WAKIL Presiden M Jusuf Kalla geram menemukan bunga kredit usaha rakyat (KUR) masih tinggi, lebih tinggi ketimbang sektor korporasi. Padahal, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo telah menggelontorkan subsidi Rp1 triliun untuk menurunkan bunga KUR dari 22% menjadi 12% per tahun.
"Apa pun biayanya pemerintah akan menurunkan bunga KUR dari 22% ke 12%. Dengan biaya apa pun harus turunkan bunga KUR," tegas JK pada pertemuan tahunan BI. (Kompas.com, 25/11)
Menurut JK, tingginya bunga KUR merupakan ketidakadilan. Ia tegaskan, tak boleh ada lagi ketidakadilan di Indonesia. "Bunga korporasi lebih rendah, 10%, dibandingkan bunga UKM. Selama ini kita terkecoh. Harus diturunkan apa pun risikonya. Tahun depan harus 9%, apa pun risikonya," kata JK.
JK beranggapan sebuah negara tidak ada yang mengalami masalah karena pertumbuhan yang rendah. Akan tetapi, negara akan mengalami masalah kalau ada ketidakadilan. "Jangan terjadi ketidakadilan di bangsa ini. Saya minta ini diperbaiki," tegasnya.
Jelas amat mengejutkan kalau setelah Presiden Jokowi actions menggelontorkan Rp1 triliun untuk subsidi menurunkan bunga KUR dari 22% menjadi 12%, pihak perbankan tidak merespons dengan langkah-langkah antisipatif untuk melakukan penyesuaian guna mendorong pertumbuhan yang berkeadilan. Kalangan perbankan terkesan telah menjadi instrumen mekanistik kapitalis pemburu rente.
Tak ada semangat humanitas yang mampu menggerakkan rasa dan solidaritasnya kepada sesama, apalagi yang lemah, untuk diberi keringanan demi memajukan kesejahteraan umum. Sebaliknya, justru semangat homo homini lupus—yang kuat memangsa yang lemah—menjadikan usaha lemah sebagai mangsa empuk untuk dihisap darahnya dengan tarif rente yang tinggi.
Ketidakadilan seperti itulah, seperti kata JK, bisa menjadi masalah pada sebuah bangsa. Apalagi kredit usaha rakyat itu secara efektif merupakan proses capital reform yang menjadi andalan dalam mengejar ketertinggalan sosial-ekonomi kelompok masyarakat bawah dan menengah-bawah, seefektif land reform yang sejauh ini masih sebatas penyedap retorika.
Namun, perbankan memang merupakan ujung tombak industrialisasi yang menghela urbanisme sebagai fondasi alternatif kultur masyarakat patembayan di negeri-negeri yang telah berkembang. Maka itu, perlu penyesuaian pada masyarakat Indonesia yang berkultur paguyuban suka bergotong royong, setidaknya dimulai dengan menjalankan dengan sebaik-baiknya subsidi bunga KUR yang dikucurkan pemerintah. ***
Menurut JK, tingginya bunga KUR merupakan ketidakadilan. Ia tegaskan, tak boleh ada lagi ketidakadilan di Indonesia. "Bunga korporasi lebih rendah, 10%, dibandingkan bunga UKM. Selama ini kita terkecoh. Harus diturunkan apa pun risikonya. Tahun depan harus 9%, apa pun risikonya," kata JK.
JK beranggapan sebuah negara tidak ada yang mengalami masalah karena pertumbuhan yang rendah. Akan tetapi, negara akan mengalami masalah kalau ada ketidakadilan. "Jangan terjadi ketidakadilan di bangsa ini. Saya minta ini diperbaiki," tegasnya.
Jelas amat mengejutkan kalau setelah Presiden Jokowi actions menggelontorkan Rp1 triliun untuk subsidi menurunkan bunga KUR dari 22% menjadi 12%, pihak perbankan tidak merespons dengan langkah-langkah antisipatif untuk melakukan penyesuaian guna mendorong pertumbuhan yang berkeadilan. Kalangan perbankan terkesan telah menjadi instrumen mekanistik kapitalis pemburu rente.
Tak ada semangat humanitas yang mampu menggerakkan rasa dan solidaritasnya kepada sesama, apalagi yang lemah, untuk diberi keringanan demi memajukan kesejahteraan umum. Sebaliknya, justru semangat homo homini lupus—yang kuat memangsa yang lemah—menjadikan usaha lemah sebagai mangsa empuk untuk dihisap darahnya dengan tarif rente yang tinggi.
Ketidakadilan seperti itulah, seperti kata JK, bisa menjadi masalah pada sebuah bangsa. Apalagi kredit usaha rakyat itu secara efektif merupakan proses capital reform yang menjadi andalan dalam mengejar ketertinggalan sosial-ekonomi kelompok masyarakat bawah dan menengah-bawah, seefektif land reform yang sejauh ini masih sebatas penyedap retorika.
Namun, perbankan memang merupakan ujung tombak industrialisasi yang menghela urbanisme sebagai fondasi alternatif kultur masyarakat patembayan di negeri-negeri yang telah berkembang. Maka itu, perlu penyesuaian pada masyarakat Indonesia yang berkultur paguyuban suka bergotong royong, setidaknya dimulai dengan menjalankan dengan sebaik-baiknya subsidi bunga KUR yang dikucurkan pemerintah. ***
0 komentar:
Posting Komentar