Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Alihkan Subsidi ke Warga Miskin!


"KETIKA harga BBM dinaikkan, pada warga terdampak tak diberi penahan guncangan kenaikan harga kebutuhan seperti masa lalu, tapi langsung diberi dana pengalihan subsidi BBM ke 15,5 juta KK warga miskin penerima BLSM!" ujar Umar. "Jadi, warga terdampak menerima dua lapis dana dari APBN, yakni pengalihan subsidi BBM dan dana program pengentasan kemiskinan, sehingga kenaikan harga BBM menjadi sarana mengentaskan kemiskinan!" 

"Usul itu masuk akal!" sambut Amir. "Misal Rp20 triliun hasil pengurangan subsidi BBM digabung dengan dana pengentasan kemiskinan di APBN 2015 Rp135 triliun (Kompas, 18/8), terkumpul Rp155 triliun untuk 15,5 juta KK warga miskin penerima BLSM! Dibagi rata saja, setiap KK dapat Rp10 juta, dengan setiap KK terdiri 5 jiwa, per jiwa mendapat tambahan konsumsi Rp2 juta/tahun, jelas langsung meloloskan mereka dari jerat garis kemiskinan!"

"Itu kalau pengentasan warga dari garis kemiskinan dilakukan dengan cara sederhana, uangnya dibagi langsung mirip BLT dan BLSM, tak pakai lembaga-lembaga pengelola yang biaya manajemennya malah menghabiskan lebih besar dananya ketimbang yang dinikmati warga miskin sasarannya!" tegas Umar. 

"Itu pun, baru pengalihan Rp20 triliun dari perkiraan hampir Rp100 triliun hasil penghematan subsidi jika harga BBM dinaikkan 40%. Masih jauh lebih banyak sisanya yang bisa digunakan untuk membangun bidang lain, infrastruktur, fasilitas kesehatan!" 

"Artinya kalau ditangani dengan tepat, tak menelan biaya lebih besar dari yang sampai ke sasaran, kenaikan harga BBM justru bisa menjadi eskalator menaikkan warga keluar dari kemiskinan!" timpal Amir. 

"Jadi bukan dampak negatif, melainkan dampak positif kenaikan harga BBM!" "Di atas lapisan termiskin yang 77,5 juta jiwa (15,5 juta KK/rata-rata 5 jiwa) itu, atau mereka yang berpenghasilan di atas Rp11.500 sampai Rp23 ribu/hari/jiwa, antara 1 sampai 2 dolar AS/hari/jiwa, yang lebih terasa akibat kenaikan harga barang kebutuhan hidup!" tegas Umar. 

"Mereka harus ditolong dengan pengadaan pasar murah yang merata! Sedangkan kelompok kelas menengah berpenghasilan di atas 2 dolar AS/hari/jiwa, pemilik mayoritas mobil, relatif tahan kena dampak kenaikan harga BBM karena ekonominya mapan!" 

"Memang, banyak hal harus dilakukan untuk mengalihkan subsidi BBM ke warga miskin dan proyek yang amat dibutuhkan rakyat!" tukas Amir. "Sekalian mengurangi beban anak-cucu dari utang yang digali terus-menerus untuk subsidi BBM!" ***
Selanjutnya.....

Subsidi BBM, Utang Anak-Cucu!


"SUBSIDI bahan bakar minyak (BBM) setiap tahun mengakibatkan APBN defisit, hingga harus ditutupi dengan utang lewat lelang obligasi surat utang negara (SUN) yang bunganya bersaing di pasar!" ujar Umar. 

 "Akibat subsidi BBM yang berlarut, utang pemerintah selama SBY berkuasa naik nyaris dua kali lipat, dari Rp1.299,5 triliun pada 2004 menjadi Rp2.500,494 triliun pada Juli 2014. Dalam lima tahun terkakhir naiknya rata-rata nyaris Rp200 triliun/tahun, dari Rp1.590,66 pada 2009." (detik-finance, 22/8)

"Laju peningkatan utang itu menunjukkan makin lama justru makin berat anak-cucu bangsa menanggung beban utang akibat subsidi BBM!" tegas Amir. "Sekarang saja beban itu sudah tampak berat, sebab pembayaran utang pemerintah pada APBN sudah dua kali lipat dari utang baru! Bayar pokok utang dan bunga untuk Januari—Juni 2014 dari APBN sebesar Rp223,004 triliun, setahun sekitar dua kalinya!" 

"Kenaikan subsidi BBM dari waktu ke waktu semakin drastis pula!" timpal Umar. "Seperti pada APBN 2014 sebesar Rp210,7 triliun, pada APBNP 2014 dinaikkan jadi Rp246,5 triliun—naik 35,8 triliun! Jadi, untuk bayar utang dan subsidi BBM 2014 sekitar Rp650 triliun, sehingga dana untuk pembangunan yang penting bagi rakyat, seperti infrastruktur, semakin terbatas!" 

"Padahal, 70% penikmat subsidi BBM itu kelas menengah ke atas, pemilik mobil umumnya!" tegas Amir. "Jadi, saatnya tiba untuk mengoreksi kesalahan menumpuk utang untuk dibebankan pada anak-cucu itu!

 Perlu cara lain menyalurkan subsidi agar bisa benar-benar diterima mayoritas rakyat miskin yang berhak." "Subsidi BBM itu melanjutkan kebijakan Orde Baru, yang pada era itu produksi BBM kita 1,5 juta barel/hari dengan konsumsi 800 ribu barel/hari, sisanya diekspor dengan harga antara 15—20 dolar AS/barel!" tutur Umar. 

 "Sekarang, produksi BBM kita 800 ribu barel/hari, konsumsinya 1,5 juta barel/hari, sehingga harus impor 700 ribu barel/hari dengan harga 90—105 dolar AS/barel atau Rp11.500/liter—jadi subsidinya Rp5.000/liter!" 

"Dari bandingan kebijakan antarwaktu tampak tak wajar lagi kita menerapkan subsidi BBM yang menjadi beban amat berat APBN, sekaligus beban berat anak-cucu kita membayar utang yang kita gunakan untuk foya-foya kelas menengah ke atas!" timpal Amir. 

 "Kemauan meninjau kembali subsidi BBM menjadi cerminan sikap bijaksana para pemimpin nasional dewasa ini! Bijaksana, karena tidak membebankan biaya foya-foya kakek-nenek menjadi utang anak-cucunya!" ***
Selanjutnya.....

Kelibut Pasokan BBM Subsidi! (2)


"SETELAH Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya memastikan pasokan BBM bersubsidi sebatas kuota 46 juta kl, Menko Perekonomian Chairul Tanjung, Rabu (27/8) petang, menjamin pasokan BBM bersubsidi normal kembali!" ujar Umar. "Jaminan ia berikan dengan menyebut itu hasil rapat dengan Wakil Presiden pada Selasa." (Kompas.com, 27/8) 

 "Berarti rilis Pertamina dari Vice President Ali Mudakir yang diperkuat Senior Vice President Suhartoko dan pernyataan Hanung Budya itu solid, sebuah kepastian, Pertamina akan memasok sepenuhnya kebutuhan terukur semua SPBU—tak ada lagi pembatasan—sampai kuota 46 juta kl habis!" tegas Amir. "Perkiraan awal Pertamina melakukan pembatasan agar kuota bertahan sampai akhir tahun. Kalau tanpa pembatasan, BBM bersubsidi akan habis pada November!"

Skenario hasil rapat di Kantor Wapres Selasa itu berarti menciptakan akhir yang baik bagi pemerintahan SBY dengan memasok sesuai kebutuhan semua SPBU!" timpal Umar. "Sampai 20 Oktober 2014 kuota 46 juta kl itu masih cukup!

 Kuota itu baru akan habis setelah pemerintahan baru, sekaligus menjadi urusan Jokowi-JK untuk mengatasinya! Ini konform dengan pernyataan Staf Ahli Presiden Firmanzah di ambang pertemuan SBY-Jokowi di Bali, SBY takkan menaikkan harga BBM di sisa masa tugasnya!" 

 "Artinya, kalau terjadi kekacauan akibat kuota BBM bersubsidi habis, terjadi dalam pemerintahan Jokowi-JK!" tegas Amir. "Saat kuota habis, kekuatan Jokowi-JK yang hanya 37% di parlemen tak mampu merevisi kuota, apalagi inilah kesempatan koalisi mayoritas unjuk gigi membuktikan Jokowi tak mampu jadi presiden, hingga tak setetes lagi pun BBM bersubsidi!" 

 "Ketegangan dalam masyarakat tak bisa dihindari! Tapi mereda dengan Pertamina menjual solar dan premium nonsubsidi dengan harga Rp9.000-an/liter!" tukas Umar. "Rakyat maklum itu terjadi karena Jokowi diganjal di DPR, hingga membeli BBM Rp9.000-an per liter asal ada masih lebih baih baik, daripada langka mencari Rp20 ribu/liter juga sulit!" 

 "Di balik proses politik di parlemen yang menyusahkan rakyat itu, terjadi blessing in disguise—keberuntungan terselubung—bagi Jokowi-JK!" timpal Amir. "Tanpa Jokowi-JK menaikkan harga BBM pun rakyat jadi terbiasa beli BBM nonsubsidi! 

Kondisi yang matang buat menghapus subsidi BBM, dan anggarannya pun bisa dialihkan untuk infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain yang mendesak bagi kesejahteraan rakyat!" *** (Habis)
Selanjutnya.....

Kelibut Pasokan BBM Bersubsidi!


"SEMESTINYA mulai Selasa malam (26-8) Pertamina menormalisasi pasokan BBM bersubsidi di semua SPBU, mengatasi kelangkaan dan antrean di SPBU Jawa yang dipicu kepanikan akibat pembatasan pasokan sejak 18 Agustus," ujar Umar. "Kebijakan Pertamina itu sesuai rilis Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mudakir, diperkuat Senior Vice President Pertamina Suhartoko, itu sesuai hasil rapat di Kantor Wakil Presiden," (detik.com, 26/8) 

 "Namun, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya, Rabu siang (27/8), memberi keterangan berbeda, Pertamina wajib memenuhi UU APBNP 2014, mendistribusikan BBM bersubsidi tak lebih dari kuota 46 juta kiloliter!" timpal Amir. "Tampak ada kelibut di balik pembatasan distribusi BBM bersubsidi! Terkesan ada tarik-tarikan kepentingan, sementara kondisi krisis pasokan makin genting, di Temanggung premium Rp15 ribu/liter!"

Semula diperkirakan ada isyarat dari hasil rapat di Kantor Wapres itu untuk adanya revisi kuota. Kesepakatan revisi kuota hal lazim saja, hingga Pertamina bisa memenuhi pasokan semua SPBU terukur sesuai kebutuhannya!" tukas Umar. 

"Pertimbangannya, pemerintah harus mengambil kebijakan yang sudah lazim karena kepanikan masyarakat yang sempat terpicu di Jawa itu kalau dibiarkan bisa semakin buruk, menyulut kekacauan transportasi dan distribusi yang mengakibatkan gejolak ekonomi!" 

 "Kalau hal seburuk itu sampai terjadi, era pemerintahan SBY yang tersisa 50-an hari bisa mengalami akhir yang buruk—su'ul khotimah!" tegas Amir. "Akhir buruk itu tentunya dengan segala daya upaya harus dihindarkan! Apalagi kalau untuk menghindarinya cukup hanya dengan melakukan hal yang lazim!" 

 "Jadi tak berlebihan jika rapat di Kantor Wapres itu juga berusaha mewujudkan agar pemerintahan SBY berakhir baik, atau khusnul khotimah! Betapa, usaha ini telah ditempuh dengan menunda terus kenaikan harga BBM bersubsidi sehingga hal ini juga tak bisa ditawar dalam proses transisi ke Jokowi-JK!" timpal Umar. 

"Maksudnya, andaipun setuju usul Jokowi-JK menaikkan harga BBM subsidi sebelum pelantikan presiden baru, SBY akan membuat ketentuan berlakunya setelah pemerintahan baru!" "Wajar SBY tak mau ambil risiko kenaikan harga BBM merusak citra akhir rezimnya!" tegas Amir. "Tapi kenapa tiba-tiba ada angin lain yang mengubah skenario itu, entahlah! Mungkin ada kelibut lain yang menuntut penyelesaian!" ***
Selanjutnya.....

Saran Stiglitz untuk Indonesia!


"PERAIH Nobel ekonomi 2001 Joseph Stiglitz menyarankan negara berkembang termasuk Indonesia bersiap menghadapi krisis ekonomi global mendatang akibat orientasi kebijakan negara-negara maju hanya kepentingan domestiknya semata!" ujar Umar. "Itu terbukti dekade terakhir yang berakibat buruk pada perekonomian dunia!" (Antara, 25/8) 

 "Stiglitz menyampaikan itu lewat Muslimin Anwar, wakil Indonesia dalam pertemuan ekonom sedunia bersama para pemenang Nobel di Jerman," timpal Amir. "Contohnya kasus kredit macet perumahan di AS 2008 dan krisis keuangan di Eropa sejak 2010 yang memicu krisis global! Tegas Stiglitz, negara maju tak boleh lagi hanya memikirkan kepentingan domestiknya dalam mengambil kebijakan ekonomi!"

"Sependapat dengan Stiglitz, menurut Muslimin Anwar, Indonesia harus mengerjakan reformasi struktural dengan meningkatkan daya saing ekspor dan kemandirian ekonomi guna membawa defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat," tegas Umar. 

"Untuk itu Indonesia perlu menggunakan teknik pengelolaan neraca modal dan finansial—capital control management technique." "Dengan capital control yang terkelola baik, negara berkembang yang memiliki cadangan devisa besar akan berada dalam posisi menguntungkan dalam menghadapi berbagai tekanan ekonomi global!" imbuh Amir. 

"Stiglitz tekankan pentingnya kerja sama moneter global karena kebijakan negara maju berpengaruh mendunia!" "Masalahnya kembali ke Indonesia, harus melakukan reformasi struktural, mengurangi laju impor yang tak berhasil dilakukan satu dekade terakhir!" tukas Umar, 

"Sebaliknya, Indonesia semakin terbenam industri substitusi impor, yang cuma merakit komponen jadi dari luar negeri baik yang terurai (CKD) maupun tinggal pasang antarbagian (SKD) seperti produk elektronik! 

Sementara industri manufaktur yang mengolah dari bahan mentah lokal sampai barang jadi perannya justru merosot dalam PDB, dari 28,58% pada 2004 jadi 23,69% pada 2013." "Merosotnya peran manufaktur berakibat ketertinggalan Indonesia dari tetangga dalam hilirisasi industri pengolahan sumber daya alam (SDA) dan pertanian—akibat terlalu jor-joran ekspor komoditas mentah!" ujar Amir. 

"Dipaksa setelah terlambat jauh, malah berakibat stagnasi ekspor—defisit perdagangan dan neraca berjalan jadi laten! Perlu waktu lagi untuk memulai reformasi struktural di industri, hingga semakin kalah bersaing!" ***
Selanjutnya.....

Keharusan Up Grading Lurah!



"UU Nomor 6/2014 tentang Desa yang disahkan 15 Januari 2014 meniscayakan setiap lurah atau kepala desa, kampung, nagari, peratin, pekon, beserta aparat dan masyarakat desa telah memahaminya!" ujar Umar. "Padahal, isi UU yang terdiri dari XVI bab dan 122 pasal serta banyak ayat pada tiap pasalnya itu tidaklah sederhana!

 Karena itu, jelas jadi keharusan melakukan up grading para pemimpin desa itu agar UU berjalan efektif dan membawa maslahat kepada warganya!" "Up grading atau pendidikan kilat tentang UU Desa itu lebih diperlukan lagi untuk kemampuannya mengelola keuangan desa, dari membuat rancangan anggaran desa sampai administrasi pelaksanaannya yang harus akuntabel!" timpal Amir.

"Hal ini penting karena tanpa kemampuan mengelola anggaran desa secara baik, bahkan Mendagri Gamawan Fauzi sering khawatir banyak kepala desa bakal masuk penjara akibat kasus korupsi—padahal akibat tak menguasai ketentuan UU!" "Soalnya mulai APBN 2015, anggaran buat setiap desa menurut UU bisa mencapai lebih Rp1 miliar! 

 Bahkan, Jokowi-JK janji lebih Rp1 miliar. Atau paling tidak yang sudah disiapkan SBY dalam RAPBN 2015 sekitar Rp550 juta/desa!" tegas Umar. "Tanpa pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan keuangan desa sesuai UU, bisa seperti dikhawatirkan Mendagri!" 

"Belum lagi banyak hal baru pada UU Desa yang harus dipahami!" timpal Amir. "Contohnya Pasal 3, 
'Pengaturan desa berasaskan: 
 a. rekognisi. 
 b. subsidiaritas. 
 c. keberagaman. 
 d. kebersamaan. 
 e. kegotongroyongan. 
 f. kekeluargaan. 
 g. musyawarah. 
 h. demokrasi. 
 i. kemandirian. 
 j. partisipasi. 
 k. kesetaraan. 
 l. pemberdayaan, dan 
 m. keberlanjutan.' 

 Rekognisi dan subsidiaritas saja entah apa artinya, lantas apakah asas-asas lainnya artinya seperti yang dipahami kepala desa selama ini—asas kekeluargaan misalnya, berarti keluarga kerabatnya yang mengisi semua jabatan perangkat desa?" 

 "Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa memang kewenangan kepala desa, yang juga ada di UU baru ini Pasal 26 huruf b," tukas Umar. "Artinya, berharap perubahan total dari hal negatif dengan UU ini berlebihan! 

Apalagi makin besar dana desa yang dikelola, justru orang-orang paling dipercaya yang dipilih kepala desa! Dan biasa, itu kerabatnya! Karena itu, up grading kepala desa untuk penguasaan UU Desa itu amat penting agar meski nepotisme tak bisa dihindari, tujuan anggaran desa buat kesejahteraan rakyat bisa diprioritaskan!" ***
Selanjutnya.....

Membalik Arah Deindustrialisasi!


"KETIKA Jokowi menetapkan Rini Sumarno sebagai pimpinan kantor transisi, sedang Anies Baswedan cuma jadi deputi, banyak orang mencari rasionalitas pilihan Jokowi itu!" ujar Umar. "Jawabnya di data BPS; selama sedekade SBY berkuasa terjadi deindustrialisasi, sumbangan industri manufaktur pada PDB tahun 2004 sebesar 28,34%, pada 2013 turun jadi 23,69%!" 

 "Tahun 2004 itu akhir era Megawati di mana Rini Sumarno menjabat menterii Indag! Sebelum diangkat jadi menteri, Rini CEO di Astra Internasional, rumpun usaha industri terkemuka di Asia!" timpal Amir. "Dengan itu bisa ditebak, pilihan Jokowi pada Rini Sumarno untuk membalik arah deindustrialisasi kembali ke pertumbuhan yang sehat, sebagai andalan PDB!"

"Manufaktur itu industri pengolahan yang memproses dengan mesin bahan mentah sampai jadi produk siap pajang di toko!" tutur Umar. "Manufaktur memberi nilai tambah yang signifikan bagi komoditas lokal baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Lebih dari itu, industri manufaktur padat karya, menyerap banyak pekerja!" 

"Era SBY juga sebenarnya menargetkan peningkatan sumbangan manufaktur jadi PDB 40%, tapi gagal!" tukas Amir. "Alasan utamanya karena krisis ekonomi global! Tapi China pada saat yang sama mampu meningatkan peran manufaktur hingga mencetak pertumbuhan ekonomi di atas 10% serahun dalam dekade lalu! 

Sedang Indonesia, kementerian perindustrian awal 2013 menargetkan pertumbuhan industri manufaktur 7,14%, kemudian direvisi jadi 6,5%, realisasinya 5,56%." "Untuk tumbuh lebih 6%, melampaui prestasi SBY selama ini, Jokowi harus mampu memompa pertumbuhan sektor manufaktur di atas 10% per tahun!" timpal Umar. 

"Dengan kelas menengah Indonesia berpendapatan di atas 2 dolar AS/hari menurut Bank Dunia di atas 50% dari penduduk, pasar domestik bisa jadi andalan produk manufaktur sebagai substitusi penurunan ekspor akibat krisis pasar internasional!" 

 "Tapi proses deindustrialisasi juga dipicu oleh faktor-faktor dalam negeri yang tak kunjung bisa diatasi pemerintah!" tegas Amir. "Bank Dunia lewat siaran persnya 10 -10-2012 telah mengingatkan penyebab deindustrialisasi, yakni biaya transportasi dan logistik tinggi, sulitnya mengakses pinjaman bank, kurangnya transparansi dan kepantian hukum, diiringi apresiasi nilai rupiah, serta naiknya upah buruh. Artinya banyak masalah yang harus diatasi untuk membalik arah manufaktur dari deindustrialisasi jadi andalan PDB!" ***
Selanjutnya.....

MK Hormati Kejujuran Rakyat!


"PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta yang menuduh penyelenggara Pilpres 2014 melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) menunjukkan MK menghormati kejujuran rakyat sebagai penyelenggara pilpres di TPS seluruh Tanah Air!" ujar Umar. 

"TSM adalah suatu kecurangan yang dilakukan terencana dan serentak di banyak TPS seantero negeri." "Tuduhan itu memfitnah dan menghina jutaan rakyat yang telah bekerja dengan baik, bersungguh-sungguh secara jujur dan adil di TPS seluruh Tanah Air!" tegas Amir. "Putusan MK itu dengan demikian merehabilitasi harkat, martabat, dan harga diri rakyat dari penistaan lewat tuduhan tersebut!"

"Pekerjaan petugas di TPS selain diawasi panitia pengawas (Panwas) dan saksi-saksi dari peserta pemilu, juga diawasi masyarakat setempat dan sukarelawan LSM!" timpal Umar. "Jika ada hal yang kurang pas sedikit saja, warga dan apalagi saksi yang melihatnya segera bereaksi! Kalau reaksi itu tak digubris, bisa ribut! 

Dalam Pilpres 2014 keributan di TPS tak terdengar di seluruh Tanah Air! Malah, sampai selesai penghitungan suara dan rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota, prosesnya rukun dan damai dengan saksi kedua pihak menandatangani hasilnya!" 

 "Gejala salah satu pihak mulai manuver terlihat setelah hasil rekap dari semua kabupaten/kota memberi sinyal siapa yang bakal menang!" tegas Amir. "Maka, pada tahap rekap tingkat provinsi pun saksi dari salah satu pihak mulai ada yang menolak untuk tanda tangan! Bahkan pada tingkat nasional, setelah usai rekap 29 provinsi baru muncul penolakan!" 

 "Semua itu menunjukkan rakyat di level terbawah sebagai petugas penyelenggara pilpres di TPS telah bekerja dengan baik, jujur, dan adil!" sambut Umar. "Namun memang, tidaklah secara keseluruhan bisa disebut sempurna, bisa saja selalu ada kekurangan! Tapi kekurangan itu tidaklah disengaja, apalagi terencana! 

Lebih mungkin terjadi oleh keterbatasan, antara lain pada kapasitas masyarakatnya, seperti di Papua dan Nias Selatan!" "Tapi justru kekurangan-kekurangan akibat keterbatasan masyarakat daerah tertentu itulah yang dieksploitasi sebagai dasar tuduhan TSM yang digebyah-uyah di seantero Tanah Air!" tegas Amir. 

"Karena itu, alangkah bijaksana putusan MK yang selain merehabilitasi harkat dan martabat rakyat petugas TPS, juga mengembalikan Pilpres 2014 yang mengunggah data C1 dan lain-lain itu sebagai pemilu terbaik dan paling transparan!" ***
Selanjutnya.....

Mengatasi Proses Pemiskinan!


"PROSES pemiskinan di Indonesia ternyata terus berlangsung!" ujar Umar, "Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah warga miskin di Indonesia Maret 2013 sebanyak 28,17 juta, pada Maret 2014 menjadi 28,28 juta! Berarti selama satu tahun itu terjadi proses pemiskinan terhadap 110 ribu orang!" 

"Apa penyebab orang sebanyak itu jatuh ke bawah garis kemiskinan?" tukas Amir. "Padahal, ratusan triliun APBN beberapa tahun terakhir ini dicurahkan untuk program mengatasi kemiskinan, seperti di APBN 2014 sebesar Rp134,5 triliun dan 2015 sebesar Rp135 triliun, tapi malah proses pemiskinan yang melaju?"

"Ironisnya, semakin berlimpah dana APBN dicurahkan, semakin tinggi inflasi hingga semakin megap warga miskin memenuhi kebutuhan hidupnya!" jawab Umar. "Pada 2013 itu tingkat inflasi nasional 8,38%, tapi garis kemiskinan meningkat lebih tinggi dari inflasi umum, yakni 11,45%—dari konsumsi Rp271.626 pada Maret 2013 menjadi Rp302,732/jiwa/bulan!" 

"Berarti inflasi lebih mencekik orang miskin ketimbang angkanya," sela Amir. "Lebih parah lagi, cekikan inflasi itu terkait komoditas makanan, yang perannya pada garis kemiskinan 73,54%!" tegas Umar. "Akibatnya, bukan saja warga yang jatuh ke jurang kemiskinan bertambah, tapi juga kemampuan warga miskin memenuhi kebutuhan pangannya semakin berat! 

Tak mustahil kuantitas dan kualitas konsumsi makanannya dikurangi sehingga ancaman malanutrisi—gizi buruk—makin serius!" "Berarti menekan inflasi hal penting untuk mengatasi kemiskinan!" tukas Amir. "Menekan angka inflasi jelas hal penting mengatasi kemiskinan!" sambut Umar. 

"Tapi jauh lebih penting lagi memperbaiki salah urus (mismanajemen)-nya hingga dana APBN beratus triliun untuk program mengatasi kemiskinan salah sasaran! Bukti salah sasaran itu tampak dari proses pemiskinan yang justru melaju!" "Untuk mismanajemen, jika pemerintah baru mengganti manajemen itu, masalah selesai dong!" tukas Amir. 

"Tak semudah itu!" bantah Umar. "Ganti manajemen saja tak dijamin beres karena biaya manajemen itulah pokok masalah mengatasi kemiskinan! Lebih tepat, justru manajemennya dihapus! Dana kemiskinan langsung disalurkan ke warga miskin sehingga mereka bisa berusaha sendiri keluar dari garis kemiskinan!" "Itu lebih baik daripada dananya salah sasaran, tak menyentuh mustahiknya!" timpal Amir. "Pantas, yang laju malah proses pemiskinan!" ***
Selanjutnya.....

Demokrasi, Kini Milik Siapa? (2)


"DEMOKRASI era Pilpres 2014 menjadi milik rakyat tak lepas dari menjamurnya sukarelawan capres-cawapres di luar koalisi dan partai, baik di kubu Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK!" ujar Umar. "Ribuan kelompok sukarelawan dan perorangan hadir menggalang dukungan dari dunia maya hingga di tengah masyarakat! Mereka itu para profesional, pesohor, sampai warga dengan inisiatif dan biaya sendiri!" "Antarsukarelawan bersaing menarik pemilih!" timpal Amir. 

"Para artis kubu Jokowi-JK mencipta lagu kampanye Salam Dua Jari, kubu Prabowo-Hatta lagu Garuda di Dadaku! Artis kedua kubu show keliling dari kota ke kota atas biaya dan prakarsa sendiri! Bahkan Konser Salam Dua Jari di Stadion Gelora Bung Karno diakui berhasil membuat rebound suara Jokowi-JK!"

"Munculnya sukarelawan yang masif menjadi fenomena baru dalam sejarah pemilu di Indonesia!" tegas Umar. "Para sukarelawan tumbuh tanpa komando terpusat, bergerak secara mandiri dan dinamis. Para sukarelawan itu rakyat yang dengan kesadaran penuh melibatkan diri dalam proses politik. 

Mereka mengajak untuk memilih dengan menggunakan berbagai sarana, dengan tenaga dan bahkan dana sendiri," (Kompas.com, 18/8) "Kompas.com merujuk teori demokratisasi Barrington Moore, munculnya sukarelawan dalam pilpres itu berarti demokrasi di Indonesia sudah semakin matang," kutip Amir. 

"Moore dalam buku The Social Origin of Dictatoeship and Democracy menyebut banyaknya kelas menengah yang berperan dalam politik pertanda kualitas demokrasi di sebuah negara telah meningkat." "Setelah demokrasi menjadi milik rakyat dengan kualitas sedemikian baik, tak ayal memantapkan keyakinan rakyat pada sistem demokrasi yang sempat jenuh oleh tingkah elite politik korup yang mau senangnya sendiri saja!" tukas Umar. 

"Hasil survei SMRC pasca-pilpres (21—26 Juli) mencatat, 74,5% responden ingin demokrasi tetap terawat di negeri ini. Sebanyak 75,7% responden menyatakan demokrasi cocok untuk Indonesia! Dari 57,3% responden yang meyakini demokrasi adalah sistem politik terbaik yang kita miliki, 59% pemilih Prabowo meyakini hal itu!" (Kompas.com, 18/4) 

"Itu pertanda demokrasi sebagai milik rakyat bukan cuma rakyat pendukung Jokowi-JK, melainkan juga pendukung Prabowo-Hatta!" sambut Amir. "Jadi, usaha elite kubu Prabowo merenggut demokrasi dari rakyat lewat segala cara, kontraproduktif bagi partai koalisinya—tarik tambang elite dengan rakyat, kalah-menang tetap memilah elite dari rakyat!" *** (Habis)
Selanjutnya.....

Demokrasi, Kini Milik Siapa?


"MESKI demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, praktiknya tak selalu benar-benar rakyat yang berdaulat!" ujar Imar. "Demokrasi bisa pseudomatis, dibuat hanya seolah-olah, seperti era Orde Baru, penguasa otoriter yang berkuasa mutlak, sedang demokrasi sekadar embel-embel! Itu karena sistem dan proses 'demokrasi' sepenuhnya dalam kontrol penguasa!" "Lewat reformasi 1998 mahasiswa berhasil merebut demokrasi dan mengembalikan kedaulatan rakyat!" timpal Amir. 

"Tapi, itu hanya sampai 1999, ketika lewat Sidang Umum MPR demokrasi 'dibajak' oleh elite politik—semua proses demokrasi lewat politikus! Calon presiden dan kepala daerah hanya boleh dari partai politik, seleksi pimpinan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan juga lewat politikus di DPR, dari Hakim Agung, Kapolri, Jaksa Agung, pimpinan BI, sampai KPK dan lain-lain!"

"Demokrasi milik elite politik ini bertahan hingga Pemilu Presiden 2014, saat suara rakyat lewat koalisi minoritas merebut 53,15% suara, mengalahkan elite mayoritas pada 46,85%—padahal koalisi mayoritas ini meraih 62% suara di pileg!" tegas Umar. 

"Tentu koalisi elite mayoritas yang di atas kertas suaranya unggul itu 'kebakaran jenggot'! Mereka tuding KPU curang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) lalu menggugatnya ke MK, DKPP, Mabes Polri, PTUN, PN Jakarta Pusat, Ombudsman, membuat Pansus Pilpres di DPR! Plus, memprovokasi massa di MK dengan yel; Tangkap Ketua KPU!" 

 "Semua itu ekspresi rasa kehilangan yang mendalam elite mayoritas atas demokrasi, milik amat berharga yang mereka timang-timang sebagai pemuas kepentingan mengelola uang rakyat!" tukas Amir. "Kembalinya demokrasi pada kedaulatan rakyat bisa mengurangi keleluasaan elite mayoritas dalam mengelola uang rakyat! 

Di lain sisi, kepedihan rakyat tertindas dalam kemelaratan bisa berkurang!" "Setidaknya rakyat bisa mengkritisi hal-hal yang kurang beres dalam pengelolaan dana terkait kepentingan rakyat, seperti dana kemiskinan yang pada 2013 mencapai sekitar Rp120 triliun, tapi warga miskin justru bertambah dari 28,07 juta orang Maret 2013, jadi 28,55 juta orang pada September 2013," timpal Umar. 

"Entah jadi berapa pula orang miskin September 2014, dari 28,28 juta orang Maret 2014, dengan dana kemiskinan 2014 sebesar Rp134,5 triliun! Jika kontrol rakyat lebih efektif, ke depan bisa lebih baik!" "Tapi kalau segala usaha elite mayoritas kembali membajak demokrasi berhasil," tukas Amir. "Warga miskin bisa tergilas lagi di bawah garis kemiskinan!"***
Selanjutnya.....

Belanja Produktif Justru Turun!


"BELANJA produktif pada RAPBN 2015 yang terdiri dari infrastruktur, kesehatan, dan kemiskinan ditengarai turun!" ujar Umar. "Dalam RAPBN yang diserahkan Presiden ke DPR 15 Agustus, belanja infrastruktur yang 2014 sebesar Rp206,6 triliun, 2015 menjadi hanya Rp169 triliun! Kesehatan dari Rp70,5 triliun turun jadi Rp68 triliun. Sedang untuk kemiskinan dari Rp134,5 triliun jadi Rp135 triliun, dengan inflasi 5,5% nilai riilnya turun!" (Kompas, 18/8) "Sedangkan untuk anggaran rutin naik signifikan!" tukas Amir. 

"Subsidi BBM dari 2014 Rp246,4 triliun, 2015 naik jadi Rp291 triliun. Belanja pegawai dari Rp262,9 triliun jadi Rp323 triliun. Transfer daerah, naik dari Rp596,5 triliun menjadi Rp630,9 triliun! Juga bayar bunga utang naik nyaris Rp20 triliun, dari Rp134,5 triliun menjadi Rp154 triliun! Itu belum ditambah bayar utang pokok, pada 2014 total nyaris Rp400 triliun!"

"Terkesan karena pemerintah sekarang cuma menyusun yang bakal menjalankan pemerintahan baru, RAPBN 2015 tidak menjaga kesinambungan program, yang sepanjang dua periode kepresidenan selalu menaikkan signifikan belanja ketiga sektor produktif, infrastruktur, kesehatan, dan kemiskinan!" timpal Umar. 

"Paradoksnya, Ketua Harian Partai Demokrat M. Syarief Hasan menyatakan akan mendukung pemerintahan baru jika melanjutkan program Presiden SBY. Nyatanya, mereka menyiapkan arah RAPBN berbeda!" "Begitulah politik, tak selalu sesuai kata dengan perbuatan!" tukas Amir. "Namun, seperti apa pun itu, pemerintahan baru dituntut untuk menyesuaikan dengan gaya kepemimpinan baru!" 

"Aksentuasinya yang membedakan 'rasa' pemerintahan baru dari yang lama! Misal, untuk menurunkan belanja pegawai dilakukan reformasi birokrasi! Subsidi BBM diturunkan dengan kebijakan harga!" timpal Umar. 

"Transfer daerah tak perlu dikurangi, tapi optimalisasi manfaatnya—bersihkan segala pemborosan dan kebocoran anggaran di daerah! Dengan kepemimpinan nasional yang kuat memberi teladan pola hidup sederhana, pengaruhnya ke bawah pasti besar!" 

"Lebih dari itu, dengan kepemimpinan nasional yang ideal ada dua hal bisa dioptimalkan di luar anggaran negara untuk memajukan pembangunan dan ekonomi! Yakni, investasi dan partisipasi!" tegas Amir. 

"Bahkan lewat partisipasi yang difasilitasi, warga bisa mengentaskan dirinya dari garis kemiskinan! Demikian pula investasi jika difasilitasi, dipermudah! Faktor pemimpin bisa mengubah sektor produktif yang diturunkan belanjanya, kinerjanya justru meningkat!" ***
Selanjutnya.....

Merawat Kemerdekaan Bangsa!


"KEMERDEKAAN adalah milik berharga bagi bangsa! Sebagai milik berharga, seperti rumah dan mobil, harus dirawat. Demikian pula kemerdekaan," ujar Umar. "Kalau merawat rumah dan mobil perlu biaya, waktu dan kesediaan berkorban lain, sama halnya dengan kemerdekaan! Bahkan, untuk merawat kemerdekaan, dituntut pengorbanan lebih besar setara arti kemerdekaan bagi bangsa!" 

"Merawat itu berarti menjaga agar tetap baik, lalu diupayakan tumbuh-kembang sehingga kualitasnya makin baik bagi kehidupan berbangsa!" timpal Amir. "Ada banyak contoh cara warga merawat kemerdekaan bangsa. Masyarakat Aceh, misalnya, di awal kemerdekaan gotong royong menyumbangkan harta miliknya dari gelang dan kalung emas sampai hasil jual ternaknya untuk membeli pesawat terbang pertama milik RI."

"Orang Lampung lain lagi," tegas Umar. "Seperti di Tulangbawang 1970-an, tokoh-tokoh adat empat marga menyerahkan tanah ulayat mereka kepada pemerintah untuk mencukupkan kebutuhan lahan transmigrasi! 

Masyarakat kala itu memilih menyerahkan tanah ulayat mereka agar kawasan hutan lindung di sekitar mereka yang terdaftar dengan Register 45, 46, dan 47, bisa tetap lestari!" "Jadi, tidak semua lahan transmigrasi di Tulangbawang tanah negara bekas hutan produksi?" kejar Amir. 

"Bisa dicek, kawasan hutan lindung yang disebut dengan register-register itu terpisah dari lahan transmigrasi!" tegas Umar. "Begitulah ekspresi masyarakat adat Tulangbawang merawat kemerdekaan bangsa ini, berbagi tanah miliknya yang paling berharga kepada saudara sebangsa! 

Tanah ulayat itu diserahkan secara ikhlas tanpa imbalan ganti rugi apa pun yang bersifat transaksional!" "Demikian luhurnya tindakan masyarakat negeri dalam integrasi ke NKRI!" sambut Amir. 

"Karena itu, alangkah naifnya elite politik kini yang mengelola kehidupan bernegara-bangsa secara transaksional, semisal menyewakan perahu untuk calon di pemilukada dengan tarif aduhai, juga untuk meraih suara di pemilu!" 

 "Lebih parah lagi, elite politik terkesan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan semata, seolah tidak peduli dengan perpecahan masyarakat akibat tindakannya!" tukas Umar. "Boro-boro merawat persatuan dan kesatuan seperti dilakukan masyarakat daerah, elite politik bahkan gemar memprovokasi, menyulut permusuhan lewat fitnah demi meraih kekuasaan!" ***
Selanjutnya.....

Merdeka itu Prinsip Ideal!


"MERDEKA itu prinsip ideal!" ujar Umar. "Sebagai prinsip harus ditegakkan sesuai esensinya sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing mengikuti arah angin seperti pucuk eru! Sementara sebagai ideal, semua esensinya harus diwujudkan untuk memaknai atau merealisasikan arti kemerdekaan bagi kehidupan bangsa!" 

 "Prinsip kemerdekaan yang harus kita tegakkan tentu sikap kokoh berpegang pada konstitusi yang mengaktualisasikan pandangan hidup bangsa dalam mencapai cita-cita kemerdekaan!" timpal Amir. "Jadi tidak seperti selama ini, saat angin sosialis berhembus keras, haluan bangsa didorong ke arahnya! Kemudian, ketika pengaruh neoliberalisme kuat, bangsa pun dibawa condong ke sana!"

"Kecenderungan demikian mengesankan seolah bangsanya tidak punya prinsip dan pendirian! Atau, tak mampu menegakkan prinsip dan pendirian ideal miliknya!" tukas Umar. "Untuk kembali 'ke jalan yang benar' dari pucuk eru itu, tentu dengan konsolidasi sikap ke konstitusi!" 

"Dalam konsolidasi sikap itu disimak ulang implementasi esensi ideal konstitusi!" timpal Amir. "Dalam ekonomi, misalnya, membandingkan kondisi terakhir dengan Pasal 33 UUD 1945, apakah pengelolaan kekayaan alam sudah benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, lalu rakyat itu rakyat mana—apakah rakyat sendiri atau rakyat negeri lain! 

Kemudian, apakah ekonomi kerakyatan telah menjadi mainstream (arus utama) perekonomian nasional sesuai garis konstitusi, bukan lagi sekadar embel-embel!" "Untuk kasus sektor pertambangan itu, langkah pemerintah menegosiasi ulang banyak perjanjian kerja sama dan bagi hasil dengan pihak asing layak dihargai, sebagai usaha menciptakan kondisi yang lebih adil bagi kepentingan nasional!" tegas Amir. 

"Kalau ada perusahaan yang keberatan dengan kebijakan penerapan undan-undang, seperti Newmont yang menggugat ke Arbitrase Internasional, hadapi dengan sikap tegas demi menegakkan kedaulatan negara sebagai prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar!" 

 "Dalam kehidupan berbangsa tentu banyak dimensi yang secara esensial harus disimak ulang dalam penyesuaian pada prinsip ideal kemerdekaan bangsa!" tukas Amir. "Semua itu harus dilakukan pemerintahan baru, agar prinsip ideal kemerdekaan bisa diimplementasikan dalam kehidupan bangsa! Setidaknya makin dekat dengan idealnya, tidak larut jadi pucuk eru—terombang-ambing ikut arah angin!" ***
Selanjutnya.....

Ikhlas, Nilai Juang Pahlawan!


http://lampost.co/berita/ikhlas-nilai-juang-pahlawan"PENGORBANAN dengan tulus dan ikhlas untuk kemerdekaan bangsa dan negara, itulah nilai juang pahlawan kemerdekaan kita!" ujar Umar. "Tulus dan ikhlas itu berarti rela berkorban apa saja, termasuk jiwa dan raga, tanpa pamrih mengharap imbalan dari bangsa dan negara yang ia bela dengan mengorbankan segalanya!" 

 "Meski hadisnya oleh sebagian ulama disebut lemah atau daif, oleh ulama lain tetap dipakai untuk meyakinkan pejuang bahwa gugur dalam perjuangan membela Tanah Air statusnya syahid, sehingga sang pahlawan meraih gelar syuhada!" timpal Amir.

"Hadis itu, 'Hubbul wathon minal iman’—cinta Tanah Air sebagian dari iman! Syuhada, itulah nilai tertinggi yang hanya bisa dicapai lewat pengorbanan ikhlas semata demi iman pada Sang Maha Pencipta—saat cinta Tanah Air menjadi bagian dari iman tersebut!" 

"Pada tulus dan ikhlasnya pengorbanan itu pulalah relevansi nilai-nilai juang para pahlawan kemerdekaan bangsa yang harus diwarisi atau ditiru oleh generasi masa kini!" tegas Umar. "Kalau mengaku berjuang membantu warga miskin dengan membagikan sembako, tapi di balik itu berharap supaya warga miskin itu memilih dirinya dalam pemilihan umum legislatif maupun eksekutif (kepala daerah), berarti pemberian itu pamrih, tidak benar-benar ikhlas! 

Apalagi setelah tak terpilih, kalah, ia minta pemberian itu dikembalikan!" "Untuk tidak pamrih, benar-benar tulus dan ikhlas seperti nilai juang pahlawan kemerdekaan, di era pragmatis-materialis dewasa ini sungguh tak mudah!" timpal Amir. 

"Bahkan godaan untuk mengurangi nilai ikhlas itu hingga terperosok ke pamrih, bisa terjadi dalam kegiatan agama sekalipun! Bukan sekadar 'ria' beramal untuk sekadar dipuji sesama manusia, malah pengajian hanya dijadikan sekadar kamuflase untuk bagi-bagi sesuatu agar memilihnya di pileg atau pemilukada!" 

"Semua itu tentu sah-sah saja, asal jangan dibandingkan dengan nilai ikhlas warisan para pejuang kemerdekaan!" tukas Umar. "Namun, proses pewarisan nilai-nilai juang pahlawan kemerdekaan tak boleh dikesampingkan, sebab dengan semakin dominannya nilai-nilai pragmatisme dan materialisme, bukan mustahil demi kenikmatan sesaat 

Tanah Air ini dijual kepada asing—penguasaan lebih 70 persen sektor pertambangan oleh asing, bisa jadi awal yang layak diwaspadai!" "Pewarisan nilai-nilai juang pahlawan kemerdekaan itu hanya efektif dilakukan melalui keteladanan pemimpin!" timpal Amir. "Sayangnya, mayoritas pemimpin justru produk 'sembako pamrih'!" ***
Selanjutnya.....

Korupsi Berjemaah, Siapa Takut?


"MA—Mahkamah Agung—dalam putusan kasasi 24 Juni 2008 membebaskan 40 anggota DPRD Padang periode 1999—2004 dari vonis PN Padang dan PT Sumatera Barat (2005) masing-masing 4 tahun penjara, denda Rp200 juta, dan uang pengganti dari Rp190 juta sampai Rp250 juta!" ujar Umar. "Majelis Hakim kasasi yang diketuai Iskandar Kamil dalam petikan putusannya menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana!" (Koran Tempo, 1/8/2008) 

"Sebelumnya, ke-40 anggota DPRD Padang diadili dan divonis hukuman pidana dalam kasus korupsi APBD untuk biaya perjalanan studi banding!" timpal Amir. "Sejak putusan kasasi pembebasan itu, DPRD seantero negeri jorjoran menghabiskan APBD untuk studi banding, terkait penyusunan perda yang remeh-temeh sekalipun! Bahkan terkesan ada aura, korupsi berjemaah atas APBD berdasarkan kebijakan yang disepakati lembaganya, siapa takut?"

"Sebaliknya korupsi yang dilakukan sendiri-sendiri, semisal atas dana kopi tamu pimpinan—seperti yang terjadi di Tanggamus dan Padang Pariaman—ketua DPRD-nya bisa kena vonis pidana!" tukas Umar. 

"Bertolak dari pengalaman seperti itulah, bukan mustahil, jika DPRD berbagai kabupaten/kota mentradisikan pemberian uang purnabakti kepada para anggota DPRD setiap akhir periode masa dinasnya, semacam dana pensiunnya!

 Lebih asyik tentu mereka yang terpilih kembali pada pemilu legislatif berikutnya, akan menerima dana pensiun berkali-kali!" "Dilihat dari masih amat banyak rakyat negeri ini yang hidup sengsara serbakekurangan, kebebasan para anggota DPRD untuk menguras dana publik bagi kenikmatan pribadinya semata itu memang tidak adil" tegas Amir. 

"Namun, dari hikmah kasus ini justru terlihat, sistem politik negeri kita yang mendapat justifikasi hukum justru memang tidak mementingkan rasa adil masyarakat maupun keadilan dalam arti umum!" "Untuk semua ‘aji mumpung’ itu, masyarakat sudah menjadi imun atau kebas tidak bisa lagi merasakan ketidakadilan yang malang melintang di depan matanya!" timpal Umar. 

"Bantai sesuka-suka kalianlah, mumpung masih di dunia! Di akhirat nanti, pengadilannya tentu berbeda! Standar salah-benarnya lebih jelas, tidak bisa ditawar-tawar pula! Salah-benar memang terganting ukuran pribadi masing-masing ketika keadilan hukum tidak bisa lagi diandalkan!" ***
Selanjutnya.....

Lampung Post 40 Tahun! (3)

"SUBJEKTIVITAS yang tak bisa benar-benar lepas dari objektivitas wartawan itu justru cerminan dari integritas moral yang dipandu hati nuraninya!" ujar Umar. "Terkait integritas moral itu, wartawan jadi tak harus netral dari segala hal! Media Group, misal, secara terbuka menyatakan perang terhadap narkoba! Atau Lampung Post, sejak didirikan mengibarkan panji antikomunis sehingga Solfian Akhmad menerima penghargaan sebagai Penegak Pers Pancasila (1985)." 

"Memang, dengan moralitas berorientasi nilai-nilai Pancasila, tanpa komando pun seorang wartawan segera menentang penodaan atas agama (sila Ketuhanan Yang Maha Esa) seperti yang dilakukan Islam State of Iraq and Syria (ISIS)," timpal Amir. "Media arus utama nasional secara terbuka berpihak kepada kemanusiaan yang adil dan beradab ketika sendi-sendi penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia di negerinya terancam!"

"Terpenting semua itu dilakukan dalam koridor etika, dan dengan asas kepatutan, jauh dari fitnah atau pencemaran nama baik!" tegas Umar. "Sebab, seperti kata Goenawan Mohamad saat menegaskan media tak harus netral, fitnah melukai seluruh bangsa! 

Yang dirusak bukan hanya manusia, tapi juga akal sehat dan kejujuran!" (Tempo.co, 25/6) "Meski demikian, suatu keberpihakan hanya diekspresikan lewat ruang opini, tajuk, dan artikel khusus!" tukas Amir. "Sedang dalam berita (news) semua pihak mendapatkan porsi yang proporsional! 

Untuk pelaksanaan prinsip tersebut selalu mendapat pengawasan ketat dari Dewan Pers maupun Komisi Penyiaran untuk media elektronik!" "Sebagai ekspresi dari integritas moral, subjektivitas ketidaknetralan itu justru wujud pelaksanaan tanggung jawab profesi demi mencegah bangsa agar tak terjerumus ke dalam kondisi yang buruk!" jelas Amir. 

"Lampung Post hanyalah satu sel dari 'sistem efektif' pers nasional itu. Dan itu bukan ikut-ikutan! Sejak lahir Lampung Post telah ditahbiskan para pendirinya sebagai pers Pancasila!" 

"Semangat pers untuk mengawal bangsa dari penjerumusan lewat obral fitnah yang merusak akal sehat dan kejujuran itu, tampak justru semakin penting dalam kehidupan demokrasi kita ke depan!" tegas Amir. 

"Dengan informasi yang dikelola media massa sebagai oksigen demokrasi, maka hari jadi ke-40 Lampung Post bisa jadi titik penanda pentingnya peran pers dalam 'mengelola oksigen' itu untuk menjaga bangsa dari keracunan fitnah!" *** (Habis)
Selanjutnya.....

Lampung Post 40 Tahun! (2)

"MEMANTAPKAN posisinya di arus utama pers nasional di daerah, 1989 Lampung Post bergabung ke Surya Persindo Group—sekarang jadi Media Group bersama Media Indonesia dan MetroTV," ujar Umar. "Berakar pada program Koran Masuk Desa di dua dekade (1980-an—1990-an), hingga usia 40 ini Lampung Post merupakan bacaan utama masyarakat Lampung dari kaum intelektual dan pengusaha kota, hingga warga akar rumput perdesaan!" 

"Hal itu diwujudkan dengan mengamalkan prinsip jurnalisme 'Lampung Post everybody business’—berorientasi pada kepentingan (dan sebagai milik) semua orang selaku stakeholder!" timpal Amir. "Dengan prinsip itu selalu diusahakan semaksimal mungkin untuk menjaga sajian beritanya gamblang berimbang! Tentu saja Lampung Post tak selalu bisa memuaskan semua pihak! Namun, yang terpenting, acuan tersebut senantiasa menjadi panduan operasional sehari-hari awaknya!"

"Sering tak tercapainya standar optimal imparsialitas—balancing pemberitaan—umumnya bukanlah karena adanya unsur kesengajaan!" tegas Umar. "Tapi, sebagian besar lebih akibat faktor alamiah di mana dalam proses penilaian dan penulisan berita, seobjektif-objektifnya pun itu dilakukan, faktor subjektivitas wartawan tak bisa dihilangkan sama sekali. 

Dengan demikian, hasil maksimal sajian wartawan sebatas objektivitas yang subjektif!" "Prinsip 'Lampung Post everybody business' terpahat di batu depan kantor Lampung Post, sebuah batu besar yang kokoh, tak bisa digeser sedikit pun oleh traktor yang meratakan tanah saat membangun kantor, dalam manajemen koran dipraktikkan dalam integrated publisher!" tukas Amir. 

"Semua bagian dalam perusahaan terintegrasi dalam kerja bersama mencapai tujuan! Gejala egosektoral yang sering menonjol pada redaksi, atau bagian iklan dan sirkulasi, dilebur dalam suatu task force yang mengaransemen kesatuan irama kerja! Sehingga, secara internal juga berlaku everybody business!" 

"Integrated publisher dengan everybody business itu bukan cuma slogan!" timpal Umar. "Wujud everybody business berupa tokoh-tokoh masyarakat, representasi dari berbagai bidang kehidupan sebagai stakeholder, berkala dikumpulkan dalam focus group discussion (FGD) untuk menilai, mengoreksi, dan memberi saran atas penampilan Lampung Post dalam periode tertentu secara komprehensif! Hasil FGD dijadikan cermin pengelolaan Lampung Post sesuai prinsip everybody business!" ***
Selanjutnya.....

Lampung Post 40 Tahun!

"PADA 10 Agustus 2014, usia harian Lampung Post genap 40 tahun. Di tanggal sama 40 tahun lalu, Lampung Post lahir atas 'perkawinan' Mingguan Pusiban dan Mingguan Independen, setelah yayasan kedua penerbit merger dalam Yayasan Masa Kini!" ujar Umar.

"Pusiban didirikan 1969 oleh Solfian Akhmad, M. Tahir Rajakapitan, Arsyad Effendy, dan M. Harun Muda Indrajaya. Independen didirikan Ahmad Fuad dan kawan-kawan." "Lampung Post diterbitkan sebagai pers daerah berwawasan nasional, dengan moto Abdi Bangsa dalam Pembangunan," timpal Amir. "Itu sebuah loncatan sikap saat itu karena pers Lampung masa itu umumnya berorientasi berita lokal, terutama kriminalitas, karena untuk berita nasional didominasi pers Ibu Kota yang menguasai pasar Lampung."

"Kuatnya jaringan pasar pers Ibu Kota dengan segmen pembaca masing-masing, membuat Lampung Post harus berjuang keras untuk mampu bertahan hidup," tegas Umar. "Hingga suatu hari, untuk ongkos cetak saja sulit didapat!

Solfian Akhmad terpaksa minta kerelaan istrinya, Lindriyati, untuk melepas gelang dari tangannya guna melanjutkan penerbitan Lampung Post! Itulah pengorbanan untuk Lampung Post hingga mampu bertahan di usianya 40 tahun sekarang!"

"Tentu tidak terhitung pengorbanan yang telah diberikan banyak orang dan banyak dimensinya dalam mempertahankan kehidupan sebuah koran di daerah, yang di seluruh provinsi Indonesia amat sedikit koran harian mampu bertahan melintas zaman!" timpal Amir.

"Berkat keuletan semua personal Lampung Post, dari pimpinan sampai koresponden di daerah, pada 1986, badan hukum Yayasan Masa Kini ditingkatkan menjadi PT Masa Kini Mandiri, dan membeli mesin percetakan sendiri! Era baru, mutu cetak Lampung Post bersaing dengan koran Ibu Kota!" "Era baru itu membuka peluang Lampung Post mendapat program Koran Masuk Desa dari Departemen Penerangan RI," lanjut Umar.

"Sekaligus bergabung ke Pemasaran Bersama Pers Daerah di Gedung Dewan Pers, bersama Surabaya Post, Waspada, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Haluan, Pedoman Rakyat, Banjarmasin Post, dan Bali Post."

"Reposisi itu menempatkan Lampung Post menjadi mainstream sumber informasi masyarakat Lampung!" tegas Amir. "Namun, konsekuensinya, dengan pengaruh kuat di masyarakat, beritanya tentang peristiwa Talangsari dinilai merugikan pihak tertentu, kantor Lampung Post diserang dengan bom molotov!" ***
Selanjutnya.....

Fenomena Jilbab Jadi Jilboobs!

"MUI—Majelis Ulama Indonesia—melarang jilboobs, busana muslimah yang meski telah memakai jilbab tapi menonjolkan lekuk tubuhnya yang sensual!" ujar Umar. "Menurut Wakil Ketua MUI K.H. Ma'ruf Amin, larangan untuk itu sudah termasuk fatwa MUI soal pornografi.

Tidak boleh memperlihatkan bentuk-bentuk tubuh, pakai jilbab tapi berpakaian ketat. MUI tegas melarang itu!" (Liputan6.com, 7/8) "Jilboobs itu akronim dari paduan dua kata, 'jilbab' dan 'boobs' (payudara)," timpal Amir.

"Awal ceritanya, pada 25 Januari 2014 hadir akun Facebook bernama Jilboobs Community, yang memuat sejumlah foto wanita pakai jilbab tapi ukuran pakaian mereka ketat hingga bagian boobs-nya terekspos! Sejak itu istilah jilboobs mulai populer."

"Menurut Ma'ruf, MUI mengharamkan hal tersebut lantaran aurat yang ditutup oleh muslimah tersebut tidak sesuai dengan apa yang menjadi syariat Islam mengenai cara berpakaian," lanjut Umar. "Dengan begitu, MUI pun mengimbau agar setiap muslimah yang sudah mengenakan jilbab lebih memperhatikan cara berpakaiannya.

Pertama, kita menghargai mereka sudah mau berjilbab. Tapi kalau sudah pakai jilbab, pakaiannya jangan seronok lagi!" "Tapi fenomena jilboobs memperlihatkan semakin banyak wanita berhijab, bahkan cenderung ngetren! Di tempat umum mudah terlihat, semakin ramai perempuan yang pakai jilbab dibanding waktu-waktu lampau!" tukas Amir.

 "Karena ada kesan umum sedemikian mungkin, politikus PKS Hidayat Nur Wahid menyikapinya, semua ada prosesnya! Niat mereka menutupi aurat, jilbab menutupi kepala itu sebagai langkah awal!" (detik.com, 8/8) "Memang semua butuh proses, apalagi katanya Islam di Indonesia moderat, hijab pun meramaikan fashion!" timpal Umar.

"Dewi Sandra mengomentari fenomena ini, 'Kalau ada yang menyalahgunakan hijab, itu sebenarnya jadi tanggung jawab masing-masing dengan Allah. Nobody can judge. Untuk memperbaiki perlu diingatkan dengan kata-kata halus, bukan nyinyir, disalah-salahkan, akhirnya malah hilang dari konteks!" "Ketentuan jilboobs haram tentu tak bisa ditawar-tawar!" tegas Amir.

"Tapi seperti kata Hidayat Nur Wahid, itu proses dari langkah awal untuk menutup aurat. Suatu persuasi, imbauan halus dengan 'model' yang benar, mendorong metamorfosis sebaliknya dari jilboobs ke jilbab, mungkin langkah yang bijak! Daripada diusili terus malah membuang jilbabnya dan kembali berpakaian jauh lebih minim!" ***
Selanjutnya.....

RSUDAM itu Wajah Gubernur!

"GUBERNUR Lampung M. Ridho Ficardo bertekad meningkatkan pelayanan masyarakat, terutama layanan kesehatan, antara lain dengan mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan," ujar Umar. "Dukungan itu dengan meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan yang dikelola Pemprov, khususnya Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM).

Tidak kepalang, Ridho menjadikan baik atau buruknya pelayanan RSUDAM sebagai wajah gubernur!" "Tekad yang Ridho sampaikan di acara talk show menyambut HUT ke-40 Lampung Post, Kamis (7/8), itu menunjukkan ia all out mewujudkan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat Lampung!" timpal Amir. "Ia tegas, dalam peningkatan pelayanan diutamakan perbaikan sikap petugas agar mendahulukan pertolongan kepada pasiennya, sedangkan kelengkapan administrasi dan hal lainnya menyusul!"

"Kecepatan pertolongan amat membantu pasien, apalagi kondisi gawat darurat!" sambut Umar. "Selain itu, kecepatan pertolongan juga beraspek pada biaya! Jika lambat ditangani penyakitnya bisa menjadi tambah parah, hingga biayanya juga menjadi besar!"

 "Tekanan Gubernur itu sejalan dengan standar pelayanan BPJS yang prioritas pada pasien!" tegas Amir. "Contohnya, ada orang yang setelah stroke masuk RS baru mengurus kartu anggota BPJS, tetap dilayani dan ditanggung biaya pengobatan serta perawatannya!" "Namun, bagi warga yang belum punya kartu BPJS Kesehatan sebagai kelanjutan dari program Jamkesmas atau Jamkesda, lebih baik segera mengurusnya," timpal Umar.

"Sebab, kartu Jaminan Kesehatan Nasional itu berlaku secara nasional sehingga andai terjadi sesuatu di jalan, bisa mendapatkan pelayanan langsung dari RS setempat tanpa menunggu keluarga datang menguruskan BPJS!"

"Tantangan atas tekad Gubernur itu ada pada kultur birokrasi di Lampung, tanpa kecuali birokrasi pelayanan kesehatan, yang masih perlu dibina lebih jauh untuk menjadi pelayan masyarakat sebenarnya!" tukas Amir.

"Memang sudah ada pelajaran berharga buat mereka, pejabat pembuang pasien dari rumah sakit divonis pidana! Namun, secara keseluruhan, tetap masih perlu program pemantapan sikap dan perilaku pelayanan!"

"Tantangan itu bisa membuat Gubernur jadi lebih serius lagi dalam mewujudkan tekadnya meningkatkan pelayanan kesehatan!" timpal Umar. "Karena pasti, Gubernur tak mau wajahnya bopeng!" ***
Selanjutnya.....

Tumbuh Terendah Sejak 2009!

"PDB—Produk Domestik Bruto—Indonesia triwulan II 2014 tumbuh 5,12%, sebagai pertumbuhan terendah sejak 2009," ujar Umar. "Menurut Kepala BPS Suryamin, pertumbuhan tersebut lebih rendah dari triwulan I 2014, 5,17%." (Bisnis.com, 5/8) "Penyebab makin lemahnya pertumbuhan itu salah satunya akibat defisit neraca perdagangan April 2014 sebesar 1,96 miliar dolar AS!" timpal Amir.

"Apalagi, meski neraca perdagangan Mei 2014 surplus sebesar 69,9 juta dolar AS, defisit neraca perdagangan Juni 2014 kembali besar, 305,1 juta dolar AS! Sehingga total defisit triwulan II 2014 jadi lebih dari 2,2 miliar dolar AS!" "Meski pertumbuhan yang masih di atas 5%, kata Gubernur BI Agus Martowardojo masih bisa disebut sebagai prestasi!" tukas Umar. "Pasalnya, ekonomi dunia masih dalam tahap pemulihan sehingga tidak banyak negara yang bisa menyamai pencapaian itu!" (detik Finance, 5/8)

"Realitasnya begitu!" sambut Amir. "Tapi, dengan kondisi objektif pertumbuhan triwulan II 2014 terendah sejak 2009 dengan laju pertumbuhan yang terus melambat, menghibur diri dengan prestasi yang makin merosot juga kurang bijak!

Lebih-lebih kalau negara-negara industri yang mengalami krisis, terutama dipicu oleh kenaikan harga komoditas dalam lima tahun terakhir, kita sebagai negara sumber komoditas dari kekayaan alam mineral hasil tambang dan pangan seharusnya menarik manfaat besar dari kenaikan harga komoditas tersebut!"

"Kenyataannya justru ekonomi negeri kita terseok oleh beratnya impor BBM dan impor hasil pertanian—dari gandum, kedelai, daging sapi, garam, sampai buah-buahan—semuanya jadi penyebab utama defisit perdagangan dan defisit current account!" tegas Umar.

"Karena itu, tim transisi presiden baru harus bisa mencari landasan baru pengelolaan ekonomi agar dalam jangka menengah bisa mencapai swasembada pangan, dan sumber daya alam efektif bagi perekonomian bangsa!

Dengan itu kita bisa keluar dari trio defisit—defisit APBN, defisit perdagangan, dan defisit neraca pembayaran!" "Kalau pemerintahan sekarang sampai berakhir dua periode berkuasa belum berhasil lolos dari jerat trio defisit itu, jelas tak semudah membalik telapak tangan pemerintahan baru bisa lolos!" tukas Amir.

"Tapi dengan penyelesaian masalah demi masalah lewat blusukan, jerat itu akan kian kendur dengan terurainya helai-helai benang yang kusut! Kuncinya, tak ada pembiaran masalah seperti selama ini!" ***
Selanjutnya.....

Pembatasan BBM Bersubsidi!

    "MULAI Rabu 6 Agustus, pembatasan BBM bersubsidi berlaku di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali, setiap SPBU menjual solar bersubsidi pukul 08.00—pukul 18.00!" ujar Umar. "Sesuai pengumuman pemerintah Selasa (5/8), semua SPBU di jalan tol tidak lagi menjual premium bersubsidi!" "Sebenarnya pembatasan BBM bersubsidi itu sudah berjalan sejak 1 Agustus untuk semua SPBU di Jakarta Pusat dengan tidak lagi menjual BBM bersubsidi!" timpal Amir. "Pembatasan itu dilakukan karena subsidi BBM dalam APBNP 2014 yang disepakati 13 Juni hanya sebesar Rp246,5 triliun dari usulan pemerintah Rp285 triliun. Itu pun sudah naik dari pagu awal APBN 2014 sebesar Rp210,7 triliun." "Pembatasan BBM bersubsidi itu tak bisa dielakkan karena beban subsidi dalam anggaran negara sudah terlalu berat!" tegas Umar. "Untuk subsidi energi, subsidi listrik juga membengkak! Dari pagu awal Rp71,4 triliun, menjadi Rp103,8 triliun pada RAPBNP, dari usulan pemerintah Rp107,4 triliun. Total subsidi energi dalam RAPBNP jadi Rp350,3 triliun!"
  "Beban anggaran jadi terlalu berat bukan hanya oleh pembengkakan subsidi energi, melainkan juga pembayaran utang pemerintah!" tukas Amir. "Kewajiban bayar utang dari APBN di semester I 2014 sebesar Rp223,04 triliun, merupakan 60,44% dari kewajiban bayar utang pokok dan bunga untuk 2014! Artinya, kewajiban APBN 2014 untuk bayar utang mendekati Rp400 triliun—lebih besar dari subsidi energi! Sehingga, untuk subsidi energi dan bayar utang saja tahun ini nyaris Rp750 triliun!" "Lucunya, utang pemerintah naik tajam dari tahun ke tahun sebagian besar justru untuk menutupi belanja subsidi energi yang kenaikannya pesat!" timpal Umar. "Jadi yang terjadi selama ini, pemerintah tak bisa keluar dari lilitan 'lingkaran setan' subsidi energi! Dengan itu, pembatasan BBM subsidi kali ini harus bisa dijadikan bagian dari kebijakan ke depan untuk membebaskan APBN dari jerat subsidi!"    
     "Dari gambaran itu tampak pemerintah memang sudah kepepet untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi!" tegas Amir. "Untuk itu, warga diharapkan mau secara sukarela menyesuaikan dengan kondisi realistis keuangan negara! Atur pengisian solar truk dan bus sesuai jam buka SPBU, jika masih mau menikmati subsidi!" "Di lain sisi, pelayanan terhadap rakyat pengguna solar subsidi, seperti nelayan dengan perahu di bawah 30 gros ton, diusahakan sebaik-baiknya!" timpal Umar. "Jangan seperti di Tegal, karena perahu besar tak boleh pakai solar subsidi, solar nelayan kecil jadi tak disediakan!" ***
Selanjutnya.....

Urbanisasi Mengubah Nasib!

    "LEWAT gayanya yang khas ceplas-ceplos, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sang Wakil Gubernur DKI Jakarta, dalam bincang dengan Metro TV Senin (4/8) mengatakan kurang setuju aturan Jakarta sebagai kota tertutup yang melarang urbanisasi—orang luar kota masuk—ke Ibu Kota!" ujar Umar. "Tukas Ahok, urbanisasi itu usaha untuk mengubah nasib, masak orang tak boleh mengubah nasib di Jakarta?" "Diperkirakan 300 ribu sampai 500 ribu orang urbanisasi ke kota selama mudik Lebaran ini, 65 ribuan orang ke Jakarta!" timpal Amir. "Tenaga pendatang baru itu dibutuhkan kelas menengah baru yang berkembang di Jakarta, tegas Ahok." "Tapi Ahok mengakui, di antara pendatang itu ada pengemis, gelandangan, dan yang tinggal di bantaran kumuh, hingga harus dijaring dan dikembalikan ke kampungnya dengan perjanjian kalau datang lagi siap dipidana!" tegas Umar. "Di sisi lain, Ahok mengingatkan bersamaan itu sering ada pengusaha nakal yang mendatangkan pekerja di bawah umur untuk pabriknya dengan gaji rendah—jauh di bawah UMR! Ini harus diwaspadai!" 
    "Pandangan diskriminatif bahwa suatu fasilitas serbalengkap yang dibangun negara di kota-kota besar bersifat enklave (hanya boleh dinikmati warga sekitar fasilitas tersebut), sedangkan sesama warga negara dari kawasan lain dilarang masuk lokasi itu, sudah ketinggalan zaman!" tukas Amir. "Pendekataan kekinian sebaliknya, makin tinggi tingkat urbanisasi hingga di kawasan desa tinggal 20-an persen penduduk, menunjukkan tercapainya tingkat keseimbangan negara maju! Dengan begitu, pembangunan fasilitas modern cukup terkonsentrasi di kota-kota besar, penduduk yang mendatanginya, bukan dengan membangun fasilitas serupa merata di seantero negeri yang satu milenium pun belum tentu selesai!" "Di sisi lain, seperti di AS, Jepang, dan Eropa, 20-an persen warga yang tersisa di desa mendapatkan luas lahan pertanian cukup untuk memakmurkan keluarga mereka, sekaligus mencukupi (surplus) pangan nasional!" timpal Umar. "Jadi, keseimbangan lebih cepat dicapai jika laju urbanisasi berjalan lebih cepat! Logikanya, membiarkan orang berbondong-bondong untuk ikut menikmati fasilitas kota-kota besar lebih cepat daripada membangun fasilitas sejenis dan setara kota besar ke desa-desa seantero negeri! Keadilan antarsesama warga lebih cepat dicapai lewat membuka kesempatan sama untuk meraihnya, daripada mendistribusikan fasilitas sama ke tempat mereka semua tinggal di wilayah seluas negeri!" ***
Selanjutnya.....

Kala Otonomi Jadi Automoney!

     "KOORDINATOR Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyatakan korupsi di daerah masih terjadi secara masif karena lemahnya pengawasan penegak hukum pada pejabat daerah!" ujar Umar. "Korupsi masih merata di daerah, otonomi jadi automoney, tukas Emerson. Sistem pengawasannya tidak cukup optimal sehingga mendorong mereka masif melakukan praktik korupsi." (Kompas.com, 3/8) "Menurut Aradila Caesar, anggota divisi itu, saat ini ada 101 pejabat daerah yang didakwa melakukan korupsi secara merata dari pemda tingkat kabupaten-kotamadya, dan provinsi," timpal Amir. "Jumlah itu meningkat dibanding data ICW semester pertama 2012 sebanyak 48 terdakwa, dan semester pertama 2013 sebanyak 60 terdakwa!"

    "Peningkatan jumlah terdakwa korupsi di kalangan pejabat daerah itu bisa jadi akibat makin vulgarnya korupsi dilakukan kalangan pejabat daerah sehingga terlalu mencolok mata petugas hukum untuk tak ditindak!" tegas Umar. "Atau juga berkat pengalaman menangani kasus korupsi, petugas hukum dari polisi dan jaksa kian ahli mengendus kasus korupsi sehingga jumlah terdakwanya meningkat!" "Kedua kemungkinan itu bisa saling memperkuat di balik gejala naiknya jumlah terdakwa korupsi di kalangan pejabat daerah!" sambut Amir. "Gejala makin banyaknya pejabat daerah terlibat korupsi itu jelas memprihatinkan karena bukannya para pejabat itu tambah sadar atas bahaya korupsi—terhadap negara maupun pada masa depan pribadinya—melainkan malah semakin gila-gilaan korupsi!"
    
   "Semakin gila-gilaan korupsi hingga mudah terbongkar dan jadi masif itu juga tak terlepas dari semakin tingginya biaya politik untuk menang dalam pemilukada!" tegas Umar. "Salah satunya, dari bocoran informasi yang bisa didapat, uang mahar atau sewa perahu untuk dukungan partai pengusung nilainya dari waktu ke waktu terus naik, bahkan drastis! Modal besar yang harus kembali tepat waktu bisa mendorong korupsi semakin vulgar!" "Untuk mengatasi kian masifnya korupsi pejabat daerah, peningkatan integritas dan kualitas penyidik polisi dan jaksa di daerah jadi kuncinya!" saran Amir. "Polisi dan jaksa mengirim penyidik sebanyak mungkin ke KPK, setelah matang disebar ke daerah. KPK diisi terus dengan penyidik angkatan berikutnya sampai akhirnya, tak ada lagi peluang korupsi di daerah karena penyidik tangguh hadir di semua lini!" ***
Selanjutnya.....

Minderheids Nota SBY buat Gaza!

    "PRESIDEN SBY menilai penyerangan pada warga Palestina di Gaza sudah di luar batas kepatutan!" kutip Umar. "SBY pun menulis surat terbuka untuk pemimpin seluruh dunia guna mendorong tragedi kemanusiaan di Palestina itu bisa dihentikan!" (Kompas.com, 31/7) "Surat terbuka SBY itu minderheids nota, catatan atas suatu masalah setelah segala usaha gagal menghentikan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip yang diyakini!" timpal Amir. "Bisanya tinggal mengimbau lewat surat, tak bisa berbuat lain lagi, seperti fraksi kalah voting UU!" "Itu tecermin dari isi surat SBY, 'Sebagai seorang presiden yang saat ini tengah memimpin sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, tentu saya tidak hanya bersedih dan marah. Hingga saat ini saya juga aktif melaksanakan diplomasi beserta para menteri dan diplomat Indonesia, termasuk dengan Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, tetapi situasi yang ada di Gaza kenyataannya bertambah buruk!" kutip Umar. "Oleh karena itu, dari Jakarta, saya harus meneriakkan seruan moral kepada seluruh bangsa di dunia, dan utamanya lagi kepada pemimpin Israel dan Hamas, untuk segera menghentikan kekerasan dan tragedi di kawasan itu. Dengan seruan ini, kata SBY, saya berharap para pemimpin dunia segera mengambil tanggung jawab bersama dan benar-benar bisa melakukan atau memaksakan gencatan senjata dan mengakhiri operasi-operasi militer yang tampaknya makin tidak pandang bulu."

     "Surat SBY yang mendesak gencatan senjata hari ini juga, bukan besok, apalagi lusa, itu jelas tepat untuk mengingatkan pemimpin dunia atas kondisi genosida—pemusnahan suatu bangsa—di Gaza yang dilakukan Israel!" tegas Amir. "Usaha genosida Israel atas Gaza itu tampak jelas dengan serangan mereka yang tidak akan dihentikan sebelum menghancurkan semua terowongan jalur suplai kebutuhan hidup warga Gaza!" "Jika semua terowongan ke Gaza sudah hancur, blokade Gaza oleh Israel tidak bisa ditembus lagi, tanpa serangan militer pun warga Gaza akan mati kelaparan karena tak bisa mendapatkan kebutuhan hidup!" timpal Umar. "Instalasi air bersih juga dirusak Israel, tragedi kemanusiaan di Gaza lebih mengerikan, kematian massal terjadi akibat kelaparan dan kehausan!" "Jadi, surat SBY itu baik! Namun, tidak cukup sampai di situ!" tegas Amir. "Perlu action, memprakarsai pertemuan darurat para pemimpin dunia untuk menghentikan genosida Israel atas warga Gaza!" ***
Selanjutnya.....

Merealisasikan Negara Maritim!

    "SEJAK kecil kita diajar menyanyi Nenek Moyangku Orang Pelaut, mengingatkan kejayaan era Sriwijaya dan Majapahit!" ujar Umar. "Untuk merealisasikan kembali kejayaan negara maritim itu, pasangan Jokowi-JK sesusai ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilpres 2014 pidato di atas kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa!" "Panjang sejarah hingga negara maritim ini berorientasi ke daratan, laut jadi pemisah antarpulau, bukan pemersatu!" timpal Amir. "Kisahnya dari berkuasanya kongsi dagang Belanda (VOC) di Batavia 1619. Bekerja sama Raja Mataram Amangkurat I (1647—1677) sistem ekonomi maritim di pantai utara Jawa dihancurkan dengan melarang rakyatnya berdagang ke seberang laut, menutup semua pelabuhan dan merusak semua kapal (1655), Belanda pun jadi penguasa jalur ekonomi laut negeri kita!" (Imam Syafi'i, Menjadi Poros Maritim Dunia, Kompas.com, 31/7) "Bahkan untuk politik pecah-belahnya (divide et impera), Belanda 1939 membuat ordonansi teritorial memperkuat laut sebagai pemisah antarpulau! Ditetapkan hanya 3 mil dari pantai yang jadi wilayah negara, selebihnya laut internasional!" tegas Umar. "Untuk melawan ordonansi itulah, pada 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatukan keseluruhan darat dan laut sebagai wilayah Negara Kesatuan RI. Perjuangan di dunia internasional untuk pengakuan negara Nusantara itu berhasil dengan keluarnya konvensi PBB tentang hukum laut (Unclos) 10 Desember 1982, yang diratifikasi RI pada 1985."

    "Semangat Deklarasi Djuanda tak terlepas dari pesan Bung Karno saat meresmikan Institut Angkatan Laut pada 1953—yang kemudian menjadi Akademi Angkatan Laut (AAL)," timpal Amir. "Tegas Bung Karno, usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya, bukan sekadar jongos di kapal, tetapi mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang." "Usaha untuk kembali berorientasi ke laut dengan mengefektifkan posisi strategis Indonesia di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dilakukan oleh Gus Dur (!999) lewat mencanangkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara," tegas Umar. "Hal itu dipertegas Presiden Megawati dengan menerbitkan Kepres RI No. 126/2001 yang menetapkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara, hari nasional tidak libur." "Tekad Jokowi-JK merealisasikan negara maritim jelas menyambung mata rantai perjuangan bangsa!" ujar Amir. "Yalesveva jayamahe! Di darat kuat, di laut kita jaya!" ***
Selanjutnya.....

Konflik Gaza tanpa Solusi Adil!

   "MASALAH utama yang berlarut dilakukan Israel tanpa perikemanusiaan adalah blokadenya atas wilayah Gaza lebih lima tahun terakhir!" ujar Umar. "Blokade itu menutup segala bentuk aliran kebutuhan hidup ke Gaza, kecuali milik badan PBB dan Palang Merah Internasional, hingga ekonomi Gaza lumpuh total dan bertahan hidup hanya dengan penyeludupan lewat terowongan bawah tanah dari Sinai." "Setiap kali serangan militer Israel ke Gaza membunuh banyak warga Palestina, penyelesaian internasionalnya selalu hanya mengakhiri serangan Israel!" timpal Amir. "Sementara blokade Israel atas Gaza, tidak pernah disentuh para juru damai, apalagi mengakhirinya! Jadi jelas, konflik Gaza selalu diatasi tanpa solusi yang adil bagi Palestina" "Serangan roket sayap militer Hamas, Ezzedin al-Qassam, ke wilayah Israel selama ini sebagai isyarat mendesak agar Israel mengakhiri blokadenya itu!" tegas Umar. "Namun, bukan maksud sebenarnya Hamas itu yang direspons Israel, melainkan malah menuduh Palestina menyerang negerinya sehingga dijadikan alasan untuk menyerang Gaza sebagai upaya membela diri!"

    "Justru itu pula dijadikan alasan Amerika dan sekutu untuk mendukung serangan Israel ke Gaza, seperti diucapkan secara eksplisit Menlu AS John Kerry seusai bertemu PM Israel Netanyahu, Selasa, di Jerusalem (AFP, 29/7), "Ini bukan tentang saya, ini tentang Israel dan hak untuk membela diri!" kutip Amir. "Secara licik, Netanyahu meminta bantuan AS untuk mengupayakan gencatan senjata di Gaza! Padahal, dia yang selama ini mencuekan syarat gencatan senjata yang diajukan Hamas; selain menghentikan serangan, Israel juga harus mengakhiri blokadenya terhadap Gaza!" "Seyogianya, Indonesia bersama negara-negara muslim sahabat Amerika, seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UAE, dan Mesir, bisa memprakarsai perundingan gencatan senjata dengan mengemban syarat yang diajukan Hamas itu, membuka blokade Israel atas Gaza! Itu, sekaligus dijadikan usaha membuktikan bahwa AS dan sekutu memang benar sebagai pendekar HAM!" tegas Umar. "AS dan sekutu tentu bisa berlagak pilon saja mengenai HAM terkait blokade Israel terhadap Gaza itu, sejauh tidak ada negara-negara sahabatnya yang tegas untuk menuntaskan hal tersebut!" "Sayang, negara-negara muslim sahabat AS dan sekutunya tidak berani berinisiatif membuat solusi yang adil bagi Palestina!" tukas Amir. "Mereka malah memosisikan diri pejah gesang nderek Amerika—hidup mati ikut Amerika!" ***
Selanjutnya.....

Pilpres Berlalu, Lebaran Menaut!

     "PERIBAHASANYA 'biduk lalu kiambang bertaut'! Haluan membelah air menjadi dua bagian arus yang saling menjauh, tetapi begitu biduknya lalu, dua garis arus yang semula saling menjauh itu—kiambang—kembali bertaut, tanpa menyisakan bekas pernah terbelah!" ujar Umar. "Demikian pula masyarakat yang usai terbelah oleh pilihannya dalam pilpres, menaut kembali dalam silaturahmi Idulfitri!" "Peribahasa dan pepatah disimpulkan para bijak bestari dari pengalaman nyata suatu masyarakat yang berulang terjadi dalam perjalanan panjang merajut peradaban!" timpal Amir. "Khususnya peribahasa 'biduk lalu kiambang bertaut', menjadi dinamika yang memperkuat perekat masyarakat nusantara dalam realitas Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu—sebagaimana ditulis Mpu Tantular dalam Negara Kertagama!"

     
    "Karena itu, dibelah sekeras apa pun oleh kepentingan sempit segelintir elitenya, masyarakat bangsa akan selalu kembali bertaut makin kokoh dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia!" tegas Umar. "Dalam silaturahmi Lebaran, warga saling terbuka di antara sesamanya, juga di antara keluarga—aku pilih nomor satu! Temannya menukas, aku pilih nomor dua! Keduanya lalu ngakak, menertawakan perbedaan pilihan di antara sahabat! Namun, perbedaan pilihan di antara mereka itu telah selesai, tanpa mengusik, apalagi meretakkan, persahabatan antarwarga!" "Bagi warga, orang kebanyakan, berbeda pilihan dalam berbagai event pemilihan umum bukanlah masalah prinsipil! Juga terkait aneka pilihan dalam realitas hidup, perbedaan justru menjadikan kehidupan penuh warna!" tukas Amir. 

      "Untuk itu, justru kalangan elite yang sering n¬gotot dengan perbedaan pilihan sebagai nista sehingga yang berbeda pilihan dipandang sebagai musuh—lantas diserang dengan segala cara, dari fitnah lewat media sosial sampai merusak milik orang yang dimusuhi hanya karena beda pilihan!" "Untuk itu, ada baiknya kalangan elite yang cenderung demikian belajar dari karakter masyarakat kebanyakan yang telah tersimpul dalam Bhinneka Tunggal Ika, dengan peribahasanya biduk lalu kiambang bertaut!" timpal Umar. "Segala bentuk dan sifat perbedaan di dunia, juga masyarakat bangsa, jelas merupakan bukti mahaagung Sang Maha Pencipta! Tidak pada tempatnya bagi para hamba untuk mengingkarinya!" ""Artinya, tidak pada tempatnya pula elite memprovokasi membelah rakyat!" tegas Amir. "Idulfitri telah mempersatukan rakyat! Mohon maaf lahir batin!" ***
Selanjutnya.....