Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

'Panta Rei' Melewati Blokade!

"MESKI blokade 2.159 aparat Polri dan TNI Senin (29-10) berhasil memblokade arus utama massa dari arah Kalianda di Way Panji, Lamsel, massa yang berbilang belasan ribu orang itu melakukan gerakan panta rei—seperti air yang alirannya terhalang, merembes lewat jalan lain!" ujar Umar. 

"Hingga, meski blokade pasukan gabungan di arus utama kokoh tak tertembus massa, di belakang blokade massa justru meruyak di sasaran serangan! Panta rei, mereka meloloskan diri lewat ladang jagung dan kebun-kebun yang tak terkawal!" "Dengan begitu, luputnya massa dari blokade tak bisa disalahkan Polda! Karena Polda Lampung telah mengerahkan pasukan cukup besar, termasuk bantuan dari TNI dan Mabes Polri!" timpal Amir. "Disebut kurang antisipasi, juga kurang pas! Soalnya massa yang membeludak belasan ribu orang itu benar-benar di luar perkiraan logis, karena pada malam Senin—setelah kejadian Minggu siang—para tokoh kedua pihak sudah diajak musyawarah! Logikanya, massanya taat pada perkataan tokoh, tak bergerak lagi!"

"Logikanya begitu! Tapi dengan begitu Polda tak belajar dari pengalaman!" tegas Umar. "Sebab, justru saat para tokoh masyarakat di situ melakukan upacara kesepakatan damai di lapangan sepak bola Kalianda menyusul konflik SARA pertama awal tahun ini, saat bersamaan banyak warga melakukan kerusuhan—Jalinsum mereka blokade berjam-jam! Itu terjadi mungkin akibat kurang luasnya tokoh yang diakomodasi dalam perundingan waktu itu!" "Bisa jadi!" timpal Amir. 

"Sedang pada kejadian terakhir, waktunya mungkin terlalu sempit bagi para tokoh untuk meredam amarah warga! Sedang di lain pihak, bukan mustahil provokasi lewat SMS berjalan lebih intensif! Jadi, juga bukan salah para tokoh masyarakat kalau amarah itu tak bisa diredam!" "Kau ini bagaimana, Polda tak bisa disalahkan, tokoh masyarakat juga tak bisa disalahkan!" entak Umar. 

"Lantas siapa yang salah?" "Provokator! Merekalah pangkal masalahnya!" tukas Amir. "Bermula dari insiden lalu lintas, dikemas jadi isu pelecehan seksual, ujungnya disulut menjadi konflik SARA!" "Tapi provokator cuma menyulut sumbu bom konflik SARA yang sudah siap meledak nian!" timpal Umar. "Sumbunya pendek pula, hingga gagal diatasi polisi dan tokoh masyarakat!" ***
Selanjutnya.....

Pemimpin ‘Solidarity Maker’!

“E-MAIL masuk, ‘Konflik SARA lagi! Adakah cara yang lebih mendasar dan berkelanjutan untuk mengatasinya?’” ujar Umar. “Dijawab komputer, ‘Ke¬hadiran pemimpin yang memiliki ka¬pasitas sebagai solidarity maker!’” “Itu kapasitas pemimpin yang diung¬gulkan dari era Sumpah Pemuda dan proklamasi!” sambut Amir. “Untuk yang dimaksud e-mail bentrokan antarwarga bernuansa SARA di Hari Sumpah Pemu¬da, mengesankan Sumpah Pemuda tak bergema lagi di dada warga yang mayoritas pemuda (usia 40 tahun ke bawah), kapasitas solidarity maker yang dituntut tak lagi terbatas pada skala lokal maupun regional, tetapi lebih strategis lagi, pemimpin nasional!”

“Itu karena bentrokan atau tawuran sejenis sudah meluas secara nasional, antardesa, antarsekolah, antarkampus! Di era informasi ini tayangan media didominasi tokoh nasional sehingga peran perilaku tokoh nasional sebagai contoh bagi rakyat lebih dominan!” tegas Umar. “Ketika pemimpin lebih mementingkan warga kelom¬poknya dan sebaliknya pada orang di luar kelompoknya, de¬viasi tafsirnya di akar rumput bisa tak terhingga!” “Apalagi ia kesankan orang luar kelompoknya sebagai ‘lawan politik’ yang tak layak diberi kesempatan, padahal ia pejabat publik milik semua golongan, tuntutan solidaritas Sumpah Pemuda pun runtuh dari sanubari warga!” timpal Amir.

“Tetapi, bukan berarti pemimpin lokal dan regional yang secara fisik justru lebih dekat dengan warga bisa lepas tangan dari kisruh di daerahnya! Justru program solidarity making approach sebagai suatu kegiatan yang berkelanjutan menjadi porsi tugasnya! Hingga bisa diasumsikan, meskipun keteladanan pemimpin nasional lemah buat contoh solidaritas, kalau penanganan solidar¬ity making approach di tingkat lokal baik, jeleknya realitas di tingkat nasional takkan mengimbas ke daerahnya!” 

“Luasnya wilayah republik dan tidak adanya jaminan keteladanan tokoh nasional, bentuk-bentuk kegiatan soli¬darity making approach yang tepat bagi suatu daerah bisa diunggulkan sebagai kearifan lokal!” tegas Umar. “Adanya program untuk kegiatan solidarity making ap¬proach, kebutuhan cara mendasar dan berkelanjutan mengatasi konflik SARA bisa dipenuhi! Tetapi, hasilnya bergantung ketepatan pelaksanaan program! Jadi, ada programnya saja belum tentu tepat, konon lagi dibiar¬kan—bentrok bisa menjadi agenda musiman!” ***
Selanjutnya.....

Teroris, Kok Tumbuh Terus?

"AWAL pekan lalu teroris menyerang di Poso, Sulawesi Tengah, dua polisi lokal terbunuh!" ujar Umar. "Jumat dan Sabtu, Densus 88 Polri meringkus 11 terduga teroris jaringan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi) di Jakarta, Bogor, Solo, dan Madiun! Disita bahan pembuatan bom dan dokumen rencana operasi, antara lain mengebom Konjen AS di Surabaya, Kedubes AS Jakarta, Plaza 89 di Jakarta, dan Mako Brimob Srondol, di Semarang!" "Salut kepada Polri yang selalu berhasil membongkar jaringan teroris, tanpa kecuali jaringan baru yang siap beraksi seperti Hasmi!" timpal Amir. 

"Tapi kenapa teroris terus tumbuh di negeri kita? Bahkan di Poso yang bertahun-tahun tenang, tiba-tiba muncul lagi dengan sasaran polisi seperti jaringan teroris di Solo! Apa penyebab suburnya tumbuh kelompok baru teroris cenderung belum teridentifikasi tuntas, sehingga kita cuma terlalu sibuk menggalang gerakan deradikalisasi, sedangkan di sisi lain jaringan teroris terus tumbuh dan—dari daerah penangkapan yang dilakukan Polri—juga bisa disebut—terus merebak!"


"Gerakan deradikalisasi tidak salah, karena radikalisme di Indonesia juga merebak, bahkan pada Hari Raya Idhuladha kemarin (26-10), massa sebuah kelompok radikal merusak masjid jemaah lain di Bandung!" tegas Umar. "Itu membuktikan gerakan deradikalisasi untuk menekan terorisme maupun radikalisme yang meneror masyarakat dengan kekerasan masif, masih jauh dari berhasil! Artinya, cara radikal, termasuk unsur dari terorisme, tapi bukan cuma itu! Hal paling utama dalam terorisme justru ideologi dengan cara mencapai tujuan lewat jalan penghancuran!" "Gerakan kontra ideologisnya tak tertangani intensif, kecuali secara fisik lewat Densus 88 yang ‘memanen‘ setelah produknya tumbuh!" tukas Amir. 

"Terorisme sebagai 'isme' justru lebih leluasa merebak lewat jaringan maya, lebih-lebih media sosial, hingga sukar dibatasi, apalagi dihabisi, perkembangannya!" "Ideologi terorisme itu revolusioner, bertujuan menumbangkan kekuasaan sah yang ada dan menggantinya dengan penguasa baru yang sesuai 'idea' mereka!" timpal Umar. "Idea itu laku dengan bukti-bukti melimpah di media massa setiap hari, kelompok kekuasaan yang ada memang korup, bahkan secara sistematis, terstruktur, dan masif! Tentu beda kalau kekuasaan yang ada amanah dan bersih, idea liar itu pasti sukar merasuki kaum muda!" ***
Selanjutnya.....

Pemuda, Ketika Zaman Terbalik!

"KI Dalang melantunkan suluk (arahan filosofis cerita) tentang wolak-walik e zaman (terbalik-baliknya zaman), pemuda andalan pemandu arah penyelesaian masalah bangsa, posisinya terbalik malah jadi biang masalah yang menyusahkan bangsa!" ujar Umar. "Pangkalnya pengangguran menjerat berjuta pemuda jadi frustrasi, lalu terjerumus mabuk narkoba, atau kepepet jadi begal! Mereka yang lolos dari situ kelangkaan teladan, nilai patriotisme mereka lampiaskan ke palagan tawuran—dari siswa, mahasiswa, sampai pemuda antarkampung." 

"Itu terjadi di seantero negeri—dari kawasan kosmopolitan Ibu Kota negara sampai dusun udik terbelakang!" sela Amir. "Berbaliknya peran strategis pemuda menjadi masalah ruwet bangsa itu memburuk tahun-tahun terakhir ini, sejalan semakin maraknya sikap hipokrit—lain kata dari tindakan—pada semua lapisan pemimpin masyarakat bangsa! Teriak antikorupsi, nyatanya korupsi besar-besaran! Teriak berantas narkoba, memberi keringanan berlebihan hukuman terpidana narkoba!"

"Segala tindakan didasarkan semata bolehnya menurut hukum, bukan baik-buruknya maupun keteladanan dan penanaman nilai-nilai baik bagi kaum muda!" tegas Umar. "Menyaksikan tingkah para pemimpin menyimpang dari ideal yang didambakan dalam das sollen (nilai-nilai yang seharusnya), lantas berusaha menutupi keburukannya lewat silat lidah retorika, yang dilakukan dari tahun ke rahun, jelas membuat generasi muda muak, bahkan muntah! Sebagai akibatnya, mereka mencari jalan sendiri, tapi kebanyakan terjebak di jalan sesat!" 

"Untuk keluar dari 'zaman gelap' dan kembali ke rel posisi dan peran pemuda yang ideal, jelas tak cukup lewat upacara Hari Sumpah Pemuda dengan taburan retorika pula!" timpal Amir. "Langkah terpenting untuk itu justru mencuci otak para pemimpin agar tak hipokrit lagi! Tapi cara demikian guna menghentikan gejala buruk yang menyekap bangsa, tak mungkin! Karena, realitasnya justru posisi para pemimpin dengan perilaku hipokrit itu yang menjadi determinan—faktor penentu—dalam perubahan masyarakat!" "Terpenting, sudah diketahui apa yang rusak dan apa penyebabnya!" tegas Umar. "Ibarat mesin, untuk memperbaiki kerusakan, onderdil penyebabnya harus diganti! Menjadi tanggung jawab pemuda melakukan perbaikan itu!" ***
Selanjutnya.....

KPU Tulangbawang Dipecat!

“NANANG Trenggono, pimpinan KPU Provinsi Lampung, membenarkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan anggotaKPU Kabupaten Tulangbawang (Tuba) terkait masalah etik!” ujar Umar. “Tapi, KPU Provinsi belum menerima amar dan putusannya. Meskipun, menurut Nanang, putusan etik tidak berarti berkorelasi dengan hasil pemilukada, sebab MK memutuskan sengketa hasil perolehan suara. Sementara putusan KPU Tuba tentang penetapan pasangan calon sudah dibenarkan PTUN Tanjungkarang dan PTTUN Medan! Status putusan PTTUN berkekuatan hukum tetap!” “Berbagai tafsir hukum bisa segera melimpah! Karena setiap pakar hukum bebas membuat tafsirnya sendiri!” timpal Amir. 

“Untuk itu, tafsir formal dari lembaga yang memiliki legalitas dalam menetapkan hasil pemilukada sebaiknya segera membuat keputusan dengan dasar-dasar hukum yang sah! Tanpa itu, warga bisa terjebak dalam tafsir sesuai kepentingan masing-masing, yang tak bisa dijamin terlepas dari kontroversi,bahkan pertentangan lebih jauh yang bisa menyulutkonflik horizontal!”

“KPU kabupaten/kota diseleksi dan dibentuk oleh KPU Provinsi! Dalam praktek operasional selama ini, jika di KPU kabupaten/kota terjadi masalah, KPU Provinsi yang turun baik untuk pendampingan,mengisi kekurangan anggota, maupun mengambil keputusan!” tegas Umar. “Berdasar hierarki struktur, fungsi, dan tanggung jawab yang sedemikian, pihak yang harus mengambil langkah pertama mengisi kekosongan KPU Tuba tentunya KPU Provinsi! Kecuali ada amar khusus dalam putusan DKPP yang menetapkan lain, maka KPU Provinsi yang harus mengambil alih tugas KPU Tuba!” 

“Kalau benar begitu prosedur alih kewenangan yang kosong di KPU Tuba akibat putusan DKPP itu, proses selanjutnya Pemilukada Tuba bisa ditebak, tak bakal jauh dari gambaran Nanang dengan prosesnya memedomani dasar hukum yang telah berkekuatan hukum tetap!” tebak Amir. “Tentu, itu juga jika amar putusan DKPP tak menentukam lain! Karena, jika dalam amar DKPP ada hal-hal yang harus diperhatikan, KPU Provinsi tentu akan mempertimbangkannya!” “Terpenting, akhirnya, pemberhentian anggota KPU Tuba oleh DKPP akibat masalah etik ini bisa menjadi pelajaran bagi para anggota KPU kabupaten/kota lainnya!” tegas Umar. “Apalagi, KPU kabupaten/kota selalu digugat ke MK oleh pihak yang kalah dalam pemilukada!” ***
Selanjutnya.....

Merujuk Semangat Kurban!

"KURBAN itu ibadah sakral yang diperintahkan seperti Nabi Besar Ibrahim alaihis salam (as) mengurbankan putranya, Ibrahim as.!" ujar Umar. "Amalan kurban pada umat Islam dilakukan dengan menyembelih hewan ternak, kambing atau domba, sapi, dan unta. Daging hewan kurban boleh dimakan yang berkurban, tapi diprioritaskan pada kaum fakir miskin!" "Untuk itu, daging kurban 3 jutaan jemaah haji di Tanah Suci dikalengkan untuk dikirim ke Afrika dan negara-negara muslim yang banyak warga miskinnya—dulu termasuk Indonesia!" sambut Amir. "Sedang di Tanah Air sendiri, pelaksanaannya dilakukan panitia kurban di masjid-masjid, daging kurban dibagi berdasarkan daftar yang disusun panitia!"
"Sampai di situ pelaksanaan ibadah kurban yang sakral itu selesai sempurna!" ujar Umar. "Tapi semangat kurban, merelakan sesuatu milik atau sejenisnya guna memenuhi perintah atau suruh Allah, baik untuk ibadah pribadi maupun utamanya untuk berbuat kebajikan bagi sesama dalam kehidupan bermasyarakat, selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari!" "Merujuk semangat kurban itu bisa dari yang amat penting sampai yang sederhana!" timpal Amir. "Amat penting seperti aktualisasi sunah Rasul 'hubbul wathon minal iman' (cinta tanah air sebagian dari iman) hingga orang siap mengorbankan jiwa raganya untuk mengusir musuh yang mau menjajah negaranya! Yang sederhana, ketika orang mengorbankan waktu dan tenaga membantu tetangga mantu!" "Bantuan seperti itu mempererat silaturahmi yang merupakan suruh-Nya juga, hingga bagi orang yang rajin silaturahmi dijanjikan panjang umur!" tegas Umar. "Silaturahmi membuat umur panjang ada rasionalitasnya! Semisal orang yang mendadak sakit, karena silaturahmi baik ada tetangga yang cepat mengantarnya ke rumah sakit sehingga mendapat pertolongan dokter tepat waktu! Bandingkan dengan orang yang kurang silaturahmi, saat terkapar sakit tak ada tetangga yang menolongnya!" "Rela berkorban uang, harta, atau tenaga buat membangun rumah ibadah dan tempat remaja berolahraga merupakan kebajikan untuk kehidupan bersama dalam suatu komunitas!" timpal Amir. "Betapa mulia ibadah kurban dengan keikhlasan meneladani Ibrahim as.! Betapa indah pula merujuk semangat kurban dalam kehidupan sehari-hari, di tengah kehangatan silaturahmi dengan sesama!" ***
Selanjutnya.....

Kisah Minyak Bumi Lamteng!

"KISAH nyata, nyaris seluruh kawasan Lampung Tengah perutnya mengandung minyak bumi! Bahkan potensinya, menurut Prof. Dr. Suharno, guru besar geologi Universitas Lampung, lebih besar dari Riau!" ujar Umar. "Namun kisah yang lebih nyata lagi menyebutkan, masih banyak hambatan untuk mengeksplorasinya!" "Itu karena Pemerintah Kabupaten Lamteng terlalu bersandar ke Pemerintah Pusat, yang memang cenderung malas mengeksplorasi sumber baru minyak bumi, hingga lifting yang semula 1,2 juta barel per hari kini tinggal di bawah 900 ribu barel per hari!" sambut Amir. "Apalagi kisah minyak bumi di Lamteng baru berusia lima tahun! Tepatnya baru sejak pemetaan hidrokarbon oleh Dinas Pertambangan, Energi, dan Lingkungan Hidup Lamteng bersama KP Lemigas 2007, yang menemukan potensi minyak bumi di kawasan Lamteng dan sekitarnya sebesar 503 miliar barel!"
"Kayaknya Lamteng perlu belajar ke Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) atau Bojonegoro yang punya perusahaan daerah untuk menambang sendiri minyak bumi di wilayahnya, hingga bisa menghasilkan pendapatan daerah yang lebih baik dari kekayaan bumi kabupatennya!" tegas Umar. "Muba merupakan kabupaten pertama yang menerapkan pengobatan dan sekolah gratis sampai tingkat SMA, sejak belum ada ide sama dari Pemerintah Pusat!" "Tapi Pemerintah Pusat sudah membuat blok-blok wilayah kerja untuk eksplorasinya, serta tahap demi tahap melakukan tender untuk menetapkan pelaksana kerja setiap bloknya!" tukas Amir. "Bahkan Pemprov Lampung melalui izin 30 Juli 2010, diperkuat SK Gubernur 20 April 2012 bernomor 500/1385/III.17/2012 menyetujui rencana survei seismik dua dimensi (2D) kepada Pertamina! Sebaliknya pemilik wilayahnya, Pemkab Lamteng, malah belum melakukan langkah-langkah penting bagi menggali kekayaan buminya itu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya!" "Maksudnya tentu agar diantisipasi, jangan pula orang luar belepotan mandi minyak kekayaan bumi Lamteng, sedang warga Lamteng cuma bisa jadi penonton!" tegas Umar. "Paling tidak meniru Bojonegoro, kerja sama dengan perusahaan yang sudah matang pengalaman di bidang minyak bumi sehingga bisa menikmati hasil kekayaan bumi daerahnya pada tingkat yang lebih baik! Kasihan rakyat Lamteng kalau nantinya cuma jadi penonton!" ***
Selanjutnya.....

Polri dan Perintah Presiden!

"MESKIPUN di muka publik Polri telah melakukan pertemuan teknis dengan KPK, secara formal sampai pekan terakhir Polri belum memenuhi perintah Presiden SBY agar menyerahkan kasus simulator pembuatan SIM untuk sepenuhnya disidik oleh KPK!" ujar Umar. "Dalihnya hingga perintah Presiden belum dilaksanakan karena dua berkas kasusnya sudah P21 (pemeriksaan telah memenuhi syarat) dan sudah diserahkan ke jaksa, sesuai KUHAP polisi tak bisa lagi membuat SP3—menghentikan kasusnya!"
"Alasan Polri tak bisa melaksanakan perintah Presiden itu 100% betul! Itu ketentuan hukumnya!" timpal Amir. "Dan kalau perintah Presiden tak bisa dilaksanakan bukan karena Polri membangkang, melainkan karena perintah itu yang terlambat keluar setelah proses hukum kasus simulator P21, hingga tak bisa diubah!" "Tapi dalih itu naif karena kesannya malah menyalahkan Presiden yang terlalu lambat bersikap mengatasi perbedaan pandangan Polri versus KPK sehingga ketika Presiden memberikan solusi proses kasusnya sudah pada tahap nasi telah menjadi bubur!" tegas Umar. "Akibat terlalu lambat Presiden bersikap itu menjadi simalakama pada Polri—dijalankan Polri melanggar hukum (KUHAP), tak dijalankan Polri melawan perintah Presiden!" "Setelah kasus simulator yang ditangani Polri P21 di tangan jaksa, posisi masalahnya seperti ‘Cicak Lawan Buaya Jilid I’, ketika berkas kasus Bibit-Chandra sebagai tersangka sudah di tangan jaksa!" timpal Amir. "Solusi waktu itu, sesuai rekomendasi tim pencari fakta dipimpin Adnan Buyung, Presiden SBY merekomendasi Jaksa Agung untuk mendeponir kasus tersebut sesuai kewenangan khusus Jaksa Agung!" "Solusi itu tak cocok untuk kasus simulator karena bukan deponir atau pemetiesan kasus yang harus dilakukan, melainkan menarik kasus yang telah P21 itu dari kejaksaan untuk diserahkan ke KPK guna disidik ulang dari awal!" tegas Umar. "Penyidikan ulang dari awal merugikan hak-hak tersangka kasus simulator yang selama ini telah ditahan polisi dan jaksa!" "Tersangka memang tak boleh dirugikan hak-haknya! Apalagi itu tersangka kasus simulator yang sejak awal cenderung untuk diuntungkan hingga diproses cepat agar tak tersentuh KPK!" timpal Amir. "Cuma kasihan Presiden, wibawa perintahnya jadi hambar karena dibenturkan proses hukum berbau rekayasa itu!" ***
Selanjutnya.....

Sipol Diprotes karena IFES!

"PDIP dan Partai Golkar memprotes Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena pengelolaan Sistem Informasi Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik (Sipol) menyertakan LSM asing International Foundation for Electoral System (IFES)," ujar Umar. "Kedua partai utama itu menegaskan kehadiran IFES dalam bagian dari proses pemilu itu amat mengganggu ekspresi kebebasan bangsa merdeka, apalagi pemilu merupakan aktualisasi kedaulatan bangsa!" "Protes PDIP dan Partai Golkar bisa dipahami, karena kehadiran LSM asing dalam proses administrasi pemilu kita sungguh tak pada tempatnya!" timpal Amir. 

"Gagasan Sipol untuk memodernisasi sistem administrasi pemilu secara elektronis amat baik, lebih praktis, dan (sebenarnya) mempermudah parpol-karena berkarung data bisa dimasukkan sebuah disket program Excel, setiap parpol dengan akun 'admin' bisa mengontrol basis data, bahkan memperbaiki datanya lewat akun 'operator' yang dibuat oleh akun 'admin'!"

"Sipol jadi merendahkan martabat bangsa, karena sekadar program komputer seperti itu saja harus ditangani orang asing, seolah warga Indonesia ini amat bego tak bisa membuat program sejenis!" tegas Umar. "Jika alasan KPU karena pada Pemilu 2009 peranti komputer yang ditangani anak bangsa sendiri macet, hingga mengganggu proses penghitungan suara, mungkin pantas disimak kecurigaan PDIP, ada kecenderungan waktu itu peranti komputer dibuat sedemikian untuk menguntungkan kontestan tertentu! Atau kemungkinan lain, tender pengadaan peranti komputer pada pemilu lalu itu kurang beres, hingga yang didapat komputer jelek dan tenaga teknis kurang ahli!" 

"Untuk itu, amat bijaksana jika KPU meninjau kembali penyertaan IFES dalam Sipol!" timpal Amir. "Karena jelas tak pantas kalau baru di awal tugasnya sekaligus awal proses pemilu KPU sudah membuat gara-gara yang bisa menjadi bom waktu perusak hasil akhir pemilu yang seharusnya bisa diterima semua pihak!" "Lebih penting lagi agar KPU membersihkan dirinya dari elemen asing itu, karena dalam tugasnya ke depan nanti KPU akan mengambil keputusan-keputusan yang lugas dan tegas, tak bisa ditawar-tawar!" tegas Umar. "Sikap lugas dan tegas itu sukar dilakukan kalau ada ganjalan bersifat prinsip di tubuh KPU sendiri! Sipol didukung, tapi tanpa IFES!" ***
Selanjutnya.....

Perilaku Baik Parpol Lampung!

“KILAS balik dan evaluasi pasca-pemilukada tiga kabupaten di Lam¬pung menyimpulkan situasi dan kon¬disi politik Lampung kondusif!” ujar Umar. “Hal itu terwujud salah satunya karena perilaku partai-partai politik (parpol) Lampung yang baik sehingga tak ada konflik berarti antarparpol dalam pemilukada! Itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Badan Kesbang Linmas Provinsi Lam¬pung, Kamis.” “Memang, kalaupun ada satu-dua parpol yang mendaftarkan lebih dari satu calon ke KPU, ek¬sesnya tak signifikan untuk mengurangi arti perilaku baik parpol-parpol Lampung secara keseluruhan!” timpal Amir. 

“Apalagi, dalam mendaftarkan lebih dari satu calon tadi juga sebagai konsekuensi perilaku baik parpol yang paling menonjol, yakni menjadikan dirinya sebagai putri cantik yang menunggu lamaran! Karena itu, ketika datang lamaran lebih dari satu calon, wajar jika dalam keluarga parpol itu ada perbedaan harus menerima yang mana!” “Tapi juga wajar kalau dalam perilaku baik itu justru terdapat kelemahan, lebih-lebih dalam kecenderungan menjadikan parpol sebagai putri cantik yang menanti la¬maran!” tegas Umar.

“Kelemahan dimaksud antara lain fungsi parpol seba¬gai perekrut kader pemimpin bangsa jadi mandul! Kelemahan ini menjadi akut ketika parpolnya mengubah fungsi rekrutmen kader itu menjadi usaha rental kendaraan poli¬tik! Akibatnya, para kader par¬tai sendiri kemudian cuma jadi penonton orang luar partainya menikmati kekuasaan dengan kendaraan yang selama ini mereka hidupi dengan jerih payah penuh pengorbanan!” “Tapi tak semua parpol di Lampung begitu!” sela Amir. “PDIP dua kadernya menang telak di Lampung Barat dan Tanggamus. Juga Partai Golkar, meskipun hasilnya belum memuaskan, di Tulangbawang dan Tanggamus menjagokan kadernya sendiri! Dengan itu, tampak PDIP dan Partai Golkar telah menjalankan fungsi parpol melakukan rekrutmen pemimpin!” 

“Namun, perilaku baik parpol-parpol Lampung dalam pemilukada hingga tak ada konflik antarsesama parpol itu layak dihargai!” tegas Umar. “Konflik pemilukada kalaupun ada dan sampai ke MK, cuma gugatan tim sukses calon ter¬hadap KPU! Sedangkan antarparpol, tak peduli antarpen¬gurus pusat mereka terjadi konkurensi tajam, di Lampung antarparpol itu rukun-rukun saja, bahkan berangkulan mengusung calon kepala daerah yang sama!” ***
Selanjutnya.....

Audit BPK pun Diintervensi!

"SERU! Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Taufiequrrachman Ruki mengungkap ke Kompas (19-10) laporan audit BPK mengenai proyek pusat pembinaan olahraga Hambalang, diintervensi!" kutip Umar. "Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng serta dua perusahaan kontraktor, PT Adhi Karya dan PT Dutasari Citralaras, yang semula namanya ada terkait kasus tersebut, pada rapat BPK terakhir sudah tak ada! Dalam PT Dutasari Citralaras, menurut Taufiequrrachman, ada nama istri Anas Urbaningrum sebagai komisaris!" 

"Kalau betul begitu jelas seru!" timpal Amir. "Hasil audit BPK yang selama ini tepercaya, jadi ternoda! Kredibilitas lembaga auditor untuk legislator itu bisa runtuh, jika terbukti BPK bisa diintervensi, atau malah menerima pesanan hasil audit seperti yang diinginkan pemesan! Opini BPK wajar tanpa pengecualian (WTP) yang ramai dipamerkan banyak kepala daerah belakangan ini bisa dinilai cuma hasil audit pesanan belaka!" "Mungkin belum seburuk itu realitasnya!" tegas Umar. "Sebab Taufiequrrachman Ruki meminta tim auditornya memperbaiki laporan itu secara lengkap seperti semula, untuk diperiksa dalam rapat berikutnya!"

"Kita lihat dulu, apakah perintah memperbaiki itu dilaksanakan!" tukas Amir. "Kalau perbaikan dilaksanakan, berarti intervensi tak terstruktur sistemik dalam jaringan internal kekuasaan BPK sehingga kejadian hilangnya nama tokoh dan perusahaan terkait kasus korupsi itu hanya bersifat kasuistik! Tapi kalau Taufiequrrachman Ruki yang mantan Ketua KPK itu kekuatannya sebagai anggota BPK tak bisa mengembalikan kebenaran laporan audit BPK, bahkan setelah ia kuak masalahnya ke pers untuk mendapatkan tambahan daya penekan, lain ceritanya!" 

"Kalau hal sedemikian yang terjadi, BPK cuma 'toko' tempat memesan hasil audit untuk membebaskan atau membenamkan ke bui seseorang atau sekelompok orang terkait kasus korupsi, tamatlah riwayat BPK sebagai lembaga auditor kepercayaan rakyat!" timpal Umar. "Harapan tentu BPK belum kebablasan sejauh itu, sehingga rakyat masih punya satu lembaga pemeriksa keuangan negara yang tepercaya! Sejalan dengan itu korupsi Hambalang yang mencuri triliunan uang rakyat terungkap sesuai kebenaran faktanya!" "Soal kasus Hambalang, KPK menyatakan telah memiliki bukti cukup!" tegas Amir. "Jadi, hasil audit BPK itu tak penting lagi!" ***
Selanjutnya.....

Antisipasi Kerawanan Pangan!

“WARGA Lampung bernapas lega ketika para pejabat daerah ini menyatakan Lampung aman dari ancaman kerawan¬an pa¬ngan!” ujar Umar. “Sayang, pernyataan itu tak dilengkapi realitas yang sesungguhnya terjadi, bahwa ancaman rawan pangan itu diatasi dengan beras impor, yang jumlahnya bahkan—pernah dihebohkan DPRD provinsi maupun pers—terlalu besar!” 

“Sebaiknya, pengamanan dari ra¬wan pangan dilakukan dengan beras impor dijelaskan secara lengkap, untuk mendorong semua pihak berusaha keras mewujudkan swasembada pangan!” timpal Amir. “Kita tak perlu malu mencukupi kekurangan pangan dengan beras impor, ka¬rena hal itu bagian dari kenyataan nasional yang tahun ini sudah mengimpor beras nyaris 1 juta ton!”

“Kesadaran masyarakat sebenarnya kita sedang menghadapi ancaman rawan pangan justru amat dibutuhkan, agar secara saksama mencari jalan keluar bersama sekaligus menghindar dari realitas lebih satu miliar orang warga bumi ini sekarang setiap hari menderita kurang pangan!” tegas Umar. “Tak kepalang Wakil Presiden Boediono yang mengingatkan itu dari Palangkaraya. Ia tegaskan, masalah bahan pangan merupakan hal paling mendasar yang hingga kini belum terpecahkan!” (Ant, 18-10) “Hal itu terjadi di negara berkembang akibat krisis politik dan keamanan, hingga orang tak sempat bekerja!” timpal Amir. “Lalu, kebijakan sektor pertanian yang buruk hingga produksi rendah, bahkan gagal panen berulang!” 

“Kegagalan sektor pertanian itu menurut Wakil Presiden juga akibat pemerintahnya tidak membangun infrastruktur yang dibutuhkan!” tegas Umar. “Penyebab lainnya perubahan iklim yang menimbulkan cuaca ekstrem di berbagai bagian dunia! Di tengah kondisi yang tak ideal di berbagai bagian dunia yang juga terancam kerawanan pangan itu, kita bangga mengimpor beras!” 

“Wajarnya justru setiap mengimpor beras kita melakukan introspeksi sebagai antisipasi pada ancaman kerawanan pangan!” tukas Amir. “Apalagi kalau faktor-faktor penyebab krisis pangan atas satu miliar manusia tersebut juga terjadi di daerah kita, mulai dari gagal panen akibat cuaca ekstrem sampai pembangunan infrastruktur yang terabaikan! Sehingga, lebih tepat jika kita mengkaji sebab-sebab gagal panen dan mencari cara menyiasati perubah¬an iklim yang laten itu!” ***
Selanjutnya.....

Subsidi Energi Capai Rp306 Triliun

"SUBSIDI energi (BBM dan listrik) tahun 2012 mencapai Rp306 triliun atau 20% dari total belanja negara!" ujar Umar mengutip Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi di CSIS Selasa, (Kompas, 17-10). 

"Kata Bambang Soemantri, kewenangan menaikkan harga BBM ada pada pemerintah, dengan keputusan akhirnya pada Presiden SBY, yang peluangnya terbuka karena dalam UU APBN 2013 tak ada lagi pasal yang membatasi pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi—seperti pada UU APBN 2012!" "Berarti masalahnya, beranikah pemerintah menuai risiko politik menaikkan harga BBM bersubsidi ketika hasil survei Partai Demokrat dan partai-partai koalisi pemerintah cenderung terus memburuk?" tukas Amir. "Kebijakan menaikkan harga BBM dan TDL jelas tidak populer karena memicu kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat, hingga kemungkinan dicari cara lain mengatasinya selalu terbuka!"

"Risiko politiknya tentu akan diperhitungkan dengan matang, lebih-lebih karena 2013 itu tahun terakhir memasuki pemilihan umum legislatif yang berlangsung semester awal 2014!" tegas Umar. "Lalu konsekuensi apa yang harus dipikul jika pemerintah menghindar dari menaikkan harga BBM dan TDL?" "Beban subsidi semakin tak terpikul APBN! Kian tak mampu lagi membangun infrastruktur!" jawab Amir.

"Padahal, jumlah subsidi energi 2012 itu menurut Didik J. Rachbini dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) cukup untuk membangun jalan baru 10 ribu kilometer! Catatan Indef, 2007—2012 rata-rata setiap tahun pendapatan negara naik 10,92%, sedangkan belanja negara naik 14,55%! Akibat defisit kian berat, RAPBN 2013 sulit menjawab masalah krusial saat ini, pengangguran, kemiskinan, deindustrialisasi, serta ancaman krisis pangan dan energi!" (Kompas, idem) "Celakanya peningkatan defisit itu hanya untuk belanja birokrasi, bukan meningkatkan peran stimulus fiskal agar lebih terjamin peningkatan sumber-sumber pendapatan!" tegas Umar. "Cara seperti itu hanya akan mewariskan beban segudang persoalan kepada pemerintah mendatang! Dan itu, melengkapi beban utang negara ini yang menurut Kompasiana (5-9-2012) mencapai Rp1.959,85 triliun pada 2012, bayar bunga Rp117,79 triliun per tahun!" ***
Selanjutnya.....

Fenomena Pemimpin Merakyat!

"KEMENANGAN Jokowi-Ahok di DKI Jakarta memunculkan fenomena pemimpin merakyat, pemimpin yang telah membuktikan orientasi kekuasaannya berpihak kepentingan rakyat!" ujar Umar. "Keberpihakan pada kepentingan rakyat jalan dua periode Jokowi memimpin Solo bukan cuma retorika, melainkan benar-benar dilakukan dalam praktek kekuasaannya!" 

"Itu jadi fenomena karena para pemimpin lain cuma menjadikan orientasi pada kepentingan rakyat, bahkan menyatakan cinta pada rakyat, cuma retorika atau janji kosong!" timpal Amir. "Pada praktek kekuasaannya mereka justru melakukan sebaliknya, mencuri uang rakyat untuk kemewahan pribadi, keluarga, kroni, atau membangun simbol-simbol kekuasaan dinastinya, sedang rakyat dikorbankan dalam kemiskinan! Kemewahan itu dijauhi Jokowi, hingga dia dan keluarga hidup hemat dalam arti sesungguhnya!"

"Masalahnya, apakah fenomena kepemimpinan merakyat itu akan merebak sebagai tren ke seantero negeri?" tukas Umar. "Bukan mustahil!" sambut Amir. "Paling tidak usaha peniruan akan terjadi baik pada pemimpin sedang berkuasa maupun calon kepala daerah yang mempromosikan diri ke arah sana! Namun, ada hal esensial yang tak mudah ditiru, yakni watak humanis seseorang sering merupakan sifat bawaan lahir!" "Justru karena hal itu bersifat natural, orang lebih dekat untuk kembali ke sifat asalinya!" tegas Umar. 

"Sifat asali manusia pada dasarnya baik! Ia dilahirkan seperti kertas putih, orang tua dan lingkungan yang menjadikan ia merah, hitam, atau belontang!" "Meski demikian, karena warna-warni kotor itu telah berkarat mendarah daging, tak mudah mendulang warna putih asalinya!" tegas Amir. "Memang itu tidak mutlak! Kalau orang mau belajar sungguh-sungguh, membiasakan diri dengan sikap dan perilaku terpuji tersebut, apalagi itu sebagai bagian penting mencapai cita-citanya, meski awalnya cuma perilaku tiruan akhirnya sifat asali yang humanis itu akan kembali!" 

"Karena itu, tak salah kepada setiap pemimpin, utamanya yang mencalonkan diri ke jabatan publik lebih tinggi, didorong mengunggulkan sifat humanis dirinya dalam mendekatkan diri pada rakyat!" timpal Umar. "Tak perlu obral program muluk-muluk karena yang amat dirindukan rakyat dewasa ini sentuhan manusiawi dari pemimpin!" ***
Selanjutnya.....

Jokowi-Ahok ‘Dilantik Rakyat’!

FORMALNYA yang melantik pasang­an Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta adalah Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden!” ujar Umar. “Namun, dalam realitasnya, yang bersungguh-sungguh melantik Jokowi-Ahok dengan hati nuraninya justru rakyat berbilang ribuan orang, yang hadir di Balai Kota menyaksikan peristiwa ber­sejarah itu, Senin!” 

“Klaim itu bisa lebih kuat lagi de­ngan kenyataan pelantikan itu dilakukan di tengah pesta rakyat, di mana para pedagang kaki lima se-Jakarta, dari warteg, satai, bakso, dan sebagainya menyiapkan hidang­an gratis untuk 10 ribu warga yang hadir memeriahkan pesta rakyat tersebut!” timpal Amir. “Di lain pihak, pasang­an Jokowi-Ahok siap foto bersama warga sampai selesai!”

“Itu memang betul-betul pesta rakyat!” tegas Umar. “Sekaligus menjadi kekhasan acara pelantikan pasangan kepala daerah yang fenome­nal kemenangannya dalam pemilukada! Seorang tokoh dari Kota Solo yang sederha­na de­ngan pasangan dari Belitung Timur mengalahkan incumbent gubernur Ibu Kota Negara, bahkan pada putaran pertama juga menga­lahkan politisi de­ngan nama besar maupun gubernur dari provinsi lain!” 

“Karena fenomenal itulah pelantikannya tak hanya didaulat warga Jakarta!” timpal Amir. “Warga kota lain seperti Makassar dan Palu ramai-ramai menyaksikan upa­cara pelantikan Jokowi-Ahok di layar lebar selayak nonton bareng pertandingan sepak bola kelas dunia!” “Semua itu menunjukkan tingginya ekspektasi rakyat terhadap pasangan Jokowi-Ahok untuk mewujudkan janji­nya menghadirkan sebuah Jakarta baru!” tegas Umar. “Untuk itu, di awal pemerintahannya ini ia menjanjikan akan menambah 1.000 busway dan melengkapi semua jurusan trayeknya, serta meremajakan metromini dan Kopaja! Pokoknya angkutan massal rakyat Jakarta ditingkatkan kapasitas dan kenyamanannya!” “Itulah wujud janjinya untuk berkoalisi dengan rakyat dalam membangun Jakarta!” timpal Amir. 

“Koalisi bukan dalam bentuk formal pakai teken-meneken perjanjian (yang malah sering diingkari), tapi dalam bentuk kehadir­an dirinya yang lebih banyak di lapangan sebagai problem solver! Ini jelas bukan pekerjaan mudah! Maka itu, saat menuju acara pelantikan Jokowi tapak tilas dengan berangkat dari rumah Bang Ali Sadikin! Selamat bertugas, Jokowi-Ahok!” ***
Selanjutnya.....

Optimistis meski Realitas Pahit!

"MESKIPUN realitas pahit dengan terpukulnya para petani oleh jatuhnya harga komoditas ekspor produksi mereka, terutama karet dan kelapa sawit, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tetap optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan tercapai 6,3%!" ujar Umar. 

"Dan itu tertinggi kedua di Asia setelah China yang tumbuh 7,7%!" "Optimisme itu tidak berlebihan!" timpal Amir. "Sebab, andalan utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada konsumsi! Utamanya konsumsi kelas menengah dan atas yang tidak kenal krisis—justru jumlah kelompok orang terkaya yang bertambah! Sedangkan konsumsi petani, yang harga komoditasnya jatuh serta masyarakat lapisan bawah umumnya yang terus melemah daya belinya, tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi karena kemampuan ekonomi mereka secara nyata memang cuma embel-embel!"

"Optimisme itu memang sangat wajar karena selama ini juga pertumbuhan ekonomi yang diklaim dan dibangga-banggakan sebagai sukses pemerintah maupun BI relevansinya tidak kuat dengan perbaikan nasib jelata, apalagi yang pendapatannya ditakar serbakekurangan, seperti kaum buruh!" tegas Umar. "Itu terjadi karena tidak ada mekanisme distribusi yang adil atas arti atau hasil dari pertumbuhan ekonomi kepada rakyat jelata umumnya! Bahkan, pada petani yang harga komoditasnya terpuruk tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengurangi rasa pedih penderitaannya, apalagi uluran BI buat rehabilitasi sumber daya ekonominya!" 

"Itu bedanya dengan kekuatan raksasa yang jika mengalami krisis amat cepat memperoleh bantuan, bahkan sampai bail out—tanggung jawab pembayaran semua kewajiban (utang) diambilalih pemerintah!" timpal Amir. "Sedangkan kelompok lemah dibiarkan terpuruk ketika terimbas krisis maupun saat belajar merangkak untuk bangkit kembali! Artinya, optimisme penguasa dengan tingginya pertumbuhan ekonomi itu tidak punya relevansi dengan realitas pahit kehidupan rakyat!" "Karena itu, saatnya mendesak pemerintah melakukan reorientasi seperti dilakukan Orde Baru 1978, yang waktu itu membalikkan trilogi pembangunan dari pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, menjadi pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas!" tegas Umar. "Dengan begitu pun jurang kaya-miskin tetap melebar, apalagi sekarang tanpa itu, jurangnya makin dalam membenam kaum melarat!" ***
Selanjutnya.....

Sabda Baginda pun Diingkari!

"DALAM cerita Melayu penguasa disebut Baginda, dan sabda atau ucapannya lebih tinggi kepastiannya dari hukum!" ujar Umar. "Dalam cerita Jawa, Sabda Baginda selalu diberi label Sabdo Pandito Ratu, suatu yang keramat! Karena itu layak orang terkejut ketika Sabda Baginda Presiden ternyata diingkari justru oleh Sang Baginda sendiri!" "Sabda mana yang kau maksud?" tanya Amir. 

"Sabda yang dikutip Kompas (13-10), dalam peringatan Hari Antinarkotika Internasional di Istana Negara 30 Juni 2006, Baginda Presiden bersabda, 'Banyak permohonan grasi dari pelaku kejahatan narkoba yang dilayangkan kepada saya.

Tetapi, Saudara Ketua Mahkamah Agung dan saya sendiri tentu memilih untuk keselamatan bangsa dan negara kita dan generasi muda kita dibandingkan memberi grasi kepada mereka yang menghancurkan masa depan," kutip Umar. 

"Tapi, nyatanya, sabda itu diingkari sendiri oleh Sang Baginda Presiden dengan memberikan grasi kepada dua terpidana mati kasus narkoba menjadi hukuman seumur hidup atas nama Deni Setia Maharwa alias Rafi Muhammad Majid dan Meirika Pranola alias Ola!" 

 "Untuk memberi grasi terpidana yang Presiden sebut kejahatannya menghancurkan masa depan tentu ada alasan kuat!" timpal Amir. "Menurut juru bicara Baginda, untuk pemberian grasi itu telah dipertimbangkan banyak hal, antara lain faktor kemanusiaan!" jelas Umar. "Pemberian grasi terpidana narkoba, lanjutnya, pada prinsipnya tidak akan membuat terpidana menghirup udara bebas di luar penjara!" "Kalau sudah jelas begitu, buat apa kau emosi banget?" tukas Umar. 

"Jangan-jangan ada pesan penting buat bangsa di balik perubahan sikap Presiden dalam masalah narkoba itu!" "Pesan seperti apa kira-kira?" kejar Umar. "Misalnya Presiden terpengaruh oleh kampanye antihukuman mati dari para aktivis!" tutur Amir. "Apalagi jika kampanye itu mengangkat bukti yang menyadarkannya atas kelemahan aparat hukum di bawah kepemimpinannya, polisi acap salah tangkap dan sejenisnya yang menyebabkan penegakan hukum dan keadilan tak akurat, wajar ia mengoreksi sikapnya demi mengurangi risiko dari kelemahan penegakan hukum di bawah kepemimpinannya itu!" "Kalau itu realitasnya, mau apa lagi!" tegas Umar. "Tapi terus terang dong agar orang tak berprasangka negatif!" ***
Selanjutnya.....

JSS Terombang-ambing!

"GUBERNUR Lampung Sjachroedin Z.P. mengeluh persiapan pembangunan jembatan Selat Sunda (JSS) semakin tak menentu, terutama kepastian sumber dananya!" ujar Umar. "Padahal sudah ada peraturan presiden (perpres), juga banyak investor berminat! Akibat ketakpastian itu, investor merasa terombang-ambing karena tak ada kepastian hukum! Gubernur pesimistis JSS bisa direalisasi dalam waktu dekat!" 

"Sebenarnya masih ada yang bisa dipegang untuk mendesak realisasi pembangunan JSS, yakni janji Menko Perekonomian Hatta Rajasa pekerjaan konstruksi JSS dimulai 2014!" timpal Amir. "Namun, meski Hatta Rajasa menyatakan dalam Tim 7 tinggal satu orang yang belum sepakat, kalau prosesnya berlarut terus hingga sekarang belum juga diproses persiapan seperti tender pelaksana pembuat rancang bangun JSS, yang harus melakukan pekarjaan dari survei lapangan sampai selesai cetak birunya, memang tipis harapan untuk bisa memulai pekerjaan konstruksi 2014!"

"Karena itu wajar Sjachroedin khawatir!" tegas Umar. "Konon pula, jika setelah 2014 itu ganti rezim pemerintahan, komitmen rezim baru terhadap JSS tak ada jaminan!" "Penyebab utama berlarutnya perencanaan JSS sebenarnya karena pemerintah tidak lugas menghargai kerja keras konsorsium yang telah dibentuk Pemprov Banten, Lampung, dan Artha Graha hingga proses awal JSS telah mencapai sejauh ini, dengan menarik handling proyeknya sepenuhnya dalam kewenangan Pemerintah Pusat!" tukas Amir. 

"Akibatnya, investor asing yang sejak jauh hari telah dilobi para perintis awal proyek ini jadi angkat kopling! Mereka wait and see seperti apa kira-kira bekerja sama dengan Pemerintah Pusat! Lebih parah lagi, mereka yang wait and see itu tak melihat perkembangan positif—malah tarik-menarik kepentingan di antara gugus kekuasaan pusat yang terjadi—seperti disitir Sjachroedin!" "Begitulah hingga para investor jadi merasa terombang-ambing karena semakin lama kian tak jelas juntrung tahapannya!" timpal Umar. "Apalagi kalau di balik tarik-menarik itu tersamar kepentingan investor tertentu!" "Persaingan investor itu sebenarnya baik bagi tercapainya efisiensi proyek!" tegas Amir. "Namun jadi masalah jika prosesnya malah tersendat, akibat persaingan kurang sehat! Ini proyek hampir Rp200 triliun, siapa bisa jamin orang tak siap main 'kasar' meraihnya?" ***
Selanjutnya.....

Peran Media Sosial Efektif!

“PERAN media sosial Twitter (dan Facebook) dalam komunikasi politik di Indonesia semakin efektif!” ujar Umar. “Tak kepalang Presiden SBY sendiri yang menyatakan dalam pi¬datonya di televisi nasional Senin (8-9) malam, ia merespons desakan publik untuk mengatasi konflik KPK-Polri, salah satunya akibat tekanan media sosial yang merisaukannya!” “Tekanan media sosial itu kini le¬wat fiksi mini bergaya canda!” timpal Amir. “Contohnya saat Minggu (7-10) pagi, massa gerakan Save KPK demo di Bundaran HI dengan mayoritas poster berbunyi ‘Where Are You Mr. Presi¬dent?’

dibuai nyanyian massal lagu Ayu Tingting Di Mana Di Mana?, di Twitter ramai fiksi mini. Seperti, @sibangor: PRESIDEN HILANG! –Adik ketakutan, ‘Maaf, tak sengaja kupencet tombol delete.” atau @penenun...kata: ‘MENCARI PRESIDEN DALAM TUMPUKAN JERAMI!’ –’Ketemu?’ –’Tidak’. Ini hanya ada janji-janjinya!” (Kompas, 9-10 ) 

“Begitulah! Kalau ribuan fiksi mini beraneka canda seperti itu merebak sepanjang siang dan malam, bisa mabok juga orang yang jadi ob¬jek tertawaan!” tegas Umar. “Apalagi kalau yang jadi objek itu seorang Presiden, langsung disebut Presiden dalam ribuan fiksi mini itu! Bukan mustahil media sosial jadi kian efektif sebagan penekan dalam komu¬nikasi politik!” “Keistimewaan media sosial itu, ia merebak sendiri le¬wat satu kelompok jaringan, lalu setiap sel di dalamnya akan merebak lagi dalam kelompak jaringan masing-masing sel, dan berlanjut merebak dari setiap sel terkait berikutnya!” timpal Amir. 

“Memang setiap pesan bisa dilacak sumber awalnya, tapi kalau sudah ribuan pesan senada berkecamuk, kewalahan juga menindaknya andai ada yang kesal pesan-pesan itu menyakitkan perutnya! Menindak seorang koruptor dengan bukti berlimpah saja sukar tuntas, apalagi menindak ribuan pengirim fiksi mini ke dunia maya!” “Justru dengan keistimewaan itu peran media sosial ter¬us semakin efektif sebagai penekan dalam proses komu¬nikasi politik!” tegas Umar. “Dibanding media lain yang perlu waktu lebih khusus untuk memproses penyiaran¬nya, media sosial dengan jauh lebih masif pelakunya bisa lebih cepat dan lebih praktis!” “Kritik media sosial juga lebih cerdas, bernas, dan kena sasaran!” timpal Amir. “Dengan itu, jika penguasa tak pedu¬li, bisa konyol jadi tertawaan rakyat seantero negeri!” ***
Selanjutnya.....

Implementasi Solusi Presiden!

"DI Indonesia banyak gagasan baik, kebijakan bagus, bahkan program unggulan masih selalu dipertanyakan implementasinya, tanpa kecuali solusi dari Presiden yang disampaikan dengan tegas dan jelas di tayangan televisi nasional!" ujar Umar. 

"Termasuk solusi atas konflik KPK-Polri yang ia sampaikan Senin (8-9) malam!" "Implementasi solusi Presiden atas konflik KPK-Polri itu kayaknya tak sepenuhnya mulus!" timpal Amir. 

"Di pita berjalan Metro TV Selasa (9-10) petang muncul berita, 'Banleg DPR RI putuskan melanjutkan pembahasan revisi UU KPK’. Bersamaan itu hadir berita 'Kadiv Humas Polri: Penyidikan kasus Novel Baswedan di Bengkulu dilanjutkan!" "Itu dia!" sambut Umar. "Padahal poin empat solusi Presiden itu berbunyi, 'Revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak memperlemah KPK
sebenarnya dimungkinkan, tetapi kurang tepat dilakukan saat ini. Lebih baik sekarang ini meningkatkan sinergi dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi’. 

Di poin 2, 'Keinginan Polri untuk melakukan proses hukum Novel Baswedan tak tepat baik segi timing maupun cara penanganannya." (Kompas, 9-10) "Seperti itulah kenyataan implementasinya!" tegas Amir. "Pihak-pihak di DPR maupun Polri ada yang enggan kehilangan muka!" "Sebaliknya, dengan egoisme mereka itu justru wajah Presiden yang babak belur, terkesan pidato Presiden yang penting dan dramatis itu mereka anggap enteng, selayak Opera van Java belaka!" entak Umar. 

 "Kalau DPR mungkin masih bisa dipahami, karena meski mayoritas koalisi pendukung Presiden, juga ada dari kalangan oposisi! Tapi dari dapur Polri, apa-apaan sampai begitu, terkesan menyepelekan isi pidato Presiden! Katakanlah kalau mereka tak setuju isi pernyataan Presiden itu, mungkin tidak harus dikemukakan ke publik, tapi cukup diam-diam mereka jalankan kengebetan yang tak lagi bisa mereka tahan tersebut!" "Tapi itu terjadi akibat gaya kepemimpinan penguasa kita! Kalau sudah bicara mengenai sesuatu, apalagi bersifat solutif, beranggapan persoalan itu telah selesai!" timpal Amir. "Apakah implementasi dari solusi yang ia sampaikan itu jalan atau tidak, seolah bukan urusannya lagi! Akibatnya seperti itu, anak buah maupun pihak-pihak yang selayaknya menghormati ucapannya, ludahnya belum kering pun sudah keburu dimentahkan!" ***
Selanjutnya.....

SBY Penuhi Harapan Rakyat!

"DI luar perkiraan, Presiden SBY memenuhi harapan rakyat dalam penyelesaian konflik KPK-Polri!" ujar Umar. "Setidaknya tiga harapan rakyat yang dipenuhinya. Pertama, penyidikan kasus simulator sepenuhnya ditangani KPK. Kedua, penyidikan kasus kekerasan 8 tahun lalu terkait penyidik KPK Novel Baswedan kini waktunya tidak tepat! Ketiga, penempatan penyidik Polri di KPK diatur dengan peraturan pemerintah (PP) agar penarikannya tak selalu dijadikan modus setiap ada konflik lembaga!" "Itulah ujung konflik KPK-Polri yang membuat publik mencemaskan nasib KPK akibat ditarik secara paksa 20 penyidiknya oleh Polri!" timpal Amir. 

"Tindakan Polri itu implisit menunjukkan ketersinggungan lembaga atas diperiksanya petinggi Polri (Irjen Djoko Susilo) dalam kasus korupsi pengadaan simulator pembuatan SIM!" "Ketegangan KPK-Polri terkait kasus itu terjadi sejak KPK menggeledah kantor Korlantas Polri!" tegas Umar. "Saat itu ditegaskan Polri juga menyidik kasus sama, untuk kemudian tercapai kompromi khusus Irjen Djoko Susilo ditangani KPK, sisanya ditangani Polri! Tapi Presiden Senin malam menegaskan semua kasus simulator ditangani KPK!"
"Sedang terkait kasus Novel Baswedan, dengan tegasnya Presiden menyatakan kini kurang tepat saatnya diproses, kayaknya Presiden mencium sengaknya rekayasa!" ujar Amir. 

"Seperti kata Bambang Widjojanto, waktu itu Novel sudah diberi hukuman disiplin karena sebagai atasan lalai anak buahnya menyiksa pencuri sarang walet! Kini kasus itu didaur ulang dengan Novel jadi tersangka tunggal!" "Itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi Novel yang bandel dari panggilan komando pulang kandang, dengan alasan sedang menangani kasus penting!" tukas Umar. "Tak tahunya jadi salah satu penyidik kasus simulator! Atasannya di Polri pun marah, hingga dicarilah kasus terpendamnya, yang seperti nasib Susno Duadji yang dianggap melawan atasan, mudah dikirim ke bui lewat kasus terpendam atas dirinya!" 

"Tapi cara Polri melakukan 'hukuman' kepada perwiranya yang dinilai menyimpang dari pakem komando itu, tanpa peduli hal itu oleh publik dipandang tindakan baik bahkan heroik, pimpinan Polri justru cenderung mencoreng kening sendiri!" timpal Amir. "Sebab dengan itu terkesan, setiap perwira Polri punya kesalahan yang disembunyikan hingga kapan saja perlu bisa diungkap ke publik!" ***
Selanjutnya.....

Gobak Sodor 'Corrupfare State'!

"KALAU dalam welfare state semua kegiatan di negara itu diorientasikan untuk kesejahteraan rakyatnya, dalam corrupfare state kegiatan lembaga formal negerinya diorientasikan pada kepentingan koruptor!" ujar Umar. "Tak berarti dalam corrupfare state itu tak ada etika dan aturan ideal berdasar moralitas universal! Aturan main itu tersedia lengkap, tapi seperti permainan gobak sodor, pihak yang baik—sejenis KPK—jalannya justru dihalangi di setiap garis yang harus dilalui dalam usahanya mencetak angka kemenangan bagi timnya!" "Begitulah!" timpal Amir. 

"Dalam gobak sodor corrupfare state itu, kepentingan koruptor yang justru selalu diuntungkan dalam setiap proses permainan! Lolosnya pemain melewati garis-garis yang dijaga untuk kepentingan koruptor merupakan prestasi luar biasa! Karena itu, angka kemenangan tim sejenis KPK selalu sangat kecil baik kuantitatif maupun kualitatif dibandingkan besar dan luasnya skala korupsi di negeri corrupfare state tersebut!"

"Masalah utamanya karena aturan main itu, meski dibuat berdasarkan etika dan moral, sejak penyusunan awalnya sudah disiapkan lubang-lubang untuk penyimpangan!" tegas Umar. "Akibatnya terjadi pseudomatika, hanya seolah-olah saja aturan itu dijalankan, padahal yang efektif justru penyimpangan aturan sekaligus dari etika dan moral! Maka itu, di corrupfare state kalangan pertama yang tersandung di garis gobak sodor adalah para pembuat aturan, para legislator—bukan cuma di pusat, melainkan juga legislator daerah!" "Lalu siapa yang diuntungkan penyimpangan sejak pembuatan aturan itu menjadi sasaran jerat berikutnya!" timpal Amir. 

"Selanjutnya pihak-pihak yang ikut bancakan proyek itu pura-pura tak tahu ada bancakan, membantah keterlibatannya setiap ditanya wartawan!" "Semua itu berjalan karena korupsi telah menjadi keseimbangan kosmis kekuasaan!" tukas Umar. 

"Banyak orang berjuang dengan segala pengorbanan lahir batin untuk meraih kekuasaan hanya karena dalam kekuasaan peluang terbuka untuk korupsi—malah seluas lukisan Lord Acton power tend to corrupt, absolut power corrupted absolutely!" "Korupsi secara absolut itu sudah jadi realitas ketika lembaga sejenis KPK setiap kali jungkir balik tersandung kekuasaan dalam tugasnya!" timpal Amir. "Dan rakyat cuma bisa memajang poster membelanya!" ***
Selanjutnya.....

'Save' KPK! 'Save' Polri!

MASSA Gerakan 'Save KPK' Minggu pagi (7-10) memadati Bundaran HI, mengusung poster 'Di Mana SBY' dengan nyanyian bersama lagu Ayu Tingting 'Di Mana Di Mana; diiringi musik grup band yang hadir di situ. 

"Menurut Usman Hamid, tokoh gerakan itu ke Metro TV, aksi itu lanjutan aksi-aksi berbagai elemen aktivis membela KPK dari pelemahan dan kriminalisasi penyidiknya oleh Polri!" ujar Umar. "Gerakan pagi itu bertema 'Di mana SBY?', jelas Usman, karena sikap Presiden SBY yang ragu hingga meski polisi sudah bertindak jauh dalam melemahkan KPK, Presiden tidak bertindak tepat waktu, paling tidak harusnya Jumat malam saat pasukan Polri mengepung gedung KPK! Padahal kata jubirnya, Presiden nonton televisi mengikuti konflik itu, tapi baru Senin (hari ini) akan bicara soal itu!"

"Presiden SBY bukan ragu, melainkan baru akan bicara setelah ada dasarnya!" timpal Amir. "Dan dasar untuk itu kan baru disiapkan oleh Polri, yakni tindakan Polri bukan kriminalisasi, tapi masalah kriminal murni! Dengan begitu bisa dibaca, kalau dari publik atau masyarakat sipil ada gerakan 'Save KPK', dari pihak penguasa juga ada gerakan 'Save Polri'. Jadi secara formal Polri dan atasannya, Presiden, tetap on the track, tak bisa dituding bertindak sengaja melemahkan KPK dalam memerangi korupsi!" 

"Lantas bagaimana dengan segala tindakan Polri melemahkan KPK, mulai dari menarik 20 penyidiknya dari KPK, lalu mendaur ulang kasus lama untuk kriminalisasi penyidik yang tak memenuhi penarikan?" kejar Umar. "Apakah semua itu dianggap tak ada karena secara formalitas sudah disiapkan dasar on the track-nya, tak peduli realitasnya KPK sudah babak belur hingga kemampuan jajarannya menangani korupsi menurun?" "Kita tunggu saja apa kata Presiden nanti!" tegas Amir. 

"Tapi bagi Polri, selain formalitas di balik tindakannya itu sudah mereka amankan, mereka juga cenderung tak peduli sejauh mana gerakan bangsa memberantas korupsi ini akan berhasil! Contohnya ucapan Wakapolri Nana Sukarna yang terekam Metro TV, sampai kiamat pun korupsi tak akan habis. Karena itu, lebih baik mencegah daripada memberantasnya!" "Pernyataan Wakapolri itu tidak mengada-ada, sejalan ungkapan Lord Acton, power tend to corrupt!" timpal Umar. "Tapi karena korupsi laten begitu, perlu KPK yang kuat, juga polisi yang konsisten antikorupsi! Maka itu, Save KPK! Save Polri!" ***
Selanjutnya.....

Pemimpin Tidak Kenal Rakyatnya!

Mungkin hanya di Indonesia, para pemimpin bangsa pembuat undang-undang (UU) sama sekali tidak mengenal realitas kondisi rakyat yang dipimpinnya!” tegas Umar. “Itu terbukti dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Kamis (4-10) membatalkan Pasal 22 Ayat (3) UU No. 1/2012 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang melarang pengembang membangun rumah di bawah (lebih kecil dari) tipe 36. Padahal, mayoritas rakyat negeri ini tak mampu membeli rumah tipe 36 ke atas!” 

“Bahkan untuk rumah tipe 21 saja mayoritas rakyat belum mampu, utamanya mereka yang berpenghasilan pas-pasan pada UMP—kecuali lewat program pemilikan rumah khusus!” timpal Amir. “Program khusus seperti uang muka diangsur satu tahun atau lebih, maupun tanpa uang muka dengan sewa beli, membayar sewa setiap bulan sampai waktu tertentu rumah jadi miliknya!”

“Dengan faktor uang muka yang (jika tak diatasi dengan program khusus itu) masih menjadi penghambat pemilikan rumah murah sangat sederhana sekalipun, putusan MK boleh kembali membangun rumah tipe kecil itu akan berarti lebih penting jika didukung kebijakan perbankan memperingan syarat KPR—kredit pemilikan rumah!” tegas Umar. 

“Kebijakan Bank Indonesia mewajibkan uang muka 30% sejak 1 Juni 2012 hanya berlaku pada tipe 70 ke atas, jelas membuka peluang bagi program-program meringankan rakyat kelas bawah untuk memiliki rumah!” “Pokoknya demi berorientasi pada kepentingan rakyat, di mana ada kemauan di situ ada jalan!” timpal Amir. “Anehnya, para pemimpin bangsa yang mengemban kedaulatan rakyat untuk membuat UU, malah kehilangan orientasinya pada kepentingan rakyat! Mereka buat UU yang menghabisi peluang mayoritas rakyat memiliki rumah sesuai kemampuan ekonominya!” 

“Kayaknya para pemimpin bangsa kita itu lebih suka mengkhayal daripada melihat kenyataan hidup rakyatnya!” tukas Umar. “Memang sangat ideal kalau rumah seluruh rakyat Indonesia berukuran tipe 36 ke atas! Tapi bagaimana jika khayalan itu justru membuat mayoritas rakyat kita tak mampu memiliki rumah, hingga secara de jure jadi homeless, tentu ideal yang cuma didasari isapan jempol itu malah mencelakakan masyarakat bangsa! Jadi, amat tepat putusan MK mengoreksi kekeblingeran para pemimpin bangsa itu!” ***
Selanjutnya.....

Data Raskin Kontroversial!

“LURAH dan kepala desa mengeluh dicurigai warga menilap raskin—beras untuk keluarga miskin!” ujar Umar. “Pasalnya, banyak warga miskin di kampungnya yang biasa mendapat pembagian raskin 15 kg per bulan, tiga bulan terakhir ini kalau terlambat menebusnya tak ke­bagian lagi!” 

“Sudah dicek Lampung Post hal itu terjadi karena jatah raskin dari Bulog untuk Lampung memang dikurangi cukup signifikan!” sambut Amir. “Menurut Humas Bulog Lampung Suzana, pengurangan terjadi dari jatah semula untuk 739.994 rumah tangga sasaran (RTS) di Provinsi Lampung, menjadi 617.879 RTS, atau berkurang 122.175 RTS alias nyaris 20%! Dasarnya, surat Menko Kesra No. b-910/KM/DEP II/IV/2012 tanggal 24 April 2012!”

“Dasar menteri mengurangi jatah keluarga miskin se­banyak itu apa?” kejar Umar. “Tak disebut!” jawab Amir. “Tapi pengurangan jatah raskin buat 120 ribu lebih RTS itu jelas kontroversial, bertentangan dengan reali­tas di lapangan yang jumlah warga miskin justru bertam­bah!” “Itu dia!” entak Umar. “Contohnya di Bandar Lam­pung, berdasar ketetapan terbaru dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) jumlah penerima raskin Juni—Desember 2012 naik lebih 5% atau sebesar 3.656 RTSPM (rumah tangga miskin penerima manfaat), dari 51.578 RTS pada Januari—Mei 2012 men­jadi 55.234 RTS!” 

“Surat menteri itu tak jelas dasar maupun tujuannya!” kata Amir. “Di lapangan menurut hasil survei terjadwal BPS (dasar data TNP2K) jumlah keluarga miskin bertam­bah 5%, jatah raskin malah dikurang 20% dari sebelum­nya! Itu nyata-nyata cuma membuat lurah dan kepala desa jadi tameng kekecewaan ratusan ribu keluarga miskin ke pemerintah!” 

“Kayaknya surat menteri itu dibuat tanpa peduli data TNP2K maupun menimbang realitas lapangan untuk di­jadikan laporan ke Presiden yang disebarkan ke media sejagat bahwa kinerja kementeriannya itu sukses mengurangi jumlah orang miskin sekitar 20%!” timpal Umar. “Kalau memang begitu yang sebenarnya terjadi di balik kontroversi jumlah penerima raskin ini, kasihan keluarga miskin! Karena, pengurangan kemiskinan cuma di atas kertas, sedang di lapangan ratusan ribu keluarga miskin tambah sengsara—jatah raskin mereka dihabisi!” ***
Selanjutnya.....

Aksi Massa Buruh Makin Efektif!

"GERAKAN massa buruh semakin efektif! Aksi nasional serentak di sentra-sentra industri Rabu, 3 Oktober, mendapat liputan luas media dan televisi asing!" ujar Umar. "Tak kepalang, untuk pertama kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merespons spontan aksi tersebut dengan memerintahkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar untuk memfasilitasi tuntutan buruh!" 

"Sang Menteri pun berjanji dalam tempo enam bulan sampai satu tahun masalah outsourcing (pekerja alih daya) selesai!" timpal Amir. "Perlu waktu penyelesaian masalahnya karena alih daya itu dibenarkan UU No. 13/2003 tentang Tenaga Kerja! Tapi dewasa ini pelaksanaannya disimpangkan, pekerja lepas direkrut untuk pekerjaan di inti usaha (core business), bukan lagi sekadar untuk satpam, kebersihan, dan sejenisnya! Dihapus dalam terminologi
Menteri bisa berarti dibersihkan segala bentuk penyimpangan dari ketentuan UU!" "Pengertian outsourcing di negeri kita memang cenderung bias!" sela Umar. 

"Mungkin karena itu, meskipun demo buruh membentang spanduk bertulisan tolak outsourcing, Aljazeera, dan televisi asing tak menyebutkan isu itu, tapi mengganti dengan tuntutan menaikkan upah! Karena secara universal outsourcing lazim berarti tenaga kerja dari luar negeri! Justru outsourcing dalam arti itu tak ditolak buruh kita, meskipun beda upah mereka jauh sekali!" "Orang kita suka menggunakan istilah asing untuk menyelubungi penyimpangan aturan!" tukas Amir. 

"Seperti outsourcing, itu pekerja lepas yang dikoordinasi anemer pengerah tenaga kerja! Pekerja lepas itu sama sekali tak ada hubungan kerja (administratif) dengan manajemen perusahaan tempatnya bekerja, karena yang berhubungan soal pekerjaan itu anemer! Gaji pekerja diterima anemer, lalu anemer membayarkan ke pekerja lepas setelah menarik keuntungan buat dirinya!" "Realitas itu oleh buruh disebut eksploitasi (penindasan) manusia atas manusia, hingga mereka tolak!" timpal Umar. "Namun hal itu, pada penerapan yang benar, diizinkan UU! Maka itu, jika ingin segala bentuk outsourcing dalam terminologi Indonesia itu dihapuskan, buruh harus mengajukan gugatan judicial review ke MK untuk menghapus pasal UU tersebut! Tanpa itu, penyimpangan pasal UU tersebut akan selalu berulang! Penindasan manusia atas manusia pun berlanjut!" ***
Selanjutnya.....

Parpol, Terjebak Jerat Sendiri!

"JERAT yang dipasang parpol-parpol lama di parlemen buat partai baru agar melalui proses verifikasi fisik yang berat untuk bisa menjadi peserta Pemilu 2014 ternyata menjebak parpol pembuat jeratnya sendiri!" ujar Umar. "Soalnya, MK mengubah kewajiban verifikasi fisik itu bukan cuma untuk partai baru, melainkan juga berlaku bagi semua parpol peserta Pemilu 2014!" "Kena batunya!" timpal Amir. "Syarat berat yang dibuat itu dengan waktu tersisa yang terbatas terbukti juga tak mudah dipenuhi oleh parpol-parpol di parlemen yang membuatnya, terutama fotokopi kartu tanda anggota (KTA) 1.000 buah setiap kabupaten/kota dari sekitar 500-an kabupaten/kota!"

"Syarat yang harus dilengkapi pada tingkat nasional itu akan dicek langsung kebenarannya di lapangan oleh KPU dalam verifikasi fisik untuk membuktikan KTA itu bukan anggota fiktif, rupanya menyulut kisruh di internal parpol tertentu yang mungkin belum siap!" tegas Umar. "Ketaksiapan itu dijadikan alasan mendongkel pengurus dengan alasan tak mampu memimpin! 

Padahal, tradisi parpol itu sebenarnya partai kader, hingga tak memiliki keanggotaan stelsel aktif perorangan, seperti ketentuan yang mereka buat dalam UU baru itu! Akibat mengada-ada untuk memberi beban berat pada partai baru—yang akhirnya menjadi beban harus dipikul sendiri, mereka kebablasan membuat sistem di luar tradisi partai sendiri!" "Tradisi mayoritas parpol di parlemen jelas partai kader meskipun kadernya sampai ke desa, semisal Partai Golkar! Partai yang lebih siap dengan sistem stelsel aktif perorangan ber-KTA mungkin PKS, PDIP, dan Gerindra—PKS di kota sedang PDIP di desa!" timpal Amir. 

"Kecuali simpatisan militan partai tertentu, tak mudah meng-KTA-kan massa mengambang! Massa mengambang itu produk trauma sejarah, akibat punya KTA partai tertentu masuk daftar hitam wajib lapor ke berwajib atau malah jadi tahanan politik, membuat orang takut menerima KTA parpol!" "Masih dalam jebakan buatan sendiri itu, pencukupan jumlah pengurus kabupaten/kota di setiap provinsi dan pengurus kecamatan di setiap kabupaten/kota tak kalah merepotkan!" tegas Umar. "Semua itu tak terjadi jika politisi tak mentang-mentang berkuasa seenaknya membuat orang lain tersiksa! Terbukti, siksaan itu memantul ke pembuatnya!" ***
Selanjutnya.....

Ekses Krisis Eropa Memburuk!

"EKSES krisis keuangan Eropa yang pukulannya telak dirasakan petani karet dan kelapa sawit Lampung dengan jatuhnya harga komoditas ekspor tersebut akibat permintaan melemah, ternyata terus memburuk!" ujar Umar. "Ekspor Indonesia Agustus 2012 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) turun 12,27% dari Juli, bahkan turun 24,3% dibandingkan Agustus 2011. Defisit neraca perdagangan juga meningkat, dari Juli 180 juta dolar AS jadi 250 juta dolar AS pada Agustus!" (Kompas, 2-10) 

"Artinya petani karet dan sawit Lampung, juga petani komoditas ekspor lainnya yang tak bisa lolos dari dampak krisis Eropa, harus semakin mengetatkan ikat pinggang!" timpal Amir. "Kayaknya tak ada jalan keluar buat mengatasi penderitaan petani karet dan sawit yang bisa ditawarkan, kecuali anjuran bersabar menanti badai berlalu—iklim ekonomi global pulih!"

"Saran bersabar itu penting sekali, agar jangan mengulangi nasib petani cengkih saat harga komoditasnya jatuh ramai-ramai menumbang pohon cengkihnya!" tegas Umar. "Lalu ketika harga cengkih kembali tinggi, menyesali!" "Waktu itu petani membongkar cengkihnya karena marah pada tata niaganya dimonopoli!" tukas Amir. "Kini pemerintah tak melakukan monopoli apa pun atas komoditas milik rakyat itu! Malah pemerintah kayaknya tak berbuat apa pun terkait jatuhnya harga komoditas ekspor perkebunan rakyat itu, mungkin takut kalau kebijakan keliru justru membuat rakyat lebih sengsara!" 

"Pemerintah tak membuat kebijakan untuk mengatasi kejatuhan harga komoditas ekspor rakyat itu, karena tanpa kebijakan itu pun target pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetap tercapai!" timpal Umar. "Soalnya, faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi kita bukan produksi, melainkan konsumsi! Dan konsumsi itu bukan konsumsi warga lapisan bawah yang hidup Senin—Kamis, melainkan kelas menengah dan atas yang konsumsinya mobil mewah dan buah impor bisa mendongkrak nilai impor lebih tinggi dari ekspor!" "Pantas pemerintah tetap tenang menghadapi krisis Eropa hingga petani komoditas ekspor di negerinya terpuruk dan defisit perdagangan terus naik, karena begitu dasar berpikirnya!" tegas Amir. "Soalnya, terpenting asal tumbuh, tak peduli pertumbuhan itu lebih dinikmati buruh dan petani asing sedang buruh dan petani sendiri kian sengsara belaka!" ***
Selanjutnya.....

Soal Peringkat Korupsi Parpol!

"MK—Mahkamah Konstitusi—(26-9) membatalkan Pasal 36 Ayat (1) dan (2) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, hingga ke depan tidak lagi perlu izin presiden untuk pemeriksaan kepala daerah atau wakil kepala daerah oleh aparat penegak hukum!" ujar Umar. 

"Putusan MK itu disambut Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Jumat (28-9), dengan konferensi pers mengungkap peringkat kader parpol yang dimohon izin pemeriksaannya ke Presiden sejak Oktober 2004 sampai September 2012!" (Kompas, 29-9) 

"Seperti apa peringkatnya?" kejar Amir. "Dari 176 permohonan izin pemeriksaan dalam periode itu, kader Partai Golkar di peringkat satu 64 orang (36,36%)," jawab Umar. "Lalu PDIP 32 orang (18,18%), Partai Demokrat 20 orang (11,36%), PPP 17 orang (9,65%), PKB 9 orang (5,11%), PAN 7 orang (3,97%), PKS 4 orang (2,27%), dan sejumlah partai lain masing-masing 1 orang!" "Pantas pihak Partai Golkar dan PDIP belingsatan, menuding Dipo Alam mendiskredit partai mereka demi pujian dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dengan pamer ke publik korupsi Partai Demokrat cuma peringkat tiga!" timpal Amir.

"Kalau betul motif Dipo seperti itu, jelas ia keliru! Sebab, publik menilai tindak korupsi parpol tak secara kuantitatif jumlah kader yang terlibat, tapi secara esensial—kualitatif—ternyata Partai Demokrat juga masuk kubangan korupsi tak beda dari parpol dominan lainnya!" 

"Terkait kepala daerah yang meraih kekuasaan melalui pemilukada, kader partai apa pun, yang jumlah kursi partainya tak memenuhi kuota pencalonan dirinya, terpaksa 'menyewa perahu' partai lain! Di situ kader parpol—tanpa kecuali Partai Demokrat—harus mengeluarkan uang banyak dalam proses pemilukada, yang setelah menang harus mencari uang kembalian!" tegas Umar. 

"Lebih besar lagi pengeluaran sewa perahu bagi yang bukan kader parpol—seperti birokrat! Tapi dalam peringkat Dipo, kelompok ini digolongkan kader partai pengusung utamanya! Juga, angkanya hanya dari permohonan yang masuk, tak diikuti proses lanjutannya sehingga PKS protes, karena dari empat kasus, cuma satu yang sampai pengadilan, itu pun di tingkat PK hukuman dibatalkan!" "Jadi, selain tujuan mendiskredit parpol lain, malah mengimbas ke Partai Demorat, data yang disajikan tak diikuti proses lanjutnya pula!" tukas Amir. "Itu memperjelas tendensiusnya!" ***
Selanjutnya.....

Diperlemah dengan Pujian!

"KETUA Majelis Nasional Partai NasDem Surya Paloh Minggu menyatakan bangsa ini justru diperlemah oleh pujian asing!" kutip Umar. "Mereka katakan petumbuhan ekonomi kita bagus! Stabilitas politik dan keamanan bagus! Berhasil menjaga lingkungan! Pemimpin bangsa ini pun bangga dengan pujian itu, hingga terlena dari realitas rakyatnya naik angkot belum aman dari ancaman pemerkosaan, jalan raya yang seharusnya bisa ditempuh lima menit jadi dua jam karena macet, lingkungan hutan dan danau rusak! 

Tapi mereka puji agar jadi anak baik karena memang tak ada ancaman berarti dari Indonesia pada mereka, peralatan militer lemah, utangnya juga banyak! Jadi lebih baik dipuji hingga terlena dan jadi lebih lemah!" "Realitasnya, pertumbuhan ekonomi memang hanya dinikmati kelompok kaya sehingga yang kaya tambah kaya, sedang yang miskin tambah miskin dan semakin sengsara saja hidupnya!" timpal Amir.

"Semua itu terjadi akibat dua hal yang mendasar, tapi tak disadari para pemimpin bangsa ini! Pertama, suka dipuji asing itu merupakan mental inlander, yang jika sekarang masih mengaktual, bisa jadi sebagai warisan kaum penjilat penjajah! Kedua, pujian itu diberikan pihak asing untuk menutupi kelalaian elite kita dari realitas yang ada, seperti memuji bagus dalam mengelola lingkungan untuk mengalihkan pandangan publik dari kecerobohan elite kita membiarkan para penambang asing merusak hutan lindung, hutan konservasi, dan taman nasional!" "Masalah paling buruk akibat mental inlander itu karena pemimpin rela mengorbankan rakyatnya demi mendapatkan pujian dari tuan besar asingnya!" tegas Umar.

"Contohnya di balik pertumbuhan ekonomi yang nyata ditopang oleh konsumsi, realitasnya konsumsi warga miskin tidak naik! Jadi pertumbuhan selain hanya dinikmati, juga hanya ditopang konsumsi kelompok kaya. Akibatnya, dalam proses pertumbuhan itu jurang antara kaya dan miskin terus menganga semakin lebar!" "Dan akibat pemimpin terlena oleh pujian asing, jurang antara kaya dan miskin tak mendapat perhatian sang pemimpin, sehingga dari waktu ke waktu menganganya terus semakin melebar akhirnya mencapai titik tak terkembalikan—point of no return!" tukas Amir. "Gejala itu terlihat sejak tahun lalu ketika anggaran mengentaskan kemiskinan mencapai lebih Rp80 triliun, angka kemiskinan turun kurang dari 0,5%!" ***
Selanjutnya.....