Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Keamanan Bus Mudik!

"DARI 14 bus jurusan Rajabasa—Lampung Barat yang terjaring operasi gabungan penguji kendaraan bermotor Dinas Perhubungan Lampung Barat (26-7) di Sumberjaya, 10 bus dinyatakan tak laik jalan untuk angkutan mudik!" ujar Umar. "Penyebabnya beragam, ada yang bannya gundul atau vulkanisasi, rem bocor, banyak pula yang kirnya mati! Semua itu bisa disimpulkan tak menjamin keamanan penumpang bus mudik Lebaran nanti!" "Hasil pengujian operasi gabungan terhadap bus penumpang umum di Lampung Barat ini tampak lebih mencerminkan realitas kondisi bus penumpang umum di Provinsi Lampung, ketimbang pengujian lain seperti di Terminal Rajabasa!" timpal Amir. "Soalnya, pengujian di tempat lain itu memberi kesan dilakukan tebang pilih, hanya dilakukan terhadap bus yang bagus, hingga bus yang seharusnya terjaring tak laik jalan untuk angkutan mudik malah lolos dari pengujian!"

"Kalau benar demikian, jelas itu bisa membahayakan keamanan penumpang!" tegas Umar. "Tapi kecenderungan itu tampak tak mustahil, sebab dari sekian banyak kendaraan yang terjaring tak laik jalan dalam pengujian di Sumberjaya itu, tak ada tanda-tanda telah terjaring sebagai kendaraan tak laik jalan dalam operasi di Rajabasa—di mana bus-bus tersebut juga memangkal!" "Artinya, kesungguhan pengujian laik jalan terhadap angkutan penumpang umum baik untuk mudik maupun reguler, perlu ditegaskan ulang kepada para pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan umum di bidang transportasi!" timpal Amir. "Keselamatan jiwa penumpang harus lebih diutamakan dari alasan lain, di antaranya yang memang layak dikemukakan pengusaha angkutan!" "Memang, keluhan pengusaha angkutan umum itu ada yang bisa dipahami!" tukas Umar. "Seperti kondisi angkutan umum mereka yang rusak, itu akibat parahnya kerusakan jalan yang mereka lalui! 

Selain berakibat cepat rusaknya kendaraan, rusaknya jalan juga mengurangi laju bus mencapai tujuan sehingga ada trayek yang seharusnya bisa dua rit sehari, prakteknya hanya bisa dapat satu rit! Faktor kerusakan jalan itu membuat pengusaha angkutan umum merugi dari berbagai dimensi, hingga untuk mengganti ban busnya yang gundul tak mampu!" "Realitas itulah yang kurang dipahami para pejabat penguasa maupun wakil rakyat daerah yang cenderung cuma bisa menyalahkan pengusaha angkutan jika terjadi kecelakaan!" tukas Amir. "Padahal secara nyata tampak 'lingkaran setan' penyebab kecelakaan atau tak laiknya kondisi angkutan umum berporos pada kerusakan jalan yang tak kunjung diperbaiki, terutama jalan provinsi dan jalan kabupaten! Jadi, tak amannya bus mudik penyebab utamanya justru akibat lalainya penguasa dan wakil rakyat memperbaiki jalan!" ***
Selanjutnya.....

Perspektif Baru Kemiskinan!

"ADA perspektif baru kemiskinan dari Sri Edi Swasono (Kompas, 28-7), di mana miskin bukan lagi persoalan keberadaan pada garis atau di bawah garis kemiskinan!" ujar Umar. "Seorang dosen bisa 'termasuk miskin' meski gajinya Rp2,4 juta, ia keluarkan untuk pekerja rumah tangga (PRT) Rp750 ribu, listrik Rp500 ribu, iuran RT/RW Rp200 ribu, cicilan laptop, pulsa, dan tetek bengek! Seseorang terpojok miskin, tulisnya, tatkala ia melihat iklan-iklan di televisi menayangkan kemewahan yang tidak terjangkau daya belinya, gebyar-gebyar kemewahan mengepung kemiskinannya yang menjadikan nestapa dalam keperihan hati!"

"Perspektif baru kemiskinan dari Sri Edi itu menegaskan kemiskinan bukan cuma realitas kondisi hidup papa serbakekurangan atas kebutuhan dasar manusia, melainkan juga perasaan yang bisa menyekap seseorang di tengah situasi kontras yang membuatnya jadi merasa miskin!" timpal Amir. "Jadi, kemiskinan oleh realitas serbakekurangan kebutuhan dasar bisa disebut kemiskinan kondisional! Sedang kemiskinan yang dirasakan akibat tersekap situasi kontras di sekelilingnya bisa disebut kemiskinan situasional!" "Begitulah!" sambut Umar. "Pegawai-pegawai negeri dan swasta pun, ia lukiskan, menjadi miskin oleh iklan-iklan rumah dan apartemen mewah metropolitan yang menggugah kecemburuan sosial dan menumbuhkan 'minderisasi' (inferiorization), sementara cicilan rumah sederhana mereka menjadi beban berkepanjangan!" "Itu menambah perbendaharaan istilah, kemiskinan, dari kemiskinan struktural yang popular selama ini!" timpal Amir. 

"Kemiskinan struktural terjadi akibat penindasan lapisan atas struktur sosial (patron) terhadap lapisan sosial di bawahnya (client). Hubungan patron yang menindas client itu kini mungkin bisa digambarkan dengan majikan yang menindas buruhnya, atau penguasa (dan politisi) yang menindas pendukung alias konstituennya!" "Kemiskinan strukrural yang terus berproses itu pula sebagai penyebab timbul dan menguatnya kemiskinan situasional yang mencuat akibat ketimpangan sosial semakin tajam!" tegas Umar. "Ketimpangan sosial kian tajam terjadi akibat mapannya penindasan patron terhadap client-nya, baik itu dalam bentuk penindasan majikan atas buruhnya maupun penindasan penguasa (dan politisi) terhadap massa konstituen pendukungnya!" "Kelompok patron itulah yang ditawari rumah dan apartemen mewah dengan cicilan lebih Rp10 juta/bulan!" tukas Amir. "Itu membuat kelompok client yang hanya lewat mendengar iklannya saja jadi merasa miskin!" ***
Selanjutnya.....

Kekeringan pun Datang Menantang!

"SEUSAI pesta para kepala daerah merayakan penerimaan penghargaan ketahanan pangan dari Presiden atas prestasinya meningkatkan produksi beras di daerahnya lebih 5% tahun lalu ketika curah hujan cukup sepanjang tahun, datanglah kekeringan menantang para kepala daerah untuk mengulang prestasinya tahun lalu itu!" ujar Umar. "Tantangan itu serius, karena 70% sawah di Lampung tadah hujan, kalau hujan cukup bisa panen baik dua kali setahun sehingga kepala daerah tidur saja pun produksi dan produktivitas sawahnya bisa naik lebih 5%!" "Memang, kalau mau membuktikan dalam peningkatan produksi dan produktivitas sawah di daerahnya yang 70% tadah hujan itu merupakan hasil kerja atau prestasi kepala daerah, buktikanlah saat kekeringan sekarang!" timpal Amir. 

"Tantangan itu merangsang bagi para kepala daerah justru ketika para petani di kawasan sawah tadah hujan seperti di Ketapang, Lamsel, sudah berjuang maksimal menyelamatkan tanaman padinya usia sebulan dengan pompanisasi air sungai maupun dari sumur pantek (bor), apa yang bisa dilakukan kepala daerah untuk membantu perjuangan petani tersebut!"."Sebagian sumur pantek yang hingga kini masih digunakan petani di kawasan sawah tadah hujan itu sisa peninggalan zaman Pudjono Pranjoto sebagai gubernur!" tegas Umar. "Lantas, apa yang telah dibuat pemerintah daerah untuk mengatasi bila kekeringan datang hingga sekarang setelah 20 tahun kemudian? Nyaris tak ada! Bahkan banyak sumur sudah tertutup dan titiknya hilang, yang tersisa juga airnya di bawah 40 meter dari permukaan tanah itu sudah makin terbatas akibat disedot terus melampaui kapasitas luas sawah dari tahun ke tahun!"


"Tragis memang kalau semusim terakhir ini petani sudah menghabiskan banyak solar guna menyelamatkan tanaman padinya—seperti Yanto dari Bangunrejo, Ketapang, yang dua pekan terakhir habis Rp700 ribu untuk bahan bakar menyedot dari sumur bor tua yang airnya tak semelimpah dahulu!" timpal Amir. "Kemampuan Yanto dan petani sejenis di tempat lain terbatas! Artinya, tiba saatnya kepala daerah menyelamatkan tanaman padi rakyat dari kekeringan sebagai bukti mereka memang layak menerima tanda penghargaan ketahanan pangan dari Presiden!" "Jangan cuma gemar pesta pora menghamburkan uang rakyat saat menerima penghargaan dari Presiden!" entak Umar. "Tapi justru ngorok saat bantuannya yang nyata buat petani benar-benar sangat dibutuhkan!" ***
Selanjutnya.....

Krisis Kedelai, Pemerintah Tak Berdaya!

"AKSI pengusaha tahu-tempe mogok produksi di kota-kota besar sejak Rabu menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai agar harganya turun, justru menyingkap realitas pemerintah tak berdaya mengatasi krisis kedelai!" ujar Umar. "Soalnya, pemerintah tak punya cukup stok kedelai! Pemenuhan kebutuhan bahan untuk santapan kegemaran mayoritas warga bangsa ini secara nasional bahkan tergantung pada impor!" "Memang! Menurut data Litbang Kompas (25-7) produksi nasional kedelai tahun lalu hanya 720 ribu ton, sedang impornya 1,95 juta ton!" timpal Amir. "Dengan begitu pemerintah tak bisa berbuat banyak, kecuali silat lidah beretorika menutupi kelemahan rezimnya yang tak berusaha untuk mencapai swasembada kedelai! Akibatnya, agar tak kehilangan muka lebih jauh, dijanjikan menghapus sementara bea masuk kedelai sebesar 5%—kalau harga kedelai menurut data Litbang Kompas Rp8.758/kg, berarti harganya nanti turun jadi Rp8.320/kg!"

"Harga baru yang tak berarti signifikan mengatasi kesulitan banyak perajin tahu-tempe yang bahkan bangkrut!" tegas Umar. "Itu membuktikan keteledoran rezim akibat keenakan menikmati fee impor maupun bea masuk kedelai harus diakhiri! Program nasional swasembada kedelai harus dibuat, sebab kalau bisa memproduksi 720 ribu ton, tidak mustahil untuk ditingkatkan jadi 3 juta ton dalam 10 tahun ke depan!" "Keranjingan (mengharap fee) impor rezim ini memang keterlaluan sehingga waktu panen lokal berlimpah pun tetap dipaksakan impor beras!" tukas Amir. "Keranjingan impor itu bahkan mematikan daya produksi dalam negeri, seperti terjadi pada garam yang tahun lalu 95% dari kebutuhan nasional 3 juta ton garam per tahun dipenuhi dari impor asal India dan Australia!

 Pelumpuhan produksi lokal itu juga terjadi lewat pematokan harga garam lokal yang rendah, di bawah Rp300/kg, padahal garam India di atas Rp500/kg dan garam Australia bisa Rp800/kg!" "Mengenaskan memang!" timpal Umar. "Tanpa kecuali perjuangan pengusaha tahu-tempe kali ini, yang hasilnya tidak optimal karena sekadar sebagai justifikasi untuk menaikkan harga tahu dan tempe! Jauh lebih mengenaskan lagi ketakberdayaan pemerintah mengatasi krisis kedelai, apalagi menuntaskan masalahnya! Lagi-lagi kalau krisis ini cuma berujung di retorika, semakin hari justru akan semakin besar peran impornya seperti pada garam—tanpa peduli ada BUMN PN Garam yang malah lebih mapan jadi penonton impor!" ***
Selanjutnya.....

Selain yang Tersurat, Ada yang Tersirat!

"LELUHUR pendahulu kita mewariskan cara berpikir bijaksana lewat ungkapan peribahasa dan kosokbali—kata majemuk berlawanan makna—agar tak terkelabui oleh selubung pseudomatika (seolah-olah)—terutama bahasa. Semisal jika mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seolah-olah bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme—KKN!" ujar Umar. "Padahal WTP itu, demikian pula tender online yang bertujuan mencegah KKN, hanyalah yang tersurat! Di balik itu selalu ada kosokbalinya, yang tersirat—hal-hal yang ditutupi hingga tak mudah dilihat secara kasatmata!" "Namun, ungkapan leluhur selain yang tersurat selalu ada yang tersirat itu bukan untuk mendorong kita berprasangka buruk!" timpal Amir. "Tapi untuk mengingatkan siapa pun yang memegang peranan bahwa sing becik ketitik sing olo ketoro—setiap yang baik pasti dikenali sedang yang buruk ketahuan! Yang tersirat itu juga bisa seperti benda busuk, akhirnya tercium juga!"

"Soal itu banyak contoh, setelah purnabakti hingga tak bisa lagi mengendalikan jalannya permainan, barulah tercium kebusukan seorang pejabat untuk selanjutnya masuk penjara!" tegas Umar. "Jadi, tak mudah bagi banyak pejabat menutupi yang tersirat itu setelah purnabakti! Betapa memilukan nasib malang pejabat itu, di ujung era kejayaannya harus menghabiskan masa pensiun dalam bui! Maka itu jangan sembunyikan yang busuk karena semakin lama disimpan bau busuknya akan semakin menyengat!" "Sebab itu, jangan berlebihan mendaulat kebenaran tersurat hasil proses cara dan alat karena pada akhirnya tergantung pada moral dan mentalitas manusia dengan kepentingan terselubungnya di balik cara dan alat tersebut—dengan kata lain kebenaran hakikinya selalu tak terlepas dari yang tersirat!" tukas Amir.

 "Dalam hal ini secara dialektis yang tersurat sebagai tesis sedang yang tersirat antitesisnya, maka sintesisnya keselarasan antara tesis dan antitesisnya—keselarasan yang tersurat dan yang tersirat!" "Keselarasan yang tersurat dan yang tersirat berarti tak ada penyimpangan, kebenaran pada yang tersurat sejalan dan didukung oleh yang tersirat!" timpal Umar. "Keselarasan itu bisa tercapai jika tak ada konflik kepentingan di dalamnya sehingga praksisnya benar-benar dilakukan sesuai dengan sistem dan prosedur aturan mainnya dengan pengawasan efektif tahap demi tahap prosesnya! Tapi justru faktor kepentingan itu belum bisa dipisahkan dari yang tersirat!" ***
Selanjutnya.....

Perajin Tempe dan Tahu Mogok!

"BUKTI negara semakin maju dan demokratis, Rabu ini sampai Jumat (25—27 Juli) para perajin tempe-tahu anggota Primer Koperasi Perajin Tempe-Tahu Indonesia (Primkopti) se-Jakarta mogok produksi!" ujar Umar. "Aksi itu untuk menuntut pemerintah mengambil-alih tata niaga kedelai, yang harganya melonjak dari Rp5.500/kg jadi Rp8.200/kg!" (Kompas, 23-7) "Merespons tuntutan perajin tempe-tahu itu bicara Menko Perekonomian Hatta Rajasa saat diwawancara Metro TV tampak tak sebernas biasanya!" sambut Amir. "Ia lempar bola panas itu ke Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan!" "Hatta benar, soal pengadaan dan pencukupan kebutuhan kedelai nasional memang urusan kedua menteri itu!" timpal Umar. "Selama ini masalah kedelai tenang karena harganya stabil meski impornya terus menanjak ke 2 juta ton tahun lalu! Belakangan harganya melonjak terkatrol kenaikan harga pangan dunia yang simultan terpicu krisis Eropa! Pemerintah jelas tak mudah mengatasi gejala internasional itu, hingga harga kedelai memberatkan perajin tempe-tahu!"

"Secara logis memang bisa diurai demikian!" tukas Amir. "Tapi dengan impor kedelai hanya dilakukan sejumlah importir yang terbatasi oleh rekomendasi dua kementerian, selain bea masuk 5%, tiba-tiba harganya melonjak lebih dari 50% wajar kalau para perajin tempe-tahu khawatir jangan-jangan segelintir importir itu bersyubhat melakukan praktek kartel! Itu sebabnya, jalan keluar terbaik diusulkan perajin tempe-tahu agar pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai!" "Usulan yang menjurus untuk meregulasi tata niaga kedelai itu jelas etatis sehingga bertentangan dengan liberalisasi perdagangan yang justru semakin dimantapkan pemerintah dewasa ini!" tukas Umar.

 "Artinya tak mudah dipenuhi oleh pemerintah, kecuali Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan bukti praktek kartel di balik lonjakan drastis harga kedelai belakangan ini! Di lain pihak, belum tentu pula tak ada kongkalikong—meminjam istilah Presiden SBY—antara orang dalam kedua kementerian dengan importir!" "Maka itu, meski menempuh jalan demokratis dengan mogok produksi, perjuangan perajin tempe-tahu agar tata niaga kedelai ditangani pemerintah tak punya harapan cerah untuk berhasil!" timpal Amir. "Tapi gerakan itu bisa menjadi pembenar bagi perajin untuk menaikkan harga tempe-tahu! Ujungnya, konsumen juga yang menderita, tapi pemerintah takkan mau peduli!" ***
Selanjutnya.....

Warga Paranoia Keamanan Buruk!

"WARGA sebuah perumahan baru di Hajimena dalam tampak paranoia—ketakutan—pada kondisi keamanan yang buruk!" ujar Umar. "Perumahan dibangun sepanjang jalan lintas desa beraspal, setiap baris rumah berhadapan diberi jalan masuk dari jalan aspal! Tapi semua jalan masuk ke barisan rumah dari jalan aspal yang membuat lokasinya strategis itu malah ditutup warga dengan portal-palang besi terkunci 24 jam! Mereka keluar-masuk kompleks itu dari belakang, menyeberang sungai dan gang sempit tembus ke Kelurahan Rajabasa Raya!" "Begitulah paranoia pada keamanan daerah yang buruk. Warga tak peduli juru bicara Polda Lampung setiap kali menyatakan keamanan provinsi ini kondusif!" timpal Amir. "Warga memilih membentengi diri dari kejahatan hit and run di jalan aspal lintas desa yang mulus itu! Lebih baik berusaha mencegah terjadinya kejahatan terhadap komonitasnya, ketimbang menyesali diri setelah jadi korban!"

"Di balik itu masalahnya, bagaimana kita bisa meyakinkan investor dari luar Lampung, atau malah dari luar negeri, kalau kepada warga sendiri saja tak mampu membuat mereka merasa aman tanpa ketakutan pada ancaman penjahat yang sering lolos dari kejaran polisi!" tukas Umar. "Biang masalahnya justru pada praanggapan yang mewajarkan merebaknya kejahatan bermotif kesulitan ekonomi! Padahal, bermotif apa pun kejahatan tak boleh terjadi! Karena, bermotif apa pun kejahatan merugikan masyarakat, terutama korbannya, membuat kondisi keamanan tidak kondusif!" "Untuk itu, bukan polemik kondisi keamanan kondusif atau tidak yang diperlukan, tapi penanggulangan nyata terhadap kejahatan yang harus digalakkan, baik oleh kepolisian maupun masyarakat!" timpal Amir. 

"Polisi secara maksimal mengerahkan jajarannya untuk mencegah kejahatan dengan menyebar sniper di lokasi-lokasi rawan, patroli silang berbagai kesatuan untuk membuat warga merasa lebih tenteram, serta membina masyarakat untuk lebih waspada dan mampu melindungi komunitasnya dari ancaman penjahat! Tentu, dengan pengamalan peran binmas kepolisian itu, pengamanan swadaya warga dengan siskamling diaktifkan kembali hingga efektif mengatasi ancaman kejahatan!" "Menjelang Lebaran masa yang tepat untuk itu!" tegas Umar. "Warga tak boleh pasrah pada kejahatan bermotif apa pun!" ***
Selanjutnya.....

Kabinet Partisan, Pemerintahan Cuma Sambilan!

"PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu mengimbau para menteri kabinetnya untuk fokus mengurus kementeriannya daripada mengurus partai politik yang dipimpinnya!" ujar Umar. "Teguran Presiden itu layak diapresiasi, karena kalau menteri-menteri yang di partainya sebagai tokoh sentral, tanpa kehadiran dirinya, partai bak tubuh tanpa kepala, jelas tugas kementerian terpaksa cuma bisa dilakukan secara sambilan!" "Kabinet partisan, kabinet yang terdiri dari tokoh-tokoh partai, konsekuensinya memang bisa menjadi pemerintahan sambilan!" timpal Amir. "Sayangnya, itu bukan cuma dilakukan sejumlah menteri yang juga ketua umum atau wakil ketua umum partai politik! Tak kepalang, presidennya juga tokoh sentral partai berkuasa yang emosionalitasnya terlihat lebih menonjol ketika bicara mengenai partainya ketimbang saat bicara soal pemerintahan!"

"Ikatan emosional politisi lebih kuat pada partainya ketimbang jabatan formalnya di pemerintahan itu wajar!" tukas Umar. "Sebab, partai merupakan sumber kekuasaan pertama dan utama baginya, bagai sekoci yang ia kayuh mencapai kapal besar—pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif! Banyak contoh politisi yang kurang perhatian pada partainya, sekocinya tenggelam dan akhirnya si politisi tersingkir dari percaturan politik nasional!" "Itu sebabnya, tak sedikit politisi yang tidak kepalang dalam mengeksploitasi jabatannya di pemerintahan untuk kepentingan partainya!" timpal Amir. "Komitmennya pada partai itu bisa ditunjukkan dengan membangun kantor partainya yang megah di lokasi strategis, dan itu sekaligus membuktikan pentingnya meraih jabatan pemerintahan demi kejayaan partai!"

"Kecenderungan menteri kerja sambilan dan eksploitatif atas kekuasaan di pemerintahan itu juga merambat ke daerah, terutama pada ketua partai yang merangkap kepala daerah!" tegas Umar. "Artinya, dalam kekuasaan kaum partisan, selain menjadikan jabatan formal pemerintahan sebagai sumber daya bagi pemenangan partainya, secara nasional tugas pemerintahan juga selalu cuma sambilan karena selalu lebih mengutamakan perhatian bagi kemenangan partainya pada pemilu!" "Itu mungkin salah satu penyebab penting kenapa kehidupan sosial ekonomi rakyat kebanyakan tak berkembang sepesat peningkatan jumlah anggaran negara dan daerah!" timpal Amir. "Karena, anggaran itu tak selalu mulus sampai ke rakyat, tapi lebih banyak berputar di proses politik!" ***
Selanjutnya.....

KPK Tetapkan Tersangka Hambalang!

"SETELAH memeriksa lebih 70 orang terkait kasus pembangunan kompleks pusat olahraga Hambalang, Bogor, akhirnya KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—Kamis menetapkan tersangka pertama DK—pejabat pembuat komitmen di Kementerian Pemuda dan Olahraga!" ujar Umar. "Pada hari yang sama KPK melakukan penggeledahan di sejumlah ruangan kementerian tersebut! Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng mempersilakan KPK memeriksa orang-orang maupun ruangan di kementeriannya, sebagai bukti ia siap bekerja sama dengan KPK!" "Tragis nian nasib kementerian itu!" timpal Amir. "Setelah Sekretaris Kementeriannya Wafid Muharam divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus korupsi wisma atlet Palembang, kini pejabat terasnya menyusul dalam kasus korupsi proyek lain! Dalam logika bahasa Indonesia, jika lebih dari satu berarti banyak, bisa disebutkan di Kementerian Pemuda dan Olahraga banyak kasus korupsi!" 

"Realitas itu bertentangan dengan iklan partai yang menempatkan menteri pemimpin kementerian tersebut bintang iklan gerakan antikorupsi!" tegas Umar. "Dengan contoh itu masyarakat layak diingatkan agar tak mudah percaya pada iklan politik, seperti yang ditayangkan lewat televisi itu, karena isinya nyata-nyata pembohongan terhadap publik! Kalau isi iklan terbuka luas di tengah publik itu saja terbukti bohong, bagaimana mau percaya pada janji politisinya untuk menyejahterakan rakyat!" "Kalau janji menyejahterakan rakyat ternyata cuma janji palsu, tak ayal kesejahteraan palsu pula yang diperoleh rakyat!" tukas Amir.

 "Wujud kesejahteraan palsu itu adalah kenyataan suatu kesejahteraan yang telah ditetapkan capaiannya sesuai biaya APBN, tapi sebagian dari anggaran tersebut dikorupsi—sehingga yang diserahkan kepada rakyat cuma proyek thalidomide—proyek yang cacat bawaan lahir!" "Terpenting dilihat, satu episode korupsi di berbagai kementerian terakhir ini dilakukan oleh sekelompok orang dari partai tertentu, episode lainnya dilakukan kelompok lain lagi!" sambut Umar. "Akibatnya, tergambar secara keseluruhan proyek thalidomide merebak nyaris di semua wilayah kerja pembangunan menyejahterakan rakyat! Kasihan rakyat, cuma mendapatkan proyek-proyek yang serbacacat oleh korupsi!" "Melihat korupsi yang sudah sedemikian masifnya di negeri ini, penetapan tersangka kasus Hambalang yang menyangkut anggaran lebih Rp1 triliun itu amat tepat dilakukan di ambang Ramadan!" tegas Amir. "Alasannya, Ramadan adalah bulan penegakan kebenaran dan melawan kemungkaran! Korupsi adalah kemungkaran sehingga harus dilawan umat dengan perjuangan lahir dan batin!" *** inShare
Selanjutnya.....

Cucu Bertanya pada Kakeknya!

"ADA anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa?" Cucu menyanyikan lagu Bimbo. "Kakek tahu jawabnya?" "Jawabnya terangkai perintah ibadah puasa Ramadan, supaya menjadi orang yang takwa!" jawab Kakek. "Cuma itu?" entak Cucu. "Berlapar-lapar puasa hanya untuk menjadi orang yang takwa? Takwa itu apaan?" "Orang takwa alias mutaqin itu derajatnya tertinggi di kalangan orang-orang saleh!" tegas Kakek. "Orang saleh seperti doa orang tua buat anak-anaknya?" kejar Cucu. "Betul! Rumusnya 5-M, derajat pertama muslim!" tegas Kakek. "Orang mencapai tingkat muslim jika menjalankan lima rukun Islam—membaca dua kalimat syahadat, salat lima waktu, berpuasa Ramadan, membayar zakat, dan naik haji bila mampu!" "M keduanya apa?" kejar Cucu tak sabar.

"M kedua mukmin, orang beriman!" jelas Kakek. "Mukmin menjalankan rukun Islam dengan keyakinan kuat berdasar rukun iman—Percaya kepada Allah, nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, serta Qada dan Qadar! Sejalan kekuatan iman di hatinya, mukmin secara nyata dengan perbuatannya menjauhi keingkaran yang oleh para ulama Jawa disebut Mo-Limo, minum (minum arak), madat (memakai narkoba), main (berjudi), madon (berzina), maling (mencuri atau korupsi). "Berarti koruptor tak bisa mencapai derajat mukmin, dong?" sela Cucu. "Itu sepenuhnya tergantung pada Allah! Kalau tobatnya diterima, semua hasil korupsinya sudah dikembalikan pada fakir miskin dan yatim-piatu—istilah Fatwa MUI di Tasikmalaya akhir Juni hasil korupsinya dirampas untuk kemaslahatan umat!" jelas Kakek. 

"Pokoknya mukmin itu orang yang ibadahnya lahir-batin oke, kehidupan nyatanya jauh dari segala perilaku mungkar!" "Wah, seorang mukmin itu luar biasa, Kek?" tukas Cucu. "Apa ada orang yang bisa lebih tinggi dari itu derajatnya?" "Ada! M ketiga muhsin, orang yang suka ibadah!" jawab Kakek. “Kelompok ini orang yang telah mencapai derajat mukmin tadi, gemar pula berinfak, bersedekah, beramal jariah (membangun masjid, madrasah), ibadah sunatnya tak putus setiap waktu salat sampai aneka salat malam!" "Kelompok muhsin itu pasti kaya!" sela cucu. "Ia beribadah siang-malam, infak-sedekah tak henti!" "Tanpa didukung kekayaan tapi mampu melakukan ibadah sekelas muhsin itu karena ikhlas semata untuk Allah, mengangkatnya ke derajat M keempat—mukhlis, orang yang ikhlas!" tegas Kakek. "Lalu, kalau kepasrahan ikhlasnya yang totalitas diterima Allah, ia diberi-Nya derajat M kelima, orang yang takwa—mutaki! Jadi, hanya berkat rida Allah orang bisa mencapai derajat mutaki! Maka itu berpuasalah untuk menggapai rida-Nya!" ***
Selanjutnya.....

Laporkan Koruptor ke 'Call Center' KPK!

"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—bekerja sama dengan 10 operator seluler, Senin (16-7), membuka call center (pusat pengaduan) untuk melaporkan koruptor lewat nomor telepon 1575," ujar Umar. "Identitas pelapor dirahasiakan KPK yang membuka dua jenis layanan, laporan biasa dan whistleblower! Hal penting dalam laporan ke KPK adalah nomor telepon terduga koruptor, agar bisa disadap untuk dilacak koneksi dan kegiatan korupsinya! Sejak KPK lahir, penangkapan koruptor dari hasil penyadapan telepon memang cukup signifikan!" "Salah satunya penyadapan terhadap Anggrah Surya, kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor, yang akhir pekan lalu tertangkap menerima suap Rp300 juta tunai dari pegawai swasta!" timpal Amir. 

"Dengan dibukanya call center, warga yang oleh koruptor semula dianggap bermata kayu—meski melihatnya terang-terangan korupsi tak bisa berbuat 'apa-apa'—kini menjadi 'apa-apa'! Konon lagi rakyat yang selama ini amat geram pada tingkah koruptor, call center bisa menjadi sarana mereka berpartisipasi memberantas korupsi!" "Justru itu intinya! Call center bisa menjadikan pemberantasan korupsi sebagai gerakan rakyat!" tegas Umar. "Kalau benar-benar bisa menjadi gerakan rakyat, kekuatan rakyat dalam demokrasi juga bangkit sebagai mesin pembersih dari korupsi! Kebangkitan kekuatan rakyat sedemikian bisa mereduksi peran politisi wakil-wakil rakyat, karena dengan begitu bahkan kekuatan rakyat bisa membersihkan wakil-wakilnya yang kotor!" "Pantas pembukaan call center ditanggapi kalangan DPR dengan rencana merevisi Undang-Undang tentang KPK untuk mengurangi kewenangan KPK dalam sadap-menyadap telepon!" sambut Amir. 

"Tapi gelisahnya kalangan DPR pada KPK wajar, karena semakin banyak anggota DPR menjadi pesakitan KPK! Bisa jadi ada anggota DPR cemas teleponnya disadap dan dapat giliran pakai seragam tahanan KPK!" "Dari semua itu, yang harus diberi prioritas dalam gerakan rakyat memberantas korupsi adalah pengaduan dari whistleblower!" tegas Umar. "Karena whistleblower merupakan bagian dari suatu konspirasi korupsi, pembuktiannya bisa lebih efektif! Masalahnya, selama ini posisi whistleblower kurang dilindungi dan diarahkan untuk terbongkarnya suatu konspirasi korupsi, malah dipojokkan agar tak bisa buka mulut membongkar jaringan di mana dia menjadi bagiannya! Contohnya, kasus sang whistleblower Susno Duadji!" "Sebagai pengalaman bangsa memberantas korupsi, kasus-kasus penindakan korupsi yang mengecewakan rakyat itu akan jadi guru yang bijaksana!" timpal Amir. "Berkat pengalaman itu, kelicikan koruptor ke depan akan kandas di partisipasi rakyat memberantas korupsi!" ***
Selanjutnya.....

JSS, Kembali ke Jalan yang Benar!

"USAHA Menteri Keuangan Agus Martowardojo merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2011 tentang Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda/Jembatan Selat Sunda (KSISS/JSS) dikandaskan Menko Perekonomian Hatta Rajasa!" ujar Umar. "Maksud Agus, untuk mempercepat studi kelayakan megaproyek itu pelaksanaannya dialihkan ke Menteri Pekerjaan Umum dengan biaya dari APBN! Hatta tidak setuju penggunaan APBN untuk itu, selain prosesnya di DPR bisa membuat pelaksanaan proyek tertunda lebih lama! Hatta keukeuh pengerjaan konstruksi harus dimulai 2014, hingga studi kelayakan tetap dikerjakan konsorsium yang ditetapkan Perpres dengan dana swasta!" 

"Dengan ketegasan Hatta Rajasa itu JSS pun kembali ke jalan yang benar, setidaknya benar menurut Perpres!" timpal Amir. "Namun biasanya di jalan yang benar itu banyak tantangan! Bahkan tantangan berat, dalam hal ini digali dari sumber mana dana konsorsium yang terdiri dari BUMD Pemprov Lampung, BUMD Pemprov Banten, dan unit usaha Artha Graha untuk membiayai studi kelayakan yang besarnya bisa lebih Rp4 triliun! Itu dihitung 2% dari anggaran proyek sekitar Rp200 triliun!" "Anggaran proyek itu membengkak karena Perpres menetapkan bukan cuma jembatan yang dibangun, melainkan sekalian kawasan strategisnya!" tegas Umar. "Justru dari kawasan strategis itu diharapkan pengembalian investasinya bisa lebih cepat! Namun, konsekuensinya harus dipikul konsorsium, biaya studi kelayakannya ikut membengkak! 

Lebih lagi seperti terkesan dari pernyataan Hatta Rajasa, 2014 harus mengerjakan konstruksi! Berarti studi kelayakan menangani dari survei awal sampai penyelesaian blue print!" "Agus Martowardojo yang melihat pemenuhan kebutuhan biaya untuk studi kelayakan itu dari kapasitas BUMD Lampung dan Banten mungkin merasa kasihan hingga cari jalan keluar lewat APBN!" tukas Amir. "Apalagi kalau ditelisik dari perkembangan studi kelayakan yang sejak keluarnya Perpres tahun lalu, sampai lewat semester pertama tahun ini, belum terlihat sejauh mana pekerjaan itu dilaksanakan? Jadi, di balik langkahnya yang tergesa itu sebenarnya ada niat baik sang menteri untuk mengatasi invisible problem yang kayaknya dihadapi konsorsium!" "Jangan dilihat dari kapasitas kedua BUMD yang memang baru dibentuk untuk partisipasi Pemprov dalam pembangunan JSS, tetapi lihatlah mitra strategisnya, grup Artha Graha!" tegas Umar. "Grup itu layak dipercaya mampu mengupayakan dana studi kelayakan KSISS/JSS! Masalahnya justru pada labilitas birokrasi, begitu mudah mau mengubah Perpres yang menjadi dasar hukum investasi tidak kecil di KSISS/JSS! Sekarang ada Hatta Rajasa, tetapi lain kali?" ***
Selanjutnya.....

Hitung-Hitungan Truk Angkut Motor Mudik! PDF

"IDE Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan untuk menggunakan sedikitnya 300 truk mengangkut gratis sepeda motor pemudik dan orangnya dinaikkan bus, jelas gagasan brilian!" ujar Umar. "Brilian, karena ide itu amat logis menekan jumlah kecelakaan pengendara motor di jalanan mudik yang dari tahun ke tahun terus meningkat!" "Bisa dijamin tak akan terjadi kecelakaan motor pemudik saat motornya diangkut truk dan orangnya naik bus!" timpal Amir. "Tapi masalahnya, sebesar apa porsi kebijakan ini mengurangi crowded-nya motor di jalur mudik! Bukan cuma 300 truk selama musim mudik, bahkan setiap hari 300 truk setiap hari selama 7 hari mudik dari wilayah Jabotabek mengangkut motor pemudik ke arah timur—Jateng, DIY, Jatim—artinya tetap kecil!" "Ayo kita hitung!" sambut Umar. "Satu truk membawa 50 motor, sehari 300 truk membawa 15 ribu motor. Jadi dalam 7 hari mudik 105 ribu motor! Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding pertambahan 6,16% motor mudik dari tahun lalu 2,36 juta motor, atau menurut Kementerian Perhubungan tambah 200 ribu motor! Berarti, kebijakan tersebut tidak sedikit pun mengurangi crowded-nya motor di jalanan mudik dibanding tahun lalu!"

"Padahal di sisi lain, dengan setiap truk mengangkut 50 motor berarti ada 100 orang dewasa yang harus disiapkan dua bus gratis! Untuk 300 truk harus siap 600 bus gratis setiap hari musim mudik!" tukas Amir. "Karena tak ada penambahan bus baru atau ekstra sebanyak itu untuk angkutan mudik, berarti kebijakan ini akan memakai bus yang sedianya dipakai untuk mengangkut pemudik umum tanpa motor! Mudah dibayangkan pemudik umum di luar pemudik motor itu akan kelangkaan bus dan banyak yang telantar di berbagai terminal mudik!" "Dengan begitu kebijakan ini menjadi kebalikan dari semboyan pegadaian—mengatasi masalah dengan menciptakan masalah baru yang lebih runyam!" tegas Umar. "Tapi bukan berarti kebijakan itu dibatalkan! Jalan terus! Karena rakyat kebanyakan sekali-sekali juga perlu menikmati pelayanan ekstra angkutan mudik gratis dari pemerintah, sekaligus orang dan motornya! Meski, berbagai kebijakan lain untuk mengamankan dan menekan angka kecelakaan pemudik motor tetap harus disiapkan!" "Sebenarnya ada sejumlah kebijakan yang baik untuk mengamankan dan menekan kecelakaan pemudik motor! Cuma, sering tak konsisten penerapannya!" timpal Amir. "Salah satunya memandu konvoi pemudik motor! Cara ini tahun-tahun lalu terkesan dilakukan secara dadakan sehingga kurang persiapan! Padahal kalau dipersiapkan dengan baik, aturan konvoi seperti jarak antarkendaraan ke depan, kiri dan kanan, serta kecepatan sudah disosialisasi, tertib dan aman mudik bermotor bisa diwujudkan!" ***
Selanjutnya.....

Bantuan Silang IMF-Bank Dunia!

"KTT G-20 di Meksiko sepakat membantu IMF—International Monetary Fund—kebutuhan dana mengatasi krisis Eropa dan Afrika sebesar 430 miliar dolat AS!" ujar Umar. "Indonesia sebagai anggota G-20 berpartisipasi sebesar 1 miliar dolar AS. Untuk itu, Bank Indonesia memakai cadangan devisa negara membeli surat berharga IMF senilai partisipasi tersebut! Jangan lihat nilai bantuan dibanding kebutuhan IMF, tapi prinsipnya, Indonesia sudah menjadi donor IMF! Keren, kan?" "Luar biasa keren pun!" timpal Amir. "Tetapi dari New York, orang yang paling tahu tentang kocek dan kebutuhan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, selaku direktur pelaksana Bank Dunia, buru-buru terbang ke Jakarta mengisi kembali kocek negara asalnya sebanyak 2 miliar dolar dana kontingensi—untuk jaga-jaga—bantuan Bank Dunia! Jadi bisa dikatakan, telah terjadi bantuan silang IMF-Bank Dunia!"

"Di luar dana kontingensi itu, Sri Mulyani juga menawarkan bantuan Bank Dunia untuk perbaikan infrastruktur—jalan, jembatan, pelabuhan, dan sebagainya!" sambut Umar. "Tawaran itu disambut Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang memang amat membutuhkan! Dana Rp161 triliun dari APBN 2012 untuk perbaikan infrastruktur jauh dari memadai! Akibatnya, jalan yang seharusnya mendapat perbaikan total—seperti by pass Bandar Lampung—hanya ditutup lubangnya asal rata untuk mudik!" "Tapi apakah keuangan negara kita dengan APBN 2012 sebesar Rp1.439 triliun tergolong tak berdaya, sehingga tak mampu memperbaiki infrastruktur yang di luar Jawa umumnya rusak parah?" tukas Amir. "Itu kenyataannya!" tegas Umar. "Tapi kalau dilihat dari kemajuan ekonomi masyarakat bangsa yang telah mampu menyumbang pajak lebih 1.000 triliun rupiah, sebenarnya bukan keuangan negara yang lemah, tapi pengelola keuangan negara yang tidak becus!

Masalahnya, semua orang yang punya ototitas mengelola uang negara, dari pusat sampai daerah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, tidak fokus pada prioritas kebutuhan nyata! Tapi, menghambur uang negara untuk hal-hal yang lebih terkait dengan kepentingan dan kepuasan diri dan kelompok elitisnya semata! Akibatnya, imbal pelayanan pada warga pembayar pajak yang telah mereka nikmati itu pun terlupa, hingga ketika kerusakannya telah sangat parah, mereka berharap bantuan Bank Dunia buat menambalnya!" "Sri Mulyani paham mengenai kenyataan itu maupun utak-atik di baliknya, sehingga ia berusaha datang tepat waktu!" timpal Amir. "Lewat tawaran bantuan Bank Dunia itu, ia sadarkan bahwa kita masih merupakan negara serbakekurangan, jadi jangan tergesa busung dada sebagai negara donor IMF—padahal nasib malang jutaan warga miskin di negeri sendiri tak tertangani!"* inShare Tweet
Selanjutnya.....

PKS, Introspeksi Hasil Pilgub DKI!

"HASIL sementara Pilgub DKI Jakarta yang menempatkan pasangan calon Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini (keduanya philosophy doctor—Ph.D.) di urutan ketiga dengan perolehan suara 11,5%, mendorong partai dakwah itu layak introspeksi!" ujar Umar. "Alasannya, capaian itu hanya separuh hasil PKS pada Pemilu Legislatif 2009, malah seperempat suara PKS pada Pilgub DKI sebelumnya dengan calon Adang Darajatun!" "Ada apa gerangan dengan PKS?" timpal Amir. "Hasil itu layak dicari penyebabnya karena bagi PKS, DKI Jakarta merupakan barometer bukan saja karena ibu kota negara, melainkan juga karena PKS sejauh ini masih lebih eksis sebagai partai kota besar! Karena itu, hasil yang mencerminkan gejala mengecilnya perolehan suara PKS di ibu kota negara itu menjadi alarm—tanda bahaya—terutama bagi target PKS meraih posisi 'tiga besar' dalam Pemilu 2014!"

"Alarm itu bahkan harus direspons lebih serius karena untuk Pilgub Jakarta kali ini PKS menurunkan jagonya yang terbaik, tokoh besar mantan Ketua MPR sekaligus inisiator Partai Keadilan—cikal bakal PKS!" tegas Umar. "Tokoh sebesar itu logikanya mampu mengeskalasi perolehan suara hingga lebih besar dari pilgub lima tahun lalu dan tampil mengalahkan petahana yang suara pendukungnya waktu itu kini dipecah oleh pengajuan calon tersendiri partai-partai bekas mitranya! Tapi logika itu terjengkang! Suara yang diperoleh justru longsor, jauh lebih rendah dari permukaan semula!" "Introspeksi tahap pertama tentu atas kinerja PKS di DKI yang mungkin membuat banyak konstituen kecewa dan beralih ke lain hati!" tukas Amir. 

"Hal yang paling mungkin membuat konstituen dongkol, sebagai kekuatan yang dominan di DPRD DKI, PKS memuluskan terbitnya perda menganiaya fakir-miskin dan anak-anak telantar sekaligus mengancam dengan pidana kurungan badan dan denda orang-orang yang kedapatan memberi bantuan kepada kaum duafa tersebut! Konstituen pengikut ajaran kiai kolot jelas tak bisa menerima aliran mazhab modern yang dikembangkan PKS di DPRD DKI itu! Kebetulan muncul Jokowi yang konon welas-asih dan penyayang sekaligus suka ngewongke kaum telantar, bisa ditebak ke mana konstituen PKS berbondong-bondong mengalihkan dukungannya!" "Lain hal lagi kinerja PKS di tingkat nasional—kabinet dan DPR, yang awam pun mudah mengindikasikan ambivalensi sikapnya—mau tetap ikut berkuasa tapi sering sok prorakyat, sikap yang amat dibenci penguasa!" sambut Umar. "Jika tadi pengikut kiai kolot yang hengkang, di tahap ini kalangan intelektual modernis yang tak menoleransi sikap politik mendua, cerminan split personality—kepribadian yang terbelah!" ***
Selanjutnya.....

Jokowi-Ahok, Diharapkan Jadi Pemimpin Ideal!

"PASANGAN Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melejit dalam Pilgub DKI Jakarta salah satunya karena dari gambaran promosi awal keduanya bisa diharapkan menjadi pemimpin ideal, khususnya peduli pada nasib rakyat jelata!" ujar Umar. "Calon pemimpin seperti itu memang harus didatangkan dari luar Jakarta karena para pemimpin di Jakarta baik eksekutif maupun legislatif hilang kepeduliannya terhadap nasib rakyat jelata! Itu terlihat dari main gilas tanpa ampun terhadap pedagang kaki lima dan pidana kurungan badan dan denda bagi pengasong, pengemis, serta kliennya yang kedapatan transaksi di ruang publik!" "Idealisasi yang ditarik dari pengalaman nyata kepemimpinan keduanya itu bisa diartikulasikan dalam ungkapan sederhana, apa pun masalahnya asal demi kepentingan rakyat jelata Jokowi-Ahok selalu punya solusi!" timpal Amir. "Kepemimpinan trouble shooter, bukan trouble maker! Itulah yang didambakan, keluar dari kecenderungan umum pemimpin bangsa dewasa ini yang gemar menumpuk dan menunda penyelesaian masalah sehingga kesulitan-kesulitan yang membelit rakyat jadi membusuk, menyesakkan napas kehidupan rakyat!"

"Contohnya pada nasib buruh, yang kebetulan sehari usai Pilgub DKI puluhan ribu dari mereka demonstrasi ke Istana Presiden, Menko Ekonomi, Menakertrans! Satu simpul masalah yang disampaikan akhirnya dengan pengaruh semangat baru itu ditampung, dan dicarikan solusi!" tegas Umar. "Kalau tak direspons mungkin sampai kapan pun masalah buruh negeri ini tak pernah selesai, karena selama ini tak ada pemimpin terkait yang jangankan siap dengan solusi, memikirkannya pun ogah! Padahal, kaum buruh elemen penting dalam pembangunan bangsa, lebih-lebih di era industrialisasi produksi menjadi jantung kemajuan ekonomi!" "Tapi kenapa gejala kepemimpinan kita secara umum kurang berakar pada kepentingan rakyat jelata, malah lebih pada kepentingan pribadi dan atasan—pemimpin?" potong Amir. "Itu karena oligarki partai terus menguat di era reformasi sehingga yang berkembang kepemimpinan jenggot—berakar ke atas!" jawab Umar. "Itu terangkai pula dengan orientasi birokrasi yang wajib setor ke atas hingga merebak luas menjadi budaya (politik) uang! Karena itu, untuk kepemimpinan pasangan Jokowi-Ahok yang masih terkait sistem kepemimpinan partai politik, seberapa lama orientasi mereka pada kepentingan rakyat jelata bisa bertahan sebelum dikooptasi oligarki, juga masih merupakan ujian!" "Hal terakhir itulah ujian terpenting kelak, kalau Jokowi-Ahok lolos di putaran kedua!" tegas Amir. "Bisakah mereka memberi contoh bagi kepemimpinan ke depan, bahwa untuk mengatasi oligarki juga selalu ada solusinya!" ***
Selanjutnya.....

Penantang pun Unggul di DKI!

"PENANTANG dari Solo, Joko Widodo, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari Belitung, unggul sementara dalam penghitungan cepat Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dengan meraih suara 42,2%, disusul pasangan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mendapat 33,8%!" ujar Umar. "Hasil itu jelas mengejutkan, karena berbagai survei mencatat keunggulan petahana di atas 50%! Selain itu, dalam berbagai dialog di televisi menjelang pilgub banyak panelis merendahkan Jokowi dengan pertanyaan yang meremehkan kapasitas Jokowi untuk menangani besarnya Kota Jakarta dibanding Solo!" "Hasil itu menunjukkan keakraban dengan rakyat diperkuat pendekatan yang rendah hati dan sederhana, cukup memikat pemilih!" timpal Amir. "Semboyan kampanye bersih, jujur, merakyat, ternyata juga dipercaya para pemilih, dianggap dekat dengan realitas hidup Jokowi dan Ahok!"

"Tampak dari hasil pemilihan itu, cukup besar jumlah rakyat Jakarta mendambakan pemimpin lemah lembut kepada rakyat jelata, seperti yang telah dibuktikan Jokowi di Solo!" tegas Umar. "Untuk memindahkan pedagang dari sebuah pasar, Jokowi bukan menggusur! Tapi, membangun penampungan di lokasi yang relatif seramai pasar sebelumnya! Lantas para pedagang diundang makan malam bersama, diberi penjelasan cukup masalahnya, para pedagang pun kemudian dengan senang hati pindah sendiri ke lokasi usahanya yang baru!" "Itu bisa menjadi peringatan bagi tokoh-tokoh yang menjual wajahnya yang sangar dan bengis kepada rakyat, diselubungi istilah 'tegas' untuk gemar menggusur dan menggilas rakyat jelata!" timpal Amir. "Apalagi kalau kesangaran wajah itu dipajang dengan etalase banyak uang, Pilgub DKI membuktikan banyaknya uang saja tak lagi menentukan dalam peraihan kekuasaan! Artinya, sedang terjadi perubahan dalam masyarakat!" 

 "Tapi perubahan itu mungkin baru berlaku di Jakarta! Di daerah masih perlu proses!" tukas Umar. "Meski demikian, fenomena baru itu membuat tak mudah bagi petahana jika mengandalkan kelebihannya dalam hal itu buat revans di putaran kedua! Terpenting barangkali justru menelusuri ulang putaran pertama dan mencari kesalahan yang dibuat tim suksesnya hingga berakibat diungguli penantang dari luar kota!" "Salah satu kesalahan fatal petahana menampilkan pada kampanye perdana tokoh partai pengusungnya yang sedang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi!" entak Amir. "Rakyat Jakarta sudah kritis, sebagian besar berkobar semangat antikorupsinya! Karena itu, kalau petahana selama menunggu coblosan putaran kedua bisa melakukan manuver yang membuat pemilih lupa pada kesalahan kampanye perdana itu, mungkin petahana bisa revans!" ***
Selanjutnya.....

Di Balik Harga Sembako Naik!

KENAIKAN serentak harga sembilan bahan pokok (sembako) dan bahan-bahan kebutuhan hidup sehari-hari menjelang Ramadan dan Idulfitri, seperti yang mulai dirasakan menekan ekonomi rakyat, selalu disambut dengan pembenaran dari otoritas perekonomian!" ujar Umar. "Pembenaran dalam arti mewajarkan harga sembako naik karena Ramadan dan Idulfitri! Di balik itu, tak ada usaha yang bersifat strategis mencegah kenaikannya!" "Memang!" timpal Amir. "Paling nanti setelah kenaikan harganya mencekik rakyat jelata, dilakukan tindakan-tindakan ad hoc seperti operasi pasar, atau malah cari simpati politik dari rakyat dengan menggelar pasar murah! Tak diperhitungkan saksama seberapa luas operasi pasar itu bisa menjangkau rakyat yang terimbas kenaikan harga, apalagi pasar murah yang digelar di lingkungan terbatas!"

"Bahkan, penambalan jalan negara (nasional), yang dilakukan musiman menjelang dan sepanjang Ramadan, tujuan utamanya memperlancar arus mudik, bukan bagian penting bagi menahan laju kenaikan harga sembako!" tukas Umar. "Apalagi kerusakan jalan provinsi dan kabupaten yang menghubungkan kawasan produsen dengan konsumen, meski eksesnya telak pada kenaikan harga sembako, tak mendapat prioritas perbaikan untuk mencegah kenaikan harga sembako! Akibatnya, kenaikan harga sembako dan kebutuhan sehari-hari rakyat setiap Ramadan dan Idulfitri dijadikan semacam takdir yang tak bisa dihindari!" "Semestinya tidak begitu!" timpal Amir. "Di negeri yang punya pemerintahan dengan kewajiban mengatur pengadaan dan pencukupan semua kebutuhan rakyat, bahkan hukum pasar penawaran-permintaan yang bisa memengaruhi harga harus bisa diatasinya! 

Selalu menjaga kelancaran pasokan agar cukup dalam kondisi (sosio-psikologis) seperti apa pun, menjadi salah satu kunci sukses tugasnya!" "Tapi nyatanya, sarana dan prasarana pendukung untuk kewajiban itu, mulai jalan yang rusak sampai kendali harga pada produsen yang bisa menaikkan sesukanya pada masa-masa tertentu, menunjukkan fungsi pemerintah untuk itu absen!" tegas Umar. "Lihat saja di lapangan, apakah terlihat kilasan invisible hand pemerintah mengatur dan mengatasi gejolak kenaikan harga? Kayaknya jauh dari harapan! Padahal, pundi-pundi rakyat telah dirogoh sampai kandas oleh kenaikan harga musiman itu!" "Musiman! Berarti ada patokan waktu pengamanan yang harus dilakukan! Tapi setiap kali lalai dan lalai lagi!" timpal Amir. "Seharusnya bisa dibuatkan jadwal kegiatan (time schedules) untuk mencegah kenaikan harga dari segala seginya. Sehingga peluang dan alasan produsen untuk menaikkan harga tertutup rapat! Itu, kalau pemerintah di semua tingkat benar-benar bekerja dengan benar!" ***
Selanjutnya.....

Ekses Krisis 'Wani Piro'!

"MARAKNYA perampokan, pembegalan, kerusuhan hingga Lampung masuk kategori danger (bahaya) dan warning (peringatan) bagi warga yang masuk daerah ini, menurut sosiolog Unila Hartoyo merupakan bagian dari fenomena nasional sebagai ekses krisis wani piro!" ujar Umar. "Fenomena itu bukan hanya terjadi di Lampung, tapi juga di provinsi lain yang dipengaruhi situasi nasional sebagai calon negara gagal! Kata Hartoyo, ini yang menandakan krisis kepemimpinan, karisma pemimpin tidak ada, lebih komersial, dan berlandaskan wani piro!" "Wani piro itu ucapan 'jin' dalam iklan rokok yang berarti berani bayar berapa?" timpal Amir. "Ucapan itu dipinjam pengamat menggantikan istilah politik uang dalam pemilihan pemimpin, dari kepala daerah sampai ketua partai politik!"

"Dalam fenomena politik uang itu orang terpilih menjadi pemimpin bukan berdasarkan karisma maupun kemampuannya memimpin sesuai kapasitas yang dibutuhkan, melainkan semata karena unggul dalam luas dan besarnya jumlah uang yang ia bagikan!" tegas Umar. "Di bawah kepemimpinan seperti itu, selain tak mampu juga orientasi utamanya mengembalikan modal yang telah dia tabur, lalu mencari untung dari jabatannya agar bisa memenangkan pemilihan berikutnya! Masalah kemiskinan dan perbaikan kehidupan rakyatnya tak tertangani maksimal! Akibatnya kejahatan bermotif ekonomi merebak, ketimpangan sosial melebar, sumbu kerusuhan jadi makin pendek!" "Celakanya, seperti kata Hartoyo, fenomena itu bukan hanya terjadi di Lampung, tapi juga provinsi lain!" timpal Amir. "Tak ayal, penjahat pun beraksi antarprovinsi! Penjahat Lampung menembak mati dua satpam di IPB, Bogor. 

Banyak kejahatan di Lampung dari cara kerjanya diduga dilakukan penjahat dari luar provinsi!" "Terlihat betapa malang nasib rakyat yang terpaksa hidup menderita sebagai korban fenomena krisis kepemimpinan wani piro!" tukas Umar. "Tapi apakah nasib malang rakyat itu bisa diakhiri dengan melakukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, seperti sedang direkayasa DPR?" "Bah! Bisa lebih buruk!" entak Amir. "Fenomena yang terus mendorong situasi dan kondisi menuju negara gagal itu justru akibat reformasi hasil perjuangan mahasiswa dibajak politisi sehingga segala sesuatu termasuk rekrutmen pemimpin ditentukan hanya oleh partai politik! Untuk memilih presiden calonnya hanya dari partai politik! Calon perseorangan (independen) untuk kepala daerah baru saja terbuka, sudah mau dikembalikan ke DPRD! Pemilihan anggota semua komisi negara (KPU, KPK, juga Jaksa Agung, Kapolri) di tangan DPR yang politisi!" "Rekayasa politik terakhir menunjukkan, negara ini sedang didorong paksa menuju negara gagal!" tegas Umar. "Rakyat makin sengsara!" ***
Selanjutnya.....

Bakauheni Normal Lagi, Tapi Merak?

"BAKAUHENI Minggu siang dilaporkan normal kembali, setelah antrean truk pada Kamis mencapai 7 km di jalan lintas Sumatera dan 3 km di jalan lintas pantai timur!" ujar Umar. "Itu terjadi setelah ASDP sejak Jumat pukul 00.00 melakukan operasi khusus hingga dalam 24 jam diseberangkan 2.700 truk lewat 86 trip feri dengan 26 kapal penyeberangan!" "Dari sisi Bakauheni memang bisa diatasi karena penyebab utamanya jalan diblokir massa beberapa jam saat terjadi kerusuhan di Kalianda, Senin!" timpal Amir. "Selain itu, pengaturan antrean truk di Bakauheni relatif lugas, FI-FO—first in-first out! Beda di Merak, yang membuat sopir truk bulan lalu protes merusak kantor ASDP, terlalu kentara permainan mendahulukan truk tertentu!"
"Akibat gejala itulah, meski seharusnya volume datang dan pergi truk Bakau-Merak seimbang, setiap terjadi kemacetan jumlah truk yang tertahan di Merak melonjak lebih cepat dua kali dari di Bakau!" tegas Umar. "Seperti Minggu kemarin, setelah operasi khusus ASDP membersihkan 10 km antrean truk di Bakauheni, dengan mengangkut jumlah truk yang sama dari Merak, sisa antrean truk di Merak masih 16 km! Berarti, antrean truk di Merak sebelum operasi dilakukan sekitar 26 km!""Begitulah kenyataannya!" tukas Amir. "Artinya, sebelum krodit musiman Ramadan dan Idulfitri, pimpinan ASDP dan Menteri BUMN dan Perhubungan harus melakukan penertiban atas segala jaringan penghambat kelancaran perjalanan truk di Merak! Jika usaha penertiban itu dilakukan serius, sekalian untuk menegakkan wibawa pemerintah yang selama ini tak hadir di Merak, tak menjadi blunder yang lebih parah lagi di masa mudik Lebaran!"

 "Masalahnya, apa pemerintah, baik kementerian BUMN maupun perhubungan, mau memperhatikan kesulitan rakyat sekelas sopir truk?" timpal Umar. "Jika dilihat dari nasib malang sopir truk yang berulang-ulang disetrap berhari-hari di antrean pelabuhan Merak tapi tak kunjung mendapat perhatian serius pemerintah, paling cuma retorika seolah-olah bijaksana dan mampu menyelesaikan masalah, sedang kenyataannya begitu-begitu juga. Kayaknya, pemerintah selain tak bakal serius mengatasi masalah tersebut, juga tak mampu menyelesaikannya secara permanen!" "Memang, selalu cuma penyelesaian sementara lalu kambuh lagi!" timpal Amir. "Karena itu, jangan memberi harapan yang muluk-muluk pada sopir truk atau rakyat kebanyakan umumnya yang tersiksa oleh kondisi penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dengan semboyan birokrat—kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?" "Meski sebenarnya contoh penyelesaian efektif telah diberikan aparat di Bakauheni!" tegas Umar. "Tapi buat apa contoh baik kalau tak menghasilkan dambaan pribadi!" ***
Selanjutnya.....

Mau Dusta Putih atau Dusta Biru?

SEORANG pria berlari menghunus pisau dan menanya kakek, "Lari ke mana dia?" Tanpa bicara, kakek mengisyaratkan tangannya menunjuk ke kanan. Pria itu pun memacu larinya ke arah yang ditunjuk kakek. Melihat itu, cucu mendekati kakek dan berbisik, "Kata Kakek kita tak boleh berdusta! Ternyata Kakek baru saja berdusta! Kan orang yang dia kejar tadi lari ke arah kiri!" "Untuk menyelamatkan orang dari pembunuhan, kita boleh berdusta!" jawab kakek. "Dusta putih namanya! Bayangkan kalau kakek tunjuk ke arah yang benar pada orang yang memburu untuk membunuhnya, sekarang mungkin sudah terjadi pembunuhan di gang rumah kita! Dengan dusta putih itu juga kita menyelamatkan masyarakat dari gangguan keamanan di lingkungan permukimannya!" "Tapi kenapa Kakek sering menggerutu setiap kali seseorang yang usai diperiksa KPK Kakek tuduh dia berdusta?" tukas cucu. "Bukankah orang-orang itu juga menyelamatkan seseorang atau malah banyak orang dari kesulitan?"

"Mereka berdusta untuk menutupi kejahatan!" kilah kakek. "Kesulitan yang dihadapinya juga akibat melakukan kejahatan luar biasa—extraordinary crime, korupsi! Jadi dustanya itu merupakan kejahatan di atas kejahatan!" "Kan belum pasti kejahatan korupsinya benar dilakukan! Masih dalam penyelidikan!" timpal cucu. "Lagi pula dia memberi keterangan tidak di bawah sumpah, tak ada sanksi hukumnya! Daripada menyulitkan diri sendiri dan teman-temannya yang mungkin terlibat, berdusta justru merupakan pilihan terbaiknya!" "Kalau yang begitu, namanya dusta biru!" jawab kakek. "Biru itu warna netral di screen kamera televisi atau film! 

Suatu berita atau cerita yang direkam dengan latar belakang warna biru, nantinya bisa diisi dengan gambar latar belakang yang diinginkan! Jadi, gambar yang diisikan ke screen biru itu cuma dusta, bukan latar sebenarnya! Terkait dusta biru, hanya Tuhan yang tahu kebenarannya! Sedang gambar apa yang akan ditampilkan pada layar biru di balik dusta dalam kasus kejahatan luar biasa itu nantinya terserah KPK, polisi, atau jaksa yang wajib membuktikan kebenaran korupsinya!" "Kalau begitu, dusta biru bisa berguna dan bisa juga sia-sia!" sambut cucu. "Berguna kalau KPK, polisi, atau jaksa gagal membuktikan korupsi atau kejahatannya! Dusta itu sia-sia kalau aparat hukum tangguh bisa mendapatkan cukup bukti kuat atas korupsi yang dilakukan!" "Sejauh ini, setiap kasus korupsi yang statusnya sudah ditetapkan KPK ke tingkat penyidikan, tak ada koruptor yang lolos dari jerat hukum!" tegas kakek. "Karena itu, biarkan mereka berdusta biru, rakyat menanti hasil akhir kerja KPK!" ***
Selanjutnya.....

Menteri Super dalam RUU Perguruan Tinggi!

"MENYUSUL pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (UU-BHMN) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena terlalu liberal dan komersialnya pendidikan di perguruan tinggi, RUU penggantinya pun dipersiapkan baik oleh pemerintah maupun usul inisiatif DPR!" ujar Umar. "Beranekanya RUU hingga semula bernama RUU Perguruan Tinggi diganti menjadi RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT), kini mendekati pengesahan oleh DPR dengan naskah yang disebut Kompas (5-7) versi 26 Juni 2012, yang di dalamnya memunculkan menteri super!" "Menteri super bagaimana?" potong Amir. "Disebut menteri super karena banyak dimensi dalam tridarma yang secara universal merupakan otonomi perguruan tinggi, lewat RUU itu diserahkan pengaturannya pada menteri!" tegas Umar. "Contohnya Pasal 48 tentang penelitian dan pengabdian masyarakat pengaturannya diserahkan ke menteri! Bahkan bidang akademik juga diacak, seperti Pasal 34, kurikulum ditetapkan menteri! Lalu Pasal 10, rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi ditetapkan menteri! Bahkan Pasal 17, sistem pendidikan doktor terapan dan gelar doktor terapan ditetapkan dengan peraturan menteri!" "Wow, keren! Itu lebih dari kooptasi fungsi perguruan tinggi, malah mengambil alih tugas para guru besar!" sambut Amir. "Model itu dipilih mungkin untuk membalik realitas dari kecenderungan terlalu liberal yang dijadikan alasan pembatalan UU BHMN oleh MK! Jadi tak kepalang, agar tak liberal lagi berbagai fungsi akademik perguruan tinggi jadi digarap oleh menteri!"

"Lucunya di bidang nonakademik yang sebenarnya merupakan poin penting pada putusan MK membatalkan UU BHMN, komersialisasi, justru nyaris tak berubah!" tukas Umar. "Contohnya pada Pasal 66 Ayat (3), 'Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan, a. organisasi. b. keuangan. c. kemahasiswaan. d. ketenagaan, dan e. sarana prasarana.' Otonomi dalam pengelolaan keuangan itu dicemaskan banyak pihak kembalinya komersialisasi biaya pendidikan hingga tak terjangkau warga tak mampu! Hal itu pada PTN mengisyaratkan pemerintah ingin lepas tangan terhadap biaya pendidikan sesuai kebutuhannya, padahal itu merupakan kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai perintah konstitusi!" "Memang lucu, kalau di bidang akademik campur tangan pemerintah dibuat merasuk ke jantung proses pendidikan, di bidang nonakademik dilepas tetap liberalistik dan komersial seperti yang telah dibatalkan MK!" timpal Amir. "Tampak, RUU PT terakhir itu tak jelas arahnya!" ***
Selanjutnya.....

Ekspor Lampung Naik tapi Turun!

"EKSPOR Lampung Mei 2012 sebesar 256 juta dolar AS, naik 21,3 juta dolar AS (9,06%) dibanding ekspor April 234,7 juta dolar AS!" ujar Umar. "Tapi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, dibanding periode sama tahun lalu sebesar 321,4 juta dolar AS, ekspor Lampung sebenarnya turun signifikan—20,35%!" "Artinya secara umum ekspor Lampung turun!" timpal Amir. "Tapi itu sejajar dengan ekspor nasional yang bahkan dalam dua bulan berturut—April-Mei 2012—mengalami defisit neraca perdagangan (lebih besar impor dari ekspor) sesuai laporan BPS Pusat Senin lalu! Besarnya defisit Mei 485,9 juta dolar AS (inilah.com, 3-7), hampir dua kali lipat ekspor Lampung!"

"Meski untuk skala nasional besarnya defisit itu tak mengkhawatirkan, melihat penyebab terjadinya akibat terimbas defisit negara-negara tujuan ekspor yang menurun permintaannya sebagai ekses krisis ekonomi Eropa, tak boleh tidak harus diwaspadai juga!" tegas Umar. "Kewaspadaan itu terutama terkait kenaikan impor yang justru mengimbangi booming perekonomian kelas menengah dan atas yang lebih menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang tak merata ke lapisan bawah! Kelas menengah ke atas itu menghamburkan devisa untuk pola hidupnya yang mewah—lantai, lampu, dan perabot rumahnya saja serbaimpor, belum lagi berlian dan mobilnya yang kelas atas!" "Tapi itulah realitas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung konsumsi, dengan nilai tinggi konsumsinya produk impor dari buah dan pangan sampai aksesoris yang menyilaukan mata!" timpal Amir.


 "Buah-buahan, begitu keluar gang di tepi jalan warga dengan mudah menemukan pajangan buah impor, malah buah lokal nyaris tak terlihat! Pangan, warga kita makin terbiasa makan roti, mi, dan makan olahan dari gandum yang diimpor! Bahkan untuk makanan tradisional kita tahu-tempe, kedelainya impor! Malah celaka 13, garam yang tersedia di pasar 98% eks impor dari Australia dan India!" "Artinya, negara kita mungkin menjadi negara paling maju dalam mempraktekkan neoliberalisme perdagangan dunia, sehingga beras sebagai makanan pokok bangsa pun kini menjadikan Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia!" tegas Umar. "Dengan demikian, kewaspadaan kita terhadap defisit neraca perdagangan yang bisa menjadi laten itu perlu diatasi dengan tekad mengatasi kendala produksi komoditas yang tak selayaknya kita impor—garam, kedelai, beras, dan sebagainya! Setidaknya untuk tingkat Lampung, selain memproyeksi tanam kedelai dan memperbaiki ladang garam di pantai timur, bagaimana agar ekspor daerahnya tidak naik hanya dari bulan lalu, tapi juga dari periode sama tahun lalu!" *** inShare
Selanjutnya.....

Kecolongan Provokator!

"BISA diduga kuat, kerusuhan di Kalianda Senin terakhir terjadi akibat kecolongan hadirnya provokator yang tak terdeteksi, termasuk massa liar biang pengacau yang dibawanya!" ujar Umar. "Dugaan itu didasari asumsi, acara di lapangan Raden Intan hari itu sakral dan mulia—istigasah menyambut Ramadan dan menyambung silaturahmi antara Bupati dan pimpinan lembaga adat se-Lampung Selatan dan elemen masyarakat yang sebelumnya retak akibat kerusuhan Kalianda Maret lalu!" "Asumsi demikian amat logis, karena menurut akal sehat tak mungkin ada orang waras mau mengacaukan acara yang sakral itu!" timpal Amir. "Hanya orang gelap mata—akibat ideologi maupun bayaran—orang nekat untuk mengacaukan acara tersebut! Dan dengan demikian pula bisa ditebak, kelompok pengacau itu bukan bagian dari lembaga adat dan elemen warga yang baru mencairkan kembali silaturahmi mereka dengan Bupati!" 

"Dari situ tampak dari kelompok mana kemungkinan provokator dan massa pengacau berasal!" tegas Umar. "Pertama secara ideologis, bisa jadi ada kelompok yang tidak senang lembaga adat atau elemen warga tertentu baik secara bersama maupun terpisah berangkulan dengan Bupati! Kedua, kelompok bayaran dari pemodal yang tidak suka pada salah satu atau keduanya berangkulan dengan Bupati, atau malah lebih jauh lagi, pemodal yang memang ingin membuat keonaran untuk merusak citra kepemimpinan Bupati, sekaligus mengesankan Sang Bupati tak disukai oleh rakyatnya!" "Kelompok dari jenis motif yang mana pun perusuh itu harus diusut tuntas oleh polisi sampai ada yang dituntut tanggung jawab atas perbuatannya merusak fasilitas kantor pemerintah!" timpal Amir. "Kalau berulang-ulang kerusuhan terjadi dengan perusakan dan bakar-bakaran atas harta benda rakyat maupun pemerintah tak satu pun tersangka yang harus bertanggung jawab ditindak sesuai ketentuan hukum, berarti polisi gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung masyarakat!"

 "Kalau harta benda milik pemerintah yang berarti milik negara saja tak bisa dilindungi polisi, apalagi milik rakyat!" tukas Umar. "Lebih buruk lagi akibatnya! Jika setiap kali melakukan perusakan dan pembakaran tak ada yang dituntut untuk bertanggung jawab menurut hukum atas perbuatannya, perbuatan serupa akan berulang-ulang dan terus meluas!" "Celakanya kalau polisi tak tuntas menjalankan tugasnya dimulai dari tidak menangkap pelaku anarki itu dengan alasan pelakunya massa, maka tak bisa dihindari massa pun segera menjadi monster—seperti yang menggejala di Lampung!" tukas Amir. "Gejala itu bisa memburuk jika polisi selalu gagal menjalankan fungsinya melindungi masyarakat!" ***
Selanjutnya.....

Sesat Pikir PAD, Pelayanan Alpa!

"DALAM konsep welfare state (negara kesejahteraan) kata pertama untuk implementasi fungsi negara adalah service (pelayanan) sehingga setiap orang yang berkewajiban untuk melaksanakan fungsi negara itu disebut servant—pelayan!" ujar Umar. "Baru setelah tujuan untuk apa negara didirikan itu diakui dan dijamin pelaksanaannya, hadir kata kedua sebagai kewajiban setiap warga negara atas pelayanan tersebut, yakni taxes, pajak!" "Tapi Jhon F. Kennedy tegas menyatakan, jangan tanya apa yang bisa kau peroleh dari negara tapi tanyalah apa yang bisa kau berikan kepada negara!" potong Amir.
"Itu karena Kennedy berada di negara yang pemenuhan hak-hak warganya sudah relatif optimum sehingga kalau masih menuntut hak mungkin keterlaluan!" jawab Umar. "Coba dia berada di negara pelaksanaan hak-hak warganya masih compang-camping sementara tuntutan terhadap kewajibannya berlebihan, sedang pelayanan publiknya terbengkalai bahkan terbelit pungli yang memeras rakyat, mungkin Kennedy berpikir lain!"

"Di luar pungli saja, semua peluang pajak daerah sudah digarap untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), tapi pelayanan publiknya dari berbagai infrastruktur sampai administratif warga banyak yang alpa!” timpal Amir. "Obsesinya PAD, PAD, PAD, artinya memungut uang dari rakyat melulu, sampai membuat mereka sesat pikir ketika Pemerintah Pusat mau membangun bandara internasional di Branti, karena bakal tak menghasilkan PAD, mereka suruh membangun bandara internasional itu di Way Kanan—dekat perbatasan Sumsel!" "Itu karena dalam sesat pikir tadi mereka telah mengubah fungsi negara dari melayani jadi memeras rakyat!" tukas Umar.

 "Belitan aneka perda sumber PAD lama-kelamaan memutar zaman kembali ke zaman penjajahan, ketika seekor sapi beranak pajak yang harus dibayar senilai induknya sehingga itulah yang diseret petugas untuk diserahkan ke Ndoro Bupati, sedang petaninya tinggal memelihara anaknya—sampai melahirkan lagi dan induknya yang kembali diseret!" "Itulah ujung pendulum ayunan terburuk sesat pikir PAD!" timpal Amir. "Karena itu kecenderungan selalu alpa dalam pelayanan akibat lebih 'maniak' memeras hasil keringat rakyat harus diakhiri dengan suatu program reorientasi memperdalam pemahaman pada prinsip-prinsip pelayanan publik! Utamanya, dalam pelaksanaan fungsi negara di mana segenap aparatur dan pejabat negara berperan sebagai pelayan yang wajib melayani rakyat, bukan malah merekayasa APBD untuk dilayani rakyat dengan memerasnya lewat proses genjotan PAD!"
Selanjutnya.....

Ketakadilan Media Massa pada Parpol!

"SATU televisi berita nasional Jumat lalu menayangkan berkepanjangan sampai malam dan berlanjut esok paginya berita rakernas parpol yang dipimpin oleh pemilik perusahaan televisi tersebut!" ujar Umar. "Itu menjadi justifikasi keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang ketakadilan media massa terhadap Partai Demokrat yang dijadikan bulan-bulanan berita tersangkut korupsi, padahal lebih banyak kader parpol lain terlibat korupsi!" "Memang sangat tak adil jika di satu sisi blocking time siang sampai malam siaran tak henti menguntungkan satu parpol, sedang di sisi lain parpol lain berbulan-bulan ditayangkan sisi negatifnya terus-terusan!" timpal Amir. "Padahal realitasnya terkait dengan kasus korupsi itu, beber SBY, untuk jajaran DPRD provinsi priode 2004—2012 oknum kader Demokrat yang melakukan korupsi hanya menduduki peringkat lima, 3,9%. Di atas Partai Demokrat ada empat partai lain dengan persentase 34,6%, 24,6%, 9,2%, dan 5,2%!" (Tempo.com, 14-6)

"Memang, di berbagai tingkat pemerintahan peringkat korupsi kader Partai Demokrat tak ada yang di puncak!" tegas Umar. "Pada tingat kabupaten/kota, kader Demokrat yang terlibat kasus korupsi 11,5%, sedangkan partai lain 27% dan 14,4%. Juga pada tingkat menteri, anggota DPR, gubernur, bupati dan wali kota, kader demokrat yang terlibat 8,6%, sedangkan partai lain 33,7% dan 16,5%." "Dari situ terlihat keluhan SBY tentang ketakadilan media itu ada benarnya!" timpal Amir. "Untuk itu, pihak media harus jujur pada dirinya sendiri, melakukan introspeksi! Seiring dengan itu, kontrol kelembagaan juga jalan, khususnya terkait dengan penggunaan frekuensi sebagai ruang publik untuk blocking time yang terlalu lama begitu! Kalau sebatas satu atau dua jam mungkin masih wajar!" "Sebaliknya, Partai Demokrat juga melakukan introspeksi, kenapa sampai menjadi bulan-bulanan pemberitaan korupsi di media massa?" tukas Umar. 

"Selain hasil itu tak terlepas dari fungsi media untuk melakukan kontrol sosial, juga tak terlepas dari janji pimpinan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 bahwa Demokrat partai antikorupsi! Jadi, bukan soal berapa persen korupsi atau di peringkat berapa terbukti korupsi satu sen pun berarti telah mencederai janjinya sendiri!" "Penting dicatat, pemberitaan media tentang korupsi dalam jajajaran Partai Demokrat itu sebagai aktualisasi dari kekecewaan rakyat pemilih, terutama konstituen Partai Demokrat atas cedera janji antikorupsi yang seharusnya membedakannya dari parpol-parpol lain yang sarang koruptor, tetapi kenyataannya tak ada bedanya!" timpal Amir. "Rakyat kecewa terbukti Partai Demokrat juga sarang koruptor! Meskipun demikian, ketakadilan media harus dibereskan!" ***
Selanjutnya.....