Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Siapa yang Kampanye untuk 'Tidak'?

DALAM referendum, selalu ada dua pihak yang bersaing dalam kampanye memenangkan opsi, "yes" atau "no". Tapi dalam pemilukada calon tunggal dengan sistem referendum, siapa yang kampanye untuk pilihan "tidak"?

Tanpa ada dua opsi yang dipersaingkan sehingga rakyat pemilih hanya dijejali informasi keunggulan satu pihak saja, jelas sangat tidak adil bagi rakyat pemilih. Karena, tanpa adanya satu pihak yang menyampaikan kekurangan atau kelemahan pada pilihan "yes" atau "setuju", rakyat pemilih hanya diguyur informasi sepihak yang tanpa verifikasi, koreksi, maupun bandingan kebenarannya.

Sedangkan kalaupun ada pihak lain yang coba mengkritisi dan mengonter informasi materi kampanye calon tunggal (kemungkinannya petahana yang memborong partai), pada era sekarang ini bisa dituduh melakukan pencemaran nama baik. Bisa mengalami kesulitan jika tuduhan itu diproses pidana.

Maka itu, untuk adilnya bagi rakyat pemilih, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya sejak awal sudah memikirkan peluang bagi pihak-pihak volunter (LSM, ormas, atau gerakan warga sipil lainnya) yang akan kampanye untuk pilihan "tidak", tentu dengan menyiapkan bahan-bahan alasannya yang valid dan verifikatif—semisal hasil penelitian dan survei. Dengan itu rakyat pemilih diberi gambaran yang benar dan adil atas opsi yang harus dipilihnya—sebagaimana lazimnya referendum.

Referendum hal baru bagi rakyat Indonesia. Dan ketika dipraktikkan di Timor Timur, Pemerintah Indonesia kalah melawan opsi rakyat setempat untuk memisahkan diri dari NKRI. Untuk itu, gerakan masyarakat sipil perlu belajar dari Timor Timur (kini Timor Leste) bagaimana cara kampanye dan memobilisasi rakyat untuk memilih opsi "tidak" kepada penguasa.

Kampanye untuk menentang penguasa yang telah memborong partai politik—sebagaimana dikhawatirkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dalam dissenting opinion-nya—hingga tampil sebagai calon tunggal itulah yang membutuhkan legalitas. Itu demi rakyat pemilih mendapatkan informasi yang benar, setidaknya menurut standar survei atau data verifikatif lainnya.

Menyimak dissenting opinion Patrialis Akbar, untuk membuat kesetaraan kolom "tidak" dengan calon tunggal yang dilawannya, tak lain adalah dengan menabalkan kolom "tidak" tersebut sebagai subjek hukum, sebagaimana realitasnya ia dihadapkan sejajar dengan subjek hukum lainnya—si calon tunggal.

Sebagai subjek hukum, kolom "tidak" punya hak yang setara untuk mendapat advokasi mengampanyekan kepentingannya. ***

0 komentar: