Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Sakitnya Bawahan Nikmatnya Atasan!


"MENURUT Letnan, seks itu sebatas kesenangan atau ada tugas di dalamnya?" tanya Mayor. "Menurut saya, seks itu kesenangan sekaligus tugas, Komandan!" jawab Letnan. "Dalam seks tak ada tugas!" sela Kopral. "Kenapa kau bisa pastikan begitu?" tanya Mayor. "Karena sesuai kelaziman dalam kesatuan kita setiap tugas Komandan serahkan pada kami, bawahan, untuk melaksanakannya!" jelas Kopral. 

"Tidak semua tugas didelegasikan ke bawahan!" bantah Letnan. 

"Tugas menyenangkan yang nikmat dilaksanakan sendiri oleh atasan, bahkan ada atasan yang mengira bawahan tidak tahu! Sebaliknya, tugas-tugas berat yang punya risiko pengorbanan fisik dan mental atau malah jiwa dan raga, diserahkan ke bawahan!" 

"Dengan kata lain sakitnya bawahan, nikmatnya atasan!" timpal Mayor. 

"Bahkan ada yang lebih parah, pengorbanan dan penderitaan bawahan, yang menikmat hasilnya cuma atasan! Itu terjadi dalam masyarakat oligarkis, seperti di sarang sejenis semut, kelas pekerja banting tulang siang-malam dengan dikawal ketat oleh tentara, hasilnya yang melimpah-limpah semata dinikmati Sang Ratu!" "Berarti kondisi seperti itu justru merupakan sifat bawaan naluri dasar (basic instinct) manusia!" tegas Letnan. 

"Sehingga, menjadi ukuran seberapa jauh atau tinggi derajat keberadaban suatu kaum bisa dilihat sudah setingkat apa implementasi keadilan dalam masyarakatnya--baik keadilan formal dengan dimensinya hukum dan politik, maupun keadilan substantif dengan dimensinya sosial, ekonomi, dan budaya!" "Ketakadilan hukum dan sosial-ekonomi paling dirasakan rakyat lapisan bawah!" timpal Kopral. 

"Di bidang hukum bahkan amat mencekam benak rakyat dominannya mafia hukum dan peradilan! Di bidang sosial-ekonomi nyata sekali menganga jurang pendapatan antara buruh yang upahnya selalu ditekan di bawah kebutuhan hidup layak (KHL) dengan misalnya anggota DPR yang terima Rp65 juta sebulan, alias 65 kali lipat gaji buruh, padahal ukuran perut dan badan (kebutuhan sandang) antara kedua kaum tak jauh berbeda!" 

"Ketakadilan politik tampak pada dimensi tunggal calon presiden dan wakilnya hanya lewat Partai politik, padahal realitas kehidupan berbangsa nyata multidimensional!" tukas Mayor. "Jadi nyata sekali ketakadilan di negeri ini silang-sengkarut dan tumpang tindih, dengan simpul yang sakit dan menderita kaum bawahan, yang menikmati hasil pengorbanan mereka itu kaum atasan!" ***
Selanjutnya.....

PKS Tiga Besar Peluang 2014!


"PELUANG bagi PKS—Partai Keadilan Sejahtera—naik menjadi tiga besar hasil Pemilu Legislatif 2014 bisa terlihat!" ujar Umar. "Itu jika penurunan suara partai berkuasa seperti dialami PDIP dari 33,5% (1999) menjadi 19,1% (2004) atau sekitar 14% terulang pada partai berkuasa kini, sehingga dari 20,85% (2009) menjadi 6,85%, dengan suara PKS tetap seperti Pemilu 2009 sebesar 7,88% pun sudah menjadi tiga besar bersama Golkar dan PDIP!" "Dibanding kekecewaan rakyat terhadap PDIP kala itu-sebenarnya tidaklah sebesar terhadap partai berkuasa sekarang akibat terbongkarnya jaringan korupsi Nazaruddin—bendahara umum partai tersebut, hingga kemungkinan penurunan suara partai tersebut bukan mustahil!" timpal Amir. 

"Tapi ketajaman penurunannya tidaklah mesti setara dengan PDIP pada 2004. Bisa jadi lebih kecil! Sedang di sisi PKS sendiri, kemungkinan penurunan suaranya juga bisa terjadi jika sampai menjelang Pemilu 2014 itu nanti ketahuan ternyata mereka berada dalam perahu koalisi yang bocor! Belum lagi terkait dengan faktor negatif yang bisa mendiskreditnya, semisal penyataan Fahri Hamzah agar membubarkan KPK, atau gertak sambal akan keluar dari koalisi jika ada menteri dari partainya diganti!" 

"Tapi menurut K.H. Abdul Hakim, Sekretaris Fraksi PKS DPR dalam diskusi di Lampung, Sabtu (29-4), pernyataan Fahri Hamzah secara utuh sebenarnya positif, tapi ada yang memelintir menjadi begitu!" tukas Umar. "Juga masalah terkait dengan reshuffle kabinet, kontrak kerja sama PKS untuk koalisi merupakan domain Dewan Syuro! Jadi, bagaimana sikap formal PKS dalam hal itu tunggu putusan Dewan Syuro yang akan bersidang akhir November atau awal Desember nanti!" "Bisa seru kalau Dewan Syuro PKS memutuskan keluar dari koalisi!" entak Amir. 

"Itu seperti yang diharapkan sementara kader PKS yang terbersit dalam diskusi Sabtu!" "Kalau itu pilihan Dewan Syuro, justru PKS bisa dapat suara 25%!" tegas Umar. "Bukan cuma pelarian dari pendukung partai utama koalisi, melainkan juga suara dari pendukung partai-partai mitra koalisi lainnya yang menyelamatkan diri meloncat dari kapal yang terancam karam!" 

"Kalau sebaliknya keputusan yang diambil, demi mempertahankan gengsi punya kader di kabinet, tugas kader lapangan menjadi lebih berat!" timpal Amir. "Bukan tak mungkin tetap bisa menembus tiga besar, meskipun harus lebih banyak siasat dan energi dicurahkan! Tapi, untuk menggembleng agar kader-kader militan menjadi lebih andal, pilihan itu bukan semata-mata buruk!" ***
Selanjutnya.....

Remaja Mencari Pembenaran Diri!


SEORANG remaja menemui gelandangan. "Minta rokoknya, Bang!" ujar remaja ke gelandangan. "Aku tak merokok!" jawab gelandangan tegas. "Tapi wajah Abang pucat!" tukas remaja. "Abang sedang teler minuman keras, ya?" 

"Aku tidak teler!" bentak gelandangan. "Bahkan aku tak pernah meminum minuman keras!" "Jadi Abang tidak merokok, sekaligus tak pernah minum minuman keras?" kejar remaja. "Mau apa nanya-nanya?" tanya gelandangan. 

"Kalau bisa dipastikan Abang tak pernah merokok dan tidak meminum minuman keras, akan kuberi hadiah makan siang!" jelas remaja. "Tapi temani aku menghadap kepala sekolah untuk berkata bahwa Abang tidak merokok dan tidak minum minuman keras! Usai itu habis tugas Abang! "Tambahi, makan malam!" tawar gelandangan. "Oke!" jawab remaja yang ketahuan wali kelas mengantongi rokok dan diserahkan ke kepala sekolah! Kepala sekolah menghukum dia keluar untuk mencari jawaban kenapa merokok. 

"Kau bawa siapa ini?" tanya kepala sekolah. "Contoh orang tak merokok, sekaligus tak pernah minum minuman keras karena itu Bapak tanyakan pada saya tadi!" jawab remaja. "Karena tak ada dorongan untuk cari uang buat beli rokok, dia malah kebablasan tak berusaha keras untuk memenuhi aneka kebutuhan hidup lainnya juga!" Kepala sekolah bangkit dari kursinya. "Sekarang juga kau bawa dia pergi, setelah itu beri tahu orang tuamu petang nanti saya menemui mereka di rumah!" tegasnya. 

"Merokok pelanggaran serius di sekolah ini! Kau kusuruh cari jawaban kenapa merokok, maksudnya apa terpengaruh teman di sekolah atau di luar! Bukan cari pembenaran atas pelanggaran tersebut seperti yang kau lakukan!" "Kau tetap memenuhi janjimu, kan?" gelandangan menanya begitu keluar dari ruang kepala sekolah. "Tentu! Kita beli nasi dua bungkus!" jawab remaja. "Menurut Abang nasibku akan tambah buruk, ya?" 

"Tergantung pengamanan pada orang tuamu!" jawab gelandangan. "Kalau mereka bisa mengerti usahamu mencari pembenaran, kau aman! Kalau tak mau mengerti, kau harus minta maaf dan janji tak mengulangi perbuatan itu sekaligus kepada orang tua dan kepala sekolah!" "Ternyata selalu ada pilihan jalan keluar, Bang! Gagal skenario A, pakai skenario B!" ujar remaja. "Tapi di mana kesalahanku hingga jadi begini?" 

"Salahmu karena membawa contoh buruk, aku!" jawab gelandangan. "Tapi ke mana cari contoh baik?" tukas remaja. "Para pemimpin saja dari hari ke hari di media massa cuma memberi contoh buruk melulu!" ***
Selanjutnya.....

Persaingan Ketat Penjahit Kota Baru!


KAWASAN bisnis kota baru diatur penempatannya dengan blok-blok sesuai spesialisasi usaha! Bisnis bahan pangan di satu blok, lalu blok elektronik, blok sandang, dan lainnya!" ujar Umar. "Penjahit di blok sandang, terkumpul di satu jalan khusus!" "Itu penyebab persaingan ketat terjadi pada para penjahit kota baru!" timpal Amir. "Penjahit yang pertama mengisi toko menulis di plang nama ‘Penjahit Terbaik Kota Ini!’ Penjahit kedua tak mau kalah, 'Penjahit Terbaik Provinsi!' Penjahit ketiga mengatasinya, ‘Penjahit Terbaik Nasional! Disusul berikutnya, 'Penjahit Terbaik Internasonal!’"

"Tapi penjahit terakhir tak habis kamus!" tegas Umar. "Ia pakai pandangan Naisbitt 'Think globally, act locally'—berpikir mendunia bertindak sesuai kondisi lokal—maka ia tulis di papan nama, 'Penjahit Terbaik Di Jalan Ini!' Jadi, justru dengan sikap rendah hati selling point-nya unggul!" "Tapi semua itu nyata bohong semua! Termasuk yang mengaku terbaik di jalan itu, belum tentu itu merupakan kebenaran!" timpal Amir. "Cuma dari mana penyebab kalangan pengusaha yang hidup lewat usaha halal dan baik seperti penjahit itu jadi enteng bersaing kebohongan?" 

"Sumber kebohongan menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari bangsa justru retorika penguasa!" tukas Umar. "Itu setidaknya seperti ditudingkan oleh tokoh-tokoh lintas agama! Lebih buruk lagi, seperti dikemukakan para politisi, di antaranya Eva Kesuma Sundari dari PDIP (Kompas, 27-10), berbohong bahkan sudah menjadi bagian strategi pemerintah! Artinya, rakyat kita memang sudah terbenam dalam kebohongan hingga menjadi bagian hidup sehari-hari mereka!" 

"Kebohongan sebagai bagian strategi juga terjadi dalam dunia bisnis, gambaran hipotesisnya pada penjahit kota baru itu mencerminkan lemahnya etika bisnis!" timpal Amir. "Persaingan tak sehat justru dipraktekkan si kuat pada si lemah, tampak pada kiprah jaringan pasar modern terhadap pasar dan pedagang tradisional! Tapi itu juga cuma bagian dari lemahnya etika nyaris dalam semua segi kehidupan warga bangsa, dari praktek pemerintahan, di pasar, sampai jalan raya!" 

"Maka itu, wajar tokoh lintas agama prihatin atas kondisi bangsa!" tegas Umar. "Tapi jelas sia-sia berharap pemerintah—yang justru menjadikan kebohongan bagian dari strategi—sebagai pelopor penegakan kembali etika! Masalah etika itu hanya bisa diatasi oleh setiap orang dengan menjauhi cara tak etis dalam tindakannya, lalu menjauhkan diri dari keterkaitan atau keterlibatan pada hal-hal yang dilakukan orang secara tidak etis! Intinya, amalkan amar makruf nahi mungkar!" ***
Selanjutnya.....

Isyarat Kualitas Tingkat Korupsi!


SEORANG pejabat Indonesia terkejut saat dalam kunjungannya ke China dibawa mampir ke rumah pribadi pejabat setempat, ternyata cukup mewah. "Kok bisa?" cetus pejabat kita ke pejabat China saat santai di teras belakang rumah itu. "Kubaca berita, di sini koruptor dihukum mati!" 

"Berita itu benar!" jawab pejabat China. "Tapi itu hanya terjadi pada orang yang sial, atau korupsinya kasar hingga mudah ketahuan! Soal rumah ini, Anda lihat bendungan di ngarai itu? Mengairi 10 ribu hektare sawah, listrik 100 mw!" "Tentu saya lihat!" jawab pejabat kita. "Terpadu indah dengan alamnya, selain besar manfaatnya!" Pejabat China itu lalu mendekatkan bibirnya ke telinga pejabat kita, dan berbisik, "10 persen!" 

Saat cuti pejabat China itu mengunjungi pejabat kita ke rumahnya di pucuk bukit! "Rumah Anda jauh lebih mewah!" puji pejabat China. "Lihat lembah di kaki bukit, seluas pandangan dipenuhi bangunan pusat olahraga nasional! Itu stadion kapasitas 80 ribu penonton! Itu aquatic center, fasilitas semua cabang olahraga air! Itu stadion atletik, stadion tenis, dan lainnya!" 

"Yang mana?" tanya tamu penasaran. "Aku sama sekali tak melihatnya, cuma alam yang hijau!" Pejabat Indonesia pun berbisik ke pejabat China, "Seratus persen!" (Ngakak.org) "Haiyaaa...!" pejabat China tersentak. "Proyek fiktif! Di China dihukum mati! Kok bisa?" "Kualitas korupsi di sini tingkatnya tergantung isyarat dari atas!" jelas pejabat. "Kalau dari atas isyaratnya baru berantas korupsi dengan emosi biasa saja, tingkat korupsinya baru 30% sampai 40%! Tapi kalau isyaratnya sudah menjarah dan merampok uang negara dengan emosi meledak-ledak pula, bisa ditafsir sendiri! Dengan dirampok habis 50%, dijarah pula, tuntaslah 100%!" 

"Jadi tergantung isyarat dari atas?" tukas pejabat China. "Semakin geram mengatakannya, semakin ganas dan gila-gilaan pula korupsi dilakukan?" "Karena semakin tinggi nada amarahnya, semakin kuat kesan retorikanya!" tegas pejabat. "Artinya, cuma suara dan amarahnya yang menggelegar, tapi tak diikuti tindakan konkret!" 

"Sebaliknya Presiden Hu Jintao, sejak berkuasa (2003) tak banyak omong tapi menyiapkan 101 peti mati, 100 untuk koruptor, yang satu untuk dirinya sendiri jika korupsi!" timpal pejabat China. "Lalu menekan polisi agar serius tanpa pilih bulu menindak koruptor! China pun jadi maju" "Tapi Indonesia bukan penjiplak!" tegas pejabat. 

"Tindakan konkret penguasa justru membuat LP khusus koruptor, penjara VIP yang memisahkan koruptor dari penjahat kelas teri!" ***
Selanjutnya.....

Intervensi Tersistem, Perampok Nyaman!


"PRESIDEN SBY selalu mengesankan enggan untuk melakukan intervensi proses hukum, tapi dia sendiri mengeluhkan terjadinya penjarahan dan perampokan terhadap uang negara!" ujar Umar. 

"Padahal, para penjarah dan perampok uang negara itu banyak yang dibuat nyaman oleh intervensi presiden terhadap proses hukum yang tersistem dalam UU No.32/2004 terkait dengan perlunya izin presiden untuk dilakukannya proses hukum terhadap kepala daerah yang terlibat korupsi!" 

"Akibatnya, menurut BPK, selama tujuh tahun pemerintahan SBY telah terjadi penyimpangan uang negara sebesar Rp103 triliun!" timpal Amir. "Jumlah itu, kata pejabat BPK (Metro TV, 24-10) adalah nilai penyimpangan temuan BPK yang tidak ditindaklanjuti dengan proses hukum! Jadi, itu di luar kasus-kasus korupsi yang digarap KPK, polisi dan jaksa! Dari situ bisa dibayangkan betapa besar uang negara yang dijarah dan dirampok seperti dikeluhkan Presiden SBY seusai melantik menteri hasil reshuffle pekan lalu!"


"Maka itu, intervensi tersistem yang membuat proses hukum terhadap tersangka koruptor bisa terhambat itu harus diakhiri!" tegas Umar. "Apalagi, ketentuan itu juga memberi privilese—hak istimewa—kepada kepala daerah di depan hukum, hingga diskriminasi juga terlembaga dalam proses hukum, kepala daerah dilindungi izin presiden untuk bisa diperiksa jadi tersangka korupsi, tersangka lain tak dapat perlindungan serupa! Ini melanggar UUD 1945 Pasal 27, setiap warga negara sama di muka hukum!" 

"Untuk itu, layak didukung usaha para penggiat antikorupsi mengajukan uji materi di MK terkait dengan pasal-pasal yang melindungi kepala daerah dari pemeriksaan sebagai tersangka kasus korupsi!" timpal Amir. "Di sisi lain juga diharapkan agar presiden tidak sok bersih dari intervensi terhadap proses hukum dalam kasus korupsi, karena intervensi itu secara nyata selama ini telah berlangsung tersistem dalam UU-nya! Perlunya izin itu sendiri sering memperlambat proses penyidikan kasus korupsi, hingga laju penindakan senantiasa tertinggal oleh laju penjarahan dan perampokan yang justru semakin gila-gilaan jumlah korupsinya!" 

"Bukan cuma jumlah korupsinya, jumlah kepala daerah pelakunya juga semakin massif, dengan hambatan izin presiden saja sudah lebih 150 dari 497 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, sebagian sudah menjalani hukuman!" tegas Umar. "Usainya uji materi UU 32/2004 itu jadi patokan bebasnya intervensi tersistem presiden dalam proses hukum kasus korupsi kepala daerah!" ***
Selanjutnya.....

Oedin dan Ical Berangkulan!


"ADA kejutan!" ujar Umar. "Oedin—panggilan akrab Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.—Senin (24-10) berangkulan dengan Ical—Aburizal Bakrie! Padahal selama ini ada kesan, hubungan kedua tokoh kurang harmonis!" 

"Berangkulan sejauh mana?" timpal Amir. "Berangkulan betulan secara fisik, diperkuat lagi berangkulan hati yang dikukuhkan dalam ikatan keluarga lewat upacara adat!" tegas Umar. "Fakta berangkulan Oedin dengan Ical ini jelas punya arti penting dalam kehidupan politik Lampung!"

"Tentu!" timpal Amir. "Soalnya, Ical Ketua Umum Partai Golkar, partai yang dalam konflik Pilgub Lampung 2003-2007 merupakan pelopor SK 15 DPRD yang tak mengakui Oedin sebagai gubernur! Artinya, dengan berangkulannya Oedin dan Ical bisa dikatakan konflik masa lalu dianggap tinggal sebagai dinamika politik masa lampau yang layak dilupakan—seperti kata peribahasa, biduk lalu kiambang bertatut! Dengan begitu benih-benih konflik antara Golkar (di bawah Ical) dan Oedin baik sebagai pribadi maupun gubernur atau juga selaku Ketua PDI Perjuangan Provinsi Lampung berhasil diselesaikan secara kekeluargaan!" 

"Konflik politik berhasil diselesaikan secara kekeluargaan, demi lebih nyamannya langkah bersama mencapai tujuan politik ke depan!" tukas Umar. "Ke depan dimaksud, wajar kalau Oedin sebagai gubernur berusaha mewujudkan kondisi politik yang benar-benar kondusif buat warganya, tanpa setiap kali dicemaskan oleh terulangnya konflik yang menelantarkan kepentingan rakyat! Sedang Ical, yang sedang menyiapkan diri maju sebagai calon dalam Pemilu Presiden 2014, seharusnya merangkul dukungan semua pihak dalam masyarakat! Semakin luas dan besar perangkulan yang dilakukan, semakin besar pula peluangnya memenangkan pemilu presiden!" 

"Bagi rakyat kebanyakan, berangkulannya dua tokoh dominan yang bisa menurunkan potensi konflik di daerahnya, jelas dianggap positif dan disambut baik!" sambut Amir. "Konon lagi tokoh yang berangkulan dengan Gubernur itu Ical, yang sudah sejak jauh hari santer berhembus kabar akan membangun pabrik baja di kawasan Bakauheni, atau jalan tol Bakau—Tegineneng, tapi semua kabar angin itu menguap! 

Demikian pula proyek Kalianda Resort yang diberi tanah oleh rakyat (lewat pembebasan) cukup luas, yang dibangun di kawasan itu jadinya jauh dari yang diharapkan—suatu kawasan pariwisata spektakuler—kelas dunia! Maksudnya, dengan terjalinnya hubungan baik Ical-Oedin, semua gagasan proyek Ical di Lampung bukan cuma kabar angin lagi!" ***
Selanjutnya.....

Pelukis Angkuh Salahkan Turis!


DIBERI tahu pelukis yang terkenal angkuh akan berkunjung, juragan souvenir shop—tempat para pelukis menitip lukisan untuk dijual—menyuruh pekerja tokonya menyimpan di gudang semua lukisan dari pelukis lain, dan hanya memajang lukisan karya pelukis angkuh tersebut.


Dengan wajah mendongak terus sejak turun dari mobil hingga terlihat benar angkuhnya, si pelukis disambut juragan dengan membawanya masuk dan keliling tokonya.



"Kurasa galeri Anda yang terbaik di negeri ini!" ujarnya memuji juragan, puas melihat hanya lukisan karyanya yang dipajang di situ. "Tetapi, mana lukisan para pelukis lain?" ia tanya juragan.

"Karya pelukis lain?" sambut juragan. "Lukisan para pelukis lain semuanya habis terjual!"
Telinga pelukis tersengat jawaban juragan, wajah merah padam seperti baru kena tampar. Dengan menurunkan dagunya yang tegang ke atas sejak tadi, ia tanya juragan, "Pembelinya siapa?"



"Secara umum pembelinya turis!" jawab juragan.
"Pantas! Bukan kolektor atau maesenas!" timpal pelukis. "Turis suka gambar pemandangan, bukan lukisan karya seni serius seperti karya saya! Turis tak membaca tulisan kritikus di majalah seni!"
"Saya melanggani sejumlah majalah seni, tapi belum pernah membaca tulisan kritikus tentang lukisan Anda!" tohok juragan.


"Berarti kita melanggani majalah yang berbeda!" tegas pelukis. "Saya juga merasa aneh saat Anda sebut pembeli lukisan di sini para turis, padahal di banyak majalah turisme luar negeri yang kubaca tak pernah ada promosi atau tulisan tentang turisme Lampung, padahal sudah sejak lama setiap tahun ada Festival Krakatau—FK!"

"Coba Anda baca majalah Ambassador, karena setiap FK diundang 17 duta besar!" timpal juragan.



"Ada majalah turisme Ambassador?" kejar pelukis.



"Aku cuma menduga, karena kalau ambasador yang diundang, promosi atau tulisannya ada di majalah yang mewadahi mereka!" jawab juragan. "Tapi sebentar lagi mungkin Anda akan temukan promosi pariwisata Lampung di media turisme internasional, sebab dalam TIME 2011 dua pekan lalu hadir di Lampung 67 tour operator dari negara-negara utama asal turis!"



"Usaha terakhir itu kayaknya lebih tepat sasaran, meski sejauh apa para tour operator terpikat pada objek turis dan pelayanan di sini untuk mereka rekomendasikan ke pelanggan, perlu dicari tahu umpan baliknya!" tegas pelukis. "Jangan sampai pariwisata Lampung seperti lukisanku, sangat indah menurut pemiliknya, tapi sukar dijual!" ***


Selanjutnya.....

Libya, Demokrasi Sekadar Tameng!


"IRONIS, kemenangan NATO membunuh Khadafi dengan meminjam tangan pejuang Libya untuk dalih menegakkan demokrasi, tercapai bersamaan memuncaknya krisis keuangan Eropa!" ujar Umar. "Banyak orang tak menyadari krisis keuangan Eropa sekarang ini sama sekali tak bisa dilepaskan sebagai akibat dari besarnya pengeluaran biaya perang negara-negara Eropa satu dasawarsa terakhir, dari Afghanistan, Irak, dan terakhir Libya!"

"Bahkan krisis keuangan Eropa merupakan harga yang harus dibayar buat ekspansi militer NATO di luar Eropa, yang menjadikan tujuan menegakkan demokrasi sekadar tameng belaka!" timpal Amir. "Bagi kalangan Eropa sendiri harga mahal operasi militer itu bisa dipahami dengan tujuan-tujuan bisnis yang terselubung di baliknya, seperti demi penguasaan sumur minyak Irak dan Libya, atau penguasaan sumber morfin (resmi untuk kebutuhan medis dunia) di Afghanistan!"

"Bagi kelompok inti dari pemimpin Barat, lebih jauh dari sekadar bertamengkan demokrasi dan bisnis itu, toleransi buat harga amat mahal yang harus dibayar itu demi dukungan Eropa terhadap perjuangan ideologis Amerika Serikat untuk menghancurkan musuh-musuh Barat!" tegas Umar.

"Itu sebabnya, berita kematian Khadafi langsung disusul aneka analisis dari seantero dunia, negara mana lagi yang akan mendapat giliran menjadi sasaran serangan AS dan NATO—lucunya mayoritas analisis bukan menempatkan Yaman, Suriah, dan Bahrain yang pimpinan negaranya terang-terangan menindas demokrasi, melainkan justru mencemaskan Iran sebagai sasaran berikutnya, dengan alasan Iran bisa diasumsikan sebagai musuh Barat terpenting!"

"Pemerintah AS sendiri untuk itu mengelak dari tesis Huntington bahwa seusai perang dingin dengan tumbangnya komunisme, potensi musuh Barat berikutnya adalah kekuatan berorientasi Islam! Obama misalnya, mengobral pernyataan Islam bukan musuh AS dan Barat!" timpal Amir. "Tapi ucapan Obama dan para peminpin Barat itu hanya retorika karena dalam politik praktisnya, meskipun dengan bekal dukungan untuk merdeka dari jumlah negara yang cukup Palestina—sebagai simpul perjuangan umat Islam sedunia—tetap dipencundangi AS hingga tidak bisa mewujudkan kemerdekaannya! Tanpa kecuali sikap itu menjadi anomali bagi konstitusi AS yang menjamin kemerdekaan sebagai hak segala bangsa!"

"Tinggal mau pakai cara apa Barat merajam Iran!" tegas Umar. "Isu nuklir Iran, seperti pada Irak, bisa dijadikan alasan ekspansi ke negara sumber minyak 3,9 juta barel/hari dan kaya uranium itu!" ***

Selanjutnya.....

Mending, Ibu Beli Beras Impor 4 Kg!



SEORANG ibu mendamprat penjual beras di pasar tempel, "Katamu beras impor rasanya enak! Kok dimasak dengan air banyak tetap seret ditelan!"

"Ibu beli beras impor berapa kilo?" tanya penjual.

"Empat kilogram!" jawab ibu.

"Mending Ibu beli beras impor yang tidak enak rasanya itu cuma 4 kg!" tukas penjual. "Sedang aku, telanjur membelinya satu ton!"



"Satu ton?" timpal Ibu seketika jadi kasihan pada penjual beras. "Saya sering makan raskin, beras jatah PNS, kali ini terburuk dalam arti paling tak enak! Bisa-bisa para penerima raskin menjual kembali jatahnya untuk ditukar beras lokal!"

"Kalau perkiraan Ibu yang mencicip rasa beras impor terakhir demikian, berarti bakal sukar saya menjual habis yang satu ton itu!" sambut penjual. "Tapi kenapa Lampung yang surplus produksi berasnya selalu dibanggakan, tahun lalu sejumlah kepala daerahnya dapat penghargaan sukses program ketahanan pangan, harus impor beras sampai 60 ribu ton tahun ini?"

"Surplus produksi beras hingga kepala daerah dapat penghargaan presiden terjadi saat musim hujan sepanjang tahun hingga sawah tadah hujan saja bisa panen dua kali!" tegas ibu. "Tapi saat kemarau tak terima penghargaan lagi, karena untuk satu musim tanam pun sawah tadah hujan gagal panen! Jadi hasil program ketahanan pangannya masih tergantung musim! Akibatnya, perlu impor beras sampai 60 ribu ton hanya untuk Lampung saja!"

"Jadi program ketahanan pangannya tergantung musim? Kalau musim bagus dapat penghargaan, ketika musim kurang bersahabat malah minus hingga harus impor dalam jumlah amat besar!" tukas penjual. "Kalau begitu programnya bukan ketahanan pangan, melainkan ketidaktahanan pangan! Sebab kalau ketahanan pangan, kemarau sepanjang tahun pun bisa bertahan tetap tidak kekurangan! Untuk kegagalan program itu, kesalahannya terletak di mana?"

"Terletak di DPRD provinsi dan kabupaten-kota!" tegas Ibu. "Soalnya, dari zaman ke zaman DPRD memberikan porsi anggaran relatif kecil pada program ketahanan pangan atau pertanian tanaman pangan, serta pendukung antarsektor umumnya! Pendukung antarsektor ini misalnya pembangunan irigasi untuk sawah tadah hujan, hingga saat kemarau tetap bisa berproduksi!"

"Selain itu, soal rasa harus dijadikan syarat dalam impor beras, bukan asal untungnya besar saja!" timpal penjual. "Semisal beras Jepang, yang diekspor sisa produksi untuk menjaga stabilitas harga beras di dalam negeri mereka!" ***
Selanjutnya.....

Kesan Politikus di Kawasan Kumuh!


SEORANG politikus oposan mengingat baik-baik kesannya berkunjung ke kawasan kumuh untuk membuat pernyataan yang bisa menjatuhkan citra partai berkuasa! 

"Rakyat kita semakin miskin, dan hidup mereka sudah amat kritis!" tegasnya saat berbincang dengan sejumlah wartawan."Apa ukuran Anda untuk memastikan kehidupan mereka sudah amat kritis?" tanya wartawan."Saya baru kembali dari kunjungan ke kawasan kumuh, di mana rakyat semakin miskin dan sudah kritis dimaksud!" jawab politikus. 

"Ukuran hidup mereka sudah amat kritis terlihat saat salah satu anak di situ menelan koin Rp500 seisi kampung itu kalang kabut, semua orang panik! Bayangkan, hanya gara-gara uang Rp500 mereka kacau, betapa miskin dan kritisnya hidup mereka! Sedang partai berkuasa tetap tenang ketika kadernya terlibat korupsi menelan uang negara miliaran!"

"Jelas warga kacau kalau anaknya menelan koin Rp500-an! Bukan soal nilai uangnya, tapi karena koin yang tertelan itu bisa mencederai bahkan mengancam jiwa si anak!" timpal wartawan. 

"Tapi soal partai berkuasa tetap tenang dan masalah kader korupsi dianggap selesai setelah kader yang terlibat dipecat, memang kontras dengan nasib rakyat yang heboh akibat koin Rp500! Apalagi kader yang terbongkar korupsi itu tugasnya mencari dan mengumpul uang untuk partainya!"

"Kontras itu seharusnya diakomodasi oleh partai berkuasa dan penguasa, ketika salah satu kader mereka terlibat korupsi segenap pimpinan dan warga partai harus bisa menyikapinya seperti warga kumuh ketika salah satu anak mereka menelan koin!" timpal wartawan lainnya."Bukan malah membiarkan kader yang menelan koin itu menderita tersengal sendirian, bahkan cenderung ditumbalkan bagi kesan tetap bersihnya partai! Lebih sedih lagi ketika warga partai menjauhkan diri dari kader yang malang itu dan menjadikan dia sebagai tempat membuang kotoran mereka!""Itu beda warga miskin kawasan kumuh dengan kami, politikus!" tegas politikus. 

"Solidaritas warga kumuh didasari rasa senasib sepenanggungan, sedang solidaritas politikus didasari kepentingan yang berorientasi melestarikan privilese—hak-hak istimewa! Jika di antara politikus tersingkap korupsi, semua langsung jaga jarak agar tak kena bau korupsi yang bisa mengimbas privilesenya!" 

"Lantas di mana kearifan yang dituntut sebagai dasar integritas politikus?" kejar wartawan."Justru integritas itu yang sukar ditemukan pada mayoritas politikus kini!" timpal wartawan lain. "Akibatnya, putusan politikus selalu lebih terasa bobot kepentingannya ketimbang kearifan!" ***
Selanjutnya.....

Justifikasi Pakar di Musim Vonis Bebas!


"TIGA vonis bebas terdakwa korupsi di Pengadilan Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) Bandung, Jabar, terakhir atas Wali Kota nonaktif Bekasi Mochtar Muhammad, disusul Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Lampung, dengan dua vonis bebas pada terdakwa kasus korupsi—Bupati nonaktif Lamtim Satono dan mantan Bupati Lamteng Andy Achmad!" ujar Umar. "Namun, era musim vonis bebas Jabar dan Lampung beda! Di Jabar vonis bebas menuai kecaman, di Lampung disambut justifikasi pakar!"

"Itu hebatnya Lampung!" timpal Amir. "Pakarnya punya integritas, tak segan mengemukakan pendapat sesuai keyakinan dan pemahamannya—tak kepalang untuk dimuat sehalaman opini bahkan advertorial—mengondisikan justifikasi alias pembenaran pada vonis bebas yang akan dibuat hakim hari itu! Dan itu tanpa tedeng aling-aling, isi tulisannya langsung materi perkara yang disidangkan, dilengkapi analisis yang menggiring ke arah justifikasi itu!"


"Justifikasi itu diperkuat dengan komentar para pakar pascavonis diketok hakim, yang intinya menegaskan vonis bebas dari hakim atas kasus korupsi itu wajar!" tegas Umar. "Berkat semua itu, selain menambah percaya diri para hakim hingga merasa nyaman, protes kalangan aktivis gerakan antikorupsi atas vonis bebas jadi kalah gemanya!"

"Terlepas dari realitas yang begitu rupa, ada dua hal yang layak didiskusikan! Pertama secara etis, konsekuensi hidangan tulisan terkait pokok perkara yang sedang disidang pengadilan karena secara nyata bisa memengaruhi sidang bahkan membimbing arah putusannya?" timpal Amir. "Kedua secara moralitas intelektual, kebenaran hukum dalam hal ini hanya berdasar prosedural (due process of law), sedang di sisi lain ada yang tak terbantah, kebenaran hakiki, yakni miliaran uang rakyat jadi tak jelas juntrungnya!"


"Hal pertama, jelas tak etis penyajian tulisan yang bisa memengaruhi persidangan pengadilan, apalagi sengaja ditohokkan—lewat advertorial! Etisnya tak memengaruhi isi sidang pengadilan, baik dengan gerakan (demo) maupun tulisan, agar hakim bisa memutus sepenuhnya berdasar fakta-fakta di persidangan!" jawab Umar. 



"Sedang secara moral intelektual, jadi kewajiban setiap intelektual untuk mencari kelemahan dalam sistem dan prosedural administrasi publik dan tata aturan formal-sosial guna terus-menerus diperbaiki agar kebenaran prosedural kian dekat dengan kebenaran hakiki! Bukan malah mencari kelemahan untuk keuntungan pribadi, karena itu masuk kriteria the betrayal of the intellectual!" ***
Selanjutnya.....

‘Reshuffle’, Si Cadel Beli Nasi Goreng!



"MENONTON proses reshuffle kabinet kali ini, mula-mula ditampilkan tiga calon wakil menteri, besok empat, lusa tiga lagi, dan seterusnya, lalu nongol calon pengganti menteri, jadi teringat cerita Si Cadel Beli Nasi Goreng!" ujar Umar. "Penonton dibuai cerita yang tak kunjung selesai!"

"Bagaimana cerita Si Cadel itu?" sambut Amir.


"Dia pergi ke penjual nasi goreng dekat rumahnya. 'Bang, beli nasi goleng!' Dijawab, 'Tak ada nasi goleng!' Si Cadel kesal, pulang. Besoknya muncul, 'Bang beli nasi goreng!' penjual tersenyum. 'Pakai apa?' tanyanya. 'Pakai telol!' Cadel keceplos dan lari pulang!" tutur Umar. "Besoknya Cadel datang lagi, 'Bang beli nasi goreng pakai telor!' Penjual tanya, 'Telornya diapakan?' Jawab Cadel, 'Didadal!' Ia lari pulang lagi! Esoknya ia datang lagi, berkata, 'Beli nasi goreng pakai telor dadar!" (Ngakak.org)"


"Artinya, reshuffle kabinet diumumkan lengkap setelah rakyat dibuat bosan mengikuti prosesnya yang bertele-tele!" timpal Amir. "Akibatnya jadi antiklimaks—tak memenuhi tingginya harapan yang dipupuk sepanjang prosesnya!"
"Sebaliknya cerita Si Cadel, mencapai klimaks!" tegas Umar. 


"Setelah nasi goreng dibungkus Si Cadel menyerahkan uang Rp3.000 untuk harga nasi goreng Rp2.500, penjual pura-pura lupa karena jika Cadel minta kembalian ia harus berjuang mengucapkan 'lima ratus!' Betul, Cadel mendesak, 'Bang, kembaliannya?' Disambut penjual, 'Berapa?' Setelah tegang dan berkeringat dingin, akhirnya Cadel menjawab, 'Gopek!"
"Hahaha...!" Amir terbahak. "Artinya, meski terlalu bertele-tele, reshuffle yang diumumkan Presiden tadi malam menurutmu mencapai klimaks?"


"Betul!" tegas Umar. "Klimaks berbentuk harapan yang harus terus-menerus dibangun kembali dengan doa semoga seperti Si Cadel para menteri lama dan baru diberi kemampuan mengatasi kelemahan atau kekurangannya setahap demi setahap berkat bimbingan dan hidayah dari-Nya!"

"Tapi, reshuffle dipicu oleh kasus korupsi, Presiden malah tak peduli pada kelemahan itu! Seperti kata Buya Syafii Maarif saat tokoh lintas agama di Tugu Proklamasi membaca surat terbuka kepada rakyat kemarin, bahwa terkait dengan korupsi sangatlah tidak mungkin Presiden tidak mengetahui korupsi tersebut!" timpal Amir. "Sulit dimengerti oleh pikiran rakyat jika Presiden tidak tahu bagaimana menghentikannya!" (Kompas.com, 18-10)

"Jika Si Cadel tak berusaha melafaz “r” ia tak bisa beli nasi goreng!" tegas Umar. "Juga Presiden, jika tak mau tahu soal korupsi, takkan bisa mengatasi diskredit korupsi terhadap pemerintahannya!" ***

Selanjutnya.....

Kabinet Sambatan Semakin Banyak Semakin Bagus!

"RESHUFFLE kabinet dengan menambah 20 wakil menteri dinilai kurang pas oleh mantan Menteri Penertiban Aparatur Negara Feisal Tamin!" ujar Umar. "Menurut dia, tata kelola pemerintahan yang baik harus berorientasi efisiensi tinggi, antara lain tecermin pada struktur organisasi yang ramping, bukan semakin tambun!" (Metro TV, 17-10) "Penilaian itu jelas didasarkan pada manajemen modern!" timpal Amir. "Tapi timbunan kerjaan yang terbengkalai demikian bejibun di semua sektor pemerintahan, bisa jadi tak teratasi lagi dengan sistem manajemen yang malah harus memperkecil tenaga, terutama di level pimpinan yang terlalu banyak masalah harus ditangani! Karena itu, bukan mustahil jika cara masyarakat tradisional perdesaan Jawa mengatasi masalah ketika pekerjaan terbengkalai justru lebih cocok! Yakni, sambatan—tua-muda/pria-wanita kerja bersama mengeroyok kerjaan agar cepat tuntas!"
"Kalau begitu, reshuffle dengan menambah 20 wakil menteri tak semata dilihat jadi tambunnya kabinet, karena yang dihadirkan sebenarnya kabinet sambatan—kabinet kerja gotong royong! Namanya sambatan alias gotong royong, semakin banyak orangnya semakin bagus!" tegas Umar. "Dengan sambatan, biayanya justru makin hemat! Karena orang sambatan tak berpikir atau didasari niat mencari uang, tapi untuk membantu yang sedang perlu bantuan! Ini bisa diwujudkan dengan mayoritas menteri muda berasal dari kampus, kalangan intelektual yang memang belum berorientasi kepentingan pribadi maupun golongan! Pilihan yang tepat untuk menuntaskan pekerjaan yang terbengkalai sesuai idealnya!" "Taken for granted pada mentalitas intelektual itu cukup untuk membangun optimisme, sebanding untuk penambahan belanja negara dengan gaji wakil menteri!" timpal Amir. "Tapi kalau cara itu ditempuh agar para menteri dari parpol bisa lebih leluasa memenuhi kepentingan partainya lewat kekuasaan jabatan menterinya, ini jadi buntut reshuffle yang kurang pas! Soalnya, reshuffle dilakukan akibat kinerja kabinet lemah! Kinerja kabinet lemah karena para menteri berorientasi memenuhi kepentingan partainya! Tapi konyol, reshuffle dengan memasang wakil menteri justru agar para menteri bisa lebih fokus dan penuh konsentrasi memenuhi kepentingan partainya!" "Itu mengisyaratkan kian kuatnya kekuasaan parpol dalam konstelasi pemerintahan!" tukas Umar. "Orang parpol di level menteri, kaum intelektual di lapisan wakilnya! Meski, SDM parpol tak terdidik sebaik intelektual! Lalu, yang kerja intelektual, suksesnya diklaim parpol!" ***
Selanjutnya.....

Stoner Juara Dunia, Temin yang Histeris!

SAAT Casey Stoner melitas garis finis dan keluar sebagai juara dunia MotoGP 2011, Temin teriak-teriak histeris “Kita juara! Kita juara!” dengan jingkrak-jingkrak di depan televisi hingga para turis peselancar asal Australia dan Jepang yang nonton bareng di Kafe Pantai Barat tercengang! "Kau kerasukan hantu apa?" Temon merangkul Temin kembali ke tempat duduk mereka.

"Stoner itu warga Australia, tapi itu orang-orang Australia tak jingkrak-jingkrak! Dia jadi juara dunia pakai motor buatan Jepang sekaligus disponsori Honda Motor, tapi warga Jepang di situ juga tetap duduk manis! Sedang kau bukan Australia dan bukan Jepang, bukan sanak (famili) dan bukan kadang (sahabat) Stoner, kok malah jingkrak-jingkrak?" "Stoner jadi juara dengan motor Honda! Aku juga sehari-hari naik Honda bebek!" kilah Temin. "Jadi setiap pengendara sepeda motor Honda berhak mengklaim bagian dari juara, sama-sama pakai motor Honda!"

"Kalau di depan orang asing, apalagi Australia dan Jepang yang lebih pantas untuk jingkrak-jingkrak, bisa memalukan bangsa—mengklaim kebanggaan milik bangsa lain! Kita saja protes ketika Malaysia mengklaim sejumlah kebanggaan milik kita! Maka itu, jangan kita tiru kelakuan yang kita protes itu!" "Tapi ngefan dalam olahraga kan wajar saja!" Temin mempertahankan sikapnya. "Contohnya saat nonton bareng pertandingan MU vs Barca, fan kedua tim saling adu sorak di kafe yang sama! Bahkan saat Piala Dunia tak sedikit warga kita yang ngefan pada Belanda, padahal itu bekas penjajah keji terhadap bangsa kita!"

"Ngefan pada kelompok asing itu bermula pada grup musik atau artis! Itu karena citarasa seni memang universal!" timpal Temon. "Sebaliknya olahraga, fungsi utamanya justru membina rasa kebanggaan nasional! Itu terlihat secara umum dalam Olimpiade, Asian Games dan sejenisnya, atau kejuaraan dunia cabang olahraga! Dengan itu, prestasi wakil negara menjadi kebanggaan nasional, ke situlah warga bangsa ngefan!"

"Tapi sekarang di tingkat dunia cabang olahraga apa bisa kita banggakan? Dulu badminton kita selalu juara dunia, sekarang tidak lagi!" entak Temin. "Apalagi sepak bola, di level Pra-Piala Dunia tiga kali tanding tiga kali keok! Karena ketiadaan yang dibanggakan milik sendiri dalam olahraga, warga kita jadi ngefan bekas penjajah Belanda, MU, maupun Barca! Coba ada Paiman jadi juara dunia MotoGP, pasti aku tak ngefan Stoner!" ***
Selanjutnya.....

Menteri Boleh Baru, Birokrasinya Lama!




MINGGU ceria kakek memenuhi janji membawa cucu ke desa untuk naik gerobak sapi. Cucu heran, pemilik gerobak mengizinkan kakek membawa sendiri gerobak dan sapinya! "Kakek dulu sais gerobak sapi!" jelas kakek. 

"Apa bedanya dengan nyetir mobil?" kejar cucu. "Mobil punya pengatur kekuatan sesuai dengan beban dan kondisi jalan, persneling satu, dua, seterusnya! Sapi tak punya!" jawab kakek. "Mobil seperti birokrasi modern dengan peranti dan mekanisme percepatan kerja mencapai tujuan pemerintah! Sedang gerobak sapi mirip birokrasi tradisional, tak punya peranti percepatan! Birokrasi tradisional justru memperlambat untuk mencapai tujuan sendiri—tak selalu sejalan tujuan pemerintah!"

"Jadi, menteri itu sopir atau sais?" tanya cucu. "Semula dikira birokrasi kita modern, punya peranti percepatan seperti mobil!" jelas kakek. "Setelah dua KIB gagal mencapai tujuan baru disadari, birokrasi kita masih tradisional, tak punya peranti percepatan! Setiap kementerian pun selayak gerobak sapi harus dipercayakan ke sais—wakil menteri—pengendali birokrasi tradisional!" "Jadi, dengan reshuffle menterinya boleh baru, birokrasinya tetap gerobak sapi yang lama!" entak cucu. 

"Apakah dengan sais khusus wakil menteri, sapinya mampu menarik gerobak yang dimuati beban lebih berat oleh menteri baru yang ingin lebih cepat sampai ke tujuan?" "Kita lihat saja!" jawab kakek. "Tapi berharap gerobak sapi bisa sampai tujuan secepat mobil, tentu berlebihan! Apalagi menteri baru yang ambisius memuati lebih berat beban ke gerobak, bisa-bisa sapinya tak mampu menghela!" "Kenapa birokrasi pemerintahan kita, dari tingkat kementerian sampai daerah bertahan tradisional, seperti gerobak sapi, padahal sudah belasan tahun ada program reformasi birokrasi?" tanya cucu. "Apa penghambatnya?" 

"Hambatan utamanya budaya ambtenaar—gaya birokrat warisan Belanda yang tak mudah diubah!" jawab kakek. "Amtenar selalu merasa sebenang lebih tinggi kastanya dari rakyat, hingga berasumsi lebih berhak untuk dilayani oleh rakyat daripada menjadi pelayan rakyat sebagaimana dituntut birokrasi modern! Semangat amtenar itu masih ditopang mentalitas penjajah yang pakaian dan tangannya harus serbabersih—bukan kelas pekerja keras! 

"Pada birokrasi model lama itulah menteri baru menggantungkan harapan sukses!" timpal cucu. "Keandalan wakil menteri sebagai sais jua yang akhirnya menjadi tumpuan!" ***
Selanjutnya.....

Faktor 'DLL' pada Rekrutmen PNS!



DENGAN teman dekat, Temin terpilih jadi kepala daerah, apalagi ia ikut kerja keras di tim sukses, wajar Temin berharap turut menikmati hasilnya. "Dudukkan aku di tempat yang tak mencolok agar tak mengundang perhatian orang!" ujarnya. "Tentu!" jawab temannya. 

"Kau jadi komisaris di BUMD—badan usaha milik daerah! Tugasnya cuma duduk dan bicara sok pintar, gajinya besar!" "Komisaris BUMD?" sambut Temin ternganga. "Apa tak terlalu tinggi? Aku cuma tamat SMA!" "Itu sudah kupikirkan! Komisaris posisi paling tepat karena tak perlu syarat pendidikan maupun pengalaman kerja! Tugasnya basa-basi mengawasi direksi" tegas teman. "Sedang direksinya, malah harus melalui fit and proper test di DPRD!"

"Maksudku jangan posisi setinggi itu!" ujar Temin. "Di bagian lebih rendah agar lebih sesuai dengan kemampuanku! Kubaca di koran, Lampung masih butuh 43.832 PNS, atau 40% dari 108.256 PNS yang ada! Jadi daerah kita setidaknya dapat 2.500-an, apa aku tak bisa diselipkan di situ?" "Untuk masuk PNS, usia maksimal 27 tahun! Berarti kau tak memenuhi syarat!" tegas teman. "Lagi pula, PNS yang dibutuhkan tenaga teknis! Standar tenaga teknis dalam pengangkatan PNS, termasuk guru, S-1. Lagi-lagi kau tak lolos!" "Lucu juga negeri ini!" tukas Temin. 

"Kedudukan di posisi tinggi malah bisa diisi orang berpendidikan rendah dan kualifikasi sembarangan, kian rendah kedudukan semakin tinggi syarat pendidikannya dan ketat persaingan seleksinya!" "Belum lagi syarat 'dan lain-lain (DLL)-nya'!" tukas teman. "Justru faktor 'DLL' itu yang membuat meski diberlakukan moratorium (penghentian sementara) rekrutmen PNS karena APBD terlalu berat memikul belanja pegawai hingga anggaran publik tinggal di kisaran 25%, yang disiapkan justru rekrutmen PNS besar-besaran untuk dilakukan begitu moratorium berakhir!" 

"Tetapi jumlah itu sesuai hasil analisis beban kerja berdasar permenpan-permendagri!" timpal Temin. "Skala beban kerja PNS itu sebanding dengan pertumbuhan pelayanan pemerintah pada rakyat! Pertumbuhan pelayanan bergantung pada belanja negara yang dikeluarkan untuk itu!" tegas teman. "Gejala umum di daerah, belanja pegawai terus naik! Kalau ditambah PNS 40%, akan meludeskan seluruh APBD buat belanja pegawai! Akibatnya, PNS bejibun tak ada yang dikerjakan, karena belanja pembangunan/publik di titik zero!" "Okelah!" ujar Temin. "Aku komisaris BUMD apa?" "BUMD-nya belum dibentuk!" jawab teman. "Tapi sudah ada dalam visi-misiku, kok!" ***
Selanjutnya.....

Siswa SMA Calon Pejabat Publik!

TIGA siswa SMA yang terlambat tak bisa masuk, gerbang sekolah sudah ditutup Satpam. Ketiganya bersepakat di balik pohon, mereka terlambat karena angkot yang mereka naiki bannya kempes! Saat alasan itu disampaikan, komandan Satpam sendiri yang membuka gerbang. “Tapi harus saya cek dulu kebenaran alasan kalian!” tegas Satpam.
“Bagaimana mengeceknya, angkotnya sudah jalan dan menurunkan kami di depan tadi!” kilah siswa. “Mudah mengeceknya!” jawab Satpam. Ia ambil tiga lembar kertas dari laci, dibagikan ke tiga siswa. “Satu siswa dalam pos, satu di dinding kiri luar dan satu dinding kanan pos Satpam! Tulis di kertas masing-masing, ban angkot sebelah mana tadi yang kempes!” Setelah membaca semua kertas, ketiga siswa ia bawa ke kepala sekolah. “Sudah saya cek, alasan terlambat benar, aksidental!” lapor Satpam. “Antarkan ke kelas!” perintah kepala sekolah. Waktu istirahat ketiga siswa mojok. “Untung kita tulis ban yang sama!” ujar satu dari mereka. “Padahal aku asal tulis, kiri belakang!” “Lo, aku tulis kanan belakang!” timpal yang lain. “Aku malah kiri depan!” tegas siswa ketiga. “Berarti, Pak Satpam sengaja menyelamatkan kita! Ayo kita ucapkan terima kasih padanya!” Usai disalam cium tangan oleh ketiga siswa, sang Satpam mengatakan alasan menolong mereka. “Begitu kubaca ketiga jawaban kalian berbeda langsung membuatku yakin, kalian calon pejabat publik!” jelas Satpam. “itu seperti pertemuan tiga pejabat publik, Nazaruddin bendahara partai berkuasa yang anggota DPR, wasekjen partai itu yang anggota DPR, dan Chandra-M. Hamzah wakil ketua KPK, semua mengaku pernah bertemu tapi isi pertemuannya berbeda, mirip beda jawaban ban angkot sebelah mana yang kempes!” “Pak Satpam terbalik!” tukas siswa. “Bukan kami yang mirip pejabat publik, tapi para pejabat publik itu yang seperti siswa pembolos! Seperti telepon penonton menanggapi berita pada acara Suara Anda di Metro TV (13-10), pejabat publik termasuk menterimenteri yang akan diganti banyak yang kekanak-kanakan!” “Sikap kekanak-kanakan itu menonjol sewaktu pimpinan Badan Anggaran DPR ngambek tak mau membahas RAPBN 2012 dan mengembalikan tugas itu pada pimpinan DPR, karena mereka sewot dipanggil KPK!” timpal siswa kedua. “Atau malah ada anggota DPR yang mau membubarkan KPK akibat pemanggilan anggota DPR oleh KPK itu!” “Begitulah!” tegas Satpam. “Maka kuamankan, sebab kusadari tingkah kalian sah sebagai pewaris perilaku konyol pejabat publik negeri ini!” ***
Selanjutnya.....

Kala Politikus Tak Dipercaya!


BUS rombongan politikus pusat sekembali dari meninjau pembangkit listrik tenaga panas bumi di lereng gunung api tergelincir ke jurang! Hari berikutnya kecelakaan itu baru dikhawatirkan karena rombongan malamnya tak masuk hotel dan tidak menghubungi keluarga. Heli tim SAR yang terbang menyusuri rute bus menemukan bus dalam jurang. Tapi saat tim SAR turun terkejut, di samping bus ada kuburan baru sejumlah politikus dalam rombongan! Tim hanya menemukan seorang warga merapikan timbunan tanah di atas kuburan. "Itu kuburan siapa?" tanya komandan Tim SAR.

"Semua korban!" jawab warga. "Kejadiannya kemarin sebelum zuhur, adat sini mengharuskan jenazah dimakamkan sebelum magrib! Soalnya, kalau malam tak dikubur, mayat dilalap macan!" "Apa semua korban tewas?" tanya komandan. "Ada juga yang saat mau dikubur mengaku belum mati!" jawab warga. "Tapi Bapak juga kan maklum, ucapan politikus tak bisa dipercaya!" "Siapa bilang mereka politikus?" kejar komandan. 

"Sopir busnya!" tegas warga. "Dia satu-satunya korban yang sempat meloncat keluar dari bus, meskipun patah kaki jiwanya selamat!" "Bagaimana kalian bisa menyimpulkan ucapan politikus tak bisa dipercaya?" tanya komandan. 

"Pengalaman lintas generasi, dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada, janji membangun jalan tembus dan jembatan ke desa kami yang terpencil tak pernah terwujud!" jelas warga. "Ah, Bapak ini sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya juga! Di televisi pekan lalu diberitakan hasil jajak pendapat Lingkar Survei Indonesia (LSI) bahwa kepercayaan rakyat pada politikus tinggal 23,4%, atau dari setiap empat orang cuma satu yang masih percaya—itu pun tak bulat 25%! Itu rakyat biasa! Sedang di kalangan mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi, cuma 18%!" "Kalian simak berita seperti itu?" entak komandan. 

"Aku saja tak tertarik mengikutinya!" "Karena Bapak bukan korban janji palsu politikus turun-menurun!" tukas warga. "Betapa pun juga, kancil seenaknya melupakan jerat, namun jerat tak akan pernah melupakan kancil!" "Sampai begitu geramnya kalian kepada politikus, ya?" timpal komandan. "Untung kalau datang politikus selalu bawa buah tangan, paket sembako, sarung, dan sejenisnya!" tegas warga. "Kami yang memang butuh semua itu, jadi lupa pada janji-janji palsu terdahulu dan menelan lagi janji-janji barunya dengan penuh kesadaran bahwa itu janji palsu yang tak bisa dipercaya juga!" ***
Selanjutnya.....

Pasal-Pasal Karet UU Intelijen Baru!


"BARU disahkan DPR Selasa (11-10), UU Intelijen langsung diproses uji materi oleh Koalisi Advokasi RUU Intelijen!" ujar Umar. "Menurut Haris Azhar, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang gabung dalam koalisi itu pada Tempo Interaktif, mereka menyiapkan judicial review untuk diajukan ke MK selang sehari setelah disahkan DPR! Diuji materi karena dalam UU Intelijen ada ruang multitafsir yang dinilai mengancam kebebasan masyarakat!" 

"Ruang multitafsir itu oleh Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti disebut pasal karet! Salah satunya Pasal 25, 26, jo 44, 45, yang tidak terperinci mengatur rahasia intelijen sebagai rahasia negara!" sambut Amir. 

"Akibat tidak terperinci, pasal karet itu bisa ditafsirkan sepihak oleh penguasa sehingga bisa mengancam kebebasan informasi dan kebebasan pers! Padahal terkait dengan pasal itu, setiap orang yang sengaja membocorkan rahasia intelijen diancam hukuman 10 tahun dan denda Rp500 juta! Sedang yang karena kelelaiannya mengakibatkan rahasia intelijen bocor diancam hukuman 7 tahun dan denda Rp300 juta!" (Suarapembaruan.com, 11-10) "Ketentuan pidana itu mengancam kebebasan informasi dan kebebasan pers!" timpal Umar. 

"Persis begitu, kata Poengky Indarti!" tegas Amir. "Kebocoran rahasia intelijen seharusnya menjadi tanggung jawab personel intelijen, bukan ditimpakan ke masyarakat umum! Lalu Pasal 31, istilah 'penggalian informasi' terkait dengan orang dicurigai melakukan kegiatan mengancam keamanan, bisa disalahgunakan terhadap warga, seperti intel zaman Orde Baru! Hal itu juga over-lapping dengan fungsi penyelidikan yang telah diberikan pada intelijen!" "Maka itu, dengan pengesahan UU Intelijen ini ada yang sinis menyatakan kita kembali ke era Orde Baru!" timpal Umar. 

"Sinisme karena pengawasan pada intelijen oleh parlemen tak ada perinciannya, juga kewenangan pengawasan Komnas HAM dan Komisi Ombudsman belum diatur di Pasal 43! Dengan tidak adanya pengawasan yang efektif terhadap sepak-terjang intel, praktek intelijen bisa mirip era Orde Baru—cuma jadi alat penguasa mengencundangi lawan-lawan politiknya!!" 

"Lalu apa yang dikerjakan DPR selama sembilan tahun pembahasaan RUU Intelijen itu hingga baru disahkan kemarin, kalau UU-nya cuma berisi semangat Orde Baru?" entak Amir. 

"Membuat intelijen rentan politisasi!" jawab Umar. "Dengan mengharuskan pengangkatan kepala BIN lewat pertimbangan DPR—Pasal 36! Lebih penting ancak politik anggota DPR daripada kecemasan rakyat pada intimidasi intel lapangan!" ***
Selanjutnya.....

Kondisi Negara Serbaparah Nian!


"KONDISI negara kita parah nian! Sebanyak 99,2% responden Jajak Pendapat Kompas 5—7 Oktober menyebut parah perilaku korupsi di lembaga negara!" ujar Umar. "Disusul 93,7% menyatakan parah perilaku politik saling menyerang di antara politisi! Lalu, 88,7% menilai parah penyelesaian kasus korupsi di lingkaran dekat presiden!" (Kompas, 10-10) "Angka-angka hasil jajak pendapai itu mencerminkan apa?" tanya Amir. 

"Akibat perilaku kalangan birokrat dan politikus yang menguasai berbagai instansi negara yang sedemikian, menurut Kompas, mencerminkan penyelenggaraan negara kehilangan arah!" jawab Umar. "Itu juga terlihat dari tingginya ketakpuasan pada kinerja berbagai komponen bangsa!" "Komponen apa saja?" kejar Amir.

"Ketidakpuasan rakyat pada kinerja pemerintah dalam menjamin hak asasi warga negara 75,4%, dalam meningkatkan kesejahteraan umum 81,8%, dan dalam penegakan hukum oleh kepolisian, kejaksaan, kehakiman 84,9%!" tegas Umar. "Mengejutkan penilaian pada KPK, meski masih lebih baik dari lembaga hukum lain, ketakpuasan pada kinerja KPK naik jadi 73,5%! Tapi masih lebih buruk lagi kinerja DPR dalam fungsi perwakilan rakyat, ketakpuasan mencapai 89,4%! Ketakpuasan pada kinerja partai politik dalam fungsi politiknya 88,1%!" (Kompas, idem) "Penilaian Kompas tak meleset, semua itu cerminan penyelenggaraan negara yang kehilangan arah!" tukas Amir. 

"Tapi negara ibarat kapal, ada nakhodanya! Maka secara awam bisa disebut itu kesalahan nakhodanya! Kesalahan nakhoda hingga kapal kehilangan arah itu menyebabkan 13 tahun bangsa melayari reformasi tak kunjung sampai ke tujuan!" "Bahkan kian menjauh dari tujuan!" timpal Umar. "Meskipun demikian, secara teknis tak sepenuhnya salah nakhoda! Misalnya, saat nakhoda memerintahkan belok kanan lima derajat, juru mudi—dalam hal ini menteri—cuma bisa belok tiga derajat! Itu karena birokrasi di kemudi sudah berkarat separah hasil jajak pendapat!" 

"Karena itu, untuk mengatasi semua kinerja yang buruk dimaksud tak cukup hanya bongkar-pasang menteri seperti sedang digarap presiden!" tegas Amir. "Sama pentingnya, harus dilakukan overhaul mesin birokrasi yang berkarat sangat parah itu! Bongkar-pasang menteri tanpa overhaul mesin birokrasi hasilnya takkan jauh beda dari sebelumnya—so nyanda guna!" 

"Kecuali...," potong Umar, "juru mudi baru yang direkrut mengerti mesin, seperti sopir yang bisa bongkar mesin membersihkan karatnya!" "Huahaha...!" Amir terbahak. "Ganti menteri itu seperti ganti bupati! Memang bongkar mesin birokrasi, tapi bukan membersihkan karat, tapi memasang konco dan kerabatnya! Menambah karat lebih buruk lagi!" ***
Selanjutnya.....

Dialog Pejabat Pedagang Kue!


SEORANG pejabat mengunjungi pasar tradisional yang bangunannya sudah tua. Di emperan pasar ia melihat nenek duduk menghadap tampah disangga bakul berisi kue dagangannya. Sang pejabat menghampiri dan bertanya, "Sudah berapa lama jualan kue di sini, Nek?" "Tiga puluh tahun lebih!" jawab Nenek. "Kenapa sendirian?" tanya pejabat. "Ke mana anak-anak Nenek? Tak seorang pun membantu jualan, padahal Nenek sudah renta!" "Anak saya empat orang, semua sudah mandiri!" jelas Nenek. "Satu di KPK, satu di Polda, satu di kejaksaan, si bungsu di pengadilan!"

"Kalian lihat dan dengar sendiri cerita Nenek tua ini!" entak pejabat ke arah wartawan yang mengikuti kunjungan kerjanya dan langsung mengerumuninya. "Hanya dengan jualan kue-kue basah di emperan pasar tradisional, Nenek ini bisa mendidik anak-anaknya sampai semua bertugas di lembaga penegak hukum! Dan bisa dipastikan, anak-anak Nenek ini di lembaga penegak hukum itu amat jujur, jauh dari perbuatan korupsi! Buktinya lihat Nenek ini, ia tetap miskin dan jualan kue di sini! Coba kalau anaknya koruptor, pasti Nenek ini sudah hidup mewah dan tak boleh jualan kueh lagi!" "Tapi apa hubungan sukses Nenek ini mendidik anak-anaknya dengan kedinasan kunjungan kerja Bapak ke pasar tua ini?" potong wartawan. . 

""Sangat relevan!" tegas pejabat. "Coba kalau para pejabat sebelum saya tergesa meremajakan pasar ini, pasti para pedagang lemah di dalam dan di emperan pasar ini sudah tergusur tak bisa berdagang lagi! Soalnya, investor peremajaan pasar pasti akan menetapkan harga bangunan yang sangat mahal sehingga tak terjangkau oleh pedagang lemah sekelas Nenek ini!"" 

"Jadi Bapak pejabat berkunjung ke pasar tua ini bukan dalam rangka untuk membangunnya menjadi pasar modern?" kejar wartawan. "Bukan itu tujuan saya kemari!" tegas pejabat. "Saya pribadi tak setuju bangunan tua pasar ini dirobohkan! Pilihan terbaik justru memugar bangunan tua ini, sekaligus budaya ekonomi pasar tradisionalnya! Orang mau membangun supermarket, mal dan lainnya silakan cari tempat lain! Jangan hancurkan warisan arsitektur pasar tua—karena di Shanghai, misalnya, tumpuan akhir kunjungan turis justru pasar tradisional dengan kekhasan arsitektur bangunan tua!" " 

"Sepeninggal pejabat seorang wartawan menanya nenek untuk memperdalam beritanya, "Anak-anak Nenek di KPK, Polda, kejaksaan dan pengadilan itu posisinya apa?" "Sama dengan saya!" jawab nenek. "Jualan kue juga!" *** . 

Selanjutnya.....

Demam 'Reshuffle' pun Didramatisasi!


"RILIS Lembaga Survei Indonesia (LSI, 18-9) atas hasil survei yang menyebutkan kepuasan publik pada kabinet SBY-Boediono tinggal 37,7%, disusul Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melapor rapor merah merata di semua kementerian Kabinet Indonesia Bersatu II (detikNews, 28-9), Presiden SBY pun menegaskan reshuffle kabinet dilakukan sebelum 20 Oktober, genap dua tahun masa kerja KIB II!" ujar Umar. "Demam reshuffle tak terhindarkan, karena prosesnya didramatisasi; digarap di Cikeas, dengan simulasi segala!"

"Dramatisasi rekrutmen menteri sudah dilakukan sejak penyusunan KIB II yang akan dibongkar-pasang lagi!" sambut Amir. "Mulai fit and proper test dengan memanggil setiap calon menteri ke Cikeas, lalu pemeriksaan kesehatan komplet di RSPAD, bahkan ada yang dipanggil dibatalkan! Semua itu memberi kesan rekrutmen menteri bukan sembarangan! Sayang, hasilnya justru menurunkan secara drastis kepuasan rakyat pada pemerintahan SBY hingga tinggal 37,7% dan rapor merah merata di semua kementerian!" 

"Tapi kenapa dramatisasi perekrutan menteri diulang, bahkan ditambah episode simulasi, padahal hasil rekrutmen dengan cara demikian sebelumnya mengecewakan?" tukas Umar. "Mungkin kegagalan KIB II karena dramatisasi rekrutmennya belum pakai tahapan simulasi!" tegas Amir. "Diharapkan dengan tambahan proses simulasi dalam rekrutmennya, KIB II jilid dua yang sedang disusun bisa lebih berhasil! Paling tidak, meningkatkan kembali kepuasan rakyat yang memang diusahakan pengatrolannya lewat dramatisasi proses rekrutmennya!" 

"Jadi dramatisasi itu untuk menaikkan tingkat kepuasan rakyat pada pemerintah?" kejar Umar. "Karena angka kepuasan rakyat itu cenderung selalu tinggi sebelum kabinet bekerja!" tegas Amir. "Justru setelah kabinet bekerja, perlahan tingkat kepuasan rakyat merosot!" "Kenapa bisa begitu?" tanya Umar. "Mungkin karena rakyat kita dari barat sampai ke timur umumnya suka kesenian drama, sandiwara dan sejenisnya, maka dramatisasi bisa diandalkan untuk membuat kepuasan rakyat memuncak!" jawab Amir. 

"Sayangnya tingkat kepuasan rakyat yang tinggi hasil dramatisasi itu tak berhasil dipertahankan oleh kinerja nyata para menteri! Sebaliknya, gaya para menteri cepat memuakkan rakyat sehingga baru jalan dua tahun kepuasan merosot lebih dari separuh! Untuk itu rakyat cuma bisa berdoa agar dramatisasi kali ini menghasilkan menteri yang berkualitas!" ***
Selanjutnya.....

‘Cyber Crime’ Baru, Korban Tak Sadar!


"MASIH ingat Jenderal Naga Bonar? Pada zaman perjuangan itu, ia berhasil mengambil jam tangan perwira serdadu Belanda dalam perundingan tanpa disadari korban!" ujar Umar. "Pada zaman itu, 'keterampilan' Naga Bonar tersebut mengagumkan karena dengan itu bisa mengalahkan orang Barat! Kini lebih dahsyat lagi, seorang Indonesia jadi buron FBI sebagai otak pencurian pulsa dalam hape orang—juga tanpa disadari korbannya!"

"Gawatnya, akibat ulah orang itu, Cyber Crime Direktorat Reserse Polda Metro Jaya menemukan 1.800 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Sumut, yang beroperasi menyedot pulsa ke seantero negeri dari balik teralis!" timpal Amir. 

"Enam dari mereka, otak operasinya, telah dijadikan tersangka dalam kasus yang ditangani Polda Metro Jaya!" (Kompas.com, 5-10) "Kalau yang beroperasi sebanyak itu, bisa jutaan orang jadi korban!" tegas Umar. "Operasi itu, yang menjual kembali pulsa hasil curian di kawasan dekat korban, menjadikan kejahatannya berskala masif! Maka itu, mastermind-nya menjadi buron FBI, sedang wakgengnya diringkus Polda Metro!" 

"Ironisnya, seperti ditengarai pakar telematika Roy Suryo, modus cyber crime dari balik teralis itu justru dimainkan atas kerja sama operator dan content provider—CP!" (Vivanews, 7-10) sambut Amir. "Karena itu, Komisi I DPR Senin (10-10) akan rapat dengan semua instansi terkait, semua operator, dan CP! Langkah ini diharap ampuh untuk mencegah pencurian pulsa oleh lembaga-bisnis legal, sedang pengusutan pelanggaran hukum dalam hal ini terus dilakukan polisi!" 

"Terlihat, cyber crime baru ini merugikan rakyat dari segala sisi—digasak lewat bisnis legal maupun operasi residivis dari balik teralis!" tukas Umar. "Karena itu, usaha perlindungan yang benar-benar efektif harus bisa diciptakan untuk menghentikan terus digasaknya pulsa dari hape rakyat! Tepatnya, harus dilakukan deregulasi nasional sistem operasi seluler terkait dengan CP dan sistem transfer pulsa—sampai tak mungkin terjadi hape yang cuma terima SMS pulsanya bisa tersedot habis!" 

"Keberhasilan Polda Metro Jaya melacak hingga menemukan pusat pencurian pulsa seluler dalam LP Tanjung Gusta memberi harapan kejahatan ini bisa dihabisi!" timpal Amir. "Tapi usaha membasmi kejahatan itu bergantung kemampuan regulator menyiapkan sistem penangkalnya! Tanpa sistem penangkal yang tangguh, polisi bisa kewalahan menindak kejahatan yang beroperasi masif!" ***
Selanjutnya.....

Invitation to connect on LinkedIn

 
LinkedIn
 
 
 
From ajimni alba
 
Owner at baba.net
Indonesia
 
 
 

I'd like to add you to my professional network on LinkedIn.

- ajimni

 
 
 
 
 
 
You are receiving Invitation to Connect emails. Unsubscribe
© 2011, LinkedIn Corporation. 2029 Stierlin Ct. Mountain View, CA 94043, USA
 
Selanjutnya.....

'Dissenting Opinion' Isyarat Komite Etik!


"MESKIPUN putusan Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara umum menyelamatkan empat pimpinan KPK dari dakwaan pelanggaran etik maupun pidana, adanya dissenting opinion—pendapat berbeda—tiga dari tujuh pengambil keputusan menjadi isyarat bahwa dalam tubuh KPK sebenarnya ada masalah!" ujar Umar. "Tetapi, kenapa tokoh-tokoh panutan di komite itu, seperti Buya Syafi'i Ma'arif, Nono Anwar Makarim, dan Marjono Reksodiputro merasa perlu memberi isyarat itu, harus dicari sendiri simpulnya?"

"Isyarat itu menunjukkan KPK tidak betul-betul bebas masalah, jadi merupakan peringatan agar ke depan—terutama setelah penggantian para komisioner pimpinan KPK 17 Desember 2011—integritas dan kredibilitas KPK dijaga lebih prima!" timpal Amir. 

"Kalaupun kali ini secara umum Komite Etik menyelamatkan pimpinan KPK bisa dipahami, karena yang dihadapi cuma serangan membabi-buta jurus pendekar mabuk Nazaruddin! Tak jauh beda dengan jurus Anggodo! Sedang ke depan yang dihadapi tak kepalang, bisa saja serangan balik dari parlemen dengan jurus absolut power yang bisa membuat KPK porak-poranda dibubarkan!" 

"Pokoknya harus lebih berhati-hati, khususnya terhadap serangan balik dengan jurus konspiratif yang di permukaan secara nyata tak ada kaitan dengan tugas KPK memberantas korupsi! Semisal serangan yang dialami Antasari!" tegas Umar. "Dan itu pangkal masalahnya tak jauh beda dari kasus yang membuahkan dissenting opinion, yakni jumpa klien di luar kantor! Kalau dissenting opinion terkait pertemuan pimpinan KPK dengan Nazaruddin dan konco-konco berkuasanya, Antasari bertemu Nasruddin, Rani, sampai Anggoro—abang Anggodo—di Singapura!" 

"Pokoknya pimpinan KPK ke depan harus selalu menyadari sepenuhnya siapa dirinya, lalu menjaga martabatnya!" timpal Amir. "Artinya selalu ingat dirinya bukan salesman yang harus rajin menemui klien di luar kantor! Sebab, begitu mereka bergaya salesman—atas dirinya pula—ambruklah integritas dan kredibilitas KPK!" "Untuk komisioner sekarang, diharapkan dalam sisa masa tugasnya tetap hati-hati melangkah khususnya dalam menghadapi serangan balik dengan segala modelnya, agar KPK tidak keburu tinggal puing sebelum 17 Desember!" tegas Umar. 

"Jangan dianggap enteng segala kemungkinan serangan balik ke KPK, apalagi yang dilakukan dengan amarah mendidih di batok kepalanya! Namun, segenap kewaspadaan itu tak harus sampai menghambat kiprah KPK mengganyang koruptor! Hajar terus!" ***
Selanjutnya.....

Teror Hentikan Pos Pengaduan Mafia Anggaran!


"POS Pengaduan Mafia Anggaran yang dibuka Laode Ida dan Zainal Bintang di lantai 8 gedung parlemen, Senayan, terpaksa dihentikan setelah Zainal Bintang diteror dari berbagai nomor telepon tak dikenal!" ujar Umar. 

"Teror berupa ancaman terhadap anak Zainal, dengan menyebut kepalanya pecah dan tulang patah, keluarga pun panik. Selanjutnya, pengaduan disampaikan lewat surat elektronik (e-mail) dan SMS!" (Kompas, 4-10) "Risiko itu wajar bagi pengusik mafia—kelompok penjahat terorganisasi! Tapi ancaman itu justru membuktikan, mafia sasaran pos pengaduan itu benar-benar ada!" timpal Amir. "Ancaman itu layak diwaspadai tak sekadar teror! Tak diragukan mafia mampu mengubah ancaman itu jadi nyata!" 

"Apalagi, sejak dibuka Kamis pekan lalu, sampai pos pengaduan ditutup Senin sudah diterima 20 pengaduan dari masyarakat!" tegas Umar. "Dari situ diketahui, menurut Zainal, mafia anggaran menggasak uang rakyat lewat dua jalur 'basah', pengusaha 'pengorder' proyek, dan pemda yang menarik penempatan proyek ke daerahnya!" 

"Tampak, mafia itu bermain di jantung anggaran negara dengan ekses meluas di seantero negeri—justru dijolok pejabat daerah!" timpal Amir. "Dengan penyunatan anggaran oleh jaringan mafia di setiap tahapan proses dari perencanaan sampai pelaksanaan di lapangan, kualitas proyek yang dibangun untuk rakyat rendah, cepat rusak!" 

"Untuk itu, meskipun akibat ancaman pos pengaduan langsung ditutup, secara prinsip perjuangan tetap jalan!" tegas Umar. "Selain pengaduan dilanjutkan di jalur virtual, 20 pengaduan yang telah diterima bisa cepat diverifikasi dan diteruskan ke KPK!" "Usaha memerangi mafia anggaran yang semakin terbuka dengan tebaran terornya itu tergantung pada keberhasilan KPK membuktikan praktek jahat itu secara hukum!" timpal Amir. 

"Perjuangan itu jelas tak mudah, karena sejak langkah awal KPK membuka kaitan suap di Kemenakertrans dengan mafia anggaran di DPR—persis seperti kata tersangka suap wisma atlet, Nazaruddin, mengenai mafia anggaran di DPR—pimpinan DPR langsung defensif dan coba membungkam KPK lewat memanggilnya dengan dalih konsultasi!" 

"Meski mulanya KPK tak datang, akhirnya Senin lalu hadir juga ke DPR, menyaksikan betapa konyol jika kalangan pimpinan Dewan terbakar amarah pada KPK!" tukas Umar. "Seiring teror ke Pos Pengaduan Mafia Anggaran, serangan pimpinan DPR ke KPK menunjukkan beratnya memberantas korupsi! Tapi KPK harus maju terus karena rakyat berdiri di belakang mereka!" ***
Selanjutnya.....

Fungsi Partai Politik Pemersatu Bangsa!

"KEPUTUSAN DPD PDIP Provinsi mendukung pasangan Khamamik-Ismail Ishak yang meraih suara terbanyak di Pilkada Mesuji, melegakan!" ujar Umar. 

"Soalnya kecemasan mencekam seiring hasil hitung cepat mengunggulkan Khamamik, PTUN Tanjungkarang memenangkan gugatan DPD PDIP, membatalkan dukungan PDIP yang diberikan DPC PDIP Mesuji kepada Khamamik! Kecemasan beralasan, putusan PTUN itu bisa menyulut konflik berkepanjangan yang bisa menghambat proses pilkada! Bahkan, konflik DPC partai dengan DPD dan DPP dalam mendukung calon untuk pilkada, di Papua bisa berujung konflik fisik menewaskan belasan orang!" 

"Karena itu, keputusan Ketua DPD PDIP Provinsi Lampung Sjachroedin Z.P. mendukung Khamamik dengan mencabut gugatannya di PTUN, cukup bijaksana!" timpal Amir. "Betapa dengan itu segala kecemasan akan konflik sirna dan semua masalah sekaligus selesai! Lebih menggembirakan lagi, rakyat Kabupaten Mesuji bisa mendapat pemimpin sesuai hasil pilihan mayoritas warga!" 

"Pokoknya langkah DPD PDIP itu memberi rasa nyaman dan tenteram lahir-batin warga Mesuji, utamanya bisa terbebas dari gangguan konflik politik yang sempat
mengancam daerah mereka!"tegas Umar. "Langkah itu memenuhi fungsi partai politik sebagai integrator (pemersatu) bangsa seperti ditegaskan William Liddle dalam Etnicity, Party, and National Integration, an Indonesian Case Study, (Yale Universuty Press, 1970). Bayangkan rapuhnya partai politik untuk menjalankan fungsi tersebut kalau pada antartingkat kepengurusan sendiri saja terjadi konflik fisik sampai baku bunuh seperti di Papua!" 

"Untuk fungsi itu tentu hubungan antarpartai politik juga amat penting!" timpal Amir. "Rakyat Lampung punya pengalaman pahit terjebak konflik tegangan tinggi antarpartai politik dalam dekade pertama abad 21 ini! Arang habis besi binasa, usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat terganggu! Itu penyebab nyata kemiskinan Lampung menonjol di Sumatera!" 

"Maka itu, pilihan DPD PDIP yang menghindarkan rakyat dari konflik, sebagai hasil menarik hikmah dari pengalaman, benar-benar layak dihargai!" tegas Umar. "Selanjutnya, bagaimana model dari kasus Mesuji bisa diangkat ke tingkat nasional dalam memperkuat pelaksanaan fungsi partai-partai politik sebagai pemersatu bangsa, penting dipertimbangkan! Sebab, dari gelagat elite politik nasional dewasa ini, fungsi tersebut terkesan kurang menonjol—sebaliknya malah berkalibut dalam ketegangan terus dari kasus ke kasus!" ***
Selanjutnya.....

Citra Politikus Semakin Buruk!


"CITRA politikus semakin buruk karena begitu maraknya kasus korupsi yang dilakukan politikus di semua lini, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif!" (Kompas, 3-10) ujar Umar. "Hasil jajak pendapat Lingkar Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Minggu (2-10), citra di mata masyarakat tersisa 23,4%! Di mata mahasiswa dan alumnus pendidikan tinggi bahkan tinggal 18%! Turun 20% dari survei terakhir LSI." 

"Sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo mengatakan sistem yang ada saat ini telah mencetak koruptor!" timpal Amir. "Mau partai bersih, dan orang berhati malaikat, yang masuk dalam sistem kepartaian saat ini akan menjadi penjahat, tegas Imam. Hal itu, menurut dia, tidak bisa dijawab dengan jargon perbaikan moral belaka. Harus ada sistem yang dibenahi agar partai politik dan politikus tidak menjadi mesin pengeruk uang!" (Kompas, idem) 

"Tapi siapa yang harus membenahi sistemnya karena perubahan UU Politik yang menjadi dasar sistem itu ditangani sendiri oleh para politikus di eksekutif dan parlemen, hingga setiap kali justru selalu dibuat lebih menguntungkan kepentingan mereka—dari memperberat syarat parpol baru sampai mempertinggi
parliamentary threshold—guna meningkatkan hak-hak istimewa mereka!" tegas Umar. 

"Sistemnya mereka buat bukan membaik demi kepentingan rakyat, melainkan dirasakan rakyat semakin memburuk seperti tecermin pada citra politikus pada hasil jajak pendapat LSI dari waktu ke waktu!" "Kekuasaan yang bisa membuat peraturan yang serbabisa menguntungkan kepentingan diri dan kelompoknya, kalaupun ada koreksi dari pihak lain bisa saja tak digubris karena tak ada kaitan kekuasaan formalnya, maka kekuasaan seperti itu yang nyata dimiliki para politisi kita telah menjadi kekuasaan absolut!" tukas Amir. 

"Jadi, kalau kita sekarang ini merasa tersekap dan tak ada jalan keluar dari sistem yang korup dengan semua tentakel guritanya menyedot rakus darah rakyat, itu tak lain karena kita berada di tengah realitas seperti ungkapan Lord Acton—power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely!" 

"Karena itu Imam Prasodjo benar, masalah ini tak bisa dijawab dengan jargon perbaikan moral semata!" timpal Umar. "Soalnya, secara moral (hukum) misalnya, dengan peraturan-peraturan yang mereka buat sendiri hingga memperlonggar gerak mereka dari ketentuan-ketentuan yang bisa menjera, maka secara hukum mereka tak melanggar apa pun! Padahal, tak sedikit anggaran negara yang mereka keruk!" ***
Selanjutnya.....