INDONESIA sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia yang menguasai 38% pangsa pasar global, selain menghadapi kampanye hitam berbagai hal tentang sawit, dari masalah lingkungan sampai kesehatan, juga menghadapi tekanan tentang kualitas produksi dari negara-negara konsumen, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Untuk mengatasi semua itu agar ekspor minyak sawit Indonesia tidak terganggu, lima raksasa perusahaan sawit Indonesia, yakni Wilmar, Cargill, Asian Agri, Musim Mas, dan Golden Agri, menandatangani perjanjian The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) dengan Uni Eropa dan AS, untuk memproduksi minyak sawit berkualitas tinggi dan ramah lingkungan.
Konsekuensi perjanjian yang ditandatangani September 2014 itu, perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa membeli tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit mentah (CPO) yang tidak ramah lingkungan. Ini bisa membuat petani dan perusahaan sawit kecil gulung tikar karena tidak ada yang membeli.
Padahal, lima raksasa sawit itu menampung 80% sampai 85% dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta petani sawit. (Kompas.com, 30/10)
Pemerintah jelas kebakaran jenggot. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mendesak lima perusahaan itu menunda pelaksanaan IPOP. Kelima perusahaan itu harus tetap berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Di bawah tekanan kemerosotan harga komoditas, khususnya CPO yang pada 2010 di atas 1.000 dolar AS/ton, kini menjadi tinggal di bawah 600 dolar AS/ton dan masih terus merosot, tentu tidak mudah bagi industri sawit untuk gonta-ganti standar kualitas produksi. Untuk itu perlu jalan keluar, bukan saja dari konflik ISPO versus IPOP, melainkan sekaligus mengatasi penurunan berlanjut harga CPO. Salah satunya, dengan pengembangan industri hilir produk-produk turunan sawit. Jalan keluar itu dibahas dalam Konferensi Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference—IPOC) di Bali pekan ini, dengan tema The fund and the future of palm oil industri.
Jadi, masa depan industri sawit Indonesia bergantung pada masalah dana (the fund) untuk membangun industri hilir turunan produk sawit sehingga tidak lagi bergantung pada ekspor CPO semata. Dana untuk itu agaknya tidak cukup dari pungutan lucu-lucuan terhadap ekspor CPO Rp50 ribu/ton. Sebanyak 4,5 juta petani sawit dan ribuan perusahaan sawit kecil berharap hasil konferensi tersebut bisa menyelamatkan masa depan usaha mereka. ***
Konsekuensi perjanjian yang ditandatangani September 2014 itu, perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa membeli tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit mentah (CPO) yang tidak ramah lingkungan. Ini bisa membuat petani dan perusahaan sawit kecil gulung tikar karena tidak ada yang membeli.
Padahal, lima raksasa sawit itu menampung 80% sampai 85% dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta petani sawit. (Kompas.com, 30/10)
Pemerintah jelas kebakaran jenggot. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mendesak lima perusahaan itu menunda pelaksanaan IPOP. Kelima perusahaan itu harus tetap berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Di bawah tekanan kemerosotan harga komoditas, khususnya CPO yang pada 2010 di atas 1.000 dolar AS/ton, kini menjadi tinggal di bawah 600 dolar AS/ton dan masih terus merosot, tentu tidak mudah bagi industri sawit untuk gonta-ganti standar kualitas produksi. Untuk itu perlu jalan keluar, bukan saja dari konflik ISPO versus IPOP, melainkan sekaligus mengatasi penurunan berlanjut harga CPO. Salah satunya, dengan pengembangan industri hilir produk-produk turunan sawit. Jalan keluar itu dibahas dalam Konferensi Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference—IPOC) di Bali pekan ini, dengan tema The fund and the future of palm oil industri.
Jadi, masa depan industri sawit Indonesia bergantung pada masalah dana (the fund) untuk membangun industri hilir turunan produk sawit sehingga tidak lagi bergantung pada ekspor CPO semata. Dana untuk itu agaknya tidak cukup dari pungutan lucu-lucuan terhadap ekspor CPO Rp50 ribu/ton. Sebanyak 4,5 juta petani sawit dan ribuan perusahaan sawit kecil berharap hasil konferensi tersebut bisa menyelamatkan masa depan usaha mereka. ***
0 komentar:
Posting Komentar