Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Orang-Orang Bermata Kayu!

WARGA sebuah negeri disihir menjadi orang-orang bermata kayu! Mereka bisa melihat, tapi yang tampak cuma keseolah-olahan, sebuah sandiwara! Sedang realitas sebenarnya terjadi di balik sandiwara yang divisualkan sebagai formalitas tersebut! "Apakah mereka tidak sadar yang mereka lihat itu cuma sandiwara, sekadar formalitas, sedangkan yang sebenarnya terjadi bukanlah seperti yang mereka lihat?" tanya pengembara. 

"Semisal yang telah dibuktikan komisi antikorupsi negerinya, segala bentuk tender atau lelang proyek yang digelar semua instansi itu hanya sandiwara, sekadar formalitas belaka, karena pemenang lelang serta para penerima komisi proyeknya sudah ditentukan, bahkan ada yang sejak anggaran proyeknya diusulkan dan dibahas eksekutif dan legislatif?"

"Meskipun telah disihir bermata kayu, mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di balik sandiwara atau formalitas tender itu!" jelas pertapa. "Tetapi, warga negeri ini fungsionalistik, karena itu bukan urusannya, mereka tak mau peduli! Mereka percayakan aparat hukum untuk menjalankan fungsinya! 

Tetapi celaka, sebagian aparat hukum yang seharusnya menyingkap sandiwara itu justru percaya matanya telah disihir menjadi mata kayu sehingga meskipun mereka sebenarnya tahu apa yang terjadi di balik sandiwara itu, mereka bersikap seolah-olah formalitas itu pelaksanaan aturan yang semestinya! Maka, praktik sihir itu pun berkelanjutan!" 

"Dengan komisi antikorupsi telah menyingkap praktik sihir itu hingga warga yang dianggap bermata kayu itu bisa melihat apa yang sebenarnya para koruptor lakukan, seharusnya praktik tersebut berkurang!" tukas kembara. "Tetapi, kenapa praktik sihir itu cenderung tetap berlanjut, malah ada yang menjadi-jadi?" 

"Itu karena ada yang merasa untouchable, tak bisa disentuh, oleh hukum!" jawab pertapa. "Ada pula yang merasa terlalu jauh dari jangkauan komisi antikorupsi karena penyidik untuk seantero negeri yang luas tak sampai 100 orang! Itu pun ditarik polisi negaranya 30 orang! 

Sedang aparat hukum daerahnya, de facto sudah terpadu dalam forum komunikasi pimpinan daerah di bawah penguasa! Jadi, dijamin aman dan nyaman!" "Kasihan warga negeri ini!" tukas pengembara. "Disihir bermata kayu untuk dipecundangi hak-haknya atas anggaran negara!" ***
Selanjutnya.....

Lelang Impor Daging Sapi!

"PEMERINTAH memutuskan mulai tahun ini melelang pengadaan daging sapi impor agar mendapatkan harga paling murah!" ujar Umar. "Pelaksana lelang Kementerian Perdagangan. Namun, menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, untuk pelaksanaannya tahun ini sistem itu tidak kemudian menampikkan kuota yang telah ditetapkan!" (Kompas, 26-2) "Itulah ribetnya pemerintah! 

Untuk melakukan terobosan menghentikan gejala buruk di balik bagi-bagi kuota impor daging sapi, tak bisa lugas menghentikan total sistem lama yang sudah ketahuan tidak bersih lagi!" timpal Amir.

"Dengan dicampurnya sistem lelang dan kuota, sukar dibayangkan hasilnya akan efektif menurunkan kembali harga daging sapi di pasar domestik ke 5 dolar AS/kg seperti semula dan setara harga di pasar internasional! Padahal, kebutuhan akan daging murah dan meningkatkan konsumsi daging masyarakat untuk perbaikan gizi sudah amat mendesak!" 

"Memang, konsumsi daging sapi bangsa kita baru 2,2 kg/kapita/tahun, padahal negeri jiran, Malaysia, 47 kg/kapita/tahun!" tegas Umar. "Harga daging di pasar domestik yang setara 10 dolar AS/kg atau dua kali lipat dari pasar internasional jelas sangat tak bisa diterima akal sehat, bertentangan dengan kebutuhan mendesak untuk perbaikan gizi keluarga!

Harus dibuktikan dulu sistem lelang impor daging sapi bisa menurunkan harganya di pasar domestik, apalagi pelaksanaannya masih dicampur sistem kuota!" "Bahkan, dengan lelang yang tegas dinyatakan terbuka dan transparan, dari pengalaman lelang proyek di negeri kita yang dicatat Bank Dunia, selalu ada kebocoran 30%!" tukas Amir. 

"Jadi jangankan dicampur dengan sistem kuota yang telah ketahuan KPK belangnya, dilakukan secara khusus pun impor daging sapi lewat lelang diragukan bisa mengembalikan harga daging di pasar domestik seperti semula!" "Pesimisme fatal seperti itu jelas tidak baik!" timpal Umar. 

"Tapi iktikad baik menjalankan pemerintahan sebagai amanah rakyat yang selalu cenderung dijalankan secara seolah-olah belaka, dengan bukti penyimpangan yang telah diungkap KPK, optimisme mencapai hasil seperti yang diharapkan justru mengada-ada! Pesimisme rakyat selalu terbentuk oleh pengalaman pahit, seperti pembatasan impor daging sapi yang memaksa rakyat membayar dua kali lipat dari harga di pasar dunia!" ***
Selanjutnya.....

Ukuran Kue Semakin Kecil!

PENJAJA kue memperhatikan ukuran kue yang ia bawa berkeliling setiap pagi terus semakin lebih kecil! Waktu harga terigu naik ukuran kuenya dikurangi. Lalu waktu harga gula naik, ukuran kuenya semakin kecil lagi. Terakhir ini, harga elpiji baru mau dinaikkan, ukuran kue sudah lebih dahulu disesuaikan! Ia pun curhat ke juragannya. 

"Pembeli banyak yang merengut setiap menyadari kue yang kubawa semakin kecil-kecil!" ujarnya. "Ada yang membandingkan, dulu ukuran getuk atau ongol-ongol kalau dilempar ke anjing terkaing-kaing! Tapi sekarang, di pasar juga, potongan jajanan kian kecil-kecil sekali!"

"Menurut pengalaman kami pengusaha kue, konsumen lebih sensitif harga naik ketimbang ukuran kue!" jawab juragan. "Untuk itu, tanpa bersepakat pun para pengusaha kue, ketika ada kenaikan harga bahan baku atau sarana kerja terlihat kesamaan langkah antisipasinya, memperkecil ukuran kue! Lucunya, pengecilan ukuran yang dilakukan pun bisa sama!" 

"Memang, lebih banyak pembeli tak peduli soal ukuran kue semakin kecil asal harganya tidak naik!" tegas penjaja. "Tapi kalau setiap harga bahan atau sarana kerja pembuatan kue naik ukuran kue diperkecil, karena kenaikan harga dari waktu ke waktu tak pernah berhenti, lama-lama ukuran kue seperti untuk liliput—orang-orang kerdil! Dan karena ukuran kue sarapannya seperti liliput, pertumbuhan anak-anak nantinya jadi seperti liliput juga!" 

"Mending kalau seperti liliput, meski kerdil komposisi tubuh manusianya seimbang!" tukas juragan. "Lebih mengerikan kalau seperti di kawasan konflik Afrika, anak-anak tumbuh seperti alien di film, kepala dan perutnya saja yang besar, sedang tangan dan kaki kecil, biji mata melotot keluar!" 

"Tapi kenapa pemerintah tak henti menaikkan harga barang di bawah kendalinya seperti elpiji, gula, terigu, tanpa peduli rakyat tak mampu membeli, hingga selalu mengurangi konsumsi yang memengaruhi pertumbuhan fisik generasi baru?" kejar penjaja. 

"Fisik generasi kini lebih rentan penyakit sudah terlihat setiap musim DBD atau diare, pasien melimpah di semua rumah sakit!" tukas juragan. "Tapi pemerintah tak melihat itu ekses kegagalan pihaknya atas kebijakan harga yang membuat tubuh rakyat rentan tak mampu memenuhi kebutuhan fisiknya! Jangka panjang, tubuh bangsa kita bisa mirip alien!" ***
Selanjutnya.....

Petahana Unggul di Jawa Barat!

"PASANGAN petahana Pemilukada Jawa Barat, Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar, unggul versi hitung cepat Metro TV-Indobarometer dengan meraih suara 31,7%, diikuti pasangan Rieke Diah Pitaloka—Teten Masduki 27,5%, dan Dede Yusuf—Lex Laksmana 25,9%!" ujar Umar. 

"Hasil sementara itu membuktikan ucapan Ahmad Heryawan, kader Partai Keadilan Sejahtera—PKS, penahanan mantan presiden PKS oleh KPK terkait kuota impor daging sapi tak berpengaruh pada Pilgub Jawa Barat!"

"Itu bisa dijadikan acuan bagi PKS di provinsi lain. Sejauh tidak reaktif berlebihan atas kasus yang menimpa mantan presiden PKS itu, ekses kasus itu terhadap elektabilitas partainya bisa ditekan sekecil mungkin!" timpal Amir. "Lebih lagi dalam event Pilgub Jawa Barat, mesin partai PKS yang telah bekerja sejak awal hasil sukar digeser secara signifikan!" 

"Lain hal pasangan Dede Yusuf-Lex Laksmana yang oleh berbagai survei independen pekan terakhir sebelum hari pemilihan unggul dalam peraihan suara, pada pelaksanaannya justru melorot ke peringkat tiga!" tukas Umar. "Hal itu terjadi bukan mustahil akibat kurang dua hari pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat (pengusung Dede bersama PAN dan lain-lain) Anas Urbaningrum ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus Hambalang! Tanpa mesin partai (Demokrat) yang efektif, hal itu terbukti mempengaruhi perolehan suara Dede Yusuf!" 

"Cukup fenomenal tentu pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki, yang di sejumlah daerah pemilihan (DP) bahkan mengungguli petahana, dengan hasil akhir cuma tertinggal sekitar 3%!" timpal Amir. "Andaikan pasangan yang diusung PDIP ini start dalam pilgub dengan waktu yang sama, bukan aneh kalau bisa menyalip petahana! Kalah start alasan rasional ketika tertinggal dalam lomba lari, juga dalam pilgub!"

"Pelaksanaan maupun hasil pilgub di provinsi berpenduduk 46,5 juta jiwa dengan pemilih 32 juta itu layak jadi perhatian kita di Lampung, yang juga segera menggelar pilgub dengan situasi dan kondisi politik nasional tak jauh beda!" tegas Umar. 

"Kondusifnya pelaksanaan pantas disimak, salah satunya berkat jelasnya jadwal tahapan demi tahapan pemilukada dijalankan oleh KPU didukung oleh pemerintah provinsi serta diikuti dengan baik oleh semua peserta! Hal terakhir ini yang kayaknya perlu menjadi perhatian semua pihak agar Pilgub Lampung bisa sekondusif di Jawa Barat!" ***
Selanjutnya.....

Tingkat Kerakusan Korupsi!

"KORUPSI punya dua sisi wajah!" ujar Umar. "Pertama sisi serakah, terlihat dari besarnya nilai korupsi yang digasak! Sisi kedua rakus, apa pun dilahap tanpa peduli besar-kecilnya nilai yang dikorupsi--seperti kasus korupsi benih bersubsidi! Sebenarnya berapa sih besar subsidi dalam benih itu? Tapi dengan tingkat kerakusan korupsi yang tinggi, digasak juga!" 

"Paling menyedihkan luasnya skala korupsi benih bersubsidi di Lampung! Tim Kejaksaan Agung meneriksa sampai sembilan kepala dinas pertanian se-provinsi ini!" timpal Amir. "Apa tak ada lagi proyek lain yang lebih berdaging untuk dikorupsi, hingga cuma benih bersubsidi terpaksa dimainkan?"


"Puncaknya ketika keserakahan dan kerakusan berpadu dalam sebuah kasus, nilai korupsinya besar atas hal yang sangat tak pantas dikorupsi seperti pada kasus korupsi pengadaan kitab suci Alquran!" ujar Umar. 

"Sebutan keterlaluan untuk kasus korupsi atas hal tak pantas dengan nilai kecil seperti atas benih bersubsidi! Sangat keterlaluan untuk kasus korupsi pengadaan kitab suci Alquran, paduan keserakahan dan kerakusan!" "Masalahnya, bagaimana manusia bisa menjadi sangat keterlaluan seperti itu?" tukas Amir. 

"Konon lagi yang menjadi seperti itu seorang tokoh pemimpin, berkapasitas kedudukan sebagai anggota DPR! Sampai-sampai tak bisa membedakan hal yang sangat tidak pantas untuk dia korupsi!" "Celakanya sampai di persidangan pengadilan sang tokoh tetap merasa tidak bersalah dan menganggap perbuatannya sebagai bukan sebuah kesalahan!" timpal Umar. 

"Kejadian-kejadian sedemikian membuat sifat-sifat kerakusan yang keterlaluan menjadi hal yang dianggap biasa--sikap imun terhadap tindak pidana korupsi! Akibatnya korupsi dirasakan masyarakat menjadi kejahatan rutin yang biasa-biasa saja, bukan mencekam sebagai kejahatan luar biasa--ekstra ordinary crime!" 

"Imunnya masyarakat atas kejahatan korupsi karena telah menjadi hal rutin itu, sehingga masyarakat cenderung permisif terhadap tindak pidana korupsi, membuat korupsi bukan lagi sejenis kejahatan yang menakutkan untuk dilakukan!" tegas Amir. "Mungkin itu sebabnya hal yang nilainya relatif remeh-temeh pun, seperti benih bersubsidi, tak urung dikorupsi juga! Menyedihkan sekali realitas kerakusan di sekitar kita itu!" ***
Selanjutnya.....

Demi Kesejahteraan Rakyat!

"DALAM konsep feodalisme, kesejahteraan rakyat diwujudkan lewat pandum (pemberian) para tuan—tuan tanah, ndoro pejabat (politik), dan birokrat, sampai tuan majikan!" ujar Umar. "Demi kesejahteraan rakyat itu, agar ada yang dibagikan, sebelum membagi pada hambanya para tuan lebih dahulu menghimpun harta dari hasil memeras keringat hambanya!" 

"Celakanya para tuan tak pernah merasa puas dengan tumpukan hartanya setinggi apa pun itu!" timpal Amir. "Akibatnya, konsep pandum untuk kesejahteraan rakyat dalam feodalisme tak pernah terwujud! Selalu tinggal sebagai harapan pelipur lara buat hamba yang semakin tertindas—oleh para tuan yang juga cenderung semakin serakah hingga bagian hamba justru terus makin kecil saja!"

"Hal sama terjadi dalam praktik otonomi daerah!" tegas Umar. "Kesejahteraan rakyat benar-benar tergantung pada kemurahan hati para tuan (pejabat politik dan birokrat) yang menentukan besarnya anggaran untuk rakyat! Nyatanya, anggaran rutin untuk pejabat dan birokrat terus meningkat dengan konsekuensi malah anggaran untuk rakyat terus menurun! 

Jangankan untuk kesejahteraan rakyat, untuk infrastruktur kabupaten saja dibiarkan hancur! Dewasa ini, porsi anggaran untuk rakyat di semua kabupaten umumnya di bawah 30%!" "Singkat kata, de facto sistem yang efektif dalam praktik otonomi daerah dewasa ini tak lain dari feodalisme-parlementer!" tukas Amir. 

"Feodalisme yang dipraktikkan pejabat negara dan pemerintahan bersama wakil rakyat! Pada sisi lain, terhadap kaum buruh pandum atas kerja kerasnya ditetapkan pas-pasan oleh tuan majikan dan pejabat birokrat! Ada wakil buruh, tapi sebagian besar cuma embel-embel!" 

"Dengan prioritas pada timbunan harta para tuan itu, kesejahteraan rakyat tinggal penghias bibir dalam retorika maupun pembicaraan para tuan!" timpal Umar. "Bahkan de facto hal itu tersistem lahir-batin dalam pemerintahan! Sehingga, seorang presiden bisa resah ketika gaji kepala daerah sudah delapan tahun tidak naik, dan memerintahkan menteri keuangan dan menteri dalam negeri untuk segera menaikkannya! Tapi, di lain pihak, presiden tak gelisah terhadap nasib puluhan juta warga yang hidup di bawah garis kemiskinan sejak merdeka tak naik kesejahteraannya!" ***
Selanjutnya.....

Mahalnya Sebuah Demokrasi!

"BETAPA mahal sebuah demokrasi tampak bagi rakyat yang sedang berjuang mewujudkannya seperti di Suriah. Jalan dua tahun ini 70 ribu orang tewas dan sekitar satu juta jiwa warga sipil kebanyakan wanita dan anak-anak pergi mengungsi keluar dari wilayah negaranya!" ujar Umar. 

"Penderitaan mereka jelas tak bisa dinilai secara material, ditambah kehancuran rumah, harta, serta penghidupan yang mereka tinggalkan—dan kucar-kacirnya keluarga!" "Kenapa tiba-tiba kau bicara mahalnya sebuah demokrasi?" tanya Amir.

"Karena orang-orang yang beruntung bisa menikmati demokrasi di negeri kita cenderung meremehkannya, menyalahgunakan kekuasaan yang diraih lewat proses demokrasi dengan korupsi dan aneka tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi!" jawab Umar. 

"Ada kepala daerah hanya mengutamakan selera gagah-gagahan pribadinya, bukan saja dengan mengesampingkan aspirasi dan kepentingan rakyatnya, malah demi selera pribadinya itu, ia mengorbankan kepentingan rakyat—APBD tak disahkan DPRD hingga tak ada anggaran baru untuk rakyat!" "Lebih lucu, dengan kekuasaan mereka yang diperoleh lewat pemilihan langsung rakyat, mereka habisi hak rakyat memilih langsung gubernur, dialihkan hanya dipilih DPRD!" timpal Amir. 

"Itu bukti, bukan saja tak menghormati suara rakyat yang telah memberinya kekuasaan lewat pemilihan langsung, malah mengkhianati rakyat dengan merampas hak pilih mereka—alasannya dibuat-buat pula!" "Memang sangat memprihatinkan tingkah orang-orang yang diuntungkan demokrasi hasil perjuangan mahasiswa menggulingkan tiran Orde Baru dengan melakonkan gaya tiran baru, mengkhianati suara konstituen pemberinya kekuasaan dengan berbagai cara yang semakin menyengsarakan rakyat!" tukas Umar. 

"Lewat kekuasaan eksekutif yang didapat, mereka buat kartel impor daging sapi hingga rakyat tak mampu lagi membelinya!" "Atas realitas itu, pantas kau ingatkan betapa mahal demokrasi lewat contoh bangsa yang sedang berjuang mewujudkannya!" simpul Amir. 

"Jangan mentang-mentang berkuasa jadi seenaknya melecehkan arti suara rakyat yang mereka khianati dengan melucuti hak rakyat untuk pemilihan langsung, menyengsarakan rakyat dengan membuatnya tak mampu membeli kebutuhan hidupnya!" ***
Selanjutnya.....

‘Kewawung’ di Pondoh Kelapa!

"KENAPA pohon kelapa di Lampung banyak yang mati layu pucuk, padahal akar maupun batangnya kokoh tak tumbang oleh terjangan badai?" tanya Umar. "Itu akibat serangan kewawung—kumbang kelapa—di pondoh, lembaga atau umbut pusat daya tumbuh tanaman kelapa!" jelas Amir. 

"Kewawung yang bisa terbang itu bersarang di pucuk yang lunak dan manis itu, melahap pondohnya dari hari ke hari, sampai akhirnya sel-sel tumbuh di pucuk itu rusak, busuk, dan layu, kemudian mati!"

"Kok dibiarkan oleh petani hingga tanaman kelapanya yang produktif mati?" kejar Umar. "Petani tak punya alat pendeteksi kehadiran kewawung dalam pondoh tanaman kelapanya! Begitu terlihat gejalanya, pucuknya layu, tak bisa ditolong lagi!" tegas Amir. 

"Kehadiran kewawung di pondoh kelapa itu mirip koruptor di pusat tumbuh ekonomi, yakni pusat-pusat pengelolaan keuangan negara dari APBN sampai APBD! Maka itu, kalau koruptor tak dihabisi oleh KPK, meski negara tampak masih berdiri kokoh sebenarnya pucuknya sudah layu, busuk, dan tinggal menunggu ambruknya!" 

"Kalau begitu untung ada KPK, bisa mendeteksi dini kewawung di pondoh pucuk pengelolaan negara!" tukas Umar. "Cuma kenapa terhadap kewawung asli yang menggasak pucuk kelapa petani di Lampung ini Kementerian Pertanian tidak membantu petani dengan membentuk komisi pembasmi kewawung—KPK?" 

"Bagaimana mereka bisa terpikir membentuk komisi pembasmi kewawung, kalau dari kasus daging sapi impor terakhir diketahui ternyata justru kementerian itu sarang kewawung yang berebut nikmat manisnya pondoh di pucuk kekuasaan!" jawab Amir. 

"Malang nian nasib petani Lampung, tanaman kelapanya banyak mati diserang kewawung! Lebih malang lagi, mereka tak bisa berharap pada sarang kewawung untuk membasmi kewawung!" 

"Seberapa besar kemampuan KPK membasmi kewawung di kebun kelapa nusantara yang luas, padahal kasus korupsi antarkementerian berkejaran!" tukas Umar. "Di Kemenpora kasus wisma atlet belum tuntas diburu Hambalang! 

Di Kemenakertrans, kasus PPID transmigrasi Papua dikejar kasus PLTS! Di Kementan, kasus kuota impor daging sapi, dan seterusnya! Kasus-kasus itu saja menyita jam kerja KPK, tak mustahil lebih banyak kewawung tetap nyaman menyantap pondoh di kebun kelapa nusantara!" ***
Selanjutnya.....

‘Kewawung’ di Pondoh Kelapa!

"KENAPA pohon kelapa di Lampung banyak yang mati layu pucuk, padahal akar maupun batangnya kokoh tak tumbang oleh terjangan badai?" tanya Umar. "Itu akibat serangan kewawung—kumbang kelapa—di pondoh, lembaga atau umbut pusat daya tumbuh tanaman kelapa!" jelas Amir. 

"Kewawung yang bisa terbang itu bersarang di pucuk yang lunak dan manis itu, melahap pondohnya dari hari ke hari, sampai akhirnya sel-sel tumbuh di pucuk itu rusak, busuk, dan layu, kemudian mati!"

"Kok dibiarkan oleh petani hingga tanaman kelapanya yang produktif mati?" kejar Umar. "Petani tak punya alat pendeteksi kehadiran kewawung dalam pondoh tanaman kelapanya! Begitu terlihat gejalanya, pucuknya layu, tak bisa ditolong lagi!" tegas Amir. 

"Kehadiran kewawung di pondoh kelapa itu mirip koruptor di pusat tumbuh ekonomi, yakni pusat-pusat pengelolaan keuangan negara dari APBN sampai APBD! Maka itu, kalau koruptor tak dihabisi oleh KPK, meski negara tampak masih berdiri kokoh sebenarnya pucuknya sudah layu, busuk, dan tinggal menunggu ambruknya!" "Kalau begitu untung ada KPK, bisa mendeteksi dini kewawung di pondoh pucuk pengelolaan negara!" tukas Umar. 

"Cuma kenapa terhadap kewawung asli yang menggasak pucuk kelapa petani di Lampung ini Kementerian Pertanian tidak membantu petani dengan membentuk komisi pembasmi kewawung—KPK?" "Bagaimana mereka bisa terpikir membentuk komisi pembasmi kewawung, kalau dari kasus daging sapi impor terakhir diketahui ternyata justru kementerian itu sarang kewawung yang berebut nikmat manisnya pondoh di pucuk kekuasaan!" jawab Amir. 

"Malang nian nasib petani Lampung, tanaman kelapanya banyak mati diserang kewawung! Lebih malang lagi, mereka tak bisa berharap pada sarang kewawung untuk membasmi kewawung!" "Seberapa besar kemampuan KPK membasmi kewawung di kebun kelapa nusantara yang luas, padahal kasus korupsi antarkementerian berkejaran!" tukas Umar. 

"Di Kemenpora kasus wisma atlet belum tuntas diburu Hambalang! Di Kemenakertrans, kasus PPID transmigrasi Papua dikejar kasus PLTS! Di Kementan, kasus kuota impor daging sapi, dan seterusnya! Kasus-kasus itu saja menyita jam kerja KPK, tak mustahil lebih banyak kewawung tetap nyaman menyantap pondoh di kebun kelapa nusantara!" ***
Selanjutnya.....

Memanfaatkan Harta Karun!

"BANGSA Indonesia ini bisanya apa, sih?" tanya cucu. "Dianugerahi beraneka kekayaan alam yang berlimpah-limpah tak bisa memanfaatkan dengan baik! Minyak bumi dikuras sampai dari eksportir menjadi importir, tapi masih lebih 100 juta orang warganya hidup di bawah garis kemiskinan Bank Dunia! Tujuh gunung emas di Papua dikeruk, tapi mayoritas warganya tak mendapat bagian untuk beli kolor pun!" 

"Kerasukan apa kamu tiba-tiba merepet panjang?" sambut kakek. "Masih lebih panjang lagi, Kek!" lanjut cucu. "Hutan-hutan sudah ludes, seperti di Lampung sejak 1992 HPH habis, tak ada kemakmuran yang membekas dari hasilnya! Malah ratusan ribu warga terlunta-lunta nomaden di tepian kawasan registernya!"

"Sudah 30 ribuan keluarga ditampung program Hutan Kemasyarakatan!" tegas kakek. "Itu baru di dua kabupaten, Tanggamus dan Lampung Barat!" tegas cucu. "Terakhir untuk Lampung Selatan programnya beda, bukan terkait kaum nomaden! Sedang kabupaten lain, jumlah nomadennya terus meningkat, tertajam di Mesuji, khususnya sekitar Register 45!" 

"Semua itu telah menjadi sejarah, kegagalan bangsa kita memanfaatkan harta karun dari negerinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya!" timpal kakek. "Itu terjadi akibat semua kekayaan alam itu hanya dibuat foya-foya segelintir elite yang berkuasa dengan para mitra lokal dan internasionalnya! Rakyat cuma bisa jadi penonton penghamburan itu! Karena dalam mindset elite penguasa semua itu harta karun, bukan kekayaan milik rakyat, maka diperlakukan selayak harta karun!" 

"Mindset mendapatkan kekuasaan atas harta karun itu pula mungkin yang banyak membuat penguasa menyalahgunakan APBD, juga para penerima amanah dalam berbagai bentuk lain!" timpal cucu. "Semisal limpahan amanah kepada sebuah konsorsium berupa 150 bus dengan fasilitas kemudahan dari jaminan rute yang telah dibersihkan dari para pesaing, termasuk bus milik BUMN, halte sepanjang rute, sampai parkir gratis di terminal!" 

"Dengan mindset sedemikian realitasnya malah seperti kebingungan, mau diapakan harta karun 150 bus itu, ujungnya justru gaji karyawan tertunggak bulanan!" tegas kakek. "Tapi tak perlu risau, mindset itu berskala besar, mindset bangsa ini! Setiap muncul kisah pemanfaatan kekayaan publik selayak harta harun belaka!" ***
Selanjutnya.....

Kala Pandangan Si Juling Fokus!

USAI menulis sejumlah soal, seorang guru baru memerintahkan semua murid untuk fokus ke papan tulis membaca soal yang ditulisnya. Ia perhatikan satu per satu, ternyata seorang murid malah mengarahkan wajahnya menatap dirinya yang berdiri di samping papan tulis. Ia datangi murid itu dan menyuruh baca soal nomor satu. Tanpa memalingkan wajah dari si guru, ia baca soal nomor satu di papan tulis dengan benar! 

“Kau bisa memfokuskan pandangan dengan wajah menatap ke arah lain, ya?” tanya guru. “Matanya juling, Bu Guru!” seru seorang murid dari belakang. Sang guru terangguk-angguk. Tapi ketika jam istirahat baca koran di ruang guru ia terkejut, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Melani Leimena Suharli memastikan meski sibuk menyelematkan partainya, SBY tetap fokus mengurus negara!

“Sebagai orang dekat SBY kayaknya Melani memastikan SBY itu juling!” ceplosnya di depan guru-guru lain. “Sebab, meski secara fisik SBY mengurusi partai, ia pastikan fokusnya tetap pada tugas negara dan pemerintahan!” “Tapi mayoritas rakyat tak percaya SBY juling!” timpal guru senior. 

“Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan 68,42% publik khawatir terhadap komitmen SBY untuk fokus pada tugas negara dan pemerintahan akibat waktu dan perhatiannya beralih untuk mengurusi partainya! Sebanyak 68,58% dari publik yang khawatir itu justru dari kalangan masyarakat kelas bawah, warga biasa atau wong cilik!” 

“Kekhawatiran itu beralasan karena dalam menyelamatkan partainya itu SBY merangkap semua jabatan puncak pimpinan—Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan de facto Ketua Umum!” tukas guru baru. 

“Itu jelas membuat tanggung jawab dirinya terhadap segala dimensi kehidupan partainya bertambah berat! Tak mengada-ada kalau orang mengkhawatirkan fokusnya pada tugas negara dan pemerintahan tak bisa utuh lagi! Memerintah negara tidak secara kafah (utuh) lagi, melainkan hanya dengan sisa-sisa waktu dan perhatiannya dari kesibukannya menyelamatkan partai!” 

“Demikian malang nasib Republik ini!” keluh guru senior. “Diurus full time saja banyak program pembangunan tak beres, infrastruktur berantakan, korupsi merajalela! Kini malah dijadikan kerja sambilan!” ***
Selanjutnya.....

Mengail di Lubuk tak Berikan!

PAGI setelah malamnya hujan lebat, banyak orang mengail di jembatan irigasi jalan desa! Para pengail awal ada yang mendapat ikan dua sampai tiga ekor, tapi pendatang berikutnya tak ada yang mendapatkan ikan.

Saat mereka mulai frustrasi oleh sengatan matahari tapi kailnya tak kunjung disentuh ikan, dari arah hilir irigasi nongol Amat dengan seser dan dua renteng ikan terikat ke pinggangnya. "Jangan coba-coba kau seser lubuk tempat kami mengail!" entak seorang pengail.

"Adilnya, saya seser lubuk itu, terserah kalau ada ikannya buat kalian!" sambut Amat. "Atau, nanti dilepas lagi untuk kalian pancing!" "Oke! Seserlah!" tegas pengail. "Ikannya buat kami!" Setelah Amat seser semua sisi dan semua arah, ternyata di lubuk tempat mereka mengail itu tak ada lagi ikannya barang seekor pun! "Jelas, kan? Kalian mengail di lubuk yang tak ber-ikan!" tukas Amat. 

"Sejak dam terakhir tadi kuseser sampai sini memang sudah tak ada lagi ikan yang lepas dari luapan tambak warga akibat air hujan yang melimpah! Kalau di hilirnya sudah tak ada, jangan harap di sini ada lagi ikan, karena ikan cenderung bergerak melawan arus!" "Berarti ikan kumpul di bawah dam atas sebab ikan tak bisa melompati dam!" tebak pengail. 

"Tapi kalau dengan kail juga, kalian spekulatif, karena menunggu ada sentuhan ikan baru kalian tarik!" tukas Amat. "Itu seperti aparat hukum di daerah dalam memberantas korupsi, menunggu sentuhan pengadu atau pers! Maka itu, meski di daerah aparat hukum berjibun hasil garapan memberantas korupsinya tak sebanding kuantitatif maupun kualitatif dengan garapan KPK yang cuma ada di Jakarta!" "Memangnya KPK pakai seser?" tanya pengail. 

"Bukankah KPK bekerja dengan penyadap yang mirip kail, untung-untung ada suara nyasar?" "Sebelum ditangani penyidik, tim penyelidik atau intel KPK sudah lebih dulu menyeser di saluran-saluran PPATK, hasil pemeriksaan BPK, pengaduan warga dan sebagainya!" tegas Amat. 

"Dari situ mereka mendapat petunjuk dan bukti awal yang kuat, baru mereka sadap dengan sasaran-sasaran yang pasti, bukan acak seperti mengail! Sampai ada transaksi, gerakan semua sasaran dalam monitor KPK sekaligus menambah bukti-bukti baru! Dengan begitu, kalau sudah kena jegrek KPK, ikannya susah lolos! Seperti kena seser!" ***
Selanjutnya.....

Kota Bersih dari Atribut Politik!

"KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kota Bandar Lampung bersama Pemkot dan partai-partai politik setempat sepakat membersihkan jalan-jalan protokol kotanya dari segala bentuk atribut politik, utamanya dalam rangka Pilgub 2013 dan Pemilu 2014!" ujar Umar. 

"Ini kesepakatan elegan untuk menjadikan Bandar Lampung kota yang bersih dan rapi, tak lagi disemaki bendera parpol yang dipasang sekenanya banyak melintang ke jalan, atau gambar politikus dipaku miring di pohon!"

"Kesepakatan itu elegan terutama bagi partai-partai politik yang citranya tengah kurang pas!" timpal Amir. "Dan itu bukan hanya terkait satu dua partai, tapi seperti tokoh senior Partai Demokrat Ahmad Mubarok, parpol-parpol kini arisan korupsi! Maksudnya, satu sesi yang kena Partai Demokrat, sesi berikutnya PKS, sesi lain partai lain lagi! Jadi seperti arisan, bergantian terkena kasus korupsi!" 

"Karena itu, gagasan KPU dan Pemkot yang disambut baik parpol itu bisa menjadi peluang bagi parpol untuk berbenah citra di balik layar, tak menonjolkan diri di jalan-jalan protokol dulu, sampai citranya secara komprehensif telah pulih kembali!" tegas Umar. 

"Peluang itu justru amat penting, karena bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki dan memperkuat jalinan partai dengan konstituen—yang kebanyakan telah dilupakan! Tepatnya peluang konsolidasi konstituen, suatu hal yang mendasar dalam kehidupan parpol!" 

"Banyak hal bisa dilakukan dalam konsolidasi konstituen, bahkan sebagai ujung tombak bagi pemenangan pemilu!" tukas Amir. "Selayaknya diakui, tak banyak yang bisa diberikan pada konstituen lewat pengabdian kader di legislatif daerah! Karena itu, guna konsolidasi konstituen ini pengurus cabang bersama kader dan pengurus kecamatan serta kampung bisa bergotong royong memperbaiki got saluran air, serta jalan gang utamanya pada kawasan yang menjadi kantong perolehan suara partai pada pemilu sebelumnya! 

Tinggalkan jalan protokol, bangun secara konkret lingkungan kampung konstituen!" "Artinya partai-partai politik dan kadernya jangan datang menemui konstituen cuma saat kampanye saja! Setelah itu dilirik lagi pun tidak!" timpal Umar. "Inilah saat yang paling tepat untuk mengunjungi konstituen dengan bantuan tenaga dan prasarana umum yang diperlukan! Mumpung, jalan protokol sedang dibersihkan dari atribut politik!" ***
Selanjutnya.....

Jalannya seperti Harimau Lapar!

"PUTRI Solo cantik, kenyataan! Lengkap dengan segala dimensi kejelitaan! Itu tertuang dalam lirik lagunya!" ujar Umar. "Meski sang pujangga mengingatkan pada bagian bernada tinggi, lakune koyo macan luweh—jalannya seperti harimau lapar! 

Dengan ayunan langkah yang gemulai, ia justru siap menerkam mangsa!" "Tak kepalang yang diterkam sebagai mangsa finalis Putri Solo 2008 seorang jenderal polisi dari Jakarta!" timpal Amir. "Sang jenderal yang terjerat kejelitaan Putri Solo membelikannya sebuah rumah dari hasil korupsi simulator—versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Si Putri Solo pun diperiksa KPK sebagai saksi!"

"Kedua pihak, si jenderal dan Putri Solo sama-sama menutupi hubungan perkawinan mereka! Juga Mabes Polri belum menerima pengaduan tentang poligami sang jenderal!" tutur Umar. "Namun, seorang petugas KUA di Sukoharjo mengungkap KPK telah mengambil dokumen bukti pernikahan dua cucu Adam itu!" 

"Jodoh di tangan Tuhan! Tak satu pun kejadian di muka bumi di luar kehendak-Nya, sebagai pelajaran terutama buat mereka yang belum terlambat—baik dalam hal korupsi maupun nikah tersembunyi!" tegas Amir. "Karena itu, amat berlebihan jika menuduh KPK melakukan dramatisasi untuk bumbu penyedap kasusnya dengan menampilkan finalis Putri Solo dalam kasus korupsi simulator! Memang tanpa itu pun sudah tercukupi dua bukti minimal yang harus diajukan KPK di sidang pengadilan! 

Namun, tambahan bukti untuk memperkuat dakwaan juga selalu diperlukan, lebih-lebih jika terkait terdakwa orang kuat! Sekaligus ada tambahan uang negara yang bisa diselamatkan!" "Terpenting dalam hubungan sedemikian tak dikenal istilah bertepuk sebelah tangan!" timpal Umar. "Jangan-jangan justru mangsanya yang jauh lebih agresif sehingga seperti dalam sabda pujangga, ia jatuh tersungkur ke sudut kerling wanita! Tanpa kecuali tujuan si pria ingin menjajah dan menjelajah wanita!" 

"Celakanya, zaman sudah secanggih ini petinggi bangsa masih berkecipak dalam gaya klasik takhta, harta, dan wanita!" tukas Umar. "Berjuang seumur hidup untuk meraih takhta (kedudukan), pada kedudukan itu mengumpul harta (lewat korupsi), ujungnya cuma untuk menjadikan wanita sangkar madu! Bagaimana bangsanya bisa maju, petingginya begitu?" ***
Selanjutnya.....

'One Man Show', Indonesia!

"TAK ada formasi jabatan puncak kekuasaan negara yang sehebat Indonesia, dari Presiden sampai semua jabatan puncak di partai penguasa—ketua Dewan Pembina, ketua Dewan Kehormatan, ketua Majelis Tinggi hingga de facto jabatan Ketua Umum DPP—terpadu pada satu orang, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)!" ujar Umar. 

"Tak bisa dibantah itu cerminan kemampuan SBY yang luar biasa!" "Kita sepakat kemampuan SBY memang tak ada duanya di negeri ini hingga mayoritas rakyat memilihnya sebagai presiden dua periode masa jabatan!" timpal Amir.

"Dengan kemampuan luar biasa itu rakyat juga tak keberatan SBY merangkap semua jabatan puncak di partai penguasa! Sejauh ini tak ada keluhan terbuka dari rakyat untuk perangkapan macam-macam jabatan oleh SBY itu! Kalaupun ada kritik bernada sinis, cuma dari pengamat!" 

"Rakyat tak mengeluh karena di sejumlah negara bukan saja lazim, melainkan malah sebagai tradisi ketua partai berkuasa sekaligus terpilih jadi presiden, lalu sekretaris jenderal partainya terangkai dengan jabatan perdana menteri!" tegas Umar. 

"Tradisi seperti itu, antara lain terjadi di Kuba, Korea Utara, juga di negeri yang pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia, China! Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia, selain mendekati China dalam pertumbuhan ekonomi, agaknya mendekati China juga dalam kaitan rangkap jabatan di puncak kekuasaan, ketua umum partai penguasa sekaligus presiden!" 

"Kalau model tradisi rangkap jabatan penguasa China itu yang mau ditiru, di Indonesia menjadi klop!" tukas Amir. "Karena, selain de facto SBY ketua umum partai penguasa, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP partainya Ibas, putranya! Sehingga, dengan model China itu dengan SBY sebagai ketua umum partai di kursi presiden, didampingi Ibas di kursi perdana menteri!" 

"Dengan rangkap jabatan presiden dan semua jabatan puncak partai penguasa kini sudah dalam one man show Indonesia, meniru model China dalam usaha memuncaki pertumbuhan ekonomi dunia bisa saja menjadi prioritas berikutnya!" timpal Umar. 

"Menurut sejarah, Indonesia pernah memakai sistem presiden didampingi perdana menteri yang memerintah bersama! Pengalaman sejarah itu guru paling bijaksana! Apalagi rangkap semua jabatan itu untuk saat ini tak mudah diubah!" ***
Selanjutnya.....

Idiom Martabat Kaum Jelata!

SEORANG abang melamar gadis tetangga satu bedeng untuk adiknya. "Sebagai tanda jadi, atau peningset, kami telah siapkan uang tunai delapan ratus ribu!" ujarnya ke ayah si gadis. "Saya sambut baik kedatangan Anda, tapi soal lamaran adik Anda pada putriku, mohon pertimbangkan tanda jadi itu, jangan sampai mengesankan putriku perempuan murahan!" sambut ayah si gadis. Mendapat penolakan halus terkait kecilnya nilai tanda jadi, si abang bahas dengan adiknya. 

"Mungkin karena jumlahnya cuma sekian ratus ribu, kalau nanti dalam acara seserahan pakai pengeras suara disebutkan di muka umum rasa harga diri atau martabat ayahnya bisa merasa direndahkan!" tebak adik. "Tapi dari mana kita dapat uang dengan sebutan juta? Itu saja lama aku menabungnya! Kalau lambat melamarnya, gadis itu keburu dilamar orang lain!"

"Sudah! Kau tenang saja! Besok aku datang lagi melamar untukmu!" tegas abang. Dan esoknya abang berkata di depan ayah si gadis, "Sebagai tanda jadi atau peningset kami siapkan uang tunai setengah juta tambah tiga ratus ribu!" "Alhamdulillah!" sambut si ayah. 

"Meski demikian, soal diterima atau tidaknya lamaran adik Anda tergantung pada putriku! Karena dia yang akan menjalani perkawinannya seumur hidup, bukan aku! Karena itu, aku tak bisa memaksanya!" Saat putusan itu disampaikan, si adik bersorak! 

"Pasti dia menerima lamaranku, kami pacaran sudah lebih dua tahun!" seru adik. "Terpenting tebakanku tepat, istilah juta merupakan idiom yang mengacu sebagai standar martabat kaum jelata, termasuk warga bedeng kita!" "Tapi itu bukan cerminan materialistis!" tegas Abang. "Terbukti nilai uang sebenarnya sama, tapi dilengkapi dengan idiom itu mengubah sikapnya! Idiom-idiom yang bisa mengangkat martabat kaum jelata itulah yang digunakan politisi, hingga kaum jelata rela menyerahkan nasibnya selama lima tahun kepada politisi tertentu, ditukar sekantong sembako!" 

"Itu penyebab kaum jelata sengsara berlarut-larut karena janji memperjuangkan perbaikan nasib mereka dari para politisi yang diberi tanda jadi atau peningset sekantong sembako itu terbukti berujung dusta!" tukas adik. "Tapi kaum jelata amat bijaksana, maafnya seluas samudera! Dengan memaafkan, martabat kaum jelata selalu lebih tinggi dari pendusta! Soal dusta politisi atas janjinya, biarkan politisi sendiri menyelesaikan dengan Khalik-Nya!" ***
Selanjutnya.....

Rakyat Pikul Beban Ilusi Elite!

SEORANG penjaja keliling satai ayam curhat ke juragannya, "Kenapa sih pikulan bakul dan tungku satai kita dibuat melengkung ke atas, padahal dengan beban di kedua ujungnya lebih enak dipikul kalau melengkung ke bawah!" 

"Wow... kau ndak tau itu karya genius nenek moyang kita!" entak juragan. "Melengkung ke atas itu menunjukkan kaum pria kita perkasa, tak ada beban yang dianggap berat apalagi sampai loyo merunduk ke bawah!"

"Tapi susah memikulnya dengan lengkungan pikulan justru tepat di pundak!" keluh penjaja. "Belum lagi beban yang dipikul tak seimbang, di satu sisi bakul berisi semua dagangan, di sisi lain cuma tungku pemanggang satai!" "Kalau tungkunya kau masukkan ke bakul, habis terbakar bakul dan isinya!" kilah juragan, "Kau takkan mengeluh lagi soal pikulan kalau sudah seperti para seniormu, jualannya laku banyak meskipun dagangan yang dipikul lebih berat!" 

"Kalau penghasilannya lebih besar, beban yang berat pun terasa lebih ringan!" timpal penjaja. "Tapi kenapa bagi hasil yang kuterima semakin lama jadi terus merosot?" "Itu karena harga ayam potong cenderung terus naik mengejar harga daging sapi yang naik dua kali lipat!" jelas juragan. 

"Harga ayam potong sebelumnya Rp17.500—Rp20 ribu/ekor, sekarang jadi Rp27.500—Rp30 ribu/ekor, atau naik 50%, padahal harga satai kita tak naik! Kalau harga satai naik, pembeli berkurang, lama-kelamaan bisa kehabisan pembeli!" "Kenaikan harga daging sapi dua kali lipat hingga diikuti harga daging lainnya itu hanya akibat ilusi kaum elite, dengan membatasi impor daging akan bisa membuat swasembada daging sapi lokal!" tegas penjaja. 

"Ternyata itu cuma ilusi karena semakin banyak sapi lokal dipotong, stoknya makin tipis! Dengan impor dibatasi pula, harga daging sapi jadi melonjak! Beban kenaikan harga akibat ilusi itu akhirnya harus dipikul rakyat! Bagi hasil penjaja satai ayam pun ikut merosot kena dampaknya!" "Maka itu, jangan salahkan pikulanmu yang melengkung ke atas!" timpal juragan. 

"Lebih malang lagi nasib rakyat yang harus memikul beban berat itu, ilusi elite itu palsu pula! Ilusi itu sebenarnya cuma dalih untuk meraup untung besar dari daging impor guna dibagi-bagi para penentu kebijakannya! Elite tak peduli rakyat yang rawan gizi semakin tak mampu memikul beban itu hingga tambah sengsara!" ***
Selanjutnya.....

Sinetron Politik Makin Seru! (2)

"KLIMAKS krisis Partai Demokrat (PD) berupa 28 pengurus provinsi yang oleh televisi disebut pendukung Anas Urbaningrum akan unjuk gigi mempertahankan posisi sang ketua umum dalam kongres luar biasa (KLB), tak terwujud!" ujar Umar. 

"Yang terjadi justru antiklimaks, SBY mengambil alih fungsi ketua umum PD bukan lewat KLB, melainkan rapat Majelis Tinggi dengan memberi Anas kesempatan menyelesaikan masalah hukum terkait dirinya di KPK!"

"Dan jadilah penyelesaian krisis PD ini sebagai puncak serunya semua episode sinetron politik: Presiden merangkap jabatan sebagai pelaksana tugas (plt.) ketua umum partai politik, justru saat rangkap jabatan seperti itu oleh sejumlah menteri jadi sorotan publik!" timpal Amir. 

"Hal itu disoroti karena dengan segala kemampuan dan kapasitas ekstranya pun tugas negara yang diemban para menteri belum tentu bisa dijalankan secara optimal, apalagi dilakukan dengan kerja sambilan sebagai ketua umum parpol! Lebih serius lagi sorotan itu ketika semakin dekat dengan pemilu, bukan mustahil terjadi perubahan yang jadi sambilan justru tugasnya sebagai menteri!" 

"Lebih dari itu, fasilitas negara yang dipakai menteri juga sukar dipilah dari pelaksanaan tugasnya sebagai ketua partai!" tegas Umar. "Perjalanan dinas ke daerah seorang menteri sering overlapping dengan fungsinya sebagai ketua partai, termasuk acara yang disiapkan sering tumpang-tindih! Itu menyebabkan tugasnya antara sebagai menteri dan sebagai ketua partai bisa bias, baktinya selaku menteri untuk negara dan rakyat dilakukan seolah bagi kepentingan partai, bahkan popularitas pribadi sebagai ketua partai!" 

"Kini malah Presiden pula ikut-ikutan rangkap jabatan plt. ketua umum partai politik! Jelas, langkah Presiden itu bisa menjadi pembenaran terhadap masalah yang dianggap kurang pas oleh masyarakat itu!" timpal Amir. "Rangkap jabatan pemerintahan negara dan partai politik itu kurang pas karena conflict of interest partai tak bisa dikesampingkan dalam tugas menteri, rakyat juga menginginkan pengabdian yang utuh—kafah—dari setiap pejabat negara!" 

"Hasrat rakyat yang tak terpenuhi itu pemikat tersendiri sinetron politik!" tegas Umar. "Rakyat melihat sejauh apa kiprah para aktor pejabat tinggi negara itu lolos dari conflict of interest partai dan jerat KPK!" *** (Habis)
Selanjutnya.....

Sinetron Politik Makin Seru!

“SINETRON perselingkuhan, cinta segitiga, dan sejenisnya belakangan ini kalah seru dari sinetron politik dengan aktor dari presiden partai hingga presiden negara!” ujar Umar. “Makin serunya sinetron politik itu karena ceritanya dikemas dalam repertoar skandal korupsi yang terpilin menuju antiklimaks tudingan konspirasi!” 

“Skandal korupsi memang berpangkal dari konspirasi (kerja sama komplotan bertujuan tidak baik) antarcabang kekuasaan—politik, birokrasi, dan bisnis, mencundangi keuangan negara maupun rakyat!” timpal Amir.

“Inti skandal korupsi pada abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan negara atau pemerintah oleh orang yang diberi otoritas (wewenang) malah melaksanakan kewenangan itu demi keuntungan pribadi dan orang-orang lain—konspiratornya!” 

“Makin serunya sinetron politik justru karena adanya usaha pemutarbalikan terminologi konspirasi, dengan menuding ada komplotan lain yang menyingkap (konspirasi) korupsi itu dengan tujuan politis menyudutkan partai tertentu!” tukas Umar. 

“Sejauh apa kebenaran tudingan itu, realitasnya elektabilitas partai-partai yang pengurus inti DPP-nya terseret kasus korupsi memang merosot tajam! Merosotnya elektabilitas ini pula yang kemudian menyulut masalah internal partai hingga menimbulkan ‘konspirasi’ penggulingan ketua umum partainya!” 

“Serunya debat terbuka menyelamatkan partai antarsesama kader ditimbrungi analisis pakar politik, cukup menarik sebagai suatu tontonan publik di media massa!” tukas Amir. “Tontonan itu benar-benar esensial sebagai materi pendidikan politik rakyat, guna belajar dari realitas politik, utamanya ketika seorang presiden partai dijadikan tersangka kasus korupsi yang mengakibatkan harga daging sapi di pasar lokal dua kali lipat dari harga di pasar internasional! 

Atau ketika presiden sebuah negara istikharah mohon petunjuk di depan Kakbah untuk mendapatkan jalan keluar terbaik bagi krisis yang sedang melanda partainya, bukan mohon petunjuk bagaimana menyelamatkan bangsanya, terutama rakyat yang terbenam berkepanjangan di jurang kemiskinan!” 

“Justru di situ serunya sinetron politik, menjadi pengasah logika rakyat tentang tindakan yang tak logis dari pemimpinnya!” timpal Umar. “Rakyat dibuat sadar, seperti itu rupanya para pemimpin negerinya!” ***
Selanjutnya.....

Pers di Kolam Limbah Beracun!

“HARI Pers 9 Februari 2013 diperingati dalam kolam yang makin pekat oleh cemaran limbah beracun dari tiga kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang kian merajalela—teroris, narkoba, korupsi!” ujar Umar. “Pengandaian negara sebagai kolam dan rakyat jadi ikannya itu mengesankan betapa sesak napas ikan-ikan dalam kolam penuh cemaran limbah beracun! Pers, salah satu jenis ikannya, ngapain aja?” 

“Untuk teroris, pers mengingatkan warga agar waspada, teroris tak punya rasa kemanusiaan! Tega membunuh saudara sebangsa yang tak bersalah, nyawa sendiri dikorbankan sia-sia!” timpal Amir. “Maka itu, jika melihat ada gelagat teroris segera lapor ke aparat desa!” “Juga atas kejahatan narkoba, pers melakukan banyak hal!” tegas Umar.

“Dari pencegahan pada pemula, liputan investigasi membongkar jaringannya, sampai menyiarkan derita korban narkoba serta buruknya nasib terpidana kasus narkoba guna menimbulkan efek jera!” “Tapi semua usaha pers itu sia-sia hanya oleh langkah pemerintah yang memberikan remisi, bahkan grasi dari Presiden, narapidana kasus narkoba!” tukas Amir. 

“Efek jera yang digugah pers sirna oleh peringanan hukuman itu!” “Lalu dengan korupsi, pers menonjol dalam mendorong aparat hukum bertindak!” timpal Umar. “Segala lini dan cara ditempuh pers untuk menyingkap kasus korupsi, tapi kendala tidaklah ringan! Terutama karena koruptor banyak duit, berita mengungkap korupsi baru tahap awal keburu dihadang somasi—ancaman digugat mencemarkan nama baik!” 

“Pers sering kandas menghadapi somasi meski nyaris setiap transaksi penting penerimaan dan belanja pemerintah berbau korupsi, karena korupsi dilakukan di balik proses administrasi pseudomatis—seolah-olah semua prosedur telah dijalankan sesuai aturan!” tegas Amir. 

“Sehingga, meski setoran wajib 17% pelaksana yang dapat giliran arisan proyek bukan rahasia umum di kalangan kontraktor, pembuktiannya secara hukum sulit! Kecuali, dijebak seperti dilakukan KPK! Tapi polisi dan jaksa di daerah tak punya kewenangan seperti KPK, hingga meski mereka juga tahu, tak bisa bertindak!” 

“Akibatnya kolam (negara) dipenuhi cemaran limbah beracun kejahatan luar biasa itu!” tukas Umar. “Pers harus bisa menggalang gerakan bangsa membersihkan limbah beracun itu! Selamat Hari Pers Nasional 2013!” **
Selanjutnya.....

Negara Pejabat, Rakyat Dimangsa!

“NEGARA pejabat kebalikan dari welfare state—negara kesejahteraan!” ujar Umar. “Semua daya dan upaya kekuasaan negara dalam welfare state diorientasikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat! Sebaliknya negara pejabat, (selain) segala daya-upaya kekuasaan negara (juga memangsa rakyatnya) semata untuk sebesar-besarnya kemakmuran pejabat bersama kroni politik dan kroni bisnisnya!” 

“Ada contoh buat hipotetis itu?” sela Amir. “Cerita di balik penangkapan dua direktur perusahaan pengimpor daging sapi bersama kaki tangan politisi dan politisinya oleh KPK pekan lalu!” jawab Umar.

“Harga daging sapi di pasar lokal yang stabil berbasis daya beli rakyat, dirusak demi kepentingan pejabat dan politisi kroninya mendapatkan komitmen fee dari impor daging sapi Rp5.000/kg! Suap Rp1 miliar yang disita sebagai bukti itu sebagian dari komitmen Rp40 miliar untuk kuota 8.000 ton dengan 3.447 ton sudah dialokasikan ke PT induk perusahaan penyuap! 

Sisa kuotanya untuk tiga anak perusahaan yang beralamat sama dengan induknya, belum dibuka Kementerian Pertanian!” (Kompas, 4-2) “Tapi kenaikan harga daging sapi di pasar lokal lebih dua kali lipat!” tukas Amir. “Karena proses impor daging ditangani tiga kementerian!” timpal Umar. 

“Logikanya, para pejabat dua kementerian lain itu juga punya kekuasaan yang sama untuk tidak meluluskan proses izin impornya! Kalau nilai komitmen fee-nya sama bisa dihitung sendiri tambahan harga daging sapi di pasar lokal, selain keuntungan yang harus dikeruk importir!” 

“Pantas harga daging sapi di pasar domestik Indonesia setara 10 dolar AS/kg, dua kali lipat dari harga di pasar internasional 5 dolar AS/kg!” tegas Amir. “Rakyat yang dimangsa untuk membayar kelebihan sampai lebih 100% dari harga di pasar internasional itu demi sebesar-besarnya kemakmuran pejabat bersama kroni politik dan kroni bisnisnya! 

Buat kuota impor daging sapi 80 ribu ton per tahun, dengan komitmen fee Rp5.000/kg per kementerian, setiap tahun sekitar Rp400 miliar dijadikan bancakan pejabat per kementerian, alias Rp1,2 triliun untuk tiga kementerian!” “Dan itu dengan memangsa rakyat kebanyakan yang rawan gizi!” tukas Umar. “Begitulah praktik negara pejabat, rakyat dimangsa demi sebesar-besarnya kemakmuran pejabat! Rakyat jadi tambah sengsara berkepanjangan!” ***
Selanjutnya.....

Tusuk Jari Atasi Ketegangan!

KAKEK menusukkan dan memutar-mutarkan jari tengah atau telunjuk berganti-ganti pada tengkuknya, bergeser dari satu titik ke titik berikutnya sampai rata ke semua otot pangkal leher belakang yang dirasanya tegang! "Cucu Kakek jauh-jauh, jadi memijit sendiri otot punggung yang tegang?" tukas tetangga. 

"Aku sedang melakukan fingerpunktur, tusuk jari, untuk mengendurkan otot-otot pangkal leher yang tegang!" jelas kakek. "Lumayan hasilnya! Kalau lazimnya jarum yang ditusuk-tusukkan ke pori-pori tubuh, ini jari ditekan dan diputar pada satu titik sampai terasa yang tadinya tegang jadi berkurang!"

"Dari mana dapat tekniknya?" kejar tetangga. "Pernah dengar tapi lupa orangnya!" jawab kakek. "Ternyata saat leher terasa tegang dicoba, lumayan! Tak lama, 5 sampai 10 menit cukup buat mengurai gumpalan kebekuan yang jadi penyebab ketegangan!" "Tuturan Kakek mengesankan, tubuh manusia juga merupakan refleksi tubuh masyarakat berbangsa!" timpal tetangga. 

"Ketegangan-ketegangan sosial di masyarakat bangsa juga terjadi akibat pembiaran terhadap gumpalan-gumpalan kebekuan masalah! Untuk mengatasi ketegangan itu ternyata juga perlu tusuk jari, sentuhan fokus dan komprehensif lewat Instruksi Presiden No. 2/2013!" 

"Akibat pembiaran yang berlarut-larut oleh pemerintah daerah dan nasional memang banyak masalah menjadi gumpalan kebekuan yang siap mengakibatkan stroke—pembuluh darah pecah pada jaringan yang tersumbat!" tukas kakek. 

"Dengan begitu, usaha mencegah merebaknya konflik di daerah-daerah seperti tujuan Inpres tersebut harus memakai prinsip tusuk jari, mengatasi sendiri ketegangan di tubuh (daerah)-nya dengan segenap aparat dan warga setempat anggota badannya!" 

"Tepatnya, tak dikenal lagi gaya pembiaran dan sejenisnya dari pemerintah daerah!" timpal tetangga. "Seperti fingerpunktur, pemerintah lokal harus melakukan sentuhan intensif dan konsisten terhadap semua masalah! Itu berarti setiap pemimpin di daerah bukan lagi bergaya birokrat tukang ngorok yang selalu terlambat ketika terjadi masalah, melainkan bahkan menjadi problem solver—pemecah masalah! 

Sesuai Inpres, secara konsisten unsur-unsur pimpinan daerah bersama-sama menyelesaikan masalah sejak terbayang potensi atau bibitnya!"
Selanjutnya.....

Anomali, NTP Lampung Turun!

"DI ujung setiap jalan tanjakan selalu ada jalan menurun!" ujar Umar. "Begitu pula nilai tukar petani (NTP) Lampung yang dalam dua tahun terakhir selalu menanjak hingga tertinggi di Indonesia! Pada Januari 2013, NTP Lampung turun 1,27% menjadi 124,77 dari posisinya tertinggi 126,04 pada Desember 2012!" 

"Itu penurunan tajam dan tertinggi dari semua NTP provinsi pada Januari 2013!" sambut Amir. "Karena itu, meski dengan penurunan itu NTP Lampung masih tetap tertinggi di Indonesia, gejalanya perlu diwaspadai! Bukan sekadar untuk menjaga supremasi NTP Lampung, melainkan ekses menurunnya secara drastis daya beli petani! Hal itu harus dicegah jangan sampai terjadi, konon lagi berkelanjutan!"

"Penurunan NTP setajam itu memang perlu diwaspadai, lebih lagi karena anomali dengan naiknya indeks harga konsumen (IHK) pada periode sama dari 147,31 menjadi 148,79, seiring kenaikan harga subsektor hortikultura, khususnya sayuran gunung!" tegas Umar. 

"Naiknya IHK dengan inflasi tinggi (1,00%) pada Januari 2013 itu menunjukkan daya beli petani masih tinggi, tapi terjadi anomali sehingga NTP justru turun!" "Anomali turunnya NTP saat IHK naik dan inflasi tinggi itu terjadi akibat petani harus membayar jauh lebih mahal kebutuhannya dari sektor nonpertanian, yang naik sampai 1,03%, sedang harga yang petani terima meski naik, hanya 0,01%!" sambut Amir. 

"Artinya, harus disimak lebih seksama penyebab anomali itu pada kenaikan harga yang harus dibayar petani pada sektor nonpertanian yang kurang wajar hingga menjadi tambahan beban petani!" "Salah satu pendongkrak harga kebutuhan (yang dibayar) petani dari nonpertanian antara lain faktor cuaca ekstrem, yang berakibat pasokan tersendat dan menambah biaya transpornya!" tukas Umar. 

"Dari antrean truk di Merak hingga banjir di seputar pusat pasokan—Jabodetabek—merupakan contoh penyebab terjadinya anomali tersebut!" "Kewaspadaan di balik anomali itu bukan pada cuaca ekstrem yang force majeur, melainkan pada tabiat harga barang nonpertanian, jika sekali naik oleh inflasi akibat apa pun, sukar diturunkan kembali!" timpal Amir. "Tabiat itu secara laten menurunkan NTP, karena harga produksi pertanian dijaga stabil oleh penguasa untuk mendukung industri dan jasa yang dijadikan leading sector pertumbuhan!" ***
Selanjutnya.....

Kembalikan Harga Daging Sapi!

"DEMI mayoritas rakyat kebanyakan kembali mampu membeli daging sapi untuk asupan gizinya, pemerintah harus mengembalikan harga daging sapi ke Rp40 ribuan/kg!" ujar Umar. "Pemerintah bertanggung jawab atas kenaikan harga daging sapi jadi Rp100 ribuan/kg terakhir ini, karena kenaikan itu terjadi akibat trik para pejabat di tiga kementerian—pertanian, perdagangan, dan industri—yang memberlakukan tata niaga terselubung daging sapi untuk memberi laba importir daging sapi sampai 100% di atas harga pasar dunia!" 

"Realitas itu tak adil bagi rakyat jelata, tak mampu membeli daging sapi yang jadi amat mahal!" tegas Amir. "Kemahalan itu menekan konsumsi daging sapi nasional yang hanya 2,2 kg/per kapita/tahun dibanding Malaysia 47 kg, bisa memperburuk gizi rakyat kebanyakan!"

"Trik menaikkan harga daging sapi di pasar lokal itu diselubungi dalih untuk swasembada daging sapi lokal, impor sapi bakalan dibatasi!" timpal Umar. "Usai KPK membongkar commitment fee di balik bagi-bagi jatah impor daging sapi sebanyak 80 ribu ton per tahun ketahuan, dalih menaikkan jumlah sapi lokal itu cuma tabir! Tujuan sebenarnya trik itu terbukti, demi lebih besarnya commitment fee dari margin impor lewat tata niaga terselubung—bagi-bagi jatah kuota impor daging sapi!" 

"Dalih Menteri Pertanian setelah mantan Presiden PKS ditahan KPK, pembatasan impor daging untuk menaikkan harga sapi rakyat demi 6,4 juta peternak di Tanah Air, alangkah baiknya jika dilakukan secara adil juga pada 200 juta rakyat jelata konsumen yang butuh perbaikan gizi!" tukas Amir. "Artinya, laba peternak dinaikkan, tapi wajar! Semisal 20% dari biaya produksi Rp26 ribu/kg timbang hidup, harga di pasar lokal Rp50 ribuan/kg!" 

"Peternakan rakyat itu cuma dijadikan dalih, kalau pemotongan sapi rakyat ditingkatkan, sapinya justru menjurus habis! Jelas, tujuan sebenarnya adalah laba tinggi buat importir daging sapi! Keadilan buat rakyat kebanyakan jadi tak mampu membeli daging sapi tak ada dalam mindset pejabat tiga kementerian itu!" timpal Umar. 

"Karena itu, pemerintah harus mengembalikan harga daging sapi seperti semula, dengan menghapuskan semua tata niaga terselubung lewat pembatasan impor daging dan sapi bakalan! Kembalikan ke mekanisme pasar yang harganya ditentukan supply-demand berbasis daya beli rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Drakula Isap Darah Rakyat!

"SUDAH 67 tahun merdeka, rakyat banyak yang rawan gizi?" tukas cucu. "Apa ada jenis drakula yang mengisap darah rakyat?" "Gosip di kawasan Sumatera tengah dan utara menyebut pelasik, makhluk pengisap darah balita secara tak terlihat mata!" jelas kakek. 

"Atas korbannya yang pucat sakit-sakitan, 'orang pintar' bisa memastikan itu korban pelasik dan menyembuhkannya!" "Kalau korbannya jadi semua umur dan meluas di luar kawasan tadi, bisa jadi ada drakula jenis lain mengisap darah rakyat!" tukas cucu.

"Bukan mustahil!" ujar kakek. "Drakula sering sukar dikenali dari fisiknya, tapi lewat sifatnya! Apalagi korbannya banyak, seperti terlihat pada rakyat rawan gizi, bisa jadi sifat drakula itu merasuki suatu sendi kekuasaan!" "Pada sendi kekuasaan itu drakula mengisap justru di saluran asupan gizi ke darah rakyat, lewat abuse of power!" timpal cucu. 

"Lewat abuse of power saluran gizi rakyat dibatasi lalu diisap si penyekat sepuasnya hingga asupan gizi rakyat jadi terbatas!" "Sumber gizi yang asupannya disekat itu antara lain daging sapi, yang hingga hari ini konsumsi/kapita/tahun hanya 2,2 kg, padahal Malaysia 47 kg!" tegas kakek. 

"Lewat trik abuse of power, suplai daging sapi dikerjai hingga terkesan langka dan harganya naik dua kali lipat! Akibatnya, tak terjangkau lagi oleh rakyat jelata, dari Rp40 ribuan/kg menjadi di atas Rp80 ribuan/kg! Meski, biaya produksi daging sapi kini belum beranjak jauh dari semula, timbang hidup untuk sapi lokal Rp26 ribu/kg dan sapi bakalan impor Rp22 ribu/kg!" 

"Abuse of power melonjakkan harga daging sapi di pasar lokal sampai 10 dolar AS/kg guna memberi laba besar bagi daging impor yang harganya 5 dolar AS/kg di pasar dunia—setara harga produksi sapi bakalan impor!" tegas cucu. "Hitung saja dengan selisih harga pasar lokal dan dunia itu, berapa besar labanya! Tak ayal komitmen fee buat politisi atas izin impor berskala 1.600 ton daging sapi saja bisa Rp1 miliar seperti diungkap KPK! 

Berapa besar pula komitmen fee berserak jadi bancakan atas 80 ribu ton kuota impor daging sapi 2013!" "Sedihnya, rakyat cuma makan daging rata-rata 2 kg/orang/tahun!" entak kakek. "Kalau ada sebagian orang mengonsumsi lebih 20 kg/tahun, mayoritas rakyat cuma kebagian kurang dari 1 ons setahun! Rawan gizi, korban trik menaikkan harga daging di pasar lokal demi laba besar importir daging!" ***
Selanjutnya.....

Cara Inem Usir Nyamuk DBD!

"DASAR geblek kau, Inem!" entak nyonya besar. "Kamar anakku pakai AC, air condition, artinya pendingin udara, malah kau pasang kipas dari kamarmu untuk menidurkan dia!" "Maaf, Nyah!" sambut Inem. "Kipas angin ini kupakai mengusir nyamuk DBD yang sedang mengganas! Angin yang disemburkan kipas angin ini tak bisa ditembus nyamuk, anak yang tidur aman dari serangan nyamuk!"

"Sok pintar!" entak nyonya. "Tau dari mana?" "Mikir sendiri!" jawab Inem. "Soalnya kubaca di Lampung Post, Kecamatan Teluk Betung Utara ini, Menteng-nya Bandar Lampung, terbanyak korban DBD-nya di kota Bandar Lampung! Itu bisa terjadi karena kebanyakan korban itu tidur pagi dalam ruang ber-AC, yang nyaman bagi nyamuk penyebar virus DBD!" 

"Memangnya Kecamatan Teluk Betung Utara pemuncak jumlah korban wabah DBD di Bandar Lampung?" kejar nyonya. "Kau jangan macem-macem di daerah orang kaya, nanti dilapor ke polisi mencemarkan nama baik, menciptakan kesan negatif kecakapan mereka!" 

"Ini bukan soal kecakapan, tapi kepedulian!" tegas Inem. "Kalau aku tak peduli, kumatikan kipasnya! Anak ibu dikerubuti nyamuk DBD!" "Jangan!" seru nyonya. "Biarkan dia tidur pakai kipas, terlanjur kau pasang! Tapi kenapa, di pelosok kabupaten yang tak pakai AC banyak jatuh korban DBD juga?" 

"Mungkin kurang orang yang peduli untuk jadi penganjur 3-M, menguras dan menutup tempat air agar nyamuk tak bertelur di situ, mengubur barang bekas agar tak berisi air hujan yang bisa dijadikan sarang nyamuk aedes aegepty!" jelas Inem. "Kebanyakan pejabat daerah hanya sibuk mengurus kepentingsn sendiri, tak peduli warganya butuh perhatian mereka!" 

"Kau asal tuding orang serba salah!" entak nyonya. "Padahal ketentuan 3-M berapa hari harus menguras bak saja kau tidak tahu!" "Usia telur nyamuk menjadi larva, menetas dan sampai jadi nyamuk dewasa siklusnya 7 atau 8 hari!" jelas Inem. "Jadi untuk memutus siklus pengembangbiakannya, bak harus dikuras lebih cepat dari siklus tersebut!" 

"Busyet! Ternyata kau lebih rajin baca koran daripada aku!" tukasa nyonya. "Lantas kenapa wabah DBD tak henti merebak?" "Karena para pejabat, di dalam dan luar kota sama tak serius kepeduliannya menghabisi DBD!" tegas Inem. "Kalau serius, nyamuk tak diberi peluang berbiak dan menyerang!" ***
Selanjutnya.....

Escargots BBQ buat Turis

SUDAH beberapa Lebaran Bang Toyib tak pulang kampung, keliling dunia jadi pelaut honorer! Sekali pulang ia terkejut, warung satai bekicot yang dulu menjamur dari kecamatan sampai ke dusun-dusun kini bak hilang ditelan bumi! "Kenapa bisa begitu?" ia tanya adiknya.

 "Mungkin saking rakusnya warga kita, semua warung satai bekicot kehabisan bahan baku!" jelas adik. "Bahkan setiap warung punya lahan peternakan bekicot sendiri, populasinya tak mampu mengejar lajunya kebutuhan!"

"Ah, kamu berlebihan melukiskan kerakusan!" tukas Bang Toyib. "Kalau betul permintaan tinggi, apa pun caranya pasokan pasti bisa digesa memenuhinya! Yang sebenarnya?" "Hangat-hangat tahi ayam!" jawab adik. "Ada orang buka satai bekicot laku, orang pun ramai-ramai buka satai bekicot! Ternyata ramainya sebentar karena orang cuma ingin tahu rasanya! Animo cepat turun, dan lenyap!"

"Artinya kalau buka khusus buat turis, pakai nama usaha asing semisal Escargots BBQ, itu istilah keren buat bekicot panggang, masih ada peluang?" ujar Bang Toyib. "Di luar negeri, terutama Prancis, menu escargots menentukan kemewahan sebuah restoran! Dan bekicot untuk dunia itu, salah satu sumbernya diekspor dari Natar, Lampung Selatan!"

"Tapi, kalau mau buka usaha Escargots BBQ di kampung ini, turis yang mau dilayani mana?" keluh adik. "Sebulan sekali saja belum tentu ada turis lewat di kampung kita!" "Maksudmu Escargots BBQ belum waktunya?" timpal Bang Toyib.

"Kalau begitu kita galakkan makan bekicot sebagai protein alternatif yang mudah didapat di sekitar rumah, pengganti daging sapi yang semakin tak terbeli kaum jelata sejak pembatasan impor sapi bakalan! Orang Prancis saja menjadikan bekicot makanan istimewa, kenapa kita tidak?"

"Ibu-ibu yang harus mengolahnya jijik pada bekicot, untuk memegangnya saja pun!" tegas adik. "Justru kebijakan politik mempermahal harga sumber utama protein rakyat itu yang seharusnya ditinjau kembali, apalagi kalau terbukti kebijakan politik itu ada udang di balik batunya terkait keuntungan amat besar dari impor daging sapi substitusinya!" "Kalau tak mengada-ada takkan tempua bersarang rendah!" tukas Bang Toyib. "Betapa, konsumsi daging sapi Indonesia masih 2 kg/kapita/tahun, dibanding Malaysia 47 kg, masak pasokannya seketika disumbat!" ***
Selanjutnya.....

Orang-Orang Bermulut Kecil!

SEMINGGU libur di rumah nenek, cucu merasa aneh. Dua batang pisang berbuah besar-besar dan bertandan panjang di samping rumah ditebang pada hari kedatangannya, sampai hari itu belum dihidangkan. Padahal, memeram pisang cuma tiga hari. Sementara yang terhidang setiap hari pisang sebesar jempol.

"Pisang yang kecil-kecil ini menanamnya di mana, Nek?" pancing cucu. "Di ladang orang!" jawab nenek. "Kita tak menanam pisang kecil-kecil, itu kita beli!" "Nenek menanam pisang, tapi pisang untuk makan sendiri malah beli?" tukas cucu.

"Betul!" jawab nenek. "Kita menanam pisang yang buahnya besar buat dijual pada orang-orang bermulut besar! Sedang kita rakyat kecil, bermulut kecil, makan pisang yang kecil!" "Apa beda orang-orang bermulut kecil dengan yang bermulut besar?" kejar cucu. 

"Beda pertama tempat tinggalnya, penggalas naik sepeda membawa pisang itu sampai lelah, disambung naik truk lagi, untuk mendapatkan tempat orang-orang bermulut cukup besar untuk makan pisang hasil tanaman nenek yang besar-besar itu!" jelas nenek. 

"Beda kedua, orang-orang yang bermulut besar bicaranya sering dibesar-besarkan, tak semuanya benar! Sedang orang-orang bermulut kecil, rakyat jelata, bicara secukupnya, yang benar saja!" "Tempat orang-orang bermulut besar itu jauh dari desa nenek!" timpal cucu. 

"Dari ciri-ciri yang nenek sebut mereka itu penguasa dan elite, terutama elite politik yang kebanyakan tinggal di kota! Bicara yang dibesar-besarkan orang-orang bermulut besar itu istilahnya retorika, Nek! Tapi itu hal yang biasa dan lazim saja bagi penguasa dan elite politik!" 

"Karena hal itu biasa dan lazim, aku juga terus menjaga pisang tanamanku buahnya tetap besar supaya selalu terpenuhi kebutuhan mulut mereka yang besar itu!" tegas nenek. "Untuk itu, aku harus kerja keras memindah anak pisang hingga yang tersisa tak boleh lebih dari satu batang! Lalu, setelah anak ke empat panen, bonggol rumpun itu harus dibongkar dan dibuat jadi tanaman baru lagi!" 

"Ternyata itu rahasia menjaga buah pisang nenek bisa selalu besar, rahasia orang-orang bermulut kecil menghasilkan buah karya yang besar!" simpul cucu. "Sedang orang-orang bermulut besar cuma konsumsi dan bicaranya saja yang dibesar-besarkan! Sebagian besar isi bicaranya kopong, bahkan dusta!" ***
Selanjutnya.....