Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ternyata, Banyak Kasus Korupsi di Lampung!


"DARI rapat dengar pendapat Komisi I DPRD Provinsi Lampung dengan Kejaksaan Tinggi diketahui, ternyata banyak kasus korupsi di Lampung," ujar Umar. "Aspidsus Teguh, yang mendampingi Kajati Lampung Sulistyaningdyah, menyatakan hingga Maret 2010 Kejati menangani 76 kasus korupsi! Sayangnya, saat Teguh mau membacakan rincian ke 76 kasus itu, dipotong anggota DPRD Farouk Danial, 'Nanti saja penjelasannya secara tertulis!"

"Memang disayangkan tindakan anggota DPRD itu!" sambut Amir. "Sidang DPRD sebagai ruang publik, menjadi tempat paling tepat membacakan rincian kasus demi kasus korupsi uang rakyat untuk diketahui publik, sekaligus jadi dasar pers dan kekuatan kontrol sosial lain untuk mengikuti, mengawasi, dan mendesak prosesnya, agar tak satu pun luput dari proses hukum semestinya!"


"Mungkin sang anggota DPR belum paham sidang Dewan yang dinyatakan terbuka itu sebagai ruang publik, sehingga ia perlakukan eksklusif!" timpal Umar. "Jadi, ia berutang pada publik untuk menyampaikan rincian 76 kasus yang ia terima secara tertulis itu, setidaknya melalui wartawan!"

"Namun, meski hanya mengetahui jumlahnya, cukup mengejutkan banyaknya kasus korupsi di Lampung!" tegas Amir. "Betapa, selama ini kasus korupsi yang sampai ke pengadilan relatif sedikit, hanya satu-dua kasus, itu pun waktu sidangnya relatif panjang! Logikanya, jika kasusnya banyak dengan proses sidang yang lama, lebih ramai persidangan kasus korupsi!"

"Bisa jadi, itu karena pembengkakan jumlah kasus korupsi di Lampung baru terjadi belakangan ini, berkat makin agresifnya aparat penegak hukum menggarap kasus korupsi!" timpal Umar. "Jika benar begitu, berarti terjadi kemajuan dalam pemberantasan korupsi di daerah ini, baik yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaaan! Untuk itu, layak disampaikan salut dan dukungan kepada aparat penegak hukum di Lampung!"

"Sejalan dengan kemajuan aparat hukum dalam pemberantasan korupsi, pada tempatnya pula jika disesuaikan dengan konteks nasional yakni membersihkan proses semua kasus korupsi yang ditangani dari pengaruh makelar kasus--markus!" tegas Amir. "Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau dilalui--memberantas korupsi sekalian membasmi markus dan mafia hukum dari kepolisian dan kejaksaan!"

"Dukungan semua pihak diperlukan untuk itu, termasuk para wakil rakyat di DPRD terkait fungsi kontrolnya terhadap pemerintah daerah!" sambut Umar. "Setiap kasus korupsi harus diurai sejelas mungkin, jangan ada yang coba menutupi dengan alasan atau kepentingan apa pun!"

Selanjutnya.....

‘Markus’ di Polri Mulai Diringkus!


"MABES Polri akhirnya meringkus makelar kasus (markus) dalam jajarannya sendiri!" ujar Umar. "Komisaris polisi (kompol) berinisial 'A', penyidik di Bareskrim telah ditetapkan sebagai tersangka, bersama Andi Kosasih dan pengacara Gayus Tambunan, H.
Hutagalung! Ketiganya terkait kasus markus pajak Gayus Tambunan!"

"Mulai diringkusnya markus di Polri itu jelas kabar gembira!" sambut Amir. "Tim independen yang dibentuk bersama Kapolri dan Satgas Pembasmi Mafia Hukum itu diharapkan bisa mengusut tuntas semua jaringan markus di Mabes Polri, justru demi memulihkan kredibilitas Polri di mata masyarakat! Kredibilitas Polri itu, bahkan sebelum mencuatnya kasus Gayus Tambunan memang sudah rendah, terlihat dalam kasus cicak lawan buaya yang menghasilkan sejuta facebooker berpihak cicak!"


"Dalam masalah kredibilitas Polri, sering disebut baik yang terlihat dalam kasus cicak lawan buaya maupun kasus Gayus Tambunan hanyalah puncak gunung es! Di bawahnya terdapat lapisan es yang tebalnya cukup kuat menyangga es yang terlihat di puncaknya itu!" tegas Umar. "Karena itu, untuk memulihkan kredibilitas Polri, usaha membersihkan markus harus bisa dilakukan secara komprehensif di seluruh tingkat jajaran Polri!"

"Terutama di jajaran yang terdekat dengan rakyat, mulai tingkat pos dan polsek, karena di situlah hubungan polisi dengan warga berlangsung intens dalam kehidupan sehari-hari!" timpal Amir. "Tapi memang, usaha pembersihan Polri dari markus harus dilakukan dari atas, karena birokrasi seperti mata air, kalau mata airnya di hulu bersih lebih mungkin airnya sampai ke hilir jernih! Kalau dari hulu sudah keruh, mengharap aliran air di hilir jernih bisa mengada-ada!"

"Tapi tetap dijaga agar yang di bawah jangan main becek!" tegas Umar. "Kalau tetap main becek juga, meski air dari hulu jernih, di hilir akan selalu keruh! Jadi, unsur pimpinan Polri di semua jenjang, dari mabes, polda, polres, polsek sampai pos, harus committed dengan usaha pembersihan jajaran Polri dari markus! Hanya dengan begitu keseluruhan jajaran Polri bisa benar-benar bersih dari markus!"

"Tapi, kerja besar untuk membersihkan segenap jajaran Polri dari markus itu baru dimulai dengan diringkusnya seorang kompol di mabes!" timpal Amir. "Jadi, awal yang bagus ini harus dijaga agar bisa berlanjut dengan langkah-langkah bagus berikutnya! Konsistensi langkah-langkah bagus itu secara perlahan akan memulihkan kredibilitas Polri di mata masyarakat! Tapi kalau langkah awal di mabes itu saja tak bisa tuntas, kredibilitas Polri bisa lebih terpuruk lagi! Itu tak boleh terjadi!"

Selanjutnya.....

Gerakan Boikot Membayar Pajak!


"GERAKAN boikot membayar pajak di jejaring sosial Facebook, kemarin telah mencatat dukungan lebih dari 53 ribu facebooker!" ujar Umar. "Bisa ditebak, seperti kasus Prita Mulyasari dan cicak lawan buaya yang berhasil meraih dukungan lebih sejuta facebooker, setelah tembus angka 50 ribu peningkatannya akan lebih pesat lagi!"

"Reaksi publik atas kasus Gayus Tambunan, PNS Ditjen Pajak Golongan III-A yang menjadi makelar kasus (markus) pajak, baru lima tahun bekerja bisa punya simpanan puluhan miliar rupiah, layak menjadi perhatian!" sambut Amir. "Sebab, meski membayar pajak merupakan kewajiban warga negara bersanksi pidana, kalau pengelolaannya buruk dan kebocorannya luar biasa seperti tecermin dari kasus Gayus Tambunan, warga juga berhak protes! Jadi, gerakan boikot bayar pajak lewat Facebook itu bisa digolongkan sejenis protes dimaksud! Dilihat dari sisi itu, protes itu justru diperlukan lebih-lebih ketika kebocoran telah terjadi di luar batas! Tanpa protes dengan pressure memadai, pembobolan pajak mungkin bisa lebih gila-gilaan lagi!"


"Berarti tekanan menuju perbaikan pengelolaan pajak yang harus diakomodasi dari protes itu!" tegas Umar. "Untuk itu, seperti dikemukakan Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak, Hadinegoro, proses administratif pengambilan keputusan dalam pengelolaan pajak bersifat hierarkis sampai pucuk organisasi! Jadi, Gayus tidak bisa bekerja sendiri! Karena itu, selain pembenahan dimaksud harus komprehensif, juga lebih terfokus di tataran atas organisasi! Tepatnya, reformasi birokrasi di Depkeu yang dibiayai Rp13 triliun lebih itu masih harus dipertajam ke atas lagi!"

"Seiring dengan itu, layak disimak latar belakang dibukanya akun gerakan boikot membayar pajak di Facebook itu oleh Alexander Spinoza!" timpal Amir. "Yakni, penggunaan uang pajak untuk hidup mewah para pejabat tinggi negara, seperti mobil dinas seharga miliaran rupiah--mengalahkan kebutuhan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang sudah amat mendesak! Ketidakadilan dalam penggunaan uang pajak itu digugat facebooker!"

"Terlihat betapa luas hasil pengungkapan Susno tentang markus di Polri, mengembang ke justice system--kejaksaan dan pengadilan, merebak ke Ditjen Pajak dan Depkeu dengan reformasi birokrasinya yang hambar, bahkan menjangkau aras kekuasaan negara yang tidak adil dalam penggunaan uang pajak!" tegas Umar. "Dengan impact sedemikian besar, Susno dan facebooker--meski keduanya ada aspek negatifnya--tetap pantas dihormati secara proporsional dalam relevansinya bagi perbaikan negara ini!"

Selanjutnya.....

Gayus Tambunan Bukti Kegagalan Reformasi Depkeu!


"PEMILIKAN rumah mewah, mobil eksekutif (Ford Escort) dan tabungan di bank Rp28 miliar oleh Gayus Tambunan, PNS golongan III-A, merupakan bukti kegagalan program reformasi birokrasi di Departemen Keuangan--Depkeu!" ujar Umar. "Reformasi birokrasi dengan menaikkan gaji pegawai jauh lebih tinggi di Depkeu selama ini dikesankan sukses dan selalu dijadikan model guna ditiru departemen lain!"

"Perolehan harta berlimpah dalam waktu singkat selama Gayus jadi PNS itu digambarkan televisi dengan tayangan rumahnya sebelum kaya, di kawasan kumuh Tanjung Priok!" sambut Amir. "Bayangkan kalau sukses reformasi birokrasi model Gayus diterapkan di semua departemen, pegawai golongan III-A mendadak bisa sekaya itu, negara ini bisa lebih cepat bangkrut!"


"Di Depkeu sendiri dengan sukses reformasi birokrasi itu, kalau Gayus pegawai golongan III-A tanpa eselon saja bisa menimbun harta sebanyak itu, betapa jauh lebih kaya lagi para pejabatnya yang bereselon dan berpangkat lebih tinggi, serta punya kewenangan dan kekuasaan formal yang lebih besar lagi!" tukas Umar. "Logika sedemikian bukan mustahil, terutama mengingat selama ini yang jadi objek pemantauan lembaga antikorupsi umumnya pada bagian pengeluaran atau belanja anggaran (outflow), terkait pelaksanaan proyek dan program, sedang bagian penerimaan anggaran (inflow) relatif kurang disoroti! Artinya, kalau bagian pengeluaran yang dipelototi saja masih bobol, apalagi yang luput dari perhatian!"

"Penerimaan pajak pusat di daerah jenisnya tak terlalu banyak, pajak penghasilan (PPh) badan dan perorangan, serta pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai (PPN)," timpal Amir. "Justru penerimaan pajak dan retribusi anggaran daerah yang ragamnya banyak, nyaris setiap dinas punya anggaran penerimaan, kontrolnya jauh lebih longgar! Jadi, sisi ini perlu perhatian serius! Karena, kebocoran penerimaan dengan relatif minimnya kontrol, peluangnya jadi lebih besar!"

"Pokoknya, kalau reformasi birokrasi Depkeu yang bisa membuat Gayus (bisa jadi dan kawan-kawan) kaya raya mendadak itu dijadikan model untuk ditiru semua departemen, pejabat daerah dengan pajak dan retribusi yang lebih beraneka jenisnya akan bisa lebih kaya raya lagi!" tegas Umar. "Hal itu tidak mengada-ada, selain kontrol internal inspektorat daerah di sektor penerimaan terkesan masih amat lemah, kontrol eksternal dari publik sukar dilakukan karena mekanismenya tidak ada! Di TPR misalnya, dengan pembayaran lebih banyak tak pakai kupon, jadi tak terkontrol jumlah penerimaan sebenarnya!"
Selanjutnya.....

Anomali Sistem, Singkap Busuknya ‘Justice System’!


"ANOMALI--penyimpangan--sistem solidaritas korps kepolisian terhadap Komjen Susno Duadji, yang seharusnya seperti apa pun dia harus tetap diayomi pimpinan--bukannya dikucilkan--telah membuat Susno unjuk gigi menyingkap busuknya praktek justice system!" ujar Umar. "Andai cara pimpinan Polri menangani Susno sejak awal lebih “bijaksana”, tak terjadi anomali solidaritas korps, kebusukan justice system dengan simpulnya kasus Gayus Tambunan tak pernah tersingkap!"

"Kebusukan justice system yang implisit di balik ungkapan Susno adalah fleksibelnya hukum untuk digelembungkan atau dikempiskan! Dalam kasus Rp25 miliar di rekeneing Gayus Tambunan, hukum dikempiskan dari yang besar dikecilkan, setelah kecil ditiadakan!" sambut Amir. "Itu terlihat jelas dari prosesnya. Awalnya Gayus diperiksa polisi atas kecurigaan pada Rp25 miliar dalam rekening PNS Ditjen Pajak Golongan III-A itu! Sangkaannya, money laundring, korupsi, dan penggelapan! Disidik, polisi cuma menjerat Gayus terkait Rp395 juta, yang Rp24,6 miliar dicabut blokirnya! Dikirim ke kejaksaan, sangkaan korupsinya hilang! Dari kejaksaan ke pengadilan dakwaannya tinggal penggelapan, dituntut 12 bulan penjara dengan percobaan 12 bulan! Pengadilan memvonis Gayus bebas!"


"Jadi, jasa Susno bukan hanya menyingkap kasus di kepolisian! Tapi akhirnya, realitas justice system yang terangkai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan!" tegas Umar. "Dengan itu, sekaligus Susno membuka lebar pintu masuk buat lembaga-lembaga civil society--Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaaan, dan Komisi Yudisial (KY)--untuk masuk berbenah di wilayah tugas masing-masing!"

"KY langsung ke PN Tangerang tempat Gayus divonis bebas minta salinan vonis hakim! Sayang, Ketua PN yang harus melegalisasi salinan itu masih umrah! Menurut pengalaman, banyak ketua PN dan hakim ditindak MA atas rekomendasi KY!" tegas Amir.

"Komisi Kejaksaan yang nyaris belum terdengar langkahnya! Sedang Kompolnas--lembaga civil society yang kini dipimpin jenderal (Menko Polhukam)--justru lebih menyoroti disiplin Susno, meski minta mengusut kasus Gayus!"

"Maksud Kompolnas tentu bersikap adil, yang melanggar disiplin ditindak, penyimpangan dalam penanganan perkara juga ditindak!" timpal Umar.

"Memang, lebih menekankan soal disiplin Susno saat ia menyingkap penyimpangan yang tengah membusuk secara sistemik, terasa kurang pas! Tapi okelah, silakan Susno ditindak sebagai risiko martir, asal pembusukan tumor dalam seluruh justice system dibersihkan sampai akarnya!" ***

Selanjutnya.....

Taktik Perang Memenangkan Kebijakan UN!


"KENAPA kali ini ujian nasional (UN) terkesan amat menakutkan, murid jadi stres, ada yang sampai menggelar istigasah segala?" tanya Umar.

"Mungkin akibat penguasa melakukan gerakan taktis seperti perang dalam usaha memenangkan kebijakannya untuk tetap menggelar UN!" jawab Amir. "Dimulai dari perang urat saraf (kontra isu) mementahkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tentang UN yang mengamarkan hanya bisa dilaksanakan setelah syarat pemerataan fasilitas dan kualitas pendidikan dipenuhi! Lalu, serangan dadakan memajukan jadwal UN dari sebelumnya awal Mei atau akhir April, jadi Maret! Proses itu amat terasa bobot pemaksaannya, hingga murid tertekan dan tegang!"

"Gaya otoriter begitu bisa membuat shock bukan hanya murid, melainkan juga guru dan pengelola pendidikan!" sambut Umar. "Soalnya, praktek pendidikan kita sudah satu dekade--sejak era reformasi--telah meninggalkan gaya seperti itu! Pendekatan lebih demokratis makin kuat dengan kehadiran komite sekolah, dengan aktifnya dewan guru! Proses belajar-mengajar tak ketinggalan, juga bergeser dari instruksional ke siswa aktif partisipatif! Jadi, munculnya gaya otoriter dengan taktik perang itu bisa membuat murid tertekan dan akhirnya tercekam ketakutan!"


"Karena itu, penguasa bidang pendidikan diharap tidak terbenam dalam kapsul kekuasaan!" tegas Amir. "Lihat keluar kapsul realitas pendidikan nasional yang masih memprihatinkan--berita bangunan sekolah roboh beruntun dari satu daerah ke daerah lain! Jadi, jangan paksakan standar mobil BMW kepada seluruh rakyat, padahal realitasnya mobil odong-odong yang ada di pelosok bannya kempis--itu inti putusan MA!"

"Apalagi untuk itu dipaksakan dengan taktik perang yang menegangkan hingga membuat anak-anak tercekam ketakutan!" timpal Umar. "Bandingkan, serangan teroris saja tak membuat warga dan murid seantero negeri tercekam ketakutan sedalam yang dialami saat menghadapi UN! Apakah memang begitu cara menjalankan kekuasaan yang benar?"

"Artinya, keluar dari kapsul kekuasaan itu selain melihat realitas masyarakat, juga untuk melihat konteks dalam pemerintahan seperti apa kekuasaannya itu dijalankan!" tegas Amir. "Kan aneh, ketika rakyat menikmati nyamannya hidup dalam pemerintahan yang demokratis, tiba-tiba dientak oleh gaya otoriter kekuasaan yang merupakan salah satu unsur pemerintahan itu sendiri! Untung saja rakyat tak seperti orang buta mengenali gajah dari bentuk bagian tubuh yang dirabanya! Jika sampai begitu, rakyat akan sebut secara umum pemerintah sekarang ini otoriter!" ***


Selanjutnya.....

Belajar Goblok dengan Rp25 M!


"FAKTA baru terkait uang Rp25 M di rekening bank Gayus T, diungkap Kepala Divisi Humas Mabes Polri Edward Aritonang!" ujar Umar. "Andi Kosasih dijadikan tersangka memberi keterangan palsu atas pengakuannya uang Rp24,6 miliar di rekening Gayus sebagai miliknya! Untuk keterangan palsu itu Andi Kosasih dapat imbalan nyaris Rp2 miliar!"

"Akhirnya polisi mau belajar berpikir seperti orang goblok, yang tak akan percaya menitipkan uang lebih Rp24 miliar ke rekening orang lain, apalagi tak ada hubungan keluarga!" sambut Amir. "Andai mau kongsi usaha pun, modalnya disetor secara bertahap setelah akta pendirian usaha dan kegiatan perusahaan dimulai! Mungkin beda cara berpikir polisi pintar, orang mengaku menitipkan uang sebanyak itu ke rekening bank orang lain yang tak ada hubungan keluarga dianggap wajar, sehingga tak perlu dicurigai dan dicari tahu lebih jauh kebenaran pengakuannya!"


"Tapi sayang, ketika polisi berpikir dengan logika orang goblok dengan menetapkan orang yang membuat pengakuan palsu itu sebagai tersangka, pelakunya--Andi Kosasih--telanjur kabur!" tegas Umar. "Coba kalau belajar gobloknya sejak awal, sebelum blokir terhadap uang Rp24,6 miliar itu dicabut, selain Andi Kosasih tak sempat kabur, polisi juga bisa mencari tahu dari mana uang yang Rp24,6 miliar diperoleh Gayus--sekaligus uangnya tak keburu buyar, nyasar entah ke mana pula!"

"Itu belajar goblok selanjutnya, dicari tahu ke mana saja uang itu nyasar!" timpal Amir. "Untuk menghindari fitnah, PPATK minta izin Mahkamah Agung (MA) untuk menyerahkan hasil penelitian aliran uang itu ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum! Dengan demikian, Satgas bisa secara formal menggunakan datanya--tak seperti sekarang, Satgas (yang di dalamnya terdapat Kepala PPATK) seolah sudah tahu aliran dana itu hingga terkesan berpihak pada Susno--dengan menyayangkan Susno dijadikan tersangka!"

"Gaya Satgas sedemikian membuat orang goblok berpikir ada yang tidak sepenuhnya benar dalam penanganan kasus Gayus!" tukas Umar. "Apalagi ketika tekanan gaya Satgas itu menuai pengakuan Kapolri, memang ada rekayasa dalam penanganan kasus Gayus! (MI, [25-3]) Hingga, agar tak kepalang gobloknya sekalian, Kapolri membuka peluang kepada tim independen untuk menangani masalah di tubuh Polri ini! Coba kalau pintar, ditangani lembaga polisi sendiri, agar semuanya bisa diselesaikan secara internal! Sedang kalau ditangani tim independen, kemungkinan aib polisi tersingkap tak tertutup!"

"Cuma aneh!" timpal Amir. "Karena, justru dengan belajar goblok instansi Polri bisa menjadi lebih baik!"

Selanjutnya.....

Isyarat Presiden, JSS Dipercepat!


"KATA Ketua DPRD Lampung Marwan Cik Asan, Presiden SBY memberi isyarat pembangunan jembatan Selat Sunda (JSS) akan dipercepat! Beberapa investor luar negeri sudah siap, namun Presiden ingin mengutamakan investor nasional! Ganjalan untuk percepatan pada studi kelayakan, yang butuh waktu satu setengah tahun!"

"Isyarat Presiden itu menggembirakan, karena sempat tersebar kabar pembangunan JSS jadi tak pasti!" sambut Amir. "Keraguan itu dipicu tak tercantumnya anggaran untuk persiapan kerja besar itu, baik di APBN maupun APBD Provinsi Lampung, semisal anggaran studi kelayakan, atau mempersiapkan kawasan di sekitar aksesnya! Masyarakat memahami, untuk pembangunan infrastruktur yang dibiayai investor swasta, seperti jalan tol, pembebasan lahannya menjadi kewajiban pemda--dengan kompensasi saham dalam investasinya! Hal sama tentu juga berlaku pada kawasan akses JSS!"


"Kesiapan pemda dalam penyiapan lahan itu pula yang jadi masalah dalam rencana pembangunan jalan tol di Lampung, baik ruas Tegineneng--Babatan maupun Babatan--Bakauheni!" timpal Umar. "Bahkan faktor sama juga penyebab belum tuntasnya jalan lintas pantai timur (jalinpantim) Menggala--Bakauheni, karena di sejumlah tempat pemda kewalahan membebaskan tanahnya! Kalau proyek Pemerintah Pusat saja mengalami nasib demikian, konon lagi dengan investasi swasta--yang maunya terima bersih saja!"

"Sejalan dengan percepatan pembangunan JSS itu, amat tepat Marwan menyampaikan kepada Presiden masifnya kerusakan jalan di Lampung, yang seperti dikemukakan Gubernur Sjachroedin Z.P. di DPRD pada HUT Provinsi, dana yang tersedia hanya seperempat dari kebutuhan! Gubernur mengharapkan DPRD ikut cari jalan keluarnya!" tegas Amir. "Itu dasar Marwan menyampaikan masalah itu ke Presiden! Namun, yang diperoleh dari Presiden bukan tambahan biaya, tapi cuma saran untuk memprioritaskan anggaran guna mendahulukan perbaikan infrastruktur dengan mengalihkan anggaran dari satker lain sampai dapat 20 persen untuk perbaikan infrastruktur!"

"Tambah megaplah anggaran satuan kerja (satker) lain yang sudah dirampingkan untuk memenuhi 20 persen anggaran pendidikan!" timpal Umar. "Kalau harus dirampingkan lagi, bisa tinggal tulang!"

"Jadi, percepatan JSS dan perbaikan jalan rusak itu baru sebatas keinginan! Istilah pasarnya, sekadar cerita dalam cerita!" tegas Amir. "Realitasnya, untuk mengujudkan keinginan itu masih perlu mencari jalan keluar lain!"

Selanjutnya.....

Pelajaran dari Sukses Amerika Meringkus Mafia!

"USAHA memberantas mafia, bisa belajar dari sukses Presiden AS Howard Hoover meringkus Al Capone--bos mafia yang menguasai polisi, jaksa, dan politisi Chicago 1920-an hingga awal 1930-an!" ujar Umar. "Versi Hollywood menonjolkan sukses polisi federal dipimpin Eliot 'Untouchable' Ness menghajar bisnis Al Capone--perdagangan ilegal alkohol, judi, dan prostitusi! Padahal, yang sebenarnya mengirim Al Capone ke Alcatraz adalah operasi rahasia Presiden Hoover! (BBC Knowledge: True Story, Al Capone, [22-3])

"Gebrakan Eliot Ness memerangi Al Capone untuk menutupi operasi rahasia penyidik pajak Frank Wilson!" sambut Amir. "Empat tahun Frank Wilson mencari jejak bos mafia itu! Meski terlibat ratusan pembunuhan dan banyak bisnis ilegal, Al Capone penjahat yang tak punya sidik jari! Ia tak punya rekening bank, beli properti tak pakai namanya!"

"Setelah lama mencari, Wilson menemukan buku sitaan dari penggerebekan rumah judi Hawthorn Smoke Shop yang mencatat penyerahan uang pada 'Al', diduga akronim Al Capone!" tegas Umar. "Tapi, siapa bisa memastikan 'Al' itu Al Capone?"

"Tentu yang membuat catatan itu!" timpal Amir. "Diteliti, itu tulisan Lesley Shumay! Ia ditemukan di Florida! Saksi kedua kasir, Fred Reis! Keduanya jadi saksi lewat program perlindungan saksi--pertama dalam sejarah!"

"Di ujung prosesnya, operasi rahasia ini bocor ke Al Capone!" tegas Umar. "Mike Malone, agen yang disusupkan ke kubu Al Capone memberi

tahu, regu tembak dari New York datang untuk membunuh Wilson! Karena tercium, Al Capone membatalkan! Lalu pembelanya mengatur langkah mafia hukum, jika utang pajaknya dibayar Al Capone bisa dapat hukuman ringan! Disepakati, jika mengaku salah, cuma dituntut dua setengah tahun penjara!"

"Tapi saat kesepakatan disampaikan, Hakim James Williamson menolak! Hakim memutuskan sidang dengan juri!" sambut Amir. "Drama terjadi pada sidang pertama 6 Oktober 1931, hakim menukar seluruh juri karena geng Al sudah mendapat daftar alamat mereka! Dengan juri yang terjamin steril itu, 17 Oktober 1931 Al dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum 11 tahun penjara!"

"Pelajaran dari kisah itu, tim presiden menyidik mafia hukum harus mumpuni sampai tuntas--tak asal melempar rekomendasi, lalu setiap langkah berdasar hukum!" tegas Umar. "Itu perlu ditegaskan karena dalam Satgas Mafia Hukum ada Yunus Hussein dari PPATK, jika ia memakai data aliran dana Rp24,6 miliar kasus Gayus T. tanpa seizin MA, Satgas bisa kena pasal membocorkan rahasia bank! Dalam due process of law, kebenaran material yang diajukan bisa batal demi hukum! Para pencoleng pun bebas!" ***

Selanjutnya.....

Membasmi Mafia di Semua Lini Proses Hukum!


"MENDADAK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanggil Kapolri!" ujar Umar.

"Ternyata bukan karena merespons desakan Ketua Umum PDIP Megawati agar Presiden SBY segera mengambil alih masalah makelar kasus (markus) di Mabes Polri yang diungkap Susno! (MI, [22-3]), tapi untuk ikut membahas masalah skandal Bank Century hasil Pansus yang disampaikan DPR!" sambut Amir. "Jadi, harapan masalah markus di Polri bisa segera selesai jika diambil alih Presiden seperti harapan Mega, tak terwujud!"

"Maksud Mega kasus markus yang diungkap Susno itu bisa diselesaikan secara internal di kepolisian yang kelembagaannya di bawah presiden!" tegas Umar. "Artinya khusus kasus itu saja! Sedang di sisi lain, nyanyian Susno telah membuai harapan rakyat luas untuk lebih serius membasmi markus dan mafia hukum di semua lini dan tingkat proses penegakan hukum! Itu pula alasan mengalirnya dukungan ke Susno dari berbagai penjuru dalam menyingkap markus di Polri! Kalau cuma satu kasus, terkait kasus money laundering pejabat Itjen Pajak itu saja, selesai itu markus-nya kembali merajalela di semua lini dan tingkat!"


"Harapan rakyat mungkin seperti disebutkan Mas Ahmad Santosa dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, agar nyanyian Susno itu bisa dijadikan momentum pemberantasan mafia hukum dan markus di semua lembaga penegak hukum!" timpal Amir. "Tapi bagaimana kalau kenyataannya kalangan pimpinan lembaga penegak hukum justru alergi bahkan resisten terhadap nyanyian Susno? Sedang Satgas juga tak lantas menggebrak guna menggalang momentum dimaksud! Sebaliknya, Satgas bertindak sporadis, seusai memanggil Susno menganjurkan KPK masuk ke kasus yang diungkap Susno! Padahal, seperti kata Humas KPK Johan Budi, untuk masuk KPK harus punya data cukup untuk dijadikan dasarnya!"

"Dengan begitu tampak, kasusnya bakal cuma berputar pada tuduhan Susno!" tegas Umar. "Sedang harapan rakyat untuk membasmi mafia hukum atau markus di semua lini dan tingkat proses hukum tak akan segera terpenuhi!"

"Kalau sampai demikian akhirnya, konsekuensinya bisa mengimbas ke Satgas!" timpal Amir. "Dua kali peluang terbuka untuk menciptakan momentum memberantas mafia hukum--hasil sidak di LP Pondok Bambu dan nyanyian Susno--tak bisa dimatangkan untuk membuktikan kinerjanya dalam membasmi tuntas mafia hukum, mau berharap peluang seperti apa lagi?"

"Bagi rakyat itu menunjukkan, tiada lagi peluang untuk bebas dari mafia hukum!" tegas Umar. "Dan Susno, cuma jadi tumbal kenekatannya melawan sistem yang terbukti kokoh dan tangguh!"
Selanjutnya.....

Menguji PDIP Tahan Gergaji!


"KENAPA Megawati perlu menegaskan PDIP masih solid di bawah kepemimpinannya?" tanya Umar.

"Mungkin untuk menjawab isu yang kian santer, dalam kongres di Bali mulai 4 April nanti PDIP akan 'pasrah' masuk koalisi Partai Demokrat guna mendapatkan jatah kekuasaan!" jawab Amir. "Isu itu mengesankan ada keretakan di PDIP, seolah ada kubu dalam partai itu yang cukup kuat untuk menarik PDIP masuk kelompok berkuasa! Itu yang membuat Megawati perlu menegaskan soliditas kepemimpinan dirinya!"

"Tentunya tak ada asap kalau tak ada api!" timpal Umar. "Artinya, bukan mustahil dalam tubuh PDIP memang sedang terjadi tarik-menarik antara kelompok yang ingin bertahan pada posisi sebagai partai prorakyat sekarang, dengan kelompok yang ngiler pada madu kekuasaan!"


"Ketika tempua bersarang rendah begitu, tentu tidak terjadi secara serta-merta!" tukas Amir. "Hukum sebab-akibat melogikakan, ketika balok PDIP nan kokoh nyaris terbelah oleh keinginan berbeda-beda, sukar diingkari adanya gergaji iming-iming kekuasaan yang menguji ketahanan PDIP dari ketajaman gergaji tersebut! Hasil kongres nanti menjadi petunjuk, kubu mana yang unggul dalam tarik-menarik di tubuh PDIP!"

"Apa mungkin sikap Megawati yang keras dengan karakter partainya sekarang bisa ditawar untuk kemudian dibengkokkan?" kejar Umar.

"Bukan ditawar atau dibengkokkan!" jawab Amir. "Tapi direinterpretasi! Misalnya tentang prinsip prorakyat yang menjadi orientasi semua kader selama ini, bobotnya sebagai klaim hanya kader PDIP yang orientasinya sungguh-sungguh ke arah itu hingga amat membanggakan mereka, direinterpretasi menjadi partai-partai lain--termasuk partai berkuasa--juga berorientasi prorakyat! Dengan begitu menggeser posisi PDIP masuk kelompok berkuasa pun tidak lagi bertentangan dengan prinsip perjuangan yang dijunjung dan dibanggakan sebelumnya!"

"Jadi cuma masalah semantika, makna katanya digeser sesuai kepentingan politik sesaat!" tukas Umar. "Sekaligus perubahan semiotika, istilah--prorakyat--sebelumnya bersifat prinsip perjuangan yang melambangkan patriotisme, diubah dengan diprofanisasi (dientengkan) menjadi sekadar retorika! Dan retorika itu, semata berorientasi pragmatis! Dalam beretorika, siapa tak bisa kalau cuma bicara prorakyat!"

"Itu dia! Ujian ketahanan dari gergaji yang tengah dihadapi PDIP tampak tidak sepele!" timpal Amir. "Karena yang digergaji pilar prinsip perjuangan, penyangga eksistensi partai di hati konstituennya! Dari penegasannya di atas, bisa ditebak Megawati takkan menyerah setajam apa pun gergajinya!"
Selanjutnya.....

'Sleeper Cell', Gugur Satu Tumbuh Seribu!


"KETUA Umum PB NU K.H. Hasyim Muzadi menilai keliru cara polisi menangani teroris dengan main tembak mati!" ujar Umar. "Menurut Muzadi, lebih tepat ditangkap hidup dan dihukum! Kalau masih hidup bisa digali kaitan dirinya dengan tokoh atau jaringan di luar kelompok terakhir! Jika ditembak mati sebelum digali kaitannya dengan jaringan di luar kelompok, kata dia, terorisnya gugur satu tumbuh seribu!" (Metro TV, [17-3])

"Maksud Muzadi gugur satu tumbuh seribu itu terkait realitas adanya sleeper cell--sel yang masih tidur--pada jaringan teroris di Indonesia!" sambut Amir. "Metro TV beberapa hari lalu secara intensif menyingkap sleeper cell teroris itu dalam jaringan NII (Negara Islam Indonesia) yang ternyata terus merebak dengan merekrut kader baru di kalangan kaum muda dengan gerakan tutup mulut!"


"Sleeper Cell adalah judul serial televisi tentang jaringan Al Qaeda yang ditayangkan setiap hari episode baru di stasiun Fox Crime--diberi teks bahasa Indonesia oleh SDI Media--baru selesai tayang Rabu lalu!" timpal Umar. "Tokoh utama serialnya, Faris al Farik, dalam ceritanya pada rekrutmen baru mengatakan teroris seperti buah anggur, setiap jaringan punya kelompok buah tersendiri, ketika kelompok itu habis, masih ada jaringan-jaringan lain dengan kelompok buah tersendiri, bahkan pada tangkai yang sama! Belum lagi pada tangkai-tangkai lain yang punya banyak jaringan dengan kelompok buah tersendiri!"

"Dalam serial Sleeper Cell dilukiskan bagaimana jaringan teroris bekerja!" tegas Amir. "Dari hape seluler maupun satelit Farik yang disadap FBI diketahui, selain bicara dengan anggota kelompok sendiri, Farik juga bicara dengan berbagai tokoh teroris di Amerika dan Kanada, hingga ke Timur Tengah! Bahkan Farik merekrut mahasiswa asal Indonesia di Amerika, Agus Pangestu, lewat pamannya yang sleeper cell teroris di Jakarta!"

"Maka itu, dilihat dari realitas sleeper cell NII hasil galian Metro TV maupun gambaran versi Amerika tentang jaringan sleeper cell teroris internasional, kritik Hasyim Muzadi mengenai cara polisi main tembak mati teroris yang justru membuat teroris gugur satu tumbuh seribu itu layak diperhatikan!" timpal Umar. "Artinya, tak perlu diragukan bahwa Hasyim Muzadi punya sumber-sumber informasi akurat tentang terorisme di negeri ini!"

"Kewaspadaan warga terutama menjaga anggota keluarganya agar tak terjerat jaringan sleeper cell teroris, amat diperlukan!" tegas Amir. "Dari sleeper cell yang tak betah tetap diam--ingin segera 'berjihad'--akan 'dipanen' teroris dalam menyiapkan serangan baru! Ini perlu diwaspadai, agar tak ada anggota keluarga jadi teroris!"

Selanjutnya.....

Polri Membantah, Tak Ada ‘Markus’!


"HUMAS Mabes Polri, Irjen Pol. Edward Aritonang membantah tuduhan Susno Duadji. Ia tegaskan, tidak ada makelar kasus (markus) di Mabes Polri!" ujar Umar. "Aritonang juga meyakinkan, tidak ada penyimpangan dalam penyidikan kasus money laundering yang dimaksud Susno, sekaligus tak ada makelar kasus dalam kasus tersebut!"

"Tapi, dari konferensi pers Mabes Polri itu ada hal-hal yang layak dipertanyakan!" sambut Amir. "Pertama, kasus money laundering Rp25 miliar itu sebelum diungkap Susno tak pernah dibuka pada pers! Kasus itu disembunyikan dari publik, jadi mengundang kecurigaan! Kedua, pengusutan yang bermula dari kecurigaan atas kepemilikan uang Rp25 miliar oleh seorang PNS, kenapa hanya Rp395 juta saja yang dibuktikan bermasalah? Sedang Rp24 miliar lebih sisanya dibuka blokirnya setelah ada orang ‘asing' muncul mengaku sebagai pemiliknya! Padahal, menurut Brigjen Pol. Raja Erizman--pengganti Brigjen Pol. Edmon Ilyas--rekening itu setor dan tarik dananya hanya dilakukan oleh Gayus T., sang PNS tersangka!"


"Karena pembukaan blokir atas Rp24 miliar lebih itu oleh penggantinya, berarti Edmon Ilyas tidak terkait kasus dana itu, dong?" potong Umar.

"Logikanya begitu!" jawab Amir. "Tapi masih harus menunggu laporan PPATK! Yunus Hussein dari PPATK menyatakan sudah punya data aliran dana Rp25 miliar itu!"

"Bah!" entak Umar. "Orang dibuat menduga-duga siapa yang rekeningnya kemasukan dana nyasar!"

"Terpenting jangan tergesa mengira nyasar-nya ke rekening perwira tinggi (pati) Polri!" timpal Amir. "Beberapa waktu lalu disebut-sebut sejumlah pati Polri punya banyak uang, ada yang ratusan miliar! Tapi, hingga kini tak ada yang bisa membuktikan!"

"Yang bisa membuktikan polisi! Kalau polisi tak berusaha membuktikan, siapa bisa? Rakyat? Mana mampu!" tegas Umar. "Tapi kali ini berbeda, ada polisi yang ditantang membuktikan kebenaran pernyataannya--Susno!"

"Susno sendirian, tanpa perangkat kerja dan wewenang menyidik, bisa kalah dari lembaga Polri dengan kewenangan formalnya dalam melakukan pembuktian!" timpal Amir. "Lewat logika sedemikian bisa diperkirakan bakal seperti apa akhir kasus ini! Belum lagi mengingat, PPATK tak bisa menyerahkan data terkait rahasia bank itu secara langsung kepada Satgas Mafia Hukum--yang tak dikenal Undang-Undang tentang PPATK!"

"Kalau begitu seperti perkiraan semula, kasusnya akan dikembalikan Satgas ke pimpinan Polri untuk diselesaikan secara internal!" ujar Umar. "Hasil akhirnya kembali ke inti konferensi pers, tak ada makelar kasus di Mabes Polri!"
Selanjutnya.....

Susno Ungkapkan Markus di Polri!


"TOKOH 'kontroversial' mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjen Pol. Susno Duadji, memenuhi panggilan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di lembaga kepresidenan terkait pernyataannya ada mafia hukum atau makelar kasus (markus) di Mabes Polri!" ujar Umar. "Kata Susno, tiga jenderal terlibat praktek markus dalam penanganan kasus money laundering dan korupsi dana wajib pajak! Itu terungkap saat Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim mengusut kasus pencucian uang Rp25 miliar yang dilakukan Irjen Pajak!" (Kompas.com, [18-3])

"Apa pun motif Susno mengungkap kasus yang bisa mempermalukan korps Kepolisian RI itu, masalahnya sudah di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum!" sambut Amir. "Sejauh mana penanganan Satgas atas masalah ini, lain soal lagi!"


"Lain soal bagaimana?" kejar Umar.

"Seperti temuan sidak Satgas atas mafia hukum di LP Pondok Bambu, masalah selesai cukup hanya dengan menyerahkan kasusnya pada pimpinan instansi itu sendiri! Dan masyarakat bangsa sudah tahu, tindakan pimpinan instansinya, yang dianggap cukup hanya dengan mutasi pejabat yang bersalah!" jelas Amir. "Bukan mustahil pula kalau nanti masalah yang diungkap Susno itu akan diserahkan kembali ke pimpinan Polri untuk penyelesaiannya! Bisa ditebak tindak lanjutnya!"

"Apakah pemberantasan mafia hukum bisa tuntas dengan model sporadis begitu?" tanya Umar.

"Kalau tujuannya membersihkan tuntas negeri ini dari mafia hukum dan markus, sukar dibayangkan bisa tercapai lewat cara sporadis itu!" jawab Amir. "Dari penanganan kasus Pondok Bambu tampak, kehadiran Satgas itu bukan untuk pemberantasan mafia hukum secara benar-benar efektif, tapi lebih sekadar memenuhi kebutuhan retorika--bahwa pemberantasan mafia hukum menjadi salah satu masalah yang ditangani lembaga kepresidenan! Sedang arti sesungguhnya Satgas itu, tergantung pemberian bobotnya dalam retorika--bukan pada keefektifan tugasnya membasmi mafia hukum!"

"Kalau hasilnya ditangani Satgas cuma seperti penanganan mafia hukum di LP Pondok Bambu, apakah akhirnya tidak hanya merugikan Susno, yang akibat pernyataannya harus menanggung risiko penindakan disiplin oleh atasannya di Polri?" tukas Umar. "Lebih dari itu, ia juga bisa dibenci koleganya, jenderal-jenderal di jajaran Polri?"

"Soal itu tergantung pada penyikapan Susno!" tegas Amir. "Kalau tindakannya itu disikapi sebagai pelampiasan sentimen pribadi, akibatnya akan dia terima sebagai risiko pribadi! Tapi kalau ia lakukan itu demi kepentingan publik, berarti dia menyiapkan dirinya sebagai martir! Sejarah kelak yang membuktikan, ini hanya soal sentimen atau Susno memang seorang martir!"
Selanjutnya.....

Obama 'ad Portas'! 'Sami'na wa Ato'na'!


"UCAPAN Hannibal ad Portas--bahasa Latin--yang berarti Hannibal di pintu gerbang, menakutkan warga Kota Roma era 218 SM--203 SM," ujar Umar. "Waktu itu, Hannibal dari Karthago merebut sejumlah wilayah taklukan dengan menghabisi tentara Romawi! Sisanya kocar-kacir lari kembali ke Kota Roma membawa kisah mengerikan itu!"

"Tapi sebenarnya, Hannibal tak pernah sampai ke gerbang Kota Roma! Warga Kota Roma ketakutan hanya dari mendengar ceritanya!" sambut Amir. "Cerita sama ngerinya dibawa ribuan warga sipil pelarian dari Afghanistan dan Irak, yang kini banyak jadi tahanan imigrasi negeri kita! Betapa kejam tentara Amerika yang mengagresi kedua negara itu, ratusan ribu warga sipil terbunuh!""


"Mungkin itu alasannya, ketika penguasa Amerika Serikat akan berkunjung ke negeri kita, sebagian warga bangsa kita parade di jalan-jalan memberi isyarat kewaspadaan, Obama ad Portas!" tegas Umar. "Berlebihankah mereka? Bisa dinilai begitu jika dilihat dari iktikad baik Obama untuk menjalin persahabatan dengan dunia Islam, dengan salah satu bukti telah dibuka kembali Kedutaan Besar AS di Damaskus! Tak berlebihan juga jika diingat janji Obama akan menarik pasukan Amerika dari Irak dan Afghanistan, tapi yang dilakukan justru menambah ribuan tentara baru di Afghanistan!"

"Itu dia! Cukup alasan bagi berbagai pihak di negeri kita untuk menyambut Obama dengan cara dan gaya masing-masing!" timpal Amir. "Semua itu justru harus dihormati, terutama oleh pihak yang bersolek menyambut kunjungan Obama, sebagai realitas kemajuan demokrasi di negeri kita! Jika isyarat kewaspadaan itu dinilai positif, hasilnya juga akan positif--para pemimpin bangsa kita tak lepas kendali bertekuk lutut total, hingga menjadikan Indonesia negara bagian ke 51 dari Amerika Serikat! Setiap ucapan Obama diterima sebagai perintah, lalu disambut dengan sami'na wa ato'na--titahkan, kami laksanakan!"

"Artinya, di lain pihak, tak perlu bersolek secara berlebihan pula, apalagi menilai Obama sebagai segalanya!" tegas Umar. "Misal dalam kerja sama memberantas teroris, kita harus keukeuh dengan cara kita menanganinya secara teliti memburu hanya orang-orang yang terlibat, menolak cara AS memburu tikus dengan membakar rumahnya, seperti di Irak dan Afghanistan!"

"Tepatnya, kita hormati iktikad baik Obama untuk membina persahabatan dengan dunia Islam!" tegas Umar. "Tapi iktikad saja tak cukup! Lebih penting implementasinya, lebih netral dalam konflik Arab-Israel, bersungguh-sungguh mencari jalan damai di Irak dan Afghanistan! Buktikan dirinya layak menerima Nobel Perdamaian!"
Selanjutnya.....

Anak Cacingan Dibawa Berobat ke Dokter Hewan!


DOKTER hewan kedatangan seorang ibu untuk mengobati anaknya yang cacingan. "Maaf, Bu! Dokter hewan tak boleh mengobati manusia!" jelasnya. "Bawa saja ke puskesmas!"

"Cacing kan hewan! Dokter hewan lebih tepat!" kilah ibu. "Pernah ke puskesmas, cacingnya cuma mati tiga ekor! Perutnya justru tambah buncit!"

"Pengobatan manusia begitu, pertama diberi obat ringan! Lalu bertahap ditingkatkan sampai cacing habis!" jelas dokter. "Kalau langsung diberi obat keras justru anak ibu yang tak tahan! Apalagi obat cacing mengandung zat yang mematikan makhluk hidup! Jadi ibu harus rajin ke puskesmas! Soal perutnya terus tambah buncit, bisa jadi ada telur cacing baru dari tanah menempel di kukunya saat bermain! Telur itu masuk perut waktu makan!""


"Jadi itu tujuan gerakan nasional cuci tangan buat anak-anak? Agar telur cacing tak masuk perut!" tukas ibu. "Semula kukira itu gerakan politis! Seperti gerakan nasional lainnya!"

"Ibu ada-ada saja!" timpal dokter. "Cuci tangan dikira gerakan politis!"

"Bukankah karena kurang pintar cuci tangan banyak pejabat dan politisi dipenjara kena kasus korupsi?" tukas ibu. "Coba pandai cuci tangan sampai betul-betul bersih, dibuatkan topan-lisus (pansus) pun mengusutnya tak bisa ditemukan telur cacing di kuku tangan koruptor! Aliran dananya terputus secara misterius, tak bisa dilacak ujungnya!"

"Itu karena pansus dalam menangani kasus mirip dokter hewan diminta menangani manusia, kewenangannya dibatasi cuma bisa sebatas saran ke pihak yang semestinya, seperti yang kuberikan pada ibu!" timpal dokter. "Tak bisa menangani langsung, padahal diagnosisnya perlu scanning untuk kemudian pembedahan! Kewenangan pansus dibatasi, seperti dokter hewan tak boleh melakukan pada manusia!"

"Maka itu, dengan gerakan nasional cuci tangan yang sudah dibiasakan sejak anak-anak, masa depan korupsi di negeri kita akan semakin sukar didiagnosis, apalagi disembuhkan!" tegas si ibu. "Contohnya, seiring klaim pemerintah meraih kemajuan pesat dalam memberantas korupsi, dengan ukuran meningkatnya jumlah kasus yang ditindak, justru lembaga peneliti internasional PERC--Political and Economic Risk Consultancy--menempatkan Indonesia negara terkorup di Asia-Pasific! Itu seperti cacing di perut anakku diobati di Puskesmas mati beberapa ekor, tapi telur cacing baru masuk lebih banyak hingga perutnya tambah buncit!"

"Lembaga peneliti itu mengingatkan, korupsi yang ditindak terlalu kecil artinya dibanding gejala korupsi yang meruyak!" timpal dokter.

"Lebih parah lagi," tukas ibu, "korupsi kian sukar diungkap karena pelaku lebih pintar cuci tangan!"
Selanjutnya.....

Konflik Terbuka Mendelegitimasi Antarblok Politik!


"KONFLIK semakin terbuka antara kekuatan politik Blok (opsi) A dengan Blok (opsi) C," ujar Umar. "Setelah kemenangan Blok C dalam voting angket Century di DPR, dalam satu serangan balik Blok A, 19 anggota DPR 2004--2009 dari PDIP terjerat kasus suap pemilihan deputi senior gubernur BI!"

"Itu melangkapi serangan Blok A di masa kerja Pansus, soal tunggakan pajak ke arah Golkar, dan L/C fiktif ke arah PKS!" sambut Amir. "Intinya, saling mendelegitimasi lawan politik! Hasil voting Century mendelegitimasi Blok A yang berkuasa dengan menyebut 'ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan pemberian dana talangan dan fasilitas pendanaan jangka pendek untuk Bank Century', serangan baliknya mendelegitimasi PDIP dengan 19 anggota DPR fraksinya terlibat suap!"


"Lantas apa yang diperoleh rakyat dari konflik terbuka antarblok politik itu?" potong Umar.

"Rakyat mendapat kesan, tak ada blok politik yang benar-benar bersih!" tegas Amir. "Semua blok berusaha keras membuktikan politik itu kotor!"

"Jika Blok C kini cenderung defensif atas serangan Blok A, apa mungkin Blok C membangun serangan baru dengan melanjutkan hasil angket Century menuju pernyataan pendapat DPR?" tanya Umar.

"Kemungkinan itu selalu ada!" jawab Amir. "Tapi kuorum untuk itu tiga per empat jumlah anggota dan usulan disetujui oleh tiga per empat yang hadir, layak membuat mereka tidak buru-buru! Apalagi dari kubu Blok C, Ketua Golkar Prio Budi Santoso sudah menyatakan, kalau menuju pemakzulan Golkar tak ikut!"

"Berarti, Blok C akan lebih banyak defensif karena komposisi untuk serangan baru belum memadai?" tukas Umar. "Jika serangan baru Blok A bertubi-tubi, Blok C akhirnya bisa kalah telak!"

"Blok A yang sedang berkuasa, dengan diskresi (kewenangan efektif) luas dan besar, dalam konflik jeblos-jeblosan memang di atas angin, unggul dalam segala hal!" tegas Amir.

"Namun, dengan inti konfliknya delegitimasi lawan politik, jika hasil hak angket yang negatif bagi Blok A itu tak ditindaklanjuti, proses delegitimasi akibat pembusukan politiknya berkepanjangan! Lain hal jika dilanjutkan dengan final kemenangan Blok A, pembusukan itu terhenti dan baunya hilang!"

"Berarti, seyogianya Blok A yang berkepentingan melanjutkan proses hak angket itu!" timpal Umar. "Tapi, akibat trauma babak belur di hak angket, justru Blok A yang mengganjal kelanjutannya--tak peduli proses delegitimasinya berkepanjangan! Sebab, dengan diskresi Blok A yang luas dan besar bisa membuat lawan jadi lebih busuk, akhirnya rakyat akan tutup hidung dari yang terbusuk!"
Selanjutnya.....

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan!

"PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010 tentang Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dipimpin Wakil Presiden Boediono!" ujar Umar. "Menurut Menko Kesra Agung Laksono, dengan bekerjanya tim tersebut di bawah pengawasan Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, dalam empat tahun sampai 2014 akan dientaskan dari kemiskinan 16 juta orang!" (Kompas, [12-3])

"Selamat dan sukses buat Tim Perpres 15!" sambut Amir. "Betapa mulia tugas mengentaskan belasan juta orang dari derita tak berkesudahan di lembah kemiskinan, mencapai kehidupan sejahtera yang sebelumnya dalam impian saja tak mudah mencapai gambaran yang jelas! Untuk itu, wajar kita harapkan semua pihak mendukung kerja tim tersebut, serta jangan coba-coba cari keuntungan pribadi apalagi korupsi dalam pelaksanaannya!"

"Optimis sekali kau pada Perpres itu?" tukas Umar.

"Jelas, dong!" entak Amir. "Jika 16 juta orang dalam empat tahun, berarti setahun empat juta orang! Setiap bulan sekitar 330 ribu orang, dibagi 33 provinsi rata-rata setiap bulan 10 ribu orang atau setiap hari minimum 330 orang per provinsi! Diangkut truk colt diesel dengan berdiri seperti buruh di Lampung pergi dan pulang kerja, per truk memuat 30 orang, berarti setiap hari 11 truk warga dientaskan dari kemiskinan di setiap provinsi! Dahsyat, kan?"

"Tapi bayangkan itu terjadi di provinsi kita, pakai apa 11 truk orang dientaskan dari kemiskinan setiap hari itu?" tanya Umar. "Untuk dibawa mandi air panas di Natar saja setiap hari 11 truk warga miskin belum tentu bisa terlaksana! Apalagi mengangkatnya mentas dari kemiskinan!"

"Ah, kau terlalu negative thinking!" entak Amir. "Positive thinking, dong! Bahwa jika pemerintah menghendaki, apa pun bisa terjadi!"

"Justru positive thinking itu yang realistis, masuk akal!" tegas Umar. "Sebab, dengan menciptakan lapangan kerja untuk mengentaskan kemiskinan, tak bisa sembarang lapangan kerja! Buruh tani misalnya, jenis pekerjaan ini kurang berhasil mengentaskan warga dari kemiskinan! Sedang untuk meniptakan lapangan kerja buruh pabrik yang pas-pasan (pada garis kemiskinan), untuk 330 orang itu berarti setiap hari selama empat tahun setiap provinsi meresmikan satu pabrik dengan investasi Rp10 miliar--Rp20 miliar!"

"Itung-itunganmu itu cuma memperumit pikiran warga miskin!" timpal Amir. "Padahal, dengan membesarkan hati warga miskin saja sudah dapat kebaikan! Maka itu, jangan ubah harapan indah menjadi harapan muluk yang hampa!"
Selanjutnya.....

Konflik Terbuka Mendelegitimasi Antarblok Politik!


"KONFLIK semakin terbuka antara kekuatan politik Blok (opsi) A dengan Blok (opsi) C," ujar Umar. "Setelah kemenangan Blok C dalam voting angket Century di DPR, dalam satu serangan balik Blok A, 19 anggota DPR 2004--2009 dari PDIP terjerat kasus suap pemilihan deputi senior gubernur BI!"

"Itu melangkapi serangan Blok A di masa kerja Pansus, soal tunggakan pajak ke arah Golkar, dan L/C fiktif ke arah PKS!" sambut Amir. "Intinya, saling mendelegitimasi lawan politik! Hasil voting Century mendelegitimasi Blok A yang berkuasa dengan menyebut 'ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan pemberian dana talangan dan fasilitas pendanaan jangka pendek untuk Bank Century', serangan baliknya mendelegitimasi PDIP dengan 19 anggota DPR fraksinya terlibat suap!"

"Lantas apa yang diperoleh rakyat dari konflik terbuka antarblok politik itu?" potong Umar.


"Rakyat mendapat kesan, tak ada blok politik yang benar-benar bersih!" tegas Amir. "Semua blok berusaha keras membuktikan politik itu kotor!"

"Jika Blok C kini cenderung defensif atas serangan Blok A, apa mungkin Blok C membangun serangan baru dengan melanjutkan hasil angket Century menuju pernyataan pendapat DPR?" tanya Umar.

"Kemungkinan itu selalu ada!" jawab Amir. "Tapi kuorum untuk itu tiga per empat jumlah anggota dan usulan disetujui oleh tiga per empat yang hadir, layak membuat mereka tidak buru-buru! Apalagi dari kubu Blok C, Ketua Golkar Prio Budi Santoso sudah menyatakan, kalau menuju pemakzulan Golkar tak ikut!"

"Berarti, Blok C akan lebih banyak defensif karena komposisi untuk serangan baru belum memadai?" tukas Umar. "Jika serangan baru Blok A bertubi-tubi, Blok C akhirnya bisa kalah telak!"

"Blok A yang sedang berkuasa, dengan diskresi (kewenangan efektif) luas dan besar, dalam konflik jeblos-jeblosan memang di atas angin, unggul dalam segala hal!" tegas Amir.

"Namun, dengan inti konfliknya delegitimasi lawan politik, jika hasil hak angket yang negatif bagi Blok A itu tak ditindaklanjuti, proses delegitimasi akibat pembusukan politiknya berkepanjangan! Lain hal jika dilanjutkan dengan final kemenangan Blok A, pembusukan itu terhenti dan baunya hilang!"

"Berarti, seyogianya Blok A yang berkepentingan melanjutkan proses hak angket itu!"
timpal Umar. "Tapi, akibat trauma babak belur di hak angket, justru Blok A yang mengganjal kelanjutannya--tak peduli proses delegitimasinya berkepanjangan! Sebab, dengan diskresi Blok A yang luas dan besar bisa membuat lawan jadi lebih busuk, akhirnya rakyat akan tutup hidung dari yang terbusuk!"

Selanjutnya.....

Overekspos, Membuat Teroris Jadi 'Familiar'!


"OVEREKSPOS--pemberitaan yang berlebihan--atas teroris bisa berakibat warga imun, teroris menjadi masalah biasa--terasa 'familiar' (tak asing lagi)--seperti masalah kehidupan sehari-hari lainnya!" ujar Umar. "Tak beda dengan tayangan kekerasan yang berlebihan, membuat orang merasa terbiasa dengan kekerasan, hingga tak lagi membuatnya merasa ngeri atau takut! Kemudian, kekerasan jadi kebiasaan, bahkan dijadikan sebagai cara menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan!"

"Rasa 'familiar' warga terhadap teroris--dan kekerasan yang dilakukannya--menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa!" timpal Amir. "Apalagi dengan kecenderungan yang terjadi atas Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra, dan terakhir Dul Matin, kedatangan jenazahnya di kampung disambut sebagian warga dengan spanduk yang mengelu-elukannya sebagai mujahid--pejuang kebenaran! Di lain pihak, warga lainnya termasuk aparat, membiarkan hingga terkesan hal itu soal biasa!""


"Bisa jadi ancaman, karena selain teroris jadi hal yang kian tak menyeramkan lagi, istilah unik yang dipakai dibumbui penafsiran surgawi, juga mudah menyesatkan warga yang lugu--pengetahuannya terbatas!" tegas Umar. "Dari arakan menyambut jenazah Amrozi-Mukhlas dan Imam Samudra terlihat, simpatisan mereka ramai juga! Siapa bisa menjamin di antara simpatisan itu tak ada yang mengidolakan teroris, ingin mati seperti itu?"

"Lebih celaka lagi itu dilumasi ide-ide universal, semisal munculnya penilaian, penembakan mati teroris melanggar HAM--hak-hak asasi manusia!" timpal Amir. "Lewat wacana universal itu, bahkan warga yang merupakan korban terorisme, bisa terpancing dan terjebak Stockholm Syndrom--korban berpihak ke teroris penyanderanya!"

"Kesan teroris kian tak menyeramkan juga bisa merebak dari ditampilkannya di televisi mantan teman-teman teroris yang telah insyaf kembali ke masyarakat--terbukti mereka tidak menakutkan dan diterima warga tempat tinggalnya!" tegas Umar. "Ini sebanding dengan yang ditangkap Densus 88, sebelum jadi teroris ternyata mereka juga warga yang biasa-biasa saja--contohnya Heru dan Sule, cuma dagang kopiah dan sajadah di Pasar Way Jepara, Lampung Timur!"

"Karena itu, dengan realitas overdosis tayangan teroris justru telah menjadi kebutuhan informasi warga, perlu disiasati agar kesan menyeramkan dan menakutkan teroris tidak luntur!" tukas Amir. "Jangan seperti narkoba, tanpa disadari merebak dalam sekali di masyarakat, seiring pasokan dari jaringan internasional yang deras pula!"

Selanjutnya.....

Terlambat Lapor Anak Lahir-Mati Didenda Sejuta!


“WARGA desa seberang kok jadi sok kota!” entak Temin. “Ditanya mana rumah adik temanku yang belum lama ini anaknya meninggal saat lahir mereka jawab tauk! Tauk! Dan tauk!”

“Mungkin karena gayamu bertanya seperti intel, atau informan, warga jadi takut!” sambut Temon.

“Kenapa takut?” timpal Temin. “Apa ada teroris?”

“Sama cekaman ketakutannya jika melihat orang seperti intel atau berpakaian PNS! Lebih-lebih menanya soal kematian!” tegas Temon.

“Kalau sampai salah ngomong pada intel dan PNS soal kematian bisa disesalkan seumur hidup oleh keluarga yang dapat kemalangan!”"


“Kenapa jadi seseram itu?” entak Temin. “Karena polisi dan PNS ditugasi sebagai penyidik dalam UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil!” jelas Temon. “UU itu menetapkan, jika terlambat melaporkan (lewat 30 hari) anak lahir mati (Pasal 33) atau kematian lain (pasal 44), keluarganya didenda (pasal 90) satu juta rupiah!”

“Orang kemalangan didenda sebanyak itu?” entak Temin. “Sungguh tak berperikemanusiaan! Bagi pejabat negara atau anggota DPR pembuat UU uang sejuta kecil! Tapi bagi warga melarat, seperti kebanyakan warga desa seberang yang seumur hidup ada yang belum pernah melihat uang satu juta, jelas denda itu merupakan beban amat berat! Apalagi baru dapat musibah!”

“Bagi politisi pembuat UU mungkin aturan itu sepenting arti pencatatan anak lahir mati!” timpal Temon. “Kelahiran bayi mati itu menunjukkan tingkat kesejahteraan rakyat amat rendah, bayi masih dalam kandungan saja sudah kekurangan gizi! Selama ini banyak kelahiran mati yang tak dilaporkan dan dicatat, angkanya jadi sangat rendah sehingga pemerintah mengklaim sukses menyejahterakan rakyat! Padahal, realitasnya kematian bayi masih tinggi, bukti kegagalan pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat!”

“Tujuan itu memang penting agar peningkatan kesejahteraan rakyat tak cuma dalam retorika!” tegas Temin. “Tapi, sanksi administratifnya pada rakyat tidaklah harus seberat itu! Sampai rakyat ketakutan, ditanya jawabnya tauk melulu!”

“Mungkin sanksinya dibuat berat agar warga tak anggap enteng pentingnya melaporkan kepada RT kematian keluarganya!” ujar Temon. “Lagi pula, sesuai Ketentuan Peralihan (Pasal 101), UU itu baru berlaku setelah pemerintah memberikan NIK (nomor induk kependudukan) kepada setiap penduduk paling lambat lima tahun.”

“Ketentuan peralihan itu bisa saja disembunyikan petugas!” tegas Umar. “Itu perlu diingatkan, agar rakyat--yang buta hukum--tak jadi korban!”
Selanjutnya.....

Tidak Perlu Lagi Jaga Popularitas, TDL Dinaikkan!


"PEMERINTAH mulai Juli menaikkan tarif dasar listrik (TDL) 15 persen untuk semua golongan!" ujar Umar. "Dirut PLN Dahlan Iskan menyatakan tarif listrik domain pemerintah, PLN ikut saja!"

"Meski banyak pihak menolak kenaikan tersebut dengan berbagai alasan, sebenarnya sudah tujuh tahun TDL tak disesuaikan!" timpal Amir. "Padahal, dalam masa itu total inflasi sudah 40-an persen, sehingga subsidi listrik pada APBN juga terus naik sebanding! Di sisi lain, akibat reduksi nilai riil penerimaan dan terus naiknya subsidi, banyak sisi operasional ditekan hingga pelayanan pelanggan merosot! Byarpet dalam skala nasional, tanpa kecuali Jabodetabek, terjadi setahun terakhir!"


"Karena krisis listrik dirasakan seisi keluarga, anak kecil juga tahu kondisi pelistrikan nasional jadi buruk setelah tujuh tahun TDL tak disesuaikan, akibat TDL juga dijadikan alat make up wajah kekuasaan!" tegas Umar. "Artinya, setelah tak lagi diperlukan untuk menjaga popularitas, TDL bisa disesuaikan kembali secara bertahap!"

"Dari situ terlihat, sistem ekonomi Indonesia bazar komando--harga diatur sesuai kepentingan komandan--yang berkuasa!" timpal Amir. "Bazar terlihat pada sistem amal, pemberian berdasar belas kasihan penguasa seperti lewat BLT, bukan sistem yang menumbuhkan kemampuan bersaing dengan peningkatan kesejahtearan rakyat seperti lazimnya sistem ekonomi ideal!"

"Penaikan TDL bukan semata karena tak lagi diperlukan sebagai pilar popularitas penguasa!" tukas Umar. "Tapi karena tidak dilakukannya penyesuaian TDL selama tujuh tahun, mutu pelayanan listrik terus merosot, memicu krisis listrik berskala nasional yang justru menjadi faktor delegitimasi pada kekuasaan--ngurus listrik aja kagak becus--makin lama listriknya kian jelek!"

"Itu pokok masalahnya jika muncul penolakan kenaikan TDL!" tegas Amir. "Sebab ironis, kenaikan TDL dilakukan saat pelayanan jeblok! Pelanggan diwajibkan membayar lebih mahal atas mutu produk yang lebih buruk!"

"Untuk itu, karena sukar memulihkan degradasi kualitas sepanjang tujuh tahun dalam waktu tersisa 3,5 bulan hingga Juli, sedang APBN sudah sampai batasnya untuk meyangga peningkatan subsidi, pihak pelanggan yang sudah tujuh tahun menikmati penjagaan popularitas penguasa dengan tidak menaikkan TDL, kali ini layak untuk mengalah!" timpal Umar. "Anggap saja kenaikan 15 persen itu rapel kenaikan yang tertunda! Sebaliknya, PLN harus meningkatkan mutu produk dan pelayanan, agar pelanggan mendapatkan setara kenaikan TDL!"

"Pelanggan sebagai warga negara selalu siap menerima bukti, bukan janji!" tegas Amir. "Meski, buktinya lebih buruk dari harapan!"

Selanjutnya.....

PERC, Indonesia Negara Terkorup di Asia-Pasifik!

"HASIL riset lembaga PERC--Political and Economic Risk Consultancy--menempatkan Indonesia negara terkorup di Asia-Pasifik!" ujar Umar. "Riset yang dirilis di Hong Kong, Senin (8-3-2010) itu dilakukan terhadap pelaku bisnis di 16 negara kawasan tersebut, menempatkan Kamboja, Vietnam, dan Filipina--yang sebelumnya masuk terkorup di dunia--di urutan berikutnya!" (Metro TV, [9-3-2010])

"Riset PERC itu bukan atas fakta-fakta di lapangan, melainkan kumpulan dari persepsi para pelaku bisnis!" sambut Amir. "Namun demikian tetap saja, pengumuman hasil riset itu menohok telak, sebab kemajuan yang dicapai dalam pemberantasan korupsi di negeri kita belum mampu mengubah persepsi para pelaku bisnis untuk menempatkan iklim berusaha di Indonesia lebih baik dari negara-negara sekawasan!"

"Itu berarti, klaim para petinggi kita telah berhasil memperbaiki iklim usaha baru sebatas retorika, sedang arti efektifnya belum bisa dirasakan para pelaku bisnis, terutama level multinasional!" tegas Umar. "Kenyataan itu jelas amat memedihkan hati kita! Karena, dalam prakteknya selama ini--dilihat dari sisi warga kita--justru para pelaku bisnis multinasional itu telah cukup dimanjakan oleh pemerintah! Di sektor pertambangan lebih 90 persen dikuasai asing, sedang di sektor retail telah meresahkan pelaku bisnis lokal di bidang sejenis!"

"Dengan begitu, hasil riset PERC itu mendesak kita berpikir lebih jernih! Di satu sisi, kemanjaan

pada pelaku bisnis asing yang telah meresahkan hingga kita labeli dengan neoliberalisme itu, ternyata masih belum cukup memuaskan mereka!" timpal Amir. "Hal itu bisa saja terjadi karena di sisi lain, dengan kesempatan yang diberikan seluas itu mereka sebenarnya cuma lebih capek bekerja, tapi hasilnya lebih dinikmati kalangan tertentu dalam sistem politik dan ekonomi lokal! Kalau benar seperti itu, menjadi layak meski mereka diberi konsesi tapi tetap tak segan-segan menyatakan negeri ini terkorup di kawasan Asia-Pasifik!"

"Kalau benar begitu, jelas hanya jika para pelaku bisnis asing itu mau buka kartu tentang praktek korupsi yang mereka hadapi untuk dibersihkan, barulah usaha pemberantasan korupsi yang kita lakukan bisa memuaskan mereka!" tegas Umar. "Tapi kalau mereka hanya mau mengungkap pada riset tapi tak berani mengungkap secara terbuka karena takut kehilangan ajang bisnis, akan terlalu sulit bagi kita membuktikan persepsi mereka!"

"Hambatan logis buat mereka untuk buka-bukaan justru UU Antikorupsi, yang menjerat pemberi dan penerima!" tukas Amir. "Ketimbang jadi tersangka korupsi, lebih enak jadi kuda tunggangan!"

Selanjutnya.....

Kelompok Teroris Jaringan Al Qaeda Muncul di Aceh!


"KELOMPOK teroris yang tak ada kaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) muncul di Nangroe Aceh Darussalam, tepatnya di sekitar kaki Gunung Seulawah meliputi Kabupaten Aceh Besar dan Pidie!" ujar Umar. "Tak ada kaitan dengan GAM itu dipastikan Kapolri Bambang Hendarso Danuri, Kepala Desk Teroris Polhukam Ansyad Mbai, dan mantan humas GAM Sofyan Dawood!"

"Kepastian itu penting agar masyarakat tak salah paham!" sambut Amir. "Dari 19 teroris yang tertangkap--tiga di antaranya tewas tertembak- di lokasi pengepungan maupun di sekitar Jakarta, bukan warga setempat! Empat orang ditangkap di Padang Tiji, Pidie, dua asal Karawang dan lainnya asal Bau Bau dan Jakarta!" (Kompas, [8-3-2010])"


"Hal penting berikutnya, pernyataan pengamat ahli terorisme, kelompok yang muncul di Aceh itu Jemaah Islamiyah, jaringan yang dikendalikan langsung Al Qaeda!" tegas Umar. "Jadi jaringan teroris internasional! Menurut para pengamat, kelompok ini jauh lebih berbahaya dari Noordin M. Top yang bermain solo! Terutama, kata Ansyad Mbai, operasinya dekat jalur pelayaran internasional Selat Malaka!" (Metro TV, [8-3-2010])

"Rasa simpati kita sampaikan kepada warga Aceh, yang belum lama menikmati perdamaian, kini daerahnya dikacau lagi oleh orang-orang dari luar daerahnya!" timpal Amir. "Dua warga tewas kena peluru nyasar saat kontak senjata mengepung lokasi teroris itu pekan lalu! Dari senjata yang disita polisi juga diketahui, kelompok teroris itu menggunakan persenjataan canggih, M-16 dan AK-47. Dengan persenjataan secanggih itu, warga sipil yang paling terancam selain peluru nyasar, juga balas dendam kelompok teroris yang dengan mudah menuduh warga membantu polisi!"

"Karena itu, kecermatan polisi dalam menjalankan tugas amat diharapkan dengan pengutamaan fungsinya mengayomi warga!" tegas Umar. "Tak bisa disamakan dengan semasa penumpasan GAM, warga dicurigai bahkan diintimidasi dengan sangkaan bekerja sama dengan GAM! Kali ini yang dihadapi kelompok teroris dari luar Aceh, jadi intimidasi serupa harus dihindarkan! Sebaliknya, warga Aceh harus dipandang sebagai korban yang terancam dari pengacauan teroris!"

"Selain itu, karena yang dihadapi jaringan teroris internasional, Densus 88 dan satuan polisi lainnya yang bertugas menumpas diharapkan bisa bekerja efektif agar kelompok ini tak sampai lolos dan menyebar ke daerah lain!" timpal Amir. "Jika sampai lolos dan menyebar, negeri kita bisa jadi seperti Pakistan yang diobok-obok jaringan Al Qaeda, peledakan bom terjadi nyaris setiap hari mengorbankan banyak warga sipil!""
Selanjutnya.....

Pasca-Pansus, 'Decoupling' Kabinet-DPR!


"PETA politik nasional pasca-Pansus Century akan berubah signifikan. Hubungan kabinet-DPR, dari sebelumnya coupling--terikat satu irama--dengan koalisi mayoritas di DPR mendukung kabinet, kini jadi decoupling--tak seirama lagi!" ujar Umar. "Ibaratnya, kabinet memainkan musik jazz, DPR main dangdut atau bahkan rock!"

"Tapi hal itu diperkirakan tak lama, mungkin hanya sepanjang proses tindak lanjut putusan DPR tentang kasus Century!" sambut Amir. "Usai itu, jika presiden tak me-reshuffle kabinet, biduk lalu kiambang bertaut! Lain hal kalau presiden mengeluarkan menteri-menteri dari PKS, Golkar, dan PPP, sehingga mayoritas lebih 300 kursi DPR dikuasai oposisi terbuka, tidak ada lagi kaitan kepentingan terselubung dengan pemerintahan, DPR kembali menjadi teater adu kepentingan yang tajam pada setiap hal yang diajukan pemerintah!""


"Decoupling kabinet--DPR yang dipertegas dengan reshuffle kabinet, untuk politik jangka panjang amat menguntungkan partai-partai di kubu oposan dengan peluang kritis maksimal yang mereka dapatkan!" tegas Umar. "Konsekuensinya, peralihan dari partai koalisi ke oposan itu sama dengan kehilangan kekuasaan atas sumber dana partai--sebagaimana diasumsikan selama ini!"

"Seberapa besar dana partai bisa diperoleh dari penempatan kader partai di kabinet, sebenarnya merupakan ihwal misterius! Apalagi, gaji menteri lebih kecil dari anggota DPR, sedang dari korupsi mustahil dilakukan!" timpal Amir. "Lebih masuk akal jika menerapkan secara profesional sistem keanggotaan stelsel aktif perorangan, dengan setiap pemegang kartu anggota wajib membayar iuran bulanan! Lewat iuran itu jadi kewajiban mutlak setiap anggota legislatif dan pengurus partai memperjuangkan kepentingan anggota!"

"Lewat mekanisme iuran itu kewajiban elite partai pada konstituen tak bisa ditawar-tawar, apalagi sekadar ditukar dengan kepentingan eksekutif seharga pelesiran studi banding!" tegas Umar. "Di basis, para pengurus partai menjadi bagian perjuangan hidup sehari-hari konstituen! Temasuk perjuangan kepentingan konstituen di legislatif daerah! Jadi, bukan hanya menjelang pemilu partai mengunjungi konstituen!"

"Jika hal itu bisa dilakukan di seluruh basisnya seantero negeri, menjadi terlalu kecil arti sumber dana partai dari kekuasaan seorang menteri!" timpal Amir. "Di sisi lain, partai juga semakin bisa diandalkan sebagai sarana perjuangan hidup bagi rakyat! Di legislatif semua tingkat, elite partai tak bisa mengelak dari bekerja lebih profesional dalam orientasinya pada kepentingan konstituen khususnya, dan kepentingan rakyat umumnya! Dengan begitu, reshuffle kabinet dan jadi oposisi terbuka, siapa takut?"
Selanjutnya.....

'Bailout' itu Kebijakan atau Kebijaksanaan?


"SENIN pagi, polisi membuka satu lajur sebelah kanan tol Tangerang menuju Tomang di jalur melawan arus! Secara formal, melawan arus itu melanggar hukum!" ujar Umar.

"Sementara para kepala daerah yang menjalankan instruksi pusat membeli mobil pemadam kebakaran (damkar) dipenjarakan! Tak peduli, di tahun itu kebakaran (terutama hutan) merebak dan damkar berguna! Apa rasionalitas di balik kedua kontroversi itu?"

"Guru besar FHUI Hikmahanto Djuwana (Kompas, 27-1-10) membedakan kebijaksanaan (discretion) dan kebijakan (policy). Polisi membuka lajur yang melawan arus itu dia golongkan kebijaksanaan, penggunaan kewenangan yang dimiliki dalam tugasnya! Pelanggaran hukum yang dilakukan dibenarkan demi kemaslahatan publik!" jawab Amir.

"Sedang para kepala daerah dipenjara, karena di balik kebijakan pusat itu ada juragan damkar yang diperkaya dengan harga barangnya jauh lebih mahal dari semestinya!"


"Lantas, bailout Bank Century itu masuk kebijakan atau kebijaksanaan?" tanya Umar.

"Berdasar penyataan berkali-kali Presiden SBY dan hasil akhir Pansus Hak Angket DPR, bailout itu digolongkan kebijakan!" jawab Amir. "Seperti kasus damkar ada juragan diperkaya, dalam bailout juga ada juragan diberi kesempatan merampok (istilah Jusuf Kalla) uang negara dari guyuran dana talangan! Ini diketahui dari hasil audit investigasi BPK dan penyelidikan pansus!"

"Tapi dari berbagai pernyataan presiden kayaknya ada terpeleset lidah!" timpal Umar.

"Deskripsinya tentang bailout mengacu itu kebijaksanaan, tapi ia sendiri selalu
menyebutnya kebijakan!"

"Perbedaan kebijakan dengan kebijaksanaan tipis sekali, deskripsinya bisa overlapping! Karena, keduanya sama-sama memakai kewenangan yang dimiliki dalam tugas!" sambut Amir. "Bedanya, kebijakan menjalankan kewenangan tetap dalam koridor aturan dengan prakondisi dan tujuan yang tidak bias! Sedangkan kebijaksanaan justru lazim dimaksudkan sebagai kewenangan untuk mengesampingkan aturan demi kepentingan yang lebih nyata bagi kemaslahatan publik!"

"Berarti, meski tujuan bailout jelas seperti yang dideskripsikan presiden, kelemahan tampak pada prakondisinya sejak pemberian FPJP--fasilitas pinjaman jangka pendek--di mana kewajiban CAR positif 8 persen sebenarnya tak bisa dipenuhi, tapi justru Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai dasar ketentuan itu yang diganti, dengan syarat asal CAR-nya positif!" tegas Umar. "Informasi berbau moral hazard itu layak diasumikan telah diketahui KSSK sebagai prakondisi kebijakan bailout! Jika tak diketahui, bisa dianggap lalai--seperti kelalaian sopir bus yang menabrak, tetap harus dipertanggungjawabkan secara hukum!"

Selanjutnya.....

Wapres Boediono Menolak Mundur!


"SETELAH Presiden SBY, Kamis malam, menyatakan kebijakan bailout Bank Century sudah tepat untuk menyelamatkan ekonomi nasional dari dampak krisis global, Boediono, Jumat, menyatakan tidak akan mundur dari jabatan Wapres!" ujar Umar. "Tiga alasan Boediono: Ia tak mau dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang lari dari tanggung jawab! Tak mau melecehkan rakyat yang telah memberi suara (memilihnya dalam pilpres). Dan, tak akan mengkhianati kepercayaan Presiden dan meninggalkannya!"

"Alasan Boediono itu rasional!" sambut Amir. "Masalahnya, kalau ia tak mau mundur atas kesadaran sendiri, apakah mungkin ia dipaksa mundur dengan mekanisme konstitusional lewat proses pemakzulan?"

"Kemungkinan melengserkan Boediono terlalu kecil peluangnya!" tegas Umar. "Pada langkah awalnya dengan skor voting skandal Century 325 lawan 212, usaha oposisi melanjutkan keputusan DPR terkait hak angket Bank Century dengan memproses pengeluaran pernyataan pendapat DPR terkesan tidak sulit. Tentu, kalau kekuatan oposisi itu bisa terkonsolidasi! Bahkan seandai Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan kelanjutan gugatan DPR ke MPR! Di lembaga tertinggi negara ini, ketika DPR dan DPD digabung, tak mudah meraih kuorum 3/4 dari 692 anggota MPR! Belum lagi dengan 2/3 dari anggota MPR yang hadir harus menyetujui voting pemakzulan!"


"Kenapa kuorum dan hasil voting MPR menurut kamu sukar tercapai?" kejar Amir.

"Karena, meski anggota DPD sekarang sudah diisi kader partai, kekuatan nonpartisan cenderung masih dominan!" tegas Umar. "Itu berarti, gejala di DPR tak mudah dilanjutkan di MPR! Lebih lagi, para senator kita--anggota DPD--tak terkelompok dalam fraksi-fraksi seperti di DPR, lobi terhadap orang per orang yang tanpa ikatan disiplin kepada partai, diperkirakan bisa lebih mudah!"

"Belum tentu! Para senator yang harus menjaga dukungan suara rakyat secara langsung terhadap dirinya pada pemilu mendatang, bisa lebih alot dilobi!" timpal Amir. "Kalau saya, justru MK yang mungkin sulit meloloskan usaha pemakzulan! Alasannya, terlepas dari penyimpangan oknum-oknum lain dalam kasus Century, khusus untuk Boediono tampaknya tak mudah dibuktikan bersalah terkait pasal-pasal pemakzulan!"

"Menurut saya di MK justru bisa lolos, karena KPK juga memproses kasus sama terhadap orang-orang lain!" tegas Umar. "Dengan diproses KPK, apalagi didukung hasil audit investigasi BPK, besar kemungkinan akhirnya memuaskan rakyat! Jika proses di KPK begitu, apa mungkin untuk kasus sama putusan MK berbeda?" ***

Selanjutnya.....

Nurani Rakyat Mengalahkan Intrik dan Lobi!


"DAHSYAT! Kubu penguasa yang percaya diri dengan koalisi berkekuatan lebih 75 persen suara di parlemen, hingga mendukung 100 persen pembentukan Pansus Skandal Bank Century karena yakin akan menang mutlak apa pun opsi propenguasa, ternyata dikalahkan kubu oposisi dengan skor 325 lawan 212!" ujar Umar. "Kenapa itu bisa terjadi, padahal kubu penguasa telah memainkan berbagai intrik, lobi bahkan massa?"

"Keunggulan itu diperoleh siapa yang sepanjang masa kerja Pansus Century lebih berhasil menggalang secara konsisten energi positif yang dialirkan dari nurani rakyat!" jawab Amir. "Bukan berarti kubu penguasa tidak melakukan hal sama! Tapi kurang konsisten, akibat secara bersamaan mengeksploitasi energi negatif dari intrik dan lobi, maupun ekspresi superior di ruang Pansus, seolah semua bisa diatur lewat koalisi! Itu membuat energi negatif malah lebih dominan pada kubu penguasa, hingga menabiri simpati publik ke kubunya, dan menyelubungi kejernihan berpikir mereka sendiri!"

"Kejernihan berpikir seperti apa?" kejar Umar.


"Kejernihan menalari sejarah!" tegas Amir. "Mereka hanya terpaku pada alasan bailout untuk mengatasi dampak krisis global pada ekonomi nasional! Mereka terlupa, kebijakan yang diambil akhir 2008 itu terjadi dalam periode pertama pemerintahan Presiden SBY yang telah dipertanggungjawabkan secara politik dan legal-formal pada akhir masa jabatannya, 2009! Segala bentuk pertanggungjawaban itu telah diterima MPR, malah SBY dipilih kembali oleh rakyat!"

"Berarti, segala kebijakan pemerintahan SBY periode pertama, pertanggungjawabannya telah selesai!" timpal Umar. "Tapi para elite penguasa lupa pada realitas sejarah itu, malah mendukung pembentukan Pansus menggugat ulang kebijakan tersebut--hingga terjadi double jeopardy!"

"Bahkan, selubung energi negatif itu tanpa kecuali membayangi Presiden SBY!" tegas Amir. "Tadi malam pun, pada pidato menyambut usainya proses skandal Century di DPR, ia hanya kembali bicara kronologis konteks krisis global sebagai justifikasi bagi kebijakan itu, tapi juga lupa semua kebijakannya sepanjang masa jabatan priode pertama telah selesai ia pertanggungjawabkan!"

"Begitulah!" sambut Umar. "Selubung energi negatif yang dominan itu terjadi hanya akibat terlalu merasa superior, paling besar, dan semua bisa diatur! Mungkin ekspresi para politisi kubu penguasa yang sedemikian kurang pas bagi rakyat membuat energi positif dari nuraninya dialirkan ke pihak lain, yang terbukti mampu mengalahkan secara terbuka segala bentuk intrik dan lobi!" n

Selanjutnya.....

Nurani Rakyat tak Harus Diucapkan!


NENEK gelisah melihat cucunya duduk memble. "Kok tidak nonton bola?" sapa nenek. "Di stadion ada pertandingan besar!"

"Ogah!" jawab cucu. "Pertandingan bola sering rusuh, ricuh, lalu berantem! Bisa benjut!"

"Kau cuma cari-cari alasan, kan?" timpal nenek. "Pasti kau ingin istirahat agar nanti bisa semalam suntuk nonton organ tunggal di simpang!"

"Nonton organ tunggal, di malam hari pula?" sambut cucu. "Apa Nenek tak tahu, di beberapa daerah Lampung polisi melarang mengadakan pertunjukan organ tunggal di malam hari, karena sering rusuh! Kalau siang, mungkin asyik juga!"

"Kau ini laki-laki seperti perempuan, takut pada yang rusuh!" tukas nenek. "Kalau begitu ayo, nonton televisi saja! Ada siaran langsung sidang paripurna DPR memutus skandal Bank Century!"


"Nenek lihat sendiri kemarin! Paripurna DPR juga ricuh!" timpal cucu. "Bukan mendidik rakyat untuk bijaksana, tapi cuma demonstrasi cara-cara licik dan emosional! Dengan perilaku para wakilnya di parlemen seperti itu, rakyat bukan saja tak dapat pelajaran positif, tapi malah contoh buruk!"

"Kalau di lapangan sepak bola berantem, di organ tunggal rusuh, di DPR juga ricuh, lantas kau mau ngumpet di mana?" entak nenek. "Hadapi saja seperti apa pun kenyataan karena memang tak mungkin lagi mengelak dari segala bentuk gejala yang serba tidak nyaman, bahkan memalukan itu! Semua itu cuma seperti onggokan-onggokan sampah di lautan rakyat yang masih jernih! Maka itu, lautan rakyat yang masih jernih itu harus berusaha membuat gelombang untuk mendorong sampah-sampah itu ke luar dari area laut atau menenggelamkannya jadi mata rantai makanan ikan! Kalau tidak begitu, justru onggokan-onggokan itu yang meluas dan mencemari seluruh lautan rakyat!"

"Dengan cara bagaimana?" potong cucu.

"Mengikuti alunan gelombang mendorong usaha-usaha menjernihkan kekeruhan tersebut!" tegas nenek. "Misalnya, dengan mengikuti proses di DPR dengan mencurahkan semangat ke arah mereka yang sungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat! Semangat yang ramai-ramai dicurahkan seluruh rakyat itu akan seksama mendorong gelombang yang memperjuangkan nasib rakyat!"

"Tapi semua pihak mengaku memperjuangkan nasib rakyat?" tukas cucu.

"Vox populi vox Dei! Suara rakyat suara Tuhan!" tegas nenek. "Untuk itu, karena Tuhan itu mahatahu, suara rakyat itu cukup yang dicurahkan hati nurani secara tulus, tak harus yang eksplisit diucapkan atau diberikan lewat kertas suara!"

"Kalau begitu, asal tak ada kecurangan, rakyat selalu menang! Karena, siapa pun yang
unggul dalam proses politik seperti di DPR itu dianggap sebagai kemenangan nurani rakyat!" tegas cucu.

"Konsekuensinya, pihak mana pun yang kalah pada proses itu harus introspeksi sejauh mana orientasinya pada nasib rakyat!" tegas nenek. "Keunggulan pada yang orientasinya tertinggi!"

Selanjutnya.....

Mimpi Tol, JSS, Jalan Ambles!


"DASAR Jakarta! Jalan macet melulu!" gumam Umar melihat sekilas jubelan mobil macet saat terbangun sejenak dari ngorok di jok samping sopir, lalu tidur lagi.

"Mimpi apa kau siang bolong begini?" entak Amir yang menyetir. "Boro-boro Jakarta, Bakauheni saja belum!"

"Apa?" Umar tersentak, bangun. "Sampai mana kita?"

"Macet akibat badan jalan ambles di kilometer 79-80 Bandar Lampung--Bakauheni!" jawab Amir. "Jalan alternatif lewat Palas--Ketapang juga harus dialihkan, karena jalan antarkecamatan itu tak mampu menahan beban truk dan tronton!"

"Sialan!" keluh Umar. "Rupanya aku cuma mimpi lewat tol Tegineneng--Bakauheni, masuk jembatan Selat Sunda (JSS) tembus tol Merak--Jakarta! Maka itu, jalanan macet ini tadi kukira di Jakarta! Kenyataannya bukan tol dan JSS, malah jalan raya Lampung ambles!"

"Bukan cuma ambles, juga berhantu!" timpal Amir.

"Ah, masa kau percaya takhayul?" sergah Umar.

"Bukan takhayul!" bantah Amir. "Sudah puluhan truk material urukan dituang ke lubang besar dan dalam yang menganga di tengah jalan itu, tapi tak kunjung penuh! Sekali sempat rata di permukaan, tapi ambles lebih dalam lagi! Menurut perkiraan pihak yang bertanggung jawab mengatasinya, bulan Juni nanti diharapkan selesai!"

"Bulan Juni? Itu

empat bulan dari sekarang! Cuma untuk menutup sebuah lubang di jalan?" entak Umar. "Itu bukan sekadar hantu, tapi kutukan! Akibat terlalu dibuai mimpi jalan tol dan JSS, jalan yang ada malah tak dirawat dengan semestinya! Ambles itu bisa akibat daya tahan gorong-gorong di bawah jalan tak diperhatikan, padahal beban yang melintas di atasnya terus bertambah berat!"

"Kalau begitu bukan kutukan danyang atau roh penguasa jalan raya! Tapi kutukan alam atas kelalaian memperhatikan dan merawat semua fasilitas saluran air di kiri-kanan jalan dan yang melintas di bawahnya!" timpal Amir. "Kelalaian itu bisa terjadi karena terlalu larut dalam impian jalan tol dan JSS, padahal menurut Staf Ahli gubernur Lampung, Ashori Djausal, semua itu cuma wacana!" (Lampung Ekspres Plus, [1-3])

"Berarti kita seperti pungguk merindukan bulan, mimpi menggapai bintang-bintang di langit tapi lupa pada rumput di bumi!" tegas Umar. "Jalan ambles itu mengingatkan kita untuk kembali ke realitas yang harus dihadapi dan diperlakukan dengan adil--tak cuma larut dalam mimpi!"

"Itu peringatan kepada kita, mengurus jalan di daratan saja ambles, betapa mengerikan jika dengan mentalitas serupa harus mengelola JSS, jembatan terpanjang sedunia di atas laut sedalam 200 meter!" timpal Amir. "Disiapkan jembatan timbang pun yang ditimbang cuma keneknya! Sedang truk yang melampaui batas daya dukung jalan dan jembatan, selalu bablas! Belum lagi kebiasaan buruk seperti di Jembatan Suramadu, bautnya dicopoti orang untuk dijual kiloan!
Selanjutnya.....

'Turf Card' Istana untuk Paripurna Skandal Century!


"BERANEKA turf card istana dimainkan di balik pertarungan terbuka dalam Pansus Skandal Bank Century, terutama menghadapi paripurna DPR 2 dan 3 Maret ini!" ujar Umar. "Turf card dimaksud mulai intrik menekan lewat penunggak pajak terkait usaha Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, lobi-lobi Partai Demokrat dan staf-staf khusus presiden, demo massa berbagai sayap Partai Demokrat, menebar spanduk dukungan pada SBY- Boediono dan Sri Mulyani, terakhir intrik pada inisiator Pansus Century dari PKS, Misbakhun, dengan tuduhan terlibat L/C fiktif Bank Century!"

"Turf card dalam permainan 'truf gembira', juga disebut kartu pemotong!" timpal Amir. "Ia punya dua fungsi. Pertama, untuk menyudi--memaksa semua pemain (kawan dan lawan) menurunkan satu kartu pemotong yang dimiliknya dengan membuka turf card! Tujuannya agar semua turf card di tangan lawan habis dengan diadu secara terbuka! Kedua, sebagai kartu pemotong diadu tertutup! Diadu terbuka atau tertutup pengendali lebih besar peluangnya menang!"

"Peran pengendali permainan diperebutkan pada awal setiap sesi dengan penawaran tertinggi berdasar kartu di tangan! Dengan itu pengendali seperti pemenang pemilu, selain mengendalikan permainan (mirip pemerintah) juga memimpin koalisi dengan tiga teman pemain lain! Secara jelas pula, empat pemain lawan dihadapi sebagai oposan!" tegas Umar. "Timbul masalah dengan turf card istana itu, karena secara terbuka dan tertutup diadu dengan kartu pemotong teman sendiri! Ini memperkecil skor kartu yang diraih, karena kartu pemotong dihabiskan lewat mengadunya sesama teman, lawan dapat peluang meraih angka dengan sisa pemotong miliknya!"


"Memang terlihat, banyak turf card istana tak dimainkan efektif!" timpal Amir. "Contohnya, intrik penunggak pajak dan L/C fiktif, cuma membuat yang sikapnya harus dilunakkan malah jadi lebih keras! Karena itu, kemenangan pengendali dalam kasus Century tergantung pada pusingan kartu terakhir--lewat lobi tertutup yang waktu untuk voting seharusnya Selasa Wage, diperpanjang waktunya jadi Rabu Kliwon! Itu karena Selasa Wage dalam primbon Jawa bilangannya terkecil--Selasa 3 dan Wage 4! Sedang Rabu (7) Kliwon (8), jadi 15. Cari peluang lewat besaran nilai waktu!"

"Agaknya primbon Jawa itu yang jadi turf card terakhir! Sehingga, meski sebenarnya rapat paripurna cukup satu hari harus diperpanjang jadi dua hari!" tukas Umar. "Artinya, sampai pusingan kartu terakhir pihak pengendali dalam permainan truf ini masih menguasai permainan, contohnya, bisa memperpanjang waktu rapat paripurna!"

"Dalam truf penentuan pemenangnya dengan menghitung nilai kartu kedua pihak!" timpal Amir. "Begitu pula dalam kasus Century, sekaligus nilai hasil aneka turf card istana, penentunya hasil voting paripurna DPR--yang sejauh ini terkesan masih menggelisahkan sang pengendali!"
Selanjutnya.....