Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pembanditan Orang Kaya!

"SALAH satu repertoar film India adalah konflik antara orang kaya dan orang miskin! Si kaya menjadi penjahatnya, yang menindas dan merampas hak-hak kaum miskin!" ujar Umar. "Itu pula repertoar yang dipilih pemerintah dalam mengatasi masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM)! Orang kaya diidentifikasi lewat pemilikan mobilnya di atas 1.500 cc, tak peduli mobilnya butut, dicap sebagai penyamun subsidi BBM yang ditujukan buat orang miskin, pemilik kendaraan di bawah 1.500 cc!" "Model orang kaya film India itu Mister Takur, bos bandit serakah dan tak punya rasa kemanusiaan!" timpal Amir. "Ia serakah, meskipun sudah kaya raya, kerjanya mengusik dan merampas hak-hak orang miskin dengan cara semena-mena! Ia tak punya rasa kemanusiaan, dalam aksinya merampas hak si miskin itu kalau ada yang melawan dia perintahkan anak buahnya, 'Kurangi tinggi badannya 30 centimeter!' Maksudnya, penggal saja lehernya!"

"Demikianlah pembanditan yang dilakukan pada orang kaya Indonesia, dikesankan suka merampas hak kaum miskin dalam subsidi BBM!" tegas Umar. "Karena itu, kebiasaan buruk orang kaya itu harus dihentikan lewat membatasi penggunaan BBM bersubsidi bagi orang kaya! Tak kepalang, kebijakan itu didukung sebuah fatwa dari majelis ulama, haram hukumnya bagi orang kaya mengonsumsi BBM bersubsidi!" "Untuk mengantisipasi pelaksanaan kebijakan itu, sejak jauh hari dianginkan ancang-ancang untuk diturunkannya polisi ke stasiun-stasiun pengisian BBM umum (SPBU) agar tidak terjadi kekacauan!" timpal Amir. "Dalam persiapan rapat kabinet membahas pembatasan konsumsi BBM buat orang kaya pekan lalu, bahkan juga telah diuji coba pengamanan SPBU oleh polisi dilapisi anggota TNI!

 Pokoknya, kalau kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi itu nantinya jadi, para orang kaya yang sikapnya digolongkan seperti Mister Takur itu takkan bisa berkutik!" "Namun, kalangan pakar hukum tata negara mengecam pembanditan orang kaya dalam kebijakan pembatasan BBM itu!" timpal Amir. "Yusril Ihza Mahendra menggugat ke Mahkamah Konstitusi! Sedang Irman Putra Siddin tegas, pemahaman konstitusi atas subsidi BBM untuk rakyat yang terkait kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu untuk seluruh rakyat, tak membedakan rakyat miskin dan kaya!" "Itu dia! Membedakan saja hak orang miskin dan kaya dalam pemanfaatan kekayaan alam tak boleh!" tegas Umar. "Apalagi membanditkan orang kaya, menciptakan pandangan publik bahwa orang kaya itu bandit jahat, jelas keterlaluan!" ***
Selanjutnya.....

Bongkar-Pasang Sistem Demokrasi!

"KENAPA demokrasi tak kunjung mapan, malah sebaliknya para politisi kian jauh dari kepentingan rakyat, money politics semakin terang-terangan, dan berbagai gejala negatif tingkah politisi, mendorong anggota DPR daerah pemilihan Lampung Abdul Hakim mengadakan focus group discussion—FGD!" ujar Umar. "Salah satu simpul FGD, demokrasi jadi runyam karena sistemnya—standar lapangan dan aturan mainnya—dibongkar-pasang terus! (Lampost, 26-4) Bukan untuk memperbaiki kekurangan, tapi mencari keuntungan politik pribadi dan golongan para aktornya!"
"Celakanya kerunyaman demokrasi itu berpangkal pada para pemimpin partai politik yang gemar menarik maksimal nikmat dan benefit dalam kerja sama maupun persaingan antarpartai—dengan tak peduli hal itu bertentangan dengan kewajiban mereka berorientasi pada kepentingan rakyat!" timpal Amir. "Betapa jika para pemimpin partai politik melakukan itu terus dari waktu ke waktu, jelas demokrasi tak kunjung mapan! Sebaliknya, aturan main semakin runyam, money politics kian terang-terangan dari sewa perahu dalam pilkada, bagi sembako dan uang tunai kepada pemilih, sampai dianggap wajar bagi-bagi uang ganti ongkos dan akomodasi rombongan DPC ke kongres dari setiap calon ketua umum—sehingga siapa paling besar pemberiannya paling besar peluang terpilih sebagai ketua umum! Lain lagi yang partainya oligarkis, menjadi 'kerajaan' bagi keluarga atau kelompok penentu! Akibatnya, demokrasi di internal partai jadi tidak demokratis karena pilihan dibatasi oleh kelompok dominan!" "Kerunyaman demokrasi terjadi keluar dan ke dalam tubuh partai sendiri—rusak luar dalam!" tegas Umar. "Sewa perahu mahal dengan dalih biaya operasional mesin partai—padahal dana besar untuk sewa perahu itu tak turun ke lapangan sehingga mesin partai tak bekerja optimal!" "Tapi semua itu belum cukup! Dana sosialisasi calon, pasang spanduk dan baliho sebanyak mungkin, bagi sembako dan uang tunai seluas-luasnya sebagai usaha maksimal sang calon memenangi pilkada, justru dianggap kebocoran oleh partai, mubazir tak masuk kantong mereka!" timpal Amir. "Maka itu perlu dibongkar ulang UU Pilkada-nya dari pemilihan gubernur langsung oleh rakyat, dipasang gantinya dengan dikembalikan seperti dulu pemilihan gubernur oleh DPRD! Jadi bulat, semua dana cair hanya masuk kantong politisi dan partai politik! Bongkar-pasang terus sistemnya, sampai demokrasi akhirnya mundur jauh ke zaman baheula—zaman yang digusur lewat reformasi karena tak demokratis!" ***
Selanjutnya.....

Pembatasan BBM Diurungkan Lagi!

"AWAL pekan ini masyarakat bangsa diprovokasi pemilahan kaya-miskin lewat ukuran kapasitas silinder (cylinder capacity—cc) mesin mobilnya!" ujar Umar. "Mereka yang memiliki mobil di atas 1.500 cc digolongkan kaya dan masuk barisan yang tak boleh menggunakan BBM bersubsidi! Sedang pemilik mobil di bawah 1.500 cc diklaim miskin sehingga boleh memakai BBM bersubsidi yang menurut penguasa sekarang subsidi BBM khusus untuk orang miskin! Karena itu, kalau BBM bersubsidi sampai dipakai orang kaya disebutkan subsidi salah sasaran!" "Tapi pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi dengan pemilahan cc kendaraan itu urung lagi ditetapkan sidang kabinet Selasa lalu—setelah berbagai versi pembatasan sebelumnya sempat memusingkan publik!" timpal Amir. "Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, rencana pembatasan BBM bersubsidi itu masih didalami!"

"Pemerintah tampak gamang untuk menetapkan kebijakan pembatasan BBM dengan berbagai versi yang pernah diekspos, mungkin karena banyak hal yang kurang clear dalam versi-versi rencana kebijakan tersebut!" tegas Umar. "Dalam versi 1.500 cc itu saja, misalnya, pernyataan Jero Wacik, menteri ESDM, mobil 1.492 cc dan sekelasnya masuk kelompok 1.500 cc ke atas sehingga harus pakai pertamax! Bahasa aturan yang mengikat warga untuk mematuhinya tak bisa diulur-ulur 1.492 masuk kelompok di atas 1.500! Kalau 1.492 cc mau ikut diwajibkan pakai pertamax, lugas saja aturannya dibuat 1.400 cc ke atas! Jadi tak perlu dengan membuat warga bangsa pusing dan bingung, masak 1.492 di atas 1.500!" "Hal-hal sepele begitu harus ditulis dengan jelas dalam aturannya, jangan mentang-mentang berkuasa memaksakan pemberlakuan aturan yang logika bahasanya kacau!" timpal Amir. 

"Soal sepele jangan sampai bisa mementahkan aturan jika di-judicial review, apalagi kayaknya kebijakan itu akan diumumkan pakai gaya Orde Baru, menjelang suatu tengah malam muncul menteri ESDM di televisi mengumumkan keppres tentang kebijakan pembatasan BBM berlaku mulai pukul 00.00 malam itu! Itu bisa terjadi kapan saja!" "Kemungkinan itu tak terelakkan dilihat dari pidato Presiden di sidang kabinet Selasa, 'Dengan harga BBM yang tidak naik dewasa ini harus ada opsi dan solusi lain. Kalau tidak ada tindakan-tindakan lain yang kita lakukan dengan penuh tanggung jawab, maka perekonomian kita tidak akan sehat’!" kutip Umar. "Karena itu tak perlu khawatir kebijakan itu urung melulu!" ***
Selanjutnya.....

Politikusisasi Sepak Bola!

"KETIKA politik jadi panglima, apa pun dipolitisasi! Tanpa kecuali sepak bola, tim nasional sebagai kebanggaan bangsa juga diserahkan ke tangan politikus—hingga jadilah politikusisasi!" ujar Umar. "Itulah jadinya dengan PSSI menunjuk Ramadhan Pohan, anggota DPR wakil sekjen Partai Demkrat, sebagai manajer tim nasional! Sandaran pada kekuasaan tampak lebih diutamakan daripada profesionalisme dalam sepak bola!" "Masih kurang jelas proses apa yang sebenarnya terjadi di balik keputusan PSSI menunjuk Pohan itu!" sambut Amir. "Menurut logika, tak mungkin Prof. Dr. Djohar Arifin sang ketua umum PSSI membuat sensasi murahan, apalagi cari political benefit lewat cara itu! Kecuali, ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat Limbong, petinggi PSSI, harus kampanye Ramadhan Pohan tokoh yang mumpuni, mampu-memimpin timnas PSSI! Bahkan di Medan, seorang penonton Metro TV menyebut Ramadhan berpengalaman memimpin sebuah klub amatir di Pacitan—mungkin akibat tak dikenal hingga susah dicari nama politisi itu dalam kamus persepakbolaan Sumut!" 

"Kondisi itu bisa jadi juga buah politisasi, berupa ketidaktegasan pemerintah berpihak dalam krisis dualisme PSSI sehingga kubu Djohar yang secara formal diakui FIFA merasa perlu mencari cantolan ke pemerintah!" timpal Umar. "Untuk itu tak ada yang lebih efektif dari tokoh partai berkuasa sebagai cantolannya! Cantolan itu tentu juga yang bisa menjamin tetap terjaganya saluran dana PSSI dari APBN, maka pilihan paling tepat jatuh pada anggota DPR dari partai berkuasa!" "Jika benar akibat kondisi ketidaktegasan sikap pemerintah dalam dualisme kepemimpinan PSSI itu sebagai pendorong pilihan itu sehingga faktor politik lebih dominan sebagai dasar pertimbangan ketimbang profesionalisme, PSSI pun telah berubah menjadi ormas onderbouw dari partai berkuasa!" tegas Amir. 

"Sebagai ormas itu, meski tanpa kartu anggota, PSSI punya massa fanatik penggila sepak bola yang tak kepalang banyaknya di seantero negeri! Karena itu, jika sang politikus bernasib baik, dengan kalah-menang dalam sepak bola 51% ditentukan faktor luck—keberuntungan, partainya yang akan mendulang benefit dukungan suara massa fanatik PSSI!" "Sebaliknya kalau nasib sial PSSI belum berakhir, partainya juga kebagian ekses negatifnya!" timpal Umar. "Demikianlah kalau kepemimpinan timnas sepak bola tinggal semata bergantung pada faktor keberuntungan dengan meninggalkan secara terbuka profesionalisme! Masa depan sepak bola kita pun lebih tergantung pada doa bangsa!" ***
Selanjutnya.....

Nasib TKI di Malaysia kian Buruk!

"TIGA jenazah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tewas ditembak polisi Malaysia dikembalikan ke Tanah Air dengan jahitan pada sepasang mata mereka, dada kiri dan kanan, serta di sekitar ulu hati hingga bawah perut!" ujar Umar. "Ketiga TKI malang yang diberondong peluru atas tuduhan merampok itu, Abdul Kadir Jaelani, Herman, dan Mad Noor, diduga koordinator Migran Care, Anis Hidayah, merupakan korban jual beli organ tubuh! Nasib sama dialami Asti Wardiati (1992), TKI di Malaysia asal Jawa Tengah! Setelah autopsi, isi perut Asti yang terjahit cuma kantong plastik!" "Harga jual organ tubuh manusia di pasar gelap menurut dunia-produksi.com mengutip Gizmodo.com cukup menggiurkan!" sambut Amir. "Hati Rp1,4 miliar, jantung Rp1,1 miliar, ginjal Rp2,4 miliar! Setiap organ dan bagian tubuh ada tarifnya, seperti kulit Rp91 ribu per inci persegi!"

"Betapa biadab kalau benar membunuh orang hanya untuk mengambil organ tubuh korbannya guna dijual dengan harga aduhai!" tukas Umar. "Karena itu, pemerintah kita harus tegas dalam hubungan dengan pemerintah asing guna melindungi segenap warga negara kita dari perbuatan tak berperikemanusiaan itu! Hanya dengan ketegasan pemerintah dalam melindungi warga kita di luar negeri, agar tak terlalu mudah dikriminalisasi dengan berbagai alasan, jutaan TKI kita yang berserak di muka bumi tak terancam dimangsa kebuasan sesama!" "Dari pengalaman selama ini, ketegasan cuma ada dalam retorika!" timpal Amir. 

"Sedang prakteknya, komunikasi pengelolaan TKI di luar negeri lamban sekali! Contohnya kasus terakhir yang menimpa tiga TKI itu, korban tewas Sabtu 24 Maret, KBRI Malaysia baru tahu Senin 2 April—9 hari kemudian! Urus ini-itu baru pekan lalu jenazah sampai kampung, dan Minggu ini keluarga protes ke Kemenlu karena jenazah tidak utuh lagi! Lalu sikap pemerintah kita cenderung inferior dalam menghadapi pihak asing! Jangankan marah atas perlakuan buruk pada TKI, sebaliknya ibarat kaki kita yang dipijak, malah kita yang minta maaf pada si penginjak! Itulah gaya diplomasi rendah diri pemerintah kita sehingga nasib malang TKI teraniaya selalu berulang dan berulang!" "Itu terlihat dari nasib malang TKI yang dari waktu ke waktu terus semakin buruk!" tegas Umar. "Karena itu, percuma membulatkan tekad nasib malang tiga TKI yang organ jenazahnya kopong itu menjadi nasib malang terakhir yang menimpa TKI di Malaysia! Sebab, kalau gaya penanganan TKI begitu terus, justru lebih rasional bertanya, siapa korban baru yang menyusul?" ***
Selanjutnya.....

Kepuasan Publik yang kian Jeblok!

"KEPUASAN publik terhadap kinerja pemerintahan SBY menurut hasil jajak pendapat tiga bulanan Kompas (23-4-12) tampak kian jeblok!" ujar Umar. "Disebut jeblok karena pada tiga dimensi cita-cita kemerdekaan bangsa—adil, makmur, sejahtera—tingkat kepuasan publik sudah tembus ke bawah 30%! Yakni, kepuasan bidang hukum, dasar mewujudkan keadilan tinggal tersisa 20,4%, kepuasan bidang ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran tinggal 27,8%, dan kepuasan bidang kesejahteraan sosial tersisa 27,9%!" "Tingkat kepuasan di bawah 30% ketiga dimensi strategis itu jelas memprihatinkan karena 30% standar terendah kepercayaan pada pemimpin!" timpal Amir. "Standar itu efektif di pilkada, meski unggul jika dukungan tak cukup 30% ia tak dapat kepercayaan untuk memimpin daerah sehingga pilkada dilanjutkan ke putaran kedua!"

"Dari hasil jajak pendapat itu dapat disimpulkan, menurut apa yang dirasakan mayoritas rakyat yang secara proporsional dicerminkan oleh pilihan responden, bahwa sekarang ini bangsa kita masih belum adil, tak makmur, dan tak sejahtera!" tegas Umar. "Simpul itu menjadikan para pemimpin dan pengelola negara melalui bidang tugas masing-masing—eksekutif, legislatif, dan yudikatif layak untuk becermin diri ternyata kemampuannya dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa baru sebatas itu! Becermin terutama untuk melihat sudah sebandingkah yang mereka dapatkan dari negara dibanding apa yang telah mereka berikan kepada negara?" "Kalau pakai terminologi John F. Kennedy begitu, bunyinya bisa begini: jangan tanya apa yang kudapat dari negara (karena sudah seabrek-abrek hingga susah menyebutnya satu per satu), tapi tanyalah apa yang kuberikan pada negara—mudah dijawab karena cuma sedikit!" tukas Amir. 

"Ungkapan sedemikian membuat harapanmu agar mereka introspeksi dengan hasil jajak pendapat tersebut bisa sia-sia! Bagi mereka, para pemimpin negara-bangsa itu, kondisi demikian dianggap wajar saja! Soalnya, mereka merasa sudah bekerja keras! Kalau hasil kerja keras (yang tidak efektif) itu disurvei Kompas cuma begitu, bisa saja yang salah metodologi surveinya! Maka itu, mereka cukup dengan cuek tak merespons hasil survei!" "Sikap umum sedemikian membuat tak ada usaha memperbaiki kinerja yang tergambar buruk dalam hasil survei itu! Akibatnya, grafik kepuasan publik hasil jajak pendapat dari waktu ke waktu terus meluncur ke bawah!" sambut Umar. "Terkesan mereka mafhum, seperti permukaan grafik yang terus menurun itulah jalan kekuasaan ke depan!" ***
Selanjutnya.....

Risiko Pertumbuhan Berbasis Konsumsi!

"KATANYA pertumbuhan ekonomi kita tahun ini 6,7%, apa mungkin?" tanya cucu. "Bukankah itu berarti semua komponen produksi harus naik rata-rata setinggi itu, semisal kalau luas produksi gabah sebelumnya 7,2 juta hektare, tahun ini saja harus menambah luas sawah 400 ribu hektare? Padahal, pencetakan sawah baru banyak fiktif!" "Pertumbuhan ekonomi kita tak berbasis produksi, tapi berbasis konsumsi!!" jawab kakek. "Semisal garam, dari lebih 3 juta ton konsumsi nasional, di atas 90% kita impor! Jika mau tumbuh 6,7% kita telepon saja produsennya di Australia dan India!" "Jadi kita pemilik pantai terpanjang memproduksi garam cuma di bawah 10% dari kebutuhan?" entak cucu. "Selebihnya kita impor? Lucu!" 

"Kenapa lucu? Itu justru pertanda pintar!" tegas kakek. "Buat apa repot membuat ladang garam jutaan hektare, kalau untuk semua kebutuhan cukup tinggal telepon ke luar negeri! Ketimbang ditipu cetak sawah fiktif, atau repot membeli dari petani sekarung dua, lebih gampang impor, sekali telepon ratusan ribu ton beras tersedia di gudang! Begitu pula kedelai, dan segala jenis buah, tinggal telepon buah impor melimpah pasar kita!" "Semua itu lucu, Kek!" tukas cucu. "Pertumbuhan berbasis konsumsi dengan mengandalkan impor untuk memenuhi segala kebutuhan konsumsi, berisiko buruk! Dalam jangka panjang tergantung produsen asing untuk segala kebutuhan bangsa!" "Risiko jangka panjang ke masa depan itu cuma idealisme kaum muda!" tegas kakek. "Buat kami kaum tua, pilih gampangnya memenuhi semua kebutuhan! Soal tergantung pada asing, kini tak ada bangsa tak tergantung pada bangsa lain!" 

"Tapi tak keterlaluan seperti kita!" entak cucu. "Produksi garam sendiri tak sampai 10%! Untuk Lampung, impor beras malah lebih 100% dari kekurangannya—keterlaluan, produksi lokal sebenarnya surplus! Semua itu menunjukkan potensi pertumbuhan berbasis produksi tak kurang jalan, tapi pengelola dan pengarah ekonomi nasional mau gampangnya saja!" "Masalahnya tak sesederhana logika awam begitu karena bersifat ideologis!" timpal kakek. "Intinya, Indonesia telah ditempatkan jadi bagian pasar bebas dunia! Segala yang ada di negeri kita jadi komoditas (dagangan) yang justru harus dibuat memikat orang negeri lain untuk mencumbunya! Maka itu sempat lebih 90% pertambangan kita dieksplorasi asing, sedang di sisi lain lebih 90% pula kita impor kebutuhan nasional garam kita!" "Itu sih dari sisi mana pun merugikan kita!" tukas cucu. "Tapi itulah risiko pertumbuhan berbasis konsumsi, sisi produksinya dikuasai asing!" ***
Selanjutnya.....

Koruptor yang Beruntung!

"MEDIA memperhatikan secara khusus gelagat Nazaruddin pada sidang vonis kasus wisma atlet!" ujar Umar. "Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu ternyata menebar senyum ceria sejak menjelang sidang sampai usai vonis! Dan terbukti, ia memang divonis ringan, 4 tahun 10 bulan! Disebut ringan selain karena jauh di bawah tuntutan jaksa 7 tahun penjara, juga di bawah 5 tahun penjara—batasan minimum hukuman bagi kejahatan kelas berat!" "Dari lama hukuman yang diterima, Nazaruddin tergolong koruptor yang beruntung—seperti juga rekan-rekannya politisi Senayan—divonis di bawah 5 tahun, tak mencerminkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa!" timpal Amir. "Bahkan, bagi Nazaruddin, dengan uang Rp4,6 miliar yang terbukti di persidangan ia terima dalam kasus wisma atlet, ia cuma didenda Rp200 juta! Berarti ia 'digaji' Rp4,4 miliar selama istirahat di hotel prodeo 4 tahun 10 bulan, alias 'bergaji' Rp900 juta/tahun atau Rp75 juta/bulan! Lebih besar dari gajinya waktu di DPR Rp65 juta/bulan!" 

"Keberuntungan bagi koruptor selain bisa didapat dari kasus yang disidangkan, juga dari korupsi-korupsi lain yang dilakukannya sama sekali tak tersentuh oleh hukum!" tegas Umar. "Dari belasan atau puluhan korupsi yang dilakukan, hanya satu kasus yang terbongkar saja dimasalahkan! Sedang selebihnya, dengan pintar-pintar menyimpan hasilnya, bisa untuk hidup mewah tujuh puluh turunan! Bahkan, KPK yang menggeledah dan menemukan banyak uang di rumah penerima suap tertangkap tangan, divonis melawan hukum didenda Rp100 juta dan harus mengembalikan semua hasil sitaan dari penggeledahan di rumah seorang terpidana korupsi 4 tahun penjara!" "Yurisprudensi itu menguntungkan koruptor!" timpal Amir. 

"Boro-boro dimiskinkan, kekayaan koruptor yang diduga hasil kejahatan korupsi lain miliknya tak boleh disentuh hukum! Yurisprudensi itu membonsai status KPK sebagai superbodi!" "Semua itu menggambarkan nasib koruptor yang masih selalu beruntung!" tegas Umar. "Dengan itu, harapan proses hukum jadi penjara dari tindak pidana korupsi belum terwujud! Sebaliknya, justru mendorong untuk lebih banyak dan lebih pintar melakukan korupsi, sehingga kalaupun satu kasus terbongkar, kekayaan hasil semua korupsi lainnya masih tetap bisa dinikmati dan diwariskan sepanjang tujuh puluh turunan!" "Begitulah realitas setelah 14 tahun reformasi yang beranjak dari tekad menghabisi korupsi!" timpal Amir. "Suka tak suka, itulah adanya!" ***
Selanjutnya.....

Kebijakan yang Eksperimental!

"MEDIO akhir April ini warga bangsa disibukkan untuk menebak kebijakan seperti apa yang akan diberlakukan pemerintah mulai 1 Mei 2012, terkait pembatasan BBM bersubsidi!" ujar Umar. "Apa pun kebijakan itu pasti eksperimental, tak didasari penelitian dan kesepakatan nasional, seperti mobil 1.300 cc ke bawah dipaksa pakai bensin campur premium—pertamax berharga Rp7.500/liter!" "Huahaha..! Betul-betul eksperimental!" timpal Amir. "Bensin campur itu di pasar segera menjadi asal-campur! Karena jelas dua produk yang dicampur, pedagang bisa mencampur sendiri dari seharusnya 50-50 menjadi 60-40 atau lebih buruk lagi demi untung yang sebesar-besarnya!"
"Lalu 1.300 cc ke atas dipaksa pakai pertamax seharga lebih Rp10 ribu/liter tanpa kecuali mobil tua odong-odong, dengan fasilitas pengisian BBM-nya belum tersedia di banyak daerah!" tukas Umar. "Mobil tua 2.400 cc yang digunakan untuk kegiatan usaha di Pakuanratu mengisi pertamax ke Kotabumi. Diisi full, sampai Pakuanratu lagi tinggal setengah! Lebih sial lagi, sampai Kotabumi kehabisan pertamax, ke Bandarjaya sama, harus ke Bandar Lampung, sampai Pakuanratu lagi tangkinya kosong! Nasib sama dialami mobil-mobil tua, ekonomi di pedalaman bisa lumpuh!" "Begitulah gambaran kebijakan eksperimental, menghabiskan waktu, tenaga, dan dana rakyat, hasilnya nihil!" tegas Amir. "Yang dilihat cuma reduksi anggaran subsidi BBM, tapi tak dilihat berapa berat dan sia-sianya pengorbanan rakyat! Lebih celaka lagi kebijakan eksperimental itu cuma menguntungkan manipulator yang memainkan campuran bensinnya!" "Tapi setelah partai koalisi terjebak idealisasinya sendiri, menang voting malah tak bisa menaikkan harga BBM sebelum enam bulan, kebijakan eksperimental tak bisa dielakkan untuk harus diambil agar lebih cepat adanya kebijakan yang membuat rakyat sengsara sehingga bisa lebih cepat pula meluncurkan sekoci penolong sejenis BLSM!" timpal Umar. "Semakin sengsara rakyat terdera kebijakan eksperimental itu, kian tinggi arti bantuan yang diluncurkan pemerintah, bak arti seteguk air saat kehausan di padang pasir!" "Besarnya arti bantuan bagi si penerima meski nilai riil ekonomisnya kecil itu, akan lebih pesat mendongkrak popularitas penguasa dan partai berkuasa yang sempat longsor akibat korupsi kadernya!" tegas Amir. "Pada bangsa yang tahu berterima kasih, bantuan di puncak derita itu akan selalu diingat dan dibalas dengan apa pun yang bisa dilakukan! Tak penting dari mana sebenarnya asal derita yang menyiksa mereka!" ***
Selanjutnya.....

Proyek RSP Unila Kok Jadi Misteri?

"LAPORAN pers tentang pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Lampung (RSP Unila) mengesankan proyek multiyear 2011—2014 senilai Rp400 miliar itu jadi misteri—tak ada keterangan jelas duduk soal macetnya proyek sampai cuma tiang pancang belaka!" ujar Umar. "Penjelasan pihak Unila yang menyatakan dana tahap berikutnya belum turun maka tak bisa dikerjakan justru mengherankan, karena proyek sebesar itu lazim punya tahapan jadwal ketat! Untuk tahun pertama berbiaya Rp51 miliar sampai akhir 2011 seharusnya selesai sampai bentangan pelat lantai I, II, dan III pada enam gedungnya!" "Dengan laporan pers seperti itu berarti belum turunnya dana tahap berikutnya karena proyek tahap pertama saja belum selesai!" timpal Umar. "Pokok masalahnya pun terlihat, proyek tahap pertama tak selesai sesuai jadwal! Untuk itu pihak Unila tak perlu sewot dengan pemberitaan pers yang mendorong agar proyek selesai sesuai jadwal, itu justru demi kepentingan Unila! Kontraktor yang bertanggung jawab atas proyek tersebut PT Pembangunan Perumahan (PP)—bukan Unila!"

"Artinya, Unila yang berkepentingan pada proyek itu seharusnya mencari tahu dan berusaha memastikan proyek berjalan sesuai tahapan yang ditetapkan!" tegas Umar. "Apalagi dibandingkan bangunan mal di seberang jalan yang dimulai waktu bersamaan kini tahap finishing! Lewat bandingan itu layak dikejar PT PP kenapa proyeknya macet atau meleset dari jadwal! Kalau blundernya pada subkontraktor tentu ada penalti dan bisa diganti untuk kembali mengejar jadwal!" "Bahkan perlu disadari oleh siapa pun pelaksana proyek, RSP itu bukan cuma kepentingan Unila, tapi merupakan kepentingan rakyat Lampung—yang membutuhkan rumah sakit pendidikan!" timpal Amir. "Untuk itu, semua wakil rakyat asal Lampung di DPR dan DPD diharapkan proaktif ke semua pihak untuk mengusahakan agar proyek ini kembali ditangani dan selesai sesuai jadwal! 

Dengan tindakan para anggota DPR dan DPD untuk itu diharapkan bisa mendorong proyek itu agar tak mengambang berkepanjangan!" "Misteri penyebab kemacetan proyek RSP Unila, dengan demikian, harus disingkap! Agar, semua pihak yang berkomitmen bagi kelancaran kembali proyeknya bisa lebih fokus mengatasinya, tak meraba-raba yang malah semakin tak efektif!" tegas Umar. "Usaha menyingkap misteri itu mirip mengisi puzzle, tapi potongan gambarnya berserak! Siapa pun punya potongan gambar—pihak Unila, Kemendikbud, dan lain-lain—harus diletakkan di frame, barulah rangkaian misteri itu tampak pola gambarnya!" ***
Selanjutnya.....

SBY Meniru Mega 'Cuekin' Menteri!

"SUATU pengulangan political game dilakukan Presiden SBY dengan meniru perlakuan Megawati sewaktu menjabat presiden mencuekin dirinya selaku Menko Polsoskam, tak mengundangnya rapat kabinet meskipun menyangkut bidang tugas sang Menko!" ujar Umar. "Pengulangan dilakukan SBY selaku presiden dengan tidak mengundang ke rapat kabinet menteri-menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)!" (Koran Jakarta, 17-4) "Mungkin sewaktu dicuekin Mega itu SBY merasa sakit sekali, serasa tersayat sembilu hatinya sehingga ia bagikan rasa sakit itu kepada para menteri PKS agar bisa merasakan sakitnya dicuekin!" timpal Amir. "Lebih pedih lagi kalau pencuekan itu dirasakan sebagai pelecehan pada bawahan dari suatu arogansi kekuasaan!"

"Tetapi, justru ketika pencuekan itu dinilai publik sebagai pelecehan oleh suatu arogansi kekuasaan, bisa menyulut simpati dan empati yang luas dari publik!" tegas Umar. "Simpati dan empati seperti itulah yang didapat SBY saat dicuekin Mega, dan tercatat sebagai benefit dalam pencalonan dirinya di Pilpres 2004! Karena itu, mengherankan juga kalau perlakuan seperti itu ia ulang kepada para menteri PKS, meskipun tak satu pun dari mereka akan tampil sebagai calon di Pilpres 2014!" "Kayaknya hal itu dilakukan SBY sekadar untuk melampiaskan kekesalannya!" tukas Amir. "Tetapi, kalau perlakuan kepada menteri-menteri PKS oleh publik tak dilihat sebatas pencuekan terhadap pribadi-pribadi menteri, tetapi lebih tertuju pada lembaganya—partai, tak ayal SBY layak dicatat sebagai penyumbang benefit yang amat penting bagi recovery dukungan PKS yang sempat melorot tajam akibat gelagatnya yang cenderung sempat lebih menghamba pada kekuasaan!"


 "Melorotnya posisi sampai ke bawah partai baru (NasDem) pada survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan posisi Partai Demokrat di urutan ketiga setelah Golkar dan PDIP itulah, alasan kenapa dalam episode penaikan harga BBM akhir Maret PKS terpaksa memihak kepentingan konstituen dengan siap menerima apa pun konsekuensi atau risikonya!" timpal Umar. "Oleh karena itu, ketika pencuekan kepada para menteri PKS oleh SBY terjadi sebagai konsekuensi sikap tegas PKS memihak kepentingan rakyat dalam episode harga BBM itu, dengan sendirinya bisa membawa nilai positif bagi recovery dukungan dan simpati publik pada PKS!" "Hal lazim penguasa harus menunjukkan soliditas kekuasaannya pada hamba-hambanya!" tegas Amir. "Tujuannya agar para hamba sadar pada realitas posisi dirinya sebagai hamba!" *** Tisser; Pencuekan itu dinilai publik sebagai pelecehan oleh suatu arogansi kekuasaan.
Selanjutnya.....

Percepatan Pembangunan Pringsewu!

"PWI—Persatuan Wartawan Indonesia—bersama Pemkab Pringsewu menyelenggarakan diskusi percepatan pembangunan Pringsewu!" ujar Umar. "Prof. Dr. Sugeng P. Harianto, Rektor Universitas Lampung (Unila), putra kelahiran Pringsewu dan sekolah sampai tamat SMA di daerah itu, mengingatkan pendidikan di Pringsewu sejak dulu relatif baik sehingga melahirkan banyak orang terkemuka selain dirinya! Ia sebut sejumlah nama termasuk Muhajir Utomo, mantan rektor Unila yang ia gantikan!" "Maksudnya mungkin dengan tradisi pendidikan yang relatif baik itu, percepatan pembangunan Kabupaten Pringsewu yang terbaik berporos pada akselerasi peningkatan sumber daya manusianya, terutama dalam kewirausahaan!" timpal Amir. 

"Tepatnya bukan memacu kemajuan Pringsewu lewat mendatangkan investor besar yang butuh tanah luas sehingga harus menggusur tanah rakyat yang membuat rakyat pemilik tanah jadi gelandangan, dan keturunannya cuma jadi kuli di perusahaan milik investor besar! Tapi, mendidik generasi muda Pringsewu tumbuh dan kembang sebagai one man enterprise—menjadi tuan atas usahanya sendiri!" "Untuk itu yang diperlukan selain pengembangan bakat dan motivasi memulai usaha sendiri sekecil apa pun, guna selanjutnya bisa didukung oleh modal ventura—dalam arti luas—seperti yang belakangan ini dikembangkan bank syariah bekerja sama dengan baitul mal wat tamwil (BMT) di masyarakat akar rumput!" tegas Umar. "Hal terbaik tentu kalau BMT itu merupakan tangan dari amil pengelola zakat masjid kampung kita sendiri sehingga yang mendapat manfaat dari pengembangan bakat dan motivasi anak-anak dari jemaah masjid itu sendiri!"

 "Jangan dikira kalau 'modal ventura' dari bank syariah, BMT, dan zakat itu kalau digerakkan secara intensif tidak lebih besar dari modal investor besar!" timpal Amir. "Untuk itu yang dibutuhkan tinggal tokoh penggeraknya, sebab perantinya sudah tersedia, mulai bank syariah sampai amil zakat di semua masjid!" "Tokoh sentralnya justru ada, sang Bupati Pringsewu yang kebetulan Pak Kiai!" tegas Umar. "Lembaganya jelas badan amil zakat kabupaten, yang sesuai UU tentang zakat yang baru menjadi jaringan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang mengelola dana zakat skala nasional!" "Terangkai dengan dana Baznas, yang dimiliki lebih dari sekadar modal ventura, tapi lumbung dana nasional yang bersih dan berkah!" timpal Amir. "Masalahnya, siapa yang duluan berinisiatif, dialah yang menang langkah!" ***
Selanjutnya.....

Masa Panen Raya Harga Beras Ideal!

"MASA panen raya tiba! Di berbagai jurusan jalan utama Provinsi Lampung yang membelah bentangan sawah, merebak keceriaan para petani menyabit tanaman padi memanen sawahnya!" ujar Umar. "Para petani Lampung ceria karena harga gabahnya tak jatuh sekalipun di masa panen raya! Harga beras asalan di pasar masih Rp7.500/kg, padahal beras hasil panen mereka berkualitas lebih tinggi dari beras asalan!" "Harga Rp7.500/kg beras asalan itu bahkan masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang sejak 1 Maret 2012 dinaikkan menjadi Rp6.600, dari harga sebelumnya Rp5.060," timpal Amir. "Meskipun belum menyentuh HPP dan harga beras asalan, beras kelas atas produksi petani Lampung sejak awal musim panen medio Maret turun 0,35% dari bulan sebelumnya. Itu terlihat pada nilai tukar petani (NTP) Lampung yang untuk subsektor padi dan palawija 133,69 dari NTP gabungan semua komoditas Maret 2012 tercatat 124,34!" 

"NTP subsektor padi dan palawija Lampung itu bukan hanya menunjukkan petani Lampung mendapat harga beras ideal di masa panen, malah mereka juga mendapatkan harga tertinggi secara nasional!" tegas Umar. "Itu sungguh luar biasa! Tapi layak diingat, harga terbaik di pasar lokal daerahnya itu tak sepenuhnya dinikmati petani karena jalan dari lahan produksi ke pasar lokal itu umumnya rusak parah hingga ongkos angkutnya jadi relatif mahal mereduksi nilai hasil panennya! Belum lagi infrastruktur pertanian seperti fasilitas irigasi yang banyak rusak, membuat petani harus melakukan upaya ekstra berbiaya khusus lagi!" "Semua itu mengurangi penerimaan hasil panen petani!" timpal Amir.

 "Andai saja, pemerintah dari kabupaten, provinsi, dan pusat serius memperhatikan infrastruktur desa, jalan, irigasi, dan fasilitas penyangga seperti bendung dan embung untuk menyimpan air hujan sehingga di musim kemarau petani tetap bisa bertanam, kesejahteraan petani mungkin bisa lebih baik dari sekarang, yang secara nasional indeks pembangunan manusia (IPM)-nya di peringkat 143 dari 187 negara yang didata—artinya IPM Indonesia masuk kelompok papan bawah, setara negara-negara miskin!" "Lebih ironis lagi dengan capaian NTP yang baik di subsektor padi dan palawija, bahkan juga pada tanaman perkebunan rakyat NTP-nya tercatat 127,15, tapi IPM Lampung ternyata paling rendah se-Sumatera!" tegas Umar. "Karena itu, perlu dicari penyebab dan jalan keluarnya, kenapa perolehan harga tertinggi panenan petani Lampung tidak meningkatkan indeks kualitas manusianya?" ***
Selanjutnya.....

Teror Bus Ancam Jiwa Penumpang!

"TEROR terhadap bus penumpang umum jurusan Bakauheni—Rajabasa dilaporkan terjadi sejak Jumat lalu!" ujar Umar. "Sejumlah bus dilempari batu di jalan lintas Sumatera (Jalinsum) kawasan Kalianda Resort, Tanjungan, Babatan, hingga kaca bus pecah dan bodi penyok! Teror itu dilakukan dengan mengendarai sepeda motor yang dikawal mobil, jelas mengancam jiwa penumpang dalam bus! Juga membahayakan pemakai jalan lainnya!" "Perlu diingatkan, pelaku teror itu disebut teroris!" timpal Amir. "Tak peduli apa alasan dan motifnya, setiap perbuatan teroris harus dihadapi, diatasi, dan diperlakukan dengan tindakan standar membasmi teroris! Mungkin kesatuan sejenis Densus 88 Antiteror harus dikerahkan! Apalagi cara kerja teroris di jalanan terhadap bus penumpang umum itu meniru gang motor yang kini sedang menantang ketegasan polisi!"

"Tindakan tegas pada pelaku teror di jalan umum itu tak boleh setengah-setengah atau tanggung-tanggung, hingga cara itu tak menjadi modus baru untuk berbagai tujuan lain, sekaligus tak ada orang yang berani mengulang atau coba-coba meniru tindakan yang mengancam jiwa para penumpang bus dan pemakai jalan umumnya!" tegas Umar. "Lebih dari itu, ketegasan tindakan polisi terhadap peneror itu juga punya gaung luas yang mencerminkan lugasnya pelaksanaan tugas kepolisian—khususnya di daerah ini—sehingga dalam berbagai hal lain juga warga akan selalu berpikir ulang untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum! Karena, pasti dilibas polisi yang tak pandang bulu menegakkan hukum!" "Apalagi dalam kasus ini, teror dilakukan setelah kebiasaan orang-orang tertentu melanggar hukum, mengoperasikan travel gelap tanpa izin, ditertibkan instansi berwenang! Mereka lantas melakukan pembalasan dengan meneror bus penumpang umum di jalan raya!" timpal Amir. 

"Tindakan tegas polisi pada pelaku teror perlu untuk mendukung pemerintah menegakkan aturan dalam bidang transportasi publik, sejalan dengan peningkatan jaminan keselamatan bagi penumpang semua jenis angkutan umum!" "Tapi jelas, teror terhadap bus penumpang umum itu merupakan ujian bagi polisi maupun instansi pemerintah yang menegakkan peraturan!" tegas Umar. "Disebut ujian, karena dalam kondisi yang serunyam itu pada zaman Orde Baru dulu instansi bersangkutan tak kepalang untuk cucuk-cabut kebijakan! Soalnya, penertiban dilakukan hanya karena pelanggar hukum terlambat setor! Maka itu, setelah setor hak-haknya untuk melanggar hukum dipulihkan! Itu dulu, kini mungkin lain!" ***
Selanjutnya.....

Antagonisme Kaya-Miskin Dipertajam!

"DALAM episoda otak-atik harga BBM bersubsidi di APBNP 2012, antagonisme—pertentangan akibat perbedaan—antara kelompok kaya dan miskin dalam masyarakat bangsa kita dipertajam justru oleh pemerintah!" ujar Umar. "Aneka pemilahan dilakukan, mulai pemilik mobil tahun muda versus tahun tua, pemakai mobil pelat hitam versus pelat kuning dan motor, terakhir pemilik kendaraan 1.300 cc ke atas versus 1.300 cc ke bawah!" "Tujuan terselubung penajaman antagonisme itu bisa ditebak, untuk menciptakan kesan lebih kuat tentang kedermawanan pemerintah pada kaum miskin yang jumlahnya kini 30% dari penduduk!" timpal Amir. "Dengan Pemilu 2009, angka 20% saja bisa memenangkan pemilu, jelas dengan angka 30% itu lebih mantap lagi!" 

"Dengan penajaman antagonisme, yang membuat warga miskin lebih sadar keberadaan dan posisi sosialnya hingga menyulut lebih marak sikap iri-bencinya pada orang kaya, membuat perhatian pemerintah kepada mereka dalam bentuk apa pun—apalagi yang konkret seperti BLT (bantuan langsung tunai)—bisa membuat mereka amat terkesan!" tegas Umar. "Dengan kecenderungan demikian, celakanya, untuk memperpanjang dan melestarikan kekuasaan, bukan keberhasilan mengurangi jumlah warga miskin yang harus diwujudkan, melainkan justru harus diusahakan untuk terus memperpanjang barisan antrean warga miskin setiap pembagian BLT!" "Perpanjangan barisan antre warga miskin itu bisa dilihat lewat jumlah dana BLT (kini BLSM) yang disiapkan, menjelang Pemilu 2009 sebesar Rp21,5 triliun, pada APBN-P 2012 jadi Rp26,5 triliun!" timpal Amir.

 "Usaha memperbanyak jumlah warga miskin itu tak terlalu sulit! Cukup dengan menaikkan harga BBM, jumlah orang miskin baru bahkan bisa lebih besar dari yang diperkirakan! Untuk itu, jika kebijakan menaikkan harga BBM masih terkendala waktu oleh proses politik, harus dicari cara lain yang bisa lebih cepat dan ekses pemiskinan massalnya juga bisa lebih fatal, seperti pembatasan kendaraan 1.300 cc ke atas wajib pakai pertamax—yang digesa berlaku mulai 1 Mei, bersamaan dengan berlakunya tarif baru angkutan umum yang secara nasional dinaikkan pemerintah 19%!" "Penajaman antagonisme kaya-miskin sebenarnya hanya meniru penjajah dengan devide et impera (pecah belah lalu kuasai), dipadu pemiskinan massal membuat ketergantungan warga miskin pada bantuan pemerintah!" tegas Umar. "Makin banyak orang miskin tergantung pada bantuan pemerintah, kian mapan-lestari kekuasaan!" ***
Selanjutnya.....

Lemahnya Sistem Peringatan Dini!

"MESKI pejabat teras di Pemerintah Pusat dalam pidato resmi maupun keterangan pers menyebut berkat baiknya beroperasi sistem peringatan dini situasi pascagempa 8,5 SR di Aceh, Rabu (11-4), terkendali, media massa melaporkan sebaliknya!" ujar Umar. "Bahkan evakuasi juga semrawut, mengakibatkan kemacetan dan kecelakaan!" "Apa dasar laporan media begitu?" potong Amir.
"Televisi berita sejak hari pertama melaporkan lewat wawancara cegat warga yang ketakutan lari menuju dataran lebih tinggi! Mereka panik tercekam pengalaman tsunami 2004 sehingga menyelamatkan diri pada kesempatan pertama tanpa mendengar sirene peringatan dini!" jawab Umar. "Sedang Kompas (13-4) jelas melaporkan, dari sejumlah peranti peringatan dini di sekitar Banda Aceh tidak bunyi, ada satu yang bunyi semestinya 9 menit usai gempa, baru bunyi setelah 30 menit! Demikian pula early warning system yang dipasang Bakosurtanal di Simeulue, tak pernah dikoordinasikan dengan Badan Daerah Penanggulangan Bencana (BDPB) setempat, hingga saat gempa terjadi, seperti dilaporkan MetroTV (13-4), poskonya masih terkunci!" "Menyedihkan sekali kalau benar pada kondisi kritis bencana gempa 8,5 SR itu, pemerintah masih beretorika tentang sistem peringatan dini yang isinya ternyata kebohongan!" tukas Amir. "Betapa kalut dan kritisnya kondisi di lokasi bencana saat itu, apalagi mengingat pengalaman luar biasa tragis peristiwa tsunami 2004, kok masih tega menjadikannya retorika berisi dusta!" "Mungkin akibat laporan yang tidak akurat dari bawahan di lapangan, para pejabat teras di pusat itu menggunakan data yang salah untuk pidato resmi dan keterangan pers!" sambut Umar. "Dipadu dengan kacaunya evakuasi, menunjukkan banyak hal terkait sistem penanganan saat terjadi bencana yang harus dibenahi!" "Semua kenyataan lemahnya sistem peringatan dini gempa dan tsunami itu disampaikan kepada Wakil Presiden Boediono saat berkunjung ke Banda Aceh, Jumat!" timpal Amir. "Boediono berjanji akan mengevaluasi dan memperbaikinya!" "Perbaikan itu bukan cuma pada peranti early warning system, melainkan justru kelembagaannya yang harus diutamakan! Karena selama ini perantinya dipasang lantas ditinggal begitu saja, sehingga selain rusak, di banyak tempat peralatannya hilang!" tegas Umar. "Perbaikan kelembagaan juga untuk mengatur cara dan jalur evakuasi warga, serta melatih berkala kesiagaan dan kesigapan warga! Jika semua itu tak dilakukan serius, kejadian berikutnya bisa lebih runyam!" ***
Selanjutnya.....

Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat itu Apa?

"DALAM Sarasehan Anak Negeri (Metro TV, 12-4) seorang anggota DPR ngotot 'sebesar-besarnya kemakmuran rakyat' yang disebut konstitusi tak ada ukurannya!" ujar Umar. "Ia perkirakan MK tak punya standar untuk memutus gugatan Yusril Ihza Mahendra atas APBNP 2012 yang memakai istilah itu sebagai salah satu dasarnya!" "Saya sedih, masak anggota DPR tak tahu ukuran kemakmuran rakyat, apa patokan perjuangannya selama ini?" timpal Amir. "Untunglah mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli menyela, kemakmuran rakyat jelas ukurannya dari berbagai indeks yang tak asing terkait pendidikan, kesehatan, dan gizi! Kalau aneka indeks itu masih jauh dari standar minimal yang harus dicapai, seperti indeks pembangunan manusia (IPM) yang masih di kelompok urutan terbawah bersama negara-negara miskin dunia, berarti kemakmuran masih jauh dari jangkauan, belum terwujud!"

"Belum lagi delapan target Milenium Development Goals (MDG's) yang harus dicapai dalam program pembangunan daerah, sebagai standar minimum kemakmuran yang harus diwujudkan!" tegas Umar. "Jadi, amat naif kalau anggota DPR sampai memaksakan ketidaktahuannya tentang standar kepentingan rakyat yang paling mendasar itu di depan penonton televisi nasional! Rakyat yang nonton acara itu bisa cepat menilai, kalau mau ke mana tujuannya saja dia tak tahu, bagaimana dia bisa membawa rakyat sampai ke tujuan itu?" "Pokoknya memprihatinkan sekali realitas ngotot dan ngeyel-nya wakil rakyat kita yang sering tanpa dasar jelas seperti itu!" timpal Amir. "Itu menyebabkan pembangunan bangsa makin jauh dari tujuan dan cita-cita kemerdekaan karena legislatif sebagai juru mudi tak tahu koordinat tujuannya! Akibatnya, pelayaran nubruk-nubruk, setiap kali rakyat jadi korban kegagalan eksperimen yang dilakukan pemimpin bangsanya!"

 "Eksperimennya pun difokuskan mencari sebesar-besarnya kemakmuran pribadi dan kelompok pemimpin, sampai membutakan diri dari tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!" tegas Umar. "Itu bisa dilihat dari biasnya kebijakan elite, untuk memakmurkan rakyat harus membangun gedung parlemen yang mencakar langit! Atau untuk menyejahterakan rakyat harus menaikkan harga BBM yang pasti mendongkrak naik harga bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat!" "Akibat wakil rakyat kita tak tahu apa itu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kekayaan alam kita serahkan dikeruk asing!" timpal Amir. "Indonesia pun dipuji Barat berkat suksesnya mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran asing!" *** Tiser: Akibat tak tahu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kekayaan alam dikeruk asing.
Selanjutnya.....

Pemahaman dan Konsep Kekuasaan!

"DARI berbagai dialog akhir-akhir ini tersingkap kekeliruan pemahaman dan pemaknaan elite politik tentang kekuasaan!" ujar Umar. "Seperti penyerahan kepemimpinan sebuah kementerian pada elite suatu partai dipahami sebagai hadiah atas dukungan partainya yang bergabung ke koalisi penguasa, atau paling tidak bagi hasil perjuangan bersama yang berhasil dimenangkan!" "Kesan itu tertangkap jelas dari pemaknaan elite parpol terhadap kekuasaan atas kementerian yang diberikan atau diterima, selayak tumpeng untuk bancakan, atau lebih konyol lagi, sebagai sumber keuangan partai terutama untuk pemilu mendatang!" timpal Amir. "Karena itu, ketika ada parpol memenuhi kewajiban konstitusional pada konstituennya yang tak sejalan dengan kepentingan penguasa, parpol itu dihujat hanya mau bagian nikmatnya, kewajiban pada penguasa diingkari!"

"Pemahaman dan pemaknaan bahwa pemberian kekuasaan sebagai pembagian nikmat, porsi untuk bancakan, atau sumber keuangan partai terutama untuk pemilu mendatang itulah yang menjadikan kementerian ajang korupsi dan bancakan oknum parpol, seperti terungkap di pengadilan!" tegas Umar. "Pemahaman dan pemaknaan seperti itu jelas keliru dan keblinger! Karena, konsep sesungguhnya tentang sharing power atau berbagi kekuasaan dalam suatu pemerintahan koalisi adalah berbagi tugas, kewajiban, dan tanggung jawab menunaikan janji kampanye—akan berjuang dan berkorban demi meningkatkan kesejahteraan rakyat jika dipercaya memerintah negara setelah menang pemilu!"
  "Jadi, kementerian yang diterima dari penguasa dalam sharing power itu bukan hadiah sumber nikmat dan lumbung keuangan partai, tapi justru tempat mengabdi, berkorban bagi kepentingan rakyat!" sambut Amir. 

"Kewajiban mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan pribadi dan golongan bahkan disebut di sumpah pelantikan pejabat negara! Hal sama berlaku pada kekuasaan di legislatif! Itu bukan sumber nikmat, lumbung keuangan pribadi, dan partai seperti dipraktekkan selama ini, tapi arena memperjuangkan perbaikan nasib rakyat yang telah memilih mereka sebagai wakilnya, bukan pula tempat menipu dan mengakali rakyat demi memuaskan kepentingan penguasa!" "Akhirnya, sejauh mana pemahaman dan pemaknaan kekuasaan benar sesuai dengan kewajiban konstitusional pada kepentingan rakyat, tak terlalu jomplang berorientasi kepentingan penguasa. Jadi, ukuran realitas praktek politik kita kian dekat ke jalan yang benar!" tegas Umar. "Jika sebaliknya yang terjadi, realitas praktek politik kian ngawur!" ***
Selanjutnya.....

Menteri tanpa Ikatan Koalisi!

"KOK Presiden SBY tak kunjung menggunakan hak prerogatifnya me-reshuffle kabinet, mengganti menteri-menteri dari PKS?" tukas Umar. "Padahal, desakan para kader partai berkuasa keras sekali!" "Namanya hak prerogatif, terserah dia dong!" timpal Amir. "Bahkan bisa saja demi reputasi pemerintahannya dalam tidak terlalu sering bongkar-pasang kabinet, para menteri dari PKS dipertahankan meski tanpa ikatan koalisi! Jadi seperti era Orde Baru, jabatan menteri agama atau menteri sosial selalu diberikan kepada PPP tanpa ikatan koalisi dalam bentuk apa pun!"

"Jika Presiden memilih begitu, alasannya ada dan cukup kuat!" tegas Umar. "Kalau koalisi partai-partai lain menyusul belakangan, apalagi Golkar dalam pilpres mendukung capres lain, dukungan PKS dengan segenap kekuatan mesin politiknya pada pasangan SBY-Boediono sudah diteken malam menjelang deklarasi pencalonan pasangan SBY-Boediono sebagai capres dan cawapres di Balai Konvensi ITB, Bandung! Jadi, kalau Presiden SBY belakangan ini diam saja didesak keras untuk reshuffle dari partainya sendiri, bukan mustahil dia masih mempertimbangkan arti perjuangan PKS untuk memenangkan dirinya sejak awal itu!"
"Kalau memang begitu, bagus! Berarti kacang tak lupa kulitnya dalam kondisi panas seterik apa pun!" timpal Amir. "Lain hal kalau yang terjadi sebaliknya! Arti perjuangan PKS sejak awal itu dianggap tidak ada sehingga harus siap mengorbankan aspirasi konstituennya jika ingin tetap berhamba pada penguasa!" 

"Tapi PKS telah membulatkan tekad memilih untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya menolak kenaikan harga BBM sehingga siap menerima konsekuensi apa pun sebagai risiko yang harus ditanggung!" tegas Umar. "Lucunya, banyak kader PKS lapisan bawah justru berharap lebih cepat terjadi reshuffle dengan mendepak keluar dari kabinet elite PKS! Sebab, kader lapisan bawah yang harus berhadapan langsung dengan massa PKS yang terkenal kritis, selalu kewalahan menjawab pertanyaan massa tentang kebijakan pemerintah yang tidak pas bahkan menyimpang jauh dari harapan massa, tapi PKS sebagai bagian dari penguasa harus ikut bertanggung jawab!" "Jelas, kalau PKS didepak dari kabinet mereka tak menghadapi masalah itu lagi!" timpal Amir. "Apalagi dengan didepak itu PKS disakiti, perjuangan dan pengorbanannya sejak awal mendukung SBY-Boediono tak dihargai lagi, simpati politik bisa membeludak pada pihak yang disakiti! Maka itu, dengan tetap di kabinet justru PKS yang kena sandera dari keleluasaan kiprahnya!" ***
Selanjutnya.....

Satono Sayang, Satono Hilang!

"TIM eksekutor Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Senin (9-4), gagal mengeksekusi Satono, mantan bupati Lampung Timur, untuk menjalani hukuman penjara 15 tahun sesuai putusan kasasi Mahkamah Agung atas kasus korupsi APBD!" ujar Umar. "Tim hanya menemukan istri dan anaknya di tiga rumah yang dicatat kejaksaan sebagai milik Satono! Istrinya mengaku terakhir jumpa 27 Maret saat Satono pergi sendiri dan tak kembali." "Tentu Satono masih shock menerima perbedaan putusan yang sangat kontras, dari vonis bebas di Pengadilan Negeri Tanjungkarang menjadi 15 tahun penjara di putusan kasasi!" sambut Amir. "Namun sayang, Satono yang berjanji taat hukum pada pengacaranya saat diberi penjelasan tentang putusan kasasi dan konsekuensinya, (25-3), ternyata perasaannya belum selegowo pernyataannya itu, sehingga dua hari kemudian ia malah pergi menghilang!"

"Mungkin Satono mengalami pergulatan batin seperti Agusrin, gubernur nonaktif Bengkulu, perlu waktu untuk bisa menerima putusan kasasi yang bertentangan dengan putusan bebas di pengadilan tingkat pertama!" tegas Umar. "Asalkan akhirnya menyadari bahwa memenuhi kewajiban menjalani hukuman merupakan pilihan terbaik, usaha untuk menenangkan diri sejenak tentu tak masalah bagi hukum—sekalipun sempat masuk daftar pencarian orang (DPO). Namun, kalau sempat berlarut-larut di-DPO, bisa merugikan diri sendiri karena bisa mendapat perlakuan hukum lebih ketat saat tertangkap sebagai buron!" "Selaku tokoh 'populis'—calon independen terpilih satu putaran pilkada mengalahkan mesin politik semua partai—jelas amat berat bagi Satono untuk menerima kenyataan divonis 15 tahun penjara!" timpal Amir. 

"Ia 'populis' berkat usahanya yang gigih menyatu dengan kehidupan rakyat! Rajin hadir di tempat orang meninggal, bahkan ikut mengusung keranda jenazah! Mendalang wayang kulit berbahasa Jawa dan wayang golek berbahasa Sunda secara gratis dalam berbagai acara yang diadakan warga! Arti semua itu sirna akibat BPR Tripanca gagal kliring sehingga uang nasabah di atas Rp2 miliar yang tak diganti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanyut bersama tenggelamnya kerajaan bisnis Om Lay!" "Ikut hanyut dalam peristiwa itu, dana APBD Lampung Timur Rp119 miliar, yang ditempatkan di BPR Tripanca konon atas persetujuan DPRD untuk mendapatkan bunga yang lebih baik!" tegas Umar. "Meski begitu, Satono harus ikhlas menerima kenyataan itu sebagai suratan takdir, ujian berat yang harus dia lalui!" ***
Selanjutnya.....

Bupati Mesuji Dilantik di Bui!

"PEMENANG Pilkada Kabupaten Mesuji 28 September 2011 yang dikukuhkan Mendagri 20 Desember 2011, Khamamik-Ismail Ishak, akan dilantik Jumat (13-4) di bui—LP Bawang Latak, Menggala!" ujar Umar. "Menurut Gubernur Sjachroedin Z.P., hal itu dilakukan karena wakil bupati terpilih Ismail Ishak masih menjalani hukuman dan tak mendapat izin keluar LP. Berarti setelah dilantik Khamamik harus kiprah sendirian menyelesaikan masalah-masalah rumit yang menunggunya!" "Memang, usai dilantik Khamamik dihadang masalah berat!" timpal Umar. "Masalah yang menghebohkan politik nasional sehingga Presiden SBY membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tapi persoalan tak juga selesai! Kondisi lapangan justru makin awut-awutan, perambah Register 45 makin ramai, merusak tanaman albasia dengan alat-alat berat, ekskavator dan grader!"

"Masalah buat Khamamik jauh lebih berat dari itu!" tegas Umar. "Di pemerintahan daerah, secara politik oknum DPRD yang menolak menggelar pelantikan kepala daerah terpilih perlu perhatian khusus! Lalu reorientasi birokrasi Pemkab guna menyelaraskan kinerja dan capaian sesuai visi-misinya saat kampanye!" "Dalam reorientasi itu dilakukan mentale omschakeling (perombakan sikap mental), dari mentalitas lama para birokrat dan pimpinan pemerintahan yang menjadikan 'Mesuji daerah tak bertuan'!" timpal Amir. "Hanya lewat perombakan sikap mental itu Mesuji akan bisa dikelola menjadi negeri yang tata tenterem kerta raharja!" "Faktor negatif apa sebenarnya yang mendorong Mesuji menjadi daerah tak bertuan begitu?" tanya Umar. "Faktor 'kebijaksanaan'—setiap yang punya kekuasaan bebas membuat keputusan keluar dari aturan hukum maupun norma kemasyarakatan!" jelas Amir. "Misal, kepala desa bebas mengeluarkan SKT (surat keterangan tanah) atas lahan register yang dia klaim tanah ulayat, diberikan ke pendatang dengan pembayaran tertentu! 'Kebijaksanaan' itu melanggar hukum pertanahan yang harus ditangani BPN, dan norma kemasyarakatan—tanah ulayat tak untuk dijual kavelingan!" "’Kebijaksanaan' pejabat dengan kekuasaan lebih tinggi dan lebih besar bisa beraneka eksesnya!" tegas Umar.

 "Berarti setiap kebijakan bupati ke depan harus zakelijk (lugas, tegas, dan jelas) sesuai aturan hukum maupun norma masyarakat, dan dijaga agar tidak sedikit pun bias hingga akhirnya menjadi 'kebijaksanaan' negatif!" timpal Amir. "Dengan lugasnya (sesuai aturan hukum dan norma masyarakat) keputusan maupun kebijakan kepala daerah, yang tegas (tak bisa diulur-tarik seperti karet), dan jelas (rencana, sumber dana, sasaran, dan tahapan prosesnya terbuka sebagai ranah publik), jika ada yang ingin membelokkan yang justru berhadapan dengan publik! Lewat jalan pemerintahan yang zakelijk itu setapak demi setapak semua kelibut di Mesuji terurai menjadi tatanan masyarakat tertib bertuan!" ***
Selanjutnya.....

Barter, Konspirasi Mengakali Rakyat!

"KENAPA Partai Golkar, yang pada hari sebelumnya konferensi pers menolak kenaikan harga BBM, saat voting di paripurna DPR kok malah opsinya menyetujui pemerintah menaikkan harga BBM, diikuti Partai Demokrat dan partai-partai koalisi berkuasa, kecuali PKS?" tukas Umar. "Ada apa kok bisa berubah begitu drastis?" "Soal itu dibahas dalam dialog di Metro-TV, Jumat (6-4), ternyata akibat barter pasal di RUU APBNP 2012!" jawab Amir. "Dalam dialog itu disebutkan tambahan Ayat (6)a pada Pasal 7 RUU, yang setuju pemerintah menaikkan harga BBM dengan syarat sesuai opsi Golkar yang menang voting, dibarter dengan Pasal 18 yang menetapkan berbagai ganti rugi terkait kasus lumpur Lapindo diselesaikan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dengan dana APBN!"

"Barter dimaksud, kalau Golkar tak mendukung Ayat (6)a, Pasal 18 dicabut?" timpal Umar. "Kalau betul itu maksud barter pasal itu, yang sebenarnya terjadi adalah konspirasi mengakali dan mengelabui rakyat! Soalnya, Ayat (6)a itu keran aliran dana APBN Rp25,6 triliun untuk BLSM, yang oleh penguasa dan partai berkuasa bisa diklaim prestasinya guna merehabilitasi citranya rusak oleh keterlibatan kadernya dalam korupsi! Sedang dana penyelesaian kerugian lumpur Lapindo kalau didanai APBN bisa lebih Rp10 triliun!" "Itu dia! Semua dana dari APBN terkait konspirasi politik itu harus ditutup dengan menaikkan harga BBM, yang beban berat dampaknya pada kenaikan harga nyaris semua kebutuhan pokok dipikul oleh mayorias rakyat berpenghasilan rendah di luar segelintir elite dan kelas menengah!" tegas Umar.

 "Adanya peluang menaikkan harga BBM oleh pemerintah lewat konspirasi politik itu diantisipasi semua pihak sebelum keluar kejutan pengumumannya, seperti kenaikan tarif kapal penyeberangan Merak-Bakauheni sebesar 24%!" "Akal-akalan para pemimpin untuk keuntungan politik dengan mengakali rakyat, setiap kali semakin canggih dan semakin besar pula nilai anggarannya!" timpal Amir. "Sementara rakyat terus ditipu dengan premis palsu, seperti dibuat menderita dulu dengan penaikan harga BBM, lalu dibantu dengan sejenis BLT! Atau iklan sesat, daripada subsidi salah sasaran dananya lebih baik buat pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur! Padahal, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran untuk semua itu secukupnya, bukan dari merampas subsidi yang menjadi hak rakyat! Apalagi kalau alasan perampasan subsidi itu cuma kamuflase untuk konspirasi politik mengorbankan rakyat yang memikul beban dampaknya!" ***
Selanjutnya.....

Suara Rakyat Suara Tuhan!

"VOX populi vox Dei! Suara rakyat suara Tuhan! Di orang kita itu sering dipahami, suara mayoritas rakyat yang memenangkan seseorang atau partai dalam pemilihan umum semata karena kehendak Tuhan!" ujar Umar. "Intinya, manusia hanya bisa berusaha, Tuhan yang menentukan hasilnya!"
"Itu diyakini terutama oleh orang-orang yang menjadi peserta pemilu, baik skala nasional maupun daerah sepenuhnya bermodalkan kejujuran, tanpa melakukan kecurangan, tahu-tahu menang!" timpal Amir. "Dengan menyadari kemenangan yang diraih benar-benar suara rakyat suara Tuhan, ia menjalankan tugas berdasar hasil pemilu itu dengan menghormati setiap suara rakyat dalam segala bentuknya, baik aspirasi yang disampaikan secara sistematis maupun keluhan dan protes yang melantun lewat demo! Semua dia jadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, bahkan dasar buat menetapkan kebijakan!" "Lain hal orang yang menang pemilu lewat cara-cara curang! Dia tak percaya suara rakyat suara Tuhan, malah lebih yakin kemenangan yang diraih sepenuhnya berkat kecurangan yang segalanya dia rencanakan dan atur serapi-rapinya sampai tak ada bukti tersisa yang bisa mengalahkannya di MK!" tegas Umar. "Akibatnya, dengan kemenangan yang diraih lewat kecurangan, untuk mempertahankan kekuasaannya dia juga menghalalkan segala cara! Karena dia juga tak yakin peraihan suara rakyat yang memenangkan dirinya merupakan ketentuan dari Tuhan, dia tak menghormati segala bentuk suara rakyat, baik itu aspirasi sistematis maupun yang disampaikan lewat demo! Dia persetankan suara dan aspirasi rakyat karena suara rakyat untuk meraih maupun mempertahankan kekuasaannya terbukti bisa diperoleh lewat aneka kecurangan!" "Tapi setelah setiap kali dan berulang-ulang aspirasinya dibungkam dan digilas oleh rezim curang, pada waktunya rakyat akan sadar juga!" timpal Amir. "Bukan berarti rakyat lalu melakukan perlawanan, rakyat cuma bisa diam! Di balik diamnya itu rakyat mengurut kronologi kenapa mereka sempat kena kibul oleh rezim curang, kemudian menilai arti kekuasaan tersebut bagi kaumnya! Namun, penilaian itu tetap terkait dengan realitas hidup mereka, sebagai penentu pilihan mereka berikutnya!" "Sing olo ketoro, sing becik ketitik! Artinya, yang curang akhirnya terlihat juga kekuasaannya tidak berkah, dirundung masalah dan bencana! Sedang yang meraih kekuasaan secara baik dan jujur selalu dilimpahi berkah dan rida-Nya!" tegas Umar. "Betapa rindunya rakyat, suara mereka menang dalam pemilu sebagai ketentuan Ilahi Rab, bukan hasil kecurangan!" ***
Selanjutnya.....

Lampung Maju, Harus 'Upgrade' Kontraktor!

MEMBACA berita pembangunan sejumlah jalan layang (flyover) dan pelebaran jalan by pass di Kota Bandar Lampung dikerjakan oleh kontraktor dari luar Lampung, mertua seorang kontraktor jadi tak nyaman dan menemui menantunya! "Masak kau diam saja pekerjaan yang merupakan hak kontraktor lokal diberikan kepada kontraktor luar Lampung?" entak mertua. "Betapa nikmatnya itu, proyek by pass senilai Rp292 miliar, flyover Jalan Gajah Mada—Jalan Ir. Juanda Rp60 miliar, Jalan Pangeran Antasari—Jalan Tirtayasa (Kalibalok) dan Jalan Sultan Agung—Jalan Ryacudu (Sukarame) masing-masing Rp30 miliar!" 

"Mohon maaf, Yah!" sambut menantu. "Untuk proyek puluhan miliar atau apa lagi ratusan miliar rupiah begitu, kami kontraktor lokal yang untuk ikut tender saja masih pinjam CV atau PT milik orang, jelas belum mampu mengerjakannya!" "Apa?" mertua terbelalak. "Lampung ini terkesan maju karena kalian berlagak seperti kontraktor kelas dunia! Ternyata, untuk tender saja pinjam perusahaan milik orang? Pinjam bagaimana?" "Prinsipnya menyewa!" jawab menantu. "Tarifnya nego, tapi hitungan pengeluaran untuk itu besar juga karena harus melunasi semua kewajiban pajak perusahaan terkait proyek yang dikerjakan!" "Kalau begitu kenapa kita tak membuat banyak CV untuk disewakan?" tukas mertua. "Itu bukan jalan keluar bagi kontraktor lokal yang dinilai belum mampu menangani proyek besar!" timpal menantu. "Yang perlu dilakukan adalah upgrading—peningkatan—segala dimensi kemampuan kontraktor lokal, dari segi teknis penanganan proyek, administratif, permodalan!"

 "Siapa yang harus melakukan upgrading terhadap kontraktor itu?" kejar mertua. "Banyak pihak!" jawab menantu. "Berbagai organisasi profesi kontraktor, Kadin, Lembaga Penilai Jasa Konstruksi (LPJK), dan pemda! Semua itu berkepentingan setiap proyek di daerah ini bisa dikerjakan sendiri oleh kontraktor daerah ini! Utamanya pemda, karena sejumlah pajak dari usaha kontraktor dibayar di domisilinya! Juga PKB kendaraan proyek yang dibawa dari luar daerah!" "Proses upgrading seperti itu lama, apa lagi segi permodalannya!" tukas mertua. "Tapi susah juga kalau pemilik proyek, seperti wali kota buat flyover dan Bank Dunia untuk jalan by pass, belum percaya pada kemampuan kontraktor lokal! Jadi, upgrading kepercayaan pemilik proyek mungkin justru lebih mudah dilakukan semua lembaga terkait pembinaan kontraktor tadi, daripada meng-upgrade kontraktor yang jumlah orang dan sisi lemahnya lebih banyak!" ***
Selanjutnya.....

Mesuji, Perambah Pakai Alat Berat!

"PERKEMBANGAN mutakhir kawasan Register 45 Mesuji, mencengangkan!" ujar Umar. "Perambah semakin ramai menduduki lahan di berbagai titik, bukan lagi membuat tenda, melainkan membangun pondok dengan menumbang albasia tanaman PT Silva Inhutani, bahkan secara terang-terangan menggarap lahan hutan register itu dengan memakai alat-alat berat dari ekskavator sampai grader!" (Lampost, 2-4) "Menurut media tersebut, gejala baru ini terjadi setelah Pemkab Mesuji di bawah pj. bupatinya urung melakukan penertiban perambah Register 45, padahal rencana itu telah tersiar luas!" kata Amir. "Sejak itu mungkin perambah melihat tak ada satu pun pejabat negeri ini yang betul-betul peduli terhadap perambahan hutan Register 45! Apalagi, hasil rumusan Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Presiden SBY untuk kasus Mesuji sudah menguap tanpa bekas! Tak ayal, perambah pun menjadi lebih leluasa menggasak hutan Register 45, bahkan tanpa sungkan lagi pakai alat berat!" 

"Keberanian perambah secara terang-terangan menggunakan alat-alat berat tersebut dibaca dengan logika formal, sebenarnya menantang penegak hukum yang berkewajiban melindungi dan mengamankan hutan dari perambah!" ujar Umar. "Tapi, jika dibaca pakai logika instrumental, dirambah dengan alat-alat ringan saja, cangkul, golok, dan celurit, aparat dan pemerintah daerah tak mampu menyelesaikan masalahnya, apalagi pakai alat-alat berat, aparat dan pemerintah daerah akan semakin tak berkutik!" "Kebenaran logika instrumental itu tentu masih harus diuji dengan pembuktian ke depan!" kata Amir.


 "Namun, dibaca dengan logika struktural, di mana setiap ada konflik terkait perusahaan, massa selalu di atas angin dibela aneka lembaga madani dan politisi sehingga meski dalam menjalankan tugas melindungi hak setiap warga negara termasuk milik perusahaan, polisi selalu dipojokkan dan dicerca! Itu justru pengalaman khas di Mesuji sehingga perambah bisa menyimpulkan polisi tak lagi memberikan perlindungan penuh terhadap perusahaan dalam menghadapi tekanan massa!" "Semua logika dan kesimpulan massa perambah itu jelas harus diuji, justru dengan keefektifan kerja aparat dan pemerintah daerah!" ujar Umar. "Jika kerja aparat dan pemerintah daerah tidak efektif, dengan kata lain terbukti perambah benar bahwa aparat dan pemerintah daerah cuma kerupuk yang mudah melempem, penggunaan alat berat oleh perambah akan jadi lazim dalam menjarah kawasan register dan hutan lindung di Lampung!" ***
Selanjutnya.....

Demokrasi Kok Haram Berbeda Pendapat!

"DISKURSUS lewat media massa hari-hari terakhir ini menyodokkan keyakinan baru ke lubuk kesadaran awam bahwa dalam demokrasi haram berbeda pendapat, sehingga jika ada yang beda pendapat harus didepak dari paguyuban demokrasi!" ujar Umar. "Dengan keyakinan baru itu demokrasi berwajah monolitik, bahkan berdimensi tunggal—ada siang tak ada malam, ada pagi tak ada sore, ada terang tak ada gelap, dan seterusnya!" "Dengan berdimensi tunggal demikian, demokrasi bertentangan dengan hukum alam yang berporos pada sebab-akibat!" sambut Amir.

"Bahkan hanya berporos pada sebab-akibat saja tak cukup bagi perkembangan peradaban manusia, maka itu muncul dimensi ketiga—sintesis, yang justru merupakan hasil proses pergumulan tesis dan antitesis! Kata kunci berkembangnya peradaban lewat proses causal-dialektis (tesis-antitesis-sintetis) itu justru skeptisisme, setiap tesis diragukan dan harus dibuktikan salah lewat antitesis, lalu antitesis dibuktikan salah lagi lewat sintesis!

Ketika sistesis diklaim tak boleh diganggu apalagi dibuktikan salah oleh tesis baru, sikap itu tak hanya membunuh demokrasi, tapi malah menggali lahat peradaban!" "Sampai di situ diskursus kembali ke esensi soal, kekuasaan hanya berorientasi melestarikan kekuasaan dengan segala cara, sedang demokrasi mendorong peradaban dengan perputaran dialektis tesis-antitesis-sintesis yang berkelanjutan!" tegas Umar.

"Demokrasi dimensi tunggal jadi berbahaya ketika terjadi dominasi tafsir, salah satu tafsir yang diklaim paling benar dipaksakan pada semua pihak, tanpa kecuali itu menyangkut kepentingan bersama dalam kehidupan bernegara-bangsa! Dipaksakan, karena mau benarnya sendiri saja, kritik dan protes lewat gelombang besar aksi damai di seantero negeri tak digubris dan tak coba ditarik hikmahnya sedikit pun! Jadi berbahaya, karena kritik dan protes yang bertolak dari perbedaan pendapat didorong untuk bentrok melawan kekuatan-kekuatan kekerasan milik negara, hingga rakyat yang bersusah payah membelanjai kekuatan-kekuatan negara itu diposisikan pada dilema senjata makan tuan!"

"Klimaks demokrasi berdimensi tunggal yang mau benar sendiri untuk menang sendiri itu terjadi ketika pihak yang berbeda pendapat dengan sang dominan dicap pengkhianat!" timpal Amir. "Pada posisi itu, jalan yang ditempuh sang dominan jelas menyimpang dari kaidah dan norma demokrasi karena mengharamkan perbedaan—konon lagi itu dilakukan di bawah kibaran panji Bhinneka Tunggal Ika, kewajiban menghormati perbedaan justru untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa!" ***
Selanjutnya.....

Pajak Progresif, Pelayanan Naif!

GUBERNUR Lampung Sjachroedin Z.P. menegaskan untuk mengevaluasi penerapan tarif progresif pajak kendaraan bermotor (PKB)!" ujar Umar. "Langkah tersebut diambil karena selain pelaksanaan peraturan daerah (perda) mulai 12 Maret itu membingungkan pembayar pajak, petugas yang memberikan pelayanan juga bersifat naif—tak mampu menjelaskan masalah yang dikomplain pembayar pajak!" "Tarif pajak progresif itu bagaimana?" tanya Amir. "Tarif progresif berlaku bagi pemilik kendaraan lebih dari satu!" jelas Umar. "Kendaraan pertama kena PKB 1,5% dari nilai jual kendaraan bermotor (NJKB), kendaraan kedua 2%, ketiga 2,5%, keempat dan seterusnya 3%." "Kan bagus, semakin banyak orang punya mobil, semakin tinggi tarif pajaknya!" timpal Amir.

"Untuk mobil pribadi, tarif progresif itu memang bagus, semakin kaya atau semakin banyak mobil pribadinya, semakin tinggi tarif pajaknya!" jelas Umar. "Tapi timbul masalah pemberlakuannya terhadap perusahaan—yang membayar segala jenis pajak—tarif progresif PKB itu memberatkan! Lebih lagi bagi karyawan perusahaan yang dapat kendaraan lewat mencicil dari perusahaan! Lazim dalam car ownerships program (COP) karyawan yang membayar pajak kendaraan meski sebelum lunas STNK-nya masih atas nama perusahaan! Akibatnya, karyawan yang memiliki kendaraan belum sepenuhnya, bisa jadi baru seperempatnya, harus membayar PKB pada tarif tertinggi karena pemilikannya masih atas nama perusahaan!" "Kalau begitu Gubernur betul, pelaksanaan perda itu perlu dievaluasi, kemudian dikoreksi terkait pemilikan kendaraan oleh perusahaan dan COP karyawan dari perusahaan!" tegas Amir. 

"Untuk itu tentu perlu dibentuk tim penyempurnaan perda dari eksekutif, selanjutnya dibahas DPRD!" "Sikap tenggang rasa dari Pemprov dan DPRD untuk serius menyempurnakan Perda tentang Tarif Progresif PKB bagi kepentingan perusahaan dan karyawan itu perlu, sesuai dengan kenaifan pelayanan publik terkait pengelolaan anggaran, di mana bagi hasil PKB yang diterima Pemprov dan pemkab/pemkot se-Lampung belum digunakan maksimal untuk memperbaiki jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota yang sebagian besar masih rusak parah!" timpal Umar. "Artinya, Pemprov dan DPRD juga harus bersikap fair, tak mau menang sendiri saja, hasil PKB tak diprioritaskan untuk memperbaiki jalan yang rusak, tapi pembayar pajak yang terjebak di jalanan rusak itu justru dipaksa harus membayar pajak lebih tinggi!" ***
Selanjutnya.....

Penguasa Tak Paham Penderitaan Rakyat!

"HEBOH penaikan harga BBM dari protes di jalanan seantero negeri sampai paripurna DPR memberi isyarat, penguasa tak memahami penderitaan rakyatnya!" ujar Umar. "Standar penguasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat selalu di bawah survival—tak cukup untuk hidup! Misalnya, anggaran panti asuhan tiga ons beras dan uang seikat bayam/orang/hari, berlaku seumur-umur!" "Dalam kenaikan harga BBM terakhir menilai kompensasi Rp150 ribu/bulan/keluarga cukup untuk menutupi kekurangan akibat kenaikan harga BBM 33%!" timpal Amir. "Jadi, Rp5.000/hari/keluarga, kalau rata-rata keluarga mempunyai empat jiwa Rp1.250/orang, untuk menambah ongkos angkot atau ojek dua anak ke sekolah yang ikut naik harga BBM, tak cukup! Bagaimana harus menutupi kekurangan belanja dapur dan kebutuhan pokok lainnya yang harganya naik terkatrol harga BBM, tak ada solusi! Akhirnya kualitas dan kuantitas konsumsinya yang dikurangi, hingga penderitaan rakyat yang sudah serbakekurangan nian jadi semakin parah!"

"Hal itu terjadi oleh kebiasaan penguasa melihat segala sesuatu lewat angka-angka kuantitatif!" tegas Umar. "Sebenarnya kebiasaan itu tak buruk, bahkan standar hidup bagi pemimpin modern! Celakanya, angka-angka kuantitatif itu di negeri terbelakang sering diperoleh lewat proses yang tereduksi berbagai kepentingan! Akibatnya, angka yang dihasilkan jauh dari realitas sebenarnya, hingga ketika dijadikan dasar membuat kebijakan oleh penguasa, menjadi tak manusiawi!" "Contoh angka kuantitatif yang tereduksi berbagai kepentingan itu, pengangguran!" timpal Amir. 

"Seseorang tak masuk kategori penganggur jika dalam seminggu bekerja selama dua jam! Kalau artis satu minggu sekali manggung dua jam mungkin honorariumnya lebih Rp5 juta! Kalau pekerja serampangan di kampung, seminggu kerja dua jam itu mungkin memperbaiki genteng rumah tetangga bocor, hasilnya paling cuma secangkir kopi! Jelas tidak manusiawi kalau barisan warga ini tak masuk kelompok penganggur, tak kebagian distribusi bantuan negara buat penganggur!" "Jadi, terlihat jika penguasa tak memahami soal penderitaan rakyatnya bukan akibat keterbatasan pengetahuan dirinya, tapi terbentuk lingkungan kekuasaannya—laporan bawahan asal bapak senang (ABS), informasi politisi terdekatnya yang sudah tereduksi kepentingan politik (power tend to corrupted), serta angka-angka dari publik yang tereduksi berbagai kepentingan pula!" ujar Umar. "Alhasil, setiap membuat kebijakan penguasa dihadang demo atas nama penderitaan rakyat di seantero negeri!" ***
Selanjutnya.....