Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Reorientasi Nilai dan Pengamalan Pancasila!


"BERULANG-ULANG mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif, mengingatkan semakin terpuruknya bangsa kita sehingga kian tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang sebelumnya di belakang kita, terjadi akibat semakin lemahnya kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat negara dan bangsa!" ujar Umar. "Pancasila sebagai pandangan hidup dan landasan mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa disepakati para Bapak Pendiri Negara Republik Indonesia pada 1 Juni 1945--hari ini genap berusia 65 tahun!"

"Cita-cita kemerdekaan bangsa yang berlandaskan Pancasila itu dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, ...membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial!" sambut Amir. "Realitasnya, pemerintahan negara belum sepenuhnya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia!"

"Contoh belum terlindunginya segenap bangsa Indonesia itu terlihat pada mereka yang tak punya sejengkal tanah pun selalu digusur tanpa solusi memberinya tempat untuk hidup tenteram bersama keluarganya! Jutaan TKI teraniaya tanpa perlindungan negara memadai!" timpal Umar. "Juga penganggur dikencundangi dari hak konstitusionalnya--setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan!"

"Demikian pula perlindungan terhadap tumpah darah Indonesia, di mana hutan banyak ludes oleh pembalak liar, maupun kekayaan laut diserobot illegal fishing!" tegas Amir. "Belum lagi dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, justru menempatkan buruh sekadar alat produksi yang digaji rendah dengan di lain pihak harga produk pertanian rakyat ditekan agar buruh yang bergaji rendah mampu memenuhi kebutuhannya! Alhasil, kebijakan pemerintahan negara masih belum berubah dari prakemerdekaan, berpihak pada kaum kapitalis penguasa modal dan teknologi! Belum lagi realitas lebih 90 persen pengelolaan kekayaan alam di sektor pertambangan kita dikuasai asing!"

"Karena itu, sudah saatnya reorientasi nilai-nilai dan pengamalan Pancasila guna segala sesuatu bisa kembali diletakkan pada posisi semestinya!" tegas Amir. "Untuk memulai usaha itu, ormas Nasional Demokrat dua hari ini mengadakan simposium nasional! Diharapkan, secara bertahap pola pikir bangsa bisa dikembalikan ke jalan ideal Pancasila, mencapai cita-cita kemerdekaan!" ***

Selanjutnya.....

Tabung Gas Kian Sering Meledak!


"DI Jakarta dalam April-Mei ini terjadi sembilan kali tabung gas elpiji meledak, baik ukuran 3 kg maupun 12 kg! Sembilan orang tewas, 22 luka bakar! (Kompas, [29-5]) Terakhir ledakan terjadi di Apartemen Royal Tower Riverside, Jakarta Utara!" ujar Umar. "Itu menunjukkan ledakan gas bukan cuma terjadi di rumah warga biasa yang mungkin kurang pengetahuan, tetapi juga di hunian elite!"
"Secara sederhana penyebab kecelakaan beruntun itu mudah disimpulkan, kurangnya pengawasan kualitas tabung gas di pasaran!" sambut Amir. "Namun di balik itu sesungguhnya ada hal yang prinsip perlu diperhatikan dan diwaspadai, justru sebelum kecelakaan serupa terjadi di Lampung!"
"Masalah apa yang prinsip itu?" potong Umar.

"Sikap pemimpin yang menghabisi pilihan atau alternatif lain bagi warganya demi memaksakan kehendaknya semata!" tegas Amir. "Peralihan dari minyak tanah ke gas prosesnya amat menonjolkan sikap tersebut! Peledakan beruntun tabung gas itu menunjukkan kurangnya kesiapan warga dalam perubahan itu! Di lain pihak, justru terjadinya beruntun di Ibu Kota yang seharusnya menjadi contoh baiknya pengawasan kualitas tabung dan pengamanan dari risikonya, jadi bisa dikatakan bahkan di kalangan pelaksana kebijakan sendiri ternyata juga belum siap!"
"Untuk itu pembuat kebijakan dengan enteng menyatakan pemakaian semua energi ada risiko! Listrik lewat tegangan arus pendek, minyak tanah kompor meledak!" timpal Umar. "Tapi dibanding dengan ledakan gas beruntun terakhir ini, terbukti risiko ledakan gas lebih dilematis! Risiko-risiko lain itu mungkin tak terjadi di apartemen mewah seperti dialami ledakan gas terakhir!"
"Masalah kedua bersifat prinsip adalah disiplin!" tegas Amir. "Di satu pihak disiplin petugas jajaran pegawasan mutu terbukti bekerja tidak efektif! Di sisi lain disiplin di kalangan penyalur, yang tidak memeriksa dengan baik komponen safety valve di perangkat penyaluran gas! Satu keluarga di Bataranila Sabtu lalu menemukan per pada safety valve tabung gasnya lemah sehingga bocoran gas menyengat di ruangan! Untung cepat ketahuan hingga semua aliran listrik dipadamkan dan tabung gasnya dilarikan keluar!"
"Secara prinsip pula, produsen dan penyalur setiap menyerahkan barang ke konsumen--meski tabung isi ulang--seharusnya berstandar barang baru dalam paket sempurna!" timpal Umar. "Tapi apa boleh buat, ledakan-ledakan itu terjadi justru membuktikan, di pihak produsen dan penyalur juga sebenarnya belum siap! Semua itu hanya akibat pemaksaan kehendak sang pemimpin!"
Selanjutnya.....

Kartel Politik, Kolusi Penguasa- Pengusaha!


"ALKISAH tentang seseorang yang merasa gerah hidup di negeri sendiri hingga memilih tawaran kerja di mancanegara dan meninggalkan jabatan penting dalam pemerintahan negerinya! Sebelum bertolak dia wanti-wanti kepada bangsanya agar mewaspadai kartel politik, alias kolusi penguasa-pengusaha!" ujar Umar. "Masih terngiang pesan sang tokoh di telinga bangsanya, Mahkamah Agung negeri itu memutus perkara pajak senilai 1,65 miliar dolar AS untuk kemenangan pengusaha--mengalahkan pihak negara yang menggugatnya!"

"Kolusi penguasa-pengusaha dalam kartel politik yang dipimpin pengusaha pantas dicemaskan sang tokoh! Apalagi kasus pajak senilai 1,65 miliar dolar AS itu terkait tugasnya sewaktu menjabat di pemerintahan negerinya!" sambut Amir. "Betapa risau warga bangsanya menalari pesan tokoh itu, ketika menyadari kartel politik yang dimaksudnya menguasai lebih 75 persen suara di parlemen! Apa pun keinginan kartel, tak sulit mewujudkannya! Bisa saja terkait kepentingan pribadi pimpinan kartel! Namanya juga kartel, orientasi pada kepentingan pimpinan lazim dapat prioritas!"

"Apakah ada masalah lain yang dicemaskan warga bangsanya dengan determinasi kartel di parlemen negerinya?" tanya Umar.

"Salah satunya terkait tanggung jawab bos kartel atas nasib ribuan warga di suatu wilayah negeri itu, sudah empat tahun rumah bersama harta bendanya tenggelam lumpur panas semburan dari galian perusahaan bos tersebut, ganti ruginya baru dibayar 20 persen sedang sisanya tinggal janji!" tegas Amir. "Guna mengatasi luapan lumpur negara telah mengeluarkan lebih empat miliar dolar AS, digunakan untuk meninggikan ruas jalan tol, memindah rel KA, membuat tanggul agar lumpur panas tak terus meluas! Sedang pihak bos perusahaan itu tenang saja, tak peduli jeritan derita ribuan korban lumpur! Nah, yang dikhawatirkan bangsanya, dengan determinasi kartel yang dia pimpin di parlemen, dengan satu kedipan saja tanggung jawab perusahaannya atas korban
lumpur bisa dialihkan menjadi tanggung jawab negara melalui putusan parlemen!"

"Bagaimana cara mengalihkannya?" kejar Umar.

"Gampang sekali!" tegas Amir. "Cukup hanya lewat satu putusan parlemen yang sudah didominasi 75 persen lebih oleh kartel itu menyatakan kasus lumpur panas itu bencana nasional! Maka demi hukum beralihlah tanggung jawab perusahaan tersebut menjadi beban negara!"

"Begitu mudah?" entak Umar. "Pantas sang tokoh cemas pada kartel politik berupa kolusi penguasa-pengusaha, hingga pergi jauh dari negerinya!"

Selanjutnya.....

Dicabut, Subsidi BBM Motor!


"UNTUK mengurangi subsidi BBM dalam APBN, pemerintah berencana mencabut subsidi BBM untuk sepeda motor! Kebijakan ini akan diuji coba mulai Agustus 2010 di Pulau Jawa!" ujar Umar. "Konsumsi BBM jenis premium untuk motor 15%, sisanya 85% untuk mobil. Tanpa subsidi, berarti pengendara motor harus membeli BBM dengan harga internasional setara di Singapura, Rp6.000 sampai Rp6.500 per liter!"

"Orang-orang di lingkaran kekuasaan memang pintar menambah beban hidup rakyat kecil hingga kian sengsara!" sambut Amir. "Bayangkan betapa semakin berat derita tukang ojek, pedagang kecil penjaja keliling, pegawai dan karyawan rendahan, warga pinggiran yang mendominasi pengguna motor! Sedang warga kelas menengah dan atas yang bermobil, justru tetap diberi subsidi BBM!"

"Kebijakan menambah beban pada mayoritas rakyat kelas bawah itu pendekatan Orde Baru dengan asumsi korban kebijakan itu hanya the silent majority--mayoritas bisu!" tegas Umar. "Contoh yang berlangsung dari zaman ke zaman adalah kebijakan menekan harga gabah dan beras milik petani! Penekanan harga beras berlangsung sistematis melalui kendali harga dari Bulog, guna mendukung sektor industri yang tidak efisien, hingga cuma bisa bertahan lewat menekan gaji buruh serendah mungkin! Dengan gaji sangat rendah, kaum buruh hanya mampu bertahan hidup dengan beras murah!"

"Tapi sektor industri tak kunjung bisa efisien karena terbelit birokrasi yang korup nyaris di semua lini!" timpal Amir. "Akibatnya, sektor industri tak kunjung efisien untuk memberi pertumbuhan ekonomi sebanding pengorbanan petani yang menyuplai beras murah! Beda dengan negeri-negeri maju, melindungi petani dengan menjaga harga produk pertanian tetap tinggi di dalam negeri dengan subsidi sarana produksi yang berlimpah! Seperti di Jepang, harga beras 300 yen per kilogram (sekitar Rp30 ribu), sisa produksinya dibeli negara dan dilempar ke pasar internasional dengan harga sangat rendah!"

"Itu dia!" sambut Umar. "Setelah sekian lama petani dikorbankan demi kepentingan industrialis kaya raya, kini giliran tukang ojek yang harus memikul beban demi kelas menengah dan atas tetap bisa menikmati subsidi BBM!"

"Tapi, pencabutan subsidi BBM motor ini menjadi penguji asumsi apakah rakyat kelas bawah masih mayoritas bisu!" tegas Amir. "Jika asumsi itu benar, terbukti pembangunan demokrasi sejauh ini belum berhasil membuat rakyat bangkit dan mengakhiri posisinya sebagai mangsa dari kepentingan kelas menengah dan atas!" ***

Selanjutnya.....

Rangkaian Kasus Bisa Pengaruhi Kredibilitas KPU!


"MASALAH kelebihan cetak 116.583 surat suara oleh KPU Bandar Lampung belum selesai, muncul isu salah satu kandidat bagi-bagi mobil kepada sejumlah anggota KPU!" ujar Umar. "Karena lima hari lagi memasuki bulan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada), bukan mustahil rangkaian kasus itu berlarut menjadi beban moral penyelenggara pilkada! Hal itu jelas bisa mempengaruhi kredibilitas KPU, terutama atas hasil penghitungan suara yang ditanganinya!"

"Maka itu, KPU provinsi harus bertindak cepat mengatasi masalahnya, sampai benar-benar clear, agar kekisruhan pelaksanaan pilkada Bandar Lampung bisa dicegah secara dini!" sambut Amir. "Pertama, kalau Dewan Kehormatan (DK) yang dibentuk masih kesulitan aturan main dan kriteria salah-benar atau etis-tidaknya tindakan anggota KPU, lebih tepat jika KPU provinsi meng-endorce kasusnya ke proses hukum! Dengan proses hukum, status subjek hukum bisa lebih cepat dipastikan, KPU provinsi punya dasar menetapkan langkah penyelamatan pilkada Bandar Lampung! Kedua, melakukan klarifikasi isu bagi-bagi mobil! Tanpa klarifikasi, isu akan terus merebak hingga akhirnya mengganggu pelaksanaan pilkada!"

"Namun, tetap diragukan pilihan langkah tersebut mampu mengatasi masalahnya, yang dari hari ke hari terus berkembang semakin ruwet!" tegas Umar. "Satu kelalaian KPU cukup untuk menjadi kemelut yang membuat pilkada hanya berujung di Mahkamah Konstitusi (MK), menambah kasus pilkada yang 'membanjiri' MK--saat ini saja sudah 24 sengketa pilkada masuk MK! (Kompas, [26-5]) Apalagi ada masalah nyata seperti di KPU Bandar Lampung! Tanpa masalah nyata pun banyak calon yang kalah membawa kasus pilkada ke MK!"

"Apa pun hasil akhirnya setelah melalui proses yang berbelit dan berlarut jika pilkada sampai kisruh, warga pemilih menjadi tidak sreg atau ragu, apakah hak konstitusionalnya berada di tangan-tangan yang bisa dipercaya!" timpal Amir.

"Kecenderungan ke arah itu amat menyedihkan, justru saat demokrasi menjadi tumpuan harapan perbaikan nasib rakyat, orang-orang yang diberi kepercayaan menyelenggarakan prosesnya neko-neko, bukan saja tak menjaga amanah, malah mencemari kepercayaan terhadap dirinya sendiri!"

"Jika ternyata masalah di KPU Bandar Lampung itu tak bisa diselesaikan, tak ada pilihan lain kecuali menerima kenyataan sesuai ajaran leluhur, tak ada rotan akar pun jadi!" tegas Umar. "Betapa malang nasib rakyat, proses demokrasi saja tak bisa mendapatkan yang terbaik!"

Selanjutnya.....

Siapkan Bantal Imbas Krisis!


"MEMBAWA bantal kian kemari seperti orang yang rumahnya kebakaran atau kebanjiran saja!" tukas Umar. "Memangnya ada apa?"

"Jaga-jaga kalau ada bos tumbang akibat harga sahamnya di bursa rontok!" jawab Amir.

"Krisis Yunani yang berakibat Uni Eropa harus mem-bailout lebih 1.000 miliar euro, imbasnya ternyata sampai ke negeri kita! Itu terlihat dari terus melorotnya secara signifikan harga saham di Bursa Efek Jakarta--BEJ--dan turunnya kurs rupiah dari mata uang asing dominan!"

"Memangnya apa hubungan bisnis kita dengan Yunani yang signifikan sehingga negara kita bisa terimbas krisisnya?" kejar Umar.

"Hubungannya tsunami effect!" tegas Amir. "Krisis Yunani ibarat gempa di tengah laut, yang retakan lempengnya menganga dan mengisap air laut ke perut bumi! Bailout 1.000 miliar euro itu proses pemenuhannya akan menyedot likuiditas (dana cair) terutama euro, dolar AS, dan poundsterling dari seantero bumi! Di antaranya dari Indonesia--di mana uang yang sebelumnya kurang penting hingga bisa ditempatkan di mana saja paling menguntungkan kini ditarik untuk penyelamatan! Dalam sepekan lalu, aliran dana itu menyedot satu miliar dolar cadangan devisa Indonesia dari 78 miliar dolar menjadi 77 miliar dolar!"

"Bagaimana devisa itu mereka sedot?" kejar Umar.

"Bermula dari dana yang kurang penting ditarik dari pasar modal, menyebabkan harga saham cenderung turun sehingga banyak yang melepas saham dengan akibat harga saham rontok seperti terakhir ini!" jawab Amir. "Sebagai tsunami effect, saat penyedotan itu seharusnya belum berakibat terlalu buruk! Baru setelah penyedotan terhenti, arus dari tempat yang airnya lebih tinggi menyapu kawasan yang baru tersedot dengan tsunami! Karena kita merupakan kawasan yang tersedot, maka harus waspada akan datangnya tsunami yang akibatnya lebih buruk dari saat penyedotan!"

"Kalau begitu waspadanya harus rangkap!" timpal Umar. "Karena kegoncangan pasar saham terakhir ini juga ada yang menyebut akibat perginya Sri Mulyani! Artinya, kepergian Sri Mulyani yang berpengaruh di pasar keuangan Indonesia itu tak boleh disepelekan, sama tak boleh disepelekannya dampak krisis Yunani! Jika antisipasinya kurang tepat, kedua hal itu bisa menjadi seperti pasangan gempa dan tsunami!"

"Meski begitu tak perlu cemaskan tsunami Yunani!" tegas Amir. "Sebab negeri kita punya bakau sebagai benteng dari tsunami laut dan pedagang informal di kaki lima sebagai benteng dari tsunami ekonomi dunia! Benteng yang digusur kekuasaan seangkuh apa pun selalu bisa bertahan dan terus hidup!"

Selanjutnya.....

Salah Menafsir Popularitas!


"ANDI Mallarangeng kalah di putaran pertama pemilihan ketua umum Partai Demokrat, padahal dia mantan juru bicara presiden pasti terkenal, lalu pasang iklan maksimal di media massa dan media luar ruang--billboard dan baliho!" ujar Umar. "Bukankah dengan begitu popularitas Andi jauh lebih hebat dari Anas Urbaningrum yang memenangkan pemilihan tersebut?"

"Hal itu terjadi sebenarnya akibat ada kesalahan dalam pemaknaan kata populer atau popularitas dalam masyarakat, termasuk pada kubu Andi!" sambut Amir. "Keterkenalan seperti Andi itu lebih tepat ditafsir dengan fame atau famous! Sedang populer artinya rakyat, dan popularitas itu merakyat! Kalau dipakai tafsir ini, mana lebih tinggi popularitas--kemerakyatan--Andi atau Anas? Jawabnya, lebih tepat Anas!"

"Karena selain dari lingkungan keluarga kiai--di Jawa pula--sejak belia Anas aktivis yang mampu mencapai puncak, sebagai ketua umum HMI!" tegas Umar. "Lalu di Partai Demokrat, meski sama-sama sebagai ketua, lewat jaringan keluarga HMI Anas menjadi lebih akrab dengan mayoritas kader partai di daerah! Tepatnya, Anas lebih merakyat dalam masyarakat umum, maupun lebih merakyat di kalangan kader Partai Demokrat! Dari situ bisa disebut popularitas Anas lebih baik dari Andi!"

"Hal terpenting dalam popularitas atau merakyat pada dimensi politik adalah 'tersambung rasa', bukan hanya terkait secara emosional, tapi juga aspiratif di mana kehadiran Anas dianggap mengekspresikan bahkan aktualisasi dari massa maupun kader yang secara excellences Anas artikulasikan kepentingan dan aspirasinya!" timpal Amir. "Itu hal terpenting dari popularitas dalam arti merakyat! Beda dengan terkenal dalam arti famous, tidak terjalin baik secara emosional maupun kepentingan!"

"Lalu popularitas artis, bagaimana?" kejar Umar.

"Popularitas artis banyak yang terjalin dengan sambung rasa, punya kaitan emosional!" tegas Amir. "Bahkan pelawak, terutama yang kritis, tanpa disadari kekritisannya merupakan artikulasi dari perasaan rakyat! Pelawak yang mampu melakukan itu, umumnya popularitasnya tinggi!"

"Kekalahan Andi Mallarangeng di kongres Partai Demokrat dengan demikian bisa menyadarkan banyak orang yang hanya mampu membayar iklan media untuk membuat dirinya terkenal, tidak menjamin popularitasnya berarti dalam politik, jika tanpa dibarengi kedekatan cita dan rasa dengan rakyat serta pembobotan ideologis harapan masa depan yang mengena di hati rakyat!" timpal Umar. "Pokoknya, cuma terkenal tak menjamin mampu menggaet hati rakyat maupun pemilih dalam konteks lain!"

Selanjutnya.....

Pesona Demokrasi Partai Demokrat!


"MENGAGUMKAN!" ujqr Umar. "Itu kesan mengikuti laporan Kongres Partai Demokrat yang memilih ketua umum baru! Pentas demokrasi intenral partai itu memesona justru karena tersingkirnya pada putaran pertama Andi Mallarangeng yang diiklankan luas di media massa, juga didukung Edi Baskoro, putra Ketua Dewan Pembina partai itu, Susilo Bambang Yudhoyono--SBY!"

"Memang mengagumkan ketika suara mayoritas dalam kongres, para pengurus kabupaten/kota se-Tanah Air, berani memilih sesuai penilaian rasionalnya, tidak digayuti rasa ewuh pakewuh, apalagi fanatisme buta terhadap ikatan emosional pada tokoh sentral partai!" sambut Amir. "Rasionalitas pilihan dalam kongres partai itu bukan hanya terkait hubungan emosional dan fanatisme pada tokoh sentral, tapi juga dari kemungkinan permainan uang--money politics! Dari gempita iklan Andi Mallarangeng di media massa, sukar disebutkan kalau Andi kalah uang!"


"Soal itu membuat lebih dahsyat lagi kemenangan Anas Urbaningrum dari Marzuki Alie yang mantan dirut sebuah BUMN!" timpal Umar. "Kemenangan politisi muda dari keluarga kiai untuk memimpin partai berkuasa pemenang pemilu legislatif 2009 itu menunjukkan kian kuatnya rasionalitas dan orientasi ke masa depan mayoritas warga partai!"

"Tepatnya, proses dan hasil pemilihan ketua umum ini membuktikan Partai Demokrat siap--bahkan paling siap-- untuk melangkah maju sebagai partai modern!" tegas Amir. "Ini bukan hanya berkat Anas yang terpilih sebagai ketua umum, tapi lebih penting lagi oleh cara terpilihnya Anas yang membawa segenap jajaran partai dari seantero negeri telah berhasil membawa partai keluar dari lingkaran blunder yang setiap kali menjebak partai politik dalam memilih ketua umum--yakni blunder fanatisme dan ewuh pakewuh pada tokoh sentral, serta money politics!"

"Tapi dengan mencuatnya gambaran kemodernan partai tersebut, seperti dikemukakan Ikrar Nusa Bakti dan Yudi Latief di Metro TV (23-5), sekaligus menjadi senjakala tokoh sentral partai yang karismanya sudah tak sepenuhnya lagi punya ikatan emosional yang tak bisa ditawar-tawar!" timpal Umar. "Lalu, kemenangan dengan cara bersih yang dicapai Anas juga akan jadi contoh bagi partai lain yang dalam memilih ketua masih berbau money politics--bisa tertinggal zaman jika tak berusaha berubah--sekaligus berarti akan ditinggal pendukungnya! Sebab, persaingan ke depan akan lebih menonjolkan kebersihan moralitas elite partai! Fanatisme pada karisma dan money politics ketinggalan zaman, dan akan ditinggalkan rakyat!"

Selanjutnya.....

Ayam Dibubuti, Tak Disembelih!


"BUAT apa bulu ayam tetangga tiap kali dibubuti, tapi tak kunjung disembelih?" tanya cucu saat liburan di rumah nenek.

"Untuk kenikmatan, kili-kili kuping!" jawab nenek.

"Tapi kan kasihan ayamnya!" entak cucu.

"Sesakit-sakit ayam, lebih sakit lagi manusia kalau dibubuti terus bulunya!" tegas nenek. "Setelah bulunya habis, tak ada lagi tersisa dibuat kili-kili, baru disembelih!"

"Ih, Nenek! Masa manusia disembelih!" entak cucu. "Lagi pula, manusia tak punya bulu yang bisa dibuat kili-kili kuping!"

"Disembelihnya itu kiasan!" jawab nenek. "Sedang 'bulu' manusia yang dibubuti itu lebih nikmat dari bulu ayam, karena bisa dibuat beli mobil bagus dan mendapatkan kepuasan lainnya!"

"Aku bisa menebak metafora nenek!" timpal cucu. "Dibubuti itu seperti orang diperas oleh preman karena punya kasus! Terus dibubuti atau diperas, sampai dia habis bulunya! Setelah tak punya bulu atau uang lagi untuk diperas, kasusnya diungkap ke publik!"

"Sebelum preman disikat habis oleh penembak misterius--petrus--memang begitu!" tegas nenek. "Tapi sekarang preman tak seganas itu lagi!"

"Berarti sekarang tak ada lagi orang yang dicabuti bulunya seperti ayam tetangga?" kejar cucu.

"Belum tentu! Yang bisa tahu ada orang punya kasus kan bukan cuma preman!" tukas nenek. "Orang yang bukan hidup sebagai preman pun bisa saja menggunakan cara preman dalam membubuti bulu manusia!"

"Apakah maksud Nenek orang yang mungkin membubuti bulu manusia itu wartawan?" kejar cucu. "Misalnya terbaca dari beritanya, Anu bakal ditindak! Anu bakal diproses! Dan seterusnya! Tapi bukan tindak dan prosesnya yang terjadi, tapi pengulangan berita serupa--Anu bakal ditindak! Anu bakal diproses lagi! Hingga kayaknya, setiap terjadi pengulangan berita itu berarti terjadi pencabutan bulu ayam!"

"Jangan suuzan kepada wartawan!" tegas nenek. "Wartawan kan cuma memuat berita berdasar keterangan sumbernya! Jangan-jangan bukan wartawan yang membubuti bulu ayam, tapi justru sumber beritanya!"

"Kalau begitu wartawan dengan beritanya yang seperti itu cuma seperti pengungkit batu, sedang yang menangkap udang dan kepiting di balik batu yang dia ungkit itu orang lain!" timpal cucu.

"Bisa jadi!" sambut nenek. "Kasihan wartawan yang seperti itu, cuma dijadikan alat oleh orang lain untuk setiap kali butuh membubuti bulu sesama manusia! Sampai manusia itu kehabisan bulu, akhirnya disembelih juga!"

Selanjutnya.....

Gesang, Maestro yang Bersahaja!


"SELAIN lagu-lagu ciptaannya yang abadi, seperti Bengawan Solo, Tirtonadi, Sapu Tangan, apa lagi yang menarik dari Gesang, sang maestro?" tanya Umar, yang dijawab sendiri, "Kebersahajaannya! Ia bahkan sering merendah jika ada orang yang memujinya berlebihan, dengan menyatakan, 'Saya hanya pengarang lagu kampungan!"

"Justru sikap rendah hati itu yang membuat sang maestro kelahiran 1 Oktober 1917 itu sangat mengagumkan!" sambut Amir. "Tak mudah bagi orang selegendaris Gesang bisa bersikap rendah hati sekonsisten itu! Itu membuat keteladanan pribadi Gesang lebih kuat di tengah masyarakat yang cenderung semakin egois dan materialistik--didukung sarana komunikasi yang mempermudah orang untuk sok pamer kehebatan dirinya!"

"Kebersahajaan menjadi warisan Gesang yang bernilai amat tinggi!" timpal Umar.

"Terutama bagi warga biasa, untuk bisa merasa bahagia dengan pola hidup yang sangat sederhana! True happiness consist in desiring little--kebahagiaan sejati tercapai dengan keinginan terbatas! Keinginan bisa terkendali secara terbatas hanya jika mampu bersikap dan hidup bersahaja, tak terhanyut arus zaman yang menawarkan kebahagiaan palsu lewat nafsu serakah dan mencintai materi secara berlebihan!"

"Dengan begitu, semangat kebersahajaan Gesang sesungguhnya lebih tepat bagi kalangan elite, para pemimpin!" tegas Amir. "Kok bisa-bisanya para pemimpin selalu menganjurkan hidup sederhana, padahal hidup mereka sangat jauh dari sederhana! Mobil dinas dan mobil pribadinya yang amat mewah jauh dari cerminan mayoritas rakyatnya yang masih sengsara! Lebih fatal lagi persepsi mereka tentang keindahan, tak bisa dilepaskan dari harga barangnya yang mahal! Pemeo 'mahal itu indah' membuat diskriminatif cita rasa estetis di kalangan masyarakat! Juga bertentangan dengan prinsip kebersahajaan Gesang--lingkungan alam yang sebenarnya sederhana seperti Bengawan Solo dan Tirtonadi, diangkatnya dalam karya seni yang bercita rasa tinggi dan universal!"

"Karya Gesang yang bertolak dari kebersahajaan membantah pemeo 'mahal itu indah!" timpal Umar. "Sayang, kalangan elite hanyut dalam pemeo itu, bergelimang materi yang serbamahal, hingga tentang kebersahajaan hanya bisa bicara, tak kenal indahnya! Bagaimana elite sedemikian bisa mewujudkan indahnya hidup rakyat dalam kebersahajaan, bahagia dengan kondisi serbaterbatas? Sebaliknya Gesang, ia memberi keindahan dan kebahagiaan dalam kebersahajaan! Selamat jalan, Gesang!"

Selanjutnya.....

Kebangkitan Versi Artis!

"DI Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2010, Metro TV menayangkan persepsi kebangkitan versi artis dalam program Just Alvin!" ujar Umar. "Empat artis ditampilkan, Hari Mukti yang kini jadi juru dakwah, Henidar Amroe yang setelah pakai jilbab menolak peran tanpa jilbab meski bayarannya besar, Rachel Maryam mengabdi kepentingan rakyat dengan menjadi anggota DPR, dan Peggy Melati Sukma yang jadi pekerja sosial, keliling dunia cari bantuan untuk anak-anak miskin!"

"Kebangkitan versi artis ternyata berarti suatu pencapaian (achievement) yang bersifat sublimatif, peningkatan derajat diri dengan berorientasi pada pengabdian lebih luhur, dengan meninggalkan dunia artis yang glamor berlimpah kemewahan!"

sambut Amir. "Hari Mukti misalnya, dengan tekad hidup adalah pilihan, demi pilihannya itu pernah sampai melarat! Tapi justru saat itu ia merasa berhasil mencapai akhlak mulia yang amat dia dambakan untuk ia kembangkan ke tengah masyarakat! Orientasi pada pengembangan akhlak mulia itu pula motivasi Henidar Amroe menolak big money demi mempertahankan jilbabnya dalam berakting!"

"Kalau Rachel Maryam masih diuji komitmennya terhadap kepentingan rakyat dalam kiprahnya di panggung politik, kampanye Peggy Melati Sukma di forum-forum dunia telah memberi pemahaman lebih baik tokoh-tokoh di negeri maju atas nasib anak-anak
yang membutuhkan bantuan!" timpal Umar. "Hasil aktivis sosial memang tak langsung meraih bantuan berlimpah! Tanpa pemahaman yang tepat, tak akan pernah datang bantuan!"

"Begitu kebangkitan versi artis, mengagumkan!" tegas Amir. "Namun, bagi awam, terasa aneh! Haruskah achievement untuk peningkatan derajat diri atau integritas dicapai dengan meninggalkan profesi--seperti ditempuh sebagian artis itu?"

"Tentu saja tidak!" potong Umar. "Sublimasi atau peningkatan secara holistik integritas, paling ideal justru lewat meningkatan integritas dalam profesi atau bidang pengabdiannya di mana ia menapak setingkat demi setingkat jenjang karier pilihan jalan hidupnya! Artinya, profesi adalah tempat berekspresi mengaktualisasikan diri, mengabdi sebagai hamba yang berguna bagi orang lain! Sehingga, setiap profesi adalah tempat beribadah meningkatkan derajat dan martabat dirinya!"

"Memang, kebangkitan jika dipersepsi sebagai achievement paling tepat adalah sublimasi derajat pengabdi setiap profesi, termasuk dalam sifatnya yang holistik, sehingga semua profesi bangkit dan maju bersama!" tegas Amir. "Hal terbaik, semua profesi punya roh holistik sehingga semua bidang kehidupan menonjolkan ekspresi akhlak mulia!"




Selanjutnya.....

Nasionalisme Verbal, atau Bawah Sadar?


"NASIONALISME, semangat kebangsaan dan cinta tanah air itu harga mati--tak bisa ditawar-tawar!" ujar Umar. "Namun, bentuk dan sifatnya beragam! Ada yang verbal--terbuka--dinyatakan dengan lantang, stereotipe! Tapi ada sebaliknya, tertutup, tak banyak cincong, mengendap dalam darah daging hingga mengendalikan subjeknya dengan refleks bawah sadar! Mana yang lebih baik?"

"Keduanya baik, asal tidak berlebihan!" sambut Amir. "Nasionalisme verbal kalau berlebihan jadi chauvinistik--merasa bangsa dan negeri sendiri yang paling baik dan paling benar, lantas menilai rendah dan buruk segala yang asing! Akibatnya, bangsa dan nasionalismenya malah dikarantina agar jangan terpengaruh nilai-nilai asing!"

"Apa buruknya yang begitu?" potong Umar.

"Nasionalismenya jadi terlalu steril dari pengaruh asing, hingga beku--kurang cepat berkembang!" tegas Amir. "Artinya, kemajuan sih ada, tapi lebih lambat dari negeri-negeri yang memanfaatkan secara total inner dan outer push factor! Apalagi kalau inner factor-nya malah digembosi oleh korupsi, mafia hukum, makelar kasus dan manipulator pajak! Alhasil, negeri lain maju sepuluh langkah, kita cuma selangkah!"

"Kalau nasionalisme bawah sadar, apa buruknya?" kejar Umar.

"Karena merasa telah mendarah daging, sehingga nasionalisme membiologis dalam mengarahkan perilaku, bawah sadar mendorong subjeknya senantiasa mengekspresikan nasionalisme, jadi terlalu percaya diri!" tegas Amir. "Segala bentuk infiltrasi berusaha merasukinya tak khawatir bisa membuatnya masuk angin! Kalau nasionalisme sudah membiologis di bawah sadar, dijamin kebal dari masuk angin! Rasa percaya diri ini membuat perubahan kecil-kecil tak diwaspadai, sampai akhirnya tanpa disadari nasionalismenya kopong, isinya berganti ideologi lain--tinggal terlihat sebagai kepompong, sedang yang dominan menggerakkan sikap dan perilaku, bahkan kepercayaan untuk mencapai impiannya, justru neoliberalisme! Ini sekadar contoh!"

"Lantas, bagaimana yang terbaik?" tanya Umar.

"Terbaik itu yang tidak keterlaluan! Seperti lagu dangdut, yang sedang-sedang saja!" jawab Amir. "Verbal tapi tidak bablas sampai chauvinis! Bawah sadar, tapi tidak sampai mati rasa--lupa ancaman selalu mengintai!"

"Tapi bagaimana kalau dari kedua sisinya sudah membawa terlalu jauh akibat buruk?" kejar Umar.

"Dikembalikan ke posisi semestinya!" tegas Amir. "Proses itu namanya restorasi!
Artinya reka ulang dari awal bentuk, sifat, dan posisi yang benar dari nasionalisme kita! Itulah renungan kita di Hari Kebangkitan Nasional ini!"

Selanjutnya.....

Krisis Identitas, Arjuna Jadi Cakil!


"KENAPA orang dengan kedudukan dan legalitas formal yang jelas malah neko-neko, melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya?" tanya cucu. "Contohnya Gayus Tambunan, seharusnya mengamankan pajak, malah mengutak-atiknya agar masuk ke kantongnya sendiri! Atau aparat hukum yang harus membenamkan Gayus ke bui atas perbuatannya itu, malah memproses pembebasannya!"

"Itu salah satu bentuk krisis identitas, orang tidak berperan di panggung sesuai karakter tokoh yang topengnya dia mainkan!" jawab nenek. "Orang diberi topeng Arjuna, tapi ekspresi tarian dan gaya aktingnya di panggung malah seperti Cakil!"

"Maksud nenek, kedudukan dan legalitas formal posisi seseorang itu cuma topeng yang karakternya harus diekspresikan oleh pemakai topengnya--orang yang menduduki jabatan tersebut?" kejar cucu. "Lalu, siapa sebenarnya tokoh di balik topeng-topeng itu?"

"Begitulah! Tokoh di balik topeng itu semua sama, suatu yang fitrahnya suci dan murni bernama nurani!" tegas nenek. "Setiap topeng diberi format integritas dan kredibilitas sebagai ukuran bagi ketepatan ekspresi dan geraknya dengan irama dan koreografi berupa norma-norma moral dan sosial yang harus dimainkan!"

"Kalau begitu untuk setiap peran yang dimainkan orang harus belajar dan berlatih cukup agar gerak tari dan ekspresinya sesuai dengan karakter tokoh topeng yang dipakainya!" sela cucu.

"Juga audisi dalam rekrutmen pengisian setiap peran!" timpal nenek. "Tapi nyatanya, sejak pendidikan paling awal, pelatihan peran, sampai audisi pengisian peran dilakukan manipulatif secara berantai pada semua tahap prosesnya! Dari situ jangan heran jika ada orang diberi topeng Arjuna tapi menari dan berekspresi Cakil!"

"Lantas di mana peran sang nurani?" kejar cucu.

"Nurani juga harus diasah agar selalu tajam dan mampu memilah baik dan buruk!" tegas nenek. "Kalau kurang asah, nurani tumpul tak mampu memilah baik dan buruk! Akibatnya, tak mampu mengontrol diri dan mengendalikan aktingnya sesuai peran ideal yang harus diekspresikannya! Itulah hakikat krisis identitas!"

"Tapi untuk mengatasinya, bagaimana cara mengasah nurani warga suatu bangsa?" entak cucu.

"Sederhana, terutama dalam masyarakat paternalis!" jawab nenek. "Jika para pemimpin panutan warga bangsa konsisten bersikap tindak jujur pada nuraninya, nurani para panutan ikut terasah! Sebaliknya kalau tak konsisten, apalagi lebih berorientasi pada kepentingan sang panutan belaka, nurani kalangan panutan sendiri semakin tumpul, krisis identitas jadi gejala nasional!"

"Lebih celaka lagi kalau Cakil-Cakil berakting Arjuna!" tukas cucu. "Sedang Arjuna aslinya, oleh para Cakil dikurung dengan label Cakil! Tertipulah rakyat!" ***


Selanjutnya.....

KPU, Setoplah Trik Kucing Beranak!


"KECURIGAAN dari segala penjuru bertumpu ke satu fokus, KPU Kota Bandar Lampung! Itu akibat sang penyelenggara pilkada mencetak surat suara 116 ribu lebih banyak dari yang seharusnya!" ujar Umar. "Mau apa sih KPU bertindak yang membawa risiko kerugian uang negara lebih Rp50 juta itu?"

"Kebanyakan orang curiga KPU punya skenario tertentu dengan kelebihan cetak surat suara tersebut!" sambut Amir. "Selain menghujani KPU dengan pasal-pasal hukum yang bisa menjerat kesalahan mereka, tebak-menebak skenario yang akan dimainkan pun menjadi buah bibir warga! Skenario yang banyak ditebak adalah seperti yang pernah sukses dimainkan di suatu daerah, yaitu trik kucing beranak!"

"Kucing beranak bagaimana?" potong Umar.

"Kalau kucing beranak, anaknya dibawa sembunyi pindah kian kemari!" jelas Amir.

"Sedang KPU, membawa surat suara dan kotaknya bersembunyi kian kemari untuk dihitung tanpa setahu panwas maupun saksi-saksi lain! Skenario kucing beranak itu pernah sukses, meski tanpa kertas suara cadangan dan proses yang panjang! Mungkin ada teknik baru yang dicoba untuk membuat proses lebih cepat dengan kertas suara cadangan!"

"Simpang siur tebakan orang boleh-boleh saja! Tapi takkan memecahkan masalah!" timpal Umar. "Jadi, yang terpenting bagaimana KPU Bandar Lampung mempertanggungjawabkan itu baik kepada publik maupun secara hukum, guna menghasilkan jaminan yang meyakinkan bahwa pilkada yang mereka selenggarakan benar-benar jujur, adil, dan transparan--tidak akan terjadi trik kucing beranak! Sekaligus ditegaskan, jika terjadi trik kucing beranak, maka pilkadanya dinyatakan tidak sah alias batal!"

"Kalau begitu, komitmen tak memakai trik kucing beranak dan hasil pilkada batal jika dilakukan, harus berlaku bagi semua KPU daerah yang melaksanakan pilkada!" tegas Amir "Sebab, pada pilkada yang dilakukan serentak untuk sejumlah kabupaten-kota, ekses emosionalitas di salah satu daerah mudah menyulut daerah lainnya! Jadi, jangan sampai sejumlah daerah tersulut hingga emosi massa berkobar serentak!"

"Pokoknya, sembari menyelesaikan masalah KPU Bandar Lampung, KPU daerah lain jangan ada yang coba main-main!" timpal Umar. "Jangan masalah yang satu belum selesai muncul masalah baru, hingga masalah bertumpuk tumpang-tindih dan saling berbelitan, padahal masa kampanye dan pemungutan suara sudah amat dekat! Betapa menyedihkan jika KPU setiap kali menjadi biang kisruh pemilu!"

Selanjutnya.....

Bangkok Tercekam Kekerasan Militer!

"BANGKOK kian mencekam!" ujar Umar. "Setelah Rabu 12 Mei aksi protes puluhan ribu massa Kaus Merah genap dua bulan melumpuhkan Ibu Kota Thailand itu, militer sejak Kamis mengepung dan menyerbu dengan peluru tajam! Sampai Sabtu sore, kekerasan militer itu menewaskan 17 orang! Sabtu malam dan Minggu, tewas lagi 25 orang, luka parah lebih 180 orang!" (Metro TV [16-5])

"Selain menahan truk bantuan logistik pemrotes, tentara juga merazia identitas warga yang masuk kota guna memastikan tak bergabung pemrotes!" kata Amir. "Terhentinya dukungan logistik dan massa penting bagi tentara karena mayoritas pemrotes yang masih bertahan terdiri dari massa miskin dari luar kota!"

"Tapi pengepungan dan pencegatan logistik bisa berakibat lebih buruk!" tegas Umar. "Selama dua bulan ini pemrotes relatif sportif, jika terdesak kelaparan bisa merusak! Jika pengrusakan dihadapi tentara dengan kekerasan seperti dilakukan empat hari terakhir, korban jiwa bisa lebih masif--bisa menyulut perang saudara!"

"Itu tak terelak, karena tekad massa Kaus Merah berjuang sampai titik darah penghabisan!" timpal Amir. "Pemimpin mereka Jatuporn Prompan, Sabtu (15-5), menegaskan, 'Kematian takkan menghentikan perjuangan warga sipil!" (Kompas [16-5])

"Klaim Kaus Merah sebagai perjuangan warga sipil jelas, massa itu pendukung Thaksin Sinawatra yang dikudeta militer 19 September 2006!" ujar Umar. "PM Thailand sekarang, Abhisit Vejjajiva, memang hasil pemilu, tapi dianggap boneka militer! Ini inti masalahnya, yang justru semakin nyata dengan tindakan militer menghabisi Kaus Merah dengan segala cara!"

"Kunci penyelesaian konflik ini tinggal pada titah Raja Bhumibol Aduljadej!" tegas Amir. "Tapi selain raja selama ini cenderung lebih dekat dengan militer yang berfungsi sebagai pengawal tahta, juga ada isu seolah Thaksin ingin mengakhiri sistem monarki! Sehingga, chaos fatal pun raja mungkin tak bertindak!"

"Karena itu, Abhisit memilih menghabisi pemrotes dengan kekerasan militer! Ini pelajaran dari nasib PM yang ia gantikan, Somchai Wongsawat, jatuh November 2008 akibat massa Thaksin menguasai Bandara Swarnabhumi, didukung putusan Mahkamah Konstitusi memecat Somchai dan membubarkan tiga partai pemerintah!" tegas Amir. "Apakah Abhisit mampu menghabisi perjuangan warga sipil dengan kekerasan militer dan mempertahankan kursi PM, lalu lolos dari mahkamah internasional atas pelanggaran HAM berat untuk pembunuhan massal itu, sejarah sedang diukir lewat tindakannya!"










Selanjutnya.....

Gerakan Kembali ke Demokrasi Terpimpin!


"GERAKAN bergelagat mengembalikan Indonesia ke sistem demokrasi terpimpin mulai terbayang!" ujar Umar. "Bayangan itu terlihat seiring, di satu sisi lewat pembentukan sekretariat gabungan (setgab) partai-partai koalisi berkuasa yang mendominasi DPR secara absolut--lebih 75 persen, melangkah awal dengan merevisi UU Pemilu! Pada sisi lain, Badan Legislasi (Baleg) di DPR yang didominasi koalisi tersebut, telah lebih dahulu membahas revisi UU No. 2/2008 tentang Partai Politik untuk membatasi kesertaan partai baru!"

"Dengan kekuatan koalisi berkuasa yang absolut di DPR, apa pun mereka kehendaki tak akan ada yang bisa membendungnya!" sambut Amir. "Lewat setgab yang mengendalikan tiap langkah partai-partai koalisi sesuai keinginan pemimpin koalisi, tak sulit untuk mengembalikan sistem demokrasi terpimpin! Kenyataan itu, selain sukar ditolak oleh kekuatan-kekuatan di luar koalisi, juga sukar ditutup-tutupi prakteknya nanti!"

"Berarti, diselubungi seperti apa pun praktek sistem demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan absolut itu nantinya, setiap warga bangsa harus siap menerima kenyataan yang tak bisa ditolak!" tegas Umar. "Hal yang harus dijaga, jangan sampai gerak kembali ke demokrasi terpimpin itu mengencundangi hak-hak konstitusional warga negara--hak asasi, hak politik, dan hak-hak lain!"

"Penting disimak latar belakang pembentukan setgab, yakni setelah koalisi berkuasa yang di atas kertas punya suara absolut itu kalah voting di DPR dari kubu oposisi dalam kasus Century!" timpal Amir. "Kalah voting akibat sejumlah partai dalam koalisi masih memegang teguh nurani konstituen mereka! Artinya, setgab koalisi dibentuk agar pengalaman serupa tak terulang! Dari situ mudah dibaca, setgab dibentuk agar koalisi bisa benar-banar satu bahasa sesuai kehendak pemimpin koalisi, tak gampang tergoda nurani konstituen! Tepatnya, dalam setgab partai koalisi harus lebih mengutamakan kepentingan pemimpin koalisi ketimbang kepentingan konstituen partainya!"

"Dibanding demokrasi terpimpin era Orde Lama yang bersatu dalam nasakom--nasional, agama, komunis--partai unsurnya tetap berorientasi pada ideologi dan konstituennya, demokrasi terpimpin era reformasi akan jauh lebih sempurna--lewat kendali setgab yang ketat faktor ideologi dan konstituen partai diposisikan inferior, di bawah superioritas kepentingan pemimpin koalisi!" tukas Umar. "Itu karena, tugas utama setgab menjaga agar pengalaman orientasi partai koalisi pada ideologi dan konstituen seperti dalam kasus Century tak boleh terulang!"

Selanjutnya.....

Reformasi Birokrasi tanpa Ukuran Jelas!


"MEI ini genap 12 tahun reformasi, ternyata faktor kuncinya di pemerintahan--reformasi birokrasi--ukuran proses sampai bentuk suksesnya seperti apa belum jelas!" ujar Umar. "Itu terungkap di sidang kabinet paripurna Rabu lalu. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara E.E. Mangindaan, Presiden menginginkan apa ukuran keberhasilan dari program reformasi birokrasi yang dijalankan!" (Kompas, 14-5)

"Sebagai faktor kunci, reformasi birokrasi sangat menentukan ketepatan pelaksanaan fungsi semua jajaran birokrasi!" sambut Amir. "Akibat belum adanya ukuran ketepatan proses serta bentuk keberhasilannya itu, bisa disimak arti penegasan Presiden di sidang kabinet tersebut, 'Dari sekian banyak masalah yang kita hadapi ... yang paling pokok adalah reformasi birokrasi. Kalau dalam 4,5 tahun masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu II ini kita benar-benar bisa meningkatkan efektivitas birokrasi kita, lebih dari separuh persoalan dapat kita atasi.' Artinya, jika reformasi birokrasi tak jalan, lebih separuh masalah pula yang tak beres!"

"Sedemikian strategisnya arti reformasi birokrasi! Lebih lagi saat mengelola anggaran negara Rp1.500 triliun setahun mulai tahun depan, dengan desentralisasi fiskal, lebih besar lagi anggaran mengalir ke daerah!" tegas Umar. "Untuk itu Presiden membentuk Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, diketuai Wapres Boediono! Pokoknya, masalah ini prioritas nasional!"

"Tapi, kalau di tingkat nasional saja belum beres, bagaimana pula di daerah yang kebanjiran fiskal desentralisasi!" timpal Amir. "Dengan begitu jelas reformasi birokrasi bukan cuma urusan presiden, tapi juga tanggung jawab semua kepala daerah dan jajarannya! Sembari menunggu kriteria kinerja reformasi birokrasi yang disusun pusat, daerah juga harus kreatif, membuat tata kelola tepat sasaran dan efektif-efisien! Setidaknya lebih berhati-hati dalam banjir dana desentralisasi, jangan malah tenggelam atau hanyut!"

"Lebih baik lagi, kreatif membuat model kinerja terukur untuk skala daerah, sebab pusat masih mencari model untuk pusat!" tegas Umar. "Kalau ada model, seperti Kabupaten Lampung Tengah menghabisi defisit anggaran sekian ratus miliar dalam dua tahun, mungkin bisa menjadi contoh daerah lain! Yang diperlukan tinggal memolakan model itu dalam administrasi publik berbasis auditor, hingga lebih mudah dilaksanakan!"

"Membuat model memang lebih praktis berdasar pengalaman empiris yang sudah ada!" timpal Amir. "Reformasi birokrasi tak jelas juntrungnya karena modelnya tak ada yang berdasar empiris!"

Selanjutnya.....

Susno, Ikan Kolam Terkontaminasi!


"INTINYA, didasari penegasan siap berkorban apa saja, Komjen Susno Duadji membuktikan Mabes Polri terkontaminasi virus mafia hukum dan makelar kasus pajak!" ujar Umar. "Jika Mabes Polri ibarat kolam yang terkontaminasi, Susno ikan dalam kolam itu pun mudah disangka terinfeksi virus! Ia dijebloskan ke sel isolasi--karantina--agar virusnya tak menyebar dan menginfeksi makhluk lain!"

"Pengalaman petambak ikan dan udang di Lampung, kolam terkontaminasi harus dikeringkan, ditaburi kapur dan disinfektan sesuai petunjuk ahli, baru dipakai lagi setelah bersih dari virus!" timpal Amir. "Ikan yang terinfeksi virus dimusnahkan! Virus bisa menginfeksi konsumen, jika dilempar ke pasar, merusak pasar ikan domestik di pasar dunia!"

"Virus yang mengontaminasi kolam dan menginfeksi ikan dalam lembaga penegak hukum Indonesia sudah lama terdeteksi lembaga survei dunia--TI, PERC, S&P--yang menjadikan lembaga penegak hukum kita bagian utama bagi label Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik!" tukas Umar. "Hasil survei institusi dunia itu mencerminkan kegagalan reformasi! Para pemikir reformasi menetapkan pembersihan kolam-kolam itu bukan oleh ikan-ikan dalam kolam itu sendiri!"

"Begitulah!" sambut Amir. "Lewat amendemen konstitusi dibentuk petugas pembersih dari luar kolam! KY untuk jajaran MA, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), KPK menggarap pembersihan semua kolam birokrasi negara! Kiprah KPK dan KY lumayan, tapi Komisi Kejaksaan dan Kompolnas kurang terlihat!"

"Terakhir lembaga kepresidenan membuat Satgas Antimafia Hukum, mendukung para pembersih konstitusional!" timpal Umar. "Sayang, Satgas ini tak menukik ke cara berpikir pendesain reformasi yang harus membersihkan kolam bukan oleh ikan di kolam itu sendiri sehingga hasil sidaknya di LP Pondok Bambu diserahkan ke ikan kolam itu, lalu menggarap informasi Susno soal mafia hukum dan pajak membentuk 'tim independen' dengan tenaga intinya dari kolam Mabes Polri, atau kolam Ditjen Pajak diserahkan ke ikan di Depkeu! Tak sukar ditebak hasilnya! Seperti Susno, yang seharusnya dilindungi dalam laboratorium untuk digali maksimal informasi tentang segala jenis virus penginfeksi, tapi malah 'dipindang'--dibuat tak bisa berkutik lagi!"

"Bukan hendak sinis!" tegas Amir. "Tapi skeptis, apa yang bisa dihasilkan lagi dengan 'pindang Susno', yang informasi pertamanya saja sudah bisa menggulung mafia hukum di tubuh polisi, jaksa, pengadilan, dan Ditjen Pajak?" ***

Selanjutnya.....

Keseimbangan Hak-Hak Rakyat dan Penguasa!


"KESEIMBANGAN menurut Michael Polanyi, epistemolog, ada dua jenis--kiat naik sepeda (tak terukur), dan secara fisika (terukur) seperti bobot pengukur dan beban di dua penampang dacin!" ujar Umar. "Untuk mencapai kinerja terukur ala fisika itu lahir balanced scorecard, manajemen berbasis auditor yang menetapkan keseimbangan antara bobot setiap satuan kerja dan target (beban) yang harus dicapai! (Praktek model ini di PT BA Tarahan jadi tesis ujian terbuka program magister Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai bulan lalu). Pada manajemen pemerintahan, balanced scorecard diterapkan lewat penetapan bobot setiap satuan kerja dengan pemenuhan hak-hak rakyat sebagai target kinerja yang harus dicapai!"

"Dengan balanced scorecard praktek anggaran pemerintah bisa lebih adil karena pembobotan dilakukan dengan skala pelayanan satuan kerja!" sambut Amir. "Seperti anggaran pendidikan dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, PT, dan luar sekolah, jumlah yang dilayani lebih 30 persen dari populasi, relatif seimbang dengan bobot 20 persen anggaran! Tapi sektor pertanian pangan yang melayani 40 persen warga cuma dengan bobot anggaran dua persen, jelas tak seimbang! Akibatnya, pertanian sebagai sektor produktif malah jadi sarang kemiskinan!"

"Pada anggaran lebih mudah dilihat antara anggaran rutin--untuk jajaran pemerintah--dan anggaran pembangunan sebagai porsi rakyat!" timpal Umar. "Secara umum APBN dan APBD dewasa ini memberi 70 persen (bahkan lebih) untuk rutin, sedangkan porsi rakyat di bawah 30 persen! Dengan visi balanced scorecard tampak pemerintah telah memboboti dirinya jauh lebih besar dari target kinerja yang ditetapkannya sendiri!"

"Di era Orde Baru dua sisi dacin selalu seimbang, 50-50, meski cuma balanced semu! Semu, karena anggaran pembangunan (hak-hak rakyat) agar seimbang dengan bobot anggaran rutin ditutupi dengan pinjaman luar negeri!" tegas Amir. "Tapi terlihat, pemerintah Orde Baru memberi bobot dirinya relatif seimbang dengan target kinerjanya! Kini, sudah pun anggaran defisit, dacinnya jomplang ke bobot kepentingan kekuasaan!"

"Dalam balanced scorecard, hal sedemikian tegas disebut bad governance--tata kelola yang buruk!" timpal Umar. "Sedang dalam terminologi politik, pemerintah yang memboboti dirinya lebih besar dari kinerja yang dia tetapkan sendiri--meski hanya lebih berat sebiji sawi--sudah bisa disebut penguasa! Penguasa selalu berkonotasi tak adil karena lebih mengutamakan kepentingan dirinya ketimbang kepentingan rakyat!" ***

Selanjutnya.....

MTQ, Syiar Islam dan Kejujuran!


"SAAT membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Provinsi Lampung di Lampung Barat, Gubernur Sjachroedin Z.P. menyitir gejala masa lalu, untuk meraih gelar juara ada daerah yang meminjam dari luar provinsi qari-qariah atau peserta nomor perlombaan lainnya!" ujar Umar. "Hal demikian menyedihkan, karena untuk syiar Islam dan ajaran Quran tentang kebenaran dilakukan dengan cara curang dan tidak jujur! Padahal, kejujuran adalah sikap dasar dari ajaran agama yang harus dijaga dan dipertahankan dengan keteguhan iman!"

"Semoga ihwal yang disoroti Gubernur itu benar-benar tinggal kenangan!" sambut Amir.

"Sebab, MTQ dengan fungsinya untuk syiar Islam serta mengembangkan ajaran kebenaran dan kejujuran itu dewasa ini amat relevan dalam menghadapi perkembangan masyarakat modern yang semakin individualistis, materialistis, dan pragmatis! Pada gejala itu orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tanpa peduli dilakukan secara tidak benar, tak jujur, melanggar ajaran agama!"

"Lebih celaka lagi jika korban penghalalan segala cara itu justru orang jujur dan bertindak benar menurut ajaran agama!" timpal Umar. "Akibatnya, tindakan jujur dan benar menurut ajaran agama malah membuat banyak orang menderita dan sengsara! Dalam cobaan yang sedemikian berat, godaan untuk ikut memilih jalan salah jadi besar!"

"Maka itu, MTQ sebagai media syiar di jalan yang benar dan jujur harus dilaksanakan dengan cara yang benar dan jujur pula!" tegas Amir. "Syiar itu seperti menebar benih tumbuhan, jika caranya tidak benar benihnya tidak tumbuh! Juga, jangan harap menuai padi jika yang ditebar benih rumput!"

"Di lain sisi, pengetahuan dan penguasaan para remaja di Lampung terhadap Quran relatif lemah!" timpal Umar. "Tes kemampuan baca Quran pada mahasiswa baru di Unila beberapa tahun lalu menunjukkan tak sampai 10 persen mampu baca Quran dengan baik! Karena itu, dituntut prioritas dan perhatian khusus para bupati dan wali kota di Lampung, untuk melakukan gerakan peningkatan kemampuan baca Quran dan semua dimensinya yang diperlombakan dalam MTQ di kalangan anak-anak dan remaja! Hanya dengan demikian bisa diharapkan pengetahuan remaja terhadap Quran akan semakin baik!"

"Sejalan dengan gerakan itu, anak-anak dan remaja yang berbakat sesuai nomor-nomor yang diperlombakan di MTQ, diberi pembinaan khusus!" tegas Amir. "Jadi, bersamaan dengan pemahaman Quran yang semakin baik dalam masyarakat, MTQ menjadi puncak prestasi dari masyarakat qurani yang sesungguhnya!" ***

Selanjutnya.....

Era Kanalisasi Kendali Istana!

"ERA kanalisasi kendali istana terhadap praktek politik dan praktek hukum di Tanah Air dimulai!" ujar Umar. "Dalam pertemuan Presiden SBY dengan jajaran penegak hukum, Selasa (4-5), telah dibentuk forum koordinasi dan konsultasi Mahkumjapol--Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepolisian RI. Lalu dalam pertemuan partai-partai koalisi di kediaman Presiden SBY di Cikeas, Kamis (6-4) malam, dibentuk pula sekretariat bersama (sekber) partai koalisi pendukung pemerintah, diketuai Presiden SBY, Sekretaris Syarif Hasan, dan Ketua Harian Aburizal Bakrie!" (Kompas, [8-5])

"Dengan dua langkah catur brilian itu, jelas istana bisa mengendalikan sepenuhnya praktek hukum dan praktek politik nasional!" timpal Amir. "Forum Mahkumjapol itu identik Mahkejapol di zaman Orde Baru, sebagai forum mengatur putusan suatu kasus sejak penyidikan, penuntutan sampai vonis! Sedang sekber koalisi tentu menjamin praktek politik di parlemen dan pemerintahan sepenuhnya berjalan sesuai garis istana! Jadi, tak akan terulang lagi praktek politik dan hukum yang membuat kaget, apalagi merugikan, kubu istana!"

"Format baru ini jelas punya dampak positif dan negatif!" sambut Umar. "Dampak positifnya, Presiden dan pemerintah tak acap lagi terganggu oleh manuver-manuver politik justru dari kubu koalisi sendiri sehingga bisa lebih fokus dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan! Dampak negatifnya, praktek politik telah menjadi kartel kekuasaan, yang semakin sukar diusik dari orientasinya yang kian eksklusif semata pada kepentingan kekuasaan! Suara-suara di luar itu, baik di forum kelembagaan formal maupun nonformal, mudah dikesampingkan!"

"Itu pada praktek politik! Sedang pada praktek hukum, tak ada dampak positifnya! Yang ada cuma dampak negatif, yakni intervensi secara terbuka terhadap proses hukum!" tegas Amir. "Karena itu, siapa pun pemrakarsanya atau apa pun tujuan indah
yang dikibarkan, forum sejenis Mahkumjapol itu harus ditolak dengan tegas! Bubarkan Mahkumjapol! Sedangkan sekber koalisi yang merupakan hak otonom masing-masing parpol, hanya bisa diingatkan, jika eksistensinya hanya untuk membawa bangsa kembali dalam demokrasi terpimpin, rakyat awam pun bisa menilainya untuk kemudian menentukan sikap dalam sebuah peradilan sejarah!"

"Di era keterbukaan informasi kini, setiap proses politik dan hukum selalu disimak secara kritis oleh rakyat!" timpal Umar. "Silakan bermain, rakyat akan menilai dengan logikanya sendiri!" ***

Selanjutnya.....

Politik, Santun dan Bijaksana!


"PEKAN ini terjadi pergeseran kekuatan politik! Partai Golkar memetieskan kasus Century, sebagai respons atas pengunduran diri Sri Mulyani!" ujar Umar. "Alasannya, dukungan Golkar membongkar skandal Century sebagai aktualisasi perseteruan Ketua Umum Gokkar Aburizal Bakrie dengan Sri Mulyani terkait tunggakan pajak Group Bakrie! Dengan Sri Mulyani mundur, soal itu pun selesai!"

"Dua hal menarik dari sikap Golkar itu!" sambut Amir. "Pertama, sebagai partai pemenang Pemilu 2004, ternyata Golkar sekadar alat kepentingan pribadi ketuanya! Kedua, akibat hal pertama itu, perjuangan Golkar mengatasnamakan rakyat untuk mendapat kejelasan bailout Bank Century terkait dana Rp6,7 triliun sengaja dikandaskan! Kelanjutan proses politiknya untuk pernyataan pendapat DPR pun terhenti! PDIP, PKS, Gerindra, dan Hanura tak cukup suara untuk itu!"

"Begitulah realitas politik!" timpal Umar. "Di balik itu tercium, manuver Golkar juga untuk mendapat kursi menteri keuangan! Soal ini bisa dibuktikan pada sikap Golkar jika gagal meraih jabatan nanti, atau presiden tetap menagih tunggakan pajak! Bargaining Golkar untuk itu cukup kuat, jika Golkar kembali masuk koalisi berkuasa, dukungan pada pemerintah di DPR kembali solid!"

"Tapi realitas politik Golkar lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketua dengan mengorbankan kepentingan rakyat itu, menyimpang dari akar kata politik yang mengacu sifat idealnya--santun dan bijaksana!" tegas Amir.

"Kata politik berakar pada polite--santun, dan policy--kebijaksanaan--dengan inti katanya bijaksana!" "Untuk kesantunan politik, partai-partai politik Indonesia gagal mengimplementasikannya di DPR, termasuk Partai Demokrat!" timpal Umar.

"Sedang untuk bijaksana, lewat praktek kebijaksanaan dalam berpolitik, bias pada kepentingan partai yang power oriented, ketimbang bijaksana, menurut logika, publik yang harus berorientasi kepentingan rakyat!"

"Dengan realitas politik sedemikian, kiprah partai-partai politik terlepas dari kepentingan rakyat, praktis rakyat tak punya representasi!" tegas Amir. "Kondisi demikian sudah terpikir Thomas Jefferson pada zamannya, hingga mendaulat pers--media massa-- sebagai pilar keempat negara demokrasi! Pers tak bisa meninggalkan kepentingan rakyat, karena menjalani pemilu lewat pasar (electoral market system) setiap hari! Jadi, nasib bangsa bertumpu pada kemampuan pers mengekspresikan kepentingan rakyat dalam menghadapi eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, yang terlalu asyik bermain kekuasaan demi kepentingan sendiri!" ***

Selanjutnya.....

Nasib Susno Duadji, Jerat Tidak Pernah Lupakan Pelanduk!


"INI kesanku, mungkin saja salah!" ujar Umar. "Segenap slagorde Mabes Polri telah menjelma sebagai jerat buat Susno Duadji! Hingga, boleh saja Susno melupakan jerat, tapi setiap jerat tak akan pernah melupakan Susno--sang pelanduk!"

"Dan itu pelajaran buat publik, siapa saja coba-coba jadi whistle blower--peniup pluit--atas kasus korupsi, mafia hukum, makelar kasus, manipulasi pajak, akan senasib dengan Susno!" timpal Amir. "Publik diberi pelajaran lewat kenyataan, tak ada untungnya jadi whistle blower! Sebaliknya, hanya nasib serbaburuklah yang mengadangnya!"

"Pelajaran lebih jauh lagi, kalau komisaris jenderal polisi saja jadi whistle blower diperlakukan seperti itu, apalagi warga biasa, bisa babak-bunyak!" tukas Umar.

"Hasil tiupan pluitnya pun, seperti terjadi pada Susno, hanya terbatas pada gejala
di permukaan! Sedang akar kanker yang menyebar dalam segenap jaringan tubuh aparat hukum dan birokrasi negara, tetap utuh bahkan lebih kebal!"

"Tumpang-tindih akar jaringan kanker korupsi, mafia hukum, makelar kasus, dan manipulasi pajak menggerogoti tubuh negara, berakibat betapa teruknya bangsa ini!" timpal Amir. "Dari pengalaman pahit Susno, tampak perlunya aturan hukum yang melindungi whistle blower--perluasan dari perlindungan saksi! Dari khazanah Amerika membasmi mafia Chicago 1920-an--1930-an yang menjadi biang korupnya aparat hukum, manipulasi pajak, perdagangan miras dan prostitusi, tim rahasia bentukan Presiden Wodrow Wilson yang berhasil meringkusnya! Tim itu bekerja di balik hiruk-pikuk kerja tim polisi super Eliot Ness yang mengubrak-abrik usaha mafia Chicago! Kata kuncinya, perlindungan hukum atas dua bekas akuntan mafia! Perlindungan yang ditegaskan sejak awal bebas hukuman atas keterlibatannya dalam mafia-- yang diperlukan whistle blower!"

"Masalahnya, manusia tak luput dari kesalahan! Kalau dipetani secermat cari kutu di kepala, pasti ditemukan kesalahan!" tegas Umar. "Karena itu, kalau tak ada jaminan sejak awal terhadap whistle blower, jaringan konspiratif segala kejahatan luar biasa itu tak akan pernah tersingkap! Celakanya, Satgas Antimafia Hukum bentukan Presiden dalam tim independen di Mabes Polri, alih-alih mengikuti cara kerja tim Presiden Wilson melindungi whistle blower, justru malah ikut irama yang ditabuh aparat hukum yang harus dibersihkannya!"

"Maka itu, tamatlah riwayat Susno, sang whistle blower!" tukas Amir. "Indonesia pun kian mantap sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik!" ***

Selanjutnya.....

Selamat Jalan, Sri Mulyani!


"NENEK dua hari ini ceria, murah senyum!" ujar cucu. "Apa gerangan penyebabnya?"

"Seorang putri Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, terpilih sebagai managing director Bank Dunia!" jawab nenek. "Itu membuka mata dunia, terbukti emansipasi perempuan di Indonesia telah berhasil state borderless--melampaui batas-batas negara! Setiap aktivis perempuan Indonesia layak berbangga atas penghargaan lembaga kelas dunia itu! Hingga, tak berlebihan jika kita ucapkan selamat jalan Sri Mulyani!"

"Lantas bagaimana dengan kasus bailout Bank Century yang proses hukumnya sedang berjalan, dengan keputusan paripurna DPR menyebut Sri Mulyani terindikasi bermasalah?" tukas cucu.

"Tentu segala masalah terkait dirinya harus Sri Mulyani selesaikan!" timpal nenek.

"Tapi peluang yang membanggakan perempuan Indonesia itu jangan disia-siakan! Lagi pula di era post modern ini, multitask ability--kemampuan menyelesaikan banyak masalah pada saat bersamaan--menjadi ukuran kapabilitas! Jadi, masalah itu bagian dari ujian kemampuan Sri Mulyani dalam kiprahnya!"

"Tapi seandai ujung proses hukum Bank Century memutus Sri Mulyani masuk bui?" kejar cucu.

"Gitu aja kok repot!" entak nenek. "Nurdin Halid masuk penjara beberapa tahun bisa memimpin PSSI dari dalam bui! Jadi, andai-andai itu tak boleh jadi penghalang langkah Sri Mulyani ke skala yang lebih tinggi dan lebih luas!"

"Tapi bagaimana kalau pemilihan Sri Mulyani oleh Bank Dunia karena suksesnya menerapkan sistem neoliberalisme (neolib) dengan pasar bebasnya di Indonesia yang hanya menguntungkan negeri kapitalis dan merugikan kelompok ekonomi dan industri yang lemah di dalam negeri?" tanya cucu.

"Neolib dengan pasar bebasnya itu sistem global, yang juga dikembangkan Bank Dunia dan IMF!" jawab nenek. "Justru pengalaman Sri Mulyani sebagai menteri ekonomi dan menteri keuangan di Indonesia, yang telah memahami butuhnya keseimbangan baru antara determinasi kapitalis dan realitas kemiskinan rakyatnya! Maka itu, dengan posisi Sri Mulyani di jantung Bank Dunia, keseimbangan baru itu mungkin bisa diwujudkan! Gonjang-ganjing pasar bebas sedang melanda Eropa dengan episentrum Yunani, pasti beres kalau Sri Mulyani menyodorkan resepnya!"

"Ah, nenek terlalu optimistis!" tukas cucu. "Mau seimbang bagaimana, gajah dan kambing sama-sama menarik balok--tentu gajah menarik balok yang besar sedang kambing cuma bisa menarik ranting kecil! Itulah pasar bebas, selalu hanya menguntungkan pihak yang kuat--sekalipun kambing yang mengatur, memberi aba-aba!" ***

Selanjutnya.....

'Enough is Enough', Proyek-proyek DPR!


"DPR--Dewan Perwakilan Rakyat--menyiapkan di APBN Rp1,8 triliun untuk membangun gedung baru kantor para wakil rakyat itu, dengan alasan gedung yang ada tidak layak pakai!" ujar Umar.

"Anggaran itu terkesan dipaksakan, karena pada September 2009 Departemen Pekerjaan Umum (PU) telah meneliti gedung itu, hasilnya masih layak pakai--cuma perlu perbaikan kecil di bagian tertentu! Lalu belakangan muncul alasan baru, gedungnya miring 8 derajat akibat gempa 7,3 SR di Tasikmalaya--ini juga dibantah PU!"

"Menyedihkan cara DPR memaksakan proyeknya! Terakhir muncul alasan baru lagi, dari ketua DPR, sudah over-capacity--padahal anggota DPR cuma tambah 10 dari priode sebelumnya! Malah, kalau sebelumnya anggota MPR 1000 orang, kini diganti anggota DPD hanya 132 orang!" sambut Amir. "Mereka paksakan gedung yang belum berusia 20 tahun itu dihancurkan, padahal gedung dibangun dengan konstruksi tahan ratusan tahun!
Nafsu gagah-gagahan telah membuat mereka tega melakukan itu, tanpa memikirkan rakyat yang diwakilinya masih melarat compang-camping, sehingga dana gedung yang dihancurkan atau Rp1,8 triliun untuk membangun yang baru lebih afdal buat mengatasi kesulitan hidup rakyat!"

"Itu pun rupanya belum cukup!" tukas Umar. "APBNP 2010 disahkan DPR dalam bentuk blangko kosong, tak ada daftar proyek dan program yang dibiayai dengan jumlah anggaran yang disetujui! Seharusnya, eksekutif mengusulkan proyek dan program, DPR mengkritisi urgensi dan nilai proyek atau program! Tapi kali ini, komisi-komisi DPR dan mitra kerja departemen/BUMN menyusun proyek dan program untuk mengisi anggaran yang telah disetujui! Jadilah semua itu proyek-proyek DPR!"

"Enough is enough!" entak Amir. "Kalangan DPR rupanya tidak menarik pelajaran dari penilaian Transparency Internasional bahwa DPR lembaga terkorup di Indonesia, atau banyaknya anggota DPR masuk bui akibat proyek-proyek DPR--dari penyusunan UU sesuai kepentingan pemesan, sampai alih fungsi lahan hutan!"

"Proyek pembangunan gedung dan blangko APBN bahkan lebih buruk dari proyek-proyek DPR yang menjerumuskan banyak anggota DPR, karena proyeknya terkait langsung kepentingan kalangan DPR! Conflict of interest-nya jauh lebih mencolok!" tegas Umar.

"Maka itu, alangkah baik kalangan DPR introspeksi diri sebelum terlambat, karena selain proyek-proyek DPR mengencundangi hak dan kepentingan rakyat dengan mendahulukan kepentingan para anggota DPR, conflict of interest yang ada mengancam integritas dan kredibilitas--salah-salah bukan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat pemilih,
tapi di muka hukum!"

Selanjutnya.....

TDL Naik, Belajar Hemat 20 Persen!


"USAI makan malam, pelesiran asyik di Shanghai naik kapal pesiar menyusuri Sungai Yangtze!" ujar Umar. Tapi di parkir dermaga, pemandu mengudak-udak agar jalan cepat memburu kapal trip terakhir. "Kok?"

"Karena pukul 10 malam kapalnya harus usai kerja, bersamaan bangunan seluruh kota mematikan lampu!" jawab pemandu. "Tradisi hemat energi!"

"Luar biasa!" entak Umar saat tepat jam 10 malam kota megapolitan dengan menara-menara pencakar langit bermandikan cahaya itu berubah menjadi tirai hitam bergaris-garis vertikal lampu tambang di siku tepi bangunan dengan kedua pucuk dipertemukan garis horizontal. Setiap gedung punya warna khas garis cahaya, biru, merah, hijau, kuning, cakrawala Shanghai di malam hari pun menjadi sketsa warna-warni yang justru lebih indah. "Berapa energi dihemat dengan tradisi ini?"

"Bisa 20 persen!" jawab pemandu. "Dari pukul 10 malam sampai pukul enam pagi, delapan jam, sebenarnya sepertiga waktu harian! Tapi karena air conditioner apartemen, lampu jalan, dan gaya hidup di tempat tertutup seperti klub, game, dan lainnya tetap aktif, mungkin 13 persen terpakai!"

"Kalau bisa hemat energi 20 persen, Indonesia bisa bebas subsidi listrik!" entak Umar. "Jadi, kalau mulai Juli nanti tarif dasar listrik (TDL) naik 10 persen--untuk pemakai 1.300--6.600 watt--jika belajar hemat 20 persen seperti Shanghai, tagihan bulanannya justru bisa lebih rendah!"

"Di Shanghai tarif listrik mahal, tak kenal subsidi, setiap orang penuh perhitungan memakainya!" jelas pemandu. "Jadi, tradisi hemat energi itu dinilai bijaksana!"

"Amat bijaksana pun!" tegas Umar. "Di Indonesia orangnya diminta mematikan lampu dua titik saja pada jam beban puncak, ogah! Akibatnya, jika ada gangguan pembangkit sedikit saja, krisis listrik tak terhindarkan! Apalagi melakukan padam total atas kesadaran sendiri dari pukul 10 malam!"

"Itu karena warga kalian merasa punya potensi energi alam yang berlimpah, 80 persen, dan baru digunakan 20 persen!" tukas pemandu. "Sedang kami, potensi energi alam cuma 30 persen telah digunakan untuk memenuhi 70 persen energi nasional, kesadaran berhematnya lebih tinggi!"

"Justru itu masalahnya!" timpal Umar. "Potensi energi alam negeri kami yang 80 persen itu baru digunakan 20 persen dari kebutuhan nasional! Sedang yang 80 persen menggunakan energi mahal, tapi warganya tak menyadari itu!"

"Kesadaran warga dibangun oleh strategi negara, pemerintah!" tegas pemandu. "Kalau strateginya ngawur, rakyatnya lebih awut-awutan lagi!"

Selanjutnya.....

Kepiting China dan Indonesia!


MAKAN siang di Shanghai, saat mau ke toilet Umar dan Amir nyasar ke dapur. Mereka temukan tiga bak berisi kepiting hidup, satu bak terbuka sedang dua bak ditutup jaring kawat. "Yang baknya tertutup kepiting China dan Jepang, sedang yang terbuka kepiting Indonesia!" jelas pelayan.

"Apa bedanya?" tanya Umar.

"Kepiting China dan Jepang kalau satu berusaha naik yang lain mendorong ke atas, disusul yang lain menopang dari bawah lagi, kalau tak ditutup semua kepiting keluar dari bak!" jelas pelayan. "Sedang kepiting Indonesia, kalau ada kepiting yang berusaha naik ditarik ke bawah oleh yang lain! Begitu terus! Jadi, meski bak tak ditutup, tak ada kepiting berhasil naik apalagi keluar bak!"

"Itu khas Indonesia!" timpal Amir. "Jika ada yang mau naik, ada saja yang menjegal, menarik, atau melorotnya! Ketika yang menarik atau melorot itu mau naik, gantian dapat perlakuan sama!"

"Kecenderungan kurang senang melihat orang lain naik dengan merasa dirinya yang lebih pantas naik, hingga jika ada yang mau naik tak didukung tapi mau menaikkan dirinya sendiri, terlihat dalam pilkada yang menampilkan pasangan calon lebih banyak dari sebelumnya!" tegas Amir. "Hal ini tidaklah semata buruk, karena memberi lebih banyak pilihan kepada pemilih! Tapi, seperti kepiting Indonesia di restoran Shanghai, peluang untuk berhasil naik menjadi semakin kecil bagi setiap pasangan--berbeda jika saling mendukung yang berada di posisi teratas (berdasar hasil survei)!"

"Lebih banyak pilihan yang tersedia merupakan kelebihan demokrasi di Indonesia dibanding China yang cuma punya satu partai atau Jepang, tidak lebih dari lima partai! Bahkan dalam pemilihan umum legislatif kita punya 38 partai, jadi 44 ditambah enam partai lokal Aceh!" timpal Umar. "Hal itu juga menunjukkan semakin tingginya rasa percaya diri di kalangan warga bangsa kita, sisa-sisa minderwardigheits complex (MC) warisan penjajah kian habis!"

"Asumsi demikian boleh-boleh saja! Tapi, seperti kepiting di bak terbuka, semangat kerja sama dalam masyarakat kita cenderung menurun!" tukas Amir. "Contohnya kerja sama dalam bentuk koordinasi--terutama antarlembaga pemerintah--sering buruk! Pedagang pasar merasakan hal itu. Mula-mula kutipan retribusi perpas (dari Dinas Pasar), retribusi sampah (dari Dinas Kebersihan), disusul uang keamanan (untuk penjaga malam), lalu uang keamanan--jaminan bebas gangguan preman!"

"Itu dia!" timpal Umar. "Kepiting di Shanghai bisa mencerminkan watak kita!"

Selanjutnya.....

Kesejahteraan Buruh, Masih Terbelakang!

"NASIB buruh kita mirip sepak bolanya, semakin terbelakang!" ujar Umar. "Pindahnya banyak pabrik dari Indonesia ke Thailand, Vietnam, dan China, ternyata bukan semata karena buruh di negeri itu lebih murah! Justru di negeri-negeri itu gaji buruh dan kesejahteraannya relatif lebih tinggi! Tapi, perpindahan itu lebih sebagai akibat iklim usaha di negeri-negeri itu lebih baik, industri tidak terjepit beraneka pungli dan terimbas kepentingan politik penguasa!"

"Perpindahan banyak pabrik yang berakibat PHK massal itu melemahkan bargaining kaum buruh, membuat nasib dan kesejahteraan mereka lebih buruk, dan menyulutnya jadi beringas!" sambut Amir. "Sementara industrinya belum bisa lepas dari jerat pungli, imbas kepentingan penguasa untuk meraih dukungan suara buruh di pemilu dengan peraturan PHK buruh amat memberatkan pengusaha, membuat pengusaha semakin tak berdaya meningkatkan upah buruh!"

"Pokoknya, segala permasalahan yang tak teratasi dan terselesaikan oleh pemerintah itu secara simultan bersimpul pada nasib buruh yang kian buruk!" tegas Umar. "Maka itu, guna memperbaiki kesejahteraan buruh sesuai tuntutan pada Hari Buruh Sedunia 1 Mei lalu, diperlukan keberanian pemerintah mengurai satu per satu faktor yang jadi penyebab buruknya nasib buruh! Terutama, usaha melepaskan satu per satu belitan masalah terhadap industri, agar membuatnya lebih bisa bernapas dengan kelonggaran untuk memberi lebih besar porsi bagian buruh dalam proses industrial!"

"Untuk itu pemerintah perlu menyimak saksama hasil survei dan kajian lembaga-lembaga nasional dan internasional terkait sistem ekonomi, politik, dan birokrasi, termasuk yang berkesimpulan Indonesia negara terkorup di Asia-Pasifik!" timpal Amir. "Dalam setiap survei terdapat komponen-komponen yang mencerminkan keterpurukan! Jadi, perbaikan dilakukan pada komponen-komponen tersebut! Bukan malah menganggap hasil-hasil survei itu semata mendiskreditkan pemerintah--lalu direspons tak semestinya! Hasil survei yang memuji-muji saja yang direspons, meski terbukti semakin menjerumuskan!"

"Dari sisi buruh juga sering ironis, hasil survei yang realistis distigma neolib, padahal negara semakin terbenam dalam neolib sehingga jalan keluar neolib pula yang lebih cocok!" tukas Umar. "Gejala itu tambah kontras ketika pilihan jalan keluar yang ditonjolkan condong ke sosialis! Akibatnya nasib buruh kian terpuruk, terjepit di tengah benturan ideologis!"

Selanjutnya.....

Manajemen Mutu Sekolah Lampung Zaman 'Doeloe'!


"LAMPUNG, sebelum zaman merdeka punya sekolah dengan manajemen mutu yang baik! Lulusan SMP (Tsanawiah) sekolah itu jika mau masuk setara SMA di Jawa selalu lulus testing (matrikulasi) untuk langsung duduk di kelas dua!" ujar Umar. "Sekolah itu, madrasah Muhammadiyah di Talangparis, dekat Bukitkemuning! Otobiografi K.H. Arief Mahya, alumnusnya, mencatat sekolah ini didirikan Dr. Rais Latief, alumnus Kairo (7 tahun) dan Mekkah (4 tahun), didukung guru lulusan Kairo, Mekah, dan Perguruan Thawalib Padang Panjang!"

"Di seluruh Lampung pada 1920-an dan 1930-an itu, Perguruan Muhammadiyah Talangparis satu-satunya sekolah setingkat SMP, selebihnya semua tingkat sekolah rakyat. Tanpa kecuali di Telukbetung dan Menggala, tempat pemerintah kolonial berkantor, yang ada cuma sekolah setingkat SD (ABS) berorientasi Belanda khusus buat anak-anak ambtenar dan keluarga bangsawan!" sambut Amir. "Pada Hari Pendidikan ini layak kita menarik hikmah dari manajemen mutu pendidikan zaman doeloe itu, sebagai bandingan ketika meski kelulusan UN SMA sederajat Provinsi Lampung 96%, passing grade-nya masih di bawah enam! Artinya, belum sebaik mutu sekolah zaman doeloe yang matrikulasinya meloncat ke atas, lebih tinggi satu kelas!"

"Apa yang membedakan mutu produk zaman doeloe dengan sekarang, jika diyakini ketulusan pengabdian gurunya tak jauh beda?" tanya Umar.

"Ketulusan pengabdian guru saja tidak cukup!" jawab Amir. "Standar kualitas para guru dan pimpinan sekolah, seperti dikesankan catatan Pak Arief Mahya, tampak punya peran penting! Karena itu kepada para guru sekarang, diharapkan serius berusaha meningkatkan mutu dan kemampuan bukan sekadar memenuhi kredit sertifikasi agar dapat tunjangan guru bersertifikat!"

"Juga unsur pimpinan, baik di sekolah maupun di instansi pengelola pendidikan, dituntut orientasi dan usahanya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu pendidikan!" timpal Umar. "Jangan berkelanjutan kesan menjadikan dunia pendidikan cuma sebagai ladang proyek, hingga komersialisasi pendidikan semakin kuat gejalanya! Iklim dunia pendidikan yang sedemikian mungkin jadi pembeda pendidikan zaman doeloe dan sekarang, hingga mutu out put-nya juga beda!"

"Iklim itu yang kini membuat murid dan orang tuanya jadi mumet, berakibat konsentrasi belajar anak tak maksimal dan akhirnya berpengaruh pada kualitas hasil didik!" tegas Amir. "Artinya, bagaimana gejala komersialisasi pendidikan bisa dikurangi guna mendukung proses perbaikan mutu pendidikan dari sisi murid! Tapi jelas sulit, ketika pendidikan telah menjadi komoditas, mutu dikaitkan dengan harga!" ***

Selanjutnya.....

Mulai, Keterbukaan Informasi Publik!


"UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mulai berlaku 1 Mei 2010, hari ini!" ujar Umar. "Tapi pelaksana UU ini, Komisi Informasi (KI) yang berkedudukan di provinsi, baru terbentuk di tiga dari 33 provinsi! Jadi, ada mobil tak ada sopirnya!"

"UU itu diundangkan 30 April 2008, ada waktu dua tahun untuk persiapannya!" sambut Amir. "Tapi, karena UU itu oleh badan publik, terutama pemda, dinilai bakal cuma merepotkan, persiapan untuk pelaksanaannya pun jadi tak mendapat prioritas!"

"Padahal, tujuan UU itu menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik!" timpal Amir. "Itu mendorong partisipasi warga dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik! Sekaligus, untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta bisa dipertanggungjawabkan!"

"Pokoknya masyarakat harus mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak!" tegas Amir. "Seiring itu, penting guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa! Untuk itu, meski terlambat, ada baiknya pemda dan DPRD provinsi segera memprakarsai berdirinya Komisi Informasi (KI). Sebab, KIP bukan cuma dibutuhkan pers, LSM dan warga umumnya, tapi juga anggota DPRD untuk penyelesaian masalah! Tepatnya, ketika anggota DPRD butuh data tertentu tak perlu lagi ada lemari file bisa jalan-jalan bergeser sendiri--seperti pernah dialami!"

"Meski begitu tak perlu suuzan--berprasangka buruk--atas keterlambatan pembentukan KI di daerah!" timpal Umar. "Lebih mungkin hal itu terjadi akibat kurangnya informasi tentang UU tersebut, akibat lemahnya sosialisasi pihak DPR dan Meneg Kominfo! Sosialisasi penting, bukan hanya untuk memasyarakatkan tujuan dan materi UU-nya, tapi juga pengecualian yang diatur oleh UU tersebut! Dengan pengecualian itu, informasi dengan kriteria tertentu justru harus dilindungi dari penyiarannya kepada publik!"

"Memang, pengecualian diberikan buat informasi yang bisa menghambat proses penegakan hukum, membahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengungkap wasiat atau rahasia pribadi, dan yang ditentukan UU!" tegas Amir. "Jadi, tak perlu takut pada keterbukaan informasi, karena informasi itu sumber kekuatan untuk mendorong kemajuan bangsa! Tanpa keterbukaan informasi, bangsa bergerak dengan meraba-raba terus!"

Selanjutnya.....