"KENAPA orang dengan kedudukan dan legalitas formal yang jelas malah neko-neko, melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya?" tanya cucu. "Contohnya Gayus Tambunan, seharusnya mengamankan pajak, malah mengutak-atiknya agar masuk ke kantongnya sendiri! Atau aparat hukum yang harus membenamkan Gayus ke bui atas perbuatannya itu, malah memproses pembebasannya!"
"Itu salah satu bentuk krisis identitas, orang tidak berperan di panggung sesuai karakter tokoh yang topengnya dia mainkan!" jawab nenek. "Orang diberi topeng Arjuna, tapi ekspresi tarian dan gaya aktingnya di panggung malah seperti Cakil!"
"Maksud nenek, kedudukan dan legalitas formal posisi seseorang itu cuma topeng yang karakternya harus diekspresikan oleh pemakai topengnya--orang yang menduduki jabatan tersebut?" kejar cucu. "Lalu, siapa sebenarnya tokoh di balik topeng-topeng itu?"
"Begitulah! Tokoh di balik topeng itu semua sama, suatu yang fitrahnya suci dan murni bernama nurani!" tegas nenek. "Setiap topeng diberi format integritas dan kredibilitas sebagai ukuran bagi ketepatan ekspresi dan geraknya dengan irama dan koreografi berupa norma-norma moral dan sosial yang harus dimainkan!"
"Kalau begitu untuk setiap peran yang dimainkan orang harus belajar dan berlatih cukup agar gerak tari dan ekspresinya sesuai dengan karakter tokoh topeng yang dipakainya!" sela cucu.
"Juga audisi dalam rekrutmen pengisian setiap peran!" timpal nenek. "Tapi nyatanya, sejak pendidikan paling awal, pelatihan peran, sampai audisi pengisian peran dilakukan manipulatif secara berantai pada semua tahap prosesnya! Dari situ jangan heran jika ada orang diberi topeng Arjuna tapi menari dan berekspresi Cakil!"
"Lantas di mana peran sang nurani?" kejar cucu.
"Nurani juga harus diasah agar selalu tajam dan mampu memilah baik dan buruk!" tegas nenek. "Kalau kurang asah, nurani tumpul tak mampu memilah baik dan buruk! Akibatnya, tak mampu mengontrol diri dan mengendalikan aktingnya sesuai peran ideal yang harus diekspresikannya! Itulah hakikat krisis identitas!"
"Tapi untuk mengatasinya, bagaimana cara mengasah nurani warga suatu bangsa?" entak cucu.
"Sederhana, terutama dalam masyarakat paternalis!" jawab nenek. "Jika para pemimpin panutan warga bangsa konsisten bersikap tindak jujur pada nuraninya, nurani para panutan ikut terasah! Sebaliknya kalau tak konsisten, apalagi lebih berorientasi pada kepentingan sang panutan belaka, nurani kalangan panutan sendiri semakin tumpul, krisis identitas jadi gejala nasional!"
"Lebih celaka lagi kalau Cakil-Cakil berakting Arjuna!" tukas cucu. "Sedang Arjuna aslinya, oleh para Cakil dikurung dengan label Cakil! Tertipulah rakyat!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Selasa, 18 Mei 2010
Krisis Identitas, Arjuna Jadi Cakil!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar