"KETUA Majelis Nasional Partai NasDem Surya Paloh Minggu menyatakan bangsa ini justru diperlemah oleh pujian asing!" kutip Umar. "Mereka katakan petumbuhan ekonomi kita bagus! Stabilitas politik dan keamanan bagus! Berhasil menjaga lingkungan! Pemimpin bangsa ini pun bangga dengan pujian itu, hingga terlena dari realitas rakyatnya naik angkot belum aman dari ancaman pemerkosaan, jalan raya yang seharusnya bisa ditempuh lima menit jadi dua jam karena macet, lingkungan hutan dan danau rusak!
Tapi mereka puji agar jadi anak baik karena memang tak ada ancaman berarti dari Indonesia pada mereka, peralatan militer lemah, utangnya juga banyak! Jadi lebih baik dipuji hingga terlena dan jadi lebih lemah!"
"Realitasnya, pertumbuhan ekonomi memang hanya dinikmati kelompok kaya sehingga yang kaya tambah kaya, sedang yang miskin tambah miskin dan semakin sengsara saja hidupnya!" timpal Amir.
"Semua itu terjadi akibat dua hal yang mendasar, tapi tak disadari para pemimpin bangsa ini! Pertama, suka dipuji asing itu merupakan mental inlander, yang jika sekarang masih mengaktual, bisa jadi sebagai warisan kaum penjilat penjajah! Kedua, pujian itu diberikan pihak asing untuk menutupi kelalaian elite kita dari realitas yang ada, seperti memuji bagus dalam mengelola lingkungan untuk mengalihkan pandangan publik dari kecerobohan elite kita membiarkan para penambang asing merusak hutan lindung, hutan konservasi, dan taman nasional!"
"Masalah paling buruk akibat mental inlander itu karena pemimpin rela mengorbankan rakyatnya demi mendapatkan pujian dari tuan besar asingnya!" tegas Umar.
"Contohnya di balik pertumbuhan ekonomi yang nyata ditopang oleh konsumsi, realitasnya konsumsi warga miskin tidak naik! Jadi pertumbuhan selain hanya dinikmati, juga hanya ditopang konsumsi kelompok kaya. Akibatnya, dalam proses pertumbuhan itu jurang antara kaya dan miskin terus menganga semakin lebar!"
"Dan akibat pemimpin terlena oleh pujian asing, jurang antara kaya dan miskin tak mendapat perhatian sang pemimpin, sehingga dari waktu ke waktu menganganya terus semakin melebar akhirnya mencapai titik tak terkembalikan—point of no return!" tukas Amir. "Gejala itu terlihat sejak tahun lalu ketika anggaran mengentaskan kemiskinan mencapai lebih Rp80 triliun, angka kemiskinan turun kurang dari 0,5%!" ***
0 komentar:
Posting Komentar