Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

DPR Kebut Revisi UU KPK!

MESKI masa sidang DPR di 2015 hanya tersisa tiga minggu, Badan Legislasi (Banleg) DPR yang telah menyetujui revisi UU KPK menjadi usul inisiatif DPR akan mengebut untuk selesai tahun ini juga. 

Menurut Wakil Ketua Banleg Firman Soebagyo, Jumat (27/11), kesepakatan Banleg itu dilaporkan ke pimpinan DPR dan Badan Musyawarah (Banmus) pada Senin (30/11) dan ke paripurna pada Selasa (1/12). Presiden lalu akan menerbitkan surpres (detik-news, 27/11). 

Firman yakin revisi UU KPK bisa dibahas secara cepat. "UU MD3 kemarin saja berapa hari," tukas politikus Golkar itu membandingkan. Apalagi untuk revisi ini sebelumnya Banleg DPR dan pemerintah menyepakati dua rancangan aturan masuk ke perubahan prolegnas prioritas 2015, yaitu RUU Tax Amnesty dari usul inisiatif pemerintah dan revisi UU KPK, jadi usulan DPR. 

Pembahasannya diperkirakan akan lancar karena kubu propemerintah yang dipelopori PDIP juga berusaha merevisi UU KPK. Itu mudah dipahami, karena menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 55 politikus anggota DPR yang dijerat KPK sejak 2005 sampai 2015, terakhir Dewie Yasin Limpo, terbanyak dari Partai Golkar, 23 anggota DPR, dan kedua dari PDIP, 21 politikus (tempo.co, 22/10). 

Dalam rancangan revisi UU KPK itu, ICW mencatat sejumlah perubahan yang bukan saja memperlemah KPK, malah bisa membuat pemberantasan korupsi di Indonesia kiamat karena umur KPK dibatasi hanya 12 tahun. KPK tidak lagi memiliki kewenangan melakukan penuntutan. KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp50 miliar ke atas. KPK lebih diarahkan ke tugas pencegahan korupsi. 

Lalu, KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan maupun penyitaan. KPK dapat menghentikan penyidikan korupsi. KPK wajib lapor ke kejaksaan dan Polri ketika menangani perkara korupsi, serta sejumlah perubahan lainnya (antikorupsi.org, 8/10). 

Ironisnya, korupsi di Indonesia lebih banyak korupsi politik yang bersifat sistemik. Korupsi politik itu juga sudah masif. Sampai 2014, menurut Bambang Widjojanto, yang mengutip Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, kepala daerah yang terlibat korupsi sudah 290 orang, sedangkan anggota DPRD sudah sekitar 3.600 orang (Kompas.com, 23/6). 

Kalau sudah sepakat, DPR dan pemerintah memang punya absolute power untuk merevisi UU KPK itu. Sebagai jenis korupsi politik yang sistemik itu, dengan absolute power itu terpenuhilah kriteria lord acton, absolute power corrupt absolutely. ***
Selanjutnya.....

Penguasa Mencekik Petani Sawit!

DALAM Konferensi Sawit di Bali pekan ini dilaporkan hasil pungutan dari ekspor CPO 50 dolar AS per ton dalam empat bulan mulai Juli 2015 sebesar Rp4 triliun. Pungutan itu bisa dipastikan oleh eksportir dibebankan ke produsen sehingga harga tandan buah segar (TBS) sawit petani di Lampung jatuh sampai Rp350 per kg. 

Pungutan 50 dolar AS per ton dari ekspor CPO itu nyaris 10% dari harga CPO yang kini di bawah 600 dolar AS per ton. Sebagai pemikul beban pungutan itu, nasib mayoritas dari 4,5 juta petani sawit negeri kita mengulangi nasib malang petani cengkih ketika cengkih dikenai pungutan sejenis oleh BPPC. Petani cengkih sengsara. 

Kehidupan petani sawit yang menderita akibat harga TBS tak cukup untuk biaya panen dan transpor ke pabrik, kontras dengan laporan sukses pungutan itu oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP Sawit) di konferensi sawit. 

Kepala BPDP Sawit Bayu Krisnamurti melaporkan di Bali, dalam empat bulan saja dana dari pungutan ekspor CPO atau CPO Fund mencapai Rp4 triliun. Rencananya, dana Rp500 miliar dipakai untuk subsidi 223 ribu kiloliter biofuel. Anggaran subsidi yang ditagih sudah mencapai Rp285 miliar. (Kompas.com, 26/11) 

CPO Fund dimasukkan ke satu rekening yang ditetapkan Menteri Keuangan. Selain untuk subsidi biofuel, dana tersebut bisa digunakan untuk replanting (penanaman kembali) kelapa sawit, dan peningkatan sumber daya manusia serta membiayai riset-riset di sektor sawit. Konsep penguasa untuk pungutan itu memang indah, seindah konsep pungutan BPPC yang mencekik petani. Dengan itu pula mayoritas dari 4,5 juta petani sawit negeri ini dirundung tiga masalah yang kian mencekik nasib mereka. 

Pertama, terus merosotnya harga CPO, dari di atas 1.000 dolar AS per ton pada 2010 dengan harga TBS di atas Rp 1.000 per kg, kini menjadi di bawah 600 dolar AS per ton dengan harga TBS yang sekaligus tertekan oleh dua masalah berikutnya hingga kandas di Rp350 per kg. 

Kedua, lima raksasa sawit nasional yang menampung 85% CPO dan TBS nasional termasuk dari 4,5 juta petani sawit, membuat perjanjian The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) dengan Uni Eropa dan AS untuk memproduksi minyak sawit berkualitas tinggi dan ramah lingkungan, membuat produksi petani dan perusahaan sawit kecil tak ada yang membeli. 

Ketiga, kalaupun produksi ditampung untuk ekspor di luar Eropa dan AS, oleh penguasa dihadang lagi dengan pungutan ekspor 50 dolar AS per ton. Sempurnalah kebijakan penguasa mencekik petani sawit! ***
Selanjutnya.....

Konferensi Sawit, ISPO Vs IPOP!

INDONESIA sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia yang menguasai 38% pangsa pasar global, selain menghadapi kampanye hitam berbagai hal tentang sawit, dari masalah lingkungan sampai kesehatan, juga menghadapi tekanan tentang kualitas produksi dari negara-negara konsumen, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). 

Untuk mengatasi semua itu agar ekspor minyak sawit Indonesia tidak terganggu, lima raksasa perusahaan sawit Indonesia, yakni Wilmar, Cargill, Asian Agri, Musim Mas, dan Golden Agri, menandatangani perjanjian The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) dengan Uni Eropa dan AS, untuk memproduksi minyak sawit berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. 

Konsekuensi perjanjian yang ditandatangani September 2014 itu, perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa membeli tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit mentah (CPO) yang tidak ramah lingkungan. Ini bisa membuat petani dan perusahaan sawit kecil gulung tikar karena tidak ada yang membeli. 

Padahal, lima raksasa sawit itu menampung 80% sampai 85% dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta petani sawit. (Kompas.com, 30/10) 

Pemerintah jelas kebakaran jenggot. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mendesak lima perusahaan itu menunda pelaksanaan IPOP. Kelima perusahaan itu harus tetap berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). 

Di bawah tekanan kemerosotan harga komoditas, khususnya CPO yang pada 2010 di atas 1.000 dolar AS/ton, kini menjadi tinggal di bawah 600 dolar AS/ton dan masih terus merosot, tentu tidak mudah bagi industri sawit untuk gonta-ganti standar kualitas produksi. Untuk itu perlu jalan keluar, bukan saja dari konflik ISPO versus IPOP, melainkan sekaligus mengatasi penurunan berlanjut harga CPO. Salah satunya, dengan pengembangan industri hilir produk-produk turunan sawit. Jalan keluar itu dibahas dalam Konferensi Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference—IPOC) di Bali pekan ini, dengan tema The fund and the future of palm oil industri. 

Jadi, masa depan industri sawit Indonesia bergantung pada masalah dana (the fund) untuk membangun industri hilir turunan produk sawit sehingga tidak lagi bergantung pada ekspor CPO semata. Dana untuk itu agaknya tidak cukup dari pungutan lucu-lucuan terhadap ekspor CPO Rp50 ribu/ton. Sebanyak 4,5 juta petani sawit dan ribuan perusahaan sawit kecil berharap hasil konferensi tersebut bisa menyelamatkan masa depan usaha mereka. ***
Selanjutnya.....

Bunga KUR Ternyata Masih Tinggi!

WAKIL Presiden M Jusuf Kalla geram menemukan bunga kredit usaha rakyat (KUR) masih tinggi, lebih tinggi ketimbang sektor korporasi. Padahal, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo telah menggelontorkan subsidi Rp1 triliun untuk menurunkan bunga KUR dari 22% menjadi 12% per tahun. 

"Apa pun biayanya pemerintah akan menurunkan bunga KUR dari 22% ke 12%. Dengan biaya apa pun harus turunkan bunga KUR," tegas JK pada pertemuan tahunan BI. (Kompas.com, 25/11) 

Menurut JK, tingginya bunga KUR merupakan ketidakadilan. Ia tegaskan, tak boleh ada lagi ketidakadilan di Indonesia. "Bunga korporasi lebih rendah, 10%, dibandingkan bunga UKM. Selama ini kita terkecoh. Harus diturunkan apa pun risikonya. Tahun depan harus 9%, apa pun risikonya," kata JK. 

JK beranggapan sebuah negara tidak ada yang mengalami masalah karena pertumbuhan yang rendah. Akan tetapi, negara akan mengalami masalah kalau ada ketidakadilan. "Jangan terjadi ketidakadilan di bangsa ini. Saya minta ini diperbaiki," tegasnya.

Jelas amat mengejutkan kalau setelah Presiden Jokowi actions menggelontorkan Rp1 triliun untuk subsidi menurunkan bunga KUR dari 22% menjadi 12%, pihak perbankan tidak merespons dengan langkah-langkah antisipatif untuk melakukan penyesuaian guna mendorong pertumbuhan yang berkeadilan. Kalangan perbankan terkesan telah menjadi instrumen mekanistik kapitalis pemburu rente. 

Tak ada semangat humanitas yang mampu menggerakkan rasa dan solidaritasnya kepada sesama, apalagi yang lemah, untuk diberi keringanan demi memajukan kesejahteraan umum. Sebaliknya, justru semangat homo homini lupus—yang kuat memangsa yang lemah—menjadikan usaha lemah sebagai mangsa empuk untuk dihisap darahnya dengan tarif rente yang tinggi. 

Ketidakadilan seperti itulah, seperti kata JK, bisa menjadi masalah pada sebuah bangsa. Apalagi kredit usaha rakyat itu secara efektif merupakan proses capital reform yang menjadi andalan dalam mengejar ketertinggalan sosial-ekonomi kelompok masyarakat bawah dan menengah-bawah, seefektif land reform yang sejauh ini masih sebatas penyedap retorika. 

Namun, perbankan memang merupakan ujung tombak industrialisasi yang menghela urbanisme sebagai fondasi alternatif kultur masyarakat patembayan di negeri-negeri yang telah berkembang. Maka itu, perlu penyesuaian pada masyarakat Indonesia yang berkultur paguyuban suka bergotong royong, setidaknya dimulai dengan menjalankan dengan sebaik-baiknya subsidi bunga KUR yang dikucurkan pemerintah. ***
Selanjutnya.....

Dua Sisi Pembusukan Politik!

MAKNA pembusukan politik (political decay) dalam pemakaiannya di media massa Indonesia bias menjadi dua, yang maksudnya sama sekali saling berbeda. 

Sisi pertama yang menjelang pemilukada serentak ini banyak dipakai, pembusukan politik berupa penyebaran isu negatif (yang membusuk-busukkan satu pasangan calon) oleh suatu pihak. Bisa jadi yang menyebar isu negatif atas pasangan calon tersebut adalah lawannya dalam pemilukada, atau simpatisan lawannya. 

Tapi, ada kalanya juga dari kalangan independen, yang benar-benar tidak memihak pada salah satu calon, tapi semata untuk menyelamatkan daerahnya agar tak jatuh ke tangan politikus yang rekam jejaknya terkenal memang busuk. 

Sisi kedua, maksud pembusukan politik seperti yang lazim dalam teori ilmu politik, yaitu gejala atau bahkan realitas yang merupakan implikasi dari praktik rumusan Lord Acton: power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Jadi, pembusukan politik merupakan kondisi ketika para aktor pada berbagai cabang kekuasaan negara telah menyalahgunakan kekuasaan, baik untuk kepentingan sendiri, kelompok, atau koalisi antarkelompok. 

Berbagai cabang kekuasaan negara pada sisi kedua ini maksudnya tentu eksekutif, legislatif, dan yudikatif (banyak hakim tertangkap tangan oleh KPK) sehingga pembusukan politik praktis mengimbas semua bidang kehidupan bangsa—ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. 

Setiap kekuasaan negara yang mengalami pembusukan tidak lagi bekerja efektif untuk kepentingan rakyat maupun kebenaran dan keadilan, tapi lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, kelompok, maupun koalisinya. 

Orientasi tersebut juga berlaku untuk membela diri dan mempertahankan kepentingan kelompok atau koalisi. Misalnya, salah satu unsur dari kelompok terlibat suatu kasus etika maupun hukum. Kelompoknya dari segala penjuru melalui segala media lantas membuat kontraisu seolah berita tentang unsurnya melanggar etika atau hukum itu hanya suatu usaha pembusukan politik dari pihak lawan. 

Dengan segala cara pula ditempuh usaha agar unsur yang tersandung kasus etika atau hukum itu lolos dari vonis yang menjeratnya sebagai pesakitan bersalah. Dengan begitu, pembusukan politik yang merusak kelembagaan negara jadi tak berfungsi efektif untuk kepentingan rakyat maupun kebenaran dan keadilan terus meruyak semakin dalam. 

Akibatnya, kelembagaan negara menjadi busuk, hanya bekerja untuk kepentingan pribadi, kelompok atau koalisi. Sedang kepentingan rakyat, ditelantarkan. ***
Selanjutnya.....

Buruh Malah Mogok Nasional!

KAUM buruh malah melancarkan aksi mogok nasional 24—27 November 2015, memprotes penetapan upah yang mengacu formula baru Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2015. 

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mogok nasional menolak PP Pengupahan itu karena melanggar konstitusi UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak hidup layak melalui instrumen kebutuhan hidup layak (KHL). PP itu menghilangkan hak berunding oleh serikat buruh sehingga melanggar konvensi ILO maupun UU No. 13/2003 dan UU No. 21/2000. (Kompas.com, 22/11) 

Mengantisipasi aksi buruh yang terus berlangsung, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengindikasikan ada penyesatan informasi di kalangan buruh yang bertujuan agar buruh mudah digerakkan turun ke jalan menolak PP Pengupahan. Seperti peran serikat pekerja dihilangkan dalam pengupahan. Itu merupakan informasi tidak benar. 

Karena, tukas Hanif, dalam PP Pengupahan keberadaan serikat pekerja justru semakin penting perannya dalam merundingkan upah layak pekerja di atas satu tahun melalui penerapan struktur dan skala upah di perusahaan. (Kompas.com, 19/11) 

Mengenai peran serikat pekerja ini tampak ada yang tidak nyambung antara tuntutan KSPI dan Menteri Hanif. Maksud KSPI, dengan sistem formula peran serikat pekerja dihilangkan dalam pengupahan pada tingkat tripartit, penetapan upah melalui kesepakatan tiga pihak (serikat buruh, wakil pengusaha, dan pemerintah) sejak survei KHL. Sedangkan bicara Menteri Hanif terkait peran serikat pekerja pada tingkat bipartit, serikat pekerja dengan manajemen dalam perusahaan. 

Sedih melihat pekerjaan sia-sia puluhan ribu buruh demo meninggalkan pekerjaan di pabrik hanya akibat salah pengertian yang sepele itu. Si menteri ngotot beretorika, si serikat buruh tak peduli betapa besar kerugian masyarakat bangsa akibat proses produksi terhenti oleh aksi mogok nasional. 

Kenapa si menteri tidak blusukan (mengikuti cara Jokowi menyelesaikan masalah) ke markas serikat pekerja menemui si presiden KSPI untuk mencocokkan maksud pembicaraan keduanya. Kalau keduanya terus berpolemik dari takhta kebesarannya, masalah tak selesai, malah bisa semakin jauh selisih pahamnya. 

Lain hal kalau masalah sebenarmya bukan kesepahaman tentang aturan terkait kesejahteraan buruh dan kepastian berusaha. Tetapi, ada motif-motif politis terselubung yang memanipulasi gerakan buruh dengan penyesatan informasi. Kalau itu masalahnya, selisih pahamnya takkan pernah selesai. ***
Selanjutnya.....

Pangsa Pasar Bank Syariah Turun!

DATA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan dalam tiga tahun terakhir pangsa pasar bank syariah turun. Tercatat pada Mei 2015 menjadi 4,57%, dibanding akhir 2014 sebesar 4,89%. 

Menurut Direktur Perbankan Syariah OJK Dhani Gunawan Idhat, OJK memandang ada beberapa persoalan yang dihadapi industri perbankan syariah nasional sehingga industri yang sebelumnya sempat meningkat kini pertumbuhannya melambat dan pangsa pasarnya menciut. (Kompas.com, 21/11) 

Penyebab pertama, belum selarasnya visi serta kurangnya koordinasi antara pemerintah dan OJK dalam perkembangan perbankan syariah. Menurut Dhani, industri perbankan syariah akan maju bila pemerintah turun tangan. "Negara-negara yang pemerintahnya mendukung perkembangan perbankan syariah, maka akan maju industri perbankan syariahnya. Malaysia, misalnya, pemerintahnya mau mendukung," ujar Dhani. 

Masalah kedua, masih banyak bank syariah yang memiliki modal belum memadai. Kurangnya modal akan menghambat bank-bank syariah dalam membuka kantor cabang, mengembangkan infrastruktur, dan pengembangan segmen layanan. 

Struktur pendanaan perbankan syariah pun kini masih dari biaya dana mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan. Hal tersebut tecermin dari komposisi cash and saving account (CASA) belum seefisien bank umum konvensional. "Produk pun tidak variatif dan pelayanan yang belum sesuai ekspektasi masyarakat. Fitur bank syariah belum selengkap produk serupa bank konvensional. Di Malaysia ada 45 ragam produk perbankan syariah, di Indonesia ada sekitar 15," ujar Dhani. Itulah duka cerita perbankan syariah di negeri umat Islam terbesar di dunia ini. 

Dengan kapasitasnya yang terbatas, perbankan syariah hanya menjadi pengekor ekonomi. Ketika ekonomi meningkat, kinerja perbankan syariah ikut meningkat. Ketika ekonomi menurun seperti tiga tahun terakhir ini, perbankan syariah pun ikut turun. Untuk mewujudkan ideal perbankan syariah sebagai generator ekonomi nasional, uluran pemerintah penting. Bukan dengan penyertaan modal negara (PMN) seperti ke BUMN. Tapi, sejenis insentif pajak dan penempatan sebagian dana APBN dan transfer ke daerah, bisa membantu dana murah bank syariah. 

Bantuan pemerintah ke perbankan syariah merupakan bantuan kepada masyarakat muslim yang mayoritas untuk lebih mudah mendapatkan jalan syariah dalam berusaha dan penghidupannya. Semakin luas layanan bisa dijangkau, akan semakin banyak warga yang mendapatkan khidmatnya. ***
Selanjutnya.....

GWM Antisipasi Kebijakan The Fed!

BI—Bank Indonesia—pekan lalu (17/11) menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer dari 8% menjadi 7,5%. Tentu itu mengantisipasi laporan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terus membaik sehingga kebijakan The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga bisa saja dilakukan Desember. 

GWM adalah simpanan wajib bank dalam rekening giro pada BI yang harus dipelihara sebesar persentase yang ditetapkan BI dari jumlah dana pihak ketiga (DPK) sebuah bank. GWM primer untuk DPK dalam rupiah. Dengan turunnya GWM, tambah besar dana bank yang bisa disalurkan untuk kredit. Tambahan dana untuk kredit dengan penurunan GWM 0,5% itu, menurut Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, sekitar Rp18 triliun (Merdeka.com, 17/11). 

Peningkatan kapasitas bank dalam memberi kredit ini merupakan upaya mendorong lebih tinggi pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai membaik kuartal III-2015. Tambahan dana ini, menurut Ferry, juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai pembiayaan proyek (detik-finance, 17/11). 

Namun, Rektor Universitas Paramadina Firmanzah memprediksi kebijakan kenaikan suku bunga The Fed akan direspons BI dengan melakukan penyesuaian suku bunga acuan. "BI rate akan disesuaikan saat The Fed menaikkan suku bunga. BI rate diprediksi akan dinaikkan untuk mencegah kepemilikan asing di instrumen investasi tidak keluar," ujar Firmanzah. Namun, kenaikan BI rate itu hanya jangka pendek. Tujuannya, agar arus modal yang keluar dari Indonesia tidak terlalu banyak (Kompas.com, 19/11). 

Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan tetap berhati-hati dalam menempuh pelonggaran kebijakan moneter karena masih tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. "Terutama karena kemungkinan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan keberagaman kebijakan moneter yang ditempuh Bank Sentral Eropa, Jepang, dan China," ujar Agus. 

Itulah alasan kenapa pelonggaran kebijakan moneter BI hanya kepada bank, sedangkan suku bunga acuan yang dipikul dunia usaha tetap. Padahal, untuk mendorong pertumbuhan, penurunan suku bunga acuan lebih efektif karena meringankan beban dunia usaha. Seperti Tiongkok, sejak November 2014 telah enam kali memangkas suku bunga acuan (terakhir jadi 4,35%) untuk menjaga pertumbuhan pada 7%. Itu pun kuartal III-2015 meleset jadi 6,9%. 

Kenapa Indonesia tak memprioritaskan peran dunia usaha untuk mendorong pertumbuhan, tapi lebih mengandalkan fiskal pemerintah yang sering bocor dan lelet penyerapannya? Kalau keduanya seiring, tentu lebih baik. ***
Selanjutnya.....

Desa, Tulangbawang Selangkah di Depan!

DALAM pembangunan desa, pekon atau kampung era dana desa ratusan juta rupiah per tahun yang dimulai 2015, kampung-kampung di Kabupaten Tulangbawang, Lampung, berada di depan. Sebab, sudah tiga tahun ini setiap kampung di kabupaten tersebut mendapat dana dari Pemkab sebesar Rp200 juta untuk program Gerakan Serentak Membangun Kampung (GSMK). 

Prioritas program GSMK untuk tahap awal membangun infrastruktur kampung, terutama jalan desa, jembatan, dan fasilitas pendukungnya. Panduan teknis proyek dan administrasi pengelolaannya dijalankan atas kerja sama Pemkab Tulangbawang dengan Universitas Lampung (Unila). 

Atas panduan Unila itu, program berjalan lancar dan selesai tepat waktu, tanpa ada kekisruhan di lapangan. Berkat tertib administrasinya, tak seorang pun kepala kampung berurusan hukum terkait pelaksanaan GSMK tiga tahun berjalan. Untuk itu, kalau desa di kabupaten lain baru akan memulai membangun infrastrukur desa serentak dengan dana desa dari pusat yang baru diterima tahun ini, mungkin akan memulainya dengan onderlaag jalan desa, kampung di Tulangbawang mayoritas sudah selesai membangun jalan desa sampai aspal siram. 

Hal pertama, perencanaan dan keputusan apa yang akan dibangun sesuai kemampuan besarnya dana yang didapat. Apa yang akan dibangun ditentukan berdasar hasil musyawarah masyarakat kampung. Kedua, dalam rapat awal itu dibentuk kelompok kerja (Pokja), sebagai pimpinan pelaksanaan proyek, dari teknis bangunannya hingga administrasi keuangan. 

Di Tulangbawang, Pokja yang dibentuk masyarakat itu bersifat independen, dalam arti tidak di bawah kekuasaan kepala desa/kampung, tapi bertanggung jawab kepada pendirinya (masyarakat) dan secara administrasi kepada Pemkab melalui camat. Kepala kampung jadi penasihat Pokmas, hubungan antarlembaga bersifat koordinasi. 

Ketiga, pelaksanaan pembangunan proyeknya dilakukan secara gotong royong oleh warga desa. Hanya pekerjaan yang perlu keahlian teknis khusus, yang tak bisa ditangani warga desa, diserahkan kepada pekerja ahlinya. 

Kekurangan dari pelaksanaan program GSMK Tulangbawang salah satunya adalah dalam dokumentasinya. Tidak ada tersimpan gambar yang komprehensif kondisi semua kampung sebelum dilaksanakannya GSMK sehingga tidak bisa menunjukkan perubahan sebelum dan setelah tahap-tahapan GSMK. Hal itu bisa dijadikan catatan bagi kabupaten lain yang baru mulai membangun infrastruktur desa secara serentak di daerahnya. ***
Selanjutnya.....

MKD, Bisanya Cuma Lapor Polisi?

MKD—Mahkamah Kehormatan Dewan—masih dalam ujian di mata rakyat, bisanya apa? Itu setelah MKD memvonis cuma pelanggaran etik ringan atas Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang dalam perjalanan dinas jabatan resminya ke Amerika Serikat menghadiri kampanye calon presiden Partai Republik Donald Trump. 

Bagi rakyat, tindakan Ketua dan Wakil Ketua DPR dalam pelaksanaan tugas jabatannya itu benar-benar merendahkan kedudukannya yang merupakan representasi kehormatan rakyat. Merendahkan kedudukannya karena nyata mencederai netralitas rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia dalam pemilihan presiden Negeri Paman Sam. Apalagi kalau disimak dari informasi lainnya, pertemuan Ketua dan Wakil Ketua DPR dengan Trump difasilitasi seorang pengusaha terkait investasi Trump di Bogor, betapa rendah kehormatan DPR diposisikan hanya sebagai kurir bisnis seseorang. 

Meski demikian, rakyat cuma bisa mengelus dada, rupanya bisanya MKD masih segitu. Lain hal tentunya pers, tak mudah menyerah dengan bisanya MKD itu. Pers berusaha agar MKD bisa lebih berbobot. Caranya dengan mengefektifkan fungsi kontrol pers ke arah MKD, salah satunya lewat investigative reporting, mendalami kasus yang ditangani MKD. Dengan pendalaman kasus lewat investigative reporting itu, pers berusaha membuat masyarakat well inform mengenai suatu kasus. 

Terkait laporan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD tentang pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres JK oleh Ketua DPR Setya Novanto untuk meminta saham Freeport, pada hari Sudirman melapor (Senin, 16/11) itu juga sudah banyak wartawan yang berhasil mendapatkan transkrip pembicaraan Setya yang diadukan mencatut itu. 

Detik-news, misalnya, telah menyiarkan transkrip tersebut dengan catatan waktu: 2015/11/16 21:40:42. Dari mana dan bagaimana cara detik-news mendapatkan transkrip itu, jadi keistimewaan investigasinya. Melalui transkrip itu masyarakat jadi tahu betapa serius pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Dan dokumen sejenis, telah pula diuji (diverifikasi) keasliannya pada Sudirman di acara Mata Najwa Metro TV malam itu. Dengan masalahnya sudah diketahui perinci oleh masyarakat, diharapkan putusan MKD bisa lebih sesuai dengan aspirasi rakyat. 

Tapi aneh, bukannya fokus ke pengaduan yang diterima agar putusannya lebih berbobot, ada oknum MKD yang mengalihkan persoalan ke bocornya transkrip ke pers, dan akan melaporkan ke Bareskrim Polri. Apakah bisanya MKD cuma lapor ke polisi? ***
Selanjutnya.....

Gaduh Politikus Kekanak-kanakan!

KEGADUHAN politik sejak konflik antarkoalisi berebut kekuasaan yang berkelanjutan dari isu ke isu, kini memuncak ke aras kekuasaan, ketua DPR dituding mencatut nama Presiden. 

Apa pun masalahnya, kegaduhan tak henti di kalangan elite politik itu di mata rakyat hanya terlihat kekanak-kanakan (childishness), baik perilaku berpolitiknya maupun sikapnya yang selalu mau benar dan menang sendiri tanpa peduli hak-hak orang lain yang seharusnya dihormati. 

Bayangkan ketika mencatut nama Presiden untuk meminta bagian saham dari Freeport, simpul hasrat yang terekam adalah untuk bisa foya-foya dengan pesawat jet pribadi. Betapa, politikus di puncak perwakilan rakyat tidak punya tenggang rasa pada rakyat yang masih hidup menderita. Lebih-lebih rakyat Papua, lokasi tambang emas Freeport, amat sengsara. 

Sikap kekanak-kanakan menyedihkan sekali, tanpa peduli pada cacat etika dan moral selaku pemimpin bangsa, gerombolannya membela habis-habisan bahwa pelanggaran etika moral oknum pemimpin itu bukan soal prinsipil, melainkan dilakukan untuk kepentingan rakyat. Lalu dengan alasan yang dicari-cari, menuding justru pihak lain yang salah. Paling menonjol dari sifat kekanak-kanakan elite politik yang ribut melulu itu adalah belum terlihatnya watak kesatria. 

Atas kesalahan atau pelanggaran kaidah-norma etika dan moral yang sudah terang benderang sekalipun, mereka tidak mau mengakui kesalahan (dan apalagi minta maaf), tapi justru mengalihkan tudingan ke pihak lain. Akibatnya, banyak elite politik harus menjalani re-education lebih lima tahun di lembaga pemasyarakatan untuk kembali belajar watak kesatria. 

Watak kesatria yang utama mau mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta mau mengakui dan menerima kekalahan. Ketiadaan watak kesatria yang kedua itulah, tidak mau mengakui dan menerima kekalahan, pangkal kegaduhan elite politik sepanjang periode ini. 

Masalahnya bukan semata PDIP yang menang pemilu tak mendapat kursi ketua DPR atau tak kebagian jabatan ketua komisi dan badan di DPR. Tapi hak partai pemenang pemilu mendapat kursi ketua DPR itu sudah menjadi kebiasaan atau konvensi dalam sistem kenegaraan kita selama ini. 

Konvensi oleh para Bapak Pendiri Republik diakui sebagai bagian dari konstitusi, tapi oleh watak kekanak-kanakan politikus kita dibuang. Padahal, Inggris yang politikusnya dewasa, sistem kenegaraannya berjalan baik dan stabil cukup dengan konvensi, tanpa konstitusi tertulis. Cuma, kapan politikus kita dewasa? ***
Selanjutnya.....

Penurunan Panjang Nilai Ekspor!

NILAI ekspor Indonesia mengalami penurunan berkepanjangan dalam lima tahun terakhir. Padahal dari segi volume, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini (16/11), ekspor nonmigas kita sebenarnya naik, seperti pada Oktober 2015 meningkat 5,34%. 

Penurunan nilai ekspor RI itu, sesuai data BPS, dari Januari—Oktober 2011 sebesar 169,03 miliar dolar AS, pada periode sama 2012 turun jadi 158,66 miliar dolar AS. Dilanjutkan pada periode sama 2013, turun lagi jadi 149,66 miliar dolar AS. Lalu pada periode sama 2014, nilai ekspornya turun lagi jadi 148,05 miliar dolar AS. Dan akhirnya penurunan paling curam terjadi Januari—Oktober 2015, yakni menjadi 127,22 miliar dolar AS. 

Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, penurunan itu sebagai dampak pelambatan ekonomi Tiongkok. Pada Januari—Oktober 2015, Tiongkok menduduki negara terbesar kedua tujuan ekspor kita dengan nilai 11,01 miliar dolar AS. Peringkat pertama AS dengan ekspor periode itu mencapai 12,83 miliar dolar AS. (Kompas.com, 16/11) 

Namun, penyebab utama terus melorotnya nilai ekspor itu lebih akibat menurunnya harga komoditas—karet, minyak sawit, batu bara, dan mineral—yang hingga kini masih berlanjut, meski volume ekspor sebenarnya naik. Dalam lima tahun terakhir, harga karet remah (crumb rubber) di sentra produksi Sumatera dan Kalimantan menurun dari kisaran 5 dolar AS per kg menjadi hanya 1,1 dolar AS per kg, bahkan di bawah 1 dolar AS. (Kompas, 16/11) 

Demikian pula harga minyak sawit mentah (CPO) sejak Agustus 2015 jatuh ke level terendah enam tahun ini, di bawah 600 dolar AS per metrik ton. (Tempo.co, 16/9) 

Celakanya, saat harga CPO jeblok, ekspornya dikenai pungutan resmi Rp50 ribu per ton, katanya untuk modal membangun industri biodiesel. Model pungutan ini jelas gaya pemalak jalanan karena kalau mau membangun industri biodiesel (sekelas solar) dan biofuel (sekelas pertamax dan avtur) BUMN perkebunan (PTPN) yang menguasai perkebunan sawit jutaan hektare bisa tinggal diperintahkan untuk membuat business plan dan menggarapnya murni secara bisnis, bukan dari sumbangan recehan itu. 

Karena, memang ke sanalah masa depan usaha perkebunan, harus melengkapi diri dengan fasilitas pengolahan meningkatkan nilai tambah produksinya hingga industri terhilir. 

Meningkatkan nilai tambah komoditas dengan industri pengolahan sampai ke produk terhilir, itulah jawaban menghentikan penurunan nilai ekspor padahal volumenya naik. ***
Selanjutnya.....

Neraca Surplus, Nilai Mengecil!

BPS—Badan Pusat Statistik—melaporkan neraca perdagangan Oktober 2015 surplus 1,01 miliar dolar AS. Namun, menurut Kepala BPS Suryamin, nilai ekspor migas dan nonmigas Indonesia turun 4 persen dibanding September 2015, dan mengecil 20,98 persen dibanding Oktober 2014. 

Sementara itu, lanjut Suryamin, nilai impor migas dan nonmigas Indonesia turun 4,27 persen dari bulan sebelumnya, serta mengecil 27,81 persen dibanding Oktober 2014. (Kompas.siang, 16/11)

Kalau dalam setahun ekspor dan impor mengecil seperlima bagian begitu, dalam lima tahun urusan ekspor dan impor selesai. Nilai ekspor turun, menurut Suryamin, karena permintaan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia masih lemah. Sedangkan nilai impor turun akibat pelaku usaha masih menekan pengeluaran mereka karena dolar masih tinggi. 

Alasan penurunan nilai ekspor dan impor yang dikatakan Suryamin itu masuk akal. Tapi ada juga yang di luar akal sehat menjadi penyebab, yakni regulasi birokratisme, yang sedang serius dibenahi pemerintahan Jokowi-JK dengan deregulasi dan debirokratisasi yang sejauh ini telah merilis enam paket kebijakan. 

Birokratisme tergolong di luar akal sehat karena selalu membuat justifikasi sendiri untuk regulasi atau hambatan yang sebenarnya melawan akal sehat. Misalnya dengan alasan untuk membantu produsen dalam negeri dan menekan defisit neraca pembayaran, impor tertentu dipersulit atau dihambat baik dengan regulasi maupun proses administrasinya. Padahal di balik itu, impor yang dipersulit masuknya itu bahan baku/penolong yang pada Januari—Oktober 2015 turun 21,48 persen dibanding periode sama 2014, serta barang modal yang dalam periode sama turun 17,68 persen. 

Bahan baku/penolong dan barang modal itu kebutuhan produsen dalam negeri yang menggerakkan ekonomi riil, baik untuk reekspor maupun pasar domestik. Dengan impornya terhambat, kegiatan industri dan pasarnya menurun, akibatnya ekonomi ikut melambat. 

Realitas itu dibaca dengan tepat oleh Jokowi-JK sehingga bertubi-tubi mengeluarkan serangkai paket kebijakan untuk mengatasinya. Termasuk turun langsung ke pelabuhan membongkar hambatan administratif dan fisik yang bahkan dilakukan terang-terangan, hingga antrean kapal untuk mendapat sandaran (dwelling time) sampai delapan hari. 

Tapi, karena regulasi dan hambatan yang menjadikan proses administrasi bertele-tele itu membuahkan kenikmatan bagi pelaku praktik birokratisme, paket-paket kebijakan Jokowi-JK pun masih diuji kemujarabannya. ***
Selanjutnya.....

Setelah Teroris Menyerang Paris!

SETELAH teroris menyerang Paris, disusul klaim Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) bertanggung jawab atas serangan tersebut, maka seiring dukacita kepada para korban teroris itu layak dikhawatirkan nasib buruk yang berlarut umat muslim di Prancis serta Eropa maupun Amerika umumnya. 

Di Kota Paris terdapat lebih 1 juta jiwa warga muslim, dari lebih 5 juta jiwa warga Prancis yang muslim. Prancis memang tempat komunitas muslim terbesar si Eropa sehingga dengan teror ISIS itu warga muslim negeri tersebut yang bakal menanggung tekanan mental menerima pandangan sinis, dicurigai warga lain di negerinya, bahkan diskriminasi dari pemerintah. 

Karena itu jelas, serangan ISIS ke Paris itu hanya menyengsarakan umat Islam di negeri yang diserangnya itu. Akibatnya, mayoritas muslim di Eropa bisa semakin membenci ISIS. Akan lebih buruk lagi nasib para pengungsi asal Suriah yang tersebar di banyak negara Eropa, selain hambatan masuk dan kecurigaan lebih besar akan mereka alami, diskriminasi dan pembatasan bantuan pun akan semakin berat menimpa mereka. 

Lebih lagi karena salah seorang pelaku teror bom yang meledak di stadion pada menit ke-17 pertandingan Prancis lawan Jerman itu dari identifikasi mayatnya diduga masuk Prancis menyusup dalam kelompok pengungsi. Serangkaian serangan teroris di Paris Jumat (13/11) malam dilakukan serempak di gedung konser, stadion, restoran, dan tempat-tempat minum, menewaskan 129 orang dan 352 lainnya terluka. 

Tujuh orang pelaku tewas dengan bom bunuh diri di rompinya maupun oleh tembakan polisi. Tiga pelaku lainnya ditangkap setelah kabur ke Brussel, Belgia, 4 jam perjalanan darat dari Paris. Korban tewas terbanyak di gedung konser. Saat pertunjukan berlangsung, empat pria berpakaian hitam masuk dengan senjata AK 47 menaburkan peluru ke arah penonton. 

Menurut Pierce, reporter radio, saksi mata yang lolos dari maut, setiap teroris mengisi senjata tiga sampai empat kali. (Kompas.com, 14/11) 

Sampai lolosnya serangan teroris yang masif di Paris sebetulnya aneh. Sebab, sepanjang 2015 ini serangan teroris beruntun di negeri itu. Sejak serangan dua pria bersenjata AK-47 ke kantor tabloid Charlie Hebdo (7 Januari), 12 orang tewas. 

Dua hari kemudian seorang pria bersenjata menyerang supermarket Yahudi, 4 orang tewas. Dan enam kejadian lainnya seperti dicatat detik-news (15/11). Tapi Prancis kebobolan juga, malah dengan jumlah teroris dan senjata lebih banyak. ***
Selanjutnya.....

Jurnalisme Versus Terorisme!

TAK mudah bagi media massa untuk melakukan kontrapropaganda terhadap penyebaran radikalisme dan terorisme di dunia maya. Pasalnya, penyebaran paham radikalisme dan terorisme di dunia maya sering mengeksploitasi isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), sedangkan media massa standar umumnya tabu bermain dengan isu SARA sehingga selalu berusaha menjauhinya. 
 
Untuk itu, media tak melakukan secara head to head kontraisunya, tapi mengangkat pokok masalahnya dalam diskursus yang bersifat positif bagi pengembangan dan pendewasaan wawasan publik terkait topik isunya. Tepatnya, menyulut dan meningkatkan aura (energi) wawasan positif untuk menekan dan mengeliminasi aura wawasan negatif.
 

Dari pengalaman mengelola pemberitaan konflik SARA yang kadang kala meletus di Lampung, sikap proaktif media massa menghimpun materi berita, tulisan, dan gambar yang bermuatan aura positif bisa amat cepat mengarahkan dan membentuk pandangan masyarakat luas untuk menilai negatif dan menolak radikalisme. 

Bahkan, lebih jauh dari itu, para pelaku yang terlibat tindakan radikalisme itu sendiri bisa dibuat menjadi sadar dan mengakui perbuatannya tidak pada tempatnya serta menyesalinya, sehingga mereka merespons upaya penyelesaian lewat jalan damai dan menghindari kekerasan berulang. 

Hal itu terjadi, tanpa kecuali, ketika isu-isu miring atas peristiwa letusan konflik SARA itu masih marak di dunia maya. Tradisi media massa standar menjauhi isu SARA itu memengaruhi warga yang rasional untuk juga menjadi alergi terhadap isu-isu SARA, termasuk isu SARA yang disebarkan di dunia maya. 

Tidak nyambungnya jurnalisme dengan terorisme itu tak terlepas dari pandangan filosofis bahwa naluri manusia merupakan jembatan antara yang insani dan yang hewani. Dilihat dari tindakannya, atau dilihat dari perbuatannya, jurnalisme mengemban semangat insani yang rasional dan konstruktif, sedangkan terorisme di sisi naluri hewani yang irasional, buas/liar, dan destruktif. Tegak di atas prinsip itu, jurnalisme selalu memilih jalan persuasif edukatif dalam menjalankan kontraisu terhadap terorisme yang dikenali sebagai crimes against humanity and conscience, kejahatan terhadap kemanusiaan dan nurani. 

Maksudnya, sembari mendorong penegakan hukum memutus mata rantai kekerasan, melalui penyajian buruknya terorisme menghancurkan umat manusia dari fisik hingga nuraninya, jurnalisme menanamkan nurani humanistik yang menjauhkan masyarakat dari paham dan semangat terorisme. ***
Selanjutnya.....

Deregulasi Terganjal Birokrasi!

PEMERINTAH sudah menerbitkan enam paket kebijakan ekonomi sejak September lalu. Sampai hari ini masih banyak kebijakan yang belum efektif karena aturan yang belum tuntas. Hal itu disebabkan birokrasi yang selama ini merasa mapan enggan terganggu. (Kompas, 11/11) Paket kebijakan itu antara lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, birokrasi berusaha mempertahankan sumber daya ekonomi yang selama ini dinikmati secara pribadi maupun kelompok. 

Keluhan hambatan birokrasi terhadap pelaksanaan program-program pemerintah yang bersifat debirokratisasi, sudah terdengar sejak zaman kepresidenan Megawati. Bahkan, keluhan itu datang dari sang Presiden sendiri. Keluhan dimaksud, terutama atas program yang memang bertujuan mengurangi campur tangan birokrat, seperti deregulasi yang mencabut penanganan kegiatan tertentu dari kewenangan operasional birokrat. 

Pada era kepresidenan SBY, hambatan birokrasi itu kurang terasa karena yang dijalankan kebanyakan justru kebijakan yang regulatif—memberdayakan birokrasi sebagai aparatur pemerintah. Di daerah-daerah bahkan ditandai dengan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) yang masif. Dalam satu dekade itu, pertambahan jumlah PNS di daerah mungkin hingga berlipat dua. Itu terjadi karena rekrutmen PNS di daerah membawa benefit kepada elite pemerintahan daerah di era demokrasi pemilihan kepala daerah langsung. 

Oleh sebab itu, kalau penelusuran Kompas menemukan ganjalan birokrasi atas enam paket kebijakan pemerintahan Jokowi-JK, cukup masuk akal karena birokrasi pemerintah masih dalam semangat regulatif dan birokratis yang telah melembaga satu dekade. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dicanangkan dalam paket kebijakan Jokowi-JK itu jelas tidak senapas dengan tradisi birokratisme, yang telah mapan dan terlembaga dengan semangat birokrasi sebagai aparatur pemerintah yang berhak dan wajib menangani (langsung) pelaksanaan tugas pemerintahan. 

Oleh karena itu, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi cenderung bersifat liberatif, bersemangatkan laisez faire, dengan semboyan ketika birokrasi aparatur pemerintah tidur, ekonomi berjalan dan tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu, dalam deregulasi dan debirokratisasi pelaksanaan kewenangan dan tugas pemerintahan untuk mengatur ekonomi dicabut dan diseterilkan dari tangan birokrat. 

Jadi, untuk pelaksanaan paket deregulasi itu perlu program khusus pelembagaan budaya laisez faire, tempat para birokrat dilatih (paksa) untuk lebih banyak tidur! ***
Selanjutnya.....

Selamat Datang Beras Impor!

MESKI adanya beras impor dibantah dengan bersitegang urat leher dalam acara formal oleh sejumlah pejabat yang bertanggung jawab untuk swasembada pangan, akhirnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui beras impor asal Vietnam sudah masuk ke Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Selamat datang beras impor! 

"Sudah (beras impor masuk). Ada di banyak pelabuhan, bukan hanya Jakarta," ujar Wakil Presiden. (Antara, 11/11) 

Menurut Kalla, pelaksanaan impor beras dilakukan untuk memenuhi persediaan stok beras di beberapa daerah. Akibat El Nino, panen mundur karena kekeringan. Pemerintah memutuskan untuk kembali mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. "Mau tidak mau, kalau kita tidak mau krisis pangan, kita impor beras. Kita tidak boleh gambling (spekulasi) dengan stok beras," kata Kalla. (Kompas.com, 24/9) 

Bantahan para pejabat itu diberikan atas berita media mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa dari Januari—Agustus sudah masuk beras impor ke Indonesia sebanyak 225.029 ton. Itu termasuk daftar impor pangan dalam periode tersebut, yakni jagung 2,3 juta ton, kedelai 1,52 juta ton, biji gandum dan meslin 4,5 juta ton, gula tebu 1,98 juta ton, dan garam 1,04 juta ton. (detik-finance, 25/9) 

Dengan jumlah impor semua jenis bahan pangan berbilang jutaan ton dalam delapan bulan pertama 2015, di balik klaim verbal para pejabat Indonesia sudah berhasil mencapai swasembada pangan, pantas jika menjadi perhatian dan berita media massa. Itu sesuai tradisi dunia jurnalistik, pers amat peka terhadap ancaman bahaya kelaparan, yang justru sering terjadi di balik klaim sukses penguasa atas program swasembada pangan. 

Tradisi pers itu diungkap Amartya Sen dalam hasil penelitiannya yang memenangkan Nobel Bidang Ekonomi 1998. Penelitian itu menemukan dalam medio awal 1940-an, di daerah-daerah yang punya pers kritis wilayahnya bebas dari bahaya kelaparan. Bagi pers, keselamatan rakyat dari ancaman bahaya kelaparan jauh lebih penting dari klaim sukses swasembada pangan yang hanya memperbodoh rakyat demi gengsi atau citra penguasa. 

Seperti impor beras, kalau akibat kekeringan panjang hasil panen tahunan berkurang sehingga perlu menambah cadangan agar jauh dari ancaman bahaya kelaparan, kenapa harus disangkal? Rakyat justru tak bersimpati pada penguasa yang lebih rela mengorbankan rakyatnya kelaparan karena demi gengsinya menolak untuk impor beras. ***
Selanjutnya.....

Mafia Migas Keruk Rp250 Triliun!

HASIL audit forensik terhadap Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) menyebutkan terjadi anomali dalam pengadaan minyak pada 2012—2014. Berdasarkan temuan lembaga auditor Kordha Mentha, jaringan minyak dan gas (migas) telah menguasai kontrak suplai minyak senilai 18 miliar dolar AS atau sekitar Rp250 triliun selama tiga tahun. (Koran Tempo, 11/11) 

Beberapa perusahaan pemasok minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) ke Pertamina melalui Petral, menurut Menteri ESDM Sudirman Said, setelah diedit ternyata semuanya berafiliasi pada satu badan yang sama. Badan itu menguasai kontrak 6 miliar dolar AS per tahun atau sekitar 15% dari rata-rata impor minyak tahunan senilai 40 miliar dolar AS. Jaringan mafia migas tersebut punya pembocor informasi dalam tubuh Petral. 

Menurut Dirut Pertamina Dwi Sutjipto, kebocoran informasi rahasia dan intervensi pihak eksternal ini memengaruhi pengembangan bisnis, mitra secara tidak langsung, dan proses negosiasi oleh Petral. Juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, juga mengonfirmasi adanya penguasaan kontrak oleh jaringan tertentu itu menambah panjang rantai suplai sehingga harga beli minyak kurang kompetitif. 

Demikianlah cerita miris yang mengoyak rasa keadilan rakyat tentang Petral, anak perusahaan Pertamina di Singapura. Sesuai rekomendasi tim antimafia migas yang dipimpin Faisal Basri, Petral yang fungsinya melakukan pembelian minyak di luar negeri untuk Pertamina itu telah dibubarkan. 

Ternyata, selain keberadaan dan kerjanya tidak efisien, hasil audit itu menunjukkan Petral juga menjadi sarang penyimpangan. Jelas merupakan keharusan bagi pemerintah, dalam hal ini kementerian ESDM, untuk menindaklanjuti temuan audit forensik itu ke proses hukum. Betapa dalam periode itu, 2012—2014, keuangan negara terkuras untuk belanja migas sehingga pembanginan infrastruktur dibengkalaikan, mengakibatkan kehidupan rakyat secara umum tambah susah. 

Di balik penderitaan rakyat itu, rupanya ada jaringan mafia yang pesta pora dengan uang pembelian minyak mentah dan BBM. Proses hukum tersebut diharapkan bisa disegerakan karena selain rakyat sudah tak sabar ingin tahu siapa saja jaringan mafia migas yang masih dirahasiakan itu, juga agar aparat hukum cepat mencekal orang-orangnya supaya tidak keburu kabur ke luar negeri. 

Jadi jangan sampai ada kongkalikong, secara hukum diproses tapi orang-orangnya diberi kesempatan untuk kabur lebih dahulu. ***
Selanjutnya.....

Plt Kepala Daerah Dilarang Mutasi!

MEREBAKNYA mutasi pegawai oleh penjabat atau pelaksana tugas (plt) kepala daerah menimbulkan pro-kontra. Untuk itu, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana menegaskan penjabat atau plt kepala daerah dilarang memutasi pegawai. 

Itu ditegaskan Kepala BKN lewat Surat Edaran Nomor K.26-30/V.100-2/99 tentang Penjelasan atas Kewenangan Penjabat Kepala Daerah di Bidang Kepegawaian, ditandatangani 19 Oktober 2015, dikutip detik-news, Senin (9/11). 

Penjabat kepala daerah, kata SE, yakni pelaksana tugas kepala daerah yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah. 

Menurut SE itu, penjabat kepala daerah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan mutasi pegawai yang berupa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam/dari jabatan aparatur sipil negara (ASN), menetapkan keputusan hukuman disiplin yang berupa pembebasan dari jabatan atau pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil, kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis Mendagri. 

Kepala BKN juga melarang penjabat kepala daerah membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya. Serta berbagai larangan tindakan lainnya yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya. Semua larangan itu bisa dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri. 

Dengan SE itu, jelas kewenangan penjabat atau plt kepala daerah. Meskipun demikian, untuk mutasi pegawai yang dilakukan plt kepala daerah sebelum keluarnya SE bisa dianggap telanjur dan tak bisa dipersalahkan karena pemberitahuan mengenai ketentuannya baru datang belakangan. 

Terpenting untuk selanjutnya, para plt kepala daerah menjalankan pemerintahan daerahnya sesuai dengan ketentuan dan garis kebijakan yang telah ada, terutama yang secara politik merupakan komitmen pejabat sebelumnya dengan legislatif. 

Dengan taat pada ketentuan yang ada, kontinuitas pemerintahan akan berjalan baik sampai nantinya dilanjutkan oleh kepala daerah terpilih untuk periode berikutnya. Itu karena penjabat atau plt kepala daerah hanya mengisi sementara kekosongan pejabat, bukan kesempatan untuk “mumpung”! ***
Selanjutnya.....

PLN Memilah Pelanggan Bersubsidi!

SUBSIDI untuk listrik pada APBN 2016 dipangkas jadi Rp38,39 triliun, dari sebelumnya Rp66,15 triliun. Untuk itu, sebelum tagihan rekening 2016 berlaku, PLN harus selesai memilah pelanggan mampu yang memakai listrik 450 volt ampere (va) atau 900 va untuk dihentikan subsidinya. 

Menurut data PLN per September 2015, ada 45,36 juta rumah tangga pelanggan 450 va dan 900 va. Golongan 450 va sebanyak 22,9 juta, sedangkan 900 va 22,47 juta. Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah penduduk miskin dan rentan miskin berjumlah 24,7 juta rumah tangga. Berarti ada 20,6 juta rumah tangga yang sebenarnya mampu ikut menikmati subsidi listrik 450 va dengan tarif Rp415,50 per kWh atau 900 va dengan tarif Rp586,23 per kWh. (Kompas.com, 25/10) 

Jelas tak mudah bagi PLN memilah 20,6 juta pelanggan dan menaikkan dayanya menjadi 1.300 va dengan tarif Rp1.347,72 per kWh. Artinya, yang semula 450 va tagihannya akan naik tiga kali lipat, sedang yang 900 va naik dua kali lipat. 

Sebenarnya waktunya terlalu singkat untuk memilah 20 juta lebih pelanggan sekalian meningkatkan dayanya menjadi 1.300 va atau lebih. Dengan waktu satu setengah bulan bahkan tak cukup untuk mengidentifikasi pelanggan yang harus dipilah dan ditingkatkan dayanya. Tapi semua harus dijalankan sesuai jadwal, karena APBN 2016 yang disahkan 30 Oktober 2015 itu sudah menetapkan besarnya subsidi yang tak bisa ditawar lagi. 

Padahal, untuk kesiapan pelanggan mengikuti program kenaikan golongan tarif itu perlu sosialisasi, baik lewat media massa maupun tatap muka. Tak mudah membuat orang yang sudah biasa menikmati subsidi mau menerima penghentiannya, apalagi kemudian harus membayar dua atau tiga kali lipat. 

Perlu memberi kriteria yang jelas dan mudah dipahami kenapa status langganan dan daya listriknya harus ditingkatkan. Sosialisasi perubahan itu juga relevan sekalian untuk meningkatkan keamanan pengguna listrik, karena belakangan ini kebakaran akibat tegangan pendek makin kerap terjadi. Apalagi dalam program ini ada peningkatan daya dari 450 va dan 900 va ke 1.300 va atau lebih, padahal kebanyakan jaringan kabel listriknya sudah tua. 

Kalau jaringan kabelnya tak diperbarui sesuai tegangan lebih tinggi yang baru dipasang, ancaman tegangan pendek kian masif. Tapi kalau identifikasinya tepat, warga mampu yang ditingkatkan daya dan golongannya akan menyambut baik, sekalian untuk memperbarui jaringan kabel demi mengurangi ancaman tegangan pendek. ***
Selanjutnya.....

Kausalitas Realisasi Pajak Rendah!

DARI target penerimaan pajak APBNP 2015 sebesar Rp1.489,3 triliun, hingga awal November 2015, menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp766 triliun (Antara, 7/11). 

Dibanding ke target, realisasi penerimaan selama 10 bulan itu bisa disebut rendah. Namun, itu terjadi sebagai kausalitas, ujung dari proses sebab-akibat yang berantai! Kausalitas itu berawal dari rendahnya penyerapan APBN oleh instansi pemerintah, mengakibatkan dorongan fiskal ke pasar rendah. Ini menyebabkan kegiatan di pasar ikut lesu, realisasi bisnis (transaksi barang dan jasa) menurun, mengakibatkan pajak penjualan, pajak pertambahan nilai, dan nantinya pajak penghasilan juga turun. Oleh karena itu, dalam dua bulan terakhir, kata Bambang, pemerintah berusaha menggenjot penerimaan pajak dengan kolektivitas pajak rutin. 

Selain itu, ada extra-effort, ditargetkan dapat mengumpulkan minimal Rp50 triliun. Perincian extra-effort itu, dari reinventing policy minimal Rp30 triliun, reevaluasi aset minimum Rp10 triliun, penagihan pemeriksaan Rp5 triliun, dan ekstensifikasi Rp5 triliun. 

Untuk menutupi kekurangan dari target penerimaan pajak dan bukan pajak pada APBNP 2015 sebesar Rp1.924 triliun, menurut Bambang, pemerintah juga mempersiapkan pinjaman multilateral, sekaligus untuk menutupi defisit di akhir tahun. Kekurangan penerimaan pajak dijaga tidak melebihi Rp160 triliun, untuk menjaga defisit APBN tidak lebih 2,5% dari PDB. Tingkat defisit tersebut bisa terjaga dengan realisasi belanja APBNP akhir Oktober mencapai 71% atau Rp1.408 triliun, dengan realisasi penerimaan (pajak dan bukan pajak) Rp1.109 triliun. 

 Risiko defisit dari anggaran daerah tidak membebani defisit secara keseluruhan. Sebab, selama ini dana belanja daerah justru kerap tidak optimal terserap. Realisasi belanja daerah akhir September 2015 baru 54%. 

Untuk memulihkan kondisi dunia usaha setelah terimbas pelemahan ekonomi akibat rendahnya penyerapan APBN, tidak cukup hanya dengan penormalan kembali saluran fiskal. 

Dunia usaha yang sempat terduduk hingga sumbangannya ke pajak turun itu, butuh asupan ekstra untuk bangkit kembali. Kalau di negara maju, untuk meringankan beban pengusaha dari tekanan yang multikompleks dilakukan dengan memangkas suku bunga. Dengan itu, beban pengusaha diringankan dan jadi trengginas. 

Namun, tentu beda di negeri terbelakang, seperti Indonesia, yang memperlakukan pengusaha sebagai sapi perah dari aneka dimensi. ***
Selanjutnya.....

Penguasa Gembira Rakyatnya Sengsara!

DI dunia ini ada kalanya penguasa gembira ketika rakyatnya sengsara. Itu terjadi saat pemerintah dan bank sentral gembira terjadi deflasi berturut bulan ke bulan sehingga target inflasi yang rendah tercapai, padahal di sisi lain deflasi beruntun itu akibat daya beli rakyatnya merosot hingga banyak yang sengsara karena konsumsinya tak tercukupi. 

Kemungkinan itu mengingatkan agar penguasa mawas diri, tidak salah tingkah ketika terjadi depresi berturut seperti pada 2015 ini, September 0,06% dan Oktober 0,08%. Lebih lagi ketika Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada kuartal III 2015 menyumbang 54,98% pada produk domestik bruto (PDB). 

Pelambatan pertumbuhan itu dari 5,08% pada kuartal III 2014, menjadi 4,96% pada kuartal III 2015. (Kompas, 6/11) Tampaknya persentase pelemahan itu kecil, hanya 0,12%. Tapi realitasnya, dalam periode itu banyak orang terperosok ke jurang bawah garis kemiskinan. Itu dialami 860 ribu orang dari September 2014 sampai Maret 2015. Atau dari Agustus 2014 sampai Agustus 2015, sebanyak 330 ribu orang jadi penganggur. Masih ditunggu pengumuman BPS, berapa pula tambahan orang masuk jurang kemiskinan periode Maret 2015 ke September 2015. 

Di lapangan, deflasi itu membuat kehidupan rakyat lapisan bawah tambah susah bisa dilihat di pasar-pasar tradisional. Mayoritas pedagang kebutuhan sehari-hari omzetnya merosot sampai 30% atau lebih dibanding tahun lalu. 

Apalagi pedagang daging sapi, merosotnya ada yang sampai 50%, karena mayoritas rakyat tak mampu lagi membeli daging sapi. Untuk itu, sembari bergembira target inflasi tercapai, penguasa layak berusaha untuk meningkatkan kembali daya beli rakyat, terutama mereka yang daya belinya sudah kandas. 

Di negara kesejahteraan (welfare state), orang yang baru menjadi penganggur mendaftar untuk mendapat tunjangan jaminan sosial bagi penganggur. Tunjangannya kecil, di Amerika cuma sekitar 600 dolar AS per bulan untuk yang berkeluarga, sampai orangnya mendapat pekerjaan kembali. 

Tapi, karena di Indonesia belum ada aturan seperti di negara kesejahteraan itu, bantuan langsung tunai (apa pun namanya) pantas diberikan pemerintah kepada mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Jumlahnya kalau bisa, menambal jarak kekurangan antara kemampuan konsumsinya yang nyata dan angka garis kemiskinan. Dengan begitu, programnya sekaligus mengentaskan mereka dari bawah garis kemiskinan. ***
Selanjutnya.....

Penganggur Lampung Naik Drastis!

MESKI pertumbuhan ekonomi Lampung kuartal III 2015 mencapai 5,18% lebih baik dari nasional 4,73%, naiknya angka pengangguran terbuka di Lampung secara absolut cukup drastis, yakni dari 110 ribu orang tambahan pengangguran nasional periode Februari 2015—Agustus 2015 (Kompas.com, 5/11), sebanyak 57.300 orang berada di Lampung. (Lampost, 6/11) 

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung Adhi Wiriana, kenaikan drastis tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Lampung itu karena kembalinya tenaga kerja luar negeri. Ini karena pelambatan ekonomi global mengimbas negara tempat mereka bekerja. 

Juga, perindustrian nasional yang menurun, ditandai dengan turunnya harga komoditas perkebunan, banyak terjadi PHK, mereka pulang ke Lampung jadi penganggur. Terakhir, adanya dampak El Nino membuat pekerja di sektor pertanian menganggur karena tidak ada pekerjaan. 

Tumpasnya pekerjaan di sektor pertanian ini, hingga penganggurnya malah eksodus ke kota mencari pekerjaan, membengkakkan pengangguran di perkotaan menjadi 7,82% dari penduduk dibanding total pengangguran 5,14%. Sektor pertanian lazimnya menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang terpental dari sektor industri dan jasa yang lebih modern. 

Karena itu, ketika lapangan kerja di sektor pertanian tumpas dan malah melimpah ke sektor modern yang juga sedang mengalami pelambatan, keranjang sortir menjadi penuh. Untuk itu, meski terhibur TPT Lampung yang 5,14% di bawah TPT nasional 6,18%, tajamnya peningkatan dari 3,44% menjadi 5,14% menuntut usaha ekstra, selain untuk menahan keberlanjutan peningkatannya, juga untuk mengatasi agar kembali seperti sediakala. 

Langkah ideal untuk mengatasi ledakan pengangguran tentu seperti yang dilakukan Presiden Franklin D Roosevelt pada depresi ekonomi dunia pada 1930-an, mengerahkan para penganggur bekerja di proyek padat karya bidang pekerjaan umum. 

Tapi, untuk program sebesar itu mungkin hanya bisa dilakukan Pemerintah Pusat karena butuh dana besar. Sedang untuk daerah, mungkin mengusahakan proyek swakelola digarap secara padat karya. Di Tiongkok, kondisi itu diatasi dengan proyek “banyak akal”, seperti mengecat garis marka jalan dengan kuas berukuran kecil agar lebih banyak orang bisa dipekerjakan. Tapi mereka yang masuk “keranjang sortir” itu diberi latihan keterampilan tertentu, kemudian disalurkan ke lowongan bermasa depan lebih baik. 

Untuk kita, cari yang paling mungkin dilakukan. Bukan mendiamkan masalahnya, hingga malah kian memburuk. ***
Selanjutnya.....

Jokowi Tambah 1.060 Km Jalan Tol!

SELAMA pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) hingga 2019 Indonesia akan menambah jalan tol sepanjang 1.060 kilometer (km). Itu 220 km lebih panjang dari pencapaian infrastruktur di Tanah Air selama 40 tahun sampai 2014, yang telah membangun jalan tol sepanjang 840 km. 

"Pembangunan infrastruktur jalan tol tersebut berbarengan dengan jalan nasional sepanjang 2.600 km, dan jalan tol trans-Jawa," ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. (Kompas.com, 4/11) 

Menurut Basuki, digenjotnya pembangunan infrastruktur ini karena Indonesia merupakan negara dengan potensi sumber daya alam terbesar di Asia Tenggara. Jika kondisi infrastruktur memadai, pertumbuhan ekonomi akan ikut bergerak ke tingkat yang lebih tinggi. "Selama ini kondisi infrastruktur tidak memadai. Padahal Indonesia punya peluang besar," tegas Basuki. Pernyataan Basuki bahwa infrastruktur termasuk jalan tol mendorong pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan Tiongkok. 

Setelah membangun 60 ribu km jalan tol, ekonomi negeri berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu tumbuh double digit (di atas 10%) per tahun selama dekade lalu. Bahkan, ketika dunia tenggelam krisis sejak buble economy AS meletus hingga krisis Eropa, Tiongkok tetap tumbuh 7%. 

Ironisnya, Pemerintah Indonesia sebelumnya cenderung menelantarkan infrastruktur justru guna mengalihkan dananya mendorong pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi. Karena itu, program konsumtif semakin menonjol, hingga pada 2014 konsumsi mendominasi produk domestik bruto (PDB) Indonesia 63%, sedang produksi dan investasi hanya sisanya. Pemerintahan Jokowi-JK “kembali ke jalan yang benar” dengan berusaha membuat keseimbangan basis pertumbuhan antara produksi dan konsumsi, didukung investasi. Untuk itu, infrastruktur yang sempat ditelantarkan hingga hancur di banyak daerah kembali dibangun. 

Seiring itu, membangun ruas baru untuk membuka isolasi yang dialami warganya sejak bumi terbentang. Salah satu ruas baru untuk membuka isolasi, menurut Basuki, pembangunan trans-Papua dikerjakan sepanjang 4.000 km sampai dengan 2018. 

Sedang perbatasan di Kalimantan sepanjang 1.672 km yang menghubungkan Aru di Kalimantan Barat sampai Long Midang di Kalimantan Utara ditargetkan selesai 2018. 

Semua itu Jokowi lakukan dengan serius, seperti pembangunan jalan tol trans-Sumatera, hari ini dia tinjau ke Lampung untuk ketiga kalinya sejak groundbreaking 30 April 2015. ***
Selanjutnya.....

TPP, Fenomena Sandwich Club!

DALAM pertemuan dengan Obama akhir Oktober lalu, Presiden Jokowi menyatakan Indonesia ingin ikut dalam perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP) yang digagas AS. 

TPP kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi mewakili 40% kekuatan ekonomi dunia, pada 5 Oktober 2015 telah menyatukan 12 negara, yakni AS, Australia, Brunei, Cile, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam. 
 
Kalau keinginan Jokowi itu terkabul, Indonesia akan masuk fenomena sandwich club—roti lapis beraneka isi—terikat dalam berlapis-lapis perjanjian perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi. Mulai 1 Januari 2016 era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Lalu, ada lapisan kerja sama World Trade Organization (WTO), juga ada lapisan kerja sama ekonomi Asia-Pasifik (APEC). 

Selain itu, Indonesia penggagas Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEF) yang didukung para anggotanya, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Jepang. (detik-news, 4/11) 

Lalu di atasnya ada lapisan TPP. Jadi, tumpang tindih kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi yang diikuti Indonesia sudah tebal. Akibatnya, seperti sandwich club yang terlalu tebal, bukaan mulut tak muat lagi untuk melahapnya. 

Padahal, kesiapan untuk MEA dua bulan lagi terlihat masih gamang. Sertifikasi tenaga kerja profesional banyak yang belum memadai, dari arsitek sampai pekerja ahli teknik sipil, bidang pendidikan dan kesehatan, sampai teknisi berbagai bidang pekerjaan. Padahal, untuk mengisi lowongan di kawasan ASEAN, sertifikat ahli di bidangnya jadi syarat untuk merekrutnya. Akibatnya, bukan dari negara kita yang penganggurannya bejibun merambah keluar, malah negeri kita yang dibanjiri tenaga kerja asing. 

Persaingan kualitas SDM itu sejajar dengan persaingan produktivitas dan produksinya. Itu baru MEA, belum lapisan-lapisan berikutnya yang makin luas area kerja samanya semakin tinggi tingkat persaingannya. Untuk barang dan jasa, itu berarti persaingan kualitas dan harga. 

Dalam perdagangan bebas (bertahap tarif bea masuk turun sampai nol), konsumen yang diuntungkan karena bisa mendapat barang berkualitas lebih baik dengan harga lebih murah. Namun, industri dalam negeri masih gamang menghadapi MEA sehingga sejak dini dipasang hambatan nontarif—setiap barang yang beredar di pasar Indonesia harus pakai logo standar nasional Indonesia (SNI). 

Nah, meski barang MEA kualitasnya lebih baik dan lebih murah tapi tak berlogo SNI, jadi tak bisa masuk! ***
Selanjutnya.....

Konflik Xenophobia Vs Xenolatri!

DI Metro TV, Senin (2/11) petang, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bicara banyak tentang Peraturan Menteri Perdagangan yang mempermudah izin impor produk tertentu, termasuk hasil laut dari salmon, makarel, tuna sampai ikan teri, hingga mengancam industri dalam negeri.

Peraturan Menteri Perdagangan dimaksud No. 87 Tahun 2015, ditunda pelaksanaannya dari seharusnya berlaku 1 November 2015 jadi 1 Januari 2016. Keluhan Menteri Susi itu senada dengan protes para pengusaha, terutama kalangan importir. Aturan yang merupakan bagian dari deregulasi itu dianggap blunder karena awalnya ingin mempermudah perizinan dan investasi dunia usaha, tetapi mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. 

Sebelumnya importir produk tertentu harus memiliki izin importir tertentu (IT), antara lain berupa importir produsen (IP) yang tahu kekurangan pasokan di pasar, seperti produsen gula untuk impor gula jenis tertentu. 

Tapi kini, dengan Permendag 87/2015, pembatasan dengan IT tak berlaku lagi, cukup memiliki angka pengenal importir (API) umum untuk impor produk tertentu. 

Praktis, asal importir bebas mengimpor produk tertentu. Ini bisa merugikan produsen produk tertentu, yang dalam permendag ditetapkan tujuh jenis kelompok produk, yakni makanan dan minuman, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga, pakaian jadi dan barang tekstil jadi, alas kaki, elektronika, dan mainan anak-anak. "Artinya sekarang orang lebih mudah jadi pedagang saja, tak perlu investasi, hanya cukup satu karyawan bisa mengimpor semua barang," ujar Adhi Lukman, ketua umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi). (detik-net, 28/10) 

Di balik penolakan pengusaha (dan Menteri Susi) terhadap permendag itu tampak ada konflik pandangan. Yakni, konflik xenophobia (ketakutan pada asing) versus xenolatri (gandrung pada asing). Pandangan xenophobia masuk doktrin Trisakti Bung Karno yang mencitakan berdikari dalam ekonomi. Sedangkan xenolatri paham neoliberalisme, menjadikan semua negeri pasar bebas bagi semua produk—tanpa peduli akibatnya, survival of the fittest, hanya yang terkuat bertahan hidup. 

Terlihat, pengusaha konsisten dengan paham berdikari sesuai prinsip Trisakti ajaran Bung Karno. Sebaliknya pemerintah, mengamalkan neoliberalisme yang bertentangan dengan Nawacita—janji kampanye Jokowi untuk mengamalkan Trisakti ajaran Bung Karno. Jadi, pemerintah lain kata lain tindakan—split personality. ***
Selanjutnya.....

Hujan Kombinasi Redakan Titik Api!

"KOMBINASI hujan alami dan hujan buatan yang merata meredakan titik api di Sumatera dan Kalimantan," ujar Amir. "Dari 2.218 titik api pada Sabtu (24/10), tinggal 402 titik api Sabtu lalu (31/10)." 

"Asapnya?" potong Umar. "Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho (Kompas.com, 31/10), indeks kualitas udara yang sebelumnya di banyak kota Sumatera dan Kalimantan sering pada level berbahaya, hari ini pada level baik-sedang," jawab Amir. 

"Sedang jarak pandang, pagi ini di Padang 4 km, Pekan Baru 7 km, Jambi 2,8 km, Palembang 800 meter, Pontianak 2 km, Palangkaraya 1,5 km, dan Banjarmasin 6 km." "Kenapa hujan buatannya baru sekarang dimainkan? Kalau sejak awal kan titik apinya tidak meluas," tukas Umar. 

"Kalau sudah tiga bulan terbakar, semak, kayu, dan gambut sudah habis dilumat api, tak dipadamkan juga mati sendiri! Tiga bulan, pasar terbakar dua jam saja ludes." "Awalnya mungkin tak mengira bakal sehebat itu apinya," jawab Amir. "Saat api marak, heli Menko Polhukam saja tak bisa menembus asap untuk ke Pulang Pisau dan Jambi. Kalau heli pakai kipas saja tak bisa tembus, apalagi pesawat penabur garam pembuat hujan!" "Kemarau dampak El Nino sebenarnya belum waktunya berakhir," timpal Umar. 

"Tapi terakhir ini orang ramai salat istiska, minta hujan. Di Pekanbaru dan Bogor langsung diguyur hujan saat salat istiska. Tapi kenapa baru sekarang salat minta hujan?" "Orang kan harus ikhtiar dulu," jawab Amir. "Setelah ikhtiar gagal, api justru tambah marak, barulah pasrah! Dan ketika pertolongan datang, berupa hujan alami, udara pun bisa dilintasi pesawat, ikhtiar dioptimalkan agar hujan lebih merata." 

"Begitu pun kita salut pada pemerintah yang gigih memadamkan api sampai semua materi yang bisa terbakar ludes jadi abu!" tukas Umar. "Setelah itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikan hutan seperti semula." "Untuk rehabilitasi hutan dan gambut itu ada dana carbon trading (jual-beli oksigen) sebesar 1 miliar dolar AS dari Norwegia," ujar Amir. "Itu dana kompensasi buat rakyat karena tidak lagi menebang hutan demi reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+)," entak Umar. 

"Dana itu seharusnya untuk rakyat (seperti Lampung Barat yang mayoritas arealnya hutan lindung) yang jadi miskin karena tak boleh menyentuh hutan sebagai sumber hakiki penghidupan. Tapi akibat kelalaian pemerintah terlambat mengatasi kebakaran hutan, dana kompensasi penderitaan rakyat itu dialihkan untuk menambal kelalaian pemerintah tersebut. ***
Selanjutnya.....

'Salah Kiprah' Penanganan Buruh!

DENGAN bangga pemerintah menampilkan formula upah buruh yang ideal bahkan amat menguntungkan buruh dengan persentase pertumbuhan ekonomi nasional sebagai penambah tingkat kenaikan tahunan, melengkapi tambahan dengan tingkat inflasi. Sebelumnya, kenaikan hanya mengakomodasi inflasi lewat survei harga komponen kebutuhan hidup layak. 

Pemerintah yakin formula baru yang disebut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sebagai kehadiran negara dalam proses penetapan upah buruh itu akan disambut baik buruh karena mendapat tambahan upah dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Juga akan diterima pengusaha dan memikat investor karena kenaikan upah buruh punya kepastian besarannya setiap tahun sehingga perusahaan mudah menyusun rencana keuangan tahunan. 

Formula baru itu sendiri sebenarnya jurus pamungkas yang sudah tersimpan belasan tahun dalam khazanah tafsir mimpi akhir kegaduhan demo buruh. Formula itu lama disimpan karena sebernarnya merugikan dan menambah beban pengusaha dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yang tak bisa dijamin selalu paralel dengan pertumbuhan kemampuan perusahaan. 

Jadi, kalau formula itu dikeluarkan, dalam tafsir mimpi itu dilukiskan, buruh akan terkesiap dan menghentikan segala bentuk demo dan protes karena diuntungkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional masuk komponen upah minimumnya. Tapi, itu hanya dalam tafsir mimpi, sedang dalam realitasnya lain. Buruh bukan terdiam dan menerima formula itu, tapi malah demo besar-besaran menolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 yang menetapkan formula itu sebagai dasar penetapan upah buruh mulai tahun depan. 

Jadi, seperti ada “salah kiprah” dalam penanganan masalah buruh. Dikira aransemen yang disiapkan bisa membuat buruh tenang dan menghentikan "tradisi" kegaduhannya sehingga investor terpikat masuk menanam modalnya. Ternyata, buruh belum bisa menghentikan kebiasaan demo yang kurang disenangi penguasa itu. Kali ini alasannya sepele sekali, karena dengan sistem formula itu perwakilan buruh tak disertakan dalam menetapkan upah minimum. Jadi, prosesnya tidak demokratis. 

Demo menolak dan menuntut pencabutan PP 78/2015 yang diikuti ribuan buruh Jabodetabek, pada Jumat (30/10), berlangsung sampai lewat batas waktu yang diizinkan hingga dibubarkan dengan gas air mata dan water canon. 

Kalau PP itu dipertahankan oleh pemerintah, gerakan buruh menolak dan menuntut pencabutannya akan menjadi kegaduhan rutin yang berlarut-larut. ***
Selanjutnya.....

Indonesia Menggandeng Silicon Valley!

DALAM mengembangkan usaha kreatif di dunia digital, Indonesia menggandeng Silicon Valley—pusat pengembangan industri digital Amerika Serikat di California. Berbagai komitmen untuk itu telah didapat rombongan Menkominfo Rudiantara yang menggantikan Presiden Jokowi, yang batal berkunjung ke kawasan itu karena harus pulang menangani darurat asap di Tanah Air. 

Komitmen yang telah dicapai, antara lain tujuh perusahaan inkubator dan akselerator Silicon Valley siap membantu 1.000 startup Indonesia. Mereka adalah Techstars, StartX, GSVlabs, 500 Startups, F50, Plug and Play, dan Founder Institute. (detik-news, 30/10)

Startup adalah orang yang punya gagasan membuka usaha kreatif berbasis aplikasi internet. Tentu setelah kualifikasi teknis dan prospek gagasannya lolos seleksi, orangnya dikirim masuk inkubator Silicon Valley untuk dimatangkan menjadi technopreneur. Rombongan yang diikuti Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Ketua BKPM Franky Sibarani, dan sejumlah startup Indonesia itu juga mendapat komitmen suntikan bantuan 8 juta dolar AS untuk startup Indonesia, Qraved, yang menawarkan aplikasi food discovery. Perusahaan rintisan ini mendapat suntikan dari Richmond Global Ventures dan Gobi Partners. Juga ada grup investor baru di pendanaan Seri B, yakni GWC, Vonvergences Ventures, 500 Startups, Toivo Annus, dan M&Y Partners. Klimaks dukungan dari Facebook, yang punya 76 juta pengguna di Indonesia. 

Disepakati kerja sama Facebook dengan pemerintah Indonesia dalam UKM ekonomi kreatif, UKM ekonomi desa, dan internet sehat. Untuk UKM ekonomi kreatif, intinya Facebook memberi latihan gratis kepada 2.000 UKM agar bisa memanfaatkan teknologi Facebook untuk membangun usahanya secara online serta memasarkan produk dan jasanya di dalam dan luar negeri. Untuk UKM ekonomi desa, mengembangkan dari pelatihan ekomomi kreatif dengan modifikasi agar lebih relevan, tahap pertama terhadap 500 UKM. 

Untuk internet sehat, bersama pemerintah dan akademisi Indonesia, Facebook membuat program edukasi bagi Indonesia untuk memiliki ekonomi digital yang tumbuh dan bermanfaat dengan lingkungan internet yang sehat dan aman bagi seluruh masyarakat. Agenda menggandeng Silicon Valley ini bagian dari visi pemerintah membesarkan ekonomi digital Indonesia menjadi 130 miliar dolar AS pada 2020. 

Google juga mendukung dengan mulai bulan depan menerbangkan balon komunikasi hingga internet bisa menjangkau desa terpencil di 17 ribu pulau Indonesia. ***
Selanjutnya.....