DENGAN bangga pemerintah menampilkan formula upah buruh yang ideal bahkan amat menguntungkan buruh dengan persentase pertumbuhan ekonomi nasional sebagai penambah tingkat kenaikan tahunan, melengkapi tambahan dengan tingkat inflasi. Sebelumnya, kenaikan hanya mengakomodasi inflasi lewat survei harga komponen kebutuhan hidup layak.
Pemerintah yakin formula baru yang disebut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sebagai kehadiran negara dalam proses penetapan upah buruh itu akan disambut baik buruh karena mendapat tambahan upah dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Juga akan diterima pengusaha dan memikat investor karena kenaikan upah buruh punya kepastian besarannya setiap tahun sehingga perusahaan mudah menyusun rencana keuangan tahunan.
Formula baru itu sendiri sebenarnya jurus pamungkas yang sudah tersimpan belasan tahun dalam khazanah tafsir mimpi akhir kegaduhan demo buruh. Formula itu lama disimpan karena sebernarnya merugikan dan menambah beban pengusaha dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yang tak bisa dijamin selalu paralel dengan pertumbuhan kemampuan perusahaan.
Jadi, kalau formula itu dikeluarkan, dalam tafsir mimpi itu dilukiskan, buruh akan terkesiap dan menghentikan segala bentuk demo dan protes karena diuntungkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional masuk komponen upah minimumnya. Tapi, itu hanya dalam tafsir mimpi, sedang dalam realitasnya lain. Buruh bukan terdiam dan menerima formula itu, tapi malah demo besar-besaran menolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 yang menetapkan formula itu sebagai dasar penetapan upah buruh mulai tahun depan.
Jadi, seperti ada “salah kiprah” dalam penanganan masalah buruh. Dikira aransemen yang disiapkan bisa membuat buruh tenang dan menghentikan "tradisi" kegaduhannya sehingga investor terpikat masuk menanam modalnya. Ternyata, buruh belum bisa menghentikan kebiasaan demo yang kurang disenangi penguasa itu. Kali ini alasannya sepele sekali, karena dengan sistem formula itu perwakilan buruh tak disertakan dalam menetapkan upah minimum. Jadi, prosesnya tidak demokratis.
Demo menolak dan menuntut pencabutan PP 78/2015 yang diikuti ribuan buruh Jabodetabek, pada Jumat (30/10), berlangsung sampai lewat batas waktu yang diizinkan hingga dibubarkan dengan gas air mata dan water canon.
Kalau PP itu dipertahankan oleh pemerintah, gerakan buruh menolak dan menuntut pencabutannya akan menjadi kegaduhan rutin yang berlarut-larut. ***
Formula baru itu sendiri sebenarnya jurus pamungkas yang sudah tersimpan belasan tahun dalam khazanah tafsir mimpi akhir kegaduhan demo buruh. Formula itu lama disimpan karena sebernarnya merugikan dan menambah beban pengusaha dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yang tak bisa dijamin selalu paralel dengan pertumbuhan kemampuan perusahaan.
Jadi, kalau formula itu dikeluarkan, dalam tafsir mimpi itu dilukiskan, buruh akan terkesiap dan menghentikan segala bentuk demo dan protes karena diuntungkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional masuk komponen upah minimumnya. Tapi, itu hanya dalam tafsir mimpi, sedang dalam realitasnya lain. Buruh bukan terdiam dan menerima formula itu, tapi malah demo besar-besaran menolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 yang menetapkan formula itu sebagai dasar penetapan upah buruh mulai tahun depan.
Jadi, seperti ada “salah kiprah” dalam penanganan masalah buruh. Dikira aransemen yang disiapkan bisa membuat buruh tenang dan menghentikan "tradisi" kegaduhannya sehingga investor terpikat masuk menanam modalnya. Ternyata, buruh belum bisa menghentikan kebiasaan demo yang kurang disenangi penguasa itu. Kali ini alasannya sepele sekali, karena dengan sistem formula itu perwakilan buruh tak disertakan dalam menetapkan upah minimum. Jadi, prosesnya tidak demokratis.
Demo menolak dan menuntut pencabutan PP 78/2015 yang diikuti ribuan buruh Jabodetabek, pada Jumat (30/10), berlangsung sampai lewat batas waktu yang diizinkan hingga dibubarkan dengan gas air mata dan water canon.
Kalau PP itu dipertahankan oleh pemerintah, gerakan buruh menolak dan menuntut pencabutannya akan menjadi kegaduhan rutin yang berlarut-larut. ***
0 komentar:
Posting Komentar