Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Infrastruktur RI Terbawah Ke-2 Asia!

INDEKS kualitas infrastruktur Indonesia berada di urutan terbawah kedua di Asia, setingkat lebih baik dari Filipina. Peringkat Indonesia itu bahkan jauh di bawah Sri Lanka. Demikian Managing Director dan Co-head of Asian Economic Research, HSBC, Frederic Neumann, merujuk kepada riset global HSBC. (Kompas.com, 26/5)

Berdasar riset HSBC itu, indeks kualitas infrastruktur masih didominasi negara-negara macan Asia, seperti Singapura, Korea, dan Jepang. Sementara negara-negara ASEAN lain infrastrukturnya lebih baik dari Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Menurut Neumann, pembangunan infrastruktur merupakan poin penting pertumbuhan ekonomi. Karena itu, dia menilai pembangunan infrastruktur Indonesia mesti digenjot, dijadikan prioritas utama. 

"Ini penting mengingat faktor ini dapat menjadi variabel dalam mendorong peningkatan investasi di tengah laju pertumbuhan ekonomi yang melemah," ujar Neumann. Hasil riset global HSBC itu justru memberi justifikasi kepada strategi pembangunan pemerintahan Jokowi-JK yang menetapkan prioritas utama pada infrastruktur. Bukan hanya infrastruktur di daratan dengan jalan tol dan jalur kereta api, melainkan juga dengan pelabuhan modern yang terpadu transportasi maritim dengan tol laut.

Namun, perlu disimak kenapa infrastruktur jadi sedemikian hancur? Salah satu penyebabnya karena Pemerintah Pusat selama ini hanya menambal lapisan atas jalan negara setiap menjelang Lebaran. Sekadar mulus buat mudik. Sedangkan jalan sekunder dan tersiernya, jalan provinsi dan jalan kabupaten, sudah lebih satu dekade dibiarkan hancur, benar-benar hancur! Itu karena selama reformasi daerah-daerah dimekarkan, muncul barisan elite baru di daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan publik.

 Sehingga, transfer APBN ke daerah yang jumlahnya jauh lebih besar dari masa sebelumnya, lebih banyak digunakan untuk belanja kepuasan elite, semisal mobil dinas serbamewah, sedang perawatan infrastruktur ditelantarkan. Jadi ke depan, tak cukup hanya dengan pusat membangun infrastruktur! Tetapi, pemerintah dan elite daerah harus diatur untuk memprioritaskan kepentingan publik, terutama infrastruktur daerah, setidaknya sebanding dengan mewahnya belanja kepentingan elite. Dengan begitu diharapkan infrastruktur secara nasional membaik, tak terpuruk lagi di peringkat terbawah indeks. ***
Selanjutnya.....

Menyambut Jatuhnya Sanksi FIFA!

FIFA—Otoritas Sepak Bola Dunia—lewat faksimile ke Menpora pada Jumat, 22 Mei 2015, yang ditandatangani Sekjen Jerome Valcke menolak bertemu tim transisi yang dikirim Menpora, sembari mengingatkan tenggat, 29 Mei 2015, jika konflik Menpora dan PSSI belum selesai FIFA akan menjatuhkan sanksi berupa pembekuan keanggotaan Indonesia.

Untuk menghindari ultimatum FIFA itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Menpora Imam Nahrawi merevisi SK Nomor 01307 Tahun 2015 tentang sanksi administratif berupa pembekuan terhadap PSSI. Usai pertemuan dengan Menpora di Istana Wapres itu, JK mengadakan temu pers didampingi Ketua Dewan Kehormatan PSSI Agum Gumelar, Wakil Ketua Umum PSSI Hinca Panjaitan, dan Ketua Komite Olimpiade Indonesia Rita Subowo.

 "Dalam pertemuan itu disepakati, sepak bola nasional harus tetap jalan dan berkompetisi dengan baik. Untuk itu PSSI harus aktif lagi. Setelah (SK) itu direvisi, otomatis PSSI sudah diizinkan dan persoalan pun selesai," ujar Kalla. (Kompas.com, 25/5) Seiring dengan itu, dalam menyidangkan gugatan PSSI, Senin (25/5), PTUN menetapkan putusan sela agar Menpora menunda pembekuan terhadap PSSI. Terkesan, jalan menuju penyelesaian konflik terbuka dan sanksi FIFA bisa dihindari. 

Namun, arah angin berubah ketika sorenya Deputi Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Menpora Gatot S Dewa Broto menggelar temu pers di Kemenpora menyatakan tidak ada kesepakatan seperti itu. Menurut dia, pertemuan Menpora dengan Wapres, PSSI, dan KOI itu hanya menghasilkan tiga opsi sementara. Ketiga opsi itu tetap pada keputusan Kemenpora membekukan PSSI, mencabut SK pembekuan, dan mencabut pembekuan PSSI, tetapi di bawah pengawasan Tim Transisi.

Dari tiga opsi itu, hanya satu (opsi kedua) yang lolos dari sanksi FIFA. Sementara dua opsi lainnya, merupakan intervensi Menpora melanggar article 13 dan 17 Statuta FIFA—seperti disebut dalam faksimile FIFA terakhir. Dengan dua opsi lawan satu sehingga probabilitas logisnya condong pemerintah akan menyambut dengan gagah jatuhnya sanksi FIFA terhadap sepak bola Indonesia untuk dalam jangka waktu tertentu dikucilkan dari sepak bola internasional! 

Bahkan, untuk ikut SEA Games yang sudah dekat, tidak bisa. Sebab, semua cabang olahraga dalam arena Olimpiade dan games turunannya ditangani otoritas cabang olahraganya. Korban tragis pertama adalah Persib dan Persipura yang masing-masing juara grup Piala Asia Antarklub (AFC) dan masuk babak 16 besar, harus gugur di jalan demi sanksi FIFA! ***
Selanjutnya.....

Indonesia 1, Bukti Investasi Berjalan!

PRESIDEN Joko Widodo, Sabtu (23/5), menyatakan ia datang ke groundbreaking pembangunan Gedung Indonesia 1 di Jalan Thamrin, Jakarta, karena pembangunan gedung dengan investasi Rp8 triliun itu bukti investasi akan terus berjalan dan mengalir sehingga pertumbuhan investasi dipastikan akan terjadi.

"Memang negara kita tidak hanya tergantung pada APBN untuk menumbuhkan ekonomi. Tapi, pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung pada investasi. Tidak mungkin semua pembangunan dibiayai APBN," tegas Presiden. Karena itu, pembangunan seperti Gedung Indonesia 1 yang berasal dari investasi asing itu amat penting dalam mendukung usaha Indonesia mencapai predikat layak investasi dari pemeringkat internasional, lanjutnya. Ia nengharap masyarakat membantu pemerintah yang tinggal selangkah lagi mencapai predikat tersebut, karena dengan predikat itu bunga pinjaman untuk investasi dari luar negeri menjadi jauh lebih rendah.

Gedung Indonesia 1 dibangun oleh PT China Sonangol Media Investment (CSMI), kerja sama China Sonangol dan Media Group yang dipimpin Surya Paloh. Menurut Dirut CSMI Rery L Murdiat, gedung setinggi 303 meter itu akan menjadi gedung tertinggi di Indonesia. Terdiri dari dua menara berlantai 59 dan 55, dibangun di atas lahan seluas 18.925 meter persegi, dengan luas area konstruksi 306 ribu meter persegi. Filosofi nama Indonesia 1, kata Rery, adalah Satu Semangat, Satu Kebangsaan, dan Satu Tujuan untuk Membangun Bangsa.

Gedung ini dibangun dengan sertifikat Greenmark Platinum Grafe A, sertifikasi tertinggi untuk kategori bangunan ramah lingkungan meliputi penggunaan energi seminimal mungkin, kaca double glass, low emission, dan sistem daur ulang limbah. Indonesia 1 sebuah model investasi lewat kerja sama investor asing dengan pengusaha domestik, yang dasarnya kepercayaan sang investor terhadap mitranya di Indonesia.

Jadi, dasar utamanya kredibilitas pengusaha kita di mata investor, tak peduli perekonomian negeri ini sedang melambat, atau belum berpredikat layak investasi dari pemeringkat internasional. Model ini jelas perlu dikembangkan lebih-lebih ketika kondisi perekonomian nasional menurut standar umum internanional kurang menarik bagi investor karena selain sedang melambat juga infrastruktur masih buruk, pasokan energi byarpet, dan seterusnya. Lebih tepat lagi kalau yang digandeng masuk oleh pengusaha kita adalah investor meningkatkan infrastruktur dan pasokan energi. Jadi, sekaligus menambal kelemahan kita! ***
Selanjutnya.....

Indonesia 1, Bukti Investasi Berjalan!

PRESIDEN Joko Widodo, Sabtu (23/5), menyatakan ia datang ke groundbreaking pembangunan Gedung Indonesia 1 di Jalan Thamrin, Jakarta, karena pembangunan gedung dengan investasi Rp8 triliun itu bukti investasi akan terus berjalan dan mengalir sehingga pertumbuhan investasi dipastikan akan terjadi.

"Memang negara kita tidak hanya tergantung pada APBN untuk menumbuhkan ekonomi. Tapi, pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung pada investasi. Tidak mungkin semua pembangunan dibiayai APBN," tegas Presiden. Karena itu, pembangunan seperti Gedung Indonesia 1 yang berasal dari investasi asing itu amat penting dalam mendukung usaha Indonesia mencapai predikat layak investasi dari pemeringkat internasional, lanjutnya.

Ia nengharap masyarakat membantu pemerintah yang tinggal selangkah lagi mencapai predikat tersebut, karena dengan predikat itu bunga pinjaman untuk investasi dari luar negeri menjadi jauh lebih rendah. Gedung Indonesia 1 dibangun oleh PT China Sonangol Media Investment (CSMI), kerja sama China Sonangol dan Media Group yang dipimpin Surya Paloh. Menurut Dirut CSMI Rery L Murdiat, gedung setinggi 303 meter itu akan menjadi gedung tertinggi di Indonesia. 
Terdiri dari dua menara berlantai 59 dan 55, dibangun di atas lahan seluas 18.925 meter persegi, dengan luas area konstruksi 306 ribu meter persegi. Filosofi nama Indonesia 1, kata Rery, adalah Satu Semangat, Satu Kebangsaan, dan Satu Tujuan untuk Membangun Bangsa. 

Gedung ini dibangun dengan sertifikat Greenmark Platinum Grafe A, sertifikasi tertinggi untuk kategori bangunan ramah lingkungan meliputi penggunaan energi seminimal mungkin, kaca double glass, low emission, dan sistem daur ulang limbah. Indonesia 1 sebuah model investasi lewat kerja sama investor asing dengan pengusaha domestik, yang dasarnya kepercayaan sang investor terhadap mitranya di Indonesia. Jadi, dasar utamanya kredibilitas pengusaha kita di mata investor, tak peduli perekonomian negeri ini sedang melambat, atau belum berpredikat layak investasi dari pemeringkat internasional.

 Model ini jelas perlu dikembangkan lebih-lebih ketika kondisi perekonomian nasional menurut standar umum internanional kurang menarik bagi investor karena selain sedang melambat juga infrastruktur masih buruk, pasokan energi byarpet, dan seterusnya. Lebih tepat lagi kalau yang digandeng masuk oleh pengusaha kita adalah investor meningkatkan infrastruktur dan pasokan energi. Jadi, sekaligus menambal kelemahan kita! ***
Selanjutnya.....

Indonesia Dekati Layak Investasi!

LEMBAGA pemeringkat investasi internasional, Standard & Poor's (S&P), Kamis (21/5), meningkatkan prospek peringkat utang Indonesia dari stabil menjadi positif dengan afirmasi peringkat utang Indonesia pada BB+. (Kompas, 22/5).
Dengan peningkatan prospek itu diharapkan 6 sampai 12 bulan ke depan Indonesia mendapat kenaikan peringkat utang dengan meraih predikat layak investasi (investment grade). S&P satu-satunya pemeringkat yang belum memberikan predikat layak investasi kepada Indonesia. 

Dua lembaga lainnya, Moody's dan Fitch, telah memberikan sejak 2011. Padahal, pengakuan terhadap predikat layak investasi untuk diikuti penanaman modal, jika lengkap diberikan oleh ketiga lembaga pemeringkat. Faktor utama yang mendukung peningkatan prospek Indonesia itu, menurut analis utama S&P untuk Indonesia, Kyran A. Curry, adalah perbaikan kerangka kebijakan otoritas di Tanah Air.

 Perbaikan itu berhasil meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dan sistem keuangan RI. Kebijakan yang lebih efektif dan terarah juga telah memperkuat sektor fiskal dan cadangan devisa serta memperbaiki ketahanan eksternal perekonomian. Syarat meraih predikat layak investasi itu, menurut S&P, dalam 12 bulan mendatang target peningkatan kualitas pengeluaran pemerintah dapat dicapai. Hal itu mencakup konsistensi penerapan kebijakan harga BBM sesuai harga pasar dan pengalokasian anggaran investasi pemerintah secara efisien.

Dari keharusan konsisten menerapkan kebijakan harga BBM pada harga pasar untuk mencapai predikat layak investasi dalam 12 bulan ke depan, tampak dasar peningkatan prospek itu penghapusan subsidi BBM. Kalau benar demikian, maka peningkatan prospek peringkat utang itu membawa konsekuensi ideologis. Sebab, menurut putusan MK, memberlakukan harga pasar atas BBM tak sesuai dengan konstitusi. Itu karena lembaga pemeringkat menganut sistem neoliberalisme yang digariskan World Trading Organization (WTO), sedang MK mengawal konstitusi dengan Pancasila.

 Konsekuensi berikutnya sebagai harga yang harus dibayar dengan orientasi condong ke neoliberalisme itu adalah terjadinya PHK ratusan ribu pekerja sektor industri hingga pengangguran Februari 2015 mencapai 7,45 juta orang dari puncak terdahulu Agustus 2012 sebanyak 7,24 juta, akibat pelambatan ekonomi dengan pertumbuhan pada kuartal I 2015 hanya 4,7%. Harapan tentu, predikat layak investasi terwujud tepat waktu sehingga semua konsekuensi itu rebound dengan terbukanya lapangan kerja baru! ***
Selanjutnya.....

Pengangguran Menggapai Puncak!

DATA Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2015 mencatat pengangguran menggapai puncak tertinggi sejak Agustus 2012, yakni mencapai 7,45 juta orang pada Februari 2015, melampaui angka tertinggi sebelumnya 7,24 juta orang pada Agustus 2012.

Jumlah pengangguran itu diperkirakan meningkat signifikan dengan laporan Kontan yang dikutip Kompas.com, Kamis (21/5), akibat pelambatan ekonomi dalam kuartal I 2015 telah terjadi PHK terhadap ratusan ribu orang pekerja di enam sektor usaha—tekstil, alas kaki, pertambangan, jasa minyak dan gas, semen, dan otomotif. 

Dari data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) tercatat sejak Januari 2015 secara bertahap telah di-PHK sebanyak 11 ribu pekerja. Di sektor pertambangan yang dalam kuartal I 2015 bisnisnya mengalami minus 2,32%, telah mem-PHK ratusan ribu pekerja. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Pandu P Sjahrir, 400 ribu—500 ribu orang pekerja atau separuh dari 1 juta pekerja tambang batu bara dirumahkan, akibat kemerosotan harga komoditas tersebut. Juga di sektor mineral, pemberhentian ratusan ribu pekerjanya sudah dilakukan sejak larangan ekspornya dikeluarkan pemerintah tahun lalu. 

Dengan pengangguran terbuka pada data BPS Februari 2015 sebesar 5,8% dari 128,3 juta orang angkatan kerja, optimisme bahwa apabila proyek-proyek infrastruktur telah jalan nanti semua penganggur itu akan terserap habis, agaknya berlebihan juga. Masalahnya pekerja industri cenderung spesifik dengan keterampilan tertentu yang tak mudah ditarik ke pekerjaan umum sekelas kuli bangunan sektor infrastruktur. Sedang kalau maksudnya bersamaan dengan berjalannya proyek infrastruktur sektor-sektor bisnis lainnya ikut langsung bangkit, tentunya juga tidak serta-merta menyerap kembali pekerja yang telah di-PHK. 

Artinya, tercapainya puncak tertinggi angka pengangguran itu selain tak cukup hanya alasan klasik yang berulang disebut sebagai penyebabnya, seperti dampak krisis global, juga tak cukup sekadar pekerjaan yang ada akan menuntaskan jalan keluarnya. Sebab, dengan hanya mengandalkan alasan klasik itu, penyebab sebenarnya—kemungkinan ada salah langkah kebijakan—malah dibiarkan. Tak ayal, justru kesalahan laten itu yang dipelihara. Tanpa mengoreksi kesalahan yang tepat penyebab memuncaknya pengangguran, sehingga yang sakit perut tapi yang ditempel plester matanya, usaha menurunkan angka pengangguran untuk survei Agustus 2015, kemungkinan hasilnya kurang signifikan! ***
Selanjutnya.....

Nelayan Gugah Kemanusiaan Rezim!

DI tengah ketegasan rezim penguasa tiga negara—Thailand, Indonesia, dan Malaysia—menolak untuk menampung ribuan warga Rohingya yang terombang-ambing di laut, nelayan Aceh membawa lebih 600 jiwa pengungsi itu mendarat di Kuala Langsa, Aceh Timur. Dari mereka diketahui betapa berat penderitaan mereka, kehabisan makanan dan air bersih sehingga banyak yang jatuh sakit akibat hanya minum air asin.

Setelah televisi berita menyiarkan amat parahnya kondisi kaum yang malang itu, barulah penguasa Indonesia dan Malaysia tergugah rasa kemanusiaannya untuk kemudian sepakat memberi pertolongan dengan menempatkan mereka pada sebuah pulau di Indonesia. Tentu, salut harus disampaikan kepada para nelayan Aceh yang setelah melihat kondisi kritis di tengah laut itu langsung menyelamatkan mereka dengan membawanya mendarat.

 Nantinya setelah mereka di penampungan, Pemerintah RI dan Malaysia tentu bekerja sama dengan PBB urusan pengungsi (UNHCR) merawat dan memulihkan kesehatan mereka. Bersamaan itu PBB mengajak Kedubes Myanmar di Jakarta membereskan kelengkapan identitas para pengungsi tersebut, seperti dilakukan terhadap ratusan warga Myanmar korban perbudakan di Benjina, Maluku. Dengan kelengkapan itu, nantinya setelah pelatihan kerja yang dilakukan Pemerintah RI dan Malaysia selesai sehingga mereka mampu sebagai pekerja imigran, tinggal mengatur penempatannya di negara yang membutuhkan.

 Usai itu, tugas penampungan sementara selesai, pulaunya bisa dikosongkan kembali seperti Pulau Galang setelah pengungsi Vietnam tuntas dibantu. Diharapkan, prosesnya lancar. Soal melatih dan menempatkan pekerja imigran, Indonesia punya banyak perusahaan pengerah tenaga kerja. Sedang kelanjutan hidup warga Rohingya kemudian, tentu jadi diaspora yang tetap berhubungan dengan konsul jenderal negaranya di tempatnya merantau. Atau, bisa beralih kewarganegaraan tempat mereka akhirnya menetap.

 Akhirnya, melalui kasus manusia perahu Rohingya ini para pemimpin bangsa kita belajar bersikap konsekuen menyelaraskan ucapan dan tindakannya. Setiap elite pemimpin kita bicara mengunggulkan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara, tapi ketika sendi universal dari Pancasila itu menuntut pembuktian implementasinya, rezim penguasa justru menolak dengan bahasa yang tegas. Untunglah ada gugahan dari nelayan yang Pancasila sudah merupakan darah dagingnya—bukan seperti pada kalangan elite, Pancasila sekadar hiasan bibir semata! ***
Selanjutnya.....

Mikir Ganti Untung Lahan Jalan Tol!

ANTUSIASME warga menyambut pembangunan jalan tol trans-Sumatera bergelora, dengan harapan mendapat uang ganti untung besar atas lahannya yang kena proyek. Terutama mereka yang bisa memastikan lahannya dilintasi jalan tol karena dekat lokasi pancang pertama yang ditancapkan Presiden Joko Widodo di Sabahbalau, Lampung Selatan, 30 April 2015.

Seperti dilaporkan Lampung Post, Selasa (19/5), warga sudah ada yang menghitung penerimaan uang pengganti lahannya seharga Rp1,5 juta sampai Rp2 juta per meter persegi. Jadi, kalau lahannya yang kena proyek satu rante (400 meter persegi), ia akan menerima Rp600 juta sampai Rp800 juta. Namanya juga ganti untung, tentu jumlahnya besar dan memuaskan. Gelora antusiasme itu mengemuka dalam pertemuan warga dengan pejabat terkait yang sejauh ini belum ada titik temu harga.

 Mengenai harga tanah untuk jalan tol trans-Sumatera, sejak jauh hari Menteri Agraria Feri Mursidan Baldan wanti-wanti agar petugas agraria setempat menjaga tidak terjadi alih milik lahan agar tanah tidak jatuh ke tangan spekulan. Dengan demikian, pembayaran tanah sesuai harga nilai jual objek pajak (NJOP) tidak menimbulkan masalah dan proyek bisa berjalan sesuai jadwal. Namun, berapa sebenarnya harga menurut NJOP yang pantas untuk ganti untung itu? Harga pantas itu relatif. Tidak bergantung pada jumlah rupiahnya, tetapi pada penerimaan di hati. Itu bergantung pada cara berpikirnya.

Bagi yang lahan miliknya sempit, bisa jadi sempit pula cara berpikirnya karena memang pada lahan yang cuma itu-itunya-lah bergantung kehidupan keluarganya. Untuk kelompok ini harus bisa dipastikan yang mereka terima benar-benar ganti untung agar proyek jalan tol yang bertujuan memajukan daerah tidak justru menyengsarakan rakyat! Sementara mereka yang memiliki lahan luas, seyogianya cara berpikirnya juga luas. Sebab, dengan lahannya tempat jin buang anak, yang semula harganya rendah itu, dengan dikurangi sedikit untuk jalan tol, sisa tanahnya yang masih jauh lebih luas nilai riilnya sebagai aset meningkat beberapa kali lipat! 

Sehingga, dia ikhlaskan pun secuil lahannya yang kena jalan tol itu tanpa uang pengganti, ia tetap mendapatkan keuntungan besar dari peningkatan harga tanahnya secara keseluruhan, plus pahala atas keikhlasan penyerahannya dan bakti partisipasinya pada pembangunan nasional. Dengan demikian, orang-orang yang cara berpikirnya luas mendapatkan ganti untung dunia-akhirat atas tanahnya yang kena proyek jalan tol! ***
Selanjutnya.....

Rohingya Menguji Kemanusiaan Kita!

RIBUAN manusia perahu warga Rohingya asal Myanmar terombang-ambing di tengah laut antara Thailand, Indonesia, dan Malaysia—yang tegas menolak untuk menerima mereka. Imbauan PBB agar ketiga negara itu memberi pertolongan kepada warga Rohingya tidak digubris.

Juru Bicara Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Bangkok, Vivian Tan, mengatakan tidak ada imigran yang mendarat lagi sejak Jumat (15/5) setelah ratusan orang diselamatkan nelayan di Aceh. "Ini pertanda buruk karena tidak ada perkembangan selama akhir pekan. Kami semula berharap akan ada lebih banyak kapal yang ditemukan dan lebih banyak orang diselamatkan dan diizinkan mendarat," ujar Vivian, Senin (18/5).

 "Malangnya, hal itu tampaknya tidak terjadi." Menurut Vivian, ribuan imigran itu terkapar di tengah laut setelah kapal-kapal mereka ditinggal para penyeludup manusia yang diburu pihak berwajib dari Thailand. Di Indonesia, ratusan warga Rohingya yang ditolong dan dibawa nelayan Aceh mendarat di Kuala Langsa, sebagian telah dibawa oleh imigrasi ke Medan. Sementara itu, TNI mengukuhkan telah melarang nelayan yang beroperasi di wilayah Aceh untuk menjemput dan membawa migran ke wilayah Indonesia, kecuali kapal yang ditumpangi imigran tenggelam.

 (BBC-Indonesia/Kompas.com, 19/5) Di tengah nasib mereka yang tidak menentu itu, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak agar Pemerintah RI memberikan pertolongan kepada manusia perahu asal Myanmar itu demi rasa kemanusiaan. (MetroTV, 18/5) Pada 1970-an akhir, setelah Saigon jatuh ke tangan pejuang Vietnam utara, ribuan manusia perahu diselamatkan Indonesia dan ditampung di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Di situ sebagai penampungan sementara sampai mereka mendapatkan negara yang siap menampung. 

Waktu itu, Indonesia menolong manusia perahu itu untuk melaksanakan prinsip Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Atas desakan PP Muhammadiyah itu, pemerintah pun akhirnya menyatakan mempertimbangkan untuk memberi pertolongan kepada warga Rohingya yang terapung-apung di tengah laut tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa (19/5), menyatakan pemerintah mempertimbangkan semua opsi, salah satunya menampung mereka di sebuah pulau di Indonesia.

 Indonesia akan berupaya untuk membantu dan mencari jalan keluar atas masalah pengungsi Rohingya. "Yang perlu dikedepankan dalam mengatasi masalah ini adalah sisi kemanusiaan!" ujarnya. Sebagai salah satu negara besar, kata dia, Indonesia sedianya ikut membantu masalah kemanusiaan semacam ini. ***
Selanjutnya.....

Keluh Presiden, Mafia di Mana-Mana!

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) mengeluhkan mafia ada di mana-mana, di semua bidang. Itu dia katakan menjawab kritik mahasiswa yang menyatakan pemerintah lamban memperbaiki perekonomian dan tak menggubris revolusi mental. Tidak ada satu pun bidang yang tidak ada mafianya, tegas Jokowi. Karena itu, Presiden mengaku menghadapi dilema sehingga butuh waktu untuk memperbaiki semua kekacauan yang ada. (Kompas.com, 19/5)

Presiden mengundang mahasiswa ke Istana, Senin (18/5) malam. Hadir BEM UI, UGM, Unpad, Trisakti, Atmajaya, dan Unpar. Menurut Ketua BEM UI Andi Aulia Rahman, sebagai seorang presiden seharusnya Jokowi berpikir cepat dan mengambil langkah taktis. Sedang saat ini seolah Jokowi tak bertanggung jawab atas pemikiran revolusi mental birokrasi. Keluhan Jokowi itu, bahwa mafia ada di semua bidang, justru merupakan kenyataan yang benar-benar dirasakan rakyat.

 Namun, ketika hal itu menjadi dilema—pilihan sulit—bahkan sebagai kekacauan yang merebak di semua bidang, jelas menjadi keprihatinan bangsa. Lebih mendalam lagi keprihatinan itu ketika menyadari yang dimaksud Presiden di semua bidang itu adalah semua bidang birokrasi pemerintahan! Itu menunjukkan kondisi tubuh pemerintah dikerubuti virus mafia yang menggerogoti organnya. Kondisi seperti itu jelas bisa menjadi pertanda pemerintahan yang tidak sehat.

 Artinya, mahasiswa benar, Presiden Jokowi harus berpikir dan bertindak cepat, baik secara taktis maupun strategis, untuk mengatasi mafia yang ada di semua bidang birokrasi pemerintahan itu! Sebenarnya, kondisi tubuh birokrasi pemerintah sakit yang sedemikian rupa itu sudah diketahui Jokowi sejak sebelum pencalonan dirinya menuju RI-1. Itulah makanya pada awal kampanye capres Jokowi mencanangkan revolusi mental untuk mengobati penyakit tersebut. 

Tapi setelah memerintah, ternyata tak mudah menemukan orang yang mampu menjabarkan gagasannya sekaligus mengimplementasikannya dalam realitas. Akibatnya, bukan gebrakan gerakan revolusi mental yang hadir, melainkan justru kekacauan tanpa arah yang malah menjerat dirinya dalam dilema.

 Kenyataan sedemikian tak ayal jika keluhan Jokowi itu bukan hanya menjadi keprihatinan bangsa, melainkan bahkan menuntut komitmen bangsa untuk membersihkan negara dan pemerintah dari segala bentuk jaringan mafia. Disebut jaringan karena mafia itu selalu berbentuk organized crime. Mari bersihkan negara dan pemerintah dari mafia, terutama mafia yang jaringannya bersarang dalam birokrasi pemerintahan negara-bangsa! ***
Selanjutnya.....

Penyaluran Dana Desa Bertahap!

PRESIDEN Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) baru Nomor 22/2015 tentang Penyaluran Dana Desa 29 April 2015, sebagai pengganti PP Nomor 60/2014. Isinya mengatur penyaluran dana desa secara bertahap, pada April 40%, Agustus 40%, dan Oktober 20%.

 Penyaluran dilakukan paling lambat pada minggu kedua, dan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di kas daerah. Apabila bupati/wali kota tidak menyalurkan dana desa seperti dimaksud, Menteri Keuangan dapat menunda penyaluran dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang menjadi hak kabupaten/kota tersebut.

Bila terdapat sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) lebih dari 30% pada tahun anggaran sebelumnya, bupati/wali kota memberi sanksi administratif berupa penundaan dana desa tahap I anggaran berjalan sebesar silpa dana desa. (Pasal 27 Ayat 2). Dalam hal pada tahun anggaran berjalan masih terdapat silpa dana desa lebih dari 30%, bupati/wali kota memberi sanksi administratif kepada desa bersangkutan pemotongan dana desa tahun anggaran berikutnya sebesar silpa dana desa tahun berjalan. 

 Penyaluran dana desa dalam APBN dilakukan bertahap: 2015 paling sedikit 3%; 2016 paling sedikit 6%; 2017 dan seterusnya paling sedikit 10% dari anggaran transfer ke daerah. Dengan jadwal tahapan ketat dan sanksi rigid atas ketepatan waktu penggunaan dana desa, kemampuan administratif kepala desa dalam pengelolaan anggaran amat diperlukan. Kemampuan pembukuan keuangan itu juga menentukan keamanan pemakaian dananya sehingga kekhawatiran banyak pihak dana desa menjadi jebakan hukum aparat desa, sekaligus dihindari.

 Artinya, dengan turunnya dana desa bisa dipastikan penguasaan pembukuan keuangan dan mekanisme anggaran serta sanksi hukumnya pada aparat desa bukan masalah lagi. Bahkan kepada yang telah mendapat sosialisasi cukup, seperti aparat desa Kabupaten Tulangbawang yang sudah mendapat penyuluhan dari mahasiswa Universitas Lampung yang kuliah kerja nyata di daerah itu, tetap perlu penyegaran. Setidaknya penyesuaian perubahan dari PP 60/2014 ke PP 22/2015. Kesiapan menerima dana desa bukan pula hanya pada aparat desa.

 Masyarakat desa juga perlu disiapkan karena dana desa selain untuk biaya administrasi pemerintahan desa, juga untuk infrastruktur dan pengembangan ekonomi masyarakat. Dana desa menjadi sarana partisipasi warga untuk bersama membangun desa dan masyarakatnya. Jika program dana desa hanya menyibukkan aparat desa sedang partisipasi rendah, berarti programnya kurang berhasil! ***
Selanjutnya.....

Maklumat Jambore Relawan Jokowi!

DITUJUKAN buat Presiden Joko Widodo yang menghadiri Jambore Relawan Jokowi di Cibubur, Sabtu (16/5), gabungan kelompok sukarelawan pendukung pemenangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 menyampaikan maklumat berisi lima poin. (Kompas.com, 17/4) 

Pertama, sukarelawan meminta konsolidasi politik dan birokrasi sesegera mungkin agar pemerintahan berjalan lebih efektif. Tanpa konsolidasi, situasi negara akan menjadi tidak kondusif yang berujung pada sulitnya pembangunan ekonomi.

Kedua, perlu evaluasi kebijakan yang tidak mendukung implemetasi Trisakti dan Nawacita yang menjadi mandat bagi pemerintahan Jokowi-JK. Kebijakan yang tidak sejalan harus disempurnakan dan terobosan harus segera diambil agar janji perubahan untuk kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. Ketiga, mendesaknya evaluasi dan penguatan kabinet agar dapat bekerja efektif dan sejalan dengan amanat pemikiran Trisakti dan Nawacita. 

Keempat, perlu dipastikan agar pembangunan ekonomi dan percepatan proyek-proyek infrastruktur dilakukan dalam semangat berdikari. Kelima, perlu dilahirkan kebijakan dan program kerja yang mendorong produktivitas masyarakat sebagai penyangga ketahanan ekonomi dan sasaran mencapai kesejahteraan. Oleh sebab itu, distribusi atau pemerataan terhadap sumber dan alat produksi bagi rakyat seharusnya tak bisa ditawar, yakni realisasi tanah untuk rakyat, alat pertanian untuk petani, alat tangkap untuk nelayan, dan modal untuk usaha mikro. 

 Tampak, maklumat tersebut merupakan cermin yang mengekspresikan kontrol dengan orientasi semata-mata demi suksesnya pemerintahan Jokowi-JK yang mereka perjuangkan dalam pilpres. Agar, cita-cita menyejahterakan rakyat bisa lebih cepat terwujud. Semua kritik dan saran para sukarelawan itu jelas tanpa pretensi negatif, disampaikan apa adanya. Dari situ terkesan masih banyak hal yang harus dibenahi dalam enam bulan pemerintahan Jokowi-JK.

 Sebaliknya, Jokowi-JK layak untuk jujur dengan menerima kritik dan saran itu apa adanya pula. Evaluasilah apa-apa yang harus dievaluasi, koreksi yang memang kurang pada tempatnya, dan lakukan yang sudah mendesak. Tak diragukan mendesaknya distribusi tanah dan sarana produksi buat rakyat yang diusulkan para sukarelawan itu agar pelaksanaannya dipercepat. Sebagai cermin yang relatif lebih jujur dibanding kritik dari lawan politik, kritik dan saran para sukarelawan itu juga menjadi perbandingan bagi publik untuk menyimak situasi dan kondisi pemerintahan saat ini. ***
Selanjutnya.....

Pemerintah Batalkan Pertamax Naik!

KAMIS, 14 Mei, beredar luas informasi bahwa pada 15 Mei 2015, pukul 00.00, harga BBM nonsubsidi naik. Pertamax dari Rp8.800/liter menjadi Rp9.600. Pertamax plus jadi Rp10.550. Namun, menjelang tengah malam, muncul pers rilis Pertamina membatalkan kenaikan harga semua jenis BBM nonsubsidi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menyatakan pembatalan tersebut atas permintaan pemerintah. 

"Karena kami sedang terus mengkaji pola penyesuaian harga BBM agar tidak memicu gejolak," jelas Sudirman. Dalam penyesuaian harga BBM pemerintah memperhatikan aspek perekonomian dan beban masyarakat. Lagi pula, tukasnya, pemerintah tak boleh melepaskan harga BBM pada mekanisme pasar semata-mata. (Kompas.com, 15/5)

Sebelumnya, VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menyatakan kenaikan pertamax Rp800/liter itu karena sesuai perhitungan perseroan harga indeks pasar naik 9,7%. Penguatan dolar AS juga menjadi acuan. 

Kalau Pertamina sensitif dengan perubahan harga BBM di pasar internasional bisa dipahami, karena pimpinan baru BUMN Migas itu, dengan Direktur Utama Dwi Soetjipto dan Komisaris Utama Tanri Abeng menerima warisan utang yang berat, sebesar Rp208 triliun (16 miliar dolar AS pada kurs Rp13 ribu/dolar AS). 

Sehingga, ketika harga penjualan BBM nonsubsidi lebih rendah dari harga di pasar internasional, mereka tertekan tambahan utang baru. Apalagi obsesinya mencapai efisiensi dan penghematan maksimal. 

Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau Tim Antimafia Migas dipimpin ekonom Faisal Basri untuk menutup Petral, anak perusahaan Pertamina di Singapura, serta-merta dilaksanakan. Sekaligus menutup anak perusahaan Petral, Pertamina Energi Services Pte Ltd di Singapura, dan Zambesi Investment Ltd di Hong Kong. Dwi Soetjipto mengungkap sejak Petral tidak terlibat dalam perniagaan migas, potensi penghematan Pertamina sebesar 400 juta dolar AS atau Rp5,2 triliun. 

"Dalam tiga bulan saja Pertamina sudah mendapatkan penghematan sebesar 22 juta dolar AS atau sekitar Rp288 miliar," ujar Soetjipto. (MI, 15/4) Meski demikian, Faisal Basri mendesak dilakukan audit forensik terhadap Petral agar mafia migas bisa dibuktikan adanya, tak hanya cerita fiktif. Untuk itu, perlu dijaga pemerintah tidak melimpahkan beban ke pundak Pertamina demi meningkatkan citra. Agar, Pertamina tumbuh sehat sebagai andalan bangsa dalam persaingan global. Era mengorbankan Pertamina demi citra penguasa harus diakhiri! ***
Selanjutnya.....

Catatan Menyambut 20 Mei 2015!

AGENDA nasional untuk 20 Mei 2015 meliputi peringatan 107 tahun Hari Kebangkitan Nasional, dan 17 tahun reformasi. Untuk Kebangkitan Nasional, kini bangsa kita telah berdaulat sebagai bangsa merdeka, sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Itu secara politik. 

Namun, dalam sosial ekonomi dan iptek, masih tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Reformasi merupakan tahapan sejarah bangkitnya kesadaran bangsa untuk meretas semua kendala penyebab ketertinggalan itu. Tapi setelah 17 tahun reformasi, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama pada lapisan sosial terbawah, belum optimal.

Hambatan utama usaha memajukan kesejahteraan rakyat itu sejak era Orde Baru, terutama pada gairah korupsi yang tinggi pada pejabat dan penyelenggara negara. Prioritas pengelolaan anggaran negara dan daerah adalah untuk memperkaya diri para pejabat dan kroninya. 

Karena itu, kegiatan memberantas korupsi ditegaskan pentingnya dalam reformasi. Tapi, nyatanya di periode awal reformasi korupsi justru tambah marak, para politikus di parlemen pusat dan daerah semakin ramai yang terlibat korupsi. 

Saat penindakan korupsi mulai tajam, selain politikus juga jajaran penegak hukum diungkap korupsinya, ketajaman penindakan korupsi itu justru ditumpulkan kembali. Ketajaman penindakan korupsi pada aparat penegak hukum itu untuk membersihkan sapu dalam penegakan hukum. Dalam membersihkan negara dari korupsi, kalau sapunya kotor lantai bersih yang disapu malah ikut jadi kotor. Menjelang 20 Mei, penumpulan itu jadi keprihatinan. 

Hal berikutnya penghambat peningkatan kesejahteraan rakyat adalah rendahnya kemampuan aparat birokrasi dalam menjalankan program pemerintah. Contohnya dalam pelaksanaan harga gabah dan beras petani. Menurut Inpres Nomor 5/2015 tanggal 17 Maret 2015, harga gabah petani Rp3.700/kg dan beras Rp7.300/kg. 

Tapi hasil pemantauan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, di seluruh Tanah Air petani hanya menerima hasil penjualan gabah Rp3.000—Rp3.400/kg, dan beras Rp6.700—Rp7.200/kg. Padahal, harga beras di pasar Rp7.500—Rp10.500/kg. (detik.com, 14/5) Akibatnya, petani selalu mendapat harga lebih rendah. 

Daya belinya jadi rendah menghambat usaha peningkatan kesejahteraannya. Kelemahan birokrat ini terjadi dalam banyak hal, menghambat peningkatan kesejahteraan dari berbagai aspeknya. Tampak, betapa relevan pada 20 Mei menyegarkan agenda reformasi, mendorong kebangkitan nasional di bidang yang tertinggal dari bangsa lain. ***
Selanjutnya.....

Kegaduhan Menghambat Ekonomi!

KADIN—Kamar Dagang dan Industri—Indonesia berharap pemerintah segera menyudahi kegaduhan domestik karena berakibat pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 anjlok hingga tinggal 4,7%.Kegaduhan domestik itu, seperti dalam politik mengubah UU pemenang pemilu tak jadi ketua DPR, UU Pilkada langsung jadi tak langsung jadi langsung lagi, kegaduhan di pantura Jawa nelayan demo terus atas pelarangan alat tangkap tradisionalnya, kegaduhan konflik KPK-Polri, kegaduhan intervensi terhadap PSSI dan lainnya, sangat memengaruhi iklim usaha, kurang menguntungkan bagi roda perekonomian domestik. 

"Perputaran uang yang menguap diperkirakan mencapai Rp5 triliun per hari karena kegaduhan-kegaduhan itu, yang mebuat ekonomi (kuartal I 2015) tidak bisa mencapai target pertumbuhan 5,3%," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah Natsir Mansyur, Senin (11/5), di Jakarta. (Kompas.com, 12/5)

Menurut Natsir, selain soal penyerapan anggaran kementerian/kelembagaan, kegaduhan domestik itu diperparah kenaikan kurs dolar AS secara signifikan, berakibat daya beli masyarakat menurun. Ditambah perizinan tumpang tindih jadi penyebab turunnya perekonomian dan mengganggu kenyamanan berusaha. 

Dengan asumsi kegaduhan domestik yang menghambat pertumbuhan ekonomi, bisa-bisa meski anggaran infrastruktur telah mengalir ke pasar nanti tak mampu membuat pertumbuhan rebound seperti diharapkan--jika kegaduhan politik seperti konflik KPK-Polri dan intervensi PSSI tak bisa disudahi oleh pemerintah! 

Rebound dimaksud tentu mengembalikan berbagai gejala negatif di dunia usaha yang terjadi pada kuartal I 2015 menjadi kembali positif. Gejala negatif itu, antara lain penurunan penjualan—semen 3,3%, mobil 15%, motor 19%, properti 50%, dan ekspor turun 11,67%. Juga penurunan pendapatan bersih perusahaan publik seperti dikemukakan Rheinald Kasali (Kompas.com, 10/5), Adhi Karya turun 34,5%, Agung Podomoro Land 65%, Astra International 15,64%, Bank Danamon 21,47%, Holcim 89,78%. 

Keluhan Kadin beralasan, penurunan yang terjadi demikian dalam tampak bukan sekadar akibat kelambatan cair dana infrastruktur. Artinya, tak cukup dengan pencairan dana proyek infrastruktur pemerintah menganggap masalah pelambatan pertumbuhan ekonomi sudah beres. 

Tapi, pemerintah juga harus serius menyudahi berbagai kegaduhan domestik dan tumpang tindih perizinan sampai rebound-nya nyata di dunia usaha! ***
Selanjutnya.....

Kredit Alat Tangkap Baru Nelayan!

SENIN (11/5) Wakil Presiden M Jusuf Kalla, didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti merilis Program Jaring, yakni kredit untuk pembelian alat tangkap baru ramah lingkungan bagi nelayan dan pengusaha ikan di Takalar, Sulawesi Selatan. (detik.com, 11/5) 

Program Jaring merupakan inisiatif jangka pendek Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan KKP untuk mendorong pertumbuhan pembiayaan di sektor maritim. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad yang hadir di acara itu menyatakan OJK mendukung program pemerintah memajukan sektor maritim bersama KKP. Dengan Program Jaring, OJK memberi informasi pada penyelenggara jasa keuangan untuk membiayai sektor KKP.

Wapres JK menyatakan program sinergi pelaku jasa keuangan dan pelaku bisnis di KKP ini penting karena nelayan sebelumnya mendapatkan stigma negatif dari perbankan sehingga pihak perbankan susah menyalurkan kredit pada nelayan. 

Diharapkan, dengan prakarsa membangun sinergi dari OJK tersebut, perbankan tak alergi lagi untuk memberikan kredit pada nelayan. Terutama nelayan di pesisir Jawa, yang sejak dilarangnya alat tangkap lama warisan leluhurnya, cantrang, selama empat bulan ini kebanyakan menganggur karena belum sanggup membeli alat tangkap baru yang direkomendasikan oleh pemerintah. 

Dengan jumlah mereka puluhan ribu keluarga, mungkin pihak perbankan perlu proaktif memberi kredit secara massal kepada nelayan di daerah-daerah tersebut untuk membantu nelayan mengatasi kesulitan mereka. Harapan agar perbankan proaktif dalam pelaksanaan Program Jaring itu sesuai pengalaman, terhadap program kredit massal yang alokasi dananya sudah tersedia pun, penyalurannya tetap ketat. 

Hingga, penerima kredit program seperti itu sering bersifat selektif. Selanjutnya, selain percepatan sebaran kredit alat tangkap baru diterima luas nelayan, bimbingan teknis penggunaan alat tangkap baru agar hasil tangkapannya lumayan, lalu pengelolaan keuangan dan pengembalian kreditnya, perlu disiapkan tenaga menanganinya dari pemerintah. 

Tanpa bimbingan teknis penggunaan alat tangkap baru, jika hasilnya tak maksimal bisa membuat nelayan frustrasi. Boro-boro untuk mengembalikan kredit bank, kalau penguasaan kiat jaring baru kurang memadai, hasil tangkapannya untuk solar perahunya melaut saja tak cukup! 

Hal-hal seperti itu harus diperhitungkan sejak awal, agar Program Jaring tak berakhir jadi kredit macet massal! Jangan sampai, stigma pada nelayan malah menguat! ***
Selanjutnya.....

Menguji Kinerja Tim Transisi PSSI

MENPORA Imam Nahrawi, Jumat (8/5), mengumumkan Tim Transisi PSSI dengan anggota 17 orang. Pembentukan tim ini kelanjutan dari pembekuan PSSI lewat SK Menpora 17 April 2015, yang menyatakan pemerintah tidak mengakui seluruh kegiatan keolahragaan PSSI. (Kompas.com, 8/5) 

Ke-17 nama anggota Tim Transisi PSSI itu, (1) FX Hadi Rudiatmo—Wali Kota Solo, (2) Lodewijk F Paulus, (3) Ridwan Kamil—Wali Kota Bandung, (4) Eddy Rumpoko—Wali Kota Batu, Jatim, (5) Ricky Yakobi, (6) Bibit Samad Riyanto—mantan wakil ketua KPK, (7) Darmin Nasution—mantan Gubernur BI, (8) Cheppy T Wartono, (9) Tommy Kurniawan—artis, (10) Iwan Lukminto, (11) Francis Wanandi, (12) Saut H Sirait, (13) Andrew Darwis, (14) Farid Husaini. (15) Zuhairi Misrawi, (16) Diaz Faisal Malik Hendropriyono, (17) Velix F Wanggai.

Tim Transisi memiliki empat tugas utama, yaitu menjalankan fungsi yang selama ini dilakukan PSSI, memastikan keikutsertaan Indonesia di event internasional terus berjalan, melakukan supervisi agar kompetisi tetap begulir, dan merencanakan pembentukan kepengurusan PSSI yang baru melalui mekanisme FIFA. 

Semua tugas itu bisa berjalan jika FIFA tidak memberi sanksi pada Indonesia. Jadi ujian pertama bagi tim adalah mampu membuat FIFA menunda penjatuhan sanksi terhadap Indonesia 29 Mei 2015. Peringatan kedua FIFA diterima PSSI Senin pekan lalu agar PSSI dan Menpora bersama menyelesaikan konflik mereka. Peringatan pertama FIFA April, menegur Menpora agar tak mengintervensi kompetisi PSSI. 

Peringatan pertama FIFA dijawab Menpora dengan membekukan PSSI, kedua dijawab dengan pembentukan Tim Transisi. Dengan sikap kurang kooperatif pada FIFA itu, tugas Tim Transisi mengatasi kisruh sepak bola Indonesia jadi tak mudah. Intervensi yang dimaksud FIFA adalah perintah Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) dari Kemenpora agar mengeluarkan Persebaya dan Arema dari kompetisi ISL 2015 karena badan hukum klubnya ada masalah. 

Tapi PSSI berdasar statuta FIFA tak mengenal BOPI atau yang sejenis di luar FIFA mengatur kompetisi. PSSI tak merespons perintah BOPI itu. Bukan hanya membekukan PSSI, Menpora juga mengirim surat ke Mabes Polri untuk tidak memberi izin semua kompetisi di bawah PSSI. 

Dengan itu PSSI tak bisa berkutik lagi, menyatakan kondisi force majeure, kepastian tak bisa kompetisi. Ujian akhir semua tugas Tim Transisi itu membentuk pengurus baru PSSI mengikuti mekanisme FIFA! Jadi, kalau awalnya FIFA dicuekin, akhirnya dijadikan patron! ***
Selanjutnya.....

Darurat Lakalantas, 89 Tewas/Hari!

"SELAIN darurat narkoba, Indonesia juga darurat kecelakaan lalu lintas (lakalantas). Rata-rata 89 orang meninggal setiap harinya akibat lakalantas!" tegas Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri Inspektur Jenderal Condro Kirono, di Yogyakarta, Jumat (Antara, 8/5) 

Pengondisian Indonesia sebagai darurat lakalantas oleh Irjen Condro Kirono itu tidak berlebihan karena korban tewas akibat lakalantas bahkan lebih 10 kali lipat dari korban narkoba—8 orang tewas/hari. Namun, membandingkan kasusnya dengan darurat narkoba, yang pelakunya bisa dihukum mati, lantas siapa dalam darurat lakalantas yang harus dihukum mati?

Dalam kasus narkoba, kebanyakan yang dihukum mati adalah mereka yang tertangkap membawa narkoba dalam jumlah besar dari luar negeri ataupun pengedarnya (drug dealer). Ibarat perang, pembawa dan narkobanya itu merupakan peluru meriam yang ditembakkan bos mafia narkoba dari luar negeri. 

Tapi, yang kita hukum mati justru peluru meriamnya, sedang bos penembaknya dibiarkan hingga terus membombardir negeri kita dengan narkoba. Dibanding darurat narkoba itu, maka yang harus dihukum mati dalam darurat lakalantas adalah importir dan dilernya di daerah-daerah. 

Tapi, hukuman mati dalam darurat lakalantas itu dinegasikan pada tanggung jawab para importir dan diler untuk mengurangi jumlah korban lakalantas. Usaha untuk itu bisa dilakukan baik dengan peningkatan keselamatan pada kendaraan maupun kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan khusus gratis keselamatan berkendara, sekaligus sosialisasinya di tengah masyarakat. 

Pendidikan khusus gratis itu dibuatkan tempatnya oleh importir dan diler di setiap daerah dengan menyediakan para instruktur keselamatan berkendara, termasuk pengetahuan sistem mekanika pada kendaraan yang perlu dipahami dan dijaga agar tak terjadi kecelakaan. 

Seiring itu, sosialisasi di masyarakat dan sekolah (terutama tingkat SMA) tentang keselamatan berkendara. Dewasa ini mayoritas korban lakalantas pengendara sepeda motor berusia belia. Sebab itu, fokus sosialisasi pun harus tepat sasaran usia. 

Usaha peningkatan pengetahuan dan kompetensi berkendara itu tetap harus didukung penegakan hukum yang tegas oleh polisi lalu lintas di jalan raya. Seperti petugas BNN memburu pengedar dan pengguna narkoba, Polantas juga harus tegas menindak bahkan terhadap kekurangan kecil pada kendaraan karena bisa mengakibatkan kecelakaan maut, terutama pada pengendaranya! ***
Selanjutnya.....

Pembangunan Infrastruktur Dipacu!

BPS—Badan Pusat Statistik—melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 hanya 4,7%. Meski demikian, Presiden Joko Widodo optimistis pertumbuhan 2015 masih bisa 5,4%. Kata Presiden, pertumbuhan akan bergerak cepat sejalan dengan realisasi anggaran infrastruktur. Untuk itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pengelola dana infrastruktur terbesar harus memacu proyeknya. 

Namun, hingga 20 April 2015, baru menyerap anggaran 2,41% dari targetnya 11.07%. Hingga 8 Mei, jadi 4% atau Rp4,8 triliun, itu pun untuk belanja rutin dan perbaikan rutin, ujar Taufik Widjoyono, Sekjen Kementerian PUPR. (Kompas.com, 8/5)

Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, itu terjadi akibat perubahan nomenklatur anggaran. Tapi kini nomenklatur telah selesai, proses lelang bisa dipercepat. APBNP 2015 untuk Kementerian PUPR mencapai Rp118,54 triliun, naik 50% dari 2014 sebesar Rp78,71 triliun. 

Proses lelang proyek infrastruktur itu, kata Taufik, hingga 5 Mei telah mencapai 80,1% atau senilai Rp68,4 triliun. Sisanya tinggal Rp17 triliun (19,9%). "Kalau sudah tanda tangan kontrak, uang muka bisa diambil 15%—20% dari nilai kontrak," ujar Taufik. 

Artinya, setelah uang muka bisa ditarik itulah, dana proyek infrastruktur mulai mengalir ke pasar. Dan itu baru terjadi di medio kuartal II 2015. Berarti, pertumbuhan pada kuartal II belum melonjak signifikan. Total APBNP 2015 untuk infrastruktur Rp290,3 triliun, pada kementerian dan lembaga Rp209,09 triliun, di luar itu Rp80,5 triliun, 

Setelah dana infrastruktur itu mengalir ke pasar, optimisme Presiden pertumbuhan 5,4% mungkin tercapai. Namun, terlihat rentannya ekonomi Indonesia yang amat tergantung pada anggaran negara! Padahal, idealnya ekonomi masyarakat mumpuni mendorong pertumbuhan pada tingkat ideal, sedang anggaran negara hanya stimulan. 

Tapi realitasnya, ekonomi masyarakat ringkih, tak mampu tumbuh ideal tanpa aliran APBN ke pasar! Untuk itu seharusnya pemerintah lebih besar lagi mengalirkan anggaran ekstra ke perekonomian masyarakat, bukan malah dicurahkan ke BUMN hingga ekonomi kian etatis, makin tergantung pada negara! 

Kelemahan ekonomi masyarakat itu terjadi akibat dalam satu dekade ini infrastruktur di seluruh negeri dibiarkan hancur oleh pemerintah, diikuti kehancuran ekonomi rakyat. Kalau infrastruktur diperbaiki, satu dekade ke depan ekonomi rakyat bisa bangkit kembali seperti sediakala! ***
Selanjutnya.....

Chauvinist, Nasionalisme Sempit!

CHAUVIN seorang prajurit Prancis amat membanggakan jenderalnya, Napoleon Bonaparte. Ia tak peduli dirinya terluka dan cacat seumur hidup atas kesalahan dan ambisi Napoleon yang berakibat banyak prajurit tewas dan misi gagal. Bahkan, setelah Napoleon gila dibuang ke Pulau Elba, Chauvin tetap memujanya sebagai pemimpin terbaik. 

Fanatisme buta seperti itu kemudian diabadikan jadi pengikut sang prajurit, Chauvinist. Namun, sebutan Chauvinist kemudian berkembang juga untuk paham Nazi, sebuah nasionalisme buta yang beranggapan ras bangsanya paling unggul atau superior dibanding bangsa lain.

Nasionalisme dengan keunggulan yang buta itu, berkembang jadi chauvinisme yang justru sebagai cangkang untuk menutupi kekurangan dalam realitas buruk rakyat negerinya, terutama di negeri komunis. 

Lewat indoktrinasi ideologis rakyat dibuat berbangga justru dengan kemiskinan dan penderitaannya sebagai pengorbanan bersemangat patriot demi cita-cita kejayaan bangsanya. Nasionalisme sebagai cangkang dijadikan penutup diri dari pengaruh asing, dengan segala sesuatu yang buruk di mata asing mereka negasikan sebagai kekhasan hak kedaulatan bangsanya, bangsa lain tak boleh mencampuri urusan internalnya. 

Dengan cangkang itu nasionalismenya jadi sempit, karena juga menutup diri dari konvensi universal yang berlaku di NGO antarbangsa sejenis statuta FIFA maupun organisasi mondial lainnya. Juga menutup dari kecenderungan yang berkembang pada bangsa-bangsa lain, seperti terus meluasnya gerakan antihukuman mati yang kini telah berlaku di 146 dari 207 negara di dunia. 

Dengan cangkang yang keras menutup rapat dari argumentasi dan dalil-dalil yang dipakai perjuangan menghentikan hukuman mati yang selain berdasar norma dan nilai HAM, juga lewat pemaknaan kembali nilai-nilai samawi. 

Salah satunya, Tuhan tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. Karena manusia tak mampu menciptakan nyawa manusia, tak pada tempatnya jika manusia melewati batas kemampuan yang diberikan Sang Pencipta dirinya, menghabisi nyawa sesamanya. 

Pemaknaan kembali nilai-nilai diproses sebagai aktualisasi peradaban luhur yang menjunjung tinggi eksistensi manusia sebagai ciptaan-Nya terbaik. Tapi dengan gerakan yang persuasif, nilai-nilai hasil pemaknaan baru untuk memajukan peradaban itu selalu mental, tak mampu menembus cangkang chauvinist nasionalisme sempit yang justru semakin keras! ***
Selanjutnya.....

Dana BPJS Tenaga Kerja Rp180 Triliun

PRESIDEN Joko Widodo mengungkap saat ini dana milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebesar Rp180 triliun lebih banyak tersimpan di lembaga tersebut, yang dipakai untuk buruh baru keluar sebesar 5% buat investasi perumahan. 

Padahal di negara-negara lain dana itu biasanya digunakan sebanyak 50%, ujar Jokowi. Oleh karena itu, dia meminta agar sistem tersebut segera diubah. "Kalau bisa, 40%—50% untuk menyiapkan perumahan bagi buruh, berapa banyak itu rumah yang bisa dibangun" kata dia. (Kompas.com, 4/5)

Saran Presiden agar dana BPJS tenaga kerja itu digunakan lebih banyak lagi untuk membangun rumah buruh, jelas amat tepat. Betapa dewasa ini buruh merupakan kelompok yang paling butuh rumah kelas bawah, mengatasi kondisi mereka yang banyak mengontrak di bedeng sempit dan kumuh. Lebih dari itu, mereka harus membayar sewa rumah yang lazimnya terus naik, menguras gaji mereka yang kecil. 

Akibatnya, mereka mengorbankan kualitas hidup keluarga dari segala dimensinya. Pemerintah kurang memperhatikan kebutuhan rumah kelas bawah, sedang pasokan untuk kelas atas berlebihan. Pemerintah sekarang memang sedang fokus membangun sejuta rumah rakyat, yang peletakan batu pertamanya telah diletakkan Presiden Jokowi di Jawa Tengah, akhir April lalu. 

Jadi, sarannya agar dana BPJS Ketenagakerjaan lebih besar lagi untuk pembangunan rumah buruh mendukung program tersebut. Namun, dana BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp180 triliun itu sebagian besar adalah tabungan hari tua semua pekerja Indonesia. 

Bukan hanya buruh, melainkan juga pegawai swasta perusahaan nasional dan asing. Dana itu harus siaga, bisa diambil pemiliknya kapan saja ia pensiun, wafat, atau kena PHK. Dana itu selama ini dikelola selayaknya tabungan, seperti yang ditangani Jamsostek diberi bunga 10% per tahun. 

Untuk itu, tentu dana itu dikelola dengan pilihan paling aman, seperti membeli Surat Berharga Negara (SBN) maupun reksadana yang bergaransi milik BUMN agar tetap bisa membayar bunga bagi penabung. 

Bukan berarti dana tersebut tak bisa dipakai lebih besar untuk membangun rumah buruh, asalkan ada yang menjamin tetap membayar bunga tabungannya. Mungkin berupa subsidi dari pemerintah, sekaligus jaminan pemerintah akan menutup pembayaran tabungan hari tua semua pekerja itu apabila pengelolaannya jebol akibat dialihkan ke konsumtif! ***
Selanjutnya.....

JK Isyaratkan Reshuffle Kabinet!

WAKIL Presiden Jusuf Kalla mengisyaratkan bakal ada reshuffle atau perombakan kabinet dalam beberapa bulan ke depan. "Ya, karena banyak perlu peningkatan kinerja tentu dibutuhkan orang-orang yang sesuai dengan kemampuannya," ujar Kalla. (Kompas.com, 4/5) 

Desakan publik untuk reshuffle kabinet itu terus menguat setelah survei Polltracking Indonesia pada enam bulan pemerintahan Jokowi-JK menunjukkan kepuasan publik merosot drastis sampai ke bawah 50%, yakni tinggal 47% yang puas pada kinerja Jokowi dan 44,8% yang puas pada kinerja JK. Tercatat 48,5% masyarakat yang tak puas pada keseluruhan kinerja pemerintahan Jokowi-JK, sedang yang puas hanya 44%. (Tempo.co, 19/4)

Untuk di bidang ekonomi, kekecewaan publik mencapai 52,2%. Kekecewaan lebih tinggi lagi pada bidang hukum yang mencapai 55,6%. Akibat besarnya kekecewaan masyarakat itu, survei itu mencatat 41,8% masyarakat setuju dengan wacana perombakan Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK. Menurut survei, publik menilai salah satu cara memperbaiki tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah yaitu dengan mengganti menteri. 

Bola salju reshuffle kabinet menggelinding seiring tingkat kekecewaan terhadap kinerja kabinet yang terus meningkat akibat harga kebutuhan pokok rakyat terus menanjak. Tak kepalang, kekuatan politik dominan di parlemen, Koalisi Merah Putih (KMP) pun ikut mendorong Presiden Jokowi untuk segera merombak kabinet. 

Dorongan KMP itu diekspresikan Ketua DPP PAN Yandri Susanto dan Bendahara Umum Partai Golkar versi Munas Bali Bambang Soesatyo. Dari semua itu bisa dipahami kalau Wakil Presiden memikirkan langkah untuk merombak kabinet. 

Tapi dengan disebut beberapa bulan ke depan, bisa jadi langkah tersebut akan dibahas lebih dahulu secara saksama, terutama dengan partai-partai pengusung. Namun, bongkar-pasang orang di kabinet saja tidak menjamin bisa mengubah kekecewaan publik menjadi kepuasan. 

Kecuali, kebijakan-kebijakan yang kurang prorakyat dikoreksi, meski tujuannya bagus untuk jangka panjang. Maksudnya bukan membatalkan kebijakan, melainkan memberi tenggang waktu pelaksanaan secara bertahap, hingga tidak seketika mematikan sumber penghidupan rakyat banyak! 

Contohnya pelarangan alat tangkap ikan tradisional sejenis cantrang, yang menyengsarakan ribuan nelayan di pesisir. Langkah lain, tidak harus membenturkan kekuasaan pada sasaran kebijakan—seperti dialami PSSI! ***
Selanjutnya.....

Bangkit dari Keterpurukan di Q1

EKONOMI Indonesia kuartal 1 (Q1) 2015 terpuruk, hingga pertumbuhannya anjlok di bawah 5%. Ini, selain membuat kurs rupiah timbul tenggelam di Rp13 ribu/dolar AS, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia yang sempat tembus 5.500, terkoreksi hingga 432 poin (8,49%) dua pekan terakhir, hingga 30 April ditutup pada 5.086. (Kompas.com, 4/5) 

Keterpurukan ekonomi Indonesia pada Q1 yang berimbas ke bulan pertama Q2 itu, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, akibat faktor eksternal masih berlanjutnya krisis global. Jika benar cuma itu penyebabnya, Indonesia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi masalahnya guna mempercepat kembali laju pertumbuhan. Karena, krisis global itu di luar jangkauan kita.

Lain hal menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, penyebab utama pelambatan pada Q1 akibat stagnasi fiskal, kelemahan pemerintah dalam mengelola anggaran negara, sehingga pasar kelangkaan aliran dana pembangunan. 

Penyaluran dan penyerapan APBN pokok masalahnya sehingga pasar kelimpungan—industri otomotif, diikuti sektor lain, penjualan anjlok 15% hingga 30%. Kalau pemerintah mau jujur mengakui kelemahan dan berusaha memperpaiki dari segala seginya ke kuartal-kuartal selanjutnya, persoalan membangkitkan dan mempercepat kembali pertumbuhan ekonomi bisa diharapkan. 

Tetapi kalau pemerintah malah mengelak dan menolak mengakui pokok masalah ada pada dirinya dan enggan memperbaiki kelemahannya, masalahnya bisa panjang dan berlarut! Bukan mustahil, masalah ekonomi akan berbelit-belit mengikuti masalah hukum di negeri ini belakangan, seperti imbas konflik KPK-Polri, hanya karena penerintah enggan melihat dan mengatasi kaitan masalah pada dirinya. 

Kian lama, masalah justru tambah runyam saja! Jadi, untuk bangkit dari keterpurukan di Q1 yang masih berlanjut ke bulan pertama Q2 bahkan memukul pasar saham yang capaian rekornya sepanjang sejarah di medio April dihadiri Presiden, sebenarnya sederhana, pemerintah segera menggenjot belanja pembangunan agar uangnya mengalir ke pasar. 

Tapi untuk itu juga tak mudah, harus membenahi daya serap anggaran pada jajaran birokrasi pemerintah di seluruh Tanah Air. Semakin banyak pejabat enggan jadi pimpinan proyek, karena tanpa niat melakukan korupsi pun, banyak celah yang bisa dibuat menjerat dirinya dengan kasus korupsi. Padahal tantangan di lapangan ruwet, banyak orang datang bergaya intel merepotkan pimpro. ***
Selanjutnya.....

Para Pemain Bola pun Terkapar!

PSSI—Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia—meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia karena meniadakan kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2015. Wakil Ketua Umum PSSI Hinca Panjaitan menyatakan demi kepastian kompetisi, pihaknya mengambil keputusan tersebut (meniadakan ISL) agar situasinya menjadi pasti. 

Ia tegaskan, PSSI lebih pantas untuk menundukkan diri kepada induk sepak bola dunia, yakni AFC dan FIFA, daripada Menpora Imam Nahrawi yang notabene masih mitra kerja. (Kompas.com, 2/5)

"Kami meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan meniadakan kompetisi karena terjadinya force majeure," ujar Hinca. Force majeure itu suatu kejadian di luar kemampuan sesuatu pihak (dalam hal ini PSSI) untuk mengatasinya. 

Force majeure yang dimaksud Hinca adalah pembekuan PSSI oleh Menpora, dan surat Menpora ke Mabes Polri untuk tidak memberi izin keramaian kompetisi di bawah PSSI. Sejumlah pertandingan yang dijadwalkan dua pekan lalu pun batal. 

Pertemuan 16 klub ISL dengan Menpora Senin pekan lalu tak menghasilkan jalan keluar, karena pihak klub menyatakan tetap setia pada PSSI. Kini, yang paling berat menanggung akibatnya adalah para pemain. Tanpa kompetisi, mereka tak ada pekerjaan. Selain ISL, kompetisi Divisi Utama dan divisi lain juga ikut terhenti. 

"Kalau sudah begini yang dirugikan ya pemain yang bermain di klub-klub kecil," tegas Rudi Wiliam Keltjes, mantan pelatih PSM. "Untuk pemain besar dengan gaji tinggi mungkin tak masalah, karena mereka masih memiliki tabungan yang banyak. 

Tetapi pemain dengan bayaran kecil, tentu kasihan. Mereka harus menggadaikan motor atau hartanya untuk menghidupi keluarganya." (Kompas.com, 2/5) Dengan begitu, apalagi tanpa kompetisi, nasib pemain sepak bola jelas sudah terkapar. Kalau masih ada kompetisi, meski sedikit ada hasil penjualan tiket yang bisa untuk mencicil gaji pemain. 

Nasib begitu ditemukan sedikitnya di 17 klub Divisi Utama yang menunggak gaji pemain. Antara lain, Mojokerto FC (3 bulan), Persewangi (5 bulan), PS Sumbawa (3 bulan), PPSM (5 bulan), PS Bangka (1,5 sampai 6 bulan), PSPS (belum digaji sama sekali sejak awal kompetisi 2014), Persewon (7 bulan), Persires (belum sama sekali), Persepar (5 bulan), Persik (4 bulan), dan Persiku Kudus (7 bulan). Dengan itu jangankan berprestasi! Malah para pemain sepak bola yang terkapar hidup sengsara. Sedihnya, itu justru bukti kekuasaan dijalankan efektif-efisien! ***
Selanjutnya.....

Rencana Mendirikan Partai Buruh!

SEKITAR 150 ribu buruh demo di depan Istana Merdeka pada Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2015. Dalam orasinya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea mengutarakan rencana mereka untuk membentuk partai politik. "Kami harus membangun kekuatan kami sendiri. 

Membangun partai kami sendiri," ujar Andi Gani (Kompas.com, 1-5). Alasan buruh ingin membuat partai politik, menurut dia, karena selama ini usaha buruh mengkritisi masalah upah murah dan outsourcing lewat demo dan aksi massa hasilnya kurang optimal, karena upah murah dan outsourcing itu produk politik, yang dihasilkan partai-partai politik di parlemen.

Maka itu, tidak ada jalan lain bagi buruh selain terjun ke dunia politik. "Perjuangan politik akan lebih mudah dengan mengubah sistem yang ada," tegas Andi. Impian indah buruh bisa ikut mengubah sistem yang ada lewat jalur politik itu boleh-boleh saja, karena di Inggris dan Australia Partai Buruh bisa menang pemilu dan menjalankan pemerintahan. 

Tetapi, di Indonesia, sejarah partai buruh seperti yang didirikan Muchtar Pakpahan masih perlu dicari tahu kenapa kurang berhasil meraih suara maksimal dalam pemilu. Artinya, dengan gairah perjuangan buruh yang gelombang, gerakan massanya cukup menjanjikan untuk dijadikan konstituen pendukung pembentukan partai buruh dewasa ini, mengisyaratkan momentum yang lebih tepat dibanding kelahiran partai buruh sebelumnya. 

Dengan basis massa ormas-ormas dalam wadah konfederasi serikat pekerja (KSPSI) yang ada, jika dikelola benar-benar berorientasi pada kepentingan massa buruh, partai baru ini punya akar yang kuat dalam masyarakat. 

Tinggal baik-buruknya pengelolaan organisasi sebagai manajerial partai politik yang akan menentukan seberapa besar partai baru ini jadinya nanti. Terutama bentuk dan sifat keorganisasian partanya yang akan lebih menentukan. 

Jika bisa dibentuk sebagai partai massa aksi dengan sifat stelsel aktif perorangan, bukan partai kader yang borjuis seperti banyak partai yang telah ada, partai baru ini justru bisa menjadi alternatif bagi wadah perjuangan rakyat! 

Sebagai partai massa aksi, setiap basis massa memperjuangkan kepentingan konstituen lokal masing-masing. Selain partai ini bisa hidup dari iuran anggota, juga menjadi alat perjuangan rakyat yang sesungguhnya. Partai seperti itu punya peluang dan dibutuhkan rakyat! ***
Selanjutnya.....

'Gigi' KPK Kembali Dicabut Polisi!

SETELAH dua “saing” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, “dicabut” oleh polisi, kini sebuah “gigi” lagi, penyidik andalan KPK, Novel Baswedan, Jumat (1/5), dicabut polisi dengan menangkap dan menahan di Bareskrim Polri. Dengan dua saing dan gigi andalannya dicabut, KPK pun kini jadi “ompong tenan”! 

Surat penangkapan Novel bernomor SP.Kap/19/IV/2015/ Dittipidum memerintahkan untuk segera dilakukan pemeriksaan karena diduga keras melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (2) KUHP dan atau Pasal 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP yang terjadi di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, 18 Februari 2004 atas nama pelapor Yogi Haryanto. (Kompas.com, 1/5)

Kasus tersebut pernah mencuat ketika konflik KPK vs Polri pada 2012 saat Novel jadi penyidik korupsi pengadaan alat simulasi di Korlantas tahun anggaran 2011 dengan tersangka Irjen Djoko Susilo. Pada 2004, ada anak buah Novel yang melakukan tindakan di luar hukum yang menyebabkan korban jiwa. 

Novel yang mengambil alih tanggung jawab anak buahnya itu pun diproses institusinya, kepolisian, sudah diberi teguran keras. Tapi, rupanya kerja kepolisian di masa lalu atas Novel itu dianggap tak beres, hingga kini harus diproses ulang oleh Bareskrim untuk dibuat menjadi beres. Langkah ini justru membuat justifikasi bahwa kerja lembaga kepolisian di masa lalu tidak beres. 

Ini justru bisa menjadi pembenaran bagi KPK atau instansi lain untuk mengusut ketidakberesan jajaran polisi di masa lalu, seperti kasus BG yang di antaranya terjadi pada 2003. Justifikasi itu bisa menjadi bom waktu yang bakal merepotkan polisi di masa depan. 

Seperti halnya hasil praperadilan BG yang memperluas objek praperadilan, yang kemudian dikukuhkan Mahkamah Konstitusi, berujung bakal merepotkan kepolisian menghadapi praperadilan penetapan tersangka, sepanjang zaman! 

Jadi, tangan mencencang bahu memikul. Kerja hebat kepolisian masa kini akan menjadi beban yang harus dipikul jajaran kepolisian ke depan sepanjang masa, baik terkait penilaian kerja polisi masa lalu tak beres maupun menghadapi gelombang praperadilan penetapan tersanka, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan kepolisian! Selamat bekerja hebat, mewujudkan Indonesia Hebat! ***
Selanjutnya.....

MK Perluas Objek Praperadilan!

MK—Mahkamah Konstitusi—memperluas kewenangan praperadilan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memasukkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek praperadilan. Pasal 77 huruf (a) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai praperadilan dapat memeriksa ketiga tindakan penyidik tersebut. 

Begitu putusan MK dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Selasa (28/4). MK mengabulkan permohonan Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, yang menguji Pasal 1 Angka (14), Pasal 17, Pasal 21 Ayat (1), dan Pasal 77 KUHAP. (Kompas, 29/4) Dalam putusan itu, tiga hakim konstitusi, I Dewa Gede Palaguna, Muhammad Aliem, dan Aswanto, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ketiganya berpendapat MK seharusnya menolak permohonan Bachtiar tersebut.

Menurut MK, bukti permulaan yang cukup harus dimaknai dengan minimal dua alat bukti dan perlu disertai dengan pemeriksaan calon tersangka, kecuali atas tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). 

Pemeriksaan calon tersangka itu untuk transparansi dan perlindungan hak asasi agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah memberi keterangan seimbang atas dua alat bukti yang didapat penyidik. 

MK menyatakan praperadilan jadi tempat bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka memperjuangkan haknya. Ini semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang sangat mungkin terjadi ketika menetapkan tersangka. Namun, MK menegaskan perlindungan terhadap hak tersangka tidak serta-merta diartikan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. 

Upaya itu tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai kaidah hukum yang berlaku. Berarti, putusan praperadilan mengoreksi kesalahan prosedural dalam penetapan tersangka, tidak menyangkut substansi dugaan tindakan pidananya. 

Sehingga, dengan putusan MK ini meski telah diputus praperadilan penetapan tersangka tidak sah, penegak hukum (polisi, jaksa, KPK) tetap bisa mengulang dari awal proses penyelidikan kasus pidananya. 

Jadi tidak seperti kasus BG, KPK menyatakan tidak berhak menangani kasusnya setelah kalah di praperadilan dan melimpahkan ke kejaksaan. Tapi setelah putusan MK ini, KPK berhak untuk menyelidiki dari proses awal kembali—sekadar contoh. ***
Selanjutnya.....