TERBUNGKUK-bungkuk menyulut kompor tak kunjung nyala, nenek mengambil galon plastik minyak tanah. Ternyata kosong. Ia pun membuka bundelan stagennya, menghitung uang receh hasil jualan sirih dari kebunnya.
“Cukup!” gumam nenek gembira, uangnya genap Rp600, harga seliter minyak tanah. Ia bergegas ke warung. Tapi sebelum ia masuk, pemilik warung menyongsong, “Minyak tanah habis, Nek! Sudah beberapa hari pasokannya tak datang!”
“Habis?” tukas nenek, heran.
“Untuk beli minyak tanah antre, di seberang kali!” timpal seorang tetangga. “Cuma di sana yang ada!” “Ke seberang? Jauh amat!” timpal nenek.
“Pakai kayu bakar saja!” lanjut tetangga.
“(r)MDRVKan(r)MDNM harus dikeringkan! Kalau mendadak mana bisa! Ikut antre saja, sambil bernostalgia antre minyak tanah seperti pada zaman Orde Lama!” jawab nenek. Lantas sambil jalan ia bicara sendiri, “Lagi pula, barang antrean (r)MDRVkan(r)MDNM lebih murah dari pasaran! Empat puluh tahun lalu, awal 1960-an, harga minyak tanah antrean hanya separo dari pasaran! Malah pada zaman Habibie, antre beras dapat gratis! Pada zaman Gus Dur beras antrean sekilo Rp1.000, meski di pasar Rp2.500!” Dengan kembang-kempis di penurunan dan pendakian jembatan, akhirnya sampai juga nenek ke buntut antrean panjang. Setelah hampir dua jam beringsut setapak demi setapak, barulah ia mencapai depan antrean. Ia serahkan galon dan uang yang digenggamnya sejak dari rumah.
“Uangnya cuma enam ratus, isi setengah liter!” ujar bandar minyak tanah pada pekerjanya. “Kok cuma setengah liter?” entak nenek kaget.
“Hari ini seliter Rp1.200!” tegas bandar sambil menerima galon dan uang dari pengantre berikutnya.
“Barang antrean (r)MDRVkan(r)MDNM seharusnya lebih murah dari biasanya!” tukas nenek, tapi tak ditanggapi bandar dan ia pun segera tersodok keluar antrean oleh pengantre di belakangnya.
“Ternyata sekarang ini terburuk dari segala zaman sepanjang hidupku! Lebih buruk dari zaman Orde Lama, lebih buruk dari zaman Habibie, lebih buruk dari zaman Gus Dur!” teriak nenek sambil (r)MDRVngeloyor(r)MDNM pulang. “Sudah capek antre, harganya dua kali lipat! Dari zaman ke zaman, barang antrean itu lebih murah!”
“Bagaimana nostalgia antre minyaknya, Nek?” tanya pemilik warung saat nenek melintas pulang. “Bukan nostalgia, tapi nostalgila!” jawab nenek, lantang. “Pemerintah-pemerintah sebelumnya menyadari belum bisa memakmurkan bangsa, dengan berbagai antrean berusaha meringankan beban rakyat! Tapi, pemerintah sekarang, sudah tak bisa meningkatkan kesejahteraan, malah menyetrap rakyat untuk antre menerima tambahan beban berlipat ganda!”
“Itu bukan kerjaan pemerintah, Nek! Tapi spekulan penimbun minyak tanah!” tegas pemilik warung.
“Untuk membekuk spekulan seperti itu (r)MDRVkan(r)MDNM tinggal pakai Undang-Undang Antisubversi ekonomi yang sudah disiapkan Orde Lama!” timpal nenek. “Pemerintah apaan kalau tinggal pakai yang ada saja tak becus!” ***
0 komentar:
Posting Komentar