Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ribut Fatwa MUI, Orang Kaya Dosa Pakai Premium!


"KATANYA Majelis Ulama Indonesia (MUI) merilis fatwa, haram bagi orang kaya memakai premium atau BBM bersubsidi buat mobilnya?" tanya Umar.

"Fatwa itu bukan katanya-katanya!" entak Amir. "Tapi keputusan resmi hasil sidang MUI! Untuk itu, Sekretaris MUI Pusat Ichwan Sam menolak anggapan seolah-olah MUI merekomendasikan fatwa BBM! Ada kesalahpahaman menanggapi pernyataan Ketua MUI K.H. Ma'ruf Amin!" (MI, 30-6).

"Jadi, resmi belum ada fatwa MUI BBM bersubsidi!" timpal Umar.

"Begitulah!" tegas Amir. "Menurut Ichwan Sam, Senin lalu K.H. Ma'ruf Amin diundang Kementerian ESDM, membahas penghematan BBM bersubsidi dari pendekatan agama! Saat ditanya wartawan, apa hukumnya orang mampu yang mobilnya mewah memakai premium bersubsidi, ia menjawab spontan, pihaknya akan membuat fatwa agar masyarakat berpikir dan melakukan langkah hemat energi berdasarkan ajaran agama! ‘Jangan sampai orang yang harusnya beli pertamax, tapi beli premium, itu ambil hak orang, itu dosa!’"

"Nada bicara Sang Kiai bisa membuat orang salah paham, bisa-bisa MUI mengeluarkan fatwa BBM bersubsidi!" timpal Umar. "Soalnya fatwa itu bisa kontroversial, semisal terkait dengan kata mampu atau kaya. Di desa, asal punya mobil orang digolongkan mampu dan kaya! Lagi pula di pedalaman yang jauh dari kota besar, tak ada SPBU jual pertamax! Apa agar tak berdosa orang harus menempuh ratusan kilometer cari pertamax? Mungkin karena kurang jelas soal fatwanya itu, orang jadi ribut!"

"Selain kemungkinan itu, orang juga ribut karena khawatir MUI diperalat!" tegas Amir.

"Setidaknya cendekiawan muslim Zuchairi Misrawi (MI, idem), mengharap MUI tidak mengeluarkan fatwa haram penggunaan premium! Sebab, fatwa itu hanya alat pembenaran bagi ketidakbecusan pemerintah mengelola kebijakan disparitas harga pertamax dan premium! Itu preseden buruk, jika MUI mau dijadikan tameng oleh pemerintah yang tidak becus dalam menjalankan kebijakan dan roda pemerintahan! Fatwa itu juga diskriminatif karena hanya mengikat umat tertentu!"

"Sebaiknya, pemerintah mencari jalan keluar lain mengatasi kesulitan BBM bersubsidi yang kini dialami rakyat kecil seantero negeri!" timpal Umar. "Selain fatwa MUI juga bersifat hipotetis—seperti fatwa haram bunga bank yang tak cespleng diamalkan—sudah banyak nelayan tak melaut, karena untuk beli solar pakai jeriken harus ada surat kepala desa, untuk dapat surat kades harus lunas PBB, dan seterusnya!" ***


Selanjutnya.....

Balap di Sirkuit Pertumbuhan!


"NEK, saya ikut balap di Sirkuit Langkapura!" ujar cucu. "Doakan supaya juara!"

"Nenek doakan jadi juara!" sambut nenek. "Tapi balapnya jangan kebut-kebutan! Alon-alon saja!"

"Nenek ini bagaimana?" entak cucu. "Orang balap disuruh alon-alon! Jelas tertinggal dari lawan!"

"Soalnya mesin mobilmu itu nenek perhatikan corrupted!" tegas nenek. "Saluran BBM-nya bocor, pembakaran di torak tersendat jadi batuk-batuk, cuma bisa lari 60 km sampai 70 km/jam!"

"Nenek sok tahu!" timpal cucu. "Mobilku nenek ibaratkan negara di sirkuit internasional balap pertumbuhan ekonomi nasional dengan skor terbaik yang dicapai dekade lalu 6,95% per tahun! Padahal, negara lain tumbuh jauh lebih pesat, seperti China 10% per tahun dalam satu dekade!"

"Ironisnya, dalam priode itu Indonesia sebenarnya menikmati harga tertinggi di pasar internasional beraneka komoditas unggulannya, yang justru harus dibayar mahal oleh negara-negara yang tumbuh lebih tinggi tersebut!" tukas nenek. "Karet mencapai 5 dolar AS per kg sheet, harga tertinggi 100 tahun! Demikian pula CPO, kakao, sampai produk bahan pangan dunia! Negara kita jadi tertinggal jauh dalam balap di sirkuit pertumbuhan karena negara ini seperti mesin mobilmu, corrupted! Bahkan ada yang lebih buruk lagi!"

"Apanya lagi, Nek?" kejar cucu.

"Daya tumbuh ekonomi nasional yang tertumpu di perusahaan-perusahaan industri dan jasa lewat reinvestasi kelebihan nilai tambahnya hingga membuka lapangan kerja baru, ditumpas oleh penguasa semua tingkat dengan mematahkan tunas barunya dimaksud!" tegas nenek. "Fungsi sosial perusahaan menampung tenaga kerja sudah disepelekan penguasa! Fungsi nasional perusahaan sebagai penyumbang pajak lewat beraneka jenisnya untuk menghidupi negara, dikecilkan pula! Padahal dari pajak perusahaan itulah terkumpul APBN yang didistribusikan ke APBD seantero negeri untuk biaya hidup pegawai dan membangun infrastruktur agar ekonomi tumbuh! Tapi, uang untuk belanja infrastruktur itu dihabiskan untuk keperluan lain, sehingga CSR 2,5% dari laba perusahaan diarahkan untuk menggantikannya! Lebih buruk lagi, kelebihan nilai tambah yang seharusnya buat reinvestasi membuka lapangan kerja baru dan tumpuan pertumbuhan ekonomi, kini didesak untuk membangun infrastruktur!"

"Dengan begitu basis-basis potensi pertumbuhan ekonomi jadi tumpul, daya di balap pertumbuhan juga merosot!" timpal cucu. "Itu karena penguasa dan birokrasinya jadi monster pelahap pajak!" ***


Selanjutnya.....

Arah Kebijakan Lebih Ditentukan oleh Kesalahan!


"MULAI 1 Agustus 2011 pemerintah melakukan moratorium—penghentian sementara—pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi!" ujar Umar. "Kebijakan itu ditetapkan Presiden setelah “kecolongan” Ruyati, TKI asal Bekasi, dipancung! Moratorium berlaku sampai Kerajaan Arab Saudi meratifikasi perjanjian perlindungan TKI!"

"Tampak gaya lazim penguasa era kini, kebijakan lebih ditentukan oleh kesalahan—dalam hal ini perlindungan terhadap TKI!" sambut Amir. "Tak cuma kesalahan belum ada kesepakatan kedua negara, terkait dengan perlindungam TKI itu secara nyata juga cuma

“teoretis” dan “retoris”—teoretis karena dana perlindungannya dikutip resmi dari TKI, tapi praktek perlindungannya tak ada! Retoris, karena perlindungan itu cuma dalam bicara para pejabat, amalannya tidak terbukti!"

"Dengan ditentukan kesalahan dan saat terkejut dipancungnya Ruyati, kebijakan itu jadi seperti kodok yang meloncat saat terkejut!" tukas Umar. "Tepatnya, kebijakan dengan

“metodologi kodok” itu arahnya serba-kebetulan menghadap ke mana si kodok saat terkejut! Berarti tidak ada perencanaan standar buat pelaksanaan kebijakan! Sekaligus, tidak ada sasaran kebijakan!"

"Sebaliknya, semua disesuaikan dengan tuntutan yang timbul sebagai akibat kebijakan loncat kodok itu!" timpal Amir. "Seperti penampungan pekerja yang dihentikan pengirimannya ke Arab Saudi harus disiapkan di daerah asalnya! Bukan hanya yang tertahan, tak jadi berangkat, tapi juga yang baru pulang dari sana, jumlahnya sebanding!"

"Untuk itu, lewat rapat kabinet bidang ekonomi sudah dicanangkan program terkait dengan PNPM di daerah asal TKI!" tegas Umar. "Tapi apa nantinya efektif mengatasi masalah pengangguran yang meluapkan TKI dari daerahnya, masih harus diuji! Sebab, gaya pemerintah pusat asal program sudah dicanangkan dianggap semua beres! Padahal, realitasnya sering beda! Dalam kasus moratorium dua tahun pengiriman TKI ke Malaysia, jangankan kebijakan pendukungnya, kebijakan pokoknya—moratoriumnya itu sendiri—acakadut!"

"Memang, penyelesaian masalah TKI ke luar negeri tak bisa ad hoc, darurat, tetapi harus bersifat strategis—menciptakan lapangan kerja dengan penghasilan memenuhi standar berkelayakan!" timpal Amir. "Bukan pekerjaan berpenghasilan serbacekak, untuk ini kurang, itu tak nyampai, seperti yang dengan bangga diciptakan penguasa dewasa ini! Justru jenis pekerjaan seperti itu yang menjadi push factor pencari kerja berduyun-duyun ke luar negeri! Imbangan TKI lapangan kerja berkualitas, bukan sekadar kuantitas!" ***


Selanjutnya.....

'Safety Player'!

"KAPTEN tim nasional sepak bola kita mainnya kok mengoper bola ke kiper melulu?" ujar Umar geram menyaksikan permainan tim kebanggaannya yang kalah terus di gelanggang internasional.

"Itu yang disebut safety player! Asal aman dulu!" jawab Amir. "Soalnya, dioper ke depan juga lebih sering bolanya direbut lawan! Lagi pula, tim kita tak punya goal-getter andal untuk menyelesaikan serangan dengan berbuah gol! Sebaliknya, kita sering kecolongan serangan balik dengan gerak cepat dari lawan, hingga gawang kita kebobolan terus! Dari kecolongan Australia menghentikan ekspor sapi bakalannya, tahu-tahu TKW Ruyati dihukum pancung di Arab Saudi, malah kebobolan oleh gocekan bola pemain sendiri sehingga konsumen Lampung harus antre BBM di SPBU!"

"Kalau tim nasional kita seperti halnya kabinet tak punya goal-getter—andalan pencetak gol—sukar diharap bisa mencetak gol dan memenangkan pertaandingan?" tukas Umar.

"Apalagi kaptennya safety player, mengirim bola ke gawang sendiri terus, rawan bola dipotong lawan dan kebobolan! Gawang tujuan untuk mencetak gol jauh pula!"

"Jangankan gawang kita tidak terus-terusan kebobolan sedemikian rupa dari waktu ke waktu! Gaya safety player dengan possession football—hanya oper-operan bola di antara pemain sendiri tanpa mampu menembus pertahanan lawan untuk mencetak gol—oleh Wakil Ketua DPD Laode Ida disebut sebagai konspirasi saling meloloskan dan melindungi kepentingan sesama kalangan elite, hingga gagal mencetak gol mengentaskan kemiskinan!" timpal Amir. "Sebaliknya, sudah pun gol (tujuan) itu tak tercapai, di barisan belakang kebobolan pula! Lebih celaka lagi, ketika kapten berdiri paling depan menghunus pedang untuk memerangi korupsi, di belakangnya kader partai sendiri malah terjerat kasus korupsi! Tragis nian, kebobolan gol bunuh diri!"

"Berarti pola permainan tim nasional kabinet kita itu harus dirombak!" tegas Umar.

"Kapten dari gaya permainannya yang defensif total harus diubah menjadi inisiator 'sepak bola menyerang', dengan mengoordinasi serangan untuk mencetak gol! Lalu, pemain depan didorong untuk berani menjadi goal-getter eksekutor, mirip tim trouble shootter ujung tombak Orde Baru—sang trisula—Ali Murtopo, Benny Murdani, dan Harmoko! Segala masalah dijamin bisa mereka bereskan!"

"Tepatnya, bukan sebatas possession football lagi, oper-operan wacana dengan beretorika belaka tanpa eksekutor yang mencetak gol!" timpal Amir. "Tapi, wacana diimbangi eksekusi! Tak lagi seperti sekarang ini, kaya wacana miskin eksekusi!" ***
Selanjutnya.....

Kembalikan Kepala Daerah kepada Rakyat!


"IDEALNYA, meskipun pencalonan kepala daerah diusung parpol, setelah terpilih menjadi milik seluruh rakyat daerahnya, bukan lagi cuma milik golongan atau partainya!" ujar Umar. "Ideal itu sukar diwujudkan karena banyak kepala daerah—terutama gubernur—merangkap jabatan sebagai ketua parpol!"

"Prioritas pada kepentingan partainya dibanding partai lain atau pilih kasih pada warga golongan politik pendukungnya, bagaimana pun sukar dielakkan!" timpal Amir.

"Belum lagi dengan merangkap jabatan ketua parpol itu, waktunya jadi tidak full time lagi bagi kepala daerah, hingga konsentrasi pada tugas negara dan pengabdian bagi seluruh rakyat tak bisa lagi betul-betul utuh dan fokus!"

"Maka itu, amat tepat jika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyampaikan pemikiran untuk melarang kepala daerah rangkap jabatan sebagai ketua parpol!" tegas Umar. "Kata Gamawan, di era otonomi daerah tanggung jawab kepala daerah semakin besar. Pusat sedang memikirkan bagaimana mekanismenya agar waktu dan energi kepala daerah bisa terfokus pada pelayanan kepada masyarakat! Selain itu, pelimpahan tugas dan kewenangan pusat ke daerah makin banyak, terutama memajukan ekonomi dalam otonomi daerahnya! Juga, dengan alokasi dana APBN yang naik pesat untuk daerah dari Rp139 triliun pada 2005 jadi Rp437,1 triliun pada 2012, rangkap jabatan itu rawan overlapping dalam pengelolaan keuangan daerah dan partai!" (Kompas, 25-6)

"Meskipun demikian, tidaklah mudah mengembalikan kepala daerah kepada rakyat seperti diidamkan Gamawan Fauzi!" timpal Amir. "Masalahnya, posisi kepala daerah terutama gubernur sebagai ketua parpol itu justru merupakan penentu bagi kekuatan suatu parpol di daerah atau provinsi bersangkutan! Kalau diberlakukan dengan dasar sebatas peraturan menteri, akan dengan mudah dibantai beramai-ramai oleh para politisi yang amat berkepentingan bagi kekuatan partainya di daerah! Kalau dengan mengubah Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, prosesnya bisa lama selain tak terjamin berhasil!"

"Dengan begitu bisa dipahami negara kita selalu tertinggal dari negara emerging forces sekelas, karena pemerintahan dan pembangunan daerah—sebagai ujung tombak kemajuan negara—cuma ditangani sebagai pekerjaan sambilan!" tegas Umar. "Untuk itu, hanya jika ada gerakan rakyat yang cukup tangguh untuk membuat setiap calon kepala daerah mau berjanji tertulis untuk tidak merangkap jabatan politik bila terpilih! Jika calon yang tak mau berjanji itu benar-benar tak dipilih oleh rakyat, gerakan itu bisa memajukan bangsa!" ***


Selanjutnya.....

Pasir Isap kian Menelan Bangsa!


"BANGSA ini dalam pusaran krisis pasir isap yang kian menelannya akibat dari hari ke hari selalu muncul masalah dengan kesulitan baru yang tak terselesaikan tuntas!" ujar Umar. "Pasalnya, masalah yang datang silih berganti itu coba diselesaikan secara ad hoc, darurat, bukan dengan kelembagaan permanen!"

"Memang! Seperti krisis TKI dihukum pancung di Arab Saudi, sekarang dibentuk tim khusus untuk cari penyelesaian!" timpal Amir. "Padahal, ada berbagai lembaga negara dan pemerintah yang secara formal punya fungsi dan tanggung jawab mengurusi TKI sejak di dalam negeri sampai perlindungan di tempat kerjanya! Tapi fungsi dan tanggung jawab itu selama ini tak dilaksanakan semestinya, sehingga ketika terjadi masalah perlu dibentuk badan ad hoc untuk mengisi kekosongan fungsi tersebut!"

"Itu dia! Akibatnya lembaga-lembaga negara dan pemerintah itu tak berfungsi lagi, keberadaannya sekadar mengisi komposisi strutural!" tukas Umar. "Tanpa peduli, ketika badan ad hoc itu tak tuntas menyelesaikan tugasnya lalu tak kelihatan, lembaga formal struktural itu tetap mandul!"

"Padahal, untuk fungsi melindungi setiap TKI itu, selain kewajiban formal konstitusional, juga ada kewajiban komersial berupa (imbal jasa) asuransi yang disetor PJTKI saat penempatan, Rp400 ribu setiap TKI, melengkapi uang rekomendasi izin kerja di luar negeri yang ditarik Depnakertrans 15 dolar AS/TKI!" tambah Amir.

"Dengan kewajiban TKI dilunasi di depan saat diproses Depnakertrans sebelum berangkat itu, sekadar kantor atau biro konsorsium perusahaan asuransi tersebut di luar negeri tak ada, sehingga jika klien butuh PJTKI membantu menguruskan susah bukan kepalang! Kalau PJTKI saja mengurus asuransi sukar, apalagi TKI—tempatnya saja tak tahu di mana!"

"Begitulah kenyataannya, jelas terlihat mindset lembaga-lembaga negara dan pemerintah tak lebih dari semata-mata menjadikan TKI sebagai mangsa pemerasan mereka!" tegas Umar. "Itulah sebabnya, saat timbul masalah akibat absennya fungsi dan tanggung jawab mereka, tak bisa mereka atasi hingga harus dibentuk tim ad hoc! Masalahnya, mereka memang tak mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya karena bisanya memang cuma memeras TKI!"

"Seperti itulah gambaran masalah demi masalah yang beruntun tak terselesaikan hingga menyeret bangsa kian dalam di pusaran pasir isap!" timpal Amir. "Krisisnya mengimbas ke daerah, dari PHK massal akibat penghentian impor sapi bakalan Australia, sampai pembatasan BBM bersubsidi!" ***


Selanjutnya.....

Pilkada, Manusiawi Kalau Jadi Lupa!


"KEK, apa beda pilkada dan pilkabe?" tanya cucu.

"Bedanya," jawab kakek, "Dalam pilkada kalau jadi, lupa! Sedang pilkabe, kalau lupa, jadi!"

"Kalau begitu, pilihlah calon bupati yang setelah jadi tak lupa, terutama kepada nasib rakyat yang memilih dan memenangkannya di pilkada!" tegas cucu. "Cuma, bagaimana bisa memastikan orang yang mana kalau jadi tidak lupa?"

"Sukar!" sambut kakek. "Meski demikian perhatikan iklannya! Kalau berisi janji, apalagi janji kepada orang banyak, kemungkinan lupa pada janjinya cukup besar! Konon lagi janji kepada orang banyak, janji kepada keluarga sendiri saja orang bisa lupa, dan itu dianggap manusiawi juga!"

"Berarti kalau dalam pilkada setelah jadi lalu lupa, bisa dianggap manusiawi!" timpal cucu. "Lebih manusiawi lagi jika mengutamakan kepentingan pribadi dan berorientasi melestarikan kekuasaan diri beserta keluarganya!"

"Itu manusiawi sekali!" tegas kakek. "Tapi di balik itu ada logika kekuasaan—sang kepala daerah telah mengaktualisasikan diri sebagai penguasa! Lalu, ia pun memprioritaskan pencapaian tujuan-tujuan kekuasaan! Sampai di situ, setiap penguasa dituntut piawai memainkan the art of power!"

"Sejenis ajaran kelicikan penguasa dari Thomas Hobbes atau Machiavelli?" timpal cucu.

"Ajaran demi kekuasaan tetap nyaman yang sering dipraktekkan hingga rakyat menderita dibiarkan dan ditutupi retorika kesuksesan—meski kesuksesan yang cuma dinikmati kelompok berkuasa!—model Barat itu sudah kuno dan harus ditinggalkan!" tegas kakek.

"Pada akhir dekade awal abad 21 ini muncul The Art of Power karya biksu Thich Nhat Hanh (2008), membimbing penguasa menjadi pemimpin sejati yang menjauhkan rakyatnya dari kesengsaraan dan penderitaan!"

"Seperti apa ajarannya?" potong cucu.

"Hanh menekankan tiga keunggulan moral yang harus dicapai pemimpin sejati!" jelas kakek. "Satu, meredam amarah dan nafsu. Dua, rangkul sesama dengan kasih sayang. Tiga, pandang sesuatu dengan kedalaman. Bayangkan Presiden AS atau CEO multinasional besar bertindak sesuai ajaran itu. Hanh menantang para pemimpin politik untuk bersikap tenang, menggunakan bahasa cinta, menempatkan diri dalam situasi penderitaan dan kesengsaraan rakyatnya, dan bicara kepada mereka dengan penuh kasih sayang!"

"Kalau cuma bergaya seperti itu, para penguasa kita sudah mahir, tapi dilakukan tanpa ketulusan!" tukas cucu. "Di balik itu, uang rakyat dikorupsi tiada henti!" ***


Selanjutnya.....

Ajaib, BBM Hilang dengan Sendirinya!


"RELATIF mendadak, sepekan terakhir ini antrean panjang pembelian BBM bersubsidi—terutama premium—terjadi berganti-ganti di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) Lampung!" ujar Umar. "Setiap SPBU yang baru kedatangan pasokan BBM langsung dikerubuti antrean panjang, sedang sejumlah SPBU lainnya lengang kehabisan BBM hingga tak bisa melayani konsumen!"

"Ajaib, BBM yang sepekan sebelumnya masih normal dan lancar, tiba-tiba hilang dengan sendirinya, jadi langka nyaris di semua SPBU!" timpal Umar. "Lebih ajaib lagi, pasokan Pertamina kepada SPBU dinyatakan cukup sesuai kuota! Tapi nyatanya, umumnya SPBU melayani pembeli hanya seusai menerima pasokan!"

"Tapi kata pejabat Pemerintah Provinsi Lampung kelangkaan BBM ini terjadi akibat pertambahan jumlah kendaraan bermotor di daerah ini!" sela Umar. "Pemprov telah menyampaikan permintaan tambahan kuota BBM ke Pertamina!"

"Kalau permintaan tambahan kuota itu dipenuhi Pertamina, alhamdulillah!" sambut Amir.

"Cuma, kalau dilihat dari terjadinya kelangkaan yang relatif dadakan, dari sebelumnya normal hingga saling tuding siapa yang jadi biang krisis—terakhir pedagang besar menuding pengecer karena antre jeriken dan drum—penambahan kuota bisa-bisa juga tak menyelesaikan masalah!"

"Maksudmu meskipun ditambah kuota, kelangkaan tak teratasi juga?" kejar Umar.

"Kalau penyebab dari normal mendadak hilang dengan sendirinya itu belum ditemukan secara nyata, bukan mustahil penambahan pasokan saja tak dijamin menyelesaikan masalah!" tegas Amir. "Betapa, pokok masalah sesungguhnya adalah perbedaan harga yang sampai dua kali lipat BBM subsidi dengan nonsubsidi! Jadi, sebelum berhasil ditemukan kausalitas dari normal tiba-tiba jadi langka itu, pokok masalah yang sesungguhnya memang belum dipecahkan!"

"Masalahnya bisa hilang dengan sendirinya begitu, seharusnya bisa ditemukan dengan
sendirinya juga!" timpal Umar. "Jadi, harus bisa adu mantra, atau adu siluman untuk menyingkap misteri di balik keajaiban BBM bersubsidi yang bisa hilang dengan sendirinya itu!"

"Adu pintar atau adu licik dengan segala ngelmu itu perlu dicoba, agar kebingungan warga melihat keajaiban BBM bisa mendadak hilang dengan sendirinya itu bisa dapat jawaban!" tegas Amir. "Kalau ternyata tak mampu menyingkap rahasia keajaiban itu, apa boleh buat, tambah kuotanya! Kurang juga, tambah lagi! Tambah terus sampai kekenyangan!" ***


Selanjutnya.....

Sapi Australia Lebih Beruntung Dibanding TKI


"SELAIN berulang disebutkan presenter televisi, di Facebook juga didiskusikan, nasib sapi Australia ternyata lebih baik daripada tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri!" ujar Umar. "Karena sapi Australia saat dipotong di sini disakiti, sejak 8 Juni 2011 pemerintah Australia menyetop pengiriman sapi mereka ke Indonesia! Sebaliknya, leher Ruyati (TKI) dipancung di Arab Saudi, pemerintah Indonesia justru melempar tanggung jawab!"

"Memang!" timpal Amir. "Pemerintah melempar tanggung jawab, seperti dinyatakan Menlu Marty Natalegawa, India dan Nigeria juga mengalami hal serupa! Masak disamakan dengan India dan Nigeria, padahal Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedangkan kedua negara itu tak punya bargain sebaik Indonesia!"

"Tampak betapa lemahnya diplomasi Indonesia, hingga sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia bisa diremehkan Arab Saudi!" sambut Umar. "Padahal, seharusnya dengan realitas itu, Arab Saudi sebagai asal agama Islam seyogianya sangat menghormati persahabatannya dengan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim! Artinya, untuk menempatkan posisi bangsa pada proporsinya saja, diplomasi pemerintahan negara kita gagal!"

"Perbandingannya seperti kau sebut tadi, 'harkat dan martabat' sapi saja oleh pemerintah Australia dibela dan dilindungi sampai menghentikan pengirimannya ke Indonesia, sedang TKI sampai dihukum pancung pun tak dapat pembelaan dan perlindungan nyata!" tukas Amir.

"Anehnya, setiap calon TKI mengurus rekomendasi bekerja di luar negeri dikutip Depnakertrans uang perlindungan 15 dolar AS (sekitar Rp130 ribu). Saat penempatan, PJTKI membayar lagi asuransi perlindungan setiap TKI Rp400 ribu! Tapi semua jaminan itu cuma pepesan kosong dalam memberi perlindungan pada TKI!"

"Jadi praktis, penanganan TKI selama ini masih lebih besar aspek retorikanya! Sedangkan realitasnya, TKI justru disiapkan menjadi pahlawan devisa dalam arti sesungguhnya, dikorbankan jiwa-raganya!" timpal Umar. "Dari uang perlindungan yang dikutip tak sebanding dengan perlindungan yang mereka dapatkan, tampak pemerintah juga menjadikan TKI sapi perah, lebih utama perolehan devisanya daripada nasib pahlawannya!"

"Alhasil kasihan Presiden SBY, dibohongi para pembantunya!" tegas Amir. "Dia pidato di forum ILO mendapat standing applause atas pernyataannya bahwa Indonesia telah memberikan perlindungan terbaik kepada buruh migran (TKI), terbukti yang dialami TKI justru perlindungan terburuk!" ***


Selanjutnya.....

Kerusakan Moral Bangsa, Kritis!


"MENCENGANGKAN! Begitulah hasil jajak pendapat Kompas di 12 kota yang dilakukan 17-18 Juni lalu. Atas pertanyaan apakah Anda pernah mencontek, menjiplak hasil karya orang lain, 52,6% mengaku pernah, dan 5,4% di luar itu mengaku sering/selalu!" (Kompas, 20-6) ujar Umar. "Artinya, 58% responden yang merepresentasikan warga semua lapisan sosial dan golongan itu mengaku dirinya cerminan dari kerusakan moral bangsa!"

"Dari masyarakat seperti itulah lahir birokrat, pejabat, penegak hukum, politisi,
komisioner, dan sebagainya yang kerusakan moralnya sudah kritis!" timpal Amir.

"Kejujuran tinggal dalam retorika alias omong kosong penghias bibir belaka, sedang perilakunya bertolak belakang!"

"Kesimpulanmu itu didukung data Kompas, 158 kepala daerah (gubernur- bupati, wali kota) 2004-2011 terjerat kasus korupsi, sebagian telah divonis bersalah!" tegas Umar.

"Lalu 42 anggota DPR kena kasus korupsi (2008-2011). Jika 2009 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim, 2010 justru meningkat jadi 107 hakim! Pada 2010 di kejaksaan 288 orang kena saksi, 192 di antaranya jaksa! Di kepolisian, pada 2010 sebanyak 294 polisi dipecat, 18 perwira dan 272 bintara! Tamtamanya malah cuma 4 orang—cerminan kerusakan moral merebak di tingkat menengah dan atas!"

"Kerusakan moral yang melanda masyarakat menengah dan atas, terutama kalangan pengelola negara dan aparat penegak hukum itu, jelas amat mencemaskan karena bisa mengakibatkan negara runtuh!" tukas Amir. "Cuma, bagaimana harus memperbaikinya, karena yang rusak moralnya itu justru pilar-pilar utama penyangga berdirinya bangunan negara-bangsa ini?"

"Seperti bangunan kuno yang pilar-pilarnya lapuk atau keropos harus diganti, penggantiannya lazim dilakukan dengan restorasi!" timpal Umar. "Dalam restorasi, seperti pada Candi Borobudur, selain mengganti unsur yang rusak, tugas terpentingnya mengembalikan bangunan ke bentuk aslinya! Untuk restorasi dari kerusakan negara dalam sistem neoliberalisme kini, tentu mengembalikan negara ke cita-cita asli yang tercantum di Pembukaan UUD 1945, mengimplementasikan Pancasila dengan mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!"

"Itu uraian kromo inggil-nya!" tegas Amir. "Bahasa praksisnya, rakyat harus mengganti seluruh unsur pemimpin negara ini secara demokratis melalui pemilu! Rakyat dengan derita yang berkelanjutan, amat menyadari hal itu! Tugas media massa terus memperkuat kesadaran rakyat itu hingga benar-benar mengaktual dalam pemilu mendatang!" ***


Selanjutnya.....

Kantin Kejujuran pun Berguguran!


"KANTIN Kejujuran yang dicanangkan Kejaksaan Agung 2007 di lingkungan kantor kejaksaan se-Tanah Air, yang kemudian dibuat di sekolah-sekolah, belakangan ini mayoritas berguguran!" ujar Umar. "Bahkan di Kejaksaan Agung sendiri, ruang Kantin Kejujuran sudah kosong, tinggal papan nama!" (MI, 19-6)

"Meski bisa disebut mayoritas gagal, tetap harus dipastikan ada juga Kantin Kejujuran yang masih hidup!" timpal Amir. "Kantin Kejujuran gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Jakarta, dan SDN 01 Kampungdalem, Tulungagung, Jawa Timur, masih aktif! Menurut Koran Anak Indonesia (http://bocah.org), di Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2008, Pemkab Tulungagung membantu 11 sekolah (SMA-SMP-SD) masing-masing Rp1 juta untuk membuka Kantin Kejujuran. Kecuali SDN 01 Kampungdalem, sekolah lainnya gagal!"


"Sayang, ide baik untuk membina moral bangsa secepat itu rontok!" tegas Umar. "Menurutmu apakah moral warga yang memang sudah rusak? Sehingga, tamu yang mengambil dan menghitung sendiri makanan dan minuman itu tak membayar sesuai nilai belanjanya? Atau, konsep Kantin Kejujuran ada yang kurang, dalam managemen maupun pengondisian bagi para tamunya?"

"Ketiga dimensi itu—moral warga, manajemen kantin, dan pengkondisian psikologis para tamu—cenderung masih kurang dalam operasi Kantin Kejujuran!" jawab Amir. "Moral dan pengondisian tamu berkaitan! Moral warga (yang diharapkan jujur) dilepas dengan hidangan bebas tanpa pengondisian yang efektif agar setiap yang berbelanja mengaktualkan kejujurannya!"

"Pengondisian seperti apa, hingga para tamu jadi jujur membayar makanan dan minuman sesuai yang dilahapnya?" kejar Umar.

"Misalnya rekaman ucapan selamat datang yang berbunyi saat tamu masuk, lalu mengingatkan kalau makanan yang diambil tak dibayar kelak harus dibayar atau dikembalikan di Padang Mahsyar dengan mencari pemilik mustahaknya sampai jumpa di antara ribuan miliar orang! Stiker 'peringatan' serupa dipajang di tempat yang mudah terbaca!"

"Mengerikan amat pengondisiannya!" entak Umar.

"Itu sekalian menunjukkan betapa pentingnya arti kejujuran!" tegas Amir. "Sanksi buat yang tak jujur bukan sembarangan! Tapi, itu saja juga tak cukup! Dukungan manajemen mempermudah orang untuk berbuat jujur jauh lebih penting! Seperti tersedia cukup uang kembalian! Tepatnya, Kantin Kejujuran bukan menguji kejujuran orang, tapi memandu dan memantapkan kejujuran!" ***

Selanjutnya.....

Permisif, yang Menyeleweng Malah Dipuji!


"DALAM kleptokrasi, negara yang dipimpin para pencuri, seorang pejabat pemerintah yang pintar menyeleweng, merampok uang negara dan uang rakyat sebanyak apa pun tak tersentuh hukum, kariernya cepat menanjak!" ujar Umar.

"Posisinya bisa melesat ke level tinggi karena keahliannya maling anggaran tanpa terjerat hukum itu diperlukan bagi kepentingan sang pemimpin! Pada tahap ini, ia mendapat kepuasan ekstra, sering dipuji bos selain tetap dapat bagian untuk dirinya sambil melaksanakan tugasnya buat bos!"

"Ada pejabat yang bertugas untuk itu amat pintar, sehingga bukan cuma uang yang disisihkan buat dirinya jumlahnya bisa lebih besar dari yang untuk bos, juga lebih populer di lingkungan kantornya karena ia pintar memainkan peran ‘Robin Hood’—semua pegawai dapat cipratan!" sambut Umar. "Dengan pintarnya ia bermain ‘Robin Hood’, baik di lingkungan kerja maupun kediamannya, warga di sekelilingnya pun perlahan jadi permisif, tidak lagi menentang dan mengecam perbuatan melanggar moral itu! Sebaliknya, dengan kemurahan hatinya itu ia dipuji warga sebagai dermawan!"

"Semakin banyak pejabat yang pintar cari duit buat bos di jalur tugas masing-masing, semakin tandas penggerogotan dana anggaran hingga kehidupan rakyat semakin sulit dan menderita, arti kemurahan hati para pejabat ‘Robin Hood’ juga menjadi signifikan dalam mengurangi kepedihan derita rakyat!" tegas Umar.

"Lebih jauh lagi, aksi penyelewengan pun menjadi jalur distribusi uang negara kepada rakyat lewat mekanisme foya-foya dan kemurahan hati para pejabat!"
"Tak cuma sebatas itu!" timpal Amir. "Mekanisme foya-foya dan kedermawanan pejabat itu sebagai jalur distribusi ekonomi kleptokrasi berkembang menjadi pola hubungan patron-client, hubungan bapak/pemimpin dan pengikut, tepatnya menjadi investasi dukungan politik! Kapan saja si bapak/pemimpin mencalonkan diri jadi kepala daerah, para penerima pandum dari kedermawanannya selama ini jadi pendukung utama!"

"Celakanya, karena dukungan kepada semua calon terbentuk oleh pola hubungan 'Robin Hood' itu—meski ada yang dibagi-bagi duluan dari utangan untuk ditutupi kalau menang pemilihan kelak—tak terelakkan penyelewengan dalam pengelolaan anggaran di semua lininya pun menjadi tradisi!" tegas Umar.

"Di sisi lain, orang-orang jujur dan punya integritas yang tak ikut menyeleweng, dipandang sebagai orang bodoh! Mumpung ada kesempatan tak dimanfaatkan! Warga permisif, para pemakai aji mumpung dianggap sukses dan dipuji!"

Selanjutnya.....

Derita Rakyat di Negara Bangkrut!


"KAPAN sih mulai puasa Ramadan?" tanya nenek.

"Sekarang pertengahan Rajab, berarti sebulan setengah lagi!" jawab cucu. "Ada apa, Nek?"

"Ketiga putraku, paman-pamanmu, ngumpul di rumah!" jawab nenek. "Biasanya itu terjadi awal puasa Ramadan!"

"Kalau biasanya mereka berkumpul di tempat nenek tanda bahagia menyambut Ramadan, kali ini sebaliknya, mereka berkumpul memadu derita di ambang kebangkrutan negara!" jelas cucu. "Paman Temon pulang kena PHK massal di usaha penggemukan sapi tempatnya kerja! Paman Temu pulang karena tambak udang tempat dia menjadi plasma menghentikan kegiatan setelah rugi besar akibat usaha mereka diblokir hingga praktis tak bisa beroperasi! Paman Temin yang nelayan pulang, perahunya tak dapat solar! Ada dijual eceran, tapi harga solarnya tiga kali lipat!"

"Kok semua lapangan penghidupan mengalami kesulitan secara serentak begitu?" tanya nenek.

"Derita rakyat yang datang bertubi-tubi itulah di antara tanda-tanda negara menjurus bangkrut, sehingga para tokoh bangsa di luar pemerintahan, Kamis lalu berkumpul di kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, urun rembuk guna mencegah kebangkrutan negara!" tegas cucu. "Selain kesalahan pejabat pemerintahan dalam menangani perekonomian sehingga terjadi hal-hal yang menyebabkan penderitaaan rakyat jelata tadi, para tokoh bangsa itu mengkhawatirkan kebangkrutan negara terjadi akibat korupsi yang makin meluas dan merasuk ke kisaran pusat kekuasaan! Di tengah kondisi yang buruk itu, tak ada pula pemimpin yang punya karakter dan visi kuat untuk dijadikan teladan atau panutan!"

"Bagaimana ceritanya tiba-tiba negara kita berada di tubir jurang kebangkrutan?" keluh nenek. "Kan selama ini diberitakan televisi anggaran negara dan daerah terus naik, pemberantasan korupsi juga dijalankan dengan tegas!"

"Anggaran negara dan daerah yang terus naik itu cuma seperempatnya dialokasikan untuk rakyat, itu pun cuma sebagian yang benar-benar sampai ke rakyat!" tegas cucu.

"Sebagian lagi, akibat pemberantasan korupsi cuma bergelora dalam retorika, peningkatan dana anggaran menyelinap dalam jaringan kleptokrasi!"

"Pertanyaanku, kok tiba-tiba begini?" kejar nenek.

"Karena keburukan di lingkaran kekuasaan itu terungkapnya juga bertubi-tubi!" jawab cucu. "Itu membuka pandora, selama ini tertutupi oleh citra artifisial! Seolah negara baik-baik saja, ternyata digerogoti dan salah urus di segala sisi, hingga derita Temon, Temu, dan Temin berpadu!" ***


Selanjutnya.....

Krisis Kejujuran Dunia Pendidikan!


"KASUS contek massal di SDN Gadel 2, Surabaya, berkembang menjadi krisis kejujuran di pendidikan nasional!" ujar Umar. "Kasus itu bermula dari Alif, murid SDN itu, yang gelisah diminta gurunya membagi contekan kepada teman-temannya saat UN, lalu menyampaikan itu kepada ibunya, Siami! Sang ibu mengajukan protes ke komite sekolah dan kepala sekolah, tapi tak digubris! Ia ke Dinas Pendidikan dan DPRD, yang ditindaklanjuti sehingga mendulang putusan wali kota mencopot kepala sekolah dan dua guru diturunkan pangkatnya!"

"Berarti masalahnya selesai, pemerintah telah menindak tegas pihak-pihak yang bertanggung jawab atas ketidakjujuran di UN itu!" timpal Amir. "Justru penyelesaian itu yang menyulut krisisnya melejit ke tingkat nasional!" tegas Umar. "Akibat putusan yang menyudutkan kepala sekolah dan dua guru SDN itu, warga kampung setempat yang merupakan orang tua murid SDN Godel 2 marah, mengusir Siami dan keluarga dari rumahnya di kampung itu karena telah merusak citra sekolah! Artinya, warga kampungnya menolak kejujuran yang diperjuangkan Siami, warga malah membela ketakjujuran yang dipraktekkan di sekolah itu!"

"Kalau begitu merebaknya di kampung, bukan nasional!" kilah Amir. "Nasib Siami dan keluarga yang terusir akibat usahanya menegakkan kejujuran itu yang menjadi perhatian pers nasional, sehingga menjadi diskusi nasional yang hangat tentang adanya krisis dengan semakin lemahnya nilai kejujuran di dunia pendidikan!" tegas Umar.

"Tajuk Kompas (16-6) melukiskan ketakjujuran di dunia pendidikan itu seperti penyakit sampar yang melanda bangsa! 'Jelmaan sampar untuk Indonesia berupa ketidakjujuran, kebohongan, haus kursi citra kinclong, praksis kekuasaan tak prorakyat, dan seterusnya,' tulis Kompas."

"Seriusnya pers menanggapi cemarnya kejujuran di sekolah amat wajar, karena selama ini sekolah merupakan benteng terakhir tempat kejujuran dipelihara!" timpal Amir. "Ketika benteng itu jebol, jelas bisa menjadi bencana nasional ke masa depan di mana tak ada lagi generasi yang andal untuk menegakkan kejujuran!"

"Bagaimana benteng itu tak jebol oleh banjir bandang ketidakjujuran yang menenggelamkan ruang publik dengan sampah proses dan retorika politik!" tegas Umar.

"Sekolah sebagai benteng kejujuran generasi muda itu tak bebas banjir limpahan ketakjujuran dari ruang publik! Bukan salah sekolah, tapi banjir bandang ketidakjujuran dari ruang publik itu yang tak terbendung labrakannya!" ***


Selanjutnya.....

Indonesia, 'Superpower' Blok Islam!


"MENGUTIP Samuel Huntington, dunia terbagi menjadi empat blok—Barat/Yahudi-Kristen, Buddha, Hindu, dan Islam—dengan Islam satu-satunya blok yang tak punya superpower, Masdar F. Mas'udi—Rais Syuriah PB NU—mengunggulkan Indonesia menjadi calon superpower di antara 51 negara Islam di dunia!" ujar Umar. "Dalam diskusi bedah buku karya Masdar Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam di IAIN Raden Intan, Rabu (15-6), ia menyebut kelemahan Indonesia dalam meraih superpower itu adalah kualitas sumber daya manusia—SDM dan korupsi, yang mengakibatkan lebih 65 tahun merdeka cita-cita proklamasi masih jauh dari kenyataan!"

"Yang menyedihkan, semakin hari akhir-akhir ini justru semakin ramai kasus korupsi terungkap, bahkan kian dekat pula dengan poros kekuasaan!" timpal Amir. "Sedang pembangunan SDM, seperti di Lampung, semakin besar juga jumlah murid yang terancam kesulitan mendapatkan ruang di sekolah lanjutan! Jadi, dari kedua syarat untuk meraih posisi superpower di blok Islam, seperti dimaksud Masdar, realitasnya justru berjalan melawan arus! Artinya, kalau tak berhasil diatasi, prospeknya bakal kian jauh dari harapan pula!"

"Kayaknya itulah masalah krusial bangsa kita, karena jika realitasnya cenderung terus semakin menjauh dari ideal cita-cita kemerdekaan—gagal mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat—bisa menyulut radikalisme, yang juga merebak melalui jaringan keagamaan dibalut beraneka alasan!" tegas Umar. "Akibatnya, semua keunggulan yang dimiliki Indonesia sebagai potensi untuk meraih posisi superpower di blok Islam menjadi sia-sia! Secara konkret yang terjadi sebaliknya, bukan peningkatan kesejahteraan rakyat yang terwujud, melainkan kesengsaraan jadi lebih mendalam!"

"Semua itu terjadi akibat kemunduran moralitas, utamanya di kalangan elite bangsa, selain yang berwujud korupsi, kenyataan yang lebih buruk lagi, jatuhnya sumber-sumber strategis ekonomi bangsa ke tangan asing! Ini bisa mempersulit usaha peraihan posisi superpower!" timpal Amir. "Contohnya, sektor pertambangan 75% dikuasai asing, perbankan nasional 50,6%, sektor telekomunikasi XL 80%, Indosat 70%, bursa saham porsi pemain lokal cuma 2%, ritel usaha milik asing sudah pun merasuk jauh ke perdesaan!"

"Meskipun demikian, bukan berarti peluang Indonesia menjadi superpower di blok Islam sudah habis!" tegas Umar. "Jika dapat rahmat pemimpin yang tepat—seperti AS krisis fatal ekonomi 1930-an bisa diatasi, memenangi PD II, dan bangkit jadi superpower—Indonesia juga bisa menjadi superpower!" ***


Selanjutnya.....

Era Kleptokrasi, Negara Dipimpin Para Pencuri!


"KOMPAS (14-6) memajang headline halaman depan lima kolom berjudul Negara Mengarah Kleptokrasi!" ujar Umar. "Di alinea awal beritanya menjelaskan maksud kleptokrasi adalah negara yang dipimpin oleh para pencuri!"

"Dalam konteks seperti apa Kompas menyebut Indonesia mengarah kleptokrasi?" tanya Amir.

"Konteksnya Kompas tulis, korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya. Bahkan, bangsa Indonesia mengarah menjadi negara kleptokrasi!" tutur Umar. "Simpul itu ditarik dari pendapat Adnan Buyung Nasution dan Gun Gun Heryanto, dosen komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah! ‘Indonesia semakin terperangkap dalam pusaran kleptokrasi,’ tegas Gun Gun!"

"Kalau itu konteksnya, sudah banyak contoh pejabat yudikatif, legislatif, dan eksekutif dihukum karena melakukan korupsi!" sambut Amir. "Karena itu, masalah utama bangsa kita hingga terjebak perangkap kleptokrasi, kenapa hukuman demi hukuman yang dijatuhkan itu tak membuat jera para pejabat untuk kemudian menghentikan korupsi! Sebaliknya, semakin ke belakang ini kasus korupsi yang terungkap bukan saja semakin besar nilainya, tapi juga semakin dekat dengan poros-poros kekuasaan!"

"Itu karena poros-poros kekuasaan kurang tegas sikap dan tindakannya dalam pemberantasan korupsi!" tegas Umar. "Pemberantasan korupsi di poros-poros kekuasaan itu sebatas retorika! Kalau bicara berapi-api menyatakan berdiri paling depan dan menghunus pedang pertama memerangi korupsi! Tapi, saat ada kasus korupsi yang butuh kewenangannya untuk menghadirkan terperiksa dan mengungkap kasusnya, ia lincah berkilah itu tugas penegak hukum, bukan urusannya!"

"Jadi, boro-boro penguasa di poros kekuasaan itu menjadi teladan atau contoh positif dalam upaya pemberantasan korupsi, justru secara praktis tindakannya tak membantu usaha memberantas korupsi!" timpal Amir. "Atau lebih celaka lagi, ada penguasa cenderung mempersulit pemberantasan korupsi dengan malah melindungi koruptor!"

"Kenapa penguasa di poros-poros kekuasaan ada yang cenderung mempersulit pemberantasan korupsi atau bahkan melindungi koruptor dalam lingkup dan jaringan kekuasaannya?" tukas Umar. "Jawabnya sederhana, karena justru itulah bukti kleptokrasi—para pemimpinnya tidak hanya bagian dalam gejala korupsi, tapi justru pihak yang harus paling bertanggung jawab!" ***


Selanjutnya.....

Mencegah Anak Putus Sekolah!


"SETIAP tahun ajaran baru, Lampung terancam dengan besarnya jumlah anak putus sekolah akibat tak tertampung fasilitas ruang belajar-mengajar yang tersedia di sekolah lanjutan!" ujar Umar. "Besar kebutuhan itu terlihat pada peserta UN terakhir, SD/sederajat 145.489, SMP 126.718, dan SMA 77.466! Berarti, penerimaan di SMP sederajat kurang bangku 20.771, untuk SMA kurang 49.252!"

"Dengan asumsi peserta UN setara daya tampung untuk murid baru di sekolah menengah, tampak pada SMA/sederajat yang tak tertampung nyaris 70% dari fasilitas yang tersedia!" sambut Amir. "Ini mendesak diatasi! Untuk itu, Pemerintah Provinsi Lampung memutuskan akan membangun 11 sekolah baru tingkat SMA, masing-masing tiga lokal, yang bisa langsung menerima murid baru! Murid yang bisa ditampung 11 sekolah baru ini dengan 33 lokal kali 40 murid, sebanyak 1.320 orang—dari 49.252 yang tak dapat ruang belajar!"

"Meskipun sebenarnya agak terlambat membangun sekolah baru sesuai peningkatan kebutuhan yang pesat, tetap lumayan bisa menambah daya tampung sebanyak itu!" tegas Umar. "Sisa yang belum tertampung masih 47 ribu lebih murid itu harus dicarikan jalan keluar dengan sekolah belajar sore, terutama di sekolah swasta! Keadilan dalam mendapat kesempatan belajar itu harus ditangani serius! Jalan keluar sama buat penerimaan di tingkat SMP, jumlah murid yang harus diatasi sekitar 16% dari lulusan SD!"

"Usaha mencegah agar tak besar jumlah anak putus sekolah amat penting, karena masalah ini sejak lama menjadi salah satu penyebab Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Lampung terendah di Sumatera!" timpal Amir. "Untuk selanjutnya, penyediaan fasilitas ruang belajar harus diprioritaskan sampai sesuai dengan kebutuhan demi terwujudnya keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan!"

"Demi keadilan itu pula, proses penerimaan di sekolah-sekolah yang telah mencapai standar kualitas prima diharapkan dilakukan secara fair!" tegas Umar. "Keadilan dimaksud dilakukan dengan benar-benar berdasarkan merit prestasi objektif! Seleksi yang efektif dijalankan dengan merit prestasi objektif bisa mendorong murid junior penyusulnya bekerja keras untuk memenangkan persaingan masuk ke sekolah berprestasi!"

"Setelah membangun banyak sekolah baru, perjuangan selanjutnya adalah melengkapi tenaga pengajar dan fasilitas belajar-mengajar!" timpal Amir. "Artinya, untuk mengatasi masalah krusial pendidikan di Lampung, sebuah perjalanan panjang baru memulai langkah pertama!" ***


Selanjutnya.....

Nazaruddin, akan Hadirkah ke KPK?

"JUMAT lalu mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sriwahyuni, mangkir dari panggilan KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi!" ujar Umar. "Akan hadirkah ia pada panggilan kedua Senin ini, sebelum panggilan ketiga yang disertai penghadiran paksa?"

"Dari watak umum ‘Anak Siantar' yang tak kenal ajaran lari dari tanggung jawab, tetapi tangan mencencang bahu memikul, Nazarudin hampir bisa dipastikan hadir memenuhi panggilan KPK!" jawab Amir. "Namun, dengan berbagai kepentingan di seputar dirinya, meski tinggal mantan bendahara umum, Nazaruddin kini masih anggota DPR dan kader Partai Demokrat, ia tidak bisa lagi sepenuhnya memutuskan dengan pertimbangan sebagai 'Anak Siantar'! Sebelum dipecat dari Partai Demokrat dan DPR, keputusan yang diambilnya harus mengacu pada keberadaannya sebagai anggota partai dan DPR! Karena itu, di mata 'Siantarman' ia sakit sampai turun berat badan 18 kg seperti dilaporkan tim DPP Partai Demokrat yang menemuinya di Singapura, bukan karena takut KPK, tapi karena konflik antara watak dasarnya 'Anak Siantar' dengan keharusan bersikap sebagai anggota partai dan DPR itu!"

"Tapi dengan bersikap sebagai anggota partai dan DPR begitu, berlaku imbal-baliknya,
perlindungan partai terhadap dirinya!" tegas Umar. "Seperti kata Hendardi dari Setara Institut (MI, 11-6), kemangkiran Nazaruddin dari panggilan KPK diduga mendapat dukungan Partai Demokrat, yang bisa dianggap secara sengaja memproteksi Nazaruddin!"

"Perlindungan atau proteksi Partai Demokrat pada Nazaruddin terkesan cukup kuat!" timpal Amir. "Setelah janji sejumlah elite partainya jika dipanggil KPK Nazaruddin akan hadir tidak terbukti, Ketua Divisi Komunikasi DPP Partai Demokrat Andi Nurpati mengatakan partai tak punya kewajiban menghadirkan kadernya memenuhi panggilan KPK! Bahkan ia tegaskan, tim DPP Partai Demokrat jumpa Nazaruddin di Singapura di tempat khusus, tak tahu tempat tinggal dan tempatnya berobat!"

"Perlindungan terhadap Nazaruddin itu bukan sebatas kewajiban formal partai pada anggotanya, tapi menurut guru besar hukum pidana Unair J.E. Sahetapi (Metro TV, 10-6) lebih disebabkan karena Nazaruddin itu 'bola panas'!" tegas Umar. "Kata Sahetapi, Nazaruddin itu 'bola panas' yang mengetahui isi perut pembukuan keuangan Partai Demokrat! Jika ia dipaksa pulang dan marah, semua akan dibuka! Ini bisa menjadi krisis konstitusional! Sahetapi yakin, Nazaruddin baru pulang ke Indonesia usai Pemilu 2014! Lain hal jika KPK bisa menghadirkan paksa Nazaruddin!" ***
Selanjutnya.....

Tarif Truk Priok Dinaikkan 20%!


"RAPAT menteri dan lembaga terkait, Jumat (10-6), memutuskan truk tetap dilarang melintas tol lingkar dalam kota Jakarta mulai pukul 06.00 sampai 22.00. Sebulan ke depan aturan itu berlaku permanen dengan SK Menteri Perhubungan!" ujar Umar. "Organda setuju aturan itu dengan syarat tarif muatan truk menuju dan dari Pelabuhan Tanjung Priok dinaikkan 20%—sesuai tambahan jarak tempuh akibat larangan itu!"

"Tuntutan Organda itu disetujui?" potong Amir.

"Tuntutan itu disampaikan dalam rapat yang berakhir memutuskan kebijakan itu, tentu diakomodasi dalam SK Menteri Perhubungan!" jawab Umar. "Artinya, harga freight on board (FOB) semua komoditas ekspor kena tambahan ongkos transpor ke pelabuhan!"

"Itu dia, dalam persaingan global negara-negara lain mecari segala celah agar lebih efektif dan efisien guna meraih sen demi sen keunggulan bersaing produk ekspor! Sebaliknya kita, demi lebih nyaman dan nikmatnya para pengendara mobil pribadi di jalan tol dalam kota, pemerintah kita malah mengorbankan keunggulan komoditas ekspor dengan menambah tarif angkutnya 20%!" timpal Amir. "Celakanya, karena harga komoditas di pasar internasional standar, berarti tambahan biaya itu dipikul pihak produsen lokal—petani sampai pabrikan! Simpulnya, kebijakan itu menekan pertumbuhan ekonom!"

"Jadi, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang dicanangkan Presiden baru-baru ini cuma isapan jempol, karena yang nyata terbukti membuat keputusan justru bertentangan dengan semangat percepatan itu!" tegas Umar. "Percepatan pembangunan, jika dilihat pada kemajuan China dan India, diukur dengan tingkat pertumbuhan tinggi—China di atas 10% per tahun berturut satu dekade, India di atas 9%! Sedang Indonesia, satu dekade ini untuk tembus di atas 7% setahun saja berat!"

"Begitulah!" timpal Amir. "Jika tidak dari setiap dimensi keefektifan dan keefisienan disesuaikan dengan usaha percepatan dan perluasan pembangunan, usaha itu tak bisa berjalan semulus diharapkan! Konon pula kalau langkah demi langkah melawan arus, tak pakai sarana analisis canggih pun bisa ditebak bakal seperti apa!"

"Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi pada tingkat signifikan, seperti China dan India, tercapai berkat mengutamakan orientasi semua proses ekonomi pada sistem yang efektif dan efisien!" tegas Umar. "Jika keefektifan dan keefisienan dikesampingkan sedemikian rupa, seperti juga pada penghentian impor sapi bakalan asal Australia dan produksi udang eks Dipasena, bukan percepatan dan perluasan pembangunan, tapi malah stagnasi dan penyempitan yang terjadi!" ***


Selanjutnya.....

Konflik Bisnis Sapi Bakalan Australia!


"MULAI pekan ini pengiriman sapi bakalan dari Australia dihentikan!" ujar Umar.

"Berita televisi ABC yang menyebut rumah potong hewan (RPH) Indonesia menganiaya dan menyakiti sapi saat pemotongan, dijadikan alasan penghentian ekspor sapi itu oleh pemerintah Australia!"

"Banyak RPH Indonesia memotong sapi masih secara tradisional, dengan menyerimpung kaki lalu dijatuhkan (ini yang dimaksud menganiaya), kemudian lehernya digorok dan dibiarkan sekarat sampai mati—yang dimaksud menyakiti!" sambut Amir. "Menariknya, cara itu direkomendasi untuk mendapat status halal menurut Islam! Sedang menyembelih cara modern dengan mesin—sapi baris di atas ban berjalan seketika kepalanya lepas dari badan, tewas tanpa merasakan sakit!"

"Tapi sejauh ini cara modern itu belum mendapat pembenaran syariah kehalalannya, sehingga di negeri maju yang toleran seperti Jepang, diizinkan menyembelih hewan dengan cara halal itu bagi muslim!" tegas Umar. "Di sisi lain, pemerintah Jepang tegas memberlakukan pencantuman keterangan di label kemasan setiap produk yang mengandung unsur babi!"

"Kebijakan Pemerintah Australia beda dalam hal itu!" timpal Amir. "Meski sebenarnya, laporan ABC itu cuma kebetulan saat pemerintah Australia butuh alasan untuk melakukan tindakan balasan atas keputusan sepihak pemerintah Indonesia memangkas jumlah impor sapi bakalan Australia, dari 750 ribu ekor setahun menjadi hanya 400 ribu ekor setahun pada 2011!"

"Ekses kebijakan sepihak pemerintah Indonesia itu juga memukul sentra usaha penggemukan sapi di Lampung! Paling menderita rakyat peternak plasma, kandang sapi dibangun dengan kredit bank itu kini tak dapat sapi untuk digemukkan!" tegas Umar.

"Begitu gaya penguasa Indonesia, membuat kebijakan penting bukan cuma tak dibicarakan dahulu dengan mitra bisnis asing, para peternak sendiri yang jadi korban juga tak diajak urun-rembuk lebih dahulu!"

"Lebih disepelekan lagi konsumen Indonesia yang harus menanggung peningkatan harga daging sapi! Masih jauh Ramadan saja sekarang harus membayar Rp65 ribu/kg dari sebelumnya kurang Rp60 ribu/kg!" ujar Amir. "Itu konsekuensi harga produksi sapi eks bakalan impor Rp20 ribu/kg timbang hidup, sedang sapi lokal Rp26 ribu/kg. Belum lagi jumlah sapi lokal tak bisa ditingkatkan lebih cepat untuk menutupi pengurangan impor bakalan! Sapi lokal tak bisa dipaksa sekali beranak tiga ekor! Artinya, ke depan konsumen ditambahi beban lagi akibat jumlah penawaran terus turun, padahal permintaan meningkat pasti!" ***


Selanjutnya.....

Nazaruddin dan Istri Sekalian Diuji!


"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—hari ini memanggil mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni, untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus korupsi!" ujar Umar. "Nazaruddin terkait proyek di Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp142 miliar yang sudah diproses KPK sejak Maret! Sedangkan istrinya sebagai saksi kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi!"

"Tampaknya amat berat cobaan yang dihadapi pasangan suami-istri itu!" sambut Amir.

"Harus menjalani ujian sendiri-sendiri sekalian diuji secara bersama pula! Lebih berat lagi, Ketua KPK Busyro Muqoddas mengumumkan panggilan Kamis untuk kehadiran Jumat! Padahal, keduanya sedang berada di Singapura! Si suami berobat, istri menyusul untuk mendampinginya!"

"Berada dalam kota saja kalau panggilannya mendadak belum tentu bisa hadir! Apalagi jauh, di luar negeri!" timpal Umar. "Karena itu, Partai Demokrat tak bisa memastikan kehadiran kadernya itu memenuhi panggilan KPK! Yang bisa dipastikan justru kondisi Nazaruddin sedang sakit, sesuai laporan rombongan tokoh Demokrat yang diutus menemuinya di Singapura pekan lalu!"

"Menurut perkiraanmu, apakah hari ini pasangan itu datang memenuhi panggilan KPK?" tanya Amir. "Alasan logis dan rasional tersedia di balik realitas Nazaruddin sakit dan pendadakan panggilannya!" jawab Amir. "Tapi bola bukan di tangan Nazaruddin atau pengacaranya! Melainkan di tangan KPK! Maka itu, andai kau orang KPK, coba tebak sendiri apa yang sebenarnya sedang kau lakukan dengan panggilan dadakan itu?"

"Untuk mempercepat proses panggilan pertama, kedua, dan ketiga, kalau tak hadir juga langsung masuk DPO—Daftar Pencarian Orang!" tebak Umar. "Jika skenario itu yang berjalan, law enforcement bisa ditempuh dengan lebih lugas—termasuk saat ada kaitan dengan politik dan mafia di birokrasi!"

"Itu dia, tepatnya penegakan hukum yang lugas dan tegas!" sambut Amir. "Sekaligus ini bisa diartikan dimulainya sebuah tradisi menjalankan hukum secara sungguh-sungguh menonjolkan supremasinya! Selama ini supremasi hukum telah dikecundangi, baik oleh uang, mafia hukum dan mafia peradilan, serta kekuasaan!"

"Semoga prosesnya bisa dibaca dan mengaktual seperti itu!" tegas Umar. "Betapa, dengan ditemukannya cara memulihkan supremasi hukum dari segala pengencundangan itu, meski pada awalnya tak mulus, nantinya siapa ada kemauan sudah tersedia jalannya!" ***


Selanjutnya.....

Mengapresiasi Sekolah Non-RSBI Dominasi Nilai UN!


"HASIL ujian nasional (UN) SMA Provinsi Lampung 2011 untuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dari 10 besar tujuh dari non-rintisan sekolah bertaraf internasional—RSBI!" ujar Umar. "Pada jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), 10 besarnya diborong non-RSBI! Sedang jurusan Bahasa, tiga besarnya diborong non-RSBI!"

"Juga pada UN tingkat SMP, tiga dari lima besar diborong non-RSBI!" timpal Amir.

"Jadi, kemajuan yang simultan terjadi pada sekolah-sekolah non-RSBI. Sedang pada RSBI, meski tak perlu disebut mundur, juga tak boleh disepelekan dengan mengesampingkan arti UN lewat menyebut UN cuma salah satu syarat kelulusan murid!"

"Tepat sekali!" tegas Umar. "Maksudnya, jangan memberikan excuse pada kelemahan yang tak disengaja sekalipun karena bisa berakibat tak berusaha mengatasi kelemahan dengan sungguh-sungguh! Akibat lebih jauh, menjadi terbiasa tak peduli bahkan tak bisa melihat kesalahan hingga tak bisa diharapkan memperbaiki kesalahan!"

"Maka itu, hal benar yang harus dilakukan dengan realitas hasil UN 2011 adalah memberi apresiasi, reward alias penghargaan kepada sekolah-sekolah non-RSBI atas prestasi mereka yang telah dicapai dengan fasilitas yang serbaterbatas!" sambut Amir. "Lalu pada sekolah-sekolah RSBI, diharapkan bisa menghargai uang rakyat lewat APBN maupun orang tua murid untuk melengkapi fasilitas di sekolahnya, agar setiap ada pertanda kurang baik dalam prestasi semestinya dijadikan cambuk untuk perbaikan! Terutama terkait urgensi RSBI untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menghadapi persaingan global! Kalau bersaing dengan sekolah kampung yang serbaterbatas fasilitasnya saja kalah, bagaimana mau bersaing di tingkat internasional!"

"Lebih tegas lagi, dalam persaingan global semua dimensinya harus unggul! Lemah di satu dimensi saja, akan disalip lawan!" tegas Umar. "Untuk itu, dengan penentuan kelulusan murid melalui nilai rapor, ujian akhir sekolah (UAS), dan UN, maka prestasi semua unsur itu harus dicapai maksimal, tak boleh salah satunya pun lemah—dengan kata lain tak boleh ada titik kelemahan lewat mana pesaing global akan menaklukkan kita!"

"Terakhir, antardua pola pendidikan—RSBI dan non-RSBI—harus ditandem, dengan promosi dan degradasi seperti liga sepak bola!" timpal Amir. "Tiga murid ranking teratas non-RSBI promosi ke RSBI, sedang tiga murid juru kunci RSBI degradasi ke non-RSBI! Persaingan demikian bisa menjamin peningkatan kualitas murid cukup signifikan!" ***


Selanjutnya.....

Krisis Integritas Penegak Hukum!


"TERTANGKAPNYA Hakim Syarifuddin Umar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan barang bukti penyuapan dan penyuapnya, memperkuat gejala krisis integritas di kalangan penegak hukum!" ujar Umar. "Krisis yang telah melanda hakim, jaksa, dan polisi itu cenderung akibat lemahnya kontrol internal lembaga penegak hukum! Sedangkan kontrol luar yang bersifat formal, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional masih lemah!"

"Yang menyedihkan, kontrol internal lembaga-lembaga penegak hukum itu bukan berfungsi membersihkan penyakit dan kotoran dari tubuh lembaganya, melainkan justru lebih cenderung untuk menutupi penyakit dan kotoran di tubuhnya!" timpal Amir. "Akibatnya, penyakit dan kotoran semakin bertimbun dalam tubuh lembaga!"

"Lebih celaka usaha menutupi itu dilakukan untuk tokoh lapisan atas, sedang lapisan bawahnya cenderung malah dikorbankan!" tukas Umar. "Di kepolisian misalnya, kasus rekening gendut jenderal-jenderal ditutupi! Terkait dengan kasus Gayus Tambunan para perwira bawahan dibui, sedang dua jenderal atasannya hanya kena sanksi Komisi Etik Profesi tak layak bertugas di reserse!"

"Artinya, krisis integritas justru bersarang di posisi strategis!" timpal Amir.

"Penyakit dan kotoran yang ditutupi itu di bagian atas, jika analoginya tubuh manusia, bertumpuk di kepala! Sedang di bagian bawah, juga secara struktural, relatif lebih bersih! Contohnya di tingkat Polda ke bawah, setiap kesalahan anggota ditindak tegas!"

"Aneh, semakin ke atas dan di pusat, kontrol internalnya justru semakin lemah! Di Kejaksaan juga, 'bintang kasusnya' jaksa Urip dan Cirus, juga di Pusat, tugas di Kejaksaan Agung!" tegas Umar. "Kasus Hakim Syarifuddin juga terakhir bertugas di Jakarta Pusat, secara keseluruhan 39 koruptor dia vonis bebas seolah tak terlihat ada yang ganjil! Bayangkan kalau sampai 39 kasus, berarti kerja 39 tim polisi dan tim jaksa yang tak satu pun beres karena semua menghasilkan vonis bebas! Barulah setelah hakimnya ditangkap KPK ketahuan siapa sebenarnya yang tak beres!"

"Jadi tampak, untuk mengatasi krisis integritas penegak hukum kuncinya justru pada para pemimpin lembaga penegak hukum tersebut di pusat!" timpal Amir. "Kalau pimpinan teratas di pusat punya ketegasan dan tidak cenderung menggunakan perangkat kontrol internal untuk menutupi penyakit dan kotoran, pembersihan tubuh lembaganya bisa diandaikan! Kalau tidak, justru kotoran itu segera mencemari sekujur tubuh lembaga, merebak serius ke bawah!" ***


Selanjutnya.....

Sukarelawan Kunjungi Dusun Siluman!


MASUK warung setelah keluar dari kunjungan ke Dusun Siluman, sukarelawan dikerubuti warga. "Kami kira kau tak keluar lagi dari Dusun Siluman itu, seperti banyak orang luar yang tak mau mendengar nasihat kami!" ujar pengojek.

"Aku juga mengira begitu!" sambut relawan. "Karena wanita di dusun itu cantik-cantik! Dari sepuluh wanita, sebelas yang jelita! Kulitnya putih berleher jenjang, saat minum limun berwarna merah terlihat limun mengalir di kerongkongannya!"

"Itu dia!" tukas pengojek. "Mengerikan sekali!"

"Bukan mengerikan! Tapi indah!" tegas sukarelawan. "Kalian dengan tetangga dusun berjarak tiga jam jalan kaki di balik pucuk bukit kok begitu asing?"

"Karena mereka siluman, jalan ke sana angker!" jelas pemilik warung. "Setiap orang yang sok jagoan pergi ke sana, tak pernah kembali!"

"Jelas mereka tak kembali, di sana makmur!" tegas sukarelawan. "Di dusun yang mereka beri nama Negeri Atas Angin itu jalannya hotmix tembus ke tol bandara! Dusun mereka justru menghadap kawasan lebih maju!"

"Dusun Siluman kalau dilihat dengan mata biasa memang tampak sempurna!" timpal pengojek. "Tapi kenyataannya, di Lampung mana ada jalan dusun yang hotmix tembus ke tol bandara!"

"Kalau untuk pergi ke sana saja kalian tak berani, susah membuktikan kenyataannya!" tegas sukarelawan. "Sebaliknya mereka kasihan pada kalian hingga enggan turun kemari, karena dalam lukisan mereka kalian manusia barbar! Kata mereka, kalau malam hari ada orang luar lewat desa motornya mogok atau ban kempis, tanpa ditanya identitasnya langsung diteriaki maling dan dibakar hidup-hidup!"

"Itu kata mereka tentang kami?" timpal warga.

"Apa gambaran mereka tentang kalian benar?" tanya sukarelawan. "Jika benar, berarti justru mereka benar mengasihani kenyataan kalian yang memang amat mengerikan itu! Sedang ketakutan kalian kepada mereka cuma takut pada khayalan, terutama tentang menakutkan mereka itu siluman, padahal mereka manusia juga yang bahkan lebih beradab!"

"Beradab bagaimana?" entak pengojek. "Mereka belokkan aliran air dari hulu ke embung dan sawah mereka, akibatnya saat kemarau kami tak dapat air karena sisa aliran air yang kecil masuk embung dan sawah mereka!"

"Itulah hebatnya warga balik pucuk bukit, mereka visioner! Hingga yang bagi kalian baru bayangan masa depan, bisa mereka wujudkan itu sebagai realitas kekinian yang nyata!" tegas sukarelawan. "Wujud ideal kehidupan yang makmur! Itu yang membuat saya terhenyak saat kembali ke realitas hidup kalian, ternyata masih seperti gambaran mereka tentang makhluk barbar—orang melintas desa malam hari dibakar hidup-hidup!" ***


Selanjutnya.....

KPK Menyergap Hakim Disuap!


"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—Jumat lalu menyergap hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin Umar saat menerima suap Rp250 juta! Si hakim dan penyuapnya dijaikan tersangka!" ujar Umar. "Saat rumah si hakim digeledah, ditemukan uang miliaran rupiah berupa aneka mata uang asing!"

"Uang dari mana sebanyak itu?" potong Amir.

"Masih harus dicari kepastiannya!" jawab Umar. "Seorang mantan anggota Komisi Yudisial (KY) menyebutkan, nama hakim itu masuk top list hakim nakal! Tercatat 39 koruptor dia vonis bebas selama ia bertugas di Sulawesi Selatan dan Jakarta! Terakhir dia vonis bebas Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, kini masih kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung, dan status nonaktifnya belum dicabut oleh Mendagri!"

"Kalau 39 kasus korupsi yang dia tangani semua divonis bebas, itu sih terlalu demonstratif untuk menunjukkan semua polisi dan jaksa tidak becus!" tukas Amir. "Untung ada KPK yang menyergapnya terima suap, sehingga asumsi semua polisi dan jaksa tak becus itu bisa direhabilitasi, karena terbukti justru hakimnya yang korup! Lantas bagaimana dengan kasus para koruptor yang divonis bebas itu, apa tak bisa diproses kembali?"

"Kalau kasusnya sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap, tak bisa diproses kembali! Lain hal yang masih dalam proses seperti kasus Agusrin!" jawab Umar. "Kasus yang sudah inkracht tak bisa diproses ulang karena double jeopardi—

seseorang tak boleh diadili dua kali untuk kasus yang sama!"

"Beruntung sekali koruptor yang sudah inkracht vonis bebasnya!" entak Amir.

Apa pula beruntung!" sangkal Umar. "Hukuman korupsinya di akhirat bisa dilipat ganda dengan dosa menyuap hakim! Betapa dengan tindakan mereka bersekongkol hukum itu korupsi yang menyengsarakan rakyat terus berlangsung, bahkan semakin meluas dan merajalela!"

"Itulah masalah bangsa kita yang berkembang semakin memburuk!" tukas Amir. "Dari tangkapan KPK sebelumnya, Sekjen Kementerian Pemuda dan Olahraga, tersingkap merasuknya korupsi ke lingkaran kekuasaan! Menurut tersangka (yang kemudian dicabut dari BAP), ia diperintah bendahara umum partai berkuasa! Menurut dia kepada pengacara pertama (juga sudah diralat dan pengacaranya diganti), dari proyek wisma atlet Rp199 miliar, 13% komisi ke bendahara partai berkuasa dan 2% ke sekjen yang kementeriannya dipimpin kader partai berkuasa!"

"Itu dia!" timpal Umar. "Boro-boro membersihkan negara dari korupsi! Malah hakim dan lingkaran kekuasaan yang terseret arus korupsi!" ***

Selanjutnya.....

Akibat Pancasila Cuma Keniscayaan! (3)


"KENISCAYAAN Pancasila yang selalu hidup dan menjadi motivator bawah sadar sikap-tindak setiap warga bangsa juga terjadi akibat penempatan Pancasila sebagai dasar negara!" ujar Umar. "Padahal, saat Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, justru setiap rezim melakukan abuse of power—salah guna kekuasaan—memerintah berdasar kepentingan kekuasaan sesuai konteks zamannya!"

"Konteks Orde Lama terorientasi megalomania Bung Karno sebagai pemimpin dunia, terutama New Emerging Forces (Nefo), sehingga ke dalam negeri mengindoktrinasikan Nasakom untuk merangkul negara-negara komunis dan sosialis ke dalam Nefo yang dipimpinnya!" timpal Amir. "Orientasi Bung Karno sebagai pemimpin dunia dilakukan

dengan mengorbankan rakyat yang semakin jauh dari ideal Pancasila! Boro-boro mencapai kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, rakyat malah dipaksa makan bulgur paket bantuan pangan program PL-480 dari Amerika Serikat, yang justru lawan politik Bung Karno! Untuk mendapat bulgur—sejenis makanan kuda—itu pun rakyat harus antre, selain antre berbagai kebutuhan pokok lainnya!"

"Penderitaan rakyat pada era Orde Lama itu karena dalam kondisi ekonomi baru merdeka yang masih jauh dari mampu, Bung Karno memaksakan menjadi tuan rumah Ganefo (Games of the New Emerging Forces), pesta olahraga dunia, seperti Olimpiade, khusus buat negara-negara Nefo!" tukas Umar. "Bandingkan, jadi tuan rumah Sea Games dengan 10 negara peserta saja setelah lebih 65 tahun merdeka kita babak belur—dirongrong korupsi!"

"Pada era Orde Baru, dengan dalih TNI itu pengawal utama Pancasila, untuk mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, negara malah dijerumuskan ke militerisme!" lanjut Amir. "Peran militer dominan di semua sendi kekuasaan politik! Selain jatah kursi legislatif semua tingkat buat militer, kepala daerah jadi jenjang karier militer. Untuk jadi kepala desa, orang harus lolos screening militer!"

"Reformasi bertolak dari mengakhiri peran politik militer yang diganti supremasi sipil!" tegas Umar. "Supremasi sipil diawali euforia kebebasan nyaris dalam segala hal terkait dengan politik dan kekuasaan, sehingga membawa masyarakat bablas dalam gaya hidup ultraliberal—jauh lebih liberal dari negara liberal mana pun! Kondisi itu oleh rezim berkuasa bukan dikembalikan ke track Pancasila, melainkan justru dirangkai dengan kepentingan kekuasaan yang efektif dalam “bulan madu” neoliberalisme—neolib! Pancasila kembali cuma diniscayakan sebagai dasar negara!" *** (Habis)

Selanjutnya.....

Akibat Pancasila Cuma Keniscayaan! (2)


"PANCASILA hingga usianya 66 tahun belum secara nyata diimplementasi mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia oleh rezim-rezim yang berkuasa!" ujar Umar."Itu terjadi akibat sebagai galian Bung Karno dari bumi dan kebudayaan Indonesia diniscayakan Pancasila bersemayam di sanubari setiap warga bangsa! Tapi alasan itu cuma selubung dari penyimpangan Pancasila untuk kepentingan kekuasaan!"

"Di era Bung Karno selaku penggali Pancasila itu sendiri berkuasa, lima tahun pertama habis untuk mempertahankan kemerdekaan dari penjajah yang ingin kembali berkuasa!" sambut Amir. "Lima tahun kedua sibuk menyiapkan pemilu demokratis lewat UUDS 1950 yang liberal, menghasilkan kabinet parlementer yang jatuh bangun terus! Labilitas itu diperburuk Konstituante (badan penyusun UUD baru) yang tak kunjung selesai! Mengatasi kelabilan itu, Bung Karno 5 Juli 1959 mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945—yang ada Pancasila di Pembukaan-nya!"

"Meski kembali ke UUD 1945, Bung Karno bukan mengimplementasikan Pancasila, tetapi justru mengindoktrinasikan Nasakom—dengan komunis yang bukan dari budaya Indonesia!" tukas Umar. "Penyimpangan Pancasila dengan mengakomodasi komunis itu penyebab kejatuhan Bung Karno!"

"Namun dengan alasan pencemaran Pancasila dengan komunis oleh Orde Lama itu, Orde Baru mengayun ke sisi lain, pengamalan Pancasila secara murni dan konsekuen!" timpal Amir. "Giliran Pancasila diindoktrinasikan lewat penataran P4—Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila—dengan Menggala sebagai kualifikasi Pancasilais tertinggi!"

"Tapi dengan itu sebenarnya Pancasila diperalat untuk melestarikan kekuasaan rezim Orde Baru, tak kepalang dengan cara represif—menindas—siapa atau kelompok apa pun yang dianggap bisa mengancam kelestarian status quo!" tukas Umar. "Diperalatnya Pancasila dengan dalih pengamalan murni dan konsekuen, menebar trauma akibat penindasan terhadap aktivis prodemokrasi, dan lebih kejam lagi pada anak-cucu mantan anggota PKI yang dicabut hak-hak sipilnya tanpa proses pengadilan sehingga mereka tak bisa jadi PNS, polisi, tentara, jaksa, dan sebagainya!"

"Reformasi bertolak dari trauma penindasan memperalat Pancasila oleh Orde Baru itu!" timpal Amir. "Rezim penguasa kini pun mengayun Pancasila terjauh dari eksaminasinya terhadap warga bangsa, di SD-SMP-SMA dan perguruan tinggi Pendidikan Pancasila diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan! Pancasila pun benar-benar tinggal sebatas keniscayaan!" ***

Selanjutnya.....

Akibat Pancasila Cuma Keniscayaan!


"SETIAP awal Juni ramai dibahas Pancasila, dari lembaga formal sampai warung jalanan!" ujar Umar. "Mayoritas warga yakin Pancasila adalah ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Jika diimplementasikan dengan benar, kehidupan bernegara bisa mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia! Artinya, kalau kini kehidupan ideal bernegara itu belum terwujud, itu akibat pemerintah belum mengimplementasikan dengan benar Pancasila!"

"Itu terjadi karena pembicaraan ramai tentang Pancasila pada awal Juni itu setiap kali kembali lengang, hingga tak efektif menekan pemerintah!" timpal Amir.

"Pemerintah pun tak repot, cukup dengan basa-basinya Pancasila itu keniscayaan!"

"Sebagai keniscayaan bagaimana?" potong Umar.

"Pancasila digali Bung Karno dari bumi dan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga diniscayakan Pancasila selalu hidup dalam kalbu masyarakatnya!" jelas Amir. "Jadi tak repot mengimplementasikan dalam kehidupan bernegara-bangsa pun, Pancasila diniscayakan menjadi motivator dari bawah sadar perilaku setiap warga bangsa!"

"Keniscayaan itu ada benarnya. Dalam arti, kalau Bung Karno menggali Pancasila dari bumi dan kebudayaan Indonesia, berarti Pancasila itu naluri (sifat bawaan alamiah) manusia Indonesia!" timpal Umar. "Masalahnya, kenapa Pancasila sebagai naluri atau dorongan alamiah dari bawah sadar manusia Indonesia tak mengaktual dalam perilaku warga, yang menonjol justru perilaku korupsi—yang bertentangan dengan Pancasila?"

"Karena naluri terpendam di bawah sadar, jika tidak kontekstual, tidak mengaktual! Contohnya libido, naluri dasar (basic instinc) itu perlu konteks membangkitkannya!" tegas Amir. "Pembangkit utama naluri adalah nalar! Selain menyeleksi pilihan dengan akal sehat, nalar juga motivator yang psikomotorik untuk menggerakkan perilaku manusia di jalan maslahat! Dengan nalar yang terasah baik oleh pengetahuan dan pengalaman, naluri Pancasilais dari bawah sadar mencuat sesuai konteksnya, mengaktual dalam perilaku yang ideal sesuai frame arahan nalar!"

"Tapi ada batas nalar pada setiap orang, yakni sesuai kapasitas fisik-mental, pengetahuan, dan pengalaman, yang kematangannya bergantung pada kontinuitas eksaminasinya!" timpal Umar. "Untuk itu, jika eksaminasi terhadap kapasitas tersebut tidak prima, tak mampu mengaktualkan naluri Pancasila menjadi perilaku atau realitas! Akibatnya, Pancasila cuma sebatas keniscayaan! Sedang realitasnya, justru perilaku korupsi!" ***

Selanjutnya.....