya pasti disebar polisi karena Richard Latif bersama lima tersangka lain yang terlibat pembobolan dana Elnusa, telah ditangkap polisi!" tegas Umar. "Celakanya nanti, kalau justru Richard Latif yang membuktikan pelaku langsung pembobolan itu orang dalam, baik orang dalam Elnusa maupun orang dalam bank! Sedang selaku otak, ia hanya bermain sebagai aktor intelektual—
membuat skenario dan menikmati bagi hasilnya!"

"Anehnya, kenapa para pejabat perusahaan besar dan bank bisa dia pengaruhi?" tukas Amir.

"Menurut Sinto, konsep Richard Latif dengan membagi-bagi sebagian hasil kejahatan, mereka akan lolos!" jelas Umar. "Tapi kali ini sial, belum sempat bagi-bagi keburu tertangkap!" ***


Selanjutnya.....

Di Tumijajar, Dua Tewas Terkapar!

"TAK masuk akal di Tumijajar yang warganya ramah, dua warga luar kabupaten tewas terkapar oleh peluru senjata api!" entak Umar. "Tumijajar itu persimpangan strategis di Kabupaten Tulangbawang Barat dengan pompa bensin (SPBU)-nya, pertemuan jalan dari Gunungbatin (Lampung Tengah) dengan Dayamurni (tembus ke Kotabumi Lampung Utara), dan Panaragan (arah Menggala, Tulangbawang)."

"Memang tak masuk akal jika konteks masalahnya Tumijajar!" timpal Amir. "Pada kejadian yang menggemparkan itu, Tumijajar hanya sebagai tempat bentrok warga Gunungbatin, Kecamatan Terusan Nunyai, Lampung Tengah, dengan aparat Polsek Tulangbawang Udik! Itu terkait tewasnya Sahab, warga Gunungbatin, oleh peluru anggota Polsek tersebut, juga tempat polisi menghadang warga Gunungbatin yang menuju Mapolsekta, menewaskan kerabat Sahab, Anton!"

"Itu dia! Berarti, baik terkait kedua korban tewas maupun pokok masalah konfliknya, sama sekali tak ada sangkut paut dengan warga Tumijajar!" tegas Umar. "Namun demikian tetap saja warga Tumijajar dirugikan nama baiknya karena jadi terkenal dengan peristiwa menggemparkan yang negatif itu, selain warganya juga trauma dijadikan arena bentrok yang menelan korban jiwa!"

"Disimak dari awal kasusnya, kerugian moril dan materiil yang diderita warga Tumijajar tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pihak kepolisian!" timpal Amir. "Karena itu, selain tindakan formal yang telah diambil pimpinan kepolisian daerah Lampung terhadap jajarannya, rehabilitasi moriil bagi warga Tumijajar juga perlu dilakukan oleh pimpinan polisi daerah!"


"Lantas kepada warga Gunungbatin?" sela Umar.

"Harus lebih serius, apalagi jika fakta sementara benar, anggota polisi menembak tewas Sahab hanya karena kurang senang melihat gaya Sahab menggoda biduan organ tunggal!" jawab Amir. "Artinya, hanya dengan alasan sepele itu seorang anggota polisi mengeksekusi mati Sahab tanpa putusan sidang pengadilan!"


"Tapi kayaknya tak ada pendekatan basa-basi yang sebanding bagi warga atas kehilangan nyawa Sahab yang sedemikian itu!" timpal Umar.

"Tapi pendekatan hablun minannas harus tetap ditempuh agar silaturahmi sesama komponen bangsa tetap terpelihara, terutama dalam posisi polisi sebagai pengayom masyarakat!" tegas Amir. "Memang, polisi tak bisa berharap ketulusan yang penuh dari warga, namun maaf formal diperlukan karena kepolisian tak bisa menjamin putusan pengadilan atas kematian Sahab dan Anton akan memuaskan warga Gunungbatin!" ***

Selanjutnya.....

Nah, Jaringan Baru Teroris Terpelajar!


"DARI 21 tersangka teroris terkait bom buku dan bom gereja Christ Cathedral Gading Serpong, Tangerang, 11 di antaranya menurut polisi punya gelar sarjana, alias kaum terpelajar!" ujar Umar. "Lebih menarik lagi, kelompok yang terdiri dari kaum muda itu disebut polisi jaringan baru! Bahkan, mereka belajar membuat bom bukan dari Dr. Azhari atau Noordin M. Top seperti generasi teroris terdahulu, melainkan justru dari internet!"

"Semakin tinggi pendidikan terorisnya, semakin tinggi pula ancaman bahaya bagi masyarakat! Karena, semakin terpelajar semakin rasional dan banyak akal, mampu bermain strategis ketimbang sekadar taktis!" timpal Amir. "Untuk itu kita salut pada polisi, khususnya Densus 88, yang meringkus mereka saat baru mulai belajar jadi teroris! Coba kalau mereka lolos di awal 'karier'-nya ini, sehingga saluran gas dekat gereja Christ Cathedral meledak oleh bom 140 kg yang mereka pasang pada pukul 09.00 di Hari Paskah, berapa banyak jemaah bisa jadi korban? Juga warga masyarakat yang relatif ramai di sekitar lokasi!"

"Penting disimak pada jaringan baru teroris yang lebih 'intelek' lewat kasus bom buku dan Serpong, ada kecenderungan untuk meninggalkan gaya pendahulunya yang memilih bom bunuh diri!" tukas Umar. "Itu bisa jadi karena jaringan baru ini belum punya kemampuan merekrut pengantin—pembawa bom bunuh diri! Memang tak mudah meyakinkan orang untuk siap melakukan serangan dengan membawa bom bunuh diri!"
"Bukan masalah jaringan baru berganti model serangan dibanding pendahulunya!" timpal Amir."Tapi, kenapa kaum muda terpelajar—yang tak layak lagi disebut picik atau fanatik buta—kian mudah terseret dalam terorisme?"

"Justru orang terpelajar saat merasa menemukan sendiri kebenaran yang dianggapnya hakiki, bisa menjadi lebih militan dari orang yang sekadar ikut-ikutan ataupun hasil rekayasa cuci otak!" tegas Umar. "Dalam negara yang standar nilai-nilainya sedang kacau, apalagi ditopang hukum yang tak punya kepastian, peluang orang terpelajar menemukan kebenaran sendiri makin besar, kemungkinan barisan teroris terpelajar kian panjang juga bukan mustahil!"

"Berarti, berbiaknya jaringan baru teroris tak bisa dilepaskan oleh lemahnya kepemimpinan bangsa yang tak bisa membuat kebijakan dan keputusan tegas untuk dijadikan standar nilai!" sambut Amir. "Sebaliknya, jika keraguan yang ditonjolkan pada setiap masalah timbul—seperti terkait perompak Somalia—kebutuhan atas standar nilai juga kian sukar dipenuhi!"

Selanjutnya.....

Siaga I Teror Bom pada Hari Paskah!


"MENKO Polhukam Djoko Suyanto Kamis petang memberlakukan Siaga I Teror Bom selama Hari Raya Paskah, Jumat hingga Minggu!" ujar Umar. "Kebijakan diambil setelah Kamis itu ditemukan sejumlah paket bom di Gereja Chris Katedral Gading Serpong, Tangerang, tiga bom buku di Pondok Kopi, Jakarta, dan ditangkapnya secara serentak dari berbagai provinsi belasan tersangka teror bom sejak kasus bom buku 16 Maret hingga bom bunuh diri di masjid Polresta Cirebon!"

"Dari situasi hari itu terkesan, teroris di negeri kita sangat sibuk! Kayaknya sleeper cells teroris ada yang mengusik hingga terbangun dan cawe-cawe!" timpal Amir. "Dengan gejala itu wajar jika pemerintah memberlakukan Siaga I Bom Teroris, karena ancamannya kian mencolok khususnya di sekitar Hari Raya Paskah! Tapi mengingat sleeper cells teroris yang terbangun dan sedang cawe-cawe itu, apakah cukup Siaga I Bom Teroris hanya berlaku tiga hari--Jumat sampai Minggu?"

"Untuk sementara itu cukup, maksudnya agar semua aparat keamanan bisa fokus—awas mata jaga telinga sepenuhnya—dalam tiga hari yang amat rawan tersebut!" tukas Umar.

"Kalau setelah itu laporan intel menunjukkan Siaga Satu perlu dilanjutkan, Pemerintah kan tinggal mengumumkannya!"

"Kalau laporan intel yang dijadikan dasar, bisa jadi Siaga I tak diperpanjang!" timpal amir. "Sebab, intel kita cenderung 'kurang dekat' dengan teroris, hingga rakyat lebih sering dikejutkan oleh ledakan bom teroris ketimbang berita antisipasi intel yang sukses mencegah peledakan bom!"

"Untung kelemahan intel itu sering bisa diatasi oleh Densus 88, yang pascaledakan selalu bisa menemukan pelaku bom—meski kadang terlambat seperti pelaku bom buku yang lebih sebulan baru diringkus!" tegas Umar. "Berkat Densus itu pula intel kita tertolong jadi lebih baik dari intel AS yang hampir 10 tahun ini belum bisa menemukan otak sesingguhnya serangan 11 Septeember 2001, kecuali menuding sekenanya Osama bin Laden!"

"Maka itu, siapa mengusik apa sebagai pemicu bangkitnya sleeper cells teroris di Indonesia, perlu disimak seksama!" tukas Amir. "Seorang mantan teroris saat diminta bicara di televisi menyesalkan tindakan pada Abu Bakar Ba'asyir karena selain bisa dianggap mengada-ada, juga bisa menyulut balas dendam dari kaum mujahidin Indonesia! Ia kaitkan serangan bom buku—waktu itu—dengan sidang pengadilan atas Ba'asyir!"

"Tapi analisis dan tindakan selalu post factum—setelah bom meledak!"timpal Umar.

"Padahal tradisi seperti hari Kamis itu harus dibangun, semua dilakukan prefactum—mendahului sebelum bom meledak!" ***

Selanjutnya.....

Gelar Datuk Seri dari Sultan Perak!


"PADUKA-Sri Sultan Azlan Muhibuddin Shah penguasa Kerajaan Perak pada upacara hari ulang tahun dirinya yang ke-83, Selasa, memberikan gelar Datuk Seri kepada Sjachroedin Z.P., Gubernur Lampung!" ujar Umar. "Gelar buat Sjachroedin itu diserahkan setelah Paduka menyerahkan gelar Datuk Seri Diraja kepada Menteri Besar Negeri Perak, Dr. Zambry bin Abdul Kadir! Setelah Sjachroedin, diserahkan gelar Datuk kepada Panglima Angkatan Darat dan Panglima Angkatan Udara Malaysia."

"Gelar Datuk Seri buat Sjachroedin itu sangat istimewa!" sambut Amir. "Selain diserahkan dalam prosesi formal sesuai istiadat istana kerajaan Perak yang khidmat, seluruh biaya transpor dan akomodasi rombongan Sjachroedin dari Lampung ke Malaysia ditanggung Kerajaan Perak! Karena itu ada hal-hal khusus yang harus disimak lebih jauh di balik gelar dari Sultan Perak kepada Sjachroedin itu!"

"Di permukaan terlihat Sjachroedin layak dianggap berjasa bagi Perak karena membuka hubungan negeri itu dengan Lampung, baik kerja sama saling mengisi antara kedua pemerintahan, sekaligus memberi kesempatan pada konsorsium pengusaha Perak membangun kota baru Natar-Jatimulyo!" tegas Umar. "Selain dalam kegiatan pembangunan daerah Lampung secara umum!"

"Tapi itu saja kayaknya masih kurang ideal bagi Sultan Perak untuk menganugerahkan gelar Daruk Seri, setara milik Perdana Menteri Malaysia sekarang!" timpal Amir. "Itu tersirat dari pidato Menteri Besar Perak pada jamuan makan malam buat Sjachroedin dan para penerima anugerah gelar dari Sultan Perak! Yakni, Sjachroedin bisa menjalin sambung rasa, hubungan yang bersifat emosional antarwarga kedua bangsa, menembus hubungan yang sekadar formalistis sehingga amat rentan—dan mudah menjadi kurang harmonis seperti kecenderungan selama ini! Memang, pada tahap awal sambung rasa hubungan emosional itu baru terbatas antara Perak dan Lampung! Tapi kalau tak ada yang memulai di antara komponen kedua bangsa, tentunya tak ada benih yang bisa diharapkan tumbuh!"

"Suatu hubungan emosional antarwarga kedua bangsa yang terjalin erat dalam rasa saling menghormati dan menyayangi, justru lebih dibutuhkan oleh pihak Indonesia! Setidaknya, itu terkait demi perbaikan nasib lebih dua juta tenaga kerja kita di negeri itu!" tegas Umar. "Karena itu, adanya isyarat suatu penghormatan yang tinggi dari Sultan Perak terhadap usaha menjalin sambung rasa yang saling menghormati lewat kerja nyata bersama, sewajarnya kita sambut sebanding hangatnya! Artinya, gelar buat Sjachroedin itu layak dimaknai sebagai peluang yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya!" ***

Selanjutnya.....

Emansipasi! Bukan 'Eman-eman' ASI?


"ANAKKU, sayang! Dari pagi sampai malam baru bisa jumpa susu ibu lagi, ya?" ujar seorang ibu sambil menyusui bayinya yang ia tinggal kerja sejak pagi buta dan baru kembali sampai rumah lepas magrib. "Ibunya harus kerja cari makan, juga agar bisa menabung untuk menyekolahkan kau kalau besar nanti, supaya bisa jadi sarjana!"

"Emakmu itu wanita karier! Emansipasi, eman-eman ASI—air susu ibu!" timpal nenek ke arah cucunya, menyindir. "Jadi sabar kalau kau harus kekurangan ASI!"

"Oma! Kok tiba-tiba jadi begitu?" entak si ibu. "Kan kita dari awal sudah sepakat demi karierku?"

"Memang! Dan aku juga tetap committed pada kesepakatan itu!" sambut nenek. "Namun kita sadari atau tidak, demi emansipasi, demi kariermu, si bayi yang tak tahu apa-apa ini jadi menderita! Meski kau tinggalkan ASI-mu sebotol di kontainer suci hama, hanya cukup dua kali minum! Sejak tengah hari sampai malam barulah ia mendapat ASI kembali setelah kau pulang!"

"Tapi dia kan semakin terbiasa begitu!" tegas ibu.

"Sudah pun, kalau soal terbiasa!" timpal nenek. "Tapi dia tak mendapatkan kebutuhan dasarnya secara cukup! Pasti memengaruhi kemampuan fisik dan mentalnya kelak, karena selain tinggi kandungan antioksidannya, ASI juga mengandung banyak ketahanan dan keunggulan lain bagi fisik dan mental anak!"

"Tapi dia kan masih jauh lebih mendingan dari anak orang lain yang dari pagi baru dapat ASI lagi malam setelah ibunya pulang kerja!" tegas ibu. "Apalagi dibanding anak yang disapih langsung, karena ibunya jaga bodi takut cepat longsor!"

"Yang begitu jelas lebih parah lagi nasib bayinya!" sambut nenek. "Dari semua jenis bayi yang tak cukup ASI itu, masa depannya pasti tak sekuat yang cukup ASI, curahan penuh kasih ibunya!"

"Tapi harus bagaimana lagi, yang seperti ini juga sudah umum dan lazim!" entak ibu.

"Perlu usaha bersama ibu-ibu modern dan wanita karier di kota ini untuk membuat dan mengelola tempat penitipan bayi di dekat atau bahkan di ruang terpisah tempat kerja mereka, sebagai jaminan masa depan generasi muda bangsa tak terancam malanutrisi yang parah!" tegas nenek. "Pemerintah, melalui Dinas Tenaga Kerja membuat aturan untuk itu, sehingga ibu-ibu tak terhalang sanksi disiplin jika harus lebih sering menyusui anak yang tak jauh dari tempat kerjanya!"

"Itu yang terbaik!" timpal ibu. "Tapi harus diperjuangkan agar emansipasi tak jadi kambing hitam jika kelak terjadi the lost of generation!" ***

Selanjutnya.....

Radikalisme dan Deradikalisasi!


"GERAKAN yang tingkat kekerasannya meningkat dari waktu ke waktu karena tahap demi tahap peningkatan kekerasan itu tujuan perjuangan tak kunjung tercapai, bukanlah radikalisme, tetapi radikalisasi!" ujar Umar. "Radikalisme adalah suatu pilihan cara perjuangan mencapai tujuan dengan cara kekerasan! Kebanyakan, radikalisme over lapping atau setubuh dengan ideologi yang dianut pejuangnya, seperti terorisme, marxisme, fasisme, dan lainnya! Karena itu, deradikalisasi dan deradikalisme merupakan dua hal yang berbeda!"

"Deradikalisasi mungkin dengan menggalang proses penyadaran para pejuang yang bisa jadi turun-temurun mewarisi cita-cita leluhurnya, padahal cita-cita itu mustahil hingga sekalipun kadar kekerasan untuk mencapainya ditingkatkan terus dari generasi ke generasi, tetap saja cita-cita itu sukar terwujud! Itu salah satunya terlihat pada NII, terutama dengan DI/TII dan Komando Jihad!" sambut Amir. "Sedang untuk deradikalisme, harus dilakukan deideologisasi, dengan pembuktian antitesis dari ideologinya lebih berhasil jika dicoba—seperti China menerapkan sistem ekonomi kapitalis untuk mampu tumbuh rata-rata 10% per tahun berturut-turut lebih 10 tahun!"

"Tapi masalah bangsa kita dengan terorisme dan kekerasan dewasa ini tak lagi seperti asumsi-asumsi radikalisasi dan radikalisme di atas kertas itu!" tegas Umar.

"Dinamika kekerasan juga punya kaitan dengan orientasi dan prioritas pengelolaan isu-isu politik dan kekuasaan! Seperti ketika pemerintah cenderung longgar pada kekerasan seperti terhadap Ahmadiyah—bahkan Pemerintah Pusat dan daerah memfasilitasi penekanan pada Ahmadiyah—teroris yang sudah relatif lama tak berkutik sejak Densus 88 menyikat habis kelompok Noordin M. Top dan Dulmatin, bangkit kembali lewat serangkai bom buku dengan gongnya bom masjid Polresta Cirebon!"

"Ada yang menyatakan, radikalisasi terakhir ini tak terlepas dari tindakan terhadap Abu Bakar Baasyir!" timpal Amir. "Dalam kaitan itu dinilai tindakan polisi agak berlebihan—over reacted—sehingga radikalisasi belakangan ini diibaratkan semut—meski kecil dan lemah—
kalau dipijak-pijak terus terpaksa menggigit juga!"

"Dari semua itu terlihat, suatu redesain ulang terutama pada pendekatan penguasa bagi proses deradikalisasi dan deradikalisme secara umum dan khusus sudah saatnya dilakukan!" tegas Umar. "Secara umum guna memagari warga dari terpengaruh maupun jadi korban gerakan radikal, secara khusus menutup peluang gerakan radikal dengan menggulung poros penggeraknya!" ***

Selanjutnya.....

Potret Demokrasi pada Aktornya!

"KILAU badik berkelebat di ruang sidang paripurna DPRD Kota Bandar Lampung, Jumat!" ujar Umar. "Kata berita, penyebabnya ada anggota Dewan terhormat itu ngeyel interupsi melulu, membuat sejumlah warga pengunjung sidang jadi kesal! Beberapa warga mendekatinya, si anggota Dewan lari dan diikuti warga! Melihat anggota Dewan diudak warga, seorang pria menyela di antara anggota Dewan dan warga, menghentikan para pengudak! Saat itulah kilau badik berkelebat!"

"Begitulah potret demokrasi kita, dilihat pada sisi aktornya!" timpal Amir. "Potret DPRD Provinsi lain lagi! Para anggotanya kini 'ketempuhan' harus mengganti dana operasional Dewan yang pernah mereka pakai berdasar perda buatan mereka! Rupanya perda itu dibatalkan Pusat, sehingga mereka harus tanggung konsekuensinya!"

"Wakil rakyat di Pusat juga tak kalah menarik kisahnya!" tegas Umar. "Kalau di lapis bawah cenderung heboh tak menentu akibat anggota Dewan terlalu ngeyel, di lapisan
menengah terlalu asyik mengatur keuangan untuk kepentingan dirinya semata, di Pusat para anggota Dewan yang terhormat ngotot memaksakan kekuasaan!"

"Bagaimana cara memaksakannya?" tanya Amir.

"Meski lewat segala jalur dan bentuk opini publik di pers (media massa) secara nasional menolak pembangunan gedung baru DPR berbiaya lebih satu triliun di tengah kehidupan mayoritas rakyat yang sedang sulit, DPR tetap memutuskan akan melanjutkan pembangunan gedung itu!" tegas Umar. "Lalu, opini publik lewat media massa itu mereka tolak sebagai suara rakyat, dalihnya kalau mau suara rakyat harus menanya satu per satu 237 juta rakyat Indonesia!"

"Huahaha..., konyol sekali pengetahuan tentang demokrasi wakil rakyat kelas Pusat itu!" entak Amir. "Mereka tak tahu media massa—cetak dan elektronik—sebagai ekspresi dan aktualisasi suara rakyat melakukan pemilihan umum lewat pasar setiap hari (market electoral system). Jika sehari saja mengecewakan karena tak mengekspresikan aspirasi rakyat, si media ditinggalkan audiens yang membiayai hidupnya, tamatlah riwayatnya! Karena itu, pada 1791 AS melakukan amendemen pertama konstitusinya yang baru berusia 14 tahun untuk mendaulat pers sebagai pilar keempat negara demokrasi yang berfungsi sebagai ekspresi dan aktualisasi aspirasi rakyat!"

"Potret demokrasi dari aktornya—dari bawah, menengah dan atas, sama menyedihkannya!" tegas Umar. "Tapi aktor demokrasi di panggung politik enak, pemilunya lima tahun sekali—rakyat sempat lupa tingkah polahnya!" ***

Selanjutnya.....

Teroris Bodoh itu Sia-siakan Jiwanya!


"SEORANG teroris dengan paket bom bunuh diri di tubuhnya masuk masjid dan menyusup ke saf dua jemaah salat Jumat! Begitu imam takbiratulihram—mengangkat kedua tangan dan mengucap Allahu Akbar untuk memulai salat—bom di tubuh teroris meledak!" ujar Umar.

"Entah siapa yang memicu ledakan bom di tubuh teroris itu, dia sendiri yang tewas menyia-nyiakan jiwanya dalam misi itu, atau monsternya dari tempat lain!"

"Demikianlah tragedi di Masjid Mapolresta Cirebon ketika seorang teroris yang jelas bodoh sehingga mau saja disuruh bunuh diri dalam masjid di tengah jemaah salat Jumat, yang pasti cuma menyia-nyiakan jiwa atau nyawanya karena tak ada ajaran yang menyuruh untuk itu, baik dalam Alquran maupun sunah Rasul. Apalagi menjanjikan ganjaran surga!" timpal Amir.

"Sebaliknya, apa pun niat yang dipasang dalam hatinya, tindakan menyerang dengan bom yang mematikan itu jemaah salat Jumat dalam masjid jelas merupakan perbuatan terkutuk, tak dibenarkan oleh ajaran segala jenis ulama yang benar!"

"Tak ada pilihan lain kecuali mengutuk teroris bodoh itu!" tegas Umar. "Meski secara manusiawi kita layak mengasihani kebodohannya sehingga tak menolak saat diperintah monsternya untuk melakukan tugas terkutuk yang menyia-nyiakan jiwanya itu! Layak dikasihani, karena bisa saja ia menjadi bodoh begitu akibat dihipnosis atau dicuci otak oleh monster perekrut yang memanfaatkan dirinya hanya sebagai alat peluncur bom!"

"Karena itu, khusus kepada para remaja yang sok pintar dalam ilmu agama hingga sok ngeyel mau benar sendiri dalam diskusi, agar berhati-hati jika berjumpa orang yang tampak lebih berilmu tapi memuji kepintaran si remaja guna direkrutnya menjadi peluncur bom!" timpal Amir. "Remaja sok pintar atau bermasalah jenis lain, lebih mudah dibuat terpancing monster perekrut teroris lewat berbagai cara, di antaranya dengan pemaksaan seperti model cuci otak!"

"Artinya, para orang tua di kampung, terutama dari kelompok pengajian, agar mencermati para remaja di lingkungannya guna menghindarkan mereka dari jangkauan perekrut yang akhirnya mencelakakan remaja dan dengan sendirinya, keluarganya!" tegas Umar.

"Sementara polisi belum tuntas meringkus jaringan monster teroris itu, masyarakat memagari warganya dari teroris pencari 'pengantin' untuk menyandang bom bunuh diri! Jika masyarakat bisa memagari warganya dengan ketat, tak mudah juga teroris mencari orang bodoh yang mau menyia-nyiakan jiwanya lewat perbuatan konyol!" ***

Selanjutnya.....

Bom Bunuh Diri Serang Masjid Polresta Cirebon!


"BOM bunuh diri menyerang masjid di kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat, saat salat jumat!" ujar Umar. "Satu orang tewas, diduga pelaku bom bunuh diri, 26 luka berat kebanyakan anggota polisi termasuk Kapolresta AKBP Herukoco dan imam salat H. Abbas Sudinta yang bahu, lengan, dan pelipisnya tertancap paku!"

"Aksi teroris kali ini sudah jauh lebih keterlaluan dari sebelumnya!" entak Amir.

"Kali ini yang diserang bom bunuh diri jemaah salat jumat dalam masjid di kompleks markas polisi di kota pusat salah satu Wali Songo, Sunan Gunung Jati, menyebarkan Islam! Karena itu, sikap tegas umat terhadap pelaku dan jaringan teroris yang telah mencederai kesucian masjid di Negeri Wali untuk melakukan kejahatannya itu, tak bisa ditawar-tawar! Usaha membunuh jemaah sedang salat di masjid itu perbuatan keji, tak bisa ditoleransi!"

"Menyerang masjid dan jemaahnya saat salat jumat pula, jelas tak bisa dimaafkan! Itu tindakan pengkhianatan dan kemungkaran pada agama!" tukas Umar. "Itu jelas menghilangkan esensi dan makna jihad jika bom bunuh diri tersebut dari jaringan berbendera Islam! Lantas, kalau sasaran sebenarnya serangan bom itu institusi Polri, betapa mereka telah terlalu meremehkan Islam hingga untuk tujuan tersebut mereka jadikan masjid dan jemaah salat jumat sekadar sebagai sasaran antara!"

"Di sisi lain, masjid itu dalam markas Polri, betapa geramnya mereka kepada Polri—jika itu sasaran utama mereka—hingga untuk menyerang Polri mereka tak peduli lagi sekalipun harus dilakukan dengan mengorbankan masjid dan jemaahnya!" timpal Amir. "Artinya, kebencian teroris pada Polri tiada tara, sehingga penghormatan pada kesucian masjid dan kemuliaan jemaahnya tak lagi mereka jadikan pertimbangan! Dengan kebencian setinggi itu, jajaran Polri layak lebih waspada terhadap gaya mereka yang semakin membabi-buta itu!"

"Serangan teroris ke markas polisi itu—setelah serangan ke Mapolsek Hamparan Perak, Sumut, usai merampok Bank CIMB Niaga Medan—kalau terus berlanjut setelah serangan ke Mapolresta Cirebon, serangan teroris di negeri kita akan seperti di Irak!" tegas Umar. "Tentu tak boleh terjadi, markas polisi jadi bulan-bulanan serangan bom bunuh diri! Untuk menangkalnya, Polri harus kerja ekstrakeras membongkar jaringan teroris, yang pada rangkaian kasus bom buku belum berhasil menangkap pelakunya! Lewat serangan ke markas polisi itu bisa jadi teroris ingin melontar pesan, melindungi diri sendiri saja Polri tak becus, bagaimana bisa melindungi warga sipil?" ***

Selanjutnya.....

'Ana Sing Ngirim!', Serangan Ulat Bulu sampai Lampung!


"MASIH dalam bulan April juga, serangan ulat bulu yang bermula dari Probolinggo, Jawa Timur, telah sampai Ketapang, Lampung Selatan!" ujar Umar. "Secara nyata itu gejala alam! Ekosistem yang rusak menyebabkan predator ulat bulu—berbagai jenis burung dan aneka serangga—populasinya menurun! Itu berpadu dengan iklim ekstrem, penyebab bermacam bakteri parasit ulat bulu tak berkembang! Populasi ulat bulu pun meledak!"

"Perusakan alam menyebabkan beragam jenis burung semakin langka, penggunaan pestisida dan insektisida membuat banyak jenis serangga terbunuh! Itu berarti, serangan ulat bulu sebagai pembalasan atas perbuatan manusia merusak alam dan memakai racun serangga!" timpal Amir. "Sedang kalau pembalasan ulat bulu itu dipicu oleh iklim ekstrem yang menyebabkan bakteri parasit ulat bulu tak berkembang, iklim ekstrem itu akibat pemanasan global yang dipicu gas karbon buangan industri dan pola hidup modern! Berarti, serangan ulat bulu itu justru universal sebagai pembalasan pada ulah manusia merusak dan mencemari alam!"

"Terlihat serangan ulat bulu ditujukan sebagai protes pada manusia secara universal, dari petani udik yang menyemprot tanaman dengan pestisida dan insektisida, penguasa dan pengusaha yang berkonspirasi merusak alam dari pembalakan legal dan liar sampai penggalian tambang di hutan lindung, hingga industrialis pemompa asap berkarbon ganas dari cerobong pabrik, asap mobil di jalanan metropolitan, serta dari beragam jenis mesin pendingin!" tegas Umar.

"Artinya, di balik realitasnya yang alamiah, serangan ulat bulu juga tampak ana sing ngirim—ada yang mengirim—untuk menyampaikan pesan pada umat manusia agar menyadari rangkaian kesalahannya merusak dan mencemari alam, dan supaya mengubah cara hidup jadi lebih ramah dan akrab pada alam!"

"Tapi siapa yang mengirim?" potong Amir.

"Pengirimnya tentu saja proses dialektika—tesis, antitesis, sintesis—hukum alam yang berputar pada poros sebab-akibat!" tegas Umar. "Namun tetap harus disadari dengan spiritualitas, hukum alam itu sendiri adalah sunatulah!"

"Kesadaran pada hukum alam itu di kalangan petani Lampung sudah mulai tumbuh sehingga dengan gigih mereka mengembangkan pertanian organik!" timpal Amir. "Tapi seberapalah arti usaha jelata itu, kalau justru di jalur mainstream para penguasa dan pengusaha, serta industrialis raksasa, cuma seolah-olah saja memahami tuntutan hukum alam itu, sedang perilakunya justru semakin efektif merusak alam!" ***

Selanjutnya.....

Indeks Demokrasi, Fungsi Pemerintah Variabel Negatif!


"INDEKS demokrasi versi Economist Inteligence Unit (EIU) yang menempatkan Indonesia 2010 di peringkat 60, di bawah Timor Leste di peringkat 42, ditentukan lima variabel—proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik!" ujar Umar. "Selain empat variabel politik yang mudah dinilai rendah kualitasnya di negeri kita, menarik dibahas variabel fungsi pemerintahan!"

"Memang, selama ini jika bicara demokrasi kita selalu terbenam dalam empat variabel politik itu!" sambut Amir. "Kita lupa, hasil dari proses politik dalam demokrasi itu terbentuknya kepemimpinan pemerintahan, yang justru berfungsi mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan demokrasi! Pemerintah didampingi Dewan Perwakilan Rakyat menyusun aturan dan anggaran! Pemerintah juga melaksanakan prinsip keterbukaan agar rakyat bisa mengawasi jalannya pemerintahan!"

"Lantas, sejauh mana peran fungsi pemerintahan kita dalam indeks demokrasi itu?" tanya Umar.

"Dari hasil penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), variabel fungsi pemerintahan termasuk yang membuat indeks demokrasi kita di bawah Timor Leste!" jawab Amir. "Banyak kabupaten-kota terancam bangkrut karena dana alokasi umum (DAU) yang diterima dari pusat semakin cekak untuk belanja pegawai yang terus membengkak! Pada 2008 untuk skala nasional 76,6% DAU digunakan untuk belanja pegawai! Pada 2009 naik jadi 85,5%, dan pada 2010 jadi 95,5%. Celakanya, di balik rata-rata itu pada 2008 tiga daerah belanja pegawainya lebih besar dari DAU! Pada 2009 naik jadi tujuh daerah, dan 2010 terjadi pada 13 daerah!"

"Berarti banyak pemerintah kabupaten dan kota hanya berjuang mencukupi belanja dirinya saja, hingga kemampuan untuk menjalankan fungsinya meningkatkan kesejahteraan rakyat justru makin kecil!" timpal Umar. "Lucunya, usaha menggali sumber dana lokal amat lambat naiknya, dengan belanja pegawai yang semakin tak cukup dari DAU, kegandrungan menambah pegawai baru tak bisa dihentikan karena birokrasi terus dimekarkan dengan formasi-formasi baru—tak peduli formasi-formasi lama saja tidak efektif!"

"Dilihat dari makin habisnya DAU hanya untuk belanja pegawai sehingga porsi APBD untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat juga terus mengecil, variabel fungsi pemerintahan ini jadi faktor negatif bagi indeks demokrasi!" tukas Amir. "Lucu, kalau realitas hidup berbangsa kita tak bisa lebih baik dari Timor Leste!" ***

Selanjutnya.....

Indeks Demokrasi Indonesia di bawah Timor Leste!


"KETUA Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengingatkan Indeks Demokrasi Global Indonesia di peringkat 60 dari 167 negara yang diteliti, jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Nugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57)!" (Kompas, 12-4) ujar Umar. "Hal itu disebabkan masih lemahnya variabel demokrasi, seperti pemilihan umum, pluralisme, dan fungsi pemerintahan yang belum bersih dari korupsi! Untuk itu Indonesia masuk kelompok flawed democracy—negara yang demokrasinya cacat!"

"Indeks Demokrasi Global yang dimaksud Irman Gusman produk Economist Inteligence Unit (EIU) di bawah majalah The Economist!" sambut Amir. "Dilihat dari skor Indonesia yang pada 2010 ini 6,53, ternyata tak banyak berubah dari skor 2008 6,34—atau naik hanya 0,19 poin! Padahal skor 2010 Timor Leste saja 7,22, India 7,28 (ranking 40), Taiwan 7,52 (36), Afrika Selatan 7,79!"

"Meski begitu, justru dalam hal Indeks Demokrasi Global ini kita boleh berbangga lebih baik dari negeri jiran Malaysia yang berada di peringkat 71 dengan skor 6,19" tegas Umar. "Indeks teratas ditempati Norwegia dengan 9,80, Islandia (II-9,65), Denmark (III-9,52), Swedia (IV-9,50), Selandia Baru (V-9,26), dan Australia (VI-9,22)." (Wikipedia)

"Cacat demokrasi Indonesia dalam penilaian EIU ini bisa disimak dari tulisan A.E. Priono Meninjau Berbagai Parameter Assesment Demokrasi (http://langitpoetih.blogspot.com) terkait lima variabel: proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik!" timpal Amir. "Selain akomodatif pada berbagai sumber data lain, penilaian EIU berinti expert's assessment (penilaian ahli), jadi berbeda esensi dan hasilnya dengan survai acak (random) yang popular di Indonesia! Artinya, pemilu kita dari pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada masih buruk dinilai lewat pendapat para ahli! Demikian pula belum efektifnya fungsi pemerintahan dijalankan akibat rongrongan korupsi dalam segala bentuk abused power!"

"Dengan itu peringatan Ketua DPD yang berusaha menyadarkan realitas demokrasi kita masih jauh dari harapan, bahkan jika diukur dengan assesment dunia masih di bawah Timor Leste, layak menjadi perhatian para politisi dan birokrat semua tingkat untuk tak lagi lepas kontrol diri berkepanjangan!" tegas Umar. "Perhatian birokrat sebagai pelaku fungsi pemerintahan melayani rakyat (public servant) mendapat penekanan khusus dalam assesment versi ini, karena tujuan akhir demokrasi itu kesejahteraan rakyat! Dan pelaksanaan fungsi pemerintah untuk itu dijalankan birokrat!" ***

Selanjutnya.....

Jembatan Renta Jalinsum Ditutup!


"JEMBATAN jalan lintas Sumatera (jalinsum) di Kampung Banjarmasin, Kecamatan Baradatu, Way Kanan, dinyatakan renta sehingga tak mampu lagi dilalui kendaraan berbobot lebih dua ton!" ujar Umar. "Jembatan itu ditutup total setelah jalan alternatif kendaraan pribadi siap! Kendaraan ukuran besar tak lagi bisa lewat lintas tengah itu dan harus lewat lintas barat atau lintas timur!"

"Artinya, akibat jembatan renta itu jalinsum lintas tengah yang sebelumnya merupakan urat nadi utama perekonomian Sumatera, seperti pada orang sakit jantung, harus di-by pass, dialihkan saluran darahnya!" timpal Amir. "Ditentukannya jembatan renta tak mampu dilalui dalam tempo relatif dadakan, hingga harus menghambat arus nadi perekonomian yang vital, jelas mengejutkan! Padahal idealnya, sejak beberapa tahun lalu jembatan itu diganti, saat mengerjakannya dibuat jembatan darurat di dekatnya!"

"Lupakan seolah kita hidup di negeri yang serba-terencana sehingga sebelum jembatan tak bisa dilalui sudah selesai diganti dengan yang baru!" tukas Umar. "Rentanya jembatan dan ditutupnya jalinsum lintas tengah itu justru penyempurna kerusakan infrastruktur di negeri kita! Jatuhnya harga kol di sentra produksi Lampung Barat hingga periode terakhir tinggal Rp400/kg sampai Rp500/kg, bukan saja akibat parahnya kerusakan jalan utama di kabupaten itu! Tapi, lebih lagi akibat terpukulnya penyalur kol ke Ibu Kota yang dagangannya rusak ketika kapal penyeberangan tertahan berhari-hari di Bakauheni! Trauma penyalur kol ke Ibu Kota itu membuat kol di ladang tak tertampung hingga terkesan overproduksi! Padahal, kalau angkutan lancar di semua lini hingga penyalur tak ada yang sempat terpukul dan trauma, produksi yang ada sebenarnya sebanding dengan kebutuhan pasar!"

"Celakanya angkutan penyeberangan Bakauheni-Merak sampai sekarang belum bisa lancar seperti diharapkan! Demikian pula jalan-jalan yang hancur belum diperbaiki! Diperparah lagi oleh jembatan renta terpaksa ditutup!" timpal Amir. "Dengan rangkaian infrastruktur yang buruk itu terbukti para petani, rakyat di akar rumput, yang paling terpukul dan menderita akibat panenannya jatuh harga bahkan tak bernilai ekonomis—
karena kesal tanaman mereka biarkan busuk di ladang!"

"Hal itu menyedihkan, karena menurut Sekjen Nasional Demokrat Syamsul Muarif dalam Dialog Kebangsaan di Metro, Lampung, infrastruktur kini hancur justru saat APBN dan APBD empat kali lipat dari delapan tahun lalu!" tegas Umar. "Ke mana APBN/APBD sebanyak itu disalurkan?" ***

Selanjutnya.....

Bangsa Ponten 100 Bersih dari Sampah Tumpukan Masalah!


"KENAPA sejak berada di kampung ini aku merasa sesak napas, ya?" tanya Umar.
"Karena dekat sini ada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah!' jawab Amir. "Tebaran karbon berbau busuk itu jelas menyesakkan!"

"Waduh! Itu baru tumpukan sampah pasar dan rumah tangga!" timpal Umar. "Bagaimana pula jika sampahnya itu tumpukan masalah yang tak bisa diselesaikan dalam kehidupan bernegara-bangsa, segenap warga bangsa pula yang tersekap sesak napas!"

"Itulah yang dialami bangsa kita!" tegas Amir. "Banyak masalah bernegara-bangsa tak selesai ditutupi dengan masalah baru yang kemudian tak terselesaikan pula, sehingga dari waktu ke waktu timbunannya semakin tinggi—akibatnya selain menyesakkan juga menenggelamkan bangsa dalam tumpukan sampah masalah! Dalam kurun terakhir ini saja tampak, kasus Bank Century yang tak kunjung disentuh aparat penegak hukum sesuai putusan DPR, ditimpa peluncuran kasus RUUK DIY yang tampak dipaksakan kontroversial, lalu ditimpa dengan kasus penolakan oleh paripurna DPR pembentukan Pansus Mafia Pajak! Bagaimana nasib mafia pajak ke depan belum jelas, ditimpa kasus pembangunan gedung DPR senilai triliunan!"

"Bagaimana jika masalah yang bertumpuk itu sebagian justru by design—itu simpul dari seorang mahasiswa dalam Dialog Kebangsaan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Universitas Muhammadiyah Metro, Sabtu—
demi menutupi masalah yang terkait dengan gejala kerusakan dalam mesin kekuasaan!" timpal Umar. "Kok bukan mesin kekuasaan yang rusak diperbaiki, tapi malah membuat masalah baru yang tak bisa diselesaikan?"

"Itu karena kita bukan Bangsa Ponten 100, di mana setiap warga bangsanya sejak kecil terlatih mengerjakan dengan benar. Semua soal mata pelajaran di sekolahnya sehingga setiap hari membawa pulang ponten 100!" tegas Amir. "Kalau sejak kecil dalam proses belajar di sekolah pakai sistem yang bisa memastikan setiap murid pulang membawa ponten 100, setelah besar dan berkuasa tak menyisakan masalah yang tak terselesaikan!"

"Tapi bangsa kita terlatih puas dengan nilai pas-pasan asal lulus, sisa soalnya yang tak terjawab dibiarkan tak pernah terselesaikan sampai kapan pun!" sambut Umar. "Ketika kebiasaan itu dibawa dalam pemerintahan negara-bangsa, sisa soal tak terselesaikan terus bertumpuk, dari hari ke hari semakin menyesakkan kehidupan bangsa!"

"Padahal untuk membuat murid terbiasa menyelesaikan semua soal dengan benar dan membawa pulang ponten 100 tak sulit!" jelas Amir. "Saat memeriksa hasil kerja murid, tahap pertama guru tak memberi ponten, tapi melingkari nomor soal yang dijawab salah! Guru kemudian menjelaskan proses dan jawaban semua soal, bersamaan itu murid memperbaiki jawaban yang salah sesuai penjelasan guru! Usai diperbaiki diperiksa guru lagi dan diberi ponten 100!" ***

Selanjutnya.....

Paripurna DPR Jadi 'Pariporno'!


"SEORANG anggota DPR direkam wartawan sedang menonton sajian porno di komputer tabletnya!" ujar Umar. "Keasyikan itu dia lakukan di ruang sidang DPR saat rapat paripurna! Karena itu, beritanya berjudul Paripurna DPR Jadi Pariporno!"

"Begitulah faktanya sesuai tayangan gambar di televisi!" sambut Amir. "Tapi sang anggota DPR mengaku hal itu terjadi di luar kesengajaannya! Menurut dia, ke komputernya masuk link (yang menawarkan adres situs untuk dibuka). Saat ia klik isinya ternyata tayangan seperti yang direkam gambarnya oleh wartawan itu! Namun ia segera menyadari salah klik dan men-delete materi tersebut dari komputernya!"

"Kita berharap apa yang dikemukakan anggota DPR yang sedang nahas gambarnya direkam saat ia menonton tayangan asyik itu, sungguh demikian adanya! Bahwa kejadian itu benar-benar suatu kecelakaan akibat salah klik!" timpal Umar. "Jika itu yang terjadi, masalahnya hanya sebatas kasus gatek--gagap teknologi! Bukan masalah moralitas anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna tapi konsentrasi pikirannya bukan pada masalah yang sedang dibahas sidang, tapi beralih ke lain fokus dan itu ternyata situs porno! Betapa kalau sampai seperti itu yang terjadi, penyimpangan moralitasnya amat jauh--memalingkan perhatian dari rapat paripurna yang dihadirinya, dan berpalingnya malah ke situs porno!"

"Harapan kejadian itu benar-benar cuma akibat salah klik, jelas yang terbaik bagi rakyat!" tegas Amir. "Karena saat para anggota DPR lebih memikirkan nasibnya sendiri ketimbang nasib dan penderitaan rakyat, jika terperosok lebih jauh lagi ke jurang amoral yang bahkan dilakukannya di ruang sidang DPR yang amat terhormat, rakyat bisa habis kamus bunyi stigma seburuk apa lagi yang harus diberikan pada wakil rakyat tersebut!"

"Maka itu, demi menyelamatkan dari kehancuran total citra moralitas DPR, seburuk apa pun de facto kelakuan anggota DPR seperti dalam rekaman gambar oleh wartawan yang ditayangkan, terbaik bagi bangsa adalah rakyat mau menjustifikasi-- memberikan pembenaran-- terhadap pengakuan sang anggota DPR bahwa kejadian itu tidak dia sengaja dan benar-benar cuma kecelakaan salah klik!" sambut Umar.

"Untuk selanjutnya, jangan lagi buat standar moralitas terlalu tinggi terhadap anggota DPR, karena ekspektasi yang terlalu tinggi pada realitas yang de facto sedemikian adanya, hanya mempercepat sergapan kekecewaan! Padahal, kecewa pada wakil-wakilnya di DPR telah bertumpuk, amat menyakitkan hati rakyat!"

Selanjutnya.....

DPR Tak Peduli Suara Presiden!


"DPR tak peduli pada instruksi Presiden SBY agar meninjau ulang pembangunan gedung baru!" ujar Umar. "Buktinya, rapat pimpnan DPR bersama pimpinan fraksi dan BURT DPR menetapkan tetap melanjutkan rencana membangun gedung baru senilai Rp1,138 triliun!" (Metro TV, 8-4)

"Presiden meminta agar dana dari penundaan pembangunan gedung baru itu dialihkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak!" timpal Amir. "Instruksi Presiden untuk meninjau ulang rencana pembangunan gedung baru itu berlaku pada semua instansi. Kata Presiden, saat ini sembilan instansi berencana membangun gedung dengan biaya di atas Rp100 miliar, salah satunya DPR!"

"Kalau Presiden menilai kurang relevannya saat ini membangun gedung baru dilihat dari urgensi biayanya pada banyak hal lain yang jauh lebih mendesak, rakyat dan publik umumnya menolak pembangunan gedung baru DPR terutama dilihat dari kinerja DPR yang jauh dari harapan, serta rancang bangunnya mempermalukan bangsa karena bentuknya mirip gedung parlemen Cile!" tukas Umar. "Rakyat malu kalau anak-cucunya kelak ditertawakan bangsa lain sebagai bangsa peniru, bahkan penjiplak!"

"Lucunya, betapa rasional dan telak alasan rakyat dan Presiden dalam menyatakan keberatan pada rencana pembangunan gedung baru tersebut, DPR terkesan sudah demikian bebal, kebas, atau mati rasa, tak lagi bisa merasakan sentuhan dari luar kepompong lembaganya!" timpal Amir. "DPR secara kelembagaan telah jadi kekuasaan otoriter yang terkapsul—encapsulated authoritarian! Dengan demikian, DPR tinggal secara formal saja sebagai lembaga wakil rakyat! Sedang secara efektif, DPR telah terkapsul menjadi wakil dari kepentingan pribadi para anggotanya sendiri! Anehnya, justru realitas seperti itu yang lebih menonjol dan dirasakan rakyat dari tingkah laku para anggota DPR dan orientasi kelembagaannya! Simak saja, nyaris semua prioritas yang ditetapkan DPR lebih berorientasi kepentingan para anggota DPR sendiri ketimbang kepentingan rakyat!"

"Kalau DPR sudah keluar dari pakem fungsi dan perannya dalam demokrasi begitu, bisa jadi ada yang memang cukup penting bagi para anggota DPR dengan gedung baru itu!" tukas Umar.

"Gedung itu bisa menjadi monumen kebebalan wakil rakyat dari suara rakyat!" tegas Amir. "Sejarah pembangunan gedung tersebut sebagai diskoneksi antara aspirasi rakyat dan wakilnya di DPR, jika ditulis dalam promosi gedungnya bisa mendatangkan turis ke monumen tersebut! Dalam rasionalitas demokrasi, diskoneksi itu seaneh Bandung Bondowoso membangun Candi Sewu!" ***

Selanjutnya.....

Terlalu Digoreng UAS pun Hangus!


"UAS—ujian akhir sekolah—tingkat SD Kota Bandar Lampung 4-8 April 2011 terkesan terlalu digoreng! Akibatnya, 42% soal Matematika hangus! Artinya, dinyatakan batal sebagai bagian yang diujikan, hingga soal sisanya saja yang berlaku sebagai bahan ujian!" ujar Umar. "Kenapa UAS harus digoreng sampai gosong?"

"Karena UAS diselenggarakan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), yang unsurnya punya kepentingan menaikkan persentase lulus dari sekolahnya dengan cara penghitungan baru—UN 40%, rapor dan UAS 60%!" jawab Amir. "Jadi, karena rapor sudah tak mungkin 'dikerjai', UAS memberi harapan dalam peningkatan nilai mencapai kelulusan! Namun, karena MKKS tak cukup dana, pengerjaan soalnya tak ditangani profesional. Tujuan memudahkan murid menjawab agar memperoleh nilai tinggi malah berakibat banyak soal kurang sempurna!"

"Kalau begitu wajar sejumlah kelompok sekolah, seperti di Kecamatan Kemiling, mendegradasi UAS produk MKKS itu hanya sebagai ujian semester, sedang untuk pengganti UAS mereka laksanakan 18-22 April nanti!" tegas Umar. "UAS ulang itu sebagai konsekuensi dari usaha kelompok sekolah tertentu untuk mempertahankan kualitas dengan standar yang telah mereka tetapkan, bukan sekadar memburu persentase lulus yang tinggi!"

"Beda sekolah memang bisa beda kepentingan!" timpal Amir. "Tapi kalau soal UAS dibuat terlalu mudah seperti diakui para murid, dengan tujuan mencari keuntungan dari cara baru menghitung kelulusan, sangat disayangkan—karena secara sengaja pilihan itu justru memperendah standar kualitas pendidikan! Padahal, perubahan cara menghitung kelulusan hingga ujian nasional (UN) tidak lagi dijadikan faktor tunggal penentu kelulusan, tujuannya agar sekolah tak terpaku pada UN dan bisa meningkatkan kualitas dari proses belajar-mengajar dengan mengaktualkan seluruh potensi sekolah!"

"Memperendah standar soal UAS begitu justru menurunkan kualitas proses belajar-mengajar dan meredam potensi sekolah!" tukas Umar. "Artinya, tujuan perubahan penentuan lulus itu telah disimpangkan hingga hasilnya juga kebalikannya! Bukan meningkatkan kualitas dan memperkuat struktur sekolah, tapi malahan meruntuhkannya!"

"Untuk semua itu, ada baiknya MKKS melakukan evaluasi yang jernih dan jujur demi kepentingan dunia pendidikan seutuhnya!" timpal Amir. "Terpenting dicatat, tak ada usaha lebih buruk dari yang mencapai tujuan lewat memperendah kualitas pendidikan!" ***

Selanjutnya.....

Bias Dada, Nasabah Korban Tak Muncul!


"HEH! Sudah tak waras kalian, ya? Gambar cewek megal-megol unjuk dada itu saja yang kalian putar berulang-ulang!" entak nenek.

"Bukan kami yang memutar ulang, Nek! Tapi itu promosi berita pembobolan bank di Metro TV!" sambut cucu. "Cewek yang unjuk dada itu bukan sembarangan, senior relationship manager bank asing, tersangka mengakali dana nasabah!"

"Kalau kasusnya pembobolan bank, kenapa yang ditonjolkan dadanya?" kejar nenek.

"Bisa saja karena di balik peristiwa itu ada bias dada!" jawab cucu. "Ada mantan pejabat yang jadi korban kena Rp30 miliar tak berani muncul mengadukan ke pihak berwajib (Kompas, 6-4), karena kasihan pada keluarga, anak-cucunya!"

"Kenapa kasihan pada keluarganya?" sela nenek.

"Keluarganya, anak dan cucunya, bisa malu pada tetangga dan teman-temannya di sekolah karena ternyata ayah atau kakek mereka terperdaya sampai puluhan miliar akibat bias dada yang ditonjolkan televisi itu!" jawab cucu.

"Asumsi begitu bisa salah!" tegas nenek. "Lebih mungkin si kakek mantan pejabat yang punya uang puluhan miliar itu takut, kalau muncul jadi tumpuan pertanyaan dari segala penjuru, dari mana sumber uangnya sebanyak itu? Dengan contoh vonis sepuluh tahun terhadap mantan pejabat ditjen pajak yang dengan pembuktian terbalik di pengadilan gagal membuktikan dari mana asal uang puluhan miliar rupiah yang dimilikinya, para nasabah korban pembobolan oleh pejabat bank itu pun tak berani muncul!"

"Pejabat bank pembobol rekening nasabahnya itu mungkin tahu kelemahan sumber dana nasabah yang dilayaninya, sehingga ia berani memainkan dana nasabah tersebut karena yakin nasabah itu tak akan berani muncul jika ada masalah dengan uang simpanannya!" timpal cucu. "Berarti, bukan mustahil kasus itu sebenarnya terkait pencucian uang hasil kejahatan, sehingga meski dirugikan, para pemilik uang yang rekeningnya dibobol takut muncul!"

"Kalau begitu jangan-jangan PPATK, pencatat transaksi yang mencurigakan, kecolongan dengan banyaknya transaksi besar di bank itu yang tidak tercatat atau setidaknya sejauh ini tak menjadi masalah!" tukas nenek. "Dari penjelasan Bank Indonesia (BI) di DPR, pihak BI sudah meminta bank asing itu memutasi manager dimaksud tapi tak dilaksanakan karena banyak nasabah berdana besar keberatan! Nasabah besar keberatan, mungkin karena nyaman selalu lolos dari PPATK!"

"Tapi bisa juga televisi benar, Nek!" potong cucu. "Para nasabah keberatan akibat bias dada!" ***

Selanjutnya.....

FIFA Ambil Alih Pimpinan PSSI!


"KOMITE Darurat Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) sejak 1 April 2011 mengambil alih kepemimpinan PSSI dengan membentuk Komite Normalisasi PSSI dipimpin Agum Gumelar!" ujar Umar. "Kasus Liga Primer Indonesia (LPI) yang di luar kontrol PSSI dan gagalnya PSSI mempersiapkan kongres, kata FIFA, merupakan fakta kepemimpinan PSSI telah kehilangan kredibilitas di Indonesia, sehingga tidak dalam posisinya lagi untuk memimpin proses penyelesaian krisis yang sedang berkecamuk!"

"Pemerintah melalui Menpora yang sebelumnya telah lebih dulu tak mengakui kepemimpinan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes serta menyita aset negara di PSSI dari kepengurusan tersebut, menyambut baik putusan FIFA tersebut!" sambut Amir. "Keputusan FIFA mengeliminasi Nurdin Halid dan Nugraha Besoes dari jagat persepakbolaan nasional, sebagai prioritas dalam pembenahan PSSI, sungguh sesuai dengan dambaan mayoritas pencinta bola dan kebijakan Pemerintah!"

"Pokoknya warga tak perlu khawatir lagi ada peluang bagi Nurdin Halid untuk membajak kembali PSSI! Dengan selarasnya putusan FIFA dan Pemerintah, peluang Nurdin untuk itu tertutup!" tegas Umar. "Lebih dari itu, Komite Normalisasi yang dipercaya menyelenggarakan pemilihan pengurus baru PSSI itu terdiri dari tokoh-tokoh sepak bola nasional yang tidak bisa duduk pada sebuah posisi di kepengurusan baru PSSI nanti! Dengan begitu, setiap anggota Komite Normalisasi selaku komisi electoral dibebaskan dari conflict of interest pribadinya bagi kedudukan di PSSI!"

"Jika proses normalisasi PSSI dengan semua itu bisa berjalan seperti diharapkan, suatu tampuk kepemimpinan organisasi sepak bola nasional yang ideal akan terwujud! Dengan kepemimpinan ideal itu, logikanya prestasi sepak bola nasional juga akan meningkat!" timpal Amir. "Namun masalahnya, PSSI bukanlah cuma yang ada di tingkat nasional itu! PSSI juga pengda di semua provinsi, dengan pengcab dan klub-klub di semua kabupaten dan kota! Itu belum cukup! PSSI juga pelatih di seantero negeri! PSSI juga wasit di setiap pertandingan! Usaha peningkatan kualitas sepak bola nasional tak lepas dari seluruh komponennya itu!"

"Justru kemampuan suatu kepengurusan nasional mengakomodasi segenap komponen organisasi itu bergerak dalam kesatuan irama yang ideal, mejadi prasyarat kemajuan yang didamba!" tegas Umar. "Kepemimpinan era Nurdin Halid gagal mengakomodasi kekuatan nasional itu akibat lebih menonjolya ambisi dan kepentingan pribadi para pengurusnya!" ***

Selanjutnya.....

Hujan Salah Musim, NTP Lampung Naik!


"PETANI Kabupaten Tanggamus yang tersebar di banyak kecamatan, Talangpadang, Gunungalip, Kotaagung, Koataagung Barat, Kotaagung Timur, Wonosobo, Semoung, dan Semaka, mengandalkan hujan salah musim untuk segera bertanam kembali usai panen!" ujar Umar. "Hal itu dilakukan bahkan untuk mengatasi irigasi teknis di sawah mereka yang sering 'ngadat', hingga tak bisa diandalkan, ada saja masalah timbul—sawah bisa kebanjiran, atau saat dibutuhkan air malah tak mencukupi!"

"Tapi hasil panen petani di kawasan itu umumnya baik, harga jual padi mereka di lapangan juga tinggi!" timpal Amir. "Itu tercermin dari naik dan kian tingginya nilai tukar petani (NTP) Lampung yang pada akhir Maret lalu 118,34—ini tertinggi antarprovinsi di Indonesia! Lebih dahsyat lagi, NTP Lampung untuk padi dan palawija yang lebih tinggi lagi, yakni 126,82! Bandingkan pula NTP Lampung itu dengan NTP nasional pada skor 103,35!"

"Untuk itu marilah kita panjatkan doa syukur, betapa semua itu tercapai ketika infrastruktur rusak parah, baik jalan ke sentra-sentra produksi maupun fasilitas irigasi teknis di areal bertanam, hingga petani lebih mengandalkan curahan hujan salah musim!" tegas Umar. "Tapi hal itu juga tak lepas dari didengar-Nya doa para petani yang teraniaya dengan jalan-jalan dan irigasi di kawasan mereka dibiarkan rusak! Campur tangan-Nya dalam hal ini diakui lewat zakat yang dibayar panenan sawah tadah hujan dua kali lipat dari irigasi teknis!"

"Tapi alangkah lebih baik lagi jika hal itu didukung infrastruktur yang prima, jalan maupun irigasi!" timpal Amir. "Paling tidak, kalau jalan bagus harga padi di sentra produksi tak dikurangi risiko jalan buruk yang menambah ongkos angkut! Atau, jika irigasi teknisnya bisa diandalkan, petani tak bayar zakat panen dua kali lipat akibat menadah hujan!"

"Harapan perbaikan infrastruktur itu bisa terkesan mengada-ada, karena anggaran yang tersedia cuma cukup membetulkan 10% dari jalan yang rusak, sehingga dengan prioritas lokasi yang mencolok mata pejabat, infrastruktur di kawasan produksi yang jauh dari pandangan elite akan dapat giliran belakangan!" tukas Umar. "Apalagi kebijaksanaan khusus buat para petani di pelosok pedalaman ini sulit dilakukan, karena anggaran untuk pertanian dan ketahanan pangan bukan prioritas! Karena itu, pihak yang harus bersyukur sungguh-sungguh justru para pejabat, betapa dengan anggaran dan perhatian pemerintah yang alakadarnya, NTP Lampung—terutama padi dan palawija—bisa mencapai nilai spektakuler!" ***

Selanjutnya.....

'Bom Melon' di 'Republik Buang Badan'!

"DALAM sepekan lalu lebih 100 tabung gas isi 3 kg meledak di Lampung! Terbanyak meledak dalam tumpukan milik pedagang di Tanjung Bintang, lalu di rumah warga antara lain di Jalan Ikan Bawal, Telukbetung!" ujar Umar. "Banyak warga jadi korban! Tapi seperti saat awal diperkenalkan dan korban jelegar-jelegur ledakan 'bom melon' itu meluas di seantero negeri, tak satu pihak pun tampil elegan menyatakan bertanggung jawab!"

"Sebaliknya, semua pihak yang ada kaitan dengan rencana dan pelaksanaan program pengedaran tabung gas kecil itu 'buang badan', mengelak dari tanggung jawabnya!" timpal Amir. "Maka, jadilah negeri ini 'Republik Buang Badan'!"

"Itulah yang dialami para korban 'bom melon' pekan terakhir di Lampung! Semua pihak terkait pengedaran 'bom melon' itu 'buang badan'—melempar tanggung jawab!" tegas Umar. "Tanpa peduli, keamanan penggunaan barang dagangan merupakan tanggung jawab
perusahaan yang engedarkan! Apalagi barang dagangan itu gas, yang amat mudah meledak!"

"Keselamatan umum terkait barang dagangan yang diedarkan merupakan tanggung jawab mendasar setiap perusahaan pengedarnya!" timpal Amir. "Selain tanggung jawab formal, justru keselamatan umum itu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility—CSR) tak bisa disepelekan! CSR dalam hal itu jauh lebih penting dari berbagi sedikit laba!"

"Lebih menyedihkan lagi, kita bicara dengan cara berpikir suatu negeri beradab! Padahal, realitas yang terjadi, sekadar basa-basi mencerminkan seolah mengenal cara beradab saja pun jauh dari harapan!" tukas Umar. "Sekadar basa-basi untuk itu, misalnya, tidak mesti bos besar agen utama tabung gas melon itu datang menjenguk korban ledakan, cukup mengirim stafnya sebagai utusan menyampaikan simpati atas kecelakaan yang menimpa korban, syukur kalau ada bawaan yang bisa meringankan penderitaan korban!"

"Ternyata bukan simpati seperti itu yang datang!" timpal Amir. "Tapi pernyataan melepaskan si agen utama dari segala tanggung jawab formal dan sosialnya! Sebaliknya, melemparkan tudingan ke para korban, pedagang kampung dan ibu rumah tangga, tabungnya meledak karena mereka salah menanganinya! Padahal, bagaimana cara yang benar menangani tabung, tak lepas dari tanggung jawab agen besar untuk sosialisasi!"

"Tapi begitulah hidup di 'Republik Buang Badan'!" tegas Umar. "Justru korban yang lemah menderita jadi ajang melempar kesalahan! Jelas, itu bukan cara hidup beradab!" ***
Selanjutnya.....

Musim Hujan Disalip Musim Bobol Bank!


"MUSIM hujan belum berakhir, banjir melanda Medan sampai Papua, keburu disalip musim pembobolan bank!" ujar Umar. "Dari Januari sampai Maret 2011 terjadi tujuh pembobolan bank di Indonesia, terkait tiga bank BUMN dan empat bank swasta! Dari nyaris 20 tersangkanya, enam 'orang dalam' bank, satu wakil kepala cabang! Setiap kasus pembobolannya miliaran rupiah!"

"Selain tujuh bank nasional itu, juga terjadi pembobolan dana nasabah pada sebuah bank asing di Jakarta, yang dilakukan senior manager bank bersangkutan!" timpal Amir. "Uniknya, pelaku pembobol dana nasabah di bank asing ini menggunakan banyak uangnya untuk mengoleksi mobil mewah—dua Ferari, Hummer, dan Mercy E-350! Disebut unik, lazimnya pembobol bank menyembunyikan uang atau penggunaannya, tapi ini malah memamerkan secara mencolok hasil jarahan—empat mobil bernilai lebih Rp10 miliar!"

"Dengan demikian, ada dua hal negatif yang jalan seiring, merebaknya kejahatan kerah putih membobol bank dan efek demonstratif pada hasil jarahannya!" tegas Umar.

"Hal pertama, ramainya pembobolan bank, dilakukan dengan dua asumsi. Pertama, mengira bisa mengatasi sistem hingga yakin kejahatannya tak terungkap! Kedua, andai terungkap pun yakin bisa lolos lewat jaringan mafia hukum! Asumsi pertama terbukti mereka keliru, hingga diringkus penegak hukum! Asumsi kedua, masih wait and see!"

"Lalu soal efek demonstratif hasil jarahan!" timpal Amir. "Karena yang bersangkutan seorang senior manager di bank asing yang terkemuka di dunia, penggunaan simbol-simbol jet-set justru sebagai usaha untuk mematut-matut diri sesuai posisinya di komunitas apartemen supermewah hunian kaum ekspatriat—eksekutif asing! Sejauh ia dalam lingkungan komunitas itu, tak terasa aneh dengan koleksi supermewahnya! Tapi begitu keluar pagar apartemen dan masuk jalan raya, koleksi itu jelas mengundang kecurigaan—sukar dibayangkan bisa dicicil dengan gaji, kerja di bank asing sekalipun!"

"Semua itu menunjukkan, memang ada hal yang kurang beres dalam cara berpikir para pembobol bank, dan yang mendemonstrasikan jarahannya! Mereka baru sadar atas hal yang tak beres setelah dihentikan oleh pihak yang berwajib!" tukas Umar.

"Masalahnya, kenapa mereka memaksa diri untuk mencoba, bahkan ada yang berhasil tapi tak bisa berhenti dari kesalahannya? Dari situ muncul ihwal yang harus diwaspadai! Yakni, mereka hanyalah peniru yang gagal! Jadi, jangan-jangan banyak yang sukses namun belum tercium!" ***

Selanjutnya.....

Usul DPD Siasati Terus Turunnya Pamor Parpol!


"USUL Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengamendemen lagi UUD 45 agar calon perseorangan atau independen bisa ikut Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tak lagi dimonopoli calon parpol, kau setuju?" tanya Umar.

"Aku ikut suara mayoritas rakyat!" jawab Amir. "Hasil jajak pendapat Harian Kompas terakhir, 78,5% rakyat mendukung calon presiden dari perseorangan! Hanya 16,7% yang tak setuju! Itu peningkatan signifikan dari hasil survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2007, yang mencatat 68,8% setuju calon presiden perseorangan, hanya 20,2 persen tak setuju!" (Metro TV, 1-4)

"Usul DPD itu bisa jadi sebagai usaha menyiasati terus menurunnya pamor parpol yang tercermin dari rangkaian hasil survei tersebut!" tukas Umar. "Turunnya pamor parpol dalam satu dekade ini juga terlihat pada partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif! Pada pemilu legislatif 1999, partisipasi pemilik hak pilih 92,74%, sedang pada pemilu legislatif 2009 hanya 71% pemilih yang menggunakan haknya! Tampak, dalam satu dekade pamor parpol merosot 21% lebih, berarti eksistensi parpol harus teruji dua dekade lagi!"

"Artinya, kalaupun kalangan parpol untuk priode kini tak setuju disertakannya calon perseorangan dalam pemilu presiden—seperti dikesankan tokoh-tokoh parpol dalam dialog di televisi—usul DPD itu tetap relevan menyiasati kepudaran pamor parpol dalam jangka panjang!" timpal Amir. "Dengan laju kepudaran sedemikian, satu dekade pamor parpol merosot 21%, akan sebanding laju relevansi calon presiden dari perseorangan! Jadi, tanpa tindakan yang revolusioner pun untuk meloloskan calon presiden perseorangan itu, relevansinya akan terus menguat dengan sendirinya!"

"Tapi dilihat gejala kemerosotan pamor parpol itu sebagai akibat kontroversialnya langkah parpol dalam banyak hal—selalu bertentangan dengan kepentingan rakyat—jika parpol bisa berubah, memperbaiki sifat buruknya itu, laju kemerosotan pamornya akan bisa diatasi, bahkan dihentikan!" tegas Umar. "Saat itu terjadi, relevansi calon perseorangan bisa turun! Padahal, relevansi calon presiden perseorangan itu lebih penting lagi guna mengatasi diskriminasi atas hak sama setiap warga negara mengisi jabatan pemerintahan yang justru dijamin konstitusi itu sendiri! Jadi, guna menyelaraskan semua pasal konstitusi!"

"Kalau begitu, andai perubahan bunyi pasal UUD untuk itu belum mungkin dilakukan di MPR yang didominasi parpol, jalan lain ada, referendum!" timpal Amir. "Dari survei-survei yang ada, hasil referendum bisa diramalkan!" ***

Selanjutnya.....