Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kominfo, Perizinan ke Pelayanan!

MENTERI Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Rudiantara di awal tugasnya tanpa ragu menegaskan akan mendobrak rezim perizinan sebagai orientasi kerja kementeriannya, ditingkatkan menjadi pelayanan. (detik.com, 30/10) Rudiantara diangkat menjadi Menkominfo saat menjabat komisaris di Indosat, selain juga presiden director Rajawali Asia Resources dan Bukitasam Transpacitic Railways. 

Dengan shifting bukan hanya izin, melainkan menekankan aspek pelayanan, ujarnya, perlu ditetapkan standar pelayanan minimumnya seperti apa. Hal itu agar kepentingan masyarakat terlindungi!

Dalam hal ini hak rakyat atas informasi (people rights to know) yang merupakan hak dasar manusia sebagaimana dijamin Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia (Pasal 19) yang juga dijamin konstitusi maupun berbagai UU di Indonesia, tak layak terbatasi atau menjadi mahal hanya karena “kendali” rezim perizinan! 

Artinya, dengan orientasi pada pelayanan, tugas utama Kemenkominfo bukan sekadar menjadi pawang penguasa frekuensi dan jaringan, melainkan sebagai fasilitator sehingga semua kekayaan alam (frekuensi dan jaringan) itu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat! 

Betapa, dewasa ini frekuensi dan jaringan radio, televisi, dan seluler sudah benar-benar menjadi bagian kehidupan sehari-hari rakyat jelata sampai di pelosok desa yang jauh dari kota sekalipun! 

Suatu rezim perizinan, apalagi yang lebih sibuk mengaveling wilayah atau kawasan frekuensi dan jaringan sehingga terjadi pembatasan wilayah operasional pemegang izin yang pada gilirannya membatasi rakyat dalam mendapatkan pelayanan informasi, jelas harus diubah dengan menekankan segi pelayanannya! 

Pelayanan terbaik bisa dinikmati rakyat hanya jika bisa diwujudkan efisiensi industri telekomunikasi di negeri ini! Jaringan internet yang masih terbatas di negeri ini, dengan layanan Wi-Fi yang relatif terbatas pada lokasi-lokasi “mewah”, menjadi salah satu PR menteri baru dalam mewujudkan pemenuhan hak rakyat atas informasi! 

Selain tugas memudahkan rakyat meraih akses informasi yang semurah-murahnya, kementerian “komunikasi” juga berfungsi memasyarakatkan peranti komunikasi kepada rakyat, terutama generasi muda, agar bangsa kita tidak gatek (gagap teknologi) dan ketinggalan terus dari negara-negara emerging forces! Harapan besar pada menteri baru kominfo untuk memperbarui regulasi pengelolaan frekuensi, industri komunikasi, dan pelayanan terbaik bagi rakyat! ***
Selanjutnya.....

Moratorium Penerimaan CPNS!

PEMERINTAH akan melakukan moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama lima tahun mulai 2015. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengatakan rencana itu untuk memberi ruang pada pemerintah mengevaluasi efektivitas jumlah dan kinerja PNS yang ada saat ini. 

Agar segala keputusan yang dibuat dalam proses reformasi birokrasi efisien dan produktuf, tegasnya. Juga perlu dikaji rasionya dengan jumlah penduduk. (Kompas.com, 28/10) Rencana moratorium penerimaan CPNS itu hanyalah lanjutan dari moratorium sama yang dilakukan pemerintahan SBY selama dua tahun, Januari 2011 hingga Desember 2012. 

Pertimbangannya juga sama, untuk melakukan evaluasi jumlah dan kinerja PNS dan merampingkan birokrasi yang dinilai sudah terlalu gemuk.

Kegemukan birokrasi itu amat mencolok di daerah, anggaran rutin yang secara umum terkait dengan belanja pegawai menguras APBD lebih dari 50%—bahkan, di kebanyakan kabupaten-kota telah melampaui 70%. 

Akibatnya, belanja pembangunan untuk kepentingan rakyat porsinya kecil sekali, untuk merawat infrastruktur yang ada saja terbengkalai! Dalam moratorium 2011—2012 redistribusi PNS kurang terlihat, kecuali ke daerah otonomi baru (DOB). 

Terlihat efektif hanya dalam perampingan lewat proses seleksi alam, yang pensiun tak diganti dengan rekrutmen menyisip penggantinya. Namun, setelah itu terjadi booming pengangkatan CPNS dari honorer lewat seleksi dengan kriteria tertentu. Jumlah rekrutmen honorer ini lebih besar dari rekrutmen reguler tahunan! 

Rekrutmen pegawai honorer itu dipahami untuk keadilan. Namun, disayangkan, pada masa sebelumnya pengangkatan pegawai honorer terlalu mudah dan seenaknya dilakukan oleh dinas-instansi pemerintah daerah, camat saja bisa mengangkat pegawai honorer nyaris tanpa kontrol. 

Semua itu tentu layak menjadi pelajaran untuk moratorium penerimaan CPNS ke depan. Keefektifan perampingan birokrasi dengan efisiennya APBD untuk anggaran pembangunan yang dinikmati rakyat menjadi ukuran keberhasilan moratorium dan reformasi birokrasi! 

Jika gambaran petunjuk sukses itu tak terlihat, terbukti program tersebut hanya PHP—pemberi harapan palsu! Catatan terakhir untuk reformasi birokrasi, harus dibuktikan secara transparan segala hal, terkait penerimaan, penempatan, dan mutasi PNS sepenuhnya bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme—KKN! ***
Selanjutnya.....

Menunggu Kurikulum Baru Lagi!

MESKI distribusi buku panduan guru untuk kurikulum 2013 belum merata, peluang kurikulum baru lagi hadir di pendidikan nasional bukan mustahil. Sebab, dari zaman ke zaman faktor politik sering menjadi dasar perubahan kurikulum. 

Kali ini, relevansi Revolusi Mental jadi alasannya. Kurikulum pertama 1947 di bawah Menteri Pendidikan Mr. Suwandi, 1952 disesuaikan pada sistem politik nasional saat itu yang liberal di bawah UUDS 1950. Lalu, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945, sistem politik bergeser. Kurikulum pun disesuaikan dengan gelora demokrasi terpimpin pada 1964.

Orde Lama jatuh diganti Orde Baru 1966. Kurikulum pun, 1968 disesuaikan segagah gaya pemerintahnya, kurikulum terpadu. Setelah aksi mahasiswa Malari 1974 penguasa perlu mengontrol lebih ketat dunia pendidikan—terutama kampus—kurikulum disesuaikan lagi pada 1975. 

Lagi-lagi, berdasar kemauan politik Sidang Umum MPR 1983 agar arah pendidikan disesuaikan dengan tuntutan pengisian kesempatan kerja, pada 1984 kurikulum diganti lagi. Kali ini kurikulumnya dikenal dengan model pendidikan—cara belajar siswa aktif (CBSA). Perangkat belajar sesuai CBSA belum merata di semua sekolah, keburu lahir UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). 

Maka, pada 1994 kurikulum pun disesuaikan lagi dengan UU baru. Pemerintah Orde Baru pun runtuh pada 1998. Muncul era reformasi, yang jelas orientasi politik berubah lagi. Pada 2004 hadir kurikulum berbasis kompetensi, yang pada 2006 dilengkapi dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). 

Basis kompetensi pada guru untuk kurikulum tersebut belum selesai disertifikasi, sudah keburu nongol di akhir kekuasaan dua periode Presiden SBY, kurikulum 2013. Tampak pengaruh kontekstual politik dalam setiap perubahan kurikulum dari zaman ke zaman. 

Hal itu menunjukkan sistem pendidikan Indonesia dinamis dan fleksibel, sekaligus eksperimental! Sebab, suatu sistem pendidikan belum selesai peletakan dasarnya, sosialisasi filosofi dan metodologi kurikulumnya pada guru saja belum merata, kurikulumnya sudah diganti lagi. 

Sifat eksperimental pendidikan yang justru kontinum, membentuk secara konsisten generasi pancaroba yang antikemapanan dan mumpuni mengantisipasi segala bentuk kegalauan zamannya! Generasi pancaroba produk sistem eksperimental itu kenyal, tanpa konektor tepat revolusi mental bisa terpental dibuatnya! ***
Selanjutnya.....

Kabinet Baru, Perspektif Baru!

AKHIRNYA kabinet baru pemerintahan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla, Kabinet Kerja, dilantik Senin (27/10). Usai dilantik mereka langsung bekerja. Bekerja, bekerja, dan bekerja dengan perspektif baru mengatasi tantangan lama. Tantangan lama itu warisan setumpuk masalah serius dari pemerintahan lalu. Seperti, tripel defisit—neraca perdagangan, neraca pembayaran (current account), dan APBN. 

Lalu defisit bahan bakar migas hingga impor terus menjurus lebih besar dari produksi sendiri yang tinggal 800 ribu barel/hari. Kemudian birokrasi pemerintah yang kegemukan dan rakus, menelan belanja rutin lebih separuh APBN/APBD. Pemerintah lalu gagal menyelesaikan masalah-masalah tersebut, menolak untuk mengambil kebijakan menaikkan harga BBM, menyerahkan semua masalah itu jadi tanggung jawab pemerintah baru.

Dengan begitu jelas, pemerintahan baru tak mungkin menggunakan cara berpikir dan cara kerja pemerintahan lama yang terbukti gagal mengatasi aneka masalah tersebut. Untuk itu, pemerintah baru pun menggunakan perspektif baru, merombak struktur kabinet dengan menambah satu menko yang menangani kemaritiman. 

Artinya, pemerintahan Jokowi-JK sudah menetapkan cara berpikir, cara pandang, dan cara kerja baru! Menjadi keharusan untuk menilai proses dan hasilnya memakai perspektif baru pula. Namun, cara mengukur kemajuan hasil kerja kabinet baru secara umum mudah dilakukan! 

Yakni, seberapa besar defisit-defisit yang mereka warisi diturunkan, seberapa besar subsidi BBM berkurang, seberapa ramping pula birokrasi bisa dibuat dan seberapa besar anggaran untuk rakyat di seluruh negeri bisa dinaikkan, dan seterusnya! 

Salah satu perspektif baru itu dibentuknya Menko Kemaritiman membawahkan empat kementerian, dipimpin Indroyono Soesilo, yang sedang menjabat direktur perikanan dan budi daya di badan PBB FAO. 

Menteri Perhubungannya Ignasius Jonan, dirut yang membenahi perkeretaapian hingga sering tidur di gerbong sedang jalan. Menteri Kelautannya Susi Pujiastuti, tak tamat SMA tapi penerbangan perintisnya sukses dengan ratusan pesawat yang pilot asingnya saja 170 orang—padahal Merpati usaha milik negara bangkrut! 

Sedang Menteri Pariwisatanya Arief Yahya yang sukses memimpin Telkom. Menteri ESDM Sudirman Said—mantan aktivis antikorupsi yang sukses memimpin Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad). Itu perspektif baru di kemaritiman dengan orang-orang berlatar belakang unik. Selamat bekerja Kabinet Kerja! ***
Selanjutnya.....

Tertegun Menunggu Kabinet!

SEPEKAN sejak pelantikan Presiden-Wakil Presiden Joko Widodo-M. Jusuf Kalla 20 Oktober 2014, bangsa Indonesia tertegun menunggu kabinet! Terbukti, tak mudah menyusun the dream team yang sesuai dengan janji kampanye, yakni bersih dari kasus korupsi dan usaha menjadikan Indonesia poros maritim dunia! 

Kesulitan menyusun tim dengan 33 pemain bisa dibayangkan lewat kegagalan beruntun bangsa ini menyusun tim sepak bolanya yang hanya 11 orang—di U-19 kalah terus sejak tampil pertama sampai angkat koper dari Piala Asia di Myanmar, sementara U-23 kandas di Asian Games Korea Selatan.

Masalah di balik semua itu—juga dalam menyusun kabinet—adalah tantangan sangat berat yang dihadapi! Buat kabinet, tantangan itu antara lain BBM subsidi yang akan habis pada November dengan defisit APBN yang membengkak, lalu defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran (current account) yang juga semakin dalam, pelambatan pertumbuhan ekonomi diikuti penurunan kemiskinan yang juga melambat, serta hal lain yang bisa mengganjal kabinet baru! 

Terkait janji kampanye menyusun kabinet bersih, rekomendasi dari pusat pencatatan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas daftar calon menteri yang diajukan. Kemudian, untuk menjadikan Indonesia poros maritim dunia perlu struktur baru di kabinet, harus lewat DPR mengubahnya. 

Kedua hal itu butuh waktu, sepekan! Excuse begitu boleh-boleh saja, tapi tetap ada konsekuensinya—euforia Jokowi yang berpuncak pada hari pelantikannya dilanjutkan parade kereta kencana dan syukuran rakyat di Monas, seketika jadi senyap, segenap bangsa malah tertegun menunggu kabinet! Padahal, euforia itu sebagai sumbu energi gerakan rakyat mendukung pemerintahan baru tak boleh terlalu cepat padam, terhenti, lantas hening tertegun. 

Padahal, dengan gemuruh euforia itu saat pengumuman dan pelantikan kabinet baru serta geloranya mengiringi langkah awal tugas kabinet, dambaan Jokowi-JK pemerintahannya berjalan dengan penuh partisipasi rakyat bisa terwujud! 

Sebaliknya, jika sempat senyap tertegun! Justru daya kritis yang akan memuncak, hal-hal yang kurang ideal pada kabinet bisa mencuat jadi nightmare! Dukungan partisipasi kritis memang lebih baik dibanding fanatisme buta! Tapi, kalau itu keburu hadir di awal langkah yang masih tertatih-tatih, bisa menguras energi! ***
Selanjutnya.....

Berharap UMK Lampaui KHL!

USAI hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) Kota Bandar Lampung disiarkan sebesar Rp1.770.019, Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo berharap upah minimum kabupaten-kota (UMK) pekerja ditetapkan melampaui KHL! 

Harapan itu, antara lain didasari asumsi dalam waktu dekat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Meski, Gubernur mengingatkan Dewan Pengupahan untuk menghitung dengan cermat dampak penetapan UMK agar perekonomian bisa bergerak dinamis dengan investasi tinggi. Untuk itu, supaya dicari keseimbangannya pada pemenuhan kebutuhan pekerja.

Survei KHL sejak dua tahun lalu mengalami perubahan drastis yang menguntungkan pekerja. Jumlah komponen KHL yang sebelumnya 46 ditambah menjadi 60 item. Selain itu, surveinya menyertakan Badan Pusat Statistik (BPS) yang kini punya kantor di setiap kabupaten/kota. 

Dengan penambahan 14 komponen KHL dan surveinya dilakukan lebih objektif dan profesional itu, peningkatan nilai KHL sejak itu signifikan. Di DKI Jakarta naik hingga 47%, waktu itu pertama tembus di atas Rp2 juta. Sedang di Bandar Lampung, dari waktu itu di kisaran Rp1,1 juta, kini bisa mencapai Rp1,77 juta. 

Harapan Gubernur, UMK melampaui KHL agar kesejahteraan pekerja meningkat tentu sangat ideal. Namun, dari sisi Gubernur, tentunya juga harus melakukan langkah-langkah khusus untuk membantu pengusaha mengurangi beban-beban terselubung yang selama ini mereka pikul dan memberatkan dunia usaha. 

Pertama, penuntasan secepatnya masalah infrastruktur, terutama listrik dan jalan! Listrik, segera akhiri giliran nyala! Sedang jalan, selesaikan rehab semua penjuru agar pasokan bahan baku dari sentra produksi pertanian maupun distribusi barang ke semua jurusan konsumen lancar. Fisik jalan bagus, bebas dari segala bentuk setopan yang memperberat biaya operasional! 

Kedua, meningkatkan beragam pelayanan publik hingga iklim usaha kondusif. Dengan iklim usaha yang kondusif, secara umum pengusaha juga bisa menciptakan suasana kekeluargaan hingga pekerja bersikap roso melu handarbeni—rasa turut memiliki—perusahaan! 

Dalam hubungan majikan-buruh bersemangat kekeluargaan itu, bukan lagi didasari konflik, semua persoalan selesai lewat musyawarah! Perusahaan dan pekerja rukun dan sama-sama nyaman bekerja, dasar ideal untuk menciptakan kesejahteraan pekerja dan pertumbuhan ekonomi nasional! ***
Selanjutnya.....

Ayun Langkah Hijrah Bersama!

USAI Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo mengintegrasikan langkah pembangunan kabupaten-kota di provinsinya, datang beriringan presiden baru dan Tahun Baru 1436 Hijriah! Bagi Lampung ini menjadi momentum untuk mengayun langkah “hijrah” bersama presiden baru menuju kehidupan bangsa yang lebih baik. Hijrah itu bergerak ke suatu tujuan. 

Gerak hijrah bersama suatu bangsa jelas menjadi sebuah konvoi, iring-iringan yang sangat panjang! Tapi kecepatan sebuah konvoi ditentukan oleh kendaraan yang paling lambat! Jika yang paling lambat ditinggal oleh yang lebih cepat, bubarlah konvoi itu! 

Barisan konvoi bubar itulah realita bangsa Indonesia selama ini. Dengan koefisien gini 0,30 pada 2000 menjadi 0,413 pada 2013, ketimpangan sudah jomplang. Kelompok lemah yang lambat ditinggal kian jauh oleh yang geraknya tambah cepat saja. Kaum miskin di kelompok lambat jadi lebih miskin dan lebih lambat, sedang yang kaya tambah kaya geraknya pun semakin cepat pula!

Pengintegrasian semua unsur bangsa untuk konvoi hijrah bersama memerlukan penambahan kecepatan pada kelompok terlemah diprioritaskan! Percepatan itu dengan menambah daya pada kelompok paling lemah agar bisa bergerak lebih cepat. Kecepatan konvoi itu penentu kemajuan bangsa, diukur lewat pertumbuhan ekonomi! 

Bahwa kemiskinan yang menjerat kaum lemah itu memperlambat pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan Rahma Iryanti, Deputi Menteri PPK/Kepala Bappenas, di seminar UGM, 5 September 2014. Fokus dan pemberian prioritas pembangunan pada kelompok paling lambat dalam konvoi itu tak bisa ditawar-tawar lagi! 

Lebih-lebih untuk Provinsi Lampung, yang menurut data BPS Maret 2014 dengan jumlah orang miskin 1.142.920 atau 14,28% dari penduduk, berada di peringkat ketiga termiskin di Sumatera, setelah Aceh (18,05%) dan Bengkulu (17,48%). Lebih buruk lagi, dengan indeks pembangunan manusia (IPM) 72,87 pada 2013, Lampung di peringkat terbawah Sumatera! 

Karena ukuran kemiskinan dan IPM lebih ditentukan oleh konsumsi dan akses pada basic needs—kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan publik lainnya, selain usaha menaikkan pendapatan mereka untuk memenuhi konsumsi, tingkatkan terus semua pelayanan itu! 

Jangan ikutan live show televisi seperti bedah rumah, sebab usai bedah rumah jika pendapatan tak mampu menjangkau konsumsi pada garis kemiskinan, tetap saja masuk kelompok miskin, tertinggal konvoi! ***
Selanjutnya.....

New Deal Kenaikan Harga BBM!

KEBIJAKAN pertama yang tak terelakkan harus dibuat pemerintahan baru adalah menaikkan harga BBM. Namun, kebijakan melepas APBN dari defisit akibat subsidi itu, dengan gaya gila kerja Jokowi, bisa jadi “new deal” seperti kebijakan Roosevelt pada resesi besar 1930-an, fokus pada pemberdayaan kelompok warga terlemah lewat program padat karya! 

Jadi, kompensasinya bukan “permen” bantuan langsung tunai (BLT) seperti saat menaikkan harga BBM Juli 2013 yang terbukti menaikkan jumlah orang miskin dari 28.066.550 pada Maret 2013 menjadi 28.553.930 pada September 2013, atau 487.380 orang jatuh miskin! 

Tentu, aneka program padat karya yang membuat warga miskin jadi aktif kerja, kerja, dan kerja itu melengkapi semua program jaring pengaman sosial yang telah ada, dari raskin, berobat gratis, sekolah gratis, dan berbagai pelayanan lainnya.

Dengan pemberdayaan warga terlemah sosial-ekonominya lewat program padat karya itu, mereka dibuat terbiasa mendapatkan uang dengan memeras keringat sehingga membangun rasa harga dirinya karena tidak justru dibuat terlatih mencadongkan tangan meminta dan meminta melulu. 

Selain itu, dengan pemberdayaan lewat program-program padat karya, seperti dalam new deal Roosevelt, warga bisa mendapatkan dana lebih besar jumlahnya per bulan dibanding BLT! Dengan begitu, kondisi keluarga miskin bisa semakin kuat. 

Jadi, lewat program padat kaya juga ada investasi sosial yang harus dilakukan pemerintah sesuai tujuan pembangunan milenium (MDG's). Selain itu, juga investasi infrastruktur di kawasan perdesaan lewat program padat karya, hal penting yang selama ini relatif terbengkalai. 

Gambaran konseptual kerja, kerja, dan kerja gaya Jokowi itulah yang menjadi salah satu alasan kebijakan strategis pertama Jokowi menaikkan harga BBM itu ditunggu dengan optimisme investor. Menurut Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan, (detik-Finance, 21/10), kebijakan menaikkan harga BBM itu pahit tapi diperlukan karena subsidi BBM menyebabkan fundamental ekonomi Indonesia rapuh. 

Neraca perdagangan dan transaksi berjalan defisit akibat impor BBM yang tinggi—Rp1,4 triliun/hari. Nilai tukar rupiah pun jadi rentan karena tak ditopang fundamental yang kuat. Dengan demikian, menaikkan harga BBM yang dirangkai dengan program new deal menjadi jalan bagi Indonesia memperbaiki fundamental ekonominya, sekaligus jadi andalan mengurangi kemiskinan! ***
Selanjutnya.....

Determinasi Kemiskinan Kronis! (2)

SELAIN dirundung aneka ketimpangan, kemiskinan kronis menjadi determinan yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi juga karena menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) kemiskinan Indonesia semakin “dalam” dan “parah”! 

Menurut BPS, dari jumlah orang miskin 28.066.550 pada Maret 2013 menjadi 28.280.010 pada Maret 2014, bertambah lebih 263 ribu, kedalaman kemiskinan Maret 2013 tercatat 1,75, September 2013 menjadi 1,89, Maret 2014 kembali 1,75. Artinya, kemiskinan dalam jurang kronis yang sulit didaki, sukar untuk bisa keluar. Malah lebih 230 ribu orang kejeblos masuk jurang itu setahun, lebih 500 setiap hari!

Kedalaman jurang kemiskinan itu bisa digambarkan dengan jarak konsumsi per kapita garis kemiskinan nasional Maret 2014 sebesar Rp302.735/bulan, dibanding penghasilan kotor wakilnya di DPR sekitar Rp65 juta/bulan! 

Jadi, perlu 215 bulan garis kemiskinan untuk menyamai penghasilan sebulan wakilnya di DPR! Selain kedalaman jurang kemiskinan yang sedemikian, tingkat keparahannya masih terus meningkat dari 0,43 pada Maret 2013 menjadi 0,44 pada Maret 2014. 

Itu menunjukkan kondisi serbakekurangan dari pemenuhan kebutuhan minimal (basic needs) terus kian memedihkan! Lebih menyayat hati lagi, garis kemiskinan Indonesia itu, yakni Rp302.735/kapita/Maret 2014 itu masih di bawah garis kemiskinan absolut Bank Dunia sebesar 1 dolar AS/jiwa/hari. 

Jadi, kemiskinan kronis versi Deputi Kepala Bappenas Rahma Iryanti, yang determinasinya menghambat pertumbuhan ekonomi itu, kondisinya lebih buruk dari kemiskinan absolut! Untuk mengatasi kemiskinan kronis yang amat buruk itu, tentu paling tepat lewat memberdayakan warga miskin itu sendiri untuk bangkit dan keluar dari jurang kemiskinan dengan kerja, kerja, kerja, dan kerja—seperti ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya usai dilantik di MPR, Senin (20/10). 

Tapi malang nian warga miskin itu, bukan mereka malas tak mau kerja, tapi mereka miskin justru karena tak punya pekerjaan untuk dikerjakan! Atau, punya pekerjaan pun, pendapatannya sangat rendah! 

Jadi, seperti kata ekonom Bank Dunia Vivi Alatas, perlu peningkatan anggaran program-program jaring pengaman sosial agar mereka bisa meraih akses pelayanan dasar dan membantu mereka lepas dari kemiskinan dengan penyediaan pekerjaan yang memberi penghasilan lebih baik! Kalau fokus, tak kebanyakan gaya dan citra, diyakini bisa berhasil! *** (Habis)
Selanjutnya.....

Determinasi Kemiskinan Kronis!

DEPUTI Menteri PPK/Kepala Bapenas Rahma Iryanti menyatakan sejak 2011 penurunan jumlah absolut warga miskin Indonesia di bawah 1 juta orang per tahun. Itu ujarnya di seminar UGM (5/9), karena kondisi kemiskinan kini sudah mencapai tahap yang kronis. 

Kemiskinan kronis itu kondisi kemiskinan yang dirundung ketimpangan serius—dari koefisien gini 0,30 pada 2000 menjadi 0,42 pada 2013. Dengan itu peningkatan ketimpangan Indonesia tertinggi di Asia.

Ketimpangan terjadi dalam kesenjangan ekonomi dan nonekonomi. Kesenjangan ekonomi ditunjukkan dengan timpangnya pertumbuhan pengeluaran antarkelompok masyarakat. Kesenjangan nonekonomi ditunjukkan dengan ketimpangan akses terhadap pelayanan dasar: kesehatan, pendidikan, air, sanitasi, dan lainnya. 

Makin lebar kesenjangan, warga miskin kronis kian tak mampu keluar dari kemiskinan sehingga melemahkan pertumbuhan ekonomi! Kata Rahma, kesenjangan juga berpotensi negatif terhadap kohesi sosial dan politik. 

Peningkatan kesenjangan mengurangi pertumbuhan ekonomi melalui perubahan pola permintaan, perubahan ukuran pasar domestik, kegiatan kewirausahaan menurun. Keterkaitan ekonomi politik dan instabilitas juga memperlambat pertumbuhan ekonomi. 

Kemiskinan kronis dirundung kesenjangan pun jadi determinan yang memperlambat pertumbuhan ekonomi! Negasinya, kegiatan produktif mengatasi kesenjangan guna mengurangi kemiskinan kronis bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi!

Itu selaras dengan ekonom Bank Dunia Vivi Alatas di seminar Bank Dunia di Jakarta (25/9), mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan membantu warga miskin menolong diri mereka sendiri, melalui penyediaan pekerjaan yang memberikan penghasilan lebih baik, dan memastikan anak-anak di seluruh Indonesia mendapat akses yang sama ke layanan berkualitas, membantu mereka keluar dari kemiskinan! 

Juga sesuai asumsi Rahmah, melambatnya penurunan kemiskinan akibat kondisi makroekonomi yang belum optimal, kata Vivi Alatas, saat ini Indonesia hanya menghabiskan 0,7% PDB untuk program-program bantuan sosial, amat rendah dibandingkan Brasil 1,5% dari PDB-nya. 

Maka itu, jika determinasi kemiskinan kronis diforsir untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan program-program mengatasi aneka kesenjangan, penurunan kemiskinan dan kesenjangan menjadi wujud kemajuan bangsa! ***
Selanjutnya.....

Rakyat Jadi King Maker Jokowi!

RAKYAT, itulah king maker sebenarnya yang telah menjadikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia 2014—2019. Memang, sebagai “lantaran” ada Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung pencalonan pasangan Jokowi-JK. 

Namun, dengan kekuatan riil KIH hanya 37 persen pemilih, tanpa hadirnya rakyat di posisi king maker, pasangan Jokowi-JK tak akan memenangi Pilpres 2014 melawan Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung pasangan Prabowo-Hatta yang memiliki kekuatan riil 63 persen. Adu kekuatan riil KIH versus KMP itu terjadi di parlemen justru setelah Jokowi mengeliminasi people power “Salam 2 Jari” menjadi “Salam 3 Jari”—Persatuan Indonesia!

Terbukti, KIH keok! Pakem konstitusi UUD 1945 yang pada Pasal 1 Ayat (2) menetapkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat” dan Pasal 22E menegaskan pemilihan umum dilakukan secara langsung oleh rakyat, memperkuat kehadiran rakyat sebagai king maker. 

Tapi, hal ini justru merupakan anomali dalam budaya dan sejarah Jawa. Dalam budaya nusantara yang relatif terpengaruh kultur Jawa, dalam dunia fiksi perwayangan dikenal Semar sebagai king maker, yang momong (mengasuh) Satrio Piningit untuk ditempa menjadi raja adil dan bijaksana. Demikian pula di ujung sejarah Majapahit, hadir Sabdopalon dan Noyogenggong, tokoh king maker yang momong Satrio Piningit untuk dijadikan Ratu Adil pada suatu zaman kelak setelah terjadi sebuah malapetaka, kerusuhan, dan ada penguasa lalim menindas rakyat! 

Lalu, king maker formal menurut aturan konstitusi adalah partai politik atau gabungan partai politik (sebagai satu-satunya entitas) yang diberi hak untuk mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden. Tapi terbukti, hanya koalisi gabungan parpol tak cukup buat memenangkan calon yang diusung, kecuali rakyat dengan kekuatan people power-nya tampil sebagai king maker. 

Kehadiran rakyat sebagai king maker itu tersulut wacana tentang Ratu Adil yang merebak di berbagai media sosial sebelum pilpres 2014—antara lain bisa disimak pada tulisan Wildan Sena Utama (Sinar Harapan.co, 3/1), dan Muhammad Subarkah. (ROL, 2/6) 

Keberuntungan Jokowi, dengan gaya hidup sederhana cerminan rakyat jelata itu ia diunggulkan lebih banyak rakyat sebagai Satrio Piningit. Sedang lawannya, bukan mustahil, digambarkan sebagai kelompok penguasa lalim, yang menjadi alasan kemunculan Ratu Adil! Begitulah kisah rakyat menjadi king maker! ***
Selanjutnya.....

Pesta Rakyat, Selalu Ingat Rakyat!

KIRAB budaya mengarak pasangan Presiden Joko Widodo-Iriana Widodo dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla-Mufidah Kalla di atas dua kereta kencana akan memulai pesta rakyat pelantikan Jokowi-JK, Senin, 20 Oktober 2014. 

Kirab dimulai pukul 12.00 di Bundaran HI seusai pelantikan Presiden-Wapres Jokowi-JK di Gedung MPR, dengan rute Jalan Sudirman, kembali ke Jalan Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, berakhir di Monas. Kedua kereta kencana milik Pemprov DKI, dengan kuda dan kusirnya didatangkan dari Solo. (Kompas.com, 16/10)

Menurut koordinator kirab, Jay Wijayanto, sejumlah komunitas sudah mendaftar untuk ikut kirab budaya, antara lain reog ponorogo, komunitas sepeda bambu, pengguna kostum batik, kelompok perkusi, marching band, dan pemulung. 

Sejumlah artis pengisi acara Pesta Rakyat di Monas termasuk grup Slank, ikut kirab dengan naik andong. Pesta Rakyat di Monas akan berlangsung sampai malam. Untuk itu, kelompok Relawan Jokowi Wong Cilik dipimpin seorang petani sawit, Aminuddin, menyiapkan 25 ribu nasi bungkus yang dibagikan di setiap pintu masuk Monas. 

Nasi bungkus itu dipesan dari warung padang, warteg, pecel lele dan lainnya dengan setiap pedagang mendapat pesanan 100 bungkus. Dengan begitu bisa lebih banyak pedagang yang mendapat pesanan. Pada pukul 19.00, Presiden Joko Widodo memimpin di Monas diikuti dari tempat-tempat lain di seluruh Tanah Air penglepasan ke langit Indonesia 17.840 lampion, sejumlah pulau yang terdaftar dan punya nama di seluruh Nusantara Indonesia. 

 Bandar Lampung, menurut koordinator acara lampion Ferdinan Hutahaean, menjadi salah satu kota yang terpilih untuk melepaskan lampion ke langit itu, selain kota dan tempat penting lainnya dari Sabang ke Merauke! 

Pesta Rakyat untuk merayakan pelantikan Presiden-Wapres Jokowi-JK itu dipilih sukarelawan pendukung Jokowi-JK yang dikoordinasi Abdee “Slank” Negara untuk mengingatkan bahwa pasangan tersebut hasil perjuangan rakyat—para sukarelawan sampai di pelosok terpencil, maka itu agar senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat! 

Jadi, jangan meniru pemimpin yang setelah dipilih rakyat berorientasi kepentingan elite, bahkan lebih banyak pertimbangan untuk citra dirinya ketimbang kepentingan rakyat! Sering, orientasi pada kepentingan rakyat hanya jika mendukung pencitraan! Pelajaran penting bagi Jokowi dengan Pesta Rakyat! ***
Selanjutnya.....

Jangan Mitoskan Jokowi Ratu Adil!

RATU Adil akan datang! Begitu gosip yang ramai di berbagai media sosial di ambang Pemilu Presiden 2014, sebagaimana ditulis Muhammad Subarkah, (ROL, 2/6). Ia menambahkan berbagai buku tentang Ratu Adil juga bermunculan di toko-toko buku, mulai dari yang sifatnya kajian ilmiah hingga bergaya sastra seperti novel. 

Mitos Ratu Adil mencekam publik. Namun, Subarkah mengingatkan masyarakat dengan mengutip pernyataan W.S. Rendra, "Sudahlah! Ratu Adil tidak ada! Dia tak akan datang!" Menurut Rendra, Ratu Adil itu impian yang muncul akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan rakyat menghilang.

Sementara Wildan Sena Utama dari Leiden mengutip pernyataan Bung Karno dalam Indonesia Menggugat, "Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya datangnya Ratu Adil dan sering kita mendengar di desa sini atau di desa situ telah muncul seorang Imam Mahdi atau Erucakra. Tidak lain tak bukan karena rakyat menunggu pertolongan." (Sinar Harapan.co, 3/1) Indonesia Menggugat itu pembelaan Bung Karno di Landraad Bandung, 1 Desember 1930. 

Ia divonis menyebar permusuhan politik kepada Pemerintah Belanda. Ratu Adil itu mitos berdasar ramalan Prabu Jayabaya (Kediri, 1135—1159). Isinya, kelak ketika terjadi malapetaka, kemelut sosial, dan ketidakadilan dari penguasa lalim, akan muncul seorang Ratu Adil yang akan menyelamatkan rakyat Jawa dari keterpurukan.

 Jadi, kalau menjelang pilpres muncul isu Ratu Adil, bisa ditebak kekuasaan mana yang dituding lalim dan siapa pula yang muncul sebagai Ratu Adil. Gosip di media sosial seperti itu mungkin membantu perolehan suara Jokowi di Jateng dan Jatim unggul—penentu kemenangan! Namun, hal itu bisa membuat pandangan sebagian orang memitoskan Jokowi sebagai Ratu Adil. 

Kemungkinan demikian tentu tidak baik. Sebab, selain Jokowi bukan Ratu Adil yang superior seperti dalam ramalan Prabu Jayabaya, mitos itu membuat kinerja Jokowi tak lagi dinilai secara rasional! Sebagai Ratu Adil kebijakannya dianggap tak akan bisa salah atau keliru! Akibatnya, tak boleh dikritik, resistan terhadap kritik! 

 Padahal, semua warisan masalah berat yang diterima Jokowi dari pendahulunya itu nyata dan faktual! Penanganannya juga harus realistis, tak selesai sendiri secara gaib seperti cerita Sukrosono atau Roro Jonggrang! Lebih dari itu, perlu partisipasi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa! ***
Selanjutnya.....

Warisan Masalah Sangat Berat!

PARA pengamat dan praktisi mencatat, saat dilantik Senin (20/10) pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla menerima warisan masalah bangsa yang sangat berat dari pendahulunya, pasangan SBY-Boediono. 

Masalah itu, dalam ekonomi antara lain nilai tukar rupiah melemah hingga Rp12 ribu/dolar AS, defisit neraca perdagangan yang membesar, pungutan liar, peringkat infrastruktur yang masih rendah, yaitu di peringkat 61 dari 144 negara, impor pangan yang tinggi, subsidi BBM yang segera habis, ancaman pengangguran mencapai 2 juta orang hingga 10 tahun ke depan, serta kesenjangan yang semakin lebar dengan rasio gini 0,41, sudah lampu kuning, padahal selama Orde Baru rasio gini selalu di bawah 0,35. (Kompas, 13/10)

Seabrek masalah sangat berat itu masih ditambah lagi dengan korupsi yang malah sempat membelit poros kekuasaan, ormas yang gemar melakukan kekerasan makin beringas, orientasi banyak politikus pada kekuasaan kian mengenaskan, membuat rakyat cemas akan masa depannya! 

Semua itu terjadi karena sang pendahulu sering ragu mengambil keputusan, hingga banyak masalah dibiarkan berkembang menjadi semakin kusut dan kompleks. Sebagian lagi karena keputusan diambil lebih untuk citra. Akibatnya, masalah yang menuntut kebijakan tak populer, bongkar tuntas ke akar-akarnya, justru di balik dengan menutupi akarnya agar kebijakan tetap populer! 

Contoh, menunda-nunda untuk menaikkan harga BBM subsidi yang saat dilakukan malah dimuati tujuan terselubung, yakni menabur BLT untuk menaikkan citra dekat pemilu. Atas warisan masalah yang sangat berat itu, para pengamat dan praktisi, antara lain Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Tony Prasetiantono dan Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi (Kompas, idem) menyatakan satu-satunya tumpuan masyarakat adalah susunan kabinet pemerintahan Jokowi-JK yang kapasitas ketokohan dan profesionalitasnya benar-benar mumpuni. Kalau saat kabinet diumumkan kapasitas ketokohan dan profesionalitasnya dinilai memble, tak mustahil harapan rakyat yang tinggi pada Jokowi-JK langsung amblas. 

Tapi bagaimana kalau masalahnya bukan kapasitas kabinet, melainkan lebih efektifnya penjegalan program di parlemen? Kalau itu, serahkan pada sejarah siapa-siapa politikus busuk yang hanya berburu kekuasaan, kerjanya merampas hak-hak rakyat dan menjegal usaha perbaikan nasib rakyat! ***
Selanjutnya.....

Muzadi Tidak Setuju FPI Dibubarkan!

MANTAN Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menyatakan tidak setuju organisasi Front Pembebasan Islam (FPI) dibubarkan. Alasannya, organisasi serupa bisa muncul dengan berganti nama. (Kompas.com, 13/10) 

Muzadi juga tak mempermasalahkan sikap FPI yang berunjuk rasa menentang Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Namun, dia menyarankan agar demo dilakukan tanpa unsur kekerasan. Demo itu hak demokrasi, tapi tak ada hak untuk melakukan kekerasan, tegasnya. Dia minta FPI meningkatkan kualitas perjuangannya.

Ide pembubaran FPI itu datang dari Ahok setelah demo terakhir FPI di DPRD DKI menolak Ahok jadi gubernur dilakukan dengan kekerasan. Banyak mobil di halaman DPRD rusak dan belasan polisi luka-luka kena lemparan bata saat bentrok dengan massa FPI. 

Karena itu, Kapolri juga menimpali Ahok agar FPI yang sudah dua kali mendapat teguran polisi akibat kekerasan yang dilakukannya supaya dibubarkan. Namun, Kementerian Dalam Negeri menyatakan hanya putusan pengadilan yang bisa membubarkan FPI. 

Keresahan terhadap tindakan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang anarki juga pernah dikemukakan Presiden SBY dalam pidato Hari Pers Nasional, 9 Februari 2011, di Kupang, NTT. Waktu itu SBY menekankan agar aparat mencari cara legal untuk membubarkan ormas-ormas yang gemar melakukan kekerasan. 

Ternyata Hasyim Muzadi berpendapat lain mengenai pembubaran ormas yang gemar melakukan kekerasan itu. Menurut dia, sebaiknya polisi menangkap anggota ormas yang melakukan tindak kriminal atau melanggar hukum. 

Bagaimanapun juga, tegasnya, demo dengan kekerasan tidak dibenarkan, baik dalam undang-undang maupun dalam ajaran Islam. Untuk itu, ia meminta demonstran mencari cara yang sehat dalam menyampaikan pendapatnya. 

Seharusnya sejak pernyataan SBY yang mencerminkan habis akal menghadapi tingkah ormas yang gemar melakukan kekerasan, gerakan nasional masyarakat antikekerasan digalakkan! Sejenis gerakan Ahimsa di zaman Gandhi, antara lain dengan mengampanyekan amat hinanya kekerasan yang dilakukan ormas-ormas tersebut! 

Sampai, orang merasa dirinya rendah di mata masyarakat jika ormasnya melakukan kekerasan. Bukan sebaliknya, orang malah bangga kekerasan menjadi ciri khas organisasinya! ***
Selanjutnya.....

ISIS Semakin Tidak Terbendung!

ISIS—Islamic State of Iraq and Syria—dipimpin Khalifah Abu Umar al-Baghdadi semakin tak terbendung meruyak wilayah Suriah Timur dan Irak Utara. Lajunya seolah tak tertahan oleh serangan udara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya! Minggu (12/10), di Suriah pertempuran memperebutkan Kota Kobane, kawasan di perbatasan Turki. 

Gerak ISIS di front itu dihadang milisi suku Kurdi dibantu AS dan sekutunya dengan serangan udara. Meski demikian, ISIS terus melaju, kota-kota lain sekitar Kobane telah mereka kuasai. Hari sama di Irak pertempuran di dua front.

Front Abu Graib, hanya 30 km utara Bagdad membentuk 'Sabuk Bagdad', Ramadi dan Falujah lebih dahulu dikuasai ISIS. Di front ini ISIS dihadang tentara pemerintah Irak dibantu milisi Syiah—yang kewalahan, terdesak mundur terus. 

Front kedua di Diyala, provinsi timur di Irak Utara yang berbatasan dengan Iran. Di front ini lawan ISIS milisi Kurdi. Dalam breaking news CNN Minggu pagi waktu Atlanta, Senator McCain (Republik) dan Senator Independen dari Vermont Bernie Sanders, tidak setuju pasukan darat AS diturunkan untuk menahan laju ISIS. 

Kesalahan Presiden Bush (Jr.) mengirim pasukan darat ke Irak tak boleh terulang, tegas Sanders, saat itu lebih 5.000 putra terbaik AS tewas tanpa terkait langsung usaha mempertahankan Tanah Airnya! Menurut Sanders, apa yang diperankan AS dan sekutunya dari Inggris, Prancis, dan Jerman membantu warga lokal untuk mempertahankan negerinya itu sudah maksimal! 

Seharusnya negara-negara sekitar lokasi, seperti Arab Saudi, Turki, dan lain-lain yang menurunkan pasukan darat menahan laju ISIS. Jika tidak, hanya soal waktu saja negara-negara sekitar jadi front baru ISIS yang kian kuat dengan rekrutmen baru di wilayah taklukkan! 

ISIS semula pemberontak melawan rezim Bashar Al-Assad yang didukung pejuang dan dana asing non-Barat! Sayap lainnya didukung Barat, kini masih bertempur melawan rezim Assad di seputar ibu kota Damaskus dan kota bisnis Alepo. 

ISIS meruyak ke wilayah timur Suriah yang pertahanan rezim Assad relatif lemah. ISIS juga terus bertambah kuat dengan hasil rampasan dari bank dan lembaga bisnis di setiap kota yang mereka rebut, cukup untuk membeli tambahan senjata dan amunisi di pasar gelap! 

Dengan negara-negara sekitar hanya berharap AS dan sekutu—yang sudah dipastikan enggan—menurunkan pasukan darat, ISIS akhirnya akan de facto eksis sebagai kekhalifahan dengan wilayah luas di jazirah Arab! ***
Selanjutnya.....

Meja Makan, Bukan West Wing!!

MENGHADAPI krisis dengan parlemen yang dikuasai oposisi, banyak orang khawatir bisa menghambat program unggulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehingga mereka berpikir perlu merekrut sejumlah pelobi ulung untuk menjalin komunikasi intensif dengan parlemen, seperti para pelobi West Wing di Gedung Putih. 

Bayangan seperti itu buyar setelah akhir pekan lalu Jokowi mengundang makan dan melakukan pertemuan tertutup dengan pimpinan parlemen; Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman Gusman. Mereka bercerita pertemuan berlangsung santai penuh senda gurau. Jokowi bertekad akan melakukan pertemuan itu secara rutin. (detikNews, 12/10)

Jadi bukan pelobi model West Wing yang diperlukan, melainkan meja makan tempat membahas secara santai pandangan yang tak sejalan, bahkan kontroversial, menjadi sebuah kesepahaman dan kesepakatan. Gaya Jokowi menyelesaikan masalah lewat meja makan itu sudah dilakukan sejak ia menjabat wali kota Solo. 

Salah satunya saat ia harus merelokasi pedagang kaki lima (PKL) yang memenuhi kawasan Monumen Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo, yang dibangun Pemkot Solo untuk menampung mereka. Di mana pun tak mudah memindahkan PKL, tapi lewat makan bersama PKL pindah sukarela. 

Di Jakarta, selaku gubernur DKI, menurut catatan detikNews (idem) Jokowi juga melakukan beberapa kali makan bersama dengan warga yang tak sepandangan dengannya. Antara lain dengan para penolak Lurah Lenteng Agung hasil lelang jabatan, Susan. Juga dengan para ketua RT dan RW kawasan Waduk Pluit. 

Semua kesepahaman tercapai di meja makan. Gaya khas Jokowi, meja makan dijadikan proses artikulasi—merumuskan dengan tajam masalahnya bersama pihak terkait, lalu secara bersama-sama menyepakati jalan keluar penyelesaian masalahnya! 

Tentu saja Jokowi tidak datang dengan tangan kosong ke pertemuan makan bersama untuk melakukan artikulasi itu. Ia selalu siap dengan hasil agregasi—pengumpulan informasi dan aspirasi terkait masalahnya lewat gaya khasnya yang lain, blusukan! 

Bahkan setelah blusukan, selain penguasaan masalah dan aspirasi warga terkait, ia sekaligus datang ke meja makan dengan solusi! Demikian efektif kepemimpinan Jokowi dengan sentuhan manusiawi, lewat blusukan dan meja makan. 

Tapi masih harus diuji, apakah sentuhan manusiawi Jokowi bisa melunakkan garangnya parlemen? ***
Selanjutnya.....

TSM, Korupsi Dana Pendidikan!

"ICW—Indonesian Corruption Watch—dalam laporan terakhirnya menyebut Provinsi Lampung tahun ini peringkat 10 terbesar korupsi dana pendidikan. Peringkat itu didapat berdasar jumlah kerugian negara dalam 12 kasus korupsi yang diputus pengadilan sebesar Rp13,8 miliar. 

Menanggapi laporan ICW itu, Direktur Eksekutif Komite Antikorupsi (Koak) Lampung Muhamad Yunus menduga kebocoran dana pendidikan di daerahnya jauh lebih besar dari yang disebut ICW. Ia berpijak pada kasus korupsi sertifikasi di Lampung Utara saja Rp1,3 miliar. Belum lagi ditambah kasus korupsi dana biaya operasional sekolah—BOS (Lampost, 10/10).

Bahkan, hasil survei (studi kasus) Koak di 10 sekolah daerah ini tahun lalu mencatat kebocoran dana pendidikan secara keseluruhan mencapai 40% dari anggaran pendapatan dan belanja sekolah—APBS! 

Seberapa besar korupsi dana pendidikan di Lampung bisa dikuantifikasi 40% dari Rp1 triliun dana pendidikan pada APBD provinsi, ditambah 40% dari 20% APBD 15 kabupaten/kota, ditambah lagi dana partisipasi orang tua murid yang masuk APBS semua sekolah! 

Hasil studi kasus Koak kebocoran 40% dari APBS itu conform dengan gugatan kepala sekolah yang dicopot karena menolak setor ke atasan! Walau gugatan itu ditolak pengadilan, tetap membuktikan semua kepala sekolah yang mau setor tidak dicopot! 

Fakta kualitatifnya pun, korupsi dana pendidikan terjadi secara terstruktur, sistemik, dan masif (TSM). Itu membuat sukar dibuktikan secara legal formal! Karena, semua berproses dalam struktur secara sistematis dalam arti tahu sama tahu (TST), sukar dicari bukti fisis yang memenuhi syarat secara hukum! 

Jelas, bukan tugas seorang kepala sekolah yang teraniaya itu untuk membuktikan adanya jaringan korupsi TSM pada dana pendidikan! Bahkan, lembaga secanggih Komisi Pemberantasan Korupsi pun tak mudah melakukannya! 

Oleh karena itu, tindakan terpenting dari kepala daerah, dalam hal ini gubernur, adalah membuat sistem pencegahannya! Dan itu dilakukan dengan tidak alergi pada data survei seperti dari Koak—sejak proses hingga hasilnya—agar seluruh celah korupsi yang mencapai 40% dari APBS itu bisa ditutup serapat-rapatnya! 

Kenapa harus gubernur yang membuat stelsel pencegahan korupsi dana pendidikan? Karena berdasar gugatan kepala sekolah yang dicopot akibat menolak ikut irama gendang korupsi, penabuhnya justru berada dekat kepala daerah—yang ia gugat!" ***
Selanjutnya.....

Empati pada Rakyat Konstituen!

MINUSNYA empati politikus pada sesama politikus di forum perwakilan, cermin dari lebih lemah lagi empati politikus kepada rakyat, konstituen yang memilihnya! Maksudnya, kalau kepentingan sesama politikus di forum perwakilannya saja tak mereka hormati, hanya kepentingan pihak dirinya yang diwujudkan, apalagi kepentingan rakyat konstituen yang jauh dari tempat tugasnya! 

Itu terlihat ketika dengan amat mudah politikus mencabut hak pilih rakyat untuk pemilukada langsung, diganti tak langsung oleh DPRD. Tentunya, pencabutan hak itu juga berlaku terhadap konstituennya!

Kuat terkesan, politikus yang minus empati pada rakyat itu meremehkan konstituen sekadar sebagai orang-orang yang hak pilihnya cukup ditukar dengan sepaket sembako kapan pun dibutuhkan! Empati dimaksud tentu sesuai di Kamus Besar Bahasa Indonesia: keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. 

Atau dalam bahasa populer diartikan, kemampuan menempatkan diri dalam situasi orang atau kelompok lain, Tepatnya, perasaan dan pikiran politisi tak nyambung dengan perasaan dan pikiran rakyat, termasuk konstituen—rakyat yang memilih sang politikus untuk mewakili dirinya! Dengan demikian, para politikus hidup di dunia dan keasyikannya sendiri, terlepas dari rakyat yang diwakilinya! 

Akibatnya, mereka hanya memikirkan dan memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan partai atau koalisinya, tak memperjuangkan konstituennya! Kalau sekadar tidak memperjuangkan nasib rakyat, sudahlah! Rakyat sudah maklum dan nerimo saja selama ini! 

Tapi kalau demi kepentingan partai dan koalisinya malah merampas hak rakyat (memilih kepala daerah), sikap politikus itu sangat keterlaluan sekali! Aneka pengkhianatan politikus pada rakyat konstituennya akibat minusnya empati itu terjadi karena politikus tak menyadari dan memahami bahwa aktualisasi empati itu merupakan implementasi kontrak (sosial) politik mereka kepada konstituennya! 

Lebih celaka lagi, kebanyakan politikus tak mengerti apa itu empati maupun kontrak (sosial) politik dalam posisinya sebagai pejabat publik! Tanpa kecuali, kata empati itu berasal dari Yunani, setua dan sejalan dengan kata demokrasi! Lemahnya penguasaan prinsip profesinya itu hanya menunjukkan, kehadirannya sebagai politikus kebanyakan hanya amatiran! Itu membuat tambah sengsara rakyat yang diwakilinya! ***
Selanjutnya.....

Elite Politik Kita Minus Empati!

DARI kecamuk di parlemen usai terakhir ini mencuat kesan kuat elite politik kita secara umum minus empati—kemampuan menempatkan diri dalam situasi orang lain! Tanpa empati, elite politik jadi ngotot hanya mengutamakan kepentingan pihaknya! 

Jangankan tawar-menawar memberi peluang atau kesempatan pihak lain, toleransi pada kepentingan pihak-pihak lain pun sama sekali tertutup! Entah apa jadinya kehidupan bernegara-bangsa nanti kalau elite politiknya tak memiliki empati dan toleransi, semua hanya ngotot pada maunya pihak sendiri tanpa peduli kepentingan pihak lain.

Lebih celaka lagi, maunya sendiri saja itu dipenuhi dengan merampas hak-hak pihak lain, tanpa kecuali hak konstitusional, kedaulatan rakyat memilih pemimpin! Sikap elite politik yang mau menang sendiri, minus empati dan toleransi itu mencemaskan kalangan pengusaha karena bisa menyulut suhu politik yang berimbas buruk pada dunia usaha. 

Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto pekan lalu lewat pertemuan dengan pemimpin media massa mewanti-wanti agar elite politik peduli ekses negatif krisis politik pada ekonomi nasional. Itu salah satu dampak krisis politik. 

Dengan terganggunya ekonomi nasional, mayoritas rakyat yang masih miskin penderitaannya semakin fatal! Lalu, kriminalitas dalam masyarakat pun serta-merta meningkat! Ketenteraman hidup rakyat akhirnya terganggu! 

Tapi, bagi elite politik yang minus empati dan toleransi, semua itu tak ada artinya! Baginya, terpenting ambisi politiknya terlampias! Hal itu tentu kurang pas untuk kehidupan bersama di negara Bhinneka Tunggal Ika ini. 

Karena itu, empati yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya di keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain” itu seharusnya menjadi kapasitas kemampuan penting bagi elite politik! 

Tanpa itu, dengan kekuasaannya elite politik menciptakan situasi dan kondisi homo homini lupus, nenjadi monster pemangsa sesama—rakyat dan kelompok politik dan sosial yang lemah! Dengan Kamus Besar jelas menyebut empati itu masalah mental, minusnya empati harus ditempatkan proporsional sebagai masalah mentalitas elite politik. Kasihan rakyat, jatuh ke tangan elite yang mentalitasnya bermasalah! ***
Selanjutnya.....

Rakyat Masuki Hibernasi Politik!

HIBERNASI adalah suatu kondisi di mana makhluk-makhluk membekukan diri untuk bertahan hidup selama musim salju. Saat musim semi datang, mereka bangun dan kembali hidup secara normal! 

Hal serupa dialami rakyat Indonesia dalam bentuk hibernasi politik, dilakukan selama hak mereka memilih pemimpin, sebagai aktualisasi kedaulatan rakyat menurut konstitusi, dibekukan oleh elite politik! Mereka juga menunggu datangnya musim semi demokrasi, seperti di banyak negara kawasan Timur Tengah!

Kondisi hibernatif dialami rakyat banyak negeri Timur Tengah, hingga kebangkitan demokrasi di kawasan itu disebut Arabian springs—musim semi Arab—seperti terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, waktunya bisa puluhan tahun! 

Di Mesir, misalnya, hibernasi berlangsung sejak terbunuhnya Hasan Al Banna 1948 sampai jatuhnya Hosni Mubarak dan Ikhwanul Muslimin memenangkan Mursi jadi presiden dalam pemilu demokratis 2012! 

Tapi masuk hibernasi kembali setelah Mursi dikudeta Jenderal Abdul Fatah al-Sisi pada 2013! Lama hibernasi politik yang sedang dimasuki rakyat Indonesia tergantung konsolidasi people power melawan penindasan yang dilakukan oleh elite partai politik terhadap hak-hak demokrasi rakyat yang konstitusional! 

People power terbaik adalah yang nonpartisan seperti 1998, lebih-lebih karena yang merampas hak-hak politik rakyat saat ini adalah kekuatan gabungan parpol di parlemen—yang baru didukung rakyat tapi khianat, merampas kedaulatan rakyat! Meski butuh waktu, konsolidasi people power itu mungkin bisa tak berlarut-larut seperti di Timur Tengah. 

Selain kesadaran rakyat Indonesia atas hak-haknya sudah jauh lebih baik daripada di Arab dan Afrika, secara sporadis gerakan menolak pilkada tidak langsung yang merampas kedaulatan rakyat itu terus menggeliat di seantero Tanah Air. 

Artinya, jika ada isu sentral yang bisa memicu gerakannya bangkit serentak dan saksama, sebuah people power yang mumpuni bisa hadir! Dan itu pasti lebih dahsyat dari people power yang memenangkan Jokowi-JK pada pilpres lalu. 

Bahkan bukan mustahil, massa pendukung kedua capres yang kecewa hak pilihnya dirampas bangkit bersama dalam koalisi perjuangan rakyat merebut kembali hak konstitusional mereka yang terampas! Dengan itu, hibernasi politik pada rakyat Indonesia mungkin bisa segera diakhiri! ***
Selanjutnya.....

MPR tanpa Permusyawaratan!

"MPR—Majelis Permusyawaratan Rakyat—Rabu (8/10) dini hari memilih pimpinan majelisnya tanpa menggunakan proses permusyawaratan sesuai namanya!" ujar Umar. "MPR mengambil putusan lewat voting, mengandaskan segala usaha untuk memenuhi kodrat majelisnya sebagai wadah musyawarah untuk mufakat!" "Itu wujud semakin terlembaganya sistem politik liberal elitis di negeri kita!" timpal Amir. 

"Setelah hak kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dicabut, segera disusul pencabutan hak kedaulatan rakyat memilih presiden, habis tuntaslah semua hak rakyat dalam kehidupan politik! Demokrasi pun mati karena demokrasi itu secara harfiah maupun hakikinya berarti pemerintahan oleh rakyat, sedang rakyat secara praktis sudah tak punya lagi kekuasaan efektif dalam menentukan pemerintahan!"

"Saat bunyi konstitusi kedaulatan berada di tangan rakyat tinggal isapan jempol dan majelis permusyawaratan tidak lagi sebagai wadah bermusyawarah, berarti negara ini telah keluar dari wujud yang dicita-citakan para Bapak Pendiri Bangsa dan para pejuang kemerdekaan!" tegas Umar! Apa elite politik menyadari itu?" 

"Meminta elite politik yang tengah mabuk kekuasaan untuk menyadari hal itu dan introspeksi atas realitas tersebut, jelas cuma harapan sia-sia!" tukas Amir. "Sebab, dalam sistem politik liberal elitis, hanya tafsir elite yang berlaku sebagai segala kebenaran! 

Sedang rakyat, tak punya hak lagi untuk membuat tafsirnya terhadap segala hal terkait kehidupan bernegara bangsa! Jangankan menafsir hal strategis, secara praktis rakyat telah dibungkam hingga kembali menjadi silent majority—mayoritas bisu—hak-hak politiknya dalam bernegara bangsa selesai dipereteli!" 

"Lebih malang lagi nasib rakyat kalau para politikus yang mengisi jabatan publik tidak memiliki sikap kenegarawanan!" timpal Umar. "Yakni, mereka menjadikan dirinya dalam jabatan publik itu bukan sebagai pelayan rakyat maupun abdi negara dan bangsa, melainkan mengabdikan jabatannya semata untuk kepentingan partai dan koalisi politik kekuasaan! 

Akibatnya, rakyat bukan saja tak mendapat apa-apa dari kekuasaan negara yang mereka kelola! Sebaliknya, rakyat malah dijadikan tumbal untuk segala jenis pengorbanan yang diperlukan bagi kepentingan negara yang diorientasikan buat sebesar-besar kenikmatan elite pengelola kekuasaan!" 

"Semua itu harus dirayakan oleh rakyat!" tegas Umar. "Dirayakan sebagai kemajuan demokrasi—pemerintahan oleh rakyat!" ***
Selanjutnya.....

KIH tanpa People Power, Keok! (2)

"KALAU belakangan Jokowi-JK menyadari perlu merajut kembali people power dari serpihan untuk menangkal tekanan Koalisi Merah Putih (KMP), bisa?" tanya Amir. "Tentu saja bisa, tapi dengan catatan," jawab Amir. "Pertama, people power yang kini bangkit lebih murni buat perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat yang dirampas UU Pilkada tidak langsung! 

Kedua, people power rajutan ulang itu tergantung relevansi program Jokowi-JK pada kepentingan rakyat! Kalau program benar-benar prorakyat diganjal KMP, people power akan bangkit membela!" 

"Jadi, dukungan people power kepada Jokowi-JK bukan gelondongan lagi, melainkan selektif setiap muncul hambatan KMP terhadap program prorakyat!" timpal Amir. "Artinya, kalau ternyata program Jokowi-JK tidak prorakyat, jangankan people power, rakyat cuekin pun tidak!"

"Itu pertanda perjalanan Jokowi-JK lima tahun ke depan amat berat!" tukas Umar. "Amat berat, karena demi dapat dukungan rakyat dalam menghadapi KMP, Jokowi harus selalu membuat kebijakan yang populis! 

Padahal, untuk memperbaiki banyak hal, dari keuangan negara hingga memberantas korupsi, yang dibutuhkan justru kebijakan tak populer—seperti menaikkan harga BBM untuk mengakhiri subsidinya!" "Celakanya, ketika kebijakan tak populer yang diambil, menaikkan harga BBM misalnya, rakyat bisa berbalik mendukung KMP yang mengganjalnya!" timpal Amir. 

"Hal itu tak sulit dilihat, tuntutan demo buruh ke Istana pekan lalu salah satunya menolak kenaikan harga BBM! Berarti, janji Jokowi untuk memperbaiki struktur keuangan negara dan birokrasi akan tersandung berbagai tantangan!" 

"Tapi, di balik tantangan berat itulah peluang unjuk kebolehan Jokowi-JK, yang sejak awal memikat dukungan rakyat lewat koalisi ramping agar kekuasaannya lebih bermanfaat bagi rakyat, ketimbang bagi-bagi kekuasaan dengan koalisi gemuk!" timpal Umar. 

"Untuk itu, lazim bagi orang Jawa, harus kembali ke pakem! Begitu jadi calon presiden, langkah awal Jokowi ke grup musik Slank! Itu mengikuti pomeo jika politik membengkokkan, seni meluruskan! People power pun dibangun lewat gerakan seni Salam Dua Jari!" 

"Realitas politik membengkokkan justru kini makin nyata menekan rakyat!" tukas Umar. "Slank pun memulai konser 'Salam Tiga Jari' di Boyolali, dengan prakondisi yang berbeda dari konser Salam Dua Jari! Masih mungkinkah yang dibengkokkan politik itu diluruskan kembali oleh seni?" *** (Habis)
Selanjutnya.....

KIH tanpa 'People Power', Keok!

"KIH—Koalisi Indonesia Hebat—pendukung Jokowi-JK memenangkan Pilpres 2014, di parlemen (DPR-MPR) dipecundangi telak oleh Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo-Hatta!" ujar Umar. "Dan itu akan berlangsung terus sepanjang KMP solid—bisa lima tahun—sehingga KIH oleh Saur Hutabarat (MI, 3/10) sebutannya diganti menjadi KKM—Koalisi Keok Melulu!" 

"Itu terjadi karena KMP yang didukung Gerindra, PAN, PKS, PPP, Golkar (dan Partai Demokrat) menguasai parlemen dengan 62% suara hasil Pileg 9 April 2014, sedang KIH yang didukung PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura hanya 37%!" timpal Amir. "KIH yang 'mabuk kemenangan pilpres' lupa bahwa kunci kemenangan Jokowi-JK pada people power, hingga masuk parlemen hanya bermodal 37% be'eng (!), sedang people power mereka campakkan di 'tong sampah'! KIH langsung dikalahkan KMP dengan banyak gol berbalas kosong!"

"Kesalahan KIH, menurut Saur, karena tidak memelihara simbol people power 'Salam Dua Jari' sebagai semangat juang dan dijadikan nama koalisinya di DPR!" tegas Umar. "Malahan, 'Salam Dua Jari' buru-buru dihabisi oleh Jokowi, diganti dengan 'Salam Tiga Jari'—maksudnya persatuan Indonesia! 

Alasan waktu itu untuk mengindari bentrokan jika massa 'Salam Dua Jari' jumpa massa KMP! Alasan itu jelas etis banget, tapi tanpa hitungan revance KMP atas kekalahan di pilpres bisa dilakukan dengan segala cara!" 

"Kini dengan dominasi KMP di parlemen digunakan untuk merampas kedaulatan rakyat dalam pilkada, people power menggeliat kembali!" tukas Umar. "Dalam beberapa hari gerakan warga sipil untuk judicial review UU Pilkada berhasil mengumpul lebih 50 ribu tanda tangan lengkap dengan fotokopi KTP! 

Di daerah-daerah juga ramai bermunculan gerakan people power serupa! Kayaknya, langkah KMP yang gegabah merampas hak rakyat itu menyulut kembali people power!" "Tapi people power yang bangkit kembali itu tak ada hubungan lagi dengan KIH, bahkan Jokowi!" timpal Umar. 

"Dukungan people power untuk itu sudah tamat! Kini people power lebih murni perjuangannya semata guna merebut kembali kedaulatan rakyat yang dirampas KMP akibat lemah lunglainya KIH! 

Bahkan, dukungan media mainstream kepada people power di era pilpres hingga terkesan partisan, kini dukungan itu jadi lebih jernih pada people power yang nonpartisan!" "Selamat berjuang Jokowi bersama KIH!" tegas Amir. "People power harus berjuang terpisah merebut kembali kedaulatannya yang terimbas kontentasi pilpres!" ***
Selanjutnya.....

2 Perppu Pulihkan Demokrasi!

"UNTUK merehabilitasi kesalahan Partai Demokrat besutannya yang walk out dari sidang paripurna DPR 26 September hingga opsi pilkada oleh DPRD menang voting, Presiden SBY mengeluarkan dua peraturan pemerintah pengganti UU—perppu—Kamis (2/10) malam!" ujar Umar. "Kedua perppu itu, kata SBY, memulihkan demokrasi kembali dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, seperti yang telah berjalan baik pada era reformasi!" 

"SBY, hasil pilihan langsung oleh rakyat 2004 dan 2009, amat lucu kalau akhirnya partai yang dia dirikan malah membuat kesalahan berakibat kedaulatan rakyat memilih langsung dirampas atas kehendak segelintir elite politik!" timpal Amir.

"Terampasnya hak kedaulatan rakyat itu mengakibatkan SBY mendapat tekanan berat dari publik di media sosial, menjadi top trending dunia lewat #ShameOnYouSBY. Bahkan, setelah tagar itu dihapus dari Twitter, kecaman publik pada SBY lanjut di #ShameByYou—akronim SBY!" 

"Perppu pertama yang dirilis SBY No. 1 Tahun 2014 tentang Mencabut UU No. 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan gubernur dan bupati/wali kota oleh DPRD!" lanjut Umar. "Sementara Perppu No. 2 Tahun 2014 merupakan perubahan atas UU Pemerintahan Daerah 2014 dengan menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah!" 

"Presiden SBY menyatakan penerbitan kedua perppu itu merupakan bentuk perjuangannya bersama rakyat untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung!" tukas Amir. "Seperti saya sampaikan dalam banyak kesempatan, tegas SBY, saya dukung pilkada langsung dengan perbaikan mendasar!" (Kompas.com, 2/10). 

"Kedua perppu itu diajukan pemerintah ke DPR untuk mendapat persetujuan dalam 30 hari!" tegas Umar. "Kalau DPR setuju, UU Pilkada gugur dan digantikan oleh perppu! Demikian pula bunyi UU tentang Pemda terkait pasal tugas dan kewenangan DPRD memilih kepala daerah batal secara otomatis!"

 "Namun, masalahnya kalau perppu ditolak oleh DPR!" sambut Amir. "Harapan pun bertumpu ke MK untuk membatalkan UU tentang Pilkada oleh DPRD dan revisi UU Pemda terkait tugas dan kewenangan DPRD memilih kepala daerah! Mengingat lebih banyak gugatan ke MK ditolak, dari gugatan terhadap hasil pilpres sampai atas UU MD3, perjuangan SBY bersama rakyat dalam memulihkan hak kedaulatan rakyat memilih kepala daerah peluangnya di bawah 50%!" ***
Selanjutnya.....

Pengusaha Cemas Politik Panas!

"PARA pengusaha mencemaskan suhu politik yang terus memanas!" ujar Umar. "Terakhir pada Kamis (2/10) dini hari, empat fraksi di DPR—PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura—walk out dari sidang paripurna, siangnya diikuti terpuruknya IHSG 140 poin atau 2,7%. Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto pun bertemu pimpinan media massa Ibu Kota, mencemaskan dampak buruk memanasnya suhu politik ke dunia usaha!" (detikfinance, 2/10) "Itu saja belum cukup!" timpal Amir. 

"Para pengusaha masih dipercemas lagi oleh demo buruh yang tiba-tiba, Kamis (2/10), itu juga muncul ribuan orang, menuju Istana Presiden, DPR, dan Kementerian Tenaga Kerja! Massa buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu menuntut kenaikan upah 30%, jika tidak dipenuhi akan mogok nasional Desember nanti!"

"Pokoknya para pengusaha melihat situasi dan kondisi tidak kondusif mengancam stabilitas ekonomi yang membuat investor kian menjauh dari Indonesia! Akibat negatifnya, makin terbatas lapangan kerja baru!" tegas Umar. 

"Boro-boro lapangan kerja baru, segala bentuk kondisi buruk ekonomi itu menyambut awal masa tugas pasangan Jokowi-JK yang secara nyata menerima imbas buruk kebijakan populis Presiden SBY selama ini, seperti menunda-nunda kenaikan harga BBM sehingga penggantinya yang harus mencuci piring pesta pora kabinetnya!" 

"Presiden SBY sepulang dari perjalanannya keliling dunia di akhir masa jabatannya—ke Portugal lanjut ke AS, kembali lewat Jepang—mendapati kerusakan demokrasi akibat Partai Demokrat walk out hingga kubu propilkada oleh DPRD menang voting, mencoba merehabilitasinya dengan mengeluarkan dua perppu!" timpal Amir. 

"Hasil usaha SBY ini masih diuji kesolidan koalisi pendukung SBY-Boediono yang kini justru menguasai parlemen dengan arah konsolidasi sistem Orde Baru dengan meruntuhkan prinsip-prinsip dasar reformasi—yang 10 tahun terakhir ditegakkan oleh rezim SBY!" 

"Ujian berat SBY di parlemen terletak pada perampingan kekuatan Partai Demokrat di DPR, dari semula 148 kursi kini tinggal 61 kursi!" tegas Umar. "Kalau saat voting RUU Pilkada, Partai Demokrat tidak bertingkah walk out dan bersatu dengan PDIP, PKB, dan Hanura, terkumpul 287 suara, dan menang! 

Namun, kini setelah suara Partai Demokrat tinggal 61, ditambah PDIP (109), PKB (47), NasDem (35), dan Hanura (16), jumlahnya hanya 268, tidak mampu mengegolkan perppu dari hadangan Koalisi Merah Putih! Hitungan itu membuat pengusaha kian galau!" ***
Selanjutnya.....

Hari Merdeka dari Api Neraka!

"HARI Arafah, hari saat jutaan jemaah haji dari seluruh dunia berkumpul wukuf di Padang Arafah itu adalah hari pemerdekaan hamba-Nya dari api neraka!" ujar Umar. "Janji itu, menurut guru mengaji, tersimpul dalam sabda Rasul saw. yang diriwayatkan Muslim; “Tiada hari di mana Allah memerdekakan hamba-Nya dari api neraka melebihi Hari Arafah!" 

"Hari wukuf di Padang Arafah, 9 Zulhijah, ditetapkan Pemerintah Arab Saudi jatuh pada Jumat 3 Oktober!" timpal Amir. "Pemerintah Arab juga menetapkan tahun ini haji akbar karena wukufnya pada Jumat! Konsekuensi haji akbar itu, warga setempat dan negeri-negeri sekitarnya ikut menunaikan ibadah haji sehingga jemaah bisa melimpah di Arafah, Musdalifah, Mina, dan Masjidil Haram!"

Keutamaan Hari Arafah memang banyak, salah satunya lagi, menurut guru mengaji, turunnya ayat pamungkas Alquran, Surat Almaidah Ayat 3," tegas Umar. "Dalam khotbah wukuf Rasulullah mengatakan turunnya ayat itu, Allah swt. berfirman, “...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu..." 

"Betapa beruntungnya orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan hari ini wukuf di Arafah, mendapatkan semua kemuliaan Hari Arafah itu!" ujar Amir. "Ditambah keutamaan haji akbar pula!" "Bagi yang tidak sedang beribadah haji, kata guru mengaji, tetap bisa mendapatkan kemuliaan Hari Arafah dengan puasa Arafah, zikir, maupun infak dan sedekah!" tegas Umar. 

"Lalu esoknya, salat iduladha, dan memotong hewan kurban selama hari Tasyrik—11, 12, dan 13 Zulhijah! Hari Tasyrik merupakan hari makan-minum dan berzikir!" "Masalahnya, meski di Tanah Suci jemaah haji Jumat ini wukuf, besok Iduladha, Pemerintah Indonesia menetapkan Iduladha pada Minggu, 5 Oktober!" timpal Amir. 

"Akibatnya, jika mengikuti ketentuan pemerintah, Iduladha pada Minggu, puasa Arafah yang dilakukan warga muslim di Tanah Air justru ketika di Arab warga sudah Hari Raya! Padahal, kata guru mengaji, ada sabda Rasul melarang puasa di hari Idulfitri dan Iduladha!" 

"Soal itu serahkan pada pribadi masing-masing orang, mau ikut jadwal Arab Saudi atau jadwal yang ditetapkan pemerintah atau amirulmukminin kita sendiri!" tegas Amir. "Kalau ikut pemerintah atau amirulmukminin negeri sendiri, tentu tanggung jawab atau konsekuensi ketidaktepatan waktunya pada amirulmukminin!" ***
Selanjutnya.....

Harmonisme Vs Konflik Mania!

"PARA pemimpin partai politik Indonesia cenderung keranjingan konflik (konflik mania) sehingga orientasi atau usahanya mewujudkan harmonisme lemah!" ujar Umar. "Itu menonjol saat Jokowi menang pilpres, pihak yang kalah—Koalisi Merah Putih (KMP)—membangun stelsel untuk memenangi segala konflik dengan keunggulan hasil pileg di DPR! Langkah demi langkah kemenangan pun mereka raih, dari revisi UU MD3, tata tertib DPR, hingga RUU Pilkada oleh DPRD!" 

"Kalau KMP menuding pemilukada langsung oleh rakyat liberal, sesungguhnya justru jalan konflik mania yang mereka tempuh itulah liberal tulen!" timpal Amir. "Lewat jalan konflik itu masyarakat dibawa ke persaingan sempurna homo homini lupus, hanya yang terkuat yang berhak hidup! Konflik demikian berskala nasional yang akan hadir selama Jokowi-JK berkuasa!"

"Keranjingan konflik dalam budaya politik Indonesia itu—khususnya sejak reformasi, sungguh anomalik dibandingkan dengan budaya dominan negeri kita, kultur Jawa, yang bersifat harmonisme!" tegas Umar. "Juga platform pendirian bangsa dengan Bhinneka Tunggal Ika, pluralisme sebagai realitas ideal jelas menuntut harmonisme sebagai akar budaya politiknya! 

Namun, kenyataannya, justru konflik mania yang liberalis, lawan kata harmonisme, yang selalu muncul!" "Harmonisme sebagai ideal, meski secara bawah sadar sebenarnya merupakan budaya asli kita, tak mudah diwujudkan di panggung politik karena para aktornya semata berorientasi pada kekuasaan!" tukas Amir. 

"Contoh ideal praktik budaya politik harmonisme adalah Nelson Mandela di Afrika Selatan, yang berhasil diwujudkan berkat para aktor politiknya rela korban perasaan! Mandela, meski dihukum tanpa kesalahan selama 27 tahun, juga para pejuang lainnya, serta masyarakat kulit hitam ditindas apartheid ratusan tahun, siap memaafkan semua itu demi mencapai kesatuan baru masyarakat sederajat lewat rekonsiliasi!" 

"Semangat rekonsiliasi dan tokoh sejenis Mandela itulah yang tak dimiliki Indonesia! Sesama tokoh politik nasional saja ada yang tak saling bicara!" tegas Umar. "Rasa harga diri berlebihan lebih ditonjolkan oleh para politikus, hingga mengharap tokoh-tokoh rela berkorban perasaan seperti Mandela, di sini jauh dari harapan! 

Sebaliknya, demi keangkuhannya yang tak mau berkorban perasaan itu, malah rakyat yang mereka korbankan! Kedaulatan rakyat mereka rampas! Itulah hakikat konflik kasus RUU Pilkada!" ***
Selanjutnya.....