Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Harga TBS Jeblok, Petani Merana!

HARGA tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani di Lampung Utara jeblok, hanya Rp350 per kg. Akibatnya, banyak petani tidak memanen buah sawitnya karena dengan harga itu tidak cukup untuk upah buruh panen dan transpor ke pabrik. (Lampost, 30/10) 

Jebloknya harga TBS di daerah itu tak terlepas dari harga referensi Kementerian Perdagangan atas produk kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) untuk penetapan bea keluar periode Oktober 2015 sebesar 529,51 dolar AS per metrik ton (MT). Angka ini turun telak sebesar 81,14 dolar AS per MT atau 13,29 persen dari periode September 2015 sebesar 610,65 per MT. (Liputan-6.com, 1/10)

Dengan harga Oktober itu, jika kurs rupiah pekan ini Rp13.600 per dolar AS, setiap MT bernilai Rp7.201.346. Kalau situasi normal harga TBS ditetapkan sepersepuluh CPO, berarti harga TBS Rp720 per kg. Tapi karena banyak beban resmi dan tidak resmi yang harus dipikul pabrik dan eksportir, harga di lapangan bisa sampai di tingkat 50 persennya. 

Apalagi terakhir ini ada tekanan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk standar kualitas CPO dari Indonesia, yang cenderung membuat sawit petani terpaksa ditinggalkan pabrikan eksportir. Yakni, terkait dengan perjanjian The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP), lima raksasa perusahaan sawit Indonesia, Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Asian Agri, Musim Mas, dan Golden Agri Resources menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa dan AS untuk memproduksi minyak sawit yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. (Kompas.com, 30/10) 

Konsekuensi perjanjian yang ditandatangani September 2014 itu, perusahaan-perusahaan tersebut tak bisa membeli TBS dan CPO yang tak ramah lingkungan. Ini bisa membuat petani dan perusahaan sawit kecil gulung tikar karena produknya tak ada yang membeli. Padahal, lima raksasa sawit itu menampung 80% sampai 85% dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta petani sawit. Pemerintah tentu tak tinggal diam. 

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menyatakan, "Kami akan mengirim surat resmi ke lima perusahaan itu untuk menunda pelaksanaan IPOP di Indonesia." Kelima perusahaan itu harus berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). "Anggota IPOP mau menjalankan kebijakan ini karena tekanan asing," tegas Gamal. (Kontan, 28/10) 

Diharapkan Dirjen tak lupa mengirim surat yang dijanjikan karena petani sawit sudah telanjur merana. ***
Selanjutnya.....

PNPM Dibuang, Diganti PKKPM!

UNTUK mengikis kemiskinan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi meluncurkan program Peningkatan Kesejahteraan Keluarga melalui Pemberdayaan Masyarakat (PKKPM). Nantinya, kata Menteri Desa Marwan Jafar, setiap kecamatan sasaran akan mendapat bantuan Rp3 miliar. Penyebaran bantuan itu tidak kurang dari 183 kecamatan pada 114 kabupaten di 33 provinsi seluruh Indonesia. (Kompas.com, 28/10) 

Menurut Marwan, PKKPM memiliki program utama pengembangan usaha/kerja keluarga (PUKK). Program ini dilaksanakan melalui berbagai kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat. Kemudian, ada program Penyediaan Infrastruktur Ekonomi (PIE) untuk pengadaan infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi. Dalam uji coba penuh, lokasi tersebut mendapat dana bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk kegiatan PUKK dan PIE masing-masing kecamatan Rp1,5 miliar untuk PPUK dan Rp1,5 miliar untuk PIE, ujar Menteri Desa. 

Bentuk programnya sesuai usulan yang diajukan masyarakat. Terkesan program baru ini sejenis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang sudah dijalankan pemerintah sejak 2008, tapi dibuang atau tidak dilanjutkan oleh rezim Jokowi-JK, yang mungkin alergi dengan kelembagaan warisan pendahulunya. Padahal, sebagai mesin gerakan yang masif di seluruh Tanah Air, PNPM telah beroperasi dengan baik. 

Mekanisme kontrol programnya efektif sehingga penyimpangan nyaris nol. Hasilnya dalam menurunkan angka kemiskinan juga relatif baik, dari atas 12% pada 2008, tinggal di tataran 10% pada 2014. Dan setelah PNPM dihentikan pada 2014, pada 2015 angka kemiskinan kembali naik di atas 11%. Tapi begitulah Indonesia, selalu hanyut dalam ego pemimpinnya. 

Program yang baik tidak dinilai secara jujur dan objektif lebih dahulu, langsung dibabat habis tanpa menghitung pembangunan lembaga berlevel nasional itu telah menghabiskan waktu dan dana serta jerih payah anak bangsa cukup signifikan. 

Lalu sekarang dibangun lagi lembaga sejenis yang tentu akan menghabiskan waktu, dana, dan tenaga banyak orang lagi, sedang hasilnya belum ada jaminan. Masalahnya, bangsa ini kian terbelakang karena bongkar pasang lembaga sejenis setiap rezim baru, hingga ketinggalan dari negara lain yang programnya berkelanjutan. 

Semula diasumsikan karena sudah ada dana desa Rp1 miliar lebih per desa per tahun, esensi PNPM akan dijalankan lebih komprehensif di setiap desa. Sebab itu, PNPM tak diperlukan lagi. Tapi kini dibentuk lembaga sejenis, dimulai dari nol lagi. ***
Selanjutnya.....

Oleh-oleh Jokowi dari Amerika!

"KALAU Elia M Harris yang kemudian jadi Elia Kadam gembira mendapat oleh-oleh boneka saat ayahnya pulang dari India, apa oleh-oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pulang dari Amerika?" tanya Umar. "Oleh-oleh dari Amerika kesepakatan bisnis senilai 20,075 miliar dolar AS atau sekitar Rp270 triliun!" jawab Amir. 

"Menurut Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana, kesepakatan yang terjalin dengan para pengusaha anggota US Chamber of Commerce atau Kadin AS itu antara lain dalam bentuk foreign direct investment (FDI—investasi asing langsung)." (Kompas.com, 27/10). 
 
"Cuma 20 miliar dolar?" sambut Umar. "Kecil amat? Tak ada separuh oleh-oleh Jokowi waktu pulang dari Tiongkok, senilai 50 miliar dolar AS, cukup untuk membangun jalan tol trans-Sumatera (JTTS) hingga proyeknya bisa langsung dikerjakan, serta proyek infrastruktur lainnya." "Tapi, lumayanlah ada oleh-oleh, daripada pulang tangan kosong," timpal Amir. "Itu belum termasuk hasil pertemuan menteri dan CEO bisnis start-up Indonesia dengan para pengusaha bisnis kreatif di Silicon Valley, yang diharapkan menghasilkan kesepakatan business to business, kerja sama antarperusahaan." "Nah, itu! Kesepakatan business to business yang aku suka!" tegas Umar. 

"Karena, dengan begitu bisa terjadi transfer teknologi dan skill bisnis pada usaha domestik. Bukan investasi asing langsung, yang menjadikan warga lokal hanya sebagai kuli. Dahulu pernah ada aturan investasi asing bisa masuk hanya melalui kerja sama dengan perusahaan lokal (joint venture), dengan pembagian saham minimal 51% untuk perusahaan lokal." "Itu kuno!" tukas Amir. 

"Sekarang zamannya neoliberalisme, era foreign direct investment sebagai model paling ideal. Lagi pula, hanya lewat investasi asing langsung penguasa bisa memberikan secara face to face pada investor asing segala fasilitas dan kemudahan investasi di negerinya. Dengan begitu, sang penguasa juga popular di kalangan pengusaha asing." 

"Tapi mesakne! Kasihan aku melihat Presiden," keluh Umar. "Masak Presiden langsung yang harus nretehek keliling dunia meminta-minta bantuan investasi ke negara-negara kaya? Seharusnya negara ini punya tata cara yang sedikit gengsi dalam meminta-minta bantuan investasi itu. Seperti pada zaman Pak Harto, ada Sudjono Humardani yang melobi pengusaha Jepang, tak perlu presiden langsung yang harus datang membungkuk-bungkuk." "Sekarang zaman pemilihan langsung!" tegas Amir. "Setiap prestasi harus bisa diklaim sebagai jerih payah penguasa!" ***
Selanjutnya.....

Jokowi Persingkat Kunjungan di AS!

BENCANA kebakaran hutan dan lahan yang kian tak terkendali dengan sekapan asap yang sudah membahayakan jutaan warga membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersingkat kunjungannya di Amerika Serikat (AS). Setelah bertemu Presiden Barack Obama di Gedung Putih, Washington, Senin (26/10) waktu AS, Jokowi langsung pulang ke Tanah Air, membatalkan kunjungan ke Silicon Valley, San Francisco. Pertemuan dengan sejumlah CEO perusahaan kreatif AS digantikan para menteri dan pionir usaha kreatif (start up) Indonesia. 

Menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, saat disinggung soal pembatalan kunjungan ke San Francisco itu, Obama memahami betul mengenai masalah asap. AS menawarkan bantuan apa pun yang dibutuhkan Indonesia dengan komitmen bantuan senilai 2,7 juta dolar AS. (Kompas.com, 27/10) 

Kondisi kritis kebakaran hutan dan lahan dengan sekapan asapnya yang sudah membahayakan jutaan warga digambarkan harian Kompas edisi Senin (26/10) dengan hanya memuat berita terkait bencana asap di halaman pertama dalam sebuah boks bergaris merah tebal. Judul berita utamanya dengan cetakan huruf yang besar tertulis Tragedi Kemanusiaan, subjudul Jutaan Warga Perlu segera Diselamatkan dari Kabut Asap. 

Dalam kondisi yang sudah sedemikian buruk menyangkut nasib jutaan warga, memang kurang pada tempatnya kalau orang nomor satu negeri ini berleha-leha di luar negeri. Bukan merendahkan kemampuan para pejabat pemerintah untuk mengatasi bencana tersebut, tapi nyatanya kondisi terus memburuk. 

Apalagi ada kecenderungan baru terkesan di negeri ini, setiap masalah urgen tidak bisa selesai kalau tidak didatangi atau ditangani langsung oleh Jokowi. Itu yang membuat meski sudah jadi presiden, Jokowi tetap harus rajin blusukan—menyelesaikan masalah di lapangan, termasuk masalah kebakaran hutan dan lahan, setiap daerah yang didatangi Jokowi dengan memberi komando langsung apa yang harus dilakukan, seperti menggali kanal di lahan gambut Pulau Pisang, Kalimantan Tengah, kebakarannya menjadi agak reda. Tapi sepeninggal Jokowi, api kembali marak. 

Karena itu, Jokowi harus secepatnya kembali ke Tanah Air untuk mengomandokan langsung pemadaman kebakaran dan evakuasi korban asap. 

Kalau pejabat di bawahnya kurang all out mungkin karena harus menjaga batas kewenangannya. Ada trauma di negeri ini, pejabat yang melampaui kewenangan, dalam kondisi darurat/bencana sekalipun, terancam masuk bui. Sedang presiden, kewenangannya bisa jauh lebih leluasa. ***
Selanjutnya.....

Ujung Bencana Asap, PHK Massal!

SELAIN merenggut korban jiwa secara sporadis sejak September dan ribuan orang miskin yang tak mampu memasang AC atau air purifier di rumahnya terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), bencana asap kebakaran hutan dan lahan 2015 yang meluas juga akan berujung pada pemutusan huhungan kerja (PHK) massal atas pekerja belasan korporasi perkebunan sawit yang dicabut izin atau hak guna usaha (HGU)-nya dibekukan. 

Tindakan itu hasil penyelidikan lapangan tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diumumkan Menteri LHK Siti Nurbaya pekan lalu. Sedangkan tim itu masih terus mencari para pelaku pembakaran atas hutan dan lahan, utamanya dari kalangan korporasi. Tindakan tegas terhadap para pelaku pembakaran atau pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan itu demi kepentingan usahanya, agar kebakatan hutan dan lahan yang semakin besar dan luas setiap tahun itu ke depan bisa dihentikan. 

Selain kerusakan alam yang butuh ratusan tahun untuk mengembalikannya ke kondisinya seperti sediakala, mayoritas yang menjadi korban bencana asap juga rakyat jelata yang miskin, dari yang tewas, kena serangan ISPA, sampai yang kena PHK. Khusus pada buruh perkebunan sawit yang terancam PHK itu pemerintah perlu mencarikan jalan keluar.

Misalnya, pada korporasi yang izinnya dicabut segera dicarikan perusahaan sejenis yang sehat untuk take over pengelolaannya. Sedang asetnya, setelah dinilai lewat appraisal independen, bisa dirundingkan antara pemilik lama dan pengelola baru komposisi sahamnya. Jalan itu dipilih agar buruhnya selamat dari PHK serta pemilik lama tak merasa dirampok asetnya, jika diganti rugi semau pemerintah invetasinya.

Bersamaan itu, negara juga mengevaluasi kesalahan dirinya kenapa pembukaan lahan dengan membakar tak bisa dihentikan, malah kian marak. Menurut Eddy Martono, ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pembukaan lahan dengan cara dibakar itu dimungkinkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Kompas.com, 26/10).

UU ini pulalah dasar gubernur (seperti di Kalimantan Tengah) mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) yang mengizinkan membuka hutan untuk pertanian lewat proses pembakaran. Karena itu, semua pihak juga penguasa agar introspeksi, memperbaiki semua hal untuk mengakhiri bencana asap secara menyeluruh dengan paradigma baru. Tak bisa asal menyalahkan rakyat atau pengusaha, padahal peluangnya dibuat penguasa sendiri. ***
Selanjutnya.....

Ekonomi Tiongkok Tumbuh 6,9 Persen!

DI tengah pelambatan global, produk domestik bruto (PDB) ekonomi Tiongkok pada kuartal III atau periode Juli—September 2015 tumbuh 6,9%. Turun tipis dari kuartal sebelumnya, 7%. Untuk memacu pertumbuhan agar bertahan di level itu, Pemerintah Tiongkok telah lima kali memangkas suku bunga sejak November 2014. 

Dengan itu, menurut data yang dirilis Senin (19/10), tingkat belanja konsumen meningkat. Penjualan eceran naik dari 10,5% di Juli menjadi 10,9% pada September. Belanja lewat internet juga naik 36% dalam kuartal itu dibanding periode sama tahun lalu. (Kompas.com, 20/10)

Melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam lima tahun ini, sebelumnya tumbuh double digit, sebenarnya disebabkan faktor dalam negeri. Sebab, pemerintah sedang berusaha menjadikan ekonominya berbasis konsumsi domestik dan layanan industri ketimbang bergantung pada ekspor dan investasi. 

 "Semua perkembangan baru ini mengisyaratkan reformasi ekonomi Tiongkok berjalan lancar," kata Sheng Laiyun, juru bicara Badan Statistik Pemerintah. "Kondisi ekonomi Tiongkok secara keseluruhan masih kokoh." Sekokoh apa? Per September 2015, meski melorot 43,3 miliar dolar AS dari bulan sebelumnya, cadangan devisa Tiongkok masih tercatat sebesar 3,514 triliun dolar AS. Bank Sentral Tiongkok, People Bank of China (PBoC), menyatakan periode Juli—September 2015 cadangan devisa berkurang 180 miliar dolar. Itu efek dari intervensi Bank Sentral menjaga kurs yuan pascadevaluasi mata uangnya. 

 Cadangan devisa Indonesia, sebagai perbandingan, per akhir September juga mengalami penurunan 3,6 miliar dolar AS, dari 105,3 miliar dolar AS bulan sebelumnya, menjadi 101,7 miliar dolar AS. Penurunan cadangan devisa itu juga terjadi karena BI melakukan intervensi untuk menjaga kurs rupiah. (Kompas.com, 9/10) Reformasi ekonomi Tiongkok lancar berkat dukungan cadangan devisa lebih dari 3,5 triliun dolar AS. 

Contoh itu sulit dibandingkan dengan reformasi ekonomi Indonesia era Jokowi-JK, dengan deregulasi mengalihkan dari kebergantungan pada ekspor bahan mentah ke industri pengolahan berbasis sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur. 

Soalnya, selain cadàngan devisa Indonesia kecil sekali dibanding Tiongkok, ekonomi Indonesia masih dicekam neraca pembayaran defisit, bahkan ekspansi pembangunan di APBN juga dengan anggaran defisit. Hal itu coba diatasi dengan meminjam lagi dari Bank Pembangunan Asia (ADB) maupun Bank Dunia. Itulah cadangan yang lumrah bagi ekonomi multidefisit. ***
Selanjutnya.....

Singapura Boikot Produk Indonesia!

AKIBAT terselimuti limpahan asap kebakaran hutan dan lahan dari Indonesia, Singapura memutuskan memboikot peredaran produk Indonesia yang terdiri dari kertas kemasan, tisu, pensil warna, hingga kertas catatan tempel dari supermarket. 

 Itu perintah Dewan Lingkungan Singapura (SEC) kepada 16 jaringan supermarket di Singapura untuk menghentikan sementara peredaran produk yang diproduksi beberapa perusahaan Indonesia hingga menunggu penyelidikan lebih lanjut. (Kompas.com, 19/10)

Mengutip Bloomberg, jaringan supermarket terbesar di Singapura, NTUC FairPrice, malah sudah memboikot produk perusahaan asal Indonesia, Asia Pulp & Paper (APP), sejak Rabu (7/10) karena menilai APP bertanggung jawab atas kebakaran hutan serta kabut asap yang "menyiksa" banyak negara tetangga. (Kompas.com, 7/10) 

Sejumlah produk yang akan ditarik, antara lain merek Paseo, Nice, dan Jolly. Boikot Singapura atas produk Indonesia itu ditanggapi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, pemerintah tak akan tinggal diam. Pihaknya akan terus menjalin komunikasi intens dengan negeri tetangga terkait masalah itu. 

Diperparah oleh dampak El Nino, sudah lebih dua bulan Pemerintah Indonesia belum berhasil mengatasi kebakaran dan asap, yang di sejumlah kawasan justru semakin pekat. Sebaliknya, kebakaran hutan dan lahan meluas justru ke timur, melawan arah asal angin El Nino dari Samudera Pasifik—ini cermin penanganan bencana asap tak efektif. 

Bandara Sorong dan Timika di Papua sudah menunda sejumlah jadwal penerbangan. Artinya, dari Sumatera, Kalimantan, sampai Papua, sudah terkena bencana asap. Tapi sejauh ini pemerintah belum menetapkan status bencana nasional, dengan alasan kalau ditetapkan sebagai bencana nasional para pelaku pembakaran hutan lolos dari jerat hukum. 

Tapi tanpa status bencana nasional, daerah kesulitan dana untuk mengatasinya. Di lain pihak, tanpa penetapan status bencana nasional, pemerintah malah menerima bantuan internasional untuk melakukan pemadaman. 

Di Sumatera Selatan, atas bantuan asing itu, hasilnya lumayan. Buktinya, pesawat jemaah haji asal Jambi yang tak bisa mendarat karena pekatnya asap di Bandara Sultan Thaha, Jambi, Minggu (18/10) malam didaratkan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. (detik-news, 19/10) Jadi, kalau kini asap tambah pekat di Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah, mencerminkan kita tak mampu mengatasinya, harapan masih ada: datangkan bantuan asing memadamkan kebakaran hutan dan lahan kita. ***
Selanjutnya.....

Membangun Sektor Unggulan Baru!

ERA booming harga komoditas tinggi telah berakhir. Kini harga komoditas kelapa sawit, karet, batu bara, dan mineral jatuh. Oleh karena itu, harus dibangun sektor unggulan baru berbasis komoditas tersebut yang bisa dijadikan andalan ekonomi nasional ke depan. 

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, situasi saat ini mirip yang dihadapi Indonesia pada medio 1980-an, ketika harga minyak bumi anjlok sampai di bawah 10 dolar AS per barel.

Padahal, minyak bumi sumber pendapatan utama Indonesia ketika itu. Sebagai antisipasi, pemerintah waktu itu melakukan deregulasi untuk menciptakan unggulan baru, industri manufaktur. Usaha itu berhasil mengalihkan ketergantungan dari pendapatan migas ke sektor riil, tetapi hancur lagi pada krismon 1998 (detik-finance, 16/10). 

Deregulasi yang dilakukan pemerintah sekarang dengan kebijakan ekonomi paket I sampai IV, kata Bambang, untuk menciptakan unggulan baru dengan menghidupkan industri pengolahan berbasis sumber daya alam (komoditas) dan pembangunan infrastruktur. Dengan unggulan baru ini, sebagai sumber pertumbuhan ke depan, ekspor sumber daya alam dalam bentuk mentah sudah harus ditinggalkan. 

"Ekspor CPO harus diganti ekspor biodiesel, ekspor bauksit diganti ekspor aluminium," kata dia. Menciptakan sektor unggulan baru sebagai landasan ekonomi ke depan dengan membangun industri manufaktur (mengolah bahan mentah menjadi barang layak pajang di toko) merupakan idaman sepanjang reformasi, tetapi selalu kandas. 

 Malah sebaliknya, industri manufaktur dari Indonesia pindah ke Vietnam, Thailand, bahkan Tiongkok. Rencana investasi pun banyak yang terbenam di buku daftar dan janji. Semua itu terjadi akibat buruknya iklim usaha di negeri ini. Lantas, apakah dengan deregulasi terakhir ini, buruknya iklim usaha itu bisa diatasi? 

Sejauh ini, pemerintahan pasca-Orde Baru selalu kurang berhasil memobilisasi birokrasi menjalankan sepenuhnya kehendak yang berkuasa. Era Jokowi-JK juga buruk tecermin dari macetnya penyerapan anggaran. 

Maksudnya, deregulasi tidak cukup hanya membuat SK dan aturan kalau hanya berjalan sebatas de jure, sedangkan de facto-nya sebagai sistem yang efektif berlaku tidak berubah. Itu yang membuat iklim usaha kurang kondusif. 

Kecuali investor Tiongkok yang memburu proyek infrastruktur dan pertambangan sampai ke ujung bumi untuk memanfaatkan limpahan dana murah di negerinya, investor manufaktur padat karya kurang tertarik pada negeri yang penguasanya haus popularitas dari buruh. ***
Selanjutnya.....

Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK!

TANGGAL 20 Oktober 2015 genap satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden M Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Dalam waktu relatif singkat itu cukup banyak perubahan dilakukan. Di Lampung misalnya. 

Kalau impian warga atas jembatan Selat Sunda (JSS) yang sudah didasari peraturan presiden cuma terwujud dalam gambar di baliho dan alat peraga kampanye cagub, pembangunan jalan tol trans-Sumatera Bakauheni—Terbanggibesar sebagai kompensasi penundaan JSS dari Jokowi, langsung groundbreaking dan kini hampir selesai pembebasan lahannya.

Juga tol laut Panjang (Lampung)—Tanjung Perak (Jawa Timur) dengan kapal ro-ro ukuran besar, kini sudah berjalan dengan jadwal teratur. Juga Bakauheni, lima dermaganya dibuat aktif, penyeberangan ke Merak jadi lebih cepat. 

Tentu juga banyak perubahan di daerah lain. Karena itu, menurut Sekjen PDIP Hasto Kristyanto, partainya memberikan nilai positif pada kebijakan pembangunan yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK saat ini. Program pembangunan dianggap sudah tepat dan diyakini akan membawa dampak besar di tahun-tahun selanjutnya. 

"Perekonomian sebelumnya jalan di tempat sehingga langkah terobosan harus dibuat," ujar Hasto. (Kompas.com, 16/10) Hal itu diungkapkan Hasto untuk menimpali Sekjen Gerindra Ahmad Muzani yang menilai tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Kinerja di segala bidang, baik ekonomi, politik, maupun sosial, dia nilai mengalami penurunan pencapaian. 

"Kalau dinilai, rapornya merahlah. Perlu remedial," kata Muzani. Kesan seperti Muzani itu memang mudah terjadi kalau hanya menyimak data Badan Pusat Statistik (BPS). Semisal angka pertumbuhan ekonomi, kalau sepanjang pemerintahan SBY rata-rata di atas 6% per tahun, pada kuartal I 2015 hanya tumbuh 4,71%. 

Bahkan pada kuartal II 2015 turun lagi jadi 4,67%. Kalau alasannya imbas kriris global, era SBY juga mengalaminya. Lalu jumlah warga di bawah garis kemiskinan, dari September 2014 ke Maret 2015 bertambah 860 ribu orang. Data kemiskinan Maret 2015 ke September 2015 belum keluar, begitu juga pertumbuhan kuartal III 2015 (Juli—September), karena kalau ada kaitan dengan kinerja rezim, BPS cenderung lambat merilisnya. 

Namun, untuk menilai kinerja pemerintah tentu tak cukup semata berdasar data BPS. Sebab, pada tahun pertama Jokowi-JK baru membuat landasan, seperti mulai membangun infrastrukrur yang sebelumnya terbengkalai, hasilnya baru terlihat di statistik masa depan. ***
Selanjutnya.....

Safety Net Harus Pakai Safety Valve!

MENKO Perekonomian Darmin Nasution mengatakan kenaikan upah buruh yang terukur setiap tahun dengan formula upah minimum ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional merupakan safety net atau jaring pengaman bagi buruh agar tidak terjebak upah murah. Untuk itu, penetapan upah buruh lewat hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) tak lagi dipakai. 

Dengan asumsi kehadiran negara dalam penetapan upah buruh ini, pendekatan bipartit (kesepakatan buruh dan pengusaha) juga tak dipakai. Kebijakan penetapan upah buruh lewat formula sebagai isi paket kebijakan jilid IV ini memang ideal bagi buruh.

Bisa disebut buruh diuntungkan kebijakan tersebut, terutama dengan masuknya pertumbuhan ekonomi sebagai komponen penambah upah. Selama ini, hanya faktor inflasi yang jadi penambah, melalui hasil survei harga komponen KHL. 

Sedang bagi pengusaha, yang Menko sebut mendapat kepastian berusaha, sebenarnya lebih sebagai kapastian tambahan beban. Sedang jaminan imbal-baliknya, produktivitas buruh, tak ada jaminan bagi pengusaha dalam formula itu. Karena itu, bagi perusahaan yang sedang megap terimbas krisis global, bisa merasa berat memikul formula tersebut. 

Masalah utamanya, karena pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan pendapatan domestik bruto (PDB) selalu dikatrol naik oleh leading sector, sektor yang pendapatannya tinggi ditopang padat modal dan padat teknologi, seperti sektor keuangan, telekomunikasi, dan otomotif. Sedang sektor padat karya, seperti pertanian dan perkebunan, amat tergantung pada harga komoditas, yang sekarang sedang anjlok. 

Bahkan di Indonesia, penyumbang terpenting pertumbuhan (lebih 60%), justru konsumsi! Karena itu, diprediksi bakal banyak perusahaan yang tak mampu mengikuti formula itu. Jadi, perlu pentil pengaman (safety valve) agar pengusaha tidak memilih menutup perusahaan seperti kini dilakukan lima pabrik tekstil. 

Menghindarkan pilihan pabrik ditutup dan buruh di-PHK, safety valve itu justru ada pada sistem lama, musyawarah bipartit. Diserahkan kepada buruh untuk memilih, perusahaan tutup karena tak sanggup memenuhi formula dan buruh di-PHK, atau mau bermusyawarah bipartit menetapkan upah sesuai kemampuan perusahaan. 

Buruh dan perusahaan harus saling pengertian dan saling membantu demi survival—perusahaan bisa bertahan hidup. Untuk itu, keputusan presiden tentang formula upah buruh ini harus mengakomodasi safety valve dimaksud. Kalau tidak, bakal banyak perusahaan tutup. Promosi buruk bagi investasi! ***
Selanjutnya.....

Ekspor RI ke Tiongkok Turun 21,17%!

EKSPOR RI ke Tiongkok Januari—September 2015 turun 21,17% dibanding periode sama 2014. Itu sejalan dengan turunnya impor Tiongkok 17,7% September 2015, yang saat diumumkan Selasa (13/10) langsung mengimbas rupiah yang sedang naik daun terkoreksi 1,72% jadi Rp13.638 per dolar AS.

Bahkan, berita merosotnya impor Tiongkok pada hari itu memerosotkan IHSG hingga 3,18% atau 147,6 poin di posisi 4.483,07. (Kompas.com, 13/10) Demikianlah eratnya kaitan ekonomi RI dengan Tiongkok sehingga ketika di sana bersin, di sini demam panas-dingin. Gambaran relevansinya, impor Tiongkok turun 17,7%, ekspor RI ke negara tersebut persentase turunnya lebih tinggi, 21,17%.

Bayangkan, rupiah yang sedang menguat setelah kepastian The Fed tak menaikkan suku bunga acuan sampai akhir tahun, bisa tiba-tiba saja rontok kembali terimbas berita negatif dari Tiongkok.

Secara keseluruhan ekspor RI periode tersebut turun 13,29% dibanding periode sama tahun lalu. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, ekspor ke AS juga turun 2,5%, sedang ekspor ke Jepang turun 7,86%, ke negara-negara ASEAN turun 4,43%, dan ke Uni Eropa turun 11,5%. (Kompas.com, 15/10)

Meski ekspornya serbamerosot, dengan impor yang anjlok jauh lebih dalam, neraca perdagangan Januari—September 2015 mencapai surplus 7,13 miliar dolar AS, surplus tertinggi sepanjang empat tahun terakhir. Khusus September, surplus 1,02 miliar dolar AS, dari kinerja ekspor 12,53 miliar dolar AS, sedangkan impornya 11,51 miliar dolar AS.

Merosotnya kinerja ekspor dan impor hingga lebih 10% itu jelas berpengaruh pada turunnya produktivitas nasional. Khusus turunnya nilai ekspor, bisa mengancam ke arah pengurangan tenaga kerja pada produsennya. Seperti di pertekstilan, lima pabrik mènutup usahanya, tanpa bisa ditahan lagi oleh pemerintah, hingga belasan ribu buruh terancam PHK.

Sedang penurunan impor, secara langsung menciutkan sektor konsumsi, yang menjadi andalan produk domestik bruto (PDB) negeri kita. Lebih-lebih kalau yang turun itu impor barang modal, kegiatan perakitan dan nilai tambahnya juga melorot sehingga secara umum pendapatan masyarakat juga ikut terpangkas.

Sikap antiimpor yang berlebihan pada pemerintah juga kurang baik karena setiap impor merupakan lapangan kegiatan dan sumber pendapatan dalam masyarakat. Bahkan transportasinya saja pun relevan sebagai wujud gerak roda ekomomi nasional.

Dalam perekonomian modern, ekspor-impor menjadi kunci maju-mundurnya sebuah negara. ***
Selanjutnya.....

Menyiapkan Pendidikan Bela Negara!

PEMERINTAH berencana merekrut 100 juta kader bela negara mulai tahun ini.

"Saya harapkan 10 tahun ke depan sudah ada 100 juta kader bela negara. Kader-kader bela negara bertugas melakukan pertahanan negara jika sewaktu-waktu negara mendapat ancaman, baik nyata maupun belum nyata," ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. (Kompas.com, 12/8)

Rencana tersebut pekan ini jadi wacana publik, terutama di Komisi I DPR—yang membidangi hal itu. Jika 100 juta orang dalam 10 tahun, per tahun 10 juta orang. Pendidikannya dilakukan 50 minggu setahun, (seminggu Lebaran dan Tahun Baru libur), berarti per minggu harus selesai dididik sebanyak 200 ribu orang.

Bisa diperkirakan mendidik orang sebanyak itu dengan mengasramakan satu minggu untuk menggembleng fisik dan mentalnya. Sebanyak 200 ribu orang dibagi 500 kabupaten/kota, seminggu setiap daerah tingkat II harus mendidik 400 orang atau 1.600 orang per bulan. Seandainya yang diterapkan pendidikan bela negara model di SKI Kodam V Jaya (detik.com, 13/10), biaya pendidikan per orang untuk akomodasi asrama, konsumsi (memenuhi standar gizi), dan seragam (sepasang baju seperti hansip dan kaus training) setidaknya per orang Rp1 juta seminggu. Itu di luar honor instruktur dan sewa lokasi kegiatan.

Kebutuhan biaya minimum per kabupaten/kota Rp1,6 miliar per bulan, atau Rp19,2 miliar per tahun. Untuk 500 kabupaten/kota, Rp9,6 triliun. Jumlah yang kecil kalau disisihkan dari anggaran Kementerian Pertahanan, dengan mengurangi belanja alutsista atau uang lauk-pauk prajurit.

Karena itu, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin tak mempermasalahkan biaya. Tapi, pemerintah hingga kini belum memiliki dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bela negara. Sementara untuk menjalankan program tersebut perlu payung hukum yang tegas.

"Tanpa UU Bela Negara dan tanpa aturan pendukungnya, akan sulit untuk mewujudkan kebijakan dan upaya bela negara itu," tegas Hasanuddin. (Kompas.com, 13/10)

Sementara Hendardi dari Setara Institute tidak setuju dengan rencana pemerintah itu. Menurut dia, dalam rilisnya, pendidikan bela negara bukan sebuah proyek kementerian, melainkan strategi pendidikan nasional yang menghasilkan warga negara berkarakter dan memiliki semangat pembelaan terhadap negara dan bangsa.

Pendidikan karakter seperti itu selama ini dilakukan dalam pramuka, yang diintegrasikan dalam pendidikan formal SD, SMP, dan SMA. Kalau hasilnya kurang mantap, tentu programnya yang disimak ulang. ***
Selanjutnya.....

Iklim Usaha, Kolam Terkontaminasi!

LIMA perusahaan tekstil melapor ke posko atau desk khusus industri tekstil dan sepatu yang diinisiasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan menutup pabriknya. Mereka menolak tawaran bantuan pemerintah untuk menyelamatkan usahanya.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat, para pemilik pabrik sudah kehilangan minat sama sekali untuk melanjutkan usaha tekstil meski posko industri tekstil dan sepatu telah menawarkan berbagai bantuan. "Kami sudah tawarkan kredit, modal kerja, tapi pengusahanya enggak mau," ujar Ade (detik-Finance, 11/10).

Dalam pertemuan pengurus API dengan Presiden Jokowi baru-baru ini, Ade Sudradjat melaporkan pangsa pasar tekstil di dalam negeri menurun drastis sejak masuknya produk impor secara ilegal. Pada 2010, pangsa pasar lokal mencapai 60%, anjlok ke 30,9% pada 2015. Dalam lima tahun kita sudah tertekan akibat masuknya barang ilegal ke dalam negeri," kata Ade (Kompas.com, 7/10).

Secara umum, masalah yang dihadapi industri tekstil dan produk turunannya, menurut Ketua BKPM Franky Sibarani (Kompas.com, 10/10), mulai perpajakan, kesulitan keuangan, hingga mahalnya biaya produksi akibat tarif dasar listrik yang tinggi.

Terbukti, diskon 30% tarif listrik mulai pukul 24.00 sampai 08.00 dalam kebijakan ekonomi jilid III tak mengurungkan mereka menutup pabrik. Jangankan itu, suntikan modal kerja saja tak akan bisa menyelamatkan perusahaan mereka di tengah iklim usaha yang tidak kondusif.

Iklim usaha tak kondusif, pasar dikuasai produk impor ilegal, tarif pajak dan listrik berat, dan berbagai hal lain menyulitkan menjadikan usaha seperti ikan dalam kolam yang terkontaminasi limbah beracun. Suntikan oksigen (modal kerja) saja tak akan mampu menyelamatkan perusahaan mereka. Maka itu, mereka tolak uluran bantuan pemerintah.
Mesin-mesin mereka sudah tua sebagai alasan mereka tak mampu bersaing. Kalau iklim usaha kondusif, tentu mereka akan bisa bertahan, tak terpaksa mem-PHK ribuan buruhnya.

Ade Sudradjat benar, pelemahan ekonomi hanya pemicu. Banyak masalah sebenarnya dalam iklim usaha yang tak kondusif menjadi penyebab sebenarnya penutupan banyak pabrik.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, berdasar data BPJS Ketenagakerjaan yang diterima Apindo (okezone, 7/10), jumlah pekerja yang telah mencairkan jaminan hari tua (JHT) mencapai 200 ribu orang. Itu cerminan iklim usaha di Indonesia saat ini seperti kolam terkontaminasi. ***
Selanjutnya.....

FOMC Pastikan Suku Bunga Tak Naik!

KURS rupiah pada posisi Rp13.412 per dolar AS saat penutupan Jumat (9/10) sore menguat 3,43% dibanding penutupan sebelumnya pada 13.887. Sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari itu ditutup pada 4.598,34, naik 2,18% (Kompas.com, 9/10).

Menurut ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, penguatan rupiah dan IHSG yang cukup signifikan hari itu merespons hasil rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) malam Jumat (WIB), yang memastikan The Federal Reserve (The Fed) tidak menaikkan suku bunganya sampai akhir tahun ini (detik-finance, 9/10).

Jadi, kalau pada awalnya rupiah dan IHSG menguat didasarkan tafsiran pasar bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuannya karena data tenaga kerja AS buruk, sekarang telah didapat kepastian langsung dari pengelola The Fed. Sebagai dasar buat para pengambil kebijakan di pasar, hal itu menjadi lebih kuat.

Langkah FOMC itu diambil, menurut David, karena kalau suku bunga dinaikkan, dolar AS tambah kuat berakibat inflasi tinggi, sedang target mereka inflasi dijaga hanya 2%.

Kalau soal peningkatan kurs rupiah dan ringgit Malaysia hari itu menjadi terkuat di kawasan, hingga lebih 3%, dibanding won Korea 1,2%, Taiwan 1,1%, bath Thailand 0,4%, menurut David, karena pelemahan rupiah dan ringgit sebelumnya paling dalam sehingga jadi mata uang paling murah di emerging market. Karena itu, saat ada sinyal The Fed tak jadi menaikkan suku bunga, para investor pun membelinya.

Keputusan The Fed itu penting bagi pelaku pasar seluruh dunia, karena investor dari AS umumnya bermain di pasar emerging market menggunakan dana berbunga sangat murah dari bank dan lembaga keuangan negerinya, yang pada krisis kredit perumahan 2008 mendapat dana quantitative easing (QE), guyuran dana dari pemerintah berbunga murah sampai gratis untuk mendukung konsumsi masyarakat negerinya guna menggerakkan kembali ekonominya yang sempat stagnan. Dana QE yang dikucurkan Pemerintah AS waktu itu mencapai sekitar 760 miliar dolar.
Dana tersebut merembes dan menciptakan booming di pasar emerging market sehingga harga saham di bursa melesat dan menurut Ryan Filbert (Kompas.com, 10/10) banyak yang tidak mencerminkan kondisi sebenarnya kinerja perusahaan.

Karena itu, para pelaku pasar di dunia khawatir jika The Fed memasang suku bunga, berarti dana murah itu ditarik kembali lewat proses tapering. Gelembung busa di emerging market bisa gembos dan kembali hidup seadanya tanpa rembesan dana murah lagi. ***
Selanjutnya.....

Menyambut Tahun Baru 1437 Hijriah!

TAHUN 1436 Hijriah segera berlalu. Kita sambut kedatangan tahun baru 1437 Hijriah dengan semangat semakin mendekatkan diri kepada Allah, Sang Maha Pencipta.
 
Mendekatkan diri dimaksud realitasnya suatu kondisi absolut, sifatnya mutlak, tak bisa ditawar-tawar dan tak bisa dielakkan. Setiap datang tahun baru, bilangan usia bertambah, jadi semakin dekat pula dengan waktu pulang memenuhi panggilan kembali ke haribaan Sang Pencipta. Mau atau tidak, tetap akan selalu semakin dekat dengan kepastian yang tak bisa dihindari, bertemu dengan-Nya.
 
Karena itu, tentu akan lebih baik kalau untuk hari yang sudah pasti tiba itu dibuat persiapan yang terbaik. Dengan kesiapan itu, diharapkan hari yang dinantikan itu akan benar-benar menjadi amat istimewa. Tahun baru ini saat yang tepat untuk mulai menyusun persiapan dimaksud, selayak mempersiapkan bekal pulang kampung saat mudik Lebaran.
 
Seperti Lebaran, dengan persiapan yang cukup datangnya hari istimewa itu disambut dengan riang gembira, sebagai puncak syukur atas kesempatan singgah sejenak di alam fana ini.
 
Bagi yang meninggalkan kekasih di kampung, hal terpenting untuk persiapan mudik adalah tidak pulang membawa tanda-tanda adanya saingan sang pujaan hati. Tinggalkan pengkhianatan cinta berupa kemusyrikan, jauhi hal-hal yang bersifat syirik. Kalau tanda-tanda syirik itu ada, pasti sang kekasih murka, tak ada lagi maaf atau ampun!
 
Di zaman modern, kemusyrikan bukan lagi semata menyembah berhala dalam wujud batu. Berhala modern bisa tersamar dalam pemujaan dan keyakinan dalam banyak hal, salah satunya dalam materi siaran media berupa ramalan nasib, seperti astrologi.
Orang yang diramalkan nasib atau takdirnya baik mudah terpengaruh dan percaya. Padahal, orang yang membuat ramalan itu sendiri tak tahu takdirnya bakal seperti apa.
 
Tapi dalam masyarakat tradisional variannya juga banyak. Dari ajimat yang membuat dirinya kebal atau aman dalam kedudukan dan jabatannya, sampai yakin batu akik yang dipakainya membawa keberuntungan bagi hidupnya. Para pemilik ajimat itu pada tahun baru 1 Muharam, yang juga disebut 1 Sura, ada yang membuat upacara merawat dan memuja ajimatnya supaya tuahnya tetap, bahkan tambah hebat.
 
Sebagai persiapan agar saat pulang kampung diterima atau disambut baik, tinggalkan dan jauhi semua hal syirik itu, yang bisa dinilai menduakan Dia. Rayakan tahun baru dengan tekad menyiapkan bekal mudik terakhir yang terbaik. ***
Selanjutnya.....

Kebijakan Paket III Betul Nendang!

"KOK senyum sendiri?" Amir menegur Umar.
"Katanya kebijakan ekonomi paket III dijamin nendang!" jawab Umar. "Nyatanya menurunkan harga BBM jenis avtur untuk penerbangan domestik hanya 1 sen dolar AS per liter."
"Jangan dilihat nilainya yang 1 sen dolar hanya dengan volume 1 liter," timpal Amir. "Tangki pesawat Boing 737 itu di sayap kanan berisi 9 ton, sayap kiri 9 ton, di bawah badan pesawat 6 ton, total sekali full tank 24 ton! Jadi, meski seliter cuma 1 sen dolar, kalau full tank jelas nendang! Kalau maskapainya punya 100 pesawat, berapa besar pula nilainya sehari, sebulan, apalagi setahun!"
"Untuk kita, perkalian itu mungkin besar nilainya. Tapi buat maskapai pemilik 100 pesawat, seberapalah artinya itu?" tukas Umar. "Lagi pula, apa relevansinya itu dengan usaha menaikkan kurs rupiah dan IHSG?"
"Soal kurs rupiah dan IHSG kan cukup data tenaga kerja AS yang buruk hingga memberi isyarat The Fed sampai akhir tahun tidak menaikkan suku bunga acuan, beres sendiri!" tegas Amir. "Fokuslah bicara soal penurunan harga avtur 1 sen dolar per liter. Kebijakan itu hanya untuk menunjukkan pemerintah telah menurunkan harga BBM, tak penting jenisnya apa dan seberapa besar penurunannya. Karena sejak musibah AirAsia dekat Sampit, pemerintah tidak setuju dengan tiket murah dalam penerbangan sehingga harga tiket pesawat kemudian dipatok cenderung lebih mahal. Jadi, dengan penurunan harga avtur hanya 1 sen dolar itu, tentu agar tak bertentangan dengan kebijakan tiket mahal dari pemerintah."
"Tapi apakah dengan demikian tak terlihat pemerintah membuat kebijakan dengan setengah hati, malah bisa terkesan bercanda?" tanya Umar. "Padahal kebijakan tersebut dibuat untuk tujuan besar, mengatasi dampak pelambatan ekonomi nasional yang terimbas pelambatan ekonomi global, dengan meningkatkan daya beli rakyat. Sedangkan avtur tak ada relevansinya dengan daya beli rakyat!"
"Kalau cari yang ada hubungan dengan rakyat, harga solar diturunkan Rp200 per liter!" sambut Amir. "Sopir truk dan sopir bus pasti senang mendapat bonus ini. Setiap mengisi 100 liter, mereka akan mendapat kelebihan Rp20 ribu!"
"Kalau saja penurunan harga solar itu tak ditarik sebagai bagian keuntungan juragan truk atau bus. Lagi pula, seberapa besar sih bonus untuk sopir truk dan bus itu bisa menurunkan harga bahan pokok kebutuhan rakyat yang sudah menanjak tajam sepanjang tahun ini?" entak Umar. "Terkesan kuat, kebijakan itu amat jauh dari yang diharapkan rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Revisi UU KPK Reduksi Citra Jokowi!

PRESIDEN Joko Widodo tidak mengetahui adanya kelanjutan pembahasan revisi UU KPK di DPR. "Saya tadi dipanggil oleh Pak Presiden untuk menanyakan apa betul ada revisi UU KPK di DPR? Begitu. Jadi belum tahu persisnya seperti apa," ujar Kepala Staf Presiden Teten Masduki. (Kompas.com, 7/10)

Menurut Teten, sikap Presiden Jokowi sudah cukup jelas terkait dengan revisi UU KPK. Presiden menilai UU KPK belum perlu untuk diubah. "Presiden sudah sampaikan bahwa tidak menyetujui usulan revisi UU KPK. Dan sampai saat ini Presiden tidak pernah melakukan pembahasan lagi," tegasnya.

Juni lalu Jokowi menolak revisi UU KPK dan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menariknya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, belakangan ini beredar draf revisi UU KPK versi DPR, yang isinya antara lain membatasi usia KPK hanya 12 tahun, KPK tak memiliki kewenangan penuntutan dan perekrutan stafnya termasuk penyidik, serta untuk penyadapan harus dengan izin pengadilan setelah memiliki bukti awal yang cukup.

Inisiator revisi UU KPK itu, Mukhamad Misbakhun dari Fraksi Partai Golkar, berharap revisi rampung sebelum pemilihan lima pimpinan KPK berakhir. Dengan demikian, pimpinan yang baru terpilih dapat langsung mengimplementasikan UU yang telah direvisi. (Kompas.com, 8/10)

Inisiator lainnya, Masinton Pasaribu dari Fraksi PDIP, menyatakan revisi dilakukan saat ini untuk menghemat waktu sehingga pimpinan KPK yang baru tak perlu mempelajari UU KPK dua kali, yakni UU yang berlaku saat ini dan UU yang telah rampung revisinya.

Beredarnya draf revisi UU yang memangkas banyak kewenangan KPK itu mengundang reaksi menolak dengan keras revisi tersebut. Seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai DPR bermaksud menghancurkan KPK. Sementara Lembaga Antikorupsi Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) menyebut draf itu menandakan KPK segera dihabisi keberadaannya.
Namun, semua usaha merevisi UU KPK itu pasti berhadapan dengan sikap Jokowi. "Tidak ada alasan untuk merevisi karena memperkuat KPK itu sekarang justru penting. Revisi itu akan memperlemah KPK," tegas Teten menyampaikan sikap Jokowi, Juni lalu. (Kompas.com, 19/6)

Revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK jelas mereduksi citra Presiden Jokowi, yang citranya untuk antikorupsi melorot sejak membiarkan pimpinan KPK dikriminalisasi. Jadi, pasti Istana akan menggagalkan revisi itu. Jokowi jelas tak mau kehilangan tongkat dua kali untuk citra dirinya antikorupsi! ***
Selanjutnya.....

Gaduh Lagi, DPR Minta BPK Audit BI

KEGADUHAN ternyata tak bisa reda untuk menciptakan iklim politik yang kondusif untuk mengatasi pelambatan ekonomi. Kegaduhan baru datang dari Komisi XI DPR yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam intervensi menjaga kurs rupiah.

Ide mengaudit BI ini pertama disuarakan Fraksi PDIP. "Fraksi PDI Perjuangan segera mengirim surat resmi ke pimpinan DPR guna melakukan rapat konsultasi dan meminta BPK melakukan audit terhadap BI," kata Ketua Kelompok Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno. (Antara, 29/9)

Menurut mantan Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Anggito Abimanyu, keinginan DPR agar BPK mengaudit BI tidak bisa dilakukan karena ada undang-undang (UU) yang melarang hal itu atas dasar independensi otoritas moneter. BPK hanya diperbolehkan mengaudit anggaran operasional BI, sedang anggaran kebijakan (policy) tak bisa. (Sindonews, 6/10)

Mungkin karena adanya batasan UU untuk mengaudit BI itu, anggota Komisi XI DPR terpecah dua. Menurut ketua komisi itu, Fadel Muhammad, dalam Komisi XI ada yang setuju dilakukan audit, ada pula yang menentangnya. Alasan yang menolak, takut kredibiltas BI sebagai otoritas moneter jatuh. (CNN-Indonesia, 5/10)

Kegaduhan ini bakal bisa lebih seru karena pihak yang mendukung audit terhadap BI mengajukan UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU Nomor 15/2006 tentang BPK.

Meskipun demikian, Ketua BPK Hari Azhar Azis kepada Tempo.co (6/10) mengaku belum bisa mengaudit operasi moneter yang dilakukan BI. "Audit kinerja BI tergantung permintaan DPR. Sesuai UU BI, kami belum bisa mengaudit kinerja operasi moneter BI," ujar Hari.

Wacana audit ini semakin kencang setelah Gubernur BI Agus Martowardojo mengkritik Jokowi hanya mencari popularitas terkait rencana pemerintah menurunkan harga BBM.

Agus menganggap wacana DPR mengaudit BI memiliki konsekuensi negatif. Menurut Agus, persepsi pasar kepada otoritas moneter akan buruk. "Dan wacana BI mau diaudit itu tidak membuat persepsi baik. Itu malah membuat orang bertanya-tanya mengapa otoritas moneter mau dilakukan audit," ujar Agus. (Kompas.com, 2/10)

Pelemahan rupiah yang terus terjadi saat ini, menurut Agus, tak hanya disebabkan faktor eksternal ketidakpastian suku bunga AS dan pelemahan ekonomi Tiongkok. Persepsi pasar kepada pemerintah yang tak baik juga dinilai sebagai salah satu penyebabnya.

Jadi, kalau persepsi pasar kepada BI juga dibuat buruk, baru seimbang. ***
Selanjutnya.....

Data AS Perkuat Rupiah dan IHSG!

SENTIMEN positif buruknya data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) terhadap nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) berlanjut ke Selasa (6/10), rupiah tembus ke Rp14.200 per dolar AS dan IHSG naik ke level 4.400.

Penguatan rupiah di pasar spot mencapai Rp14.263 per dolar AS pada pukul 09.00, Selasa, cukup signifikan dibanding penutupan akhir pekan pada posisi Rp14.716/dolar AS. Demikian pula IHSG, Senin (5/10), ditutup menguat 135,9 poin (3,23%) di posisi 4.343,70, pada pembukaan perdagangan Selasa pagi melesat lagi hingga 70,65 poin (1,63%) ke level 4.414,35. (Kompas.com/detik-finance, 6/10)

Dengan buruknya data tenaga kerja AS September 2015, kalangan investor di Wall Street sudah yakin The Federal Reserve (The Fed) tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya dari nol persen. Indeks Dow Jones dan indeks S&P pun melonjak tinggi. Ini diikuti bursa Asia Pasifik yang melanjutkan lonjakan Senin. Pada Selasa pagi, indeks Nikkei 225 Tokyo melonjak lagi 298,23 poin (1,66%). Indeks Hang Seng Hong Kong naik 182,45 poin (0,83%). Dan indeks Straits Times naik 30,78 poin (1,08%).

Momentum penguatan rupiah dan IHSG terpicu oleh sentimen positif eksternal ini sebaiknya dijaga oleh Bank Indonesia (BI) dan kabinet pemerintahan Jokowi-JK agar mampu memperingan tekanan pelemahan ekonomi.

Kegaduhan polemik antara BI dan kabinet terkait komitmen penyesuaian harga BBM berkala setiap tiga atau enam bulan sebaiknya dihentikan. Kalau kabinet mau melanggar komitmen itu silakan saja asal membantu kondisi ekomomi semakin kondusif. Termasuk kalaupun penurunan harga BBM itu untuk pencitraan sekalipun, silakan! Percepat dan perbesar penurunan harganya agar cukup kuat memengaruhi penurunan harga bahan pokok.

Memang, penurunan harga BBM itu baru bermakna bagi rakyat jika bisa membawa ikut turun harga barang-barang kebutuhan pokok, beras, gula, minyak goreng dan sebagainya. Tapi tabiat harga kebutuhan pokok di negeri kita agak aneh, kalau ada sentimen negatif cepat berpacu naik, sedangkan kalau ada sentimen positif, tak serta-merta turun. Selalu perlu katalisator untuk memengaruhi agar harga barang kembali turun. Semisal, operasi pasar.

Semua itu perlu dilakukan untuk mendukung penguatan rupiah dan mengendurkan iklim ekonomi dari kondisi tertekan berkepanjangan. Seiring dengan itu pula, patokan nilai rupiah dalam APBN pada Rp13.900 per dolar AS juga segera bisa terwujud. Dan semua itu tercapai berkat data tenaga kerja AS buruk! ***
Selanjutnya.....

Data Tenaga Kerja AS Buruk!

DATA tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis Jumat (2/10) ternyata buruk. Data nonfarm payroll September 2015 dari prediksi 201 ribu turun hanya menjadi 142 ribu. Begitu juga dengan upah tenaga kerja mengempis dari 0,4% menjadi 0,0% (Kompas.com, 5/10).
Data tenaga kerja itu merupakan indikasi solidnya ekonomi AS. Jika data itu buruk, berimbas pada kepercayaan pasar terhadap ekonomi AS bisa menipis, demikian pula indeks dolar AS bisa merosot.

Imbas itu terlihat langsung pada respons pasar saham dunia. Bursa di kawasan regional Asia Timur pada Senin (5/10) pagi dibuka langsung melejit hijau. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,99%, indeks Hangseng Hong Kong melonjak 1,97%, dan indeks Shanghai Tiongkok naik 0,48%.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI) yang buka dua jam setelah Nikkei dan Hangseng itu tentu saja ikut menikmati sentimen positif bursa regional itu dengan tembus level psikologis 4.300 pada pukul 09.20 pada posisi 4.302,23 atau melonjak 2,24%. IHSG dibuka pada posisi 4.243,33, naik 35,53 poin dibanding penutupan Jumat lalu.

Demikian pula nilai tukar rupiah yang pada penutupan Jumat pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) melemah 0,38% di level Rp14.709 per dolar (Kompas.com, 5/10). Pada Senin (5/10), pukul 10.24, sudah meninggalkan level 14.600 dan pada pukul 10.42 sudah menguat 91 poin di posisi Rp14.555 per dolar (Bisnis.com, 5/10).

Sentimen positif bagi IHSG dan rupiah sebagai imbas buruknya data tenaga kerja AS itu tentu harus segera didukung langkah dan usaha-usaha konkret untuk mendukungnya, mengimbangi berlanjutnya ekses negatif pelambatan ekonomi dan merosotnya harga komoditas.
Misalnya, rencana untuk menurunkan harga BBM dan tarif listrik industri harus secepatnya diwujudkan agar tak terlalu lama sebagai wacana.

Juga, tidak terpaku hanya pada harga BBM dan tarif listrik industri, masih banyak langkah lain lagi dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli rakyat yang sudah terpuruk terlalu parah dewasa ini, hingga melongsorkan ratusan ribu orang ke jurang di bawah garis kemiskinan.
Misalnya, menajamkan fokus bantuan ke para pekerja (buruh tani) subsektor perkebunan rakyat yang harga komoditasnya sedang jatuh, seperti sawit dan karet.

Bisa dibayangkan nasib buruh taninya ketika harga tandan buah segar (TBS) sawit di Lampung Selatan hanya Rp400 per kg. Pokoknya daya beli rakyat akar rumput butuh perhatian lebih serius ketimbang investor yang masih enggan masuk. ***
Selanjutnya.....

Menanti Kebijakan yang Nendang!

PEMERINTAH telah menunjukkan sikap tanggap untuk menahan laju kemerosotan berkepanjangan kurs rupiah dan IHSG dengan mengeluarkan dua paket kebijakan: September 1 dan September 2. Namun, kedua paket kebijakan tampak kurang “nendang”.

September 2, misalnya, hanya mampu satu hari menaikkan sedikit kurs rupiah dan IHSG. Hari berikutnya kembali ke jalur penurunan. Rupiah pada perdagangan Jumat (2/10) pagi dibuka melemah di posisi Rp14.716 per dolar AS, dibanding penutupan hari sebelumnya pada Rp14.667 per dolar. Sedang IHSG pada pembukaan hari itu terpangkas 12,049 poin (0,28%) ke level 4.242,827. (detik-finance, 2/10).

Terkait itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemerintah pekan ini akan meneruskan jurusnya ke paket jilid 3 yang lebih nendang. Maksudnya, kebijakan yang langsung memberi efek dalam jangka pendek. Langkah itu dimulai dengan menghadirkan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto dan Dirut PLN Syofyan Basir pada rapat kabinet terbatas, Kamis (1/10).

Dalam rapat itu, kata Anung, Presiden Jokowi meminta agar dalam paket 3 ada pengumuman penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan tarif listrik industri. Bersama Pertamina dan PLN, Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan ditugasi menghitung ulang harga BBM dan tarif listrik.

Tekanan untuk menurunkan harga BBM cukup kuat dari kalangan pakar, sejalan dengan harga minyak dan gas (migas) dunia yang turun terus, terakhir pada kisaran 40-an dolar AS per barel.

Dengan pelemahan ekonomi global terdampak pelemahan ekomomi Tiongkok yang menyeret turunnya harga komoditas, bahkan perusahaan investasi kelas dunia Goldman Sach memprediksi harga minyak bumi akan turun sampai 20 dolar per barel.

Namun, Corporate Secretary Pertamina Wisnuntoro, dalam diskusi (Kompas.com, 2/10), menyatakan sampai hari ini Pertamina masih rugi Rp15,2 triliun. Merosotnya kurs rupiah mengakibatkan harga keekonomian BBM Ron 88 menjadi Rp7.700 hingga Rp7.800 per liter, bukan Rp7.400 seperti dijual Pertamina saat ini.

Jadi, harga jualnya sekarang tidak lebih tinggi dari harga pasar internasional seperti hitungan pakar. Sebelumnya itu diakui dan disebutkan, kelebihan harga jual Pertamina dari pasar internasional untuk menutupi utang Pertamina.

Mungkin beban utang dan bunga itu yang membuat harga keekonomiannya jadi ruwet. Berarti untuk menurunkan harga BBM, utang itu harus dirasionalisasikan sebagai lazimnya beban perusahaan, bukan beban yang dipikul rakyat lewat harga BBM. ***
Selanjutnya.....

Bendera Palestina Berkibar di PBB!

BENDERA negara Palestina untuk pertama kalinya berkibar di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York, Rabu (30/9). Presiden Palestina Mahmoud Abbas bersama Sekjen PBB Ban Ki-moon memimpin seremoni pengibaran bendera itu.
Salut buat Sekjen PBB asal Korea Selatan itu, yang menepis penentangan Israel dan AS atas pengibaran bendera Palestina. Alasan Israel, pengibaran bendera tidak berdampak langsung terhadap perdamaian.

Namun, Ban bersikukuh pengibaran bendera itu hal penting yang bisa memicu aksi untuk perdamaian. "Sekarang saatnya untuk menghadirkan kepercayaan bagi rakyat Israel dan Palestina untuk penyelesaian perdamaian, dan pada akhirnya, realisasi dua negara untuk dua rakyat," kata Sekjen PBB. (Kompas.com, 30/9)

Sikap dan tindakan Ban Ki-moon itu didasarkan pada hasil pemungutan suara dalam Sidang Majelis Umum PBB terakhir, dengan 119 suara setuju dan 8 negara termasuk Israel dan AS menolak. Dengan itu PBB secara resmi mengakui Palestina sebagai negara pemantau nonanggota yang benderanya berkibar di markas PBB. Selain Palestina, Vatikan adalah negara pemantau nonanggota yang benderanya dikibarkan di markas PBB.

Seremoni pengibaran bendera itu dilakukan seusai Mahmoud Abbas pidato di Majelis Umum PBB, menyerukan solusi bagi dua negara, Palestina dan Israel. "Dalam momen bersejarah ini, saya menyerukan kepada rakyat kami di mana pun, kibarkan bendera milik rakyat Palestina tinggi-tinggi karena ini merupakan simbol dari identitas kami," ujar Abbas dalam seremoni itu.
Momen pengibaran bendera itu dirayakan masyarakat Palestina di Kota Ramallah, Tepi Barat. Mereka menyaksikan melalui televisi. Saat Abbas pidato di televisi, warga Palestina terdiam mendengarkan ucapan Abbas.

Konflik Palestina-Israel berawal dari Deklarasi Balfour 2 November 1917 di Inggris yang menjanjikan “tanah air” bagi Yahudi di bumi Palestina. Sejak itu terjadi eksodus perantau Yahudi Eropa ke tanah Palestina.

Itu diuntungkan oleh pemberian mandat Liga Bangsa-Bangsa (pra-PBB) kepada Inggris atas wilayah Palestina pada 1922. Dalam kurun itu, 1936—1939 terjadi Revolusi Arab untuk merebut wilayah Palestina dipimpin Amin Al-Husseini, tapi dikandaskan Inggris. Lantas, 14 Mei 1948 Yahudi mendeklarasikan negara Israel.

Sejak itu, usaha Palestina mendirikan negara merdeka yang berdaulat penuh di atas Tanah Air sejatinya dihalangi Israel. Pengibaran bendera Palestina di PBB jadi momen penting perjuangan rakyat Palestina. ***
Selanjutnya.....

Siapa yang Kampanye untuk 'Tidak'?

DALAM referendum, selalu ada dua pihak yang bersaing dalam kampanye memenangkan opsi, "yes" atau "no". Tapi dalam pemilukada calon tunggal dengan sistem referendum, siapa yang kampanye untuk pilihan "tidak"?

Tanpa ada dua opsi yang dipersaingkan sehingga rakyat pemilih hanya dijejali informasi keunggulan satu pihak saja, jelas sangat tidak adil bagi rakyat pemilih. Karena, tanpa adanya satu pihak yang menyampaikan kekurangan atau kelemahan pada pilihan "yes" atau "setuju", rakyat pemilih hanya diguyur informasi sepihak yang tanpa verifikasi, koreksi, maupun bandingan kebenarannya.

Sedangkan kalaupun ada pihak lain yang coba mengkritisi dan mengonter informasi materi kampanye calon tunggal (kemungkinannya petahana yang memborong partai), pada era sekarang ini bisa dituduh melakukan pencemaran nama baik. Bisa mengalami kesulitan jika tuduhan itu diproses pidana.

Maka itu, untuk adilnya bagi rakyat pemilih, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya sejak awal sudah memikirkan peluang bagi pihak-pihak volunter (LSM, ormas, atau gerakan warga sipil lainnya) yang akan kampanye untuk pilihan "tidak", tentu dengan menyiapkan bahan-bahan alasannya yang valid dan verifikatif—semisal hasil penelitian dan survei. Dengan itu rakyat pemilih diberi gambaran yang benar dan adil atas opsi yang harus dipilihnya—sebagaimana lazimnya referendum.

Referendum hal baru bagi rakyat Indonesia. Dan ketika dipraktikkan di Timor Timur, Pemerintah Indonesia kalah melawan opsi rakyat setempat untuk memisahkan diri dari NKRI. Untuk itu, gerakan masyarakat sipil perlu belajar dari Timor Timur (kini Timor Leste) bagaimana cara kampanye dan memobilisasi rakyat untuk memilih opsi "tidak" kepada penguasa.

Kampanye untuk menentang penguasa yang telah memborong partai politik—sebagaimana dikhawatirkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dalam dissenting opinion-nya—hingga tampil sebagai calon tunggal itulah yang membutuhkan legalitas. Itu demi rakyat pemilih mendapatkan informasi yang benar, setidaknya menurut standar survei atau data verifikatif lainnya.

Menyimak dissenting opinion Patrialis Akbar, untuk membuat kesetaraan kolom "tidak" dengan calon tunggal yang dilawannya, tak lain adalah dengan menabalkan kolom "tidak" tersebut sebagai subjek hukum, sebagaimana realitasnya ia dihadapkan sejajar dengan subjek hukum lainnya—si calon tunggal.

Sebagai subjek hukum, kolom "tidak" punya hak yang setara untuk mendapat advokasi mengampanyekan kepentingannya. ***
Selanjutnya.....

Calon Tunggal Dipilih Referendum!

MK—Mahkamah Konstitusi—Selasa (29/9) membuat dua keputusan terkait pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Pertama, calon tunggal dipilih lewat sistem referendum. Kedua, calon perseorangan didukung KTP 7,5% dari daftar pemilih tetap (DPT)—sebelumnya 7,5% dari jumlah penduduk.

Pemilihan dengan sistem referendum dimaksud, setiap pemilih saat masuk bilik tempat mencoblos mendapat surat suara dengan dua pilihan, "Setuju" dan "Tidak". Kalau memilih mendukung sang calon tunggal menjadi kepala daerah, dia pilih kolom "Setuju". Kalau tidak mendukung, pilih kolom "Tidak".

Jika hasil penghitungan suara "Setuju" unggul atau menang, maka sang calon tunggal terpilih jadi kepala daerah. Tapi kalau pilihan "Tidak" yang menang, si calon tunggal gagal jadi kepala daerah, pemilihan kepala daerah akan dilakukan lagi pada pemilukada periode berikutnya. Sampai ada kepala daerah definitif hasil pemilukada, daerah bersangkutan dipimpin oleh seorang pelaksana tugas (plt).
Putusan MK tentang calon tunggal dipilih dengan sistem seperti referendum itu tidak diputus dengan suara bulat oleh sembilan hakim MK. Hakim konstitusi Patrialis Akbar menyampaikan pendapat yang berbeda dari hakim-hakim lainnya (dissenting opinion).
Menurut Patrialis, pemilihan untuk memilih kepala daerah adalah subjek hukum. Subjek hukum tersebut adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan perundang-undangan. Karena itu, calon kepala daerah sebagai subjek hukum tidak dapat disandingkan dengan nonsubjek hukum, seperti kolom setuju atau tidak setuju dalam referendum. (Kompas.com, 29/9) 

Pemilukada bukanlah referendum, melainkan suatu kontestasi berupa pemilihan dari beberapa pilihan, tegas Patrialis. Ia mengkhawatirkan terjadinya penyeludupan hukum jika calon tunggal tetap dibenarkan. Misalnya, terjadi liberalisasi oleh para pemilik modal untuk membeli partai politik sehingga ada hanya satu calon yang bisa maju pemilukada.

Calon tunggal sering terjadi karena petahana dinilai terlalu kuat sehingga calon-calon lain tak mau berbuat sia-sia, arang habis besi binasa. Tapi dengan putusan MK ini, petahana yang sebenarnya tidak cukup kuat pun dengan penguasaan sumber daya dan lapangan bisa saja memborong semua partai untuk tampil jadi calon tunggal.

Terbukanya kemungkinan begitu, MK meringankan syarat calon perseorangan. Tokoh yang benar-benar mumpuni, akan bisa mengalahkan petahana yang asal borong partai, tapi sesungguhnya tidak benar-benar kuat. ***
Selanjutnya.....

Kelamaan Langka Sentimen Positif!

Terlalu lama sentimen positif domestik yang kuat tidak kunjung muncul dalam perekonomian negeri ini, kemerosotan kurs rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) dampak krisis global berkepanjangan tidak bisa dibendung. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Selasa (29/9) pagi, berdasar data Bloomberg, pukul 09.00, berlanjut terpuruk ke posisi Rp14.811/dolar AS dibanding penutupan hari sebelumnya pada 14.674. (Kompas.com, 29/9)

Sementara IHSG, pada pukul 09.05 hari yang sama terjun 81.613 poin (1,98%) ke level 4.038,349. (detik-finance, 29/9). Bandingkan dengan rekor IHSG, 7 Juli 2015, pada level 5.500, berarti IHSG telah kehilangan nilai hampir 1.500 poin atau 27% dalam waktu dua bulan 22 hari.

Sejauh ini, kurs rupiah dan IHSG terkesan dibiarkan meluncur tanpa adanya usaha membuat sentimen positif yang benar-benar efektif sebagai kebijakan untuk menghambat keberlanjutan kemerosotannya.

Di kalangan pemerintah, hanya Presiden Jokowi yang repot untuk membuat sentimen positif yang diperlukan untuk itu. Dia sendiri yang membuat paket kebijakan deregulasi lewat debirokratisasi yang komprehensif, merombak 89 peraturan dan membuat secara keseluruhannya 176 peraturan baru. Namun, setelah programnya dia canangkan, implementasi bongkar pasang peraturannya cenderung sporadis sehingga gagal menjadi sentimen positif yang andal dan efektif bagi mengatasi sentimen negatif imbas pelambatan global.

Sementara di sisi Bank Indonesia (BI), selain terlalu yakin mematok suku bunga acuan pada 7,5% sebagai obat sapu jagat buat mengatasi dan mencegah segala gejala penyakit moneter, kehadirannya di pasar uang untuk intervensi terkesan setengah hati. Buktinya, intervensi berlangsung tetapi kemerosotan kurs rupiah juga berlanjut terus.

Sepertinya, dalam melakukan intervensi pasar BI terlalu eman-eman dengan cadangan devisa yang jumlahnya memang terus merosot, dari kisaran 110 miliar dolar AS pada awal tahun kini tinggal 103 miliar dolar AS. Namun, secara praktis, semua itu tidak cukup untuk menjadi sentimen positif yang mampu mengatasi sentimen negatif dari luar.

Di lain sisi, kegaduhan dari segala penjuru di dalam negeri malah menjadi sentimen negatif internal yang efektif. Dari kegaduhan cicak lawan buaya dan lanjutannya dengan unjuk kuasa kepolisian yang berlarut, ada pula yang kepret sana kepret sini, sampai asap pembakaran hutan sekapannya tidak berhasil diatasi pemerintah, mengakibatkan sentimen positif domestik kian sulit diciptakan. ***
Selanjutnya.....