Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Trisula Pemulihan Pasdapandemi!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Senin 27-09-2021
Trisula Pemulihan Pascapandemi!
H. Bambang Eka Wijaya

PRIORITAS pemulihan pascapandemi pemerintah pusat kesehatan dan ekonomi. Pemerintah Daerah sebaiknya fokus pemulihan pendidikan sehingga program pusat dan daerah di lapangan terpadu menjadi Trisula pemulihan panscapandemi; kesehatan, ekonomi, pendidikan. 
Pasalnya, sektor pendidikan--terutama pendidikan dasar dan menengah--juga babak belur diterjang pandemi.
Menurut laporan PBB, selama pandemi Covi-19 2020-2021, siswa di Indonesia kehilangan pengalaman masa belajar (learning lost) selama satu tahun. Ditambah learning lost sebelum pandemi dari masa belajar 12,4 tahun yang efektif belajar hanya 7,8 tahun, secara keseluruhan learning lost 5,6 tahun.
Hal itu mengakibatkan kemampuan siswa Indonesia rendah, baik dalam membaca, matematika dan sains jauh di bawah rata-rata siswa global. Hal itu terlihat dari hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) yang diumumkan 3 Desember 2019, siswa Indonesia meraih nilai membaca 371 dari rata-rata 79 negara 487, matematika 379 dari rata-rata 489, dan sains 396 dari rata-rata 489.
Bisa dibayangkan pancapandemi yang menambah learning lost siswa Indonesia selams satu tahun, bisa kian rendah kenampuan belajar siswa Indonesia.
Namun karena pendidikan dasar dan menengah dalam otonomi daeperah masuk di bawah kewenangan Pemerintah Daerah tingakat II dan ringkat I, maka lemahnya kemampuan belajar siswa tak lepas dari tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Dalam hal ini, jika konten atau materi pelajaran merupakan kewenangan pusat, maka daerah bisa fokus pada pengelolaan sekolah, mengurus guru dan tenaga kependidikan, membina murid, mengontrol pengelolaan sekolah terutama kesehatan sekolah
Peran eksekutif dan legislatif daerah bagi kemajuan prndidikan di daerahnya cukup strategis. Karena berada di tangan elite daerah itu sendiirilah tergant6ng bakal jadi seperti apa peradaban di daerah itu, yang prosesnya terbentuk melalui pendidikan.
Contohnya, kalau elite daerah itu, eksekutif dan legialatif sepakat mengalokasikan dana pembangunan toilet sekolah yang bersih, kemudian setiap,tahun dianggarkan biaya pemeliharaan toilet, maka ke depan bisa diharapkan munculnya generasi maju yang  berperadaban besih dan sehat.
Jangan harapkan perbangunan kepribadian anak-anak daerah kita pada pejabat pusat yang bekerja untuk formalitas,jabatan, lazim lima tahun kemudian bubar bersama berakhitnya rezim. Jadi, lebih baik jika kita memberi perhatian terbaik buat anak-anak daerah kita. ***




Selanjutnya.....

Krisis Learning Lost RI Makin Parah!

Artikel Halaman 12, Lampungll Post Rabu 22-09-2021
Krisis 'Learning Lost' RI Makin Parah!
H. Bambang Eka Wijaya

KRISIS kehilangan pengalaman masa belajar (learning lost) pada siswa di Indonesia semakin parah akibat pandemi Covid-19. Hasil penelitian PBB mencatat, sampai Juni 2021 learning lost itu 10 bulan, jika dilanjutkan hingga Agustus menjadi genap satu tahun.
Kehilangan pengalaman masa belajar genap satu tahun di masa pandemi memperparah dampaknya berupa 'learning loss' atau kemampuan belajar siswa yang rendah.
Sebab, menurut PBB, sejak sebelum pandemi Indonesia telah mengalami learning lost, dari 12,4 tahun masa belajar, pengalaman masa belajar yang efektif hanya 7,8 tahun. Berarti sebelum pandemi sudah kehilangan pengalaman masa belajar 4,6 tahun, ditambah satu tahun selama pandemi menjadi 5,6 tahun.
Rendahnya kemampuan belajar (learning loss) sebelum pandemi tercermin pada hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) yang diumumkan 3 Desember 2019. Kemampuan belajar siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata 79 negara, yakni skor membaca siswa Indonesia 371 rata-rata 79 negara 487, matematika 379 rata-rata 489, dan Sains 396 rata-tata 489.
Skor PISA siswa Indonesia 2019 itu merosot dari 2015, yakni 397, 386 dan 403. Terlihat, dampak learning loss yang memburuk, dan bisa tambah parah dengan learning lost selama pandemi.
Rendahnya kemampuan belajar siswa akibat learning lost punya dampak jangka pendek dan jangka panjang, yang perlu mitigasi mengatasinya.
Dampak jangka pendek paling serius adalah kesulitan anak mengikuti pelajaran baru akibat lonjakan kelas yang diperolehnya selama libur panjang. Awal libur kelas dua, Juni 2020 naik kelas tiga, Juni 2021 naik kelas lagi, September 2021 masuk kelas empat.
Lompatan mata pelajaran dari kelas dua ke kelas empat itu perlu mitigasi, menjalani ringkasan proses agar siswa tidak terlalu bingung tiba-tiba mendapat pelajaran jauh dari pekembangan kognisinya. Tanpa proses mitigasi yang baik, proses pembelajaran yang dipaksakan bisa mengganggu tumbuh kembakng jiwa anak (menderita tekanan psikososial berkepanjangan).
Dampak jangka panjang rendahnya kemampuan belajar membuat siswa sukar mencapai kompetensi dalam pendidikan. Dengan kompetensi menjadi syarat mendapatkan pekerjaan di masa depan, maka siswa tersebut kelak sukar nendapatkan pekerjaan.
Namun karena learning lost merupakan kejadian yang dialami kebanyakan siswa di Tanah Air, maka harus dicegah dengan sungguh-sungguh learning lost ini tidak bablas jadi generation lost. ***






Selanjutnya.....

Rrstoratif, Bukan Sekadar Pencitraan!

Artikel Halamsn 12, Lampung Post Selasa 21-09-2021
Restoratif, Bukan Sekadar Pencitraan!
H. Bambang Eka Wijaya

UNDANGAN ke Istana dari Presiden Jokowi kepada Suroto, pembentang poster saat kunjungan Presiden ke Blitar, diharapkan sebagai awal langkah restoratif mengakhiri gejala represif yang meresahkan masyarakat, bukan sekadar pencitraan.
Langkah restoratif mengoreksi kemungkinan adanya kesalahan--dalam tindakan pemerintah yang cendering represif membungkam masyarakat yang takut dikriminalisasi dengan UU ITE jika menyampaikan aspirasinya--hingga rakyat nekat mengambil risiko ditangkap polisi menyampaikan aspirasi dengan membentang poster saat Presiden melintas.
Restorasi itu kembali ke konsep awal. Seperti Restorasi Borobudur, membangun kembali puing-puing Borobudur yang beserakan sesuai cetak biru awalnya. Kritik berasas restorasi bersifat puritan, berusaha kembali bahkan memurnikan sesuai konsep awal--cetak birunya.
Jadi langkah restoratif mengoreksi kecenderungan represif, kembali ke konsep awal demokrasi dengan terbukanya dialog yang setara antara elite dan massa, tanpa tekanan superioritas di salah satu pihak. Lewat dialog itu disusun kembali ke konsep awal puing-puing penderitaan rakyat yang berserakan akibat represi.
Bayangkan, derita peternak unggas di Jatim sudah cukup lama, puncaknya Januari 2021 ketika peternak Magetan membuang telur ayam ke jalan raya. Tapi semua instansi terkait yang dihubungi Suroto, tak satu pun yang peduli hingga ia diundang Jokowi ke Istana.
Dengan demikian selain semangat korektif menjadi inti atau hakikat langkah restoratif, dialog menjadi sarana demokrasi pilihan Jokowi dalam masyarakat terbuka (the open society).
Langkah restoratif yang berjiwa korektif dalam demokrasi the open society Karl Popper, bernafaskan falsifikasi, pengakuan bahwa manusia makhluk yang diniscayakan bisa salah, sehingga apa pun karyanya baik sains maupun lainnya harus bisa dibuktikan salah. Yang tak bisa dibuktikan salah itu dogma agama dan ideologi.
Maksudnya, dengan langkah restoratif dalam demokrasi masyarakat terbuka, semua pihak harus siap saling mengoreksi dan dikoreksi, sesuai prinsip falsifikasi bahwa manusia berkemungkinan salah. Dengan demikian kehidupan bernegara bangsa bisa selalu restoratif, yakni selalu terjaga dalam maknanya yang benar.
Dengan mengundang Suroto ke Istana bisa diasumsikan Jokowi sudah melangkah ke arah demokrasi masyarakat terbuka yang berporos pada dialog. Diharapkan seluruh jajaran pemerintah mendukung dengan mengganti gaya represif dengan restoratif. ***


Selanjutnya.....

Keniscayaan KKB Serang PON Papua!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Senin 20-09-2021
Keniscayaan KKB Serang PON Papua!
H. Bambang Eka Wijaya

NENEK mengingatkan cucu, "Mendung gelap mau hujan, bawa motor jangan kencang!"
"Pesan Nenek terbalik," timpal cucu. "Mengejar agar jangan kehujanan justru harus lebih cepat jalan motornya."
"Itu ysng tak boleh!" tegas nenek. "Karena kalau semua orang buru-buru dan berlari kencang, rawan tabrakan."
"Oh," cucu paham. "Berarti pemerintah selama ini mengikuti pesan nenek itu, jalan pelan-pelan saja menghadapi aksi Kekuatan Kekerasan Bersenjata (KKB)di Papua." samhut cucu. "Tapi takut tabrakan dengan siapa?"
"Tabrakan dengan pengawas HAM Internasional," jawab nenek.
"Justru KKB sendiri yang merusak HAM di Papua!" entak cucu. "Sudah jelas itu, aksi mereka membunih warga sipil tak berdosa, tenaga kesehatan, guru, pekerja proyek. Tapi aparat mengejar mereka cuma pakai sangkur. Polisi dan tentara mengejar dari bawah bukit, KKB menunggu dari atas menembaki putra-putra terbaik bangsa yang dijadikan umpan peluru mereka."
"Pesan nenek untuk menghindari kecelakaan waktu hujan, bukan untuk melawan teroris," kilah nenek. "Kalau terhadap pemberontak teroris sadis itu, yang menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar serangannya terhadap PON XX Papua sebuah keniscayaan, saran nenek justru kirim saja hujan ke sarang persembunyian mereka."
"Dikirim hujan gimana?" kejar cucu.
"Mengejarnya ke atas bukit atau hutan yang jauh dari pemukiman penduduk itu jangan pakai polisi atau tentara yang cuma jadi umpan peluru mereka," jelas nenek. "Hal terpenting, kerja intel akurat memastikan kordinat persembunyian gerombolan pemberontak itu. Lalu kirim hujan artileri di kawasan itu. Tiga kali hujan, bumi Papua bersih dari teroris.
"Dan generasi betikutnya takut nongol!" timpal cucu. "Cuma seperti kata Nenek tadi, pemerintah harus berani tabrakan dengan pengawas HAM internasional."
"Perlu dibuat cara yang soft tabrakannya!" jawab nenek. "Jangan dibuat mereka yang mengungkap hal itu post factum, setelah kejadian, tapi secara prefactum kita hujani dulu dengan cerita kebengisan dan kekejian KKB terhadap warga sipil, sehingga langkah eliminasi justru pilihan warga antarbsngsa."
"Masalahnya, apa kita punya orang yang mampu dan mumpuni menuntaskan tugas tersebut?" potong cucu.
"Itu lain soal lagi," timpal nenek. "Mencari orang yang mumpuni itu tidak mudah. Apalagi jadwal PON XX sudah amat dekat, 2 - 15 Oktober 2021. Jangan-jangan sampai PON lewat, dan entah apa yang terjadi, belum ketemu tokoh yang mumpuni." ***



Selanjutnya.....

Cuaca Ekstrem itu Pelajaran dari Alam!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Jumat 17-09-2021
Cuaca Ekstrem Itu Pelajaran dari Alam!
H. Bambang Eka Wijaya

"NEK, kata teman kita sedang dapat kutukan," cucu berbisik. "Setelah pandemi satu setengah tahun lebih yang menewaskan kebih 130 ribu orang, bencana alam beruntun setiap hari. Kebakaran dengan banyak korban jiwa, kapal nelayan tenggelam, badai, banjir meluas."
"Banyak kejadian itu akibat cuaca ekstrem, memang beruntun seperti kutukan," jelas nenek. "Cuaca ekstrem itu pelajaran dari alam sebagai balasan apa yang telah dilakukan oleh manusia. Hukum alam itu berputar pada poros sebab-akibat, setiap kejadian adalah akibat dari suatu penyebab."
"Kalau cuaca ekstrem itu akibat, seperti orang kebanyakan makan sambal hingga perut jadi mules?" kejar cucu.
"Tepat!" jawab nenek. "Cuaca ekstrem akibat manusia merusak alam, sehingga proses penyerapan air hujan ke atmosfir tidak melalui proses asimilasi dedaunan hutan, tapi langsung sehingga jumlah air di atmosfir berlebihan dan menghasilkan curah hujan yang ekstrem. Itu satu hal."
"Hal lainnya?" kejar cucu.
"Kedua, manusia mengirimkan karbon dioksida bahan bakat fosil ke atmorfer dari puluhan juta knalpot mobil dan motor, serta cerobong pabrik dan PLTU mengakibatkan efek rumah kaca di atmosfir hingga terjadi pemanasan global!" jelas nenek. "Jadi cuaca ekstrem itu paduan kebiasaan buruk manusia merusak alam, da mengirim sebanyak mungkin karbon bahan bakar fosil ke atmosfir."
"Berarti cuaca ekstrem bisa diatasi dong, Nek?" tukas cucu. "Dengan merehanilitasi kerusakan alam dan lingkungan, serta mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar ramah lingkungan maupun mengganti penggerak dan pembangkit dengan energi baru terbarukan."
"Itu sih sudah menjadi kesepakatan dunia!" tegas nenek. "Cuma pelaksanaannya yang repot. Paling menonjol cuma dalam bentuk retorika. Tapi implementasinya tidak mudah. Contohnya kita sendiri, Indonesia, program membangun pembangkit 35 ribu MW sedang berjalan dengan PLTU Jawa 9 dan Jawa 10 di Cilegon masing-masing 1.000 MW."
"Bah! Kalau sudah tahu punya dampak cuaca ekstrem yang sudah disepakati dunia harus dieliminasi, kenapa tidak dialihkan untuk nembangun pembangkit energj baru terbarukan (EBT)?" tukas cucu.
"Susah mengubah persetujuan pemodalnya dari luar negeri" jelas nenek. "Menurut pemerintah mungkin saat ini masih lebih pentung pembangkit listrik, soal cuaca ekstrem nanti belakangan diurus!"
"Maksudnya pemimpin masa berikutnya yang mengurus, begitu?" timpal cucu. "Maka itu ogah tiga priode, karena repot membenahi kesalahan masa kini?" ***

Selanjutnya.....

Korupsi Lebih Sakit dari Operasi Bedah!

Artikel Halaman 12, Lampung Post  Kamis 16-09-2021
Korupsi Lebih Sakit dari Operasi Bedah!
H. Bambang Eka Wijaya

PASIEN di meja operasi pucat pasi ketika dokter masuk ruangan. "Ibu yang melahirkan dengan operasi caesar tidak kapok, di antara mereka hamil lagi," ujar dokter menenangkan pasiennya. "Operasi bedah sudah menjadi hal biasa, jadi tidak perlu takut berlebihan!"
"Karena ini operasi bedah pertama yang saya alami seumur hidup!" jawab pasien.
"Meski begitu tak perlu takut berlebihan," tegas dokter. "Saya saja melakukan operasi pembedahan pertama tidak ketakutan kok."
"Jadi ini operasi bedah dokter yang pertama?" kejar pasien menggigil tapi segera tak sadar akibat suntikan anastesi.
Beberapa hari setelah pulih dari operasi, kepada teman-teman yang menjenguknya ia berkata, "Menurut saya korupsi lebih sakit dari operasi bedah!"
"Masa iya?" temannya tercengang.
"Buktinya setelah lebih seminggu pulih, tak terasa lagi sakit bekas pembedahan," ujar pasien. "Sedangkan ketangkap korupsi, sakitnya bisa seumur hidup, dicap masyarakat sebagai koruptor."
"Tapi anggota DPR yang dalam sidang Tipikor disebut menyuap penyidik Rp3 miliar lebih kok tenang-tenang saja?" kejar teman.
"Siapa bilang?" entak teman lainnya. "Pasti anggota DPR yang disebut terlibat itu kelimpingan, berusaha mengamankan kedudukannya sebagai anggita Dewan! Jangan-jangan ini menjadi pengalaman pertama seumur hidup yang sakitnya tak pernah pulih seperti sediakala."
"Itu yang saya maksud korupsi lebih sakit dari dioperasi bedah!" tegas pasien. "Sakitnya harus ditanggung, bahkan sebagai aib, seumur hidup. Bukan ditanggung sendiri pula, tapi seluruh keluarga -- orang tua, istri, anak,  semua kena stigmanya."
"Masalah aib keluarga inilah yan semestinya membuat orang berpikir ulang berkali-kali untuk melakukan korupsi!" tegas teman. "Jangankan korupsi, fitnah atas tuduhan korupsi pun kemungkinannya harus dijauhkan!"
"Itu yang dimaksud dengan'Jauhkan atas kamu fitnah orang-orang keji di antara kamu, ketahuilah siksa Tuhan amat pedih!" timpal teman. "Untuk itu, orang-orang yang punya gelagat menjurus korupsi harus dijauhi. Jauhkan atas kamu! Jangan pula malah didekati apalagi ditemani, berpotensi menyeret ke fitnah."
"Betul! Lebih celaka lagi kalau tuduhan korupsi itu hanya fitnah yang direkayasa sempurna, sehingga korban fitnahnya tak bisa berkutik!" tukas pasien. "Diri masuk penjara, keluarga menanggung aibnya, padahal sebenarnya cuma fitnah. Karena itu, jauhkanlah diri dari segala hal yang mungkin bisa menjadi fitnah, lebih kejam dari pembunuhan!" ***



Selanjutnya.....

Tuyul Canggih Para pejabat Negara!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Rabu 15-09-2021
Tuyul Canggih Para Pejabat Negara!
H. Bambang Eka Wijaya

"JELAS sekali itu!" entak nenek saat berita televisi yang ditontinnya menyebutkan, 70,8% pejabat negara di kementerian dan DPR selama pandemi kekayaannya bertambah rata-rata lebih dari Rp1 miliar.
"Apanya yang jelas, Nek?" kejar cucu.
"Jelas para pejabat itu pelihara tuyul!" tegas nenek. "Coba hitung, gaji pejabat itu Rp50 juta sebulan termasuk berbagai tunjangan, setahun maksimal Rp600 juta. Tidak dipakai pun gaji itu, ia makan numpang mertua, mestinya paling nambah segitu. Tapi ini hiduo mewah, kekayaannya bertambah dua kali gajinya, dari mana lagi kalau bukan tuyul."
"Tuyul itu zaman dahulu, Nek! Sejarang tak ada lagi!" sambut cucu.
"Justru sekarang lebih canggih tuyulnya," tegas nenek. "Tuyul zaman dulu mengambil recehan dari bawah kasur orang! Tuyul sekarang menguras kas negara, kas BUMN, kas Pemda, kas dinas instansi daerah!"
"Wauw! Dan semua itu sesuai dengan sistem dan prosedur, sisdur, ya Nek," timpal cucu.
"Itu dia," jawab nenek. "Sejak perencanaan membuat sistemnya sudah diatur agar jika terjadi silaf di sana-sini tidak bisa dituntut secara hukum. Maka itu, kalau justru di masa pandemi yang serba prihatin kekayaan para pejabat tambah berjibun, itu merupakan konsekuensi logis."
"Semua berlangsung di atas aturan yang belaku, tak ada pelanggaran hukum, Nek!" timpal cucu.
"Begitulah, segalanya dibuatkan aturannya dahulu, baru dijalankan. Sehingga, tidak melanggar hukum!" jelas nenek. "Contohnya honor pengarah pemulasaraan jenazah Covid-19 di Jember. Honor pengarah untuk setiap jenazah yang dimakamkan Rp100 ribu. Dalam bulan Juli saja terkimpul honor untuk seorang pengarah Rp70 juta. Di sana terdapat 4 orang pengarah."
"Bersih, tak ada pelanggaran hukum," sela cucu. "Semakin banyak yang mati, semakin besar honornya. Asyik nian pejabat negara!"
"Itu pun baru berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dibuat oleh para pejabat itu sendiri untuk KPK," ujar nenek. "Kalau ditelusuri lebih jauh seperti Forbes menghitung kekayaan orang, dengan monetasi saham yang dimiliki, nilainya bisa berubah total."
"Memangnya ada apa, Nek?" tanya cucu.
"Para pejabat teras kita itu umumnya punya saham di perusahaan besar, seperti tambang batu bara," jelas nenek. "Bahkan saham prioritas yang nilainya bisa triliunan."
"Bangga dong kita Nek, pejabar negara kita kaya raya," tukas cucu.
"Berul, kita boleh berbangga punya pejabat kaya raya," tegas nenek. "Sedihnya, barisan rakyat melarat semakin panjang." ***







Selanjutnya.....

Pulaeng Vaksinasi Dapat Modal Usaha!


Artikel Halaman 12, Lampung Post Selasa 14-09-2021
Pulang Vaksinasi Dapat Modal Usaha!
H. Bambang Eka Wijaya

UDI bernyanyi kecil pulang vaksinasi. Bibinya melihat gelagat aneh itu, "Ada apa, Di?"
"Aku sudah dapat modal usaha," jawab Udi. "Sudah telponan, tinggal pencairan saja."
"Modal dari mana?" kejar bibi.
"Dari kredit yang ditawarkan lewat SMS di hape itu!" jelas Udi. "Syarat untuk mendapatkan kredit itu sudah kuperoleh."
"Syaratnya apa?" bibi penas aran.
"Sertifikat!" jawab Udi.
"Sertifikat siapa yang kaucuri?" entak bibi. "Jangan macan-macam kau Di! Mencuri sertifikat orang masuk penjara!"
"Bukan sertifikat orang! Sertifikat punyaku sendiri, tertulis atas namaku!" Udi ngotot.
"Kau dapat sertifikat dari mana?" tanya bibi.
"Dari vaksinasi!" jawab Udi tegas.
"Walah Di, sertifikat vaksin tak bisa dijadikan jaminan kredit!" jelas bibi. "Yang bisa dijadikan jaminan kredit itu sertifikat tanah atau sertifikat pengangkatan ASN!"
"Kuno! Itu dahulu kala, zaman kredit be-pe-er, bank perkreditan rakyat," entak Udi. "Sekarang zaman pinjol, pinjanan online, cukup dicatat nomor hape dan nomor katepe, cair! Yang terakhir ini kredit KTA, kredit tanpa agunan, syaratnya data KTP, cukup yang ada dalam sertifikat vaksinasi. Nanti sertifikat itu mereka fotokopi, tanda orang dengan nomor KTP dan alamat tertera di situ masih hidup, bukan memberi kredit pada orang mati.
"Jangan meminjam uang sembarangan!" entak bibi. "Cek dulu, lembaganya ada izin OJK atau tidak. Banyak kasus, lembaganya tak jelas bunganya mencekik akhirnya jadi masalah."
"Kalau belum ada usaha seperti saya, tak ada lembaga resmi seperti bank yang mau memberikan kredit," kilah Udi. "Jadi untuk dapat kredit modal usaha dari lembaga resmi mustahil. Akibatnya, untuk memulai usaha orang nekat mengambil risiko neminjam modal dari lembaga yang tidak jelas izinnya."
"KTA untuk memilai usaha, itu yang perlu diperjuangkan dari lembaga resmi perbankan," ujar bibi. "Kredit usaha rakyat atau KUR, selama ini berlaku bagi yang telah punya usaha, itu pun yang dinilai prospektif."
"Karena itu, yang selama ini sering terjerat bunga tinggi pinjol adalah orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit dari lembaga resmi, seperti baru-baru ini guru honorer," tegas Udi. "Tapi dari kalangan berkuasa seperti tak ada perhatian mengenai hal ini, sehingga justru kaum papa itu yang rentan terjerst bunga tinggi kredit liar."
"Tapi berharap lembaga keuangan resmi bisa memberi kredit modal memulai usaha, sama dengan berharap kuda bertanduk," tegas bibi. "Takkan pernah ada!" ***








Selanjutnya.....

Membangun Kebutuhan yang Mendesak!

Artikel Halaman 12,Lampung Post Senin 13-09-2021
Membangun Kebutuhan yang Mendesak!
H. Bambang Eka Wijaya

UMAR berteriak, "Aduh, perutku sakit. Minta tolong ambilkan obat dong!"
Tanpa cing-cong Amir menyodorkan sesuatu.
"Apa ini?" entak Umar. "Orang sakit perut kok diberi obat mata tetes."
"Karena, orang sakit perut berkunang-kunang matanya. Diberi obat mata tetes supaya melihat fatamorgana nan indah!" jawab Amir.
"Ternyata itu alasannya, di sela Breaking News LP terbaksr puluhan warga binaan tewas, Menko Perekomomian Airlangga Hartarto mengumumkan pemerintah melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru?" timpal Umar. "Agar mata bangsa yang nanar oleh kilau api kebakaran LP jadi berbinar melihat fatamorgana IKN nan indah?"
"Kayaknya begitu," tukas Amir. "Pembangunan IKN yang dimaksud sebagai legasi seperti Taj Mahal atau Candi Roro Jonggrang, tak bisa dihalangi lagi. Sehingga kalau ada kebutuhan yang lebih mendesak, seperti keharusan membangun LP baru menampung warga binaan yang sudah overkapasitas empat kali lipat, prioritasnya harus di bawah IKN."
"Tapi kan mungkin sebagai prioritas pengiring," timpal Umar. "Maksudnya, seiring pembangunan IKN, juga dibangun sejumlah LP baru di sepanjang perbatasan Kalimantan, dari Kalbar hingga Kalut, sekaligus sebagai benteng keamanan perbatasan melindungi IKN."
"Itu ide yang bagus, tidak saling menapikan," sambut Amir. "Beda dengan Kasus Siantar 1970-an. Waktu itu kepala daerah mengusulkan pembelian mobil dinas wali kota. Tapi waktu itu yang lebih mendesak adalah kebutuhan mobil tinja untuk warga kota. Akhirnya DPRD sepakat membeli mobil tinja."
"Tapi dalam pilihan antara IKN dan LP, sekalipun kebutuhan lebih mendesak membangun LP, tak mungkin menapikan pembangunan IKN demi memprioritaskan LP," tegas Umar. "Paling mungkin, pembangunan LP langsung jadi setiap tahun, sementara pembangunan IKN multiyears."
Karena lokasinya di perbatasan relatif jauh dari pemukiman penduduk, keamanan tak perlu maksimum, yang penting dengan penjagaan yang cukup tidak akan melarikan diri. Karena selain bentuknya berupa rumah tinggal, yang dikirim ke LP baru juga diseleksi warga binaan yang baik."
"Seleksi dilakukan karena di sana warga binaan tidak dikurung, tapi diberi lahan garapan bertani. Hasilnya ditabung LP untuk bekal hidup saat bebas kelak. Dengan begitu bisa diharapkan mereka tidak mengulangi kekelirusn dalam hidipnya.
Dengan bertani, selain  tabungan, mereka bisa mendapat makanan tambahan dari ladangnya, dari umbi-umbian hingga sayuran. Dengan kerja nencangkul tubuh mereka juga lebih sehat. ***



Selanjutnya.....

Menantu Kerja Keras Tanpa Waktu Istirahat!

Artikel Halaman 12, Lampung post Minggu 12-09-2021
Menantu Kerja Keras
Tanpa Waktu Istirahat!
H. Bambang Eka Wijaya

PRIA pekerja di kota membawa keluarganya pulang kampung ke rumah orang tua istrinya setelah kena PHK akibat Covid-19. Memulai hidup baru di desa, pria itu membersihkan kebun karet keluarga istrinya dengan membabat perdu di sela pohon karet.
Hari pertama ia berhasil membabat tiga gang tananan karet tembus ujung ke ujung kebun.
Mertuanya yang hanya mampu membabat satu gang sehari, memujinya.
DI hari kedua dengan kekuatan dan waktu kerja yang sama, ternyata hanya dapat dua gang. Di hari ketiga bahkan hanya satu gang.
Kelelahan pulang dari kebun ia jumpai mertuanya, "Maaf, Pak. Hari ini saya cuma bisa membabat satu gang."
"Oh, ya?" mertua pura-pura terkejut. "Mungkin karena kau kerja terlalu keras, tanpa istirahat, jadi hasilnya kurang optimal."
"Karena saya tidak istirahat maka hasilnya kurang optimal?" kejar menantu. "Kalau istirahat melulu kapan kerjanya?"
"Nah itu dia! Harus proporsional kerja dan relaksasinya," jawab mertua. "Perlu istirahat minum untuk memulihkan tenaga, sambil mengasah penajam alat babatmu."
Menantu meraba penajam alat babatnya. Memang tumpul. Pantas, saat tajam setiap sabetan semua perdu di depannya terbabat bersih. Tapi setelah tumpul diulang sabet tiga kali pun selalu ada yang tersisa.
"Betul, Pak. Kerja keras saja tidak cukup, tapi hatus kerja cerdas," ujar menantu.
"Belum terlambat untuk memperbaiki cara kerja," timpal mertua. "Jangankan kita, pemerintah saja bekerja keras tapi tidak efektif, padahal telah menyengsarakan rakyat."
"Oh, ya?" menantu terkejut mendengar mertua mengoceh aneh.
"Buktinya, sejak kuartal II 2020 diberlakukan PSBB, TNI/Polri, Pol PP, dan para pejabat kerja keras mencegah rakyat agar tidak beraktivitas di luar yang diizinkan. Rakyat kehilangan mata pencaharian, ekonomi rontok, terkontraksi dalam sekali,"  ujar mertua.
"Masuk 2021 dilanjutkan dengan PPKM, yang jauh lebih ketat mengekang kegiatan ekonomi rakyat. Tapi dengan segala pengorbanan rakyat itu, kerja pemerintah jauh dari efektif," entak mertua. "Conyohnya vaksinasi! Dimulai Januari, Agustus belum klop 25%."
"Kerja cerdas baru dimilai 26 Juli 2021 dengan memberlakukan PPKM Berlevel, setiap minggu ada waktu istirahat mengasah penajam 'sabit' dengan menyesuaikan langkah dengan realitas pandemi," potong menantu. "Vaksinasi mulai September ditarget dua juta dosis sehari."
"Kerja cerdas dalam PPKM Berlevel terbukti hasilnya, kerja cerdas dalam vaksinasi masih harus dibuktikan," entak mertua. ***





Selanjutnya.....

Hidayah yang Menyelamatkan Nyawa!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Sabtu 11-09-2021
Hidayah yang Menyelamatkan Nyawa!
H. Bambang Eka Wijaya

SEORANG istri kepo, suaminya yang kena PHK akibat Covid-19 sujud syukur di kamar. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
"Mensyukuri hidayah yang menyelamatkan nyawaku dari kebakaran Lapas!" jelas suami.
"Kok jauh amat?" istri terkejut. "Bagainana ceritanya?"
"Saat aku hampir putus asa cari kerja lagi sukar, ada seseorang menawarkan barang untuk jualan. Seketika saat itu kutolak tawaran itu. Penolakanku itu ternyata hidayah! Kalau kuterima tawaran itu, aku sudah ikut mati dalam lapas yang terbakar itu!" jelas suami.
"Coba kauterima, aku dapat uang santunan puluhan juta!" timpal istri yang langsung istighfar menyesali ucapannya. "Berarti penjara overkapasitas akibat kesulitan ekonomi orang mudah tergoda melakukan pekerjaan terlarang yang hasilnya besar, seperti jual narkoba."
"Kesulitan ekonomi itu utamanya berakar pada ketidakadilan sosial, baik secara formal maupun substantif," sambut suami. "Selama ini ada anggapan keadilan sosisl atau keadilan substantif (sosial-ekonomi) terlepas dari keadilan formal (hukum perundang-undangan). Ternyata keadilan sosial justru berpangkal pada keadilan formal, sejak penyusunan undang-undang yang harus mewujudkan keadilan sosial!"
"Betul itu" tegas istri. "Banyak UU dibuat dengan menguntungkan pihak tertentu, seperti UU Minerba yang menguntungkan ologarki pertambangan, UU Cipta Kerja yang menguntungkan investor asing dan memeras rakyat sendiri dan seterusnya."
"Akhirnya tampak biang masalahnya kapitalisme, di mana pemuliaan kuasa modal telah mendegradasi kemanusiaan," tukas suami. "Itu makanya para Bapak Pendiri Republik, Bung Karno dan kawan-kawan sejak era Indonesia Menggugat sudah menegaskan Indonesia Merdeka harus bersih dari segala bentuk kapitalisme dan imperialisme!"
"Tapi pemerintah sekarang malah mengundang kapitalisme lewat Omnibus Law!" timpal istri.
"Itulah mainstream yang menjadikan kondisi negara bangsa kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan, utamanya keadilan sosial yang semakin tenggelam dalam ketidaladilan sosial," tegas suami. "Overkapasitas sampai empat kali penjara Tanah Air, merupakan realitas ketidakadilan sosial."
"Pukulan telak yang membuat keadilan sosial terkapar adalah implementasi kapitalisme dalam pengelolaan negara," ujar istri. "Dengan modal sekecil-kecilnya meraih kenikmatan sebesar-besarnya."
"Itu UU Minerba, bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," sambut suami. "DPR dan pemerintah kompak lewat UU itu memperkaya oligarki batu bara," ***




Selanjutnya.....

Pelari Halang Rintang Putari Garis Start!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Jumat 10-09-21
Pelari Halang-Rintang Putari Garis Start!
H. Bambang Eka Wijaya

ATLET pelari halang rintang (steeplechese) selalu kembali memutar ke garis start setelah berjuang menaklukkan segala halangan dan rintangan yang harus dilaluinya setiap putaran, untuk memulai putaran berikutnya sampai berbunyi lonceng tanda putaran terakhir.
Minggu 5 September 2021, bertepatan dengan penetapan WHO memantau varian baru "Mu", Indonesia kembali ke garis start sebelum berlomba lawan varian Delta akhir Juni yakni kasus positif baru harian di level 5.000-an. Update Covid-19 Minggu 5/9/2021, tercatat kasus baru 5.403 kasus.
Dari garis start putaran lanjutan ini Indonesia harus mampu mengalahkan varian Delta dengan sistem gugur, hingga varian Delta tersingkir dan sirna dari Tana Air.
Varian Delta harus dieliminasi, dimusnahkan total dari bumi Pertiwi, karena varian ini pembunuh kejam yang tak kenal ampun. Jadi tak boleh dia dijadikan anggota keluarga bangsa lewat program transisi pandemi menjadi endemi, tapi harus program dari pandemi ke eliminasi.
Sebab, kalau varian ini ditoleransi untuk tetap tinggal sebagai warga Pertiwi (jadi endemi), kapan saja varian ini bisa merebak nenjadi pembunuh massal yang sadis.
Kalau Tiongkok bisa mengeliminasi total Covid-19 yang justru kelahiran negeri itu, kita juga harus yakin dan bersungguh-sungguh untuk mampu mengeliminasi varian Delta.
Eliminasi varian Delta suatu keharusan, karena kalau gagal kita bisa lebih kewalahan bila varian-varian baru datang dengan karakter yang berbeda-beda. Seperti varian "Mu" yang sudah merebak di 39 negara, dalah satunya Hong Kong yang disebut kebal vaksin. Bisa repot kita menghadapinya, padagal kita sudah vaksinsasi.
Varian "Mu" yang ditemukan di Kolombia Januari 2021 ini menurut The Guardian (2/9/2921) mengutip laporan Public Health England (PHE) pada bulan Juli sebagian besar kasus varian "Mu" yang ditemukan di London terjadj pada mereka yang berusia 20-an. Beberapa dari mereka yang dites positif "Mu" telah menerima satu atau dua dosis vaksin Covid.
WHO menyatakan, vatian "Mu" memiliki konstelasi mutasi yang menunjukkan sifat potensial untuk lolos dari kekebalan.
Jadi, sambil mengalahkam Delta hingga eliminasi, kita harus waspada terhadap varian baru yang lebih handal bahkan bisa menapikan usaha yang telah kita lakukan dengan susah payah: vaksinasi.
Pengalaman buruk varian Delta masuk lewat kedatangan orang dari India, mencegah "Mu" yang kebal vaksin harus tutup kedatangan pekerja asing sekalipun telah divaksin. ***

Selanjutnya.....

Penjara Tangerang, Keluar Jadi Tulang!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Kamis 09-09-2021
Penjara Tangerang, Keluar Jadi Tulang!
H. Bambang Eka Wijaya

TEMPO doeloe, ada lagu populer tentang Penjara Tangerang: "masuk gemuk keluar tinggal tulang". Waktu itu maksudnya, keluar penjara kurus, tinggal tulang dibalut kulit. Tapi kini lebih buruk lagi, napi keluar penjara tanpa nyawa tinggal tulang hangus terbakar.
Sebanyak 41 orang napi tewas dalam Penjara Tangerang yang terbakar Rabu dini hari (8/9), dugaan awal akibat arus pendek listrik.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I-A yang terbakar itu dibangun tahun 1972, berkapasitas 600 orang. Tapi saat terbakar, menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, secara keseluruhan berisi 2.072 orang napi. Nyaris empat kali dari kapasitasnya. (MetroTV, 8/9/2021)
Ruang C-2 LP yang terbakar itu terdiri dari beberapa kamar yang terkunci sesuai protap, berisi 122 orang. 81 orang berhasil diselamatkan meski sebagian luka berat  dan ringan. Dari 41 korban tewas, seorang napi kasus pembunuhan, seorang napi terorisme, dan sisanya semua napi kasus narkoba. Dua di antaranya warga asing, Portugal dan Afrika Selatan.
Overkapasitas hunian semua lembaga pemasyarakatan Indonesia hingga nyaris empat kali kapasitas sebenarnya, sudah lama menjadi sorotan. Overkapasitas ini menjadi salah satu sebab sulitnya mengeloka LP, akibat laju penambahan penghuni baru yang amat pesat terutama napi narkoba yang mendominasi hingga 60%.
Kondisi Indonesia ini kebalikan dari kondisi penjara di Negeri Belanda, di mana penjaranya kosong, sehingga harus meminjam napi dari negara lain untuk mengisinya, meski sedikit. Ironisnya, aturan hukum pidana di Indonesia hingga kini masih merupakan tinggalan kaum penjajah Belanda. Berarti ada yang perlu disimak dan perbandingkan antara kedua negara untuk perbaikan di Tanah Air.
Gambaran yang diberikan para pengamat selama ini, satu hal yang signifikan adalah pola hidup sederhana elite Belanda yang benar-benar menjadi teladan masyarakat. Para pejabat semua lapisan pergi kerja naik sepeda biasa, hingga lalu lintas masyarakat umum didominasi "sepeda janda" (maksudnya bukan sepeda mahal seperti persaingan sepeda mahal di Jakarta.
Maksudnya, ekspresi hidup sederhana bangsanya tercermin di jalan raya sehingga tuntutan biaya hidup tidak mendorong kriminalitas. Sementara di Indonesia, jalan raya menjadi tempat show of force materialisne bahkan hedonisne, yang mendorong orang memaksakan diri untuk memcapainya: tanpa kecuali lewat cara melanggar hukum -- yang berkuasa korupsi, lainnya membegal, sampai dagang narkoba. ***




Selanjutnya.....

Diskriminasi pada Si Kecil Yang Lemah!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Rabu 08-09-2021
Diskriminasi pada Si Kecil yang Lemah!
H. Bambang Eka Wijaya

DALAM demokrasi si kecil yang lemah wajib dilindungi negara demi menghindarkan homo homini lupus (yang kuat memangsa yang lemah) dan survival of the fittest--hanya yang terkuat berhak hidup, yang kecil dan lemah mati tergilas.
Sayangnya dalam dunia pendidikan di Indonesia, diskriminasi justru secara formal dilakukan pemerintah terhadap si kecil yang lemah. Itu terkait dengan Permendikbudristek Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler, yang pada pasal 3 ayat 2 huruf d menyebutkan "memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.
Jadi secara terang dan jelas aturan tersebut mendisktiminasi sekolah-sekolak kecil yang muridnya sedikit di seantero negeri. Akibat diskriminasu itu, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan dengan tegas menolak sturan tersebut.
Aliansi yang di antaranya terdiri dari Muhamnadiyah, LP Ma'arif NU, hingga PGRI ini menilai pasal tersebut menimbulkan diskriminasi dan bertentangan dengan hak pendidikan sesuau UUD 1945,
Mengutip pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945, pemerintah semestinya membiayai pendidikan seluruh peserta didik sebab hal itu menjadi hak konstitusional warga negara.
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiao warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," demikian pernyataan aliansi.
Wakil Sekjen PGRI Dudung Abdul Qodir dikutip CNNIndonesia menyebut Kemendikbudristek mestinya mengambil langkah bijak dengan tanpa mengabaikan sekolah-sekolah kecil dengan peserta didik di bawah 60 orang.
Menurut dia, sekolah-sekolah dengan peserta didik sedikit umumnya berada di daerah pedalaman. Namun, sekolah itu justru berkontribusi besar di tengah masyarakat, apalagi di tengah pandemi Covid-19.
"Ayo kita selamatkan sekolah yang sudah berkontribusi dengan cara menyelamatkan sekolah yang di bawah 60 siswa. Dan rata-rata sekolah kecil dihuni oleh saudara kita yang di bawah garis kemiskinan," kata Dudung.
Logikanya, yang lemsh dan kecil paling pantas dibantu, apalagi terkait hak konstitusional setiap warga negara, Kemendikbudristek harus memperbaiki aturan tentang penerima BOS Reguler.
Kemungkinan Kemendikbud keliru, ini bukan kali yang pertama. Sebelumnya juga merevisi Peta Jalan Pendidikan dengan mengakomodasi frasa 'agama'.
Kali ini, untuk memenuhi hak konstitusional setiap peserta didik yang berada di sekolah kecil, koreksi aturan BOS Reguler suatu keharusan. ***


Selanjutnya.....

Perosotan Purchasing Manager Index!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Selasa 07-09-2021
Perosotan Purchasing Manager Index!
H. Bambang Eka Wijaya

MAIN perosotan, anak-anak naik dari tangga belakang, lantas merosot ke depan. Main perosotan replikasi Purchasing Manager Index (PMI), naik dari bekakang mencapai 56,1 Mei 2021, lalu ke depan merosot pada Juni menjadi 53,5 dan Juli kandas di 40,1.
Pada PMI, skor 50 menjadi balans permintaan (ekspektasi) dan penawaran ekspor manufaktur. Saat skor PMI Indonesia mencapai 56,1 permintaan meroket produksi kewalahan memenuhinya. Saat itu terjadi, ekonomi kuartal II-2021 juga berada di puncak perosotan. Tatapi permintaan itu tumpas hingga jauh di bawah pada Juli, menjadi 40,1.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono di Komisi XI DPR (30/8), merosotnya PMI itu menjadi salah satu dari tiga indikator pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 melambat. Dua indikator lainnya, ekspor Juli 2021 yang turun 4,53% (mtm), dan impor Juli 2021 turun 12,2% (mtm). Jadi main perosotan itu simultan dalam pertumbuhan ekonomi, setelah naik ke puncak pada kuartal II-2021, pada kuartal berikutnya merosot.
Mengenai kemerosotan PMI, karena masalah permintaan atas ekspor produk manufaktur kita sepenuhnya tergantung mekanisme pasar di luar negeri, dapat dikatakan masalahnya nyaris sepenuhnya di luar kendali kita. Sebab bisa jadi, ketika PMI kita mencapai 56,1 pada Mei 2021, di luar sedang terjadi spill over (luberan) permintaan yang tak terpenuhi oleh pasar global.
Kalaupun ada kelemahan di dalam negeri yang harus dicek dan perlu diperbaiki, yaitu masalah kualitas produksi dan harganya yang lebih mahal hingga bisa kalah bersaing dengan produk negara lain.
Sedangkan kemerosotan ekspor dan impor, sesuai catatan BPS, terjadi karena digelarnya PPKM mengatasi Covid-19 yang melakukan pembatasan kegiatan masyarakat. Sehingga, pelambatan ekonomi yang diakibatkannya menjadi sebuah konsekuensi logis. Diharapkan, kebijakan seruoa tak perlu dilakukan lagi ke depan, agar pertumbuhan bisa lebih laju dan lancar.
Namun, kemerosotan ekspor dengan PMI yang buruk, jauh di bawah 50, perlu mendapat perhatian khusus untuk kembali menaikannya. Kelemahan produk manufaktur kita di pasar global adalah langkanya promosi. Hanya produk makanan olahan, dari Indofoid, Mayora, dan sejenisnya serta beberapa produk kopi yang melakukan promosi di luar negeri.
Sedangkan ekspor produk manufaktur lainnya, seperti mengirim tuyul -- gentayangan mencari uang (pembeli) sendiri di luar negeri tanpa promosi; jangankan promosi produk, branding pun tidak. ***







Selanjutnya.....

Rakyat Demen Aman, bukan Amandemen!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Senin 06-09-2021
Rakyat Demen Aman, bukan Amandemen!
H. Bambang Eka Wijaya

DEMEN dalam kamus jelata berarti suka, senang. Demen aman berarti suka kondisi aman, jauh dari segala ancaman. Lain hal amandemen, apalagi terhadap UUD 1945, menurut Sekjen Partai Nasdem Jhony G. Plate harus tanya dulu rakyat; berarti referendum.
Plate membantah keras bahwa pertemuan para ketua umum dan sekjen partai koalisi plus PAN dengan Presiden Jokowi di Istana pekan lalu membahas rencana amandemen UUD 1945.
Ia membantah lebih keras lagi bahwa di balik rencana amandemen UUD untuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara tersembunyi agenda mengundurkan pemilu sampai 2027. Sehingga, jabatan presiden, DPR, DPD dan MPR juga diperpanjang sesuai pemilu. Bahkan ia menyebut isu tersebut hanya halusibasi Benny K. Harman.
Sementara Benny K. Harman dari Partai Demokrat yang juga pengelola Badan Pengkajian MPR mencium "bau harum" amandemen itu di Gedung Parlemen, Senayan.
Menurut dia aneh, masalah amandemen belum ada pembahasan di badan pengkajian MPR, tahu-tahu muncul dalam pidato resmi ketua MPR 16 Agustus. Lalu disambut dalam pidato ketua DPD, dan mendapat apresiasi dari Presiden Jokowi pada pidato kenegaraan yang sama.
Menyimak runtunan peristiwa itu, pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut rencana amandemen itu bisa semulus revisi UU KPK dan Omnibus Law, meskipun rakyat tidak setuju. Apalagi amandemen konstitusi adalah hal yang dimungkinkan. Juga anggota DPR dan DPD diuntungkan dengan pengunduran pemilu selama tiga tahun, bisa mendapat dukungan suara bulat.
Sementara pengamat dari Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menimpali, di AS Presiden Roosevelt juga menjabat tiga priode. Ia naik pada masa depresi besar, di akhir masa jabatan kedua pecah Perang Dunia II sehingga tak bisa pemilu. (Kompas-TV, 1/9/2021)
Pokoknya amandemen tinggal maknyus. Tapi Plate bersikeras, amandemen tak ada relevansinya dengan kepentingan rakyat maupun negara. Tidak etis saat rakyat terkapar menderita akibst Covid-19 melakukan amamdenen konstitusi hanya untuk kepentingan elite belaka.
Menurut Pllate, pertemuan kerua umum dan sekjen parpol koalisi dengan presiden itu membahas tiga hal; menyelesaikan mengatasi pandemi, pemulihan ekonomi, dan menyelaraskan kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Jadi tidak sedikit pun menyinggung masalah amandenen.
Karena itu, Partai Nasdem berharap semua pihak fokus mengatasi pandemi dan menyukseskan vaksinasi, agar rakyat segera aman dari ancaman virus Covid-19.
Rakyat demen aman! ***



Selanjutnya.....

Eufemisme Bahasa Kekuasaan Pragmatis!

Artikel Halaman 09, Lampung Post Minggu 05-09-2021
Eufemisne Bahasa
Kekuasaan Pragmatis!
H. Bambang Eka Wijaya

SEORANG ibu yang harus memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit menitipkan putra balitanya di rumah neneknya.
"Nek, aku mau nyanyi," si cucu memberi tahu.
"Mau nyanyi?" nenek tersentak. "Nyanilah Sayang. Nyanyilah di telinga nenek, nenek pingin dengar," sambut nenek sambil jongkok merendahkan telinganya ke dekat cucunya.
Cucunya berdiri dekat kepala neneknya, lalu mengarahkan "burungnya" ke telinga nenek.
"Apaan ini?" nenek terkejut dan langsung bangkit. Sementara dari "burung" cucunya mancur "nyanyiannya".
Si nenek baru "ngeh", si cucu diajari ibunya penghalusan bahasa, menggantikan kata "kencing" dengan "menyanyi".
Nenek pun menelpon ibu si bocah, "Kau ajari apa anakmu? Bilang mau nyanyi malah mengencingi aku!"
"Maaf, Bu, aku lupa memberi tahu. Dia itu memang kuajari penghalusan bahasa, supaya kalau besar terbiasa dengan bahasa halus, bicaranya tidak kasar," jawab ibu si bocah.
"Sok pintar!" entak nenek. "Tak kau tahu, negara kita ini sekarang kalang-kabut akibat lazimnya penggunaan eufemisme, penghalusan bahasa kekuasaan pragmatis?"
"Kalang-kabut gimana?" kajar ibu bocah.
"Para politisi ramai-ramai merevisi UU KPK, katanya untuk memperkuat KPK, tapi faktanya justru mempreteli sendi-sendi kekuatan KPK. Tes Wawasan Kebangsaan bukan menyatukan sebagai esensi kebangsaan, tapi malah memecah belah bahkan konfliknya melebar ke mana-mana hingga MA dan MK! Semua itu akibat eufemisme bahasa kekuasaan pragmatis," entak nenek berapi-api.
"Sejauh itukah dampak penghalusan bahasa?" sela ibu.
"Ada yang lebih parah lagi!" sambut nenek. "Seorsng bupati di Jawa Timur dijadikan "pengarah pemulasaraan" jenazah Covid-19. Di tengah duka bangsa akibat banyaknya kematian korban Covid, sang bupati bersama Sekda, dan dua pejabat lainnya masing-masing menerima honor pemulasaraan Rp70 juta, berempat jadi Rp280 juta hanya untuk bulan Juli ketika jumlah kematiannya terbesar."
"Pemulasaraan itu apaan sih?" kejar di ibu.
"Nah itu dia! Itu penghalusan dari kata penguburan jenazah korban Covid-19, " jelas nenek. "Para tenaga kesehatan, petugas pemakaman, sopir ambulans, yang seharian kepanasan menahan buang air dalam baju hasmat, para penggali liang lahat yang kewalahan jenazah yang datang antre, dapat honor cuma sauprit. Para pengarah hanya ongkang-ongkang dapat puluhan juta. Semakin banyak orang mati warga semakin sedih, pengarah semakin banyak honornya."
"Mengerikan sekali, eufemisme bahasa kekuasaan pragmatis!" gumam ibu.***










Selanjutnya.....

Licik, Penguasa Perberay Beban Rakyat!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Sabtu 04-09-2021
Licik, Penguasa Perberat Beban Rakyat!
H. Bambang Eka Wijaya

PENGUASA yang baik selalu berusaha untuk meringankan beban hidup rakyat. Lain cerita yang justru secara licik memperberat beban hidup rakyat, menghilangkan premium ganti pertalite, lalu pertalite diganti pertamax: memperberat beban rakyat nyaris 50%.
Bagi kelompok berpenghasilan menengah ke atas, hal itu tak terasa memberatkan. Tapi bagi warga kelas bawah, apalagi ojek pangkalan dan sopir angkot yang semakin langka penumpang, amat memperberat penderitaan meski cuma bisa menangis dalam hati.
Ternyata itu saja belum cukup. Ada dua hal lagi yang seiring memperparah penderitaan rakyat. Pertama distribusi solar sekarang mulai antre di SPBU. Bayangkan kalau truk harus antre lama, waktu cari uangnya terganggu.
Bukan hanya nenyusahkan sopir truk, tapi juga meningkatkan biaya logistik yang menurut menteri keuangan, biaya logistik Indonesia tertinggi di dunis (24% dari PDB). Dengan memaksa truk sulit mendapatkan solar hingga harus antre, apakah agar biaya logistik Indonesia menjadi tertinggi dunia-akhirat?
Kedua, sudah masuk ke DPR rancangan kenaikan tarip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Alasannya, banyak negara lain sudah kebih dahulu melakukannya. Dengan kenaikan PPN 2%, secara otomatis akan neningkatkan beban hiduo rakyat setara.
Alasan negara lain sudah kebih dahulu menaikkan PPN jadi 12%, sebaiknya tidak dipakai serampangan. Sebab, negara-negara yang lebih dahulu menaikkan PPN 12% itu pendapatan per kapita rakyatnya tinggi. Seperti Singapura dan Jepang di atas 40 ribu dolar. Sedangkan Indonesia rendah, hanya 3.875 dolar AS.
Itu pun, ketimpangan pendapatan di Indonesia lebih tajam. Lebih 27 juta penduduk konsumsinya di bawah garis kemiskinan Rp465 ribu per bulan. Kalau dibebani PPN 12%, habis sari makanannya tersedot pajak.
Oleh karena itu, sudah saatnya penguasa menyadari kondisi penderitaan rakyat yang amat berat memikul beban akibat kelicikan. Utamanys dengan mengubah perilaku pantang tak hebat menjadi perilaku seadanya alias menyesuaikan dangan situasi dan kondisi (sikon). Lebih-lebih sikon pandemi Covid-19.
Misalnya, sedang susah diterjang pandemi, jangan pula sopir truk dipersusah lagi antre mendapatkan solar. Keterlaluan namanya itu.
Jangan cuma gemar meneriakkan yel atau slogan "Indonesia hebat!", padahal rakyat terseok-seok keberatan memikul beban hidup di pundaknya. Sesuaikan retorika dan kebijakan dengan situasi dan kondisi rakyat yang sedang terkapar akibat pandemi. ***




Selanjutnya.....

KPK Tiru Nelayan, Tangkap Ikan Kecil!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Jumat 03-09-2021
KPK Tiru Nelayan, Tangkap Ikan Kecil!
H. Bambang Eka Wijaya

MUSIM pancaroba gelombang besar, nelayan tradisional dengan peralatan sederhana menangkap ikan kecil di tepian. KPK meniru, usai revisi UU KPK gelombang besar pengaruh koruptor menguat, KPK menyeser kasus kecil seperti pemilihan kepala desa (pilkades).
Setidaknya sudah dua kasus pilkades yang menyedot banyak penyelidik dan penyidik KPK mengendap-endap mengumpul bukti buat melakukan OTT, kasus Nganjuk dan Probolinggo (30/8/2021).
Sementara pada hari yang sama, gelombang besar pengaruh koruptor menerjang KPK, Samin Tan, juragan tambang batubara yang ditangkap KPK di cafe Jalan Thamrin Jakarta, tersangka korupsi terkait kasus mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Eni Maulani, divonis bebas oleh pengadilan.
Menghadapi gelombang besar pengaruh koruptor yang terbukti bisa menepiskan hasil pengumpulan bukti-bukti yang cukup oleh KPK itu, bisa dipahami kalau KPK akhirnya memilih melipir menyeser kasus kecil sekelas pilkades, agar tak terlihat menganggur. Tampaknya KPK, seperti halnya nelayan dalam menghadapi gelombang besar, tahu diri batas kemampuannya.
Diibaratkan tim sepak bola, kalau KPK sebelum revisi UU-nya bermain di Liga Satu, sekarang ini main di Liga Tiga. Itu pun sering kalah, banyak kasus garapannya di pengadilan  banding atau kasasi dipotong masa hukumannya.
Lemahnya tim KPK hingga terakhir ini bermain di Liga Tiga, karena pemain andalannya sebut saja dalam tanda petik "Messi", "Neymar" dan "Suarez"-nya dipecat. Jadi, dengan pemain dari bangku cadangan, terlalu berlebihan kalau langsung menangkap koruptor kakap sekelas Juliari atau Edhy Prabowo lagi. Jadi harus banyak latihan dengan menangkap kasus pilkades.
Prioritas KPK menyeser teri dan menghindari perburuan kakap ini tentu amat menyenangkan para koruptor pemain besar kelas atas. Karena dengan demikian mereka bisa merasa lebih aman dan nyaman.
Tapi masalahnya kenapa KPK jadi begitu? Jangan-jangan semua itu memang sudah diskenariokan dalam frame besar revisi UU KPK.
Untuk menghindari kesan demikian mapan dan citra KPK semakin kerdil, KPK harus segera menggeser arah haluannya ke tengah samudera rasuah, menaklukkan gelombang sebesar apa pun untuk mengejar dan menangkap ikan-ikan besar.
Urusan pilkades itu limpahkan ke polsek, atau paling tinggi polres sesuai level kewilayahannya. KPK itu lembaga tingkat nasional, hingga harus disesuaikan level garapannya. Pemberantasan korupsi bisa kehabisan waktu kalau KPK terlalu asyik main ikan cupang. ***



Selanjutnya.....

Mengangkat Pembunuh Jadi Menantu!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Kamis 02-09-2021
Mengangkat Pembunuh Jadi Menantu!
H. Bambang Eka Wijaya

SELISIH pendapat meronai keluarga, karena orang tuanya menyerah pada teror seorang pembunuh dengan rencana mengangkatnya jadi menantu.
"Tak wajar! Seorang pembunuh yang telah menghilangkan jiwa salah satu anggota keluarga kita malah mau diangkat jadi menantu hanya demi mengakhiri terornya," protes putranya.
"Karena hanya dengan cara itu kita bisa mengakhiri terornya ke keluarga kita!" kilah ayahnya. "Tak beda dengan pemerintah yang membuat program transisi dari pandemi menjadi endemi. Endemi itu menjadikan Covid-19 anggota keluarga di rumah kita."
"Nah, itu! Covid-19 telah membunuh lebih 120 ribu warga bangsa kita!" sela putra. "Itu karena sikap pemerintah kita lemah sejak awal dalam menghadapi pembunuh itu."
"Lemah gimana?" entak ayah.
"Di tahap awal, saat virus masih sedikit dan terkonsentrasi di Jakarta, usulan Pemprov DKI untuk melakukan karantina wilayah ditolak pusat yang malah memberlakukan PSBB--yang justru menjadi sarana virus meluas dan tak terkendali hingga sekarang," jelas putra. "Padahal orang tua kandung virus Covid-19 yang lahir di Wuhan, Tiongkok itu, langsung memutus total hubungan keluarga dengan virus tersebut lewat karantina wilayah sampai tuntas."
"Itu karena pemerintah memikirkan ekonomi rakyat yang bisa sangat sulit dengan karantina wilayah" tukas ayah.
"Jawab yang jujur. Karena pemerintah enggan mengeluarkan biaya hidup rakyat seperti kutentuan UU kekarantinaan," tegas putra. "Juga takut pertumbuhan ekonomi terganggu."
"Tapi pemerintah membagikan bergagai bansos secara besar-besaran!" enak ayah.
"Akhirnya, malah jauh lebih besar dari kalau melakukan karantina wilayah. Bahkan berlanjut dengan Bansos skala nasional hingga sekarang," ujar putra. "Pertumbuhan yang dicemaskan terganggu juga tumpas jadi kontraksi minus 5,32%. Padahal, Tiongkok yang memutus hubungan dengan anak kandungnya tumbuh positif dua digit."
"Sudah terlanjur jangan sesali," harap ayah.
"Bukan disesali, tapi dijadikan pelajaran untuk melangkah ke depan lebih baik," jawab putra. "Kita tidak harus menyerah karena dunia begitu kita ikut begitu. No way! Bung Karno membawa RI keluar dari PBB, menunjukkan kita punya prinsip dan pendirian yang kuat. Jadi kita tidak mengangkat pembunuh jadi menantu."
"Kalau begitu kita harus melakukan Restorasi Indonesia yang Sejati'" sambut ayah. "Singkirkan sikap lembek yang mudah menyerah pada keadaan itu, diganti sikap pantang menyerah mengusir musuh bangsa dalam segala bentuknya!' ***




Selanjutnya.....

Zero Sum Game Bansos versi Petruk!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Rabu 01-09-2021
Zero Sum Game Bansos versi Petruk!
H. Bambang Eka Wijaya

PETRUK mendapat tugas dari ayahnya, Kiai Bodronoyo, untuk mengambil jatah bantuan sosial (bansos) langsung tunai ke bank. Uang itu harus dia bagi proporsional kepada Gareng dan Bagong. Ia berjanji pada ayahnya, tidak akan mengambil lebih dari nol.
Maka, setelah dana bansos Rp600 ribu untuk satu bulan di tangannya, ia kantongi satu nol. Sisanya setelah dia ambil satu nol, Rp60 ribu, diserahkan ke Gareng. "Zero sum game" versi Pertruk, memainkan tak lebih dari satu nol.
"Zero sum gane, Truk?" sambut Gareng saat menerima uang Rp60 ribu dari Petruk. Gareng sudah faham tentang cara main Petruk. Itu disambut Petruk dengan anggukan.
Dapat anggukan itu, Gareng juga mengambil satu nol dari uang tersebut dan menyerahkan sisanya ke Bagong, Rp6.000.
"Alhamdulillah!" Bagong dengan gembira menerima uang dari Gareng, dan langsung ke warung membeli kerupuk untuk lauk makan siang.
Kekenyangan makan nasi betlauk kerupuk, Bagong mencari angin di gardu hansip depan rumah. Melihat Bagong buka baju di pos hansip, seorang reporter yang sedang meliput bansos mampir.
"Sudah terina bandos, Gong?" tanya reporter.
"Sudah! Lumayan, bisa beli kerupuk!" jawab Bagong jujur.
"Cuma untuk beli kerupuk?" kejar reporter.
"Betul!" jawab Bagong tegas. "Untuk lebih jelas, tanya ke Petruk yang mengurus bansosnya."
Reporter masuk ke rumah menemui Petruk. "Kata Bagong bansos kalian cuma cukup untuk beli kerupu?" ia tanya Petruk.
"Memang!" jawab Petruk sanrai.
"Kerupuk satu truk?" kejar reporter.
"Kerupuk lauk sekali makan," tegas Petruk. "Ayo simak hitungannya."
Reporter pun duduk di seberang meja berhadapan dengan Petruk.
"Silahkan catat," ujar Petruk memulai. "Satu rumah tangga di Indonesia, rata-rata berisi empat jiwa. Ayah-ibu tambah dua anak. Uang bansos Rp600 ribu untuk satu bulan setiap keluarga. Satu bulan 30 hari. Coba hitung."
Reporter tersentak, dan langsung menghitung. "Satu bulan Rp600 ribu, bagi 39 hari, sehari jadi Rp20 ribu, dibagi untuk ermpat orang anggota keluarga, setiap orang satu hari mendapat Rp5 ribu," reporter menarik napas.
"Nah kalau Anda setiap hari dapat Rp5 ribu, cukup untuk apa?" entak Petruk.
"Beli kerupuk!" jawab reporter dengan tawa meledak. "Ternyata Bagong betul, mensyukuri dapat bansos untuk membeli kerupuk buat lauk makan nasi."
"Bagong betul. Kami rakyat jelata bersyukur mendapat bansos, bisa beli kerupuk unutuk lauk makan," jelas Petruk. "Kami puas dengan makan kerupuk, dan merasa hidup kami bahagia." ***





Selanjutnya.....