Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Penganggur Lampung Naik Drastis!

MESKI pertumbuhan ekonomi Lampung kuartal III 2015 mencapai 5,18% lebih baik dari nasional 4,73%, naiknya angka pengangguran terbuka di Lampung secara absolut cukup drastis, yakni dari 110 ribu orang tambahan pengangguran nasional periode Februari 2015—Agustus 2015 (Kompas.com, 5/11), sebanyak 57.300 orang berada di Lampung. (Lampost, 6/11) 

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung Adhi Wiriana, kenaikan drastis tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Lampung itu karena kembalinya tenaga kerja luar negeri. Ini karena pelambatan ekonomi global mengimbas negara tempat mereka bekerja. 

Juga, perindustrian nasional yang menurun, ditandai dengan turunnya harga komoditas perkebunan, banyak terjadi PHK, mereka pulang ke Lampung jadi penganggur. Terakhir, adanya dampak El Nino membuat pekerja di sektor pertanian menganggur karena tidak ada pekerjaan. 

Tumpasnya pekerjaan di sektor pertanian ini, hingga penganggurnya malah eksodus ke kota mencari pekerjaan, membengkakkan pengangguran di perkotaan menjadi 7,82% dari penduduk dibanding total pengangguran 5,14%. Sektor pertanian lazimnya menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang terpental dari sektor industri dan jasa yang lebih modern. 

Karena itu, ketika lapangan kerja di sektor pertanian tumpas dan malah melimpah ke sektor modern yang juga sedang mengalami pelambatan, keranjang sortir menjadi penuh. Untuk itu, meski terhibur TPT Lampung yang 5,14% di bawah TPT nasional 6,18%, tajamnya peningkatan dari 3,44% menjadi 5,14% menuntut usaha ekstra, selain untuk menahan keberlanjutan peningkatannya, juga untuk mengatasi agar kembali seperti sediakala. 

Langkah ideal untuk mengatasi ledakan pengangguran tentu seperti yang dilakukan Presiden Franklin D Roosevelt pada depresi ekonomi dunia pada 1930-an, mengerahkan para penganggur bekerja di proyek padat karya bidang pekerjaan umum. 

Tapi, untuk program sebesar itu mungkin hanya bisa dilakukan Pemerintah Pusat karena butuh dana besar. Sedang untuk daerah, mungkin mengusahakan proyek swakelola digarap secara padat karya. Di Tiongkok, kondisi itu diatasi dengan proyek “banyak akal”, seperti mengecat garis marka jalan dengan kuas berukuran kecil agar lebih banyak orang bisa dipekerjakan. Tapi mereka yang masuk “keranjang sortir” itu diberi latihan keterampilan tertentu, kemudian disalurkan ke lowongan bermasa depan lebih baik. 

Untuk kita, cari yang paling mungkin dilakukan. Bukan mendiamkan masalahnya, hingga malah kian memburuk. ***

0 komentar: