Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Telunjuk Lurus Kelingking Berkait!

"POLITIK apa namanya ketika dalam paripurna DPR Jumat, Partai Golkar dan PKS tegas menolak harga BBM naik, tapi pada bagian lain menyetujui penambahan Ayat 6-A pada Pasal 7 RUU APBNP 2012 yang isinya menyetujui pemerintah untuk menaikkan harga BBM jika harga minyak mentah Indonesia mencapai tingkat tertentu dalam periode tertentu?" tanya Umar. "Itu yang peribahasa sebut telunjuk lurus kelingking berkait!" jawab Amir. "Telunjuk terlihat tegas dan jelas mengacung ke arah mana, tapi kelingking mengait ke arah berbeda! Itu menggambarkan sikap partai-partai tersebut tak konsisten, alias tidak istikamah! Bahasa lazimnya bersikap ambivalen, berwajah ganda, hipokrit!" 

"Istilah hipokrit seingatku juga berarti munafik, kan?" tukas Umar. "Tak perlu ditarik sejauh itu! Biarkan rakyat menilai sendiri istilah paling tepat untuk itu, karena jangan-jangan istilah munafik yang lazim dipakai terkait agama tak bisa dipakai dalam politik atau sebaliknya!" timpal Amir. "Lagi pula syarat yang diajukan PKS cukup berat, kenaikan ICP rata-rata 20% di atas patokan 105 dolar AS/barel! Karena itu, hampir bisa dipastikan lobi dengan PKS paling alot kemarin, hingga dari setengah empat sampai magrib tak selesai!" "Pintar-pintar kaulah menyelamatkan muka PKS!" tegas Umar. "Tapi jelas, permainan politik telunjuk lurus kelingking berkait itu menjadikan parlemen cuma sebagai panggung sandiwara membohongi rakyat! Di panggung tegas menolak harga BBM naik, di balik tirai memberi jalan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM!" "Memang baru sekelas itulah gaya permainan politik di negeri kita!" timpal Amir. 

"Komitmennya pada kepentingan rakyat menolak harga BBM naik cuma pura-pura, di balik itu bersyubhat mengkhianati rakyat yang diberi beban berat memikul risiko kenaikan harga BBM!" "Itu menunjukkan pada dasarnya para politisi tersebut berdemokrasi sak karepe dewe—semau sendiri—sedang aspirasi rakyat yang sebenarnya, seperti menolak kenaikan harga BBM, cuma mereka jadikan mainan kepura-puraan semata!" tegas Umar. "Dengan demokrasi sak karepe dewe itu jelas sistem demokrasi perwakilan tak berjalan semestinya! Agregasi, mengumpul aspirasi rakyat yang diwakilinya, lalu merumuskannya dengan tajam (artikulasi) sama sekali tak dilakukan, tahu-tahu mengambil keputusan yang merugikan dan menyengsarakan rakyat!" "Begitulah politik berdasar moral hipokritisme!" timpal Amir. "Rakyat jadi tumbal, korban konyol!" ***
Selanjutnya.....

'By Design', Destruksi Perekonomian Rakyat!

"KEPASTIAN menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi sebesar 33% dari Rp4.500/liter jadi Rp6.000/liter merupakan kebijakan yang by design (secara terancang) dan dengan sengaja mendestruksi perekonomian rakyat!" ujar Umar. "Kenapa kau nilai begitu?" potong Amir. "Karena kebijakan itu tidak dikaji komprehensif akibatnya terhadap perekonomian seluruh rakyat! Tapi hanya dikaji terkait 30% rakyat penerima kompensasi BLT atau BLSM (74 juta jiwa) serta 20% elite dan kelas menengah (48 juta jiwa) yang tak terpengaruh kebijakan tersebut!" tegas Umar. "Sedang dampaknya pada 50% warga (120 juta jiwa) buruh, tani, nelayan, guru honorer, dan pekerja kelas bawah berpenghasilan rendah yang tak dapat kompensasi tapi terdestruksi fatal oleh kebijakan itu, justru sama sekali tak dikaji!" "Itu karena negara kita sudah dicengkeram terlalu kuat oleh politisi sehingga orientasinya hanya bagaimana memenangkan pemilu mendatang!" timpal Amir. "Hal itu terlihat dengan dipakainya kacamata kuda oleh penguasa dalam memproses kebijakan tersebut dengan tekanannya berfokus dan ngotot pada kompensasi terhadap 74 juta warga miskin, yang dengan dana BLT yang dibagi oleh penguasa bisa diharap dalam pemilu nanti mereka berikan suara pada partai berkuasa!"

"Kacamata kuda pada penaikan harga BBM dan kompensasi BLT itu membuat partai-partai koalisi berkuasa juga tak melihat berbagai peluang lain dalam APBN untuk mengatasi masalah tanpa memaksakan kebijakan yang membebani rakyat hingga mendestruksi ekonominya!" tegas Umar. "Peluang dari rasionalisasi belanja pejabat dan aneka program kurang penting, lalu memacu peningkatan produksi minyak yang dalam periode penguasa kini posisi negeri kita dari eksportir BBM berubah jadi net importir BBM! Peluang-peluang itu tak pernah mendapat kajian dan usaha merealisasikannya sehingga bisanya setiap kali cuma memilih kebijakan yang memberatkan rakyat dan negerinya semakin dalam terbenam sebagai pengimpor minyak!" 

 "Memang, tak pernah terdengar gagasan kubu penguasa untuk membuat negeri ini kembali jadi pengekspor minyak!" timpal Amir. "Itu sejalan dengan tak terpikirnya menciptakan kemandirian dalam pertambangan! Malah tambang rakyat digilas demi prioritas buat pertambangan asing!" "Itu dia!" tegas Umar. "Sudah pun usaha rakyat digilas, ekonomi rakyat berpenghasilan rendah dirusak dengan beban berat tak terpikul yang ditimpakan secara terancang dan sengaja! Malang nian nasib rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Pengangguran Kita Tertinggi di Asia-Pasifik!

"TPT—tingkat pengangguran terbuka—usia 15—29 tahun di Indonesia mencapai 19,9%, tertinggi di kawasan Asia-Pasifik!" ujar Umar. "Direktur Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja Bappenas Rahma Iryanti mengungkap dalam diskusi (27-3). Itu disusul Sri Lanka 19%, Filipina 17,9%, dan Selandia Baru 16,2%. Kata Rahma, angka absolut TPT 19,9% itu 5,3 juta orang!" (Lampost, 28-3) "Menurut Rahma, penganggur kelompok usia itu berpendidikan SMA, diploma, dan sarjana di area perkotaan!" sambut Amir. "Mereka menganggur akibat mendamba pekerjaan formal, memberikan perlindungan, jaminan sosial, dan kesejahteraan! Sedang di sektor informal terutama di area perdesaan yang mau cawe-cawe dua jam dalam seminggu, lolos keluar dari kelompok TPT." 

"Kalau TPT usia 15—29 sebesar 19,9% atau 5,3 juta orang itu dihitung dari jumlah pengangguran terbuka semua kelompok usia, berarti jumlah pengangguran terbuka dari semua kelompok usia lima kali lipat dari 5,3 juta atau 26,5 juta orang!" tegas Umar. "Dengan jumlah angkatan kerja nasional 2011 sebesar 118 juta dari 240 juta penduduk 2011, dengan pengangguran terbuka semua kelompok usia 26,5 juta itu berarti TPT Indonesia sebenarnya di kisaran 20%. Angka itu lebih dekat dengan realitas di masyarakat, andai kriteria penganggur tidak dikerdilkan dengan hitungan lolos jika bekerja dua jam seminggu!" "Proyeksi realitas TPT dari bocoran data Bappenas itu penting karena besarnya jumlah penganggur yang sebenarnya ada di masyarakat signifikan menekan harga tenaga kerja bahkan martabat pekerja!" timpal Amir. "Salah hitung realitas TPT hingga tingkat penganggur nasional dalam angka resmi pemerintah pada 2010 hanya 7,41% atau 8,592 juta orang, juga tecermin pada angka resmi jumlah warga miskin 30 juta orang, tapi warga miskin penerima BLT 74 juta orang!

 Berarti, pengerdilan angka warga miskin dan penganggur bisa membuat kebijakan anggaran meleset dari sasaran, karena bisa anggaran selalu disiapkan untuk 30 juta warga miskin dan 8,5 juta penganggur, tapi di lapangan sebenarnya dipakai 74 juta warga miskin dan 26,5 juta penganggur!" "Melesetnya anggaran dari sasaran itu terbukti, dengan APBN Rp86 triliun pada 2011 hanya mengentaskan 132 ribu warga dari bawah garis kemiskinan!" tukas Umar. "Mudah dipahami jika hal itu terjadi, sebab anggaran buat 30 juta warga miskin di lapangan dipakai 74 juta orang! Belum lagi kata Bank Dunia ada penyimpangan 30% pada setiap proyek! Semua itu membuat masuk akal, TPT Indonesia tertinggi di Asia-Pasifik!" ***
Selanjutnya.....

'Priviledges' Pejabat Tak Boleh Diganggu!

"DARI berbagai dialog di televisi diketahui dalam APBN 2012 terdapat lebih Rp400 triliun anggaran belanja terkait priviledges—hak-hak istimewa—para pejabat!" ujar Umar. "Namun dalam proses pembahasan RAPBNP 2012 tumpukan dana itu sama sekali tak dilirik! Padahal, pengurangan 10% saja dari belanja elite itu sama dengan hasil dari penaikan harga BBM jadi Rp6.000/liter! Yakni, jika harga BBM naik jadi Rp6.000/liter subsidi BBM Rp137 triliun, kalau tak naik subsidinya Rp178 triliun!" "Jadi tampak, elite selalu lebih mengutamakan pengamanan ajang kepentingannya hingga tak boleh diganggu sedikit pun, dengan memilih kebijakan mengorbankan rakyat yang harus menanggung beban kenaikan BBM 33%!" timpal Amir. "Bagi kaum buruh dan pekerja kelas bawah di luar kelompok 74 juta warga miskin penerima BLT (sekarang BLSM), jumlahnya bisa mencapai 50% penduduk. Beban dampak kenaikan harga BBM 33% yang ditimpakan ke pundak mereka itu jelas amatlah berat untuk dipikul!"

"Itu akibat elitenya terlalu liberal-individualistik, hanya mengutamakan kenikmatan diri pribadi dan kelompok elitisnya semata, solidaritasnya kepada rakyat jelata minim sehingga dengan mudah mereka korbankan rakyat sebagai tumbal bagi kebijakan yang mereka buat!" tegas Umar. "Padahal, andai belanja priviledges mereka dikurangi 10%, tak terasa karena hanya bunga bank limpahan simpanan mereka masih lebih besar untuk substitusinya! Tapi keserakahan memang sukar dikendalikan, apalagi dengan kekuasaannya bisa dengan mudah mengorbankan kaum lemah!" "Cara hidup kaum elite sedemikian menimbulkan kemiskinan struktural, suatu kemiskinan akibat elite selalu menindas dan mengorbankan lapisan sosial pada struktur di bawahnya yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politik!" timpal Amir. 

"Mobilitas sosial dari lapisan bawah naik ke kelas menengah kebanyakan sebagai produk nepotisme dan dinamika politik! Kalaupun ada sebagai buah kerja keras, jumlahnya terbatas!" "Kelas menengah produk nepotisme dan dinamika politik itu amat rapuh dan tergantung pada aneka fasilitas, di antaranya subsidi BBM dan listrik!" tukas Umar. "Jadi benar jika sebagian subsidi salah sasaran, yang menikmati adalah kelas menengah model ini! Tapi karena kelas menengah ini amat tergantung pada penyangga seperti subsidi BBM, jika penyangga dicabut, beban kelas menengah ini akan amblek, runtuh, longsor jadi beban lapisan sosial di bawahnya! Karena memang demikian kemiskinan struktural, beban lapisan sosial di atas selalu ditimpakan jadi beban yang harus dipikul lapisan sosial terbawah!" ***
Selanjutnya.....

Derita Buatan Penaikan BBM!

"MENYONGSONG sidang paripurna DPR Kamis (29-3), mahasiswa, buruh, dan elemen kritis Selasa ini (27-3) serentak menggelar demo di berbagai kota untuk menolak kenaikan harga BBM!" ujar Umar. "Penaikan harga BBM menyengsarakan rakyat, maka harus ditolak! Jadi, derita akibat penaikan BBM itu derita buatan, tapi pemerintah sengaja membuat derita tersebut agar bisa tampil sebagai dewa penolong memberi bantuan mengurangi penderitaan yang telah penguasa ciptakan itu!" "Begitulah langkah pemerintah yang memotivasi mahasiswa demo!" timpal Amir. "Itu pemerintah perkirakan bisa menyulut demo yang lebih besar, hingga memperkuat pengamanan dengan TNI!" 

"Pengerahan TNI melapisi pengamanan polisi, tapi karena TNI tak punya peluru karet justru harus siap dengan risiko penggunaan peluru tajam saat ketegangan demo memuncak!" tegas Umar. "Dari pengalaman menangani massa, sering justru aparat yang gagal mengendalikan diri dan bertindak kelewat batas, seperti di NTB! Jika hal itu terjadi dan peluru tajam menjatuhkan korban pendemo, chaos 13—15 Mei 1998 bisa terulang!" "Kondisi seburuk itu tentu tak diinginkan semua pihak!" timpal Amir. "Tapi jika justru pemerintah yang gegabah mengerahkan pasukan penyulut chaos, tentu pemerintah yang harus bertanggung jawab, bukan malah menyalahkan demonstran setelah chaos terjadi!" "Di era komunikasi semaju sekarang tak mudah pemerintah mengambinghitamkan pihak lain!" tegas Umar. "Media massa akan menayangkan kronologis fakta, membuktikan pada masyarakat siapa sebenarnya yang bersalah! Selain itu, meski demo tak digubris, eksesnya tetap mendiskreditkan pemerintah! Lain jika sebagai sarana demokrasi yang sah, ada aspirasi lewat demo yang diserap menyempurnakan kebijakan!"

 "Justru karena diskredit pemerintah akibat demo bisa diatasi dengan BLT (kini BLSM), bahkan juga mengatasi diskredit partai berkuasa akibat kader-kadernya terlibat korupsi, maka derita buatan terhadap rakyat dengan menaikkan harga BBM itu harus dipaksakan penguasa dengan pengamanan TNI, agar bisa menabur BLSM—andalan menaikkan lagi popularitas penguasa dan partai berkuasa!" timpal Amir. "Karena itu, penaikan harga BBM sebagai derita buatan terhadap rakyat tak bisa ditawar lagi agar BLSM efektif mencapai tujuan politik! Lebih lagi saat popularitas partai berkuasa menurut survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan lalu merosot ke peringkat tiga (13,4%), di bawah Partai Golkar (17,8%) dan PDIP (13,5 %), harus ngotot menaikkan harga BBM!" ***
Selanjutnya.....

Isu di BBM Seluler Hadang BBM Naik!

"NARASUMBER MetroTV (24-3; 17.15) wartawan senior Budiarto Shambazy dan Dedy Gumelar (Mi'ing) sekilas menyebutkan dana BBM di APBN sebenarnya surplus—bukan defisit hingga harus menaikkan harga BBM buat menutupinya!" ujar Umar. "Karena itu, diperkuat aksi penolakan mahasiswa, buruh, LSM, dan ormas yang semakin masif dan pembahasan DPR terganjal penolakan empat fraksi—PDIP, Gerindra, Hanura, dan PKS—Budiarto menebak kebijakan menaikkan harga BBM 1 April bisa ditunda! Soal dana BBM di APBN surplus itu sebenarnya bagaimana?" "Itu cuma isu di jaringan seluler BlackBerry Messenger (BBM), yang menyebutkan pemerintah menyembunyikan fakta sebenarnya ada surplus dana penjualan minyak pemerintah ke Pertamina dipotong subsidi sebesar Rp97,95 triliun!" jawab Amir. "Isu itu dikemas seolah perincian angka-angka pengeluaran dan penerimaan Pertamina serta pembayarannya ke pemerintah ada surplusnya sebanyak itu merupakan hasil penghitungan dari Kwik Kian Gie dan Anggito Abimanyu!"

"Dengan isu itu tersebar di kalangan aktivis dan politisi, pengaruhnya cukup kuat menghadang rencana kebijakan menaikkan harga BBM, sehingga jadi lebih alot dari sebelumnya!" tegas Umar. "Isu itu menjadi semakin dipercaya kebenarannya setelah sekian hari tak ada bantahan dari Kwik maupun Anggito bahwa itu bukan perhitungan mereka, juga tak ada bantahan dari pemerintah bahwa surplus dimaksud tidak benar!" "Tapi, kalau dilihat PKS saja sampai membelot dari garis koalisi dengan ikut menolak kenaikan harga BBM, terlepas dari alasan formal penaikan harga BBM bisa berakibat 25% rakyat jatuh miskin, isu BBM seluler tersebut bisa membantu posisi tawar PKS di jalur pembelotannya!" timpal Amir.

 "Lain dengan tiga fraksi oposan, PDIP, Gerindra, dan Hanura, meski itu cuma isu bisa menjadi kartu liar (wild card) justru saat sebagai truf tertutup!" "Lebih seru isu itu sampai ke massa demonstran, bisa menjadi energi ekstra!" tegas Umar. "Lebih-lebih kalau penguasa menganggap enteng arti protes mereka, energi ekstra itu dalam porsi yang konstitusional pun bisa mendiskredit penguasa! Semisal, dengan energi ekstra itu ratusan ribu massa bertahan berhari-hari di DPR seperti Mei 1998!" "Apa pun yang terjadi di luar parlemen, dengan perhitungan menang voting di DPR pemerintah akan tetap pada kebijakan penaikan harga BBM!" timpal Amir. "Jangankan cuma isu, jeritan derita rakyat yang disampaikan lewat kemurnian jiwa mahasiswa pun tak ada artinya bagi pemerintah!" ***
Selanjutnya.....

Kepastian Hukum Harus Keniscayaan!

DELEGASI parlemen Uganda ke Indonesia, studi banding guna membentuk Kementerian Kelautan. "Uganda kan terletak di tengah benua Afrika, tak punya laut, untuk apa Kementerian Kelautan?" tanya Temon yang jadi guide pada ketua delegasi. "Soal itu tak beda dengan kalian di sini punya Kementerian Hukum dan HAM!" jawab ketua. "Kami punya Hukum dan HAM!" entak Temon. "Apa bisa dipastikan keberadaan dan berlakunya hukum dan HAM itu efektif bagi setiap warga negara?" timpal ketua. "Kalau soal kepastian hukum memang belum bisa dipastikan keefektifan berlakunya bagi setiap warga negara!" jawab Temon. "Itu dia!" tegas ketua. "Tanpa efektifnya berlaku kepastian hukum, justru hukum menjadi sumber kekisruhan dan ketakadilan yang bisa mencabik esensi kemanusiaan warganya! Jadi, kepastian hukum harus menjadi keniscayaan, tak cukup hanya sebatas papan nama! Akibatnya, tanpa adanya kepastian hukum, Kementerian Hukum dan HAM menjadi seperti Kementerian Kelautan di negeri yang tak punya laut!"
"Tapi tugas Kementerian Hukum dan HAM itu sebenarnya bukan terkait proses penciptaan kepastian hukum yang justru menjadi tanggung jawab pengadilan dan semua instrumen proses peradilannya!" jelas Temon. "Apalagi terkait hak-hak asasi manusia (HAM) yang amat luas skalanya, secara multidimensional di negeri ini titik beratnya masih lebih pada sosial-ekonomi! Tugas nyata kementerian itu lebih banyak mengurusi imigrasi dan penjara, selain membantu presiden dalam penyiapan teknis rancangan undang-undang!" "Kalau begitu namanya harus disesuaikan agar tidak mengecoh rakyat seolah-olah bidang hukum dan HAM ditangani simultan oleh kementerian tersebut!" tegas ketua. "Padahal, ibarat makan bubur cuma pinggir-pinggirnya, sedang esensi hukumnya ditangani pengadilan dan soal HAM secara substantif ditangani banyak sektor lain!" "Tapi, apalah arti sebuah nama!" potong Temon. "Begitu kata pujangga!" timpal ketua. "Tapi bagi penguasa negeri terbelakang, pemberian nama kementerian dan lembaga pemerintahan dibuat mengacu distribusi kekuasaan yang membagi habis semua tugas negara melayani rakyatnya! Dengan begitu, seolah keseluruhan kebutuhan dan kepentingan rakyat sudah terakomodasi oleh semua tangan kekuasaan! Padahal kenyataannya, banyak tangan kekuasaan bekerja tidak efektif, bahkan kebanyakan mendahulukan kepentingan pejabat dan jajaran birokrat instansinya! Sedang kepentingan rakyat, urusan belakang!" ***
Selanjutnya.....

Waspadai, Generasi Miskin Baru Muncul!

"GUBERNUR Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X mengharapkan pemerintah bertindak proporsional dan bijaksana dalam memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak—BBM!" ujar Umar. "Sultan meminta jangan sampai kebijakan tersebut terlalu membebani masyarakat dan justru menciptakan generasi masyarakat miskin baru!" (Kompas, 21-3) "Kekhawatiran munculnya generasi masyarakat miskin baru itu diteriakkan ribuan buruh yang demo di depan Istana Merdeka, Rabu!" timpal Amir. "Menurut buruh, upah minimum umumnya naik sesuai tingkat inflasi di bawah 10%. Hanya upah buruh Bekasi yang naik di atas 10% karena memblokade jalan tol! Maka itu, akibat kenaikan harga BBM 33% yang didahului dan disertai kenaikan harga bahan pokok hingga setara, kaum buruh tenggelam dalam kemiskinan baru—karena upahnya tekor lebih 20% dari harga bahan pokok akibat kenaikan harga BBM!" "Itu juga jadi alasan buruh menolak BLT karena dengan upah minimum umumnya di kisaran Rp1 juta, nilai 20% dari ketekoran itu tak tertutupi oleh BLT Rp150 ribu/bulan!" tegas Umar. "Belum lagi biaya mengambilnya lewat antrean di Kantor Pos, yang bisa mengganggu jam kerja buruh!"

"Itu menunjukkan langkah pemerintah dalam menaikkan harga BBM tidak proporsional dan bijaksana seperti harapan Sultan!" timpal Amir. "Tak proporsional karena membebani masyarakat, terutama kaum buruh jauh lebih berat dari kemampuan nyata mereka! Tak bijaksana karena dengan beban yang lebih berat dari kemampuan nyata itu menyeret mereka ke dalam generasi miskin baru!" "Itu baru terkait buruh pabrik yang jelas standar upah minimumnya!" tegas Umar. "Jauh lebih mengenaskan nasib buruh tani yang tak pernah diperhatikan pemerintah standar upah dan hubungan kerjanya dengan para tuan tanah pemilik sawah luas! Dalam keadaan normal saja kehidupan mereka sudah terbenam di lembah serbakekurangan, konon lagi ketika harga bahan pokok dikatrol naik harga BBM sampai 33%!" 

"Kekhasan kondisi dan penderitaan mereka luput dari perhatian khusus penguasa, karena sudah masuk generalisasi penerima bantalan BLT!" timpal Amir. "Hal sama dialami nelayan yang semusim terakhir terganggu melaut akibat cuaca buruk! Mereka memang sudah dibantu ala kadarnya, tapi untuk menerima beban kenaikan harga kebutuhan hidup yang telak, jelas mereka sangat kewalahan! Demikianlah beratnya mereka pikul beban anggaran yang oleh elite seenaknya dialihkan ke pundak mereka!" ***
Selanjutnya.....

Pelayanan BUMN di Mata Menteri!

"MENTERI Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, Selasa pagi, kecewa di gardu tol Senayan arah Slipi. Antrean mobil masuk tol sudah panjang, hanya dilayani dua gardu (manual dan otomatis), sedang dua gardu tol lagi masih tutup!" ujar Umar. "Dahlan turun dari mobil yang ia kendarai sendiri, membuka gardu tol yang tadi tutup, dan mempersilakan mobil lewat gratis!" "Sang Menteri kecewa karena tiga bulan lalu ia sudah memberi petunjuk jika antrean lebih lima mobil agar dibuka layanan gardu baru, ternyata pagi itu antrean sudah lebih 30 mobil tak juga dibuka gardu baru!" timpal Amir. "Namun, intinya Menteri kecewa pelayanan BUMN pada customer belum optimal, masih jauh dari harapan! Jadi, bukan cuma kecewa pada petugas gardu tol yang terlambat masuk, melainkan juga kecewa pada pelayanan BUMN secara umum, terutama yang langsung melayani publik seperti di bidang transportasi!"

"Bicara layanan publik BUMN bidang transportasi darat, laut, dan udara, sekaligus terkait dengan terminal, pelabuhan, dan bandara, jelas dalam banyak hal masih membuat Menteri kecewa!" tegas Umar. "Dalam banyak hal, layanan itu masih kurang memadai, umumnya akibat orientasinya yang cenderung terlalu komersial atau dipaksa cari untung besar, padahal pada sisi lain perawatan peranti operasional dan pelayanan oleh sumber daya manusianya (SDM) kurang berkualitas!" "Tepatnya, profesionalisme pelayanan publiknya masih perlu peningkatan signifikan, tanpa kecuali sering konsumen harus bayar lebih mahal dari layanan swasta di bidang usaha sejenis!" timpal Amir. "Lebih sulit lagi dinilai jika usaha monopoli sehingga tak ada bandingan, seperti kereta api! 

Di Jepang, BUMN kereta api—JR (Japan Railway)—yang juga mengoperasikan Shinkansen tak kalah bersaing layanan dengan KA swasta! Di sini, membuat palang kereta di banyak lintasan ogah sehingga setiap kali terjadi seperti di Tasikmalaya, Minggu (18-3), 11 nyawa sekali melayang tergilas KA!" "Tindakan Dahlan di gardu tol Selasa pagi itu mengalunkan gema strategis di lingkungan BUMN nasional!" tegas Umar. "Semua unsur dalam jajaran BUMN, pimpinan, sampai pekerja lapisan terbawah supaya bekerja keras dengan orientasi mewujudkan BUMN itu tangan negara untuk melayani rakyat meningkatkan kesejahteraannya! Dengan begitu, harus diciptakan keseimbangan orientasi antara fungsi eksistensial BUMN sebagai tangan negara melayani rakyat dan BUMN sebagai lembaga bisnis yang harus cari laba! Terciptanya kedua sisi itu akan menghasilkan keseimbangan yang ideal pada kehidupan BUMN!" ***
Selanjutnya.....

Parpol Adu Jago di DKI Jakarta!

"MENYAINGI dua pasangan calon independen, Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria, parpol adu jago dalam Pilkada DKI Jakarta yang pendaftarannya ditutup Senin tengah malam!" ujar Umar. "PD menjagokan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, PDIP Jokowi-Ahok, Golkar Alex Noerdin-Nono Sampono, dan PKS Hidayat Nurwahid-Didik J. Rahbini! Tampak, tarung berebut 'B-1' bakal seru!" "Usaha parpol pesaing mendatangkan jago dari luar Jakarta—Jokowi dari Solo, Ahok dari Belitung Timur, Alex Noerdin dari Sumatera Selatan—karena petahana didukung partai berkuasa, menguasai jaringan birokrasi, juga popularitasnya masih baik!" timpal Amir. "Para penantang untuk tahap awal hanya bisa masuk lewat kegagalan Foke (sapaan Fauzi Bowo) atas sesumbarnya saat kampanye cagub sebagai ahli mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas, dengan kenyataan banjir dan macet di Jakarta justru semakin parah!" 

"Tapi jago-jago yang dipasang parpol itu bukan sekadar untuk mengalahkan petahana pada titik lemahnya itu! Melainkan dengan keunggulan khas masing-masing!" tegas Umar. "Joko Widodo alias Jokowi yang memenangi Pilkada Kota Solo dengan 92% suara pendukung, dikenal merakyat dan bersih dari korupsi! Merakyat dalam arti amat memperhatikan kepentingan rakyat kecil yang lemah! Kalau dia terpilih jangan-jangan akan dia hapuskan perda yang melarang pengamen dan pengemis dengan ancaman hukuman bagi pemberi bantuan pada mereka! Lalu Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama, mantan Bupati Belitung Timur dan kini anggota Komisi II DPR, merupakan teladan bagi warga Tionghoa, kalau mau serius persamaan hak dalam berpolitik bagi semua warga negara bisa terwujud!" 

 "Lain lagi Alex Noerdin, sebagai gubernur ia sukses mengangkat Sumatera Selatan menyelenggarakan PON dan SEA Games, yang tentu semua itu didasari keberhasilan membangun prasarana dan sarana fisik pembangunan daerah!" timpal Amir. "Tapi tak kalah istimewa pasangan Hidayat Nurwahid yang mantan ketua MPR dan ekonom Didik J. Rahbini! Pasangan ini menguji fenomena PKS yang sendiri melawan semua partai pendukung Fauzi Bowo di pilkada lalu, mampu meraih suara lebih 40%!" "Artinya, PKS diuntungkan dengan suara parpol pendukung Fauzi Bowo pada pilkada lalu kini terpecah dalam beberapa pasangan pesaing, ditambah dua pasang calon independen pula!" tegas Umar. "Jika PKS bisa mempertahankan fenomena pilkada sebelumnya, pasangan Hidayat Nurwahid-Didik J. Rahbini bisa menang kompetisi!" ***
Selanjutnya.....

Harga BBM Naik, Perbesar Penjara!

"KOMPENSASI yang harus diprioritaskan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah memperbesar kapasitas ruang penjara!" ujar umar. "Itu karena kompensasi semacam BLT tak mampu sepenuhnya menahan kerasnya dorongan terhadap kelompok termiskin untuk masuk arus rentan kriminalitas dari kelas copet, jambret, sampai kelas begal dan curas!" "Hal itu menyebabkan setiap kebijakan yang jelas-jelas menambah berat beban ekonomi warga lapisan bawah langsung menjadi kunci pembuka bagi penghuni baru rumah-rumah tahanan dan kemudian lembaga pemasyarakatan (LP) alias penjara!" timpal Amir. "Padahal, menurut Patrialis Akbar ketika menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, nyaris semua LP di Indonesia overcapacity, jauh dari kewajaran! Penjara-penjara berkapasitas di bawah 1.000 diisi lebih 2.000 terpidana!" "

"Karena itu, saat harga BBM naik dan diikuti lonjakan angka kriminalitas yang mengirim sampahnya ke penjara, penjara dapat tambahan tekanan 'kelebihan muatan'!" tegas Umar. "Narapidana seantero negeri mendapat bonus penderitaan ekstra akibat kenaikan harga BBM! Mereka semakin berjubel di ruang yang terasa semakin sempit, banyak ruangan penghuninya harus bergantian tidur. Sebab, kalau semua berbaring bersamaan, ruangannya tak muat! "Tapi itu saja belum cukup! Saat kriminalitas meningkat, korbannya juga bertambah!" timpal Amir. "Artinya, sekali sabet kebijakan menaikkan harga BBM, muncrat secara simultan banyak akibat langsung dan tidak langsung, semuanya menambah dalam penderitaan rakyat secara multikompleks!

 Sedang dari masa ke masa, setiap penguasa menaikkan harga BBM yang diberi kompensasi cuma dampak ekonomisnya, itu pun jauh memadai dari kekurangan sebenarnya akibat kebijakan itu, hingga dampaknya ke bidang-bidang lain yang semakin jauh dari kemampuan rakyat untuk memikulnya tak dapat penanganan memadai! Tak bisa dihindari, kondisi kehidupan rakyat yang tak lebih membaik akibat kelelahan jadi eksperimen politik itu (Kompas, 15-3) memperbesar arus ke lorong kriminal!" "Itu akibat penguasa, terutama politisi, setiap kali membuat kebijakan menggunakan kacamata kuda, hanya melihat dampaknya ke depan, tanpa memikirkan dampak sampingnya yang justru lebih beraneka dan kompleks!" tegas Umar. "Akibatnya, dampak ke depan kebijakannya saja tak teratasi sepenuhnya, ditambah dampak samping yang tak tersentuh, kondisi rakyat terus semakin teruk! Dan itulah sukses politisi menyengsarakan rakyat yang dijadikan eksperimen!" ***
Selanjutnya.....

Uang Muka Dipatok, Kredit Motor Anjlok!

"KERJA di mana, Kak?" tanya cewek kepada cowok tampan di sampingnya dalam BRT (bus kota). "Biaya'an!" jawab cowok dalam bahasa Jawa yang berarti tak tentu arah, sebagai pengakuan jujur bahwa dirinya penganggur. Tapi, si cewek menafsir bidang pekerjaan yang dia ketahui. "Pembiayaan?" tukasnya. "Wah, di kantor Kakak sedang menghadapi perubahan drastis terkait Peraturan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan tanggal 15 Maret 2012 tentang Aturan Uang Muka Kredit Kedaraan Bermotor!" "Kok tahu ada aturan begitu?" cowok tercengang. "Kan baca koran!" tegas cewek. "Uang muka kredit motor dipatok minimal kalau lewat bank 25%, lewat lembaga pembiayaan 20%! Mobil nonproduktif lewat bank 30%, lewat pembiayaan 25%! Untuk mobil produktif 20%, baik lewat bank maupun lembaga pembiayaan! Jadi, untuk kredit sepeda motor bebek baru sekarang minimal harus punya uang Rp3 juta!" 

"Kalau uang muka dipatok relatif tinggi begitu, mudah ditebak jumlah kredit motor baru bakal anjlok!" timpal cowok. "Menguntungkan BRT, penumpangnya tak cepat tumpas beralih ke sepeda motor! Sebab, semurah-murah ongkos bus kota, sebaik apa pun layanannya, orang merasa lebih bebas dengan punya motor sendiri!" "Tapi, keamanannya?" entak cewek. "Mayoritas korban kecelakaan kendaraan bermotor di jalan raya pengguna sepeda motor!" "Soal itu, 99,99% orang meninggal di tempat tidur! Apa lantas orang takut tidur di tempat tidur?" timpal cowok. "Sudah jadi pemandangan sehari-hari anak-anak usia SD-SMP mengendarai sepeda motor bonceng tiga tanpa helm dan ngebut dari jalan kampung ke jalan raya! Kalau ditanya kenapa bonceng tiga, jawabnya ketus, karena tak muat bonceng empat!

 Dan itu dianggap normal, karena tak ada polisi yang menangkap mereka!" "Oleh karena itu, peraturan baru itu bukan cuma bisa meningkatkan keamanan bagi kredit bank dan lembaga pembiayaan, melainkan juga bisa mengurangi kepesatan penambahan kendaraan bermotor di jalan raya, yang sudah mencapai tingkat kredit hingga macet di mana-mana!" tegas cewek. "Itu sekaligus bisa membantu usaha menekan tren peningkatan kasus kecelakaan di jalan raya!" "Soal peningkatan keamanan bank, lembaga pembiayaan, dan jalan raya itu boleh-boleh saja! Tapi, turunnya penjualan kendaraan akan menurunkan daya serap tenaga kerja, itu yang disesalkan!" timpal cowok. "Saat normal saja banyak pengganggur tak terserap, konon lagi lapangan kerjanya malah dipersempit!" ***
Selanjutnya.....

Antisipasi Tsunami Ekonomi Dunia!

"JADI susah sekali cari duit!" keluh Tuman pada Temin. "Kita kumpulkan daun lidah buaya dari pekarangan rumah warga, yuk! Kalau dengan alasan membersihkan sarang nyamuk Aedes aegypti, pasti disambut gembira! Setelah daun terkumpul banyak, kita titipkan Temon untuk disetor ke pabrik, dicampur dengan daun lidah buaya hasil panenan dari ladangnya!" "Apa? Mau mencampur daun lidah buaya dari pekarangan dengan hasil panen ladangku?" entak Temon yang tiba-tiba muncul. "Dasar Tuman! Di zaman krisis mau neko-neko! Kalau kau campur daun lidah buaya beda clone ke dalam bahan baku minuman segar itu, di negeri tujuan ekspor sana nanti konsumennya muntah-berak sampo! Ekspor komoditasnya kemudian ditolak dan pabriknya tutup, lalu ratusan buruh pabrik dan petani daun lidah buaya jadi penganggur!"
"Entah kenapa, otak Tuman sering kotor!" sela Temin. "Kayak spekulan, saat krisis malah cari kesempatan dalam kesempitan, tanpa peduli akibatnya merugikan orang banyak, sekaligus merusak perekonomian bangsa!" "Memang! Lebih 10 tahun krisis multidimensional tak kunjung pulih karena para spekulan justru suka bermain di saat krisis!" tukas Temon. "Ada yang impor beras hingga harga beras petani jeblok! Ada yang memainkan distribusi minyak goreng sehingga meski produk dalam negeri berlimpah, rakyat harus antre minyak goreng! Ada yang spekulasi minyak tanah, dan lain-lain!" "Malah, ada yang beli udang cacat dari China, lalu diekspor ke Amerika pakai label Indonesia!" timpal Temin. "Akibatnya, berkapal-kapal ekspor udang dari Lampung ditolak dan kembali ke Panjang! Baru setelah pejabat bea cukai Amerika datang melihat lapangan produksi dan proses kemasannya, masalah selesai!" "Itu dia! Bayangkan berapa ribu petambak dan pekerja pabriknya bisa jadi penganggur kalau pejabat Amerika tak mau tahu urusan produsen di sini!" tegas Temon. "Semua itu, perlu diangkat sebagai tanda bahaya kepada semua pihak di negeri kita agar tak neko-neko di saat krisis yang terakhir ini! Krisis terdahulu saja yang cuma riak kecil untuk skala dunia, lebih 10 tahun kita tak bisa bangkit kembali! Apalagi krisis terakhir ini yang dilukiskan Alan Greenspan sebagai tsunami ekonomi dunia! Jika kecenderungan spekulatif dari pihak mana pun itu tak bisa dihentikan saat labrakan krisis global ini sampai di negeri kita, entah jadi seperti apa rusaknya negeri ini nanti!" "Maka itu, Tuman! Jangan neko-neko!" sela Temin. "Bagaimana tak berpikir neko-neko, kalau rakyat kecil seperti saya sekarang cari duit sangat susah sekali!" jawab Tuman. "Boro-boro cari kerja, yang sudah kerja saja puluhan ribu di-PHK!" "Tunggu saja dana stimulus proyek padat karya infrastruktur, siapa tahu bisa kebagian giliran kerja!" timpal Temon. "Cuma itu yang bisa diharap?" sambut Tuman. "Tak sebanding dengan gegap-gempita iklan-iklan suksesnya di televisi!" ***
Selanjutnya.....

KPK Meresahkan Presiden!

"Presiden SBY mengkhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadi superbody yang tak terkontrol oleh lembaga mana pun! Pernyataan itu dipelintir seolah Presiden ikut mengebiri KPK, yang arusnya memang cukup deras!" ujar Umar. "Untuk itu, Presiden meluruskan, maksudnya KPK juga harus check and balance, seperti semua lembaga negara lainnya, termasuk kepresidenan! Lalu, BPKP—entah betul atas perintah Presiden—ngotot untuk mengaudit KPK!" "Dari proses seputar pernyataan itu terkesan kuat sepak terjang KPK memberantas korupsi selama ini rupanya meresahkan Presiden juga!" sambut Umar. "Kenyataan itu kontroversial dengan iklan kampanye antikorupsi dari tim suksesnya yang gencar tayang di semua televisi nasional! Waktunya bertepatan pula dengan memuncaknya isu gerakan usaha mengebiri KPK! Tak ayal, pernyataannya dalam konteks situasi seperti itu memudahkan untuk dipelintir seolah Presiden menjadi sosok di balik gerakan mengebiri KPK!"

"Konon lagi yang dipermasalahkan Presiden soal check and balance, yang wajar dianggap aneh jika Presiden tidak tahu selama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit KPK, bukan saja secara rutin, melainkan juga setiap timbul kecurigaan secara kasuistik—seperti saat tersiar KPK menyadap ponsel Rani Juliani dan Nasrudin yang tak ada hubungannya dengan kasus korupsi!" timpal Umar. "Atas dasar sebenarnya KPK tidak out of control itulah, ketika Presiden meresahkan cara kerja KPK, disusul BPKP (lembaga yang dibentuk dengan keppres hingga eksis sebagai kepanjangan tangan Presiden) ngotot untuk mengaudit KPK, mudah pula ditafsirkan Presiden mau mengobok-obok KPK!" "Apalagi BPKP yang cuma produk keppres sebenarnya enggak level dengan KPK yang dilahirkan oleh konstitusi—UUD!" tegas Amir. "Jadi, dalam hierarki sistem ketatanegaraan, yang berjalan selama ini sudah benar, BPK yang mengaudit KPK! 

Jika dipaksakan juga BPKP mengaudit KPK, kacaulah sistem ketatanegaraan kita—seperti Bawasda diberi wewenang mengaudit gubernur provinsi lain, di luar wilayah yurisdiksinya!" "Tapi hal itu bukan mustahil akan dipaksakan juga, jika KPK mau diacak-acak atau bahkan dihancurkan!" timpal Umar. "Mencemaskan KPK tumbuh menjadi superbody saja sudah keliru karena KPK memang diciptakan sebagai superbody, yang mekanisme kerjanya dibuat dengan mengatasi sistem operasi dan prosedur (SOP) lembaga-lembaga penegak hukum yang ada! KPK telah membuktikan superbody-nya dengan menggeledah ruang kantor ketua Mahkamah Agung, atau sejumlah jaksa agung muda, serta menyadap teleponnya! Semua itu hanya bisa dilakukan oleh sebuah lembaga superbody!" "Namun, kita harus tetap berprasangka baik!" tegas Amir. "Presiden yang antikorupsi pasti tidak akan pernah berniat melumpuhkan KPK!" *** 

===============================
Pembaca, Buras ini pernah dimuat 29 Juni 2009. Dimuat kembali 
karena penulis H. Bambang Eka Wijaya berhalangan sakit.
==============================
Selanjutnya.....

Janji Temon, Janji Politisi!

TEMON yang tak bisa nyanyi, setiap ada organ tunggal selalu bersembunyi untuk menghindari permintaan agar dia menyanyi. Tapi, pada suatu malam saat ada organ tunggal, di depan teman-temannya dia berkata lantang, "Kalau malam ini aku tak diminta menyanyi, aku tidak pulang!" "Tumben!" entak Temin terkejut. Dia dan teman-teman pun serentak mencari kertas dan pena untuk membuat request agar Temon menyanyi. Tak lama Temon dipanggil pembawa acara untuk menyanyi. Dengan senyum Temon menghidupkan sepeda motornya dan bersiap pulang! Temin mengejarnya, "Kau tadi janji kalau malam ini tak diminta menyanyi kau tidak mau pulang!" "Betul!" jawab Temon. "Karena sudah diminta untuk menyanyi, berarti aku sudah bisa pulang! Aku tidak melanggar janji, kan?" "Janjimu seperti janji politisi!" tukas Temin. "Secara logika tidak melanggar janji, tapi dalam praktek terjadi sebaliknya! Janjimu menyanyi, tapi dengan rasionalisasi jadi tetap logis meskipun tidak menyanyi!" 

"Memangnya kita rakyat ini mau belajar dari siapa kalau tidak dari politisi?" timpal Temon. "Misalnya janji meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan parameter turunnya angka kemiskinan yang diukur dengan satuan konsumsi! Secara logika memang angka-angka parameter kemiskinan menurun, tapi penderitaan rakyat yang efektif dirasakan justru bertambah berat! Kenapa bisa begitu? Karena angka satuan konsumsi naik dalam dua tahun dari sekitar Rp169 ribu jadi Rp182 ribu atau tak sampai 10%! Padahal, harga beras pada periode sama naik dari Rp3.000 menjadi Rp5.500 alias lebih 70%! Konon lagi, beras dan bahan pangan lain mengakomodasi lebih 60% konsumsi warga miskin!" "Asumsinya, beras itu produksi mayoritas rakyat petani sehingga kenaikan harga beras dianggap menaikkan pendapatan petani!" tegas Temin. "Asumsi itu 100% betul dan logis buat petani kaya berlahan luas!" timpal Temon. 

"Tapi bagi sebagian besar petani berlahan sempit yang di musim tanam sudah membeli beras, apalagi buruh tani yang membeli beras dari musim ke musim, peningkatan harga kebutuhan pokok menjadi peningkatan beban hidup yang beratnya sebanding dengan selisih persentase peningkatan harga satuan konsumsi yang di bawah 10% dengan peningkatan konsumsi nyata yang lebih 70%!, Itu lebih dekat pada pengukuran kemiskinan dengan rasio gini." (Buras, 21-6-2009) "Begitulah janji politisi, secara logis dengan angka-angka kuantitatif terlihat adanya peningkatan kesejahteraan rakyat, tapi secara kualitatif yang dirasakan warga miskin beban hidup justru terasa makin berat saja!" tegas Temon. "Dengan logika angka-angka itu, politisi memang terkesan tidak melanggar janji—seperti janjimu untuk menyanyi yang tetap logis meskipun kau tidak menyanyi!"
Selanjutnya.....

Beban Rakyat!

SEORANG istri curiga, suaminya main golf rutin Sabtu sore biasa pulang magrib, sampai lewat pukul 20.00 belum pulang. Ia telepon ke klub, dijawab lapangan sudah kosong.Di puncak kegelisahan, mobil suaminya masuk garasi. Ia bergegas untuk mendamprat, tapi begitu keluar mobil suaminya mendahului. "Harry, kena serangan jantung di hole tiga! ujar suami menyebut teman mainnya. "Kalau baru di hole tiga berarti masih siang!" sambut istri."Dengan mengantarnya ke rumah sakit, kau bisa pulang sebelum magrib!" "Enak saja!" entak suami. "Sejak remaja kita dididik, apa pun yang terjadi harus menyelesaikan yang sudah diniatkan: the show must go on! Jadi aku harus menyelesaikan permainanku! Memukul, menggotong Harry! Memukul lagi, menggotongnya lagi! Sampai selesai, baru ke rumah sakit!" "Jadi kau gotong orang sekarat sepanjang permainan?" timpal istri."Kan sudah kukatakan, the show must go on!" tegas suami. 

"Seperti juga pemerintah, bukannya cepat-cepat menyelesaikan semua beban warisan penguasa lama, tapi malah berlarut-larut mengalihkan beban berat itu ke pundak rakyat! Hampir seratus triliun setahun APBN yang ditarik dari uang rakyat hanya untuk membayar utang dalam dan luar negeri, sedang subsidi BBM dan listrik ditekan dan lagi-lagi, menambah beban ke pundak rakyat!" "Maksudmu seperti Argentina, mengesampingkan sementara semua beban penguasa lama demi mendahulukan kepentingan rakyat?" timpal istri. "Kenapa tidak?" tukas suami. "Tanggung jawab pada beban warisan penguasa lama oke, komitmen untuk itu tetap, tapi minta waktu sejenak untuk menyelamatkan kehidupan rakyat dulu!" "Untuk kita, kemungkinannya bagaimana?" tanya istri. "Tergantung political will sejak awal!" jawab suami. "Misalnya, semua harta sitaan BPPN yang Rp500 triliun lebih itu diserahkan saja ke IMF sebagai pelunasan utang luar negeri! 

Bagaimana IMF mencairkan harta itu, urusan mereka! Kemudian dana rekapitalisasi perbankan Rp600 triliun lebih, yang bunganya membebani APBN lebih Rp50 triliun setahun itu, cepat-cepat didivestasi dengan menjual saham pemerintah kepada swasta mana saja! Pemilik lama mau beli sahamnya kembali silakan, yang penting beban APBN yang harus dipikul rakyat tumpas!" "Tapi, kalau menempuh cara itu, pemerintah jadi tak ada kerjaan lagi!" timpal istri. "Prinsip the show must go on! Tak jalan!" "Kenapa jadi tak ada kerjaan?" entak suami. "Justru dengan lepas dari beban warisan penguasa lama itu, pemerintah bisa memfokuskan usaha meringankan segala bentuk beban dari pundak rakyat! Jadi bukan malah sebaliknya, segala beban alternatifnya cuma pundak rakyat!" "Jadi rakyat yang sekarat, harus memanggulnya dari hole ke hole sepanjang permainan!" timpal istri. *** 

===================================
Pembaca, Buras ini pernah dimuat 7 Januari 2002.
Dimuat kembali karena penulis H. Bambang Eka Wijaya berhalangan sakit.
===================================
Selanjutnya.....

Tradisi Kritik Belum Terbentuk! (2)

"SISI lemah sebagai kendala utama terbentuknya tradisi kritik justru pada penyampaian kritik!" ujar Umar. "Kritik disampaikan lebih menonjolkan emosionalitas ketimbang rasionalitas, menuding tanpa argumentasi memadai ketimbang mengurai masalah secara jernih untuk menunjukkan kelemahan atau kesalahan objek yang dikritik! Lalu, diboboti pemaksaan kehendak sepihak ketimbang membuka ruang untuk diskusi mencari alternatif solusi secara bersama-sama!" "Hal itu mudah dipahami karena sepanjang Orde Baru rakyat dibungkam, tak kenal kritik!" sambut Amir. "Sedang reformasi itu sendiri, secara nyata merupakan paduan pekik perjuangan mahasiswa dengan amuk massa (kerusuhan Mei '98) yang tersimpul sebagai people power meruntuhkan Orde Baru! Kritik emosional lewat unjuk rasa itu merupakan metamorfosis dari amuk massa yang diformat dalam kerangka—seolah-olah—sebagai pelaksanaan demokrasi perwakilan!" 

"Pseudomatika—keseolah-olahan—demokrasi perwakilan itu terkesan kuat, dengan lembaga-lembaga representatif hasil pilihan rakyat yang menjadi tumpuan demonstran!" tegas Umar. "Namun, hakikat dari perwakilan atau malah kerakyatan itu sirna saat para pemimpin hasil pilihan yang menampung aspirasi rakyat itu mengambil keputusan lebih berorientasi pada kepentingan kelompok elitenya! Perbandingan anggaran publik yang selalu lebih kecil dari anggaran rutin atau biaya operasional lingkungan kerja elite, membuktikan hal itu!" "Celakanya, terkait dengan usaha mendahulukan kepentingan kelompoknya itu, kalangan elite tak segan mengenyampingkan usul dan kritik massa yang ditampungnya!" timpal Amir. "Untuk itu, elite berwajah ganda! Di depan massa mereka sok pahlawan memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi dalam praktek selalu lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompok elitenya semata!" "Semua sisi lemah massa dalam penyampaian kritiknya dimanipulasi elite seolah-olah proses demokrasi perwakilan telah berjalan dengan baik, justru untuk mengelak dari kritik kelompok kritis seperti dari kubu intelektual, pers, dan LSM!" tutur Umar.

 "Alhasil, elite dan kelompok penguasa yang pada dasarnya masih antikritik, menjadikan kritik emosional dari massa yang seolah-olah telah diakomodasi itu sebagai alasan mengelak untuk committed pada kritik yang sebenarnya—dari kubu intelektual, pers, dan LSM!" "Dengan demikian, suatu tradisi kritik yang efektif masih perlu waktu lagi untuk bisa terbangun secara ideal!" tegas Amir. "Kondisi ideal tradisi kritik itu baru terbangun kelak setelah pendidikan mampu mencetak massa kritis dalam jumlah besar sehingga bobot kritik massa lebih rasional ketimbang emosional, mampu menekan perilaku elite yang selalu mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya semata!" ***
==============================
Pembaca, Buras ini pernah dimuat 5 September 2009. 
Dimuat kembali karena penulis H. Bambang Eka Wijaya berhalangan sakit. ==============================
Selanjutnya.....

Tradisi Kritik Belum Terbangun! (1)

"SATU dekade reformasi, dasar kultural bagi masyarakatnya yang kritis, tradisi kritik, belum terbangun!" ujar Umar. "Presiden SBY sebenarnya amat menyadari pentingnya tradisi itu sehingga membuka jalur hotline di 9949 dan PO Box 9949 Jakarta 10000, tapi hasilnya belum optimal! Nasib Arif Rohmana, guru Pandeglang, yang sempat 18 jam ditahan polisi akibat mengirim SMS ke telepon Ibu Negara, salah satu petunjuknya!" "Staf Ahli Presiden, Heru Lelono, menyatakan di televisi, semua keluhan atau laporan yang masuk hotline Presiden diproses! Malah ada yang dibawa ke sidang kabinet! Namun, sebagian diteruskan ke instansi yang terkait untuk ditangani!" sambut Amir. "Pada kasus Arif, bisa saja SMS diteruskan ke PLN atau PLTU Labuan, tapi mungkin, di alamat terakhir ini diperam sehingga Arif frustrasi!" "Maka itu, untuk membangun tradisi kritik hingga melembaga, pengelolaan hotline Presiden perlu dibenahi dengan mekanisme kontrol terhadap proses di instansi teknis yang menerima terusan hotline Presiden!" tegas Umar. "Seiring itu, dibuat standar pelayanan keluhan, laporan dan kritik dari warga di kantor pemerintahan dan DPRD, agar tak lagi terjadi ratusan warga yang menyampaikan keluhan menginap berhari-hari di DPRD, tak satu pun wakil rakyat melayaninya!"

"Standar penyampaian dan pelayanan kritik itu perlu dibangun sebagai tradisi kritik dalan masyarakat reformis yang terus bertambah kritis oleh semangat keterbukaan era reformasi, justru sebagai kemajuan peradaban!" timpal Amir. "Amat pentingnya tradisi itu, menjaga agar saluran kritik tidak tersumbat, sesuai pengalaman bangsa, jika saluran kritik tersumbat berkepanjangan seperti era Orde Baru, bisa meledak jadi amuk massa yang simultan pada kerusuhan Mei 1998!" "Amuk massa yang mudah tersulut awal reformasi itu, didorong kemajuan IT dan media massa telah berubah menjadi pola kritis di jalan damai, berupa unjuk rasa dan SMS yang jauh lebih beradab!" tegas Umar. "Sebaliknya, di pihak penguasa yang cenderung justru makin tertutup! Kecenderungan itu bahkan terjadi sistemik, dengan keluarnya UU ITE, RUU Rahasia Negara, revisi UU Antiterorisme, tegangan yang lebih tinggi dari era Orde Baru!" 

 "Pergeseran dari gejala amuk massa ke unjuk rasa dan SMS itu tak lepas dari iklim demokratis yang tercipta oleh UU Keterbukaan Informasi Publik, melengkapi serangkai UU yang mengaktualkan semangat reformasi!" sambut Amir. "Inkonsistensi legislasi yang cenderung bergeser dari haluan reformasi itu layak dipertanyakan—mau dibawa ke mana reformasi? Gejala memutar balik arah reformasi ini hanya bisa dicegah dengan tradisi kritik, sarana aktualisasi sikap dasar rakyat yang telah melahirkan reformasi—dan melembaga jadi kebiasaan hidup—mengawal arah reformasi itu sendiri!" 


================================
Pembaca, Buras ini pernah dimuat 4 September 2009. 
Dimuat kembali karena penulis H. Bambang Eka Wijaya berhalangan sakit.
================================
Selanjutnya.....

Mencetak Sawah di Atas Kertas!

"DARI kabupaten baru di pesisir Timur Lampung dilaporkan pencetakan sawah baru dilakukan di atas sawah yang sudah ada!" ujar Umar. "Jadi, pencetakan sawah baru yang dibiayai APBD itu cuma menambah luas sawah di atas kertas, luas sawah sebenarnya di lapangan tak bertambah!" "Itu membahayakan ketahanan pangan bangsa!" timpal Amir. "Di satu sisi alih fungsi lahan di negeri kita per tahun mengurangi luas sawah produktif 110 ribu hektare, di sisi lain pencetakan sawah baru di seantero negeri dilaporkan cuma 50 ribu hektare, termasuk pencetakan sawah baru yang dilakukan di atas kertas itu! Berarti, luas sawah beririgasi di Indonesia yang terakhir dilaporkan 7,2 juta hektare, luas sebenarnya lebih kecil!" 

"Bahaya itu segera terlihat pada ancaman involusi pertanian—makin beratnya beban lahan pertanian memikul penghidupan manusia di atasnya seperti diingatkan Clifford Gertz dalam buku Involusi Pertanian di Jawa (1962)—saat ini beban sawah atas penduduk di Indonesia telah terberat di dunia, yakni 32 orang per hektare sawah, di China 23 orang per hektare dan India 18 orang per hektare!" tegas Umar. "Ancaman itu diperburuk lagi oleh konsumsi beras orang Indonesia yang juga tertinggi di dunia dengan 139 kg/orang/tahun, padahal di negeri-negeri ASEAN lainnya 70 kg sampai 80 kg/orang/tahun!" (TVRI, 7-3) "Lebih celaka pemerintah yang rajin beretorika meningkatkan produktivitas lahan pertanian malas memelihara jaringan dam irigasi hingga lebih 40% rusak, tapi tetap menghitung produksi rata-rata per hektare sawah 5,15 ton!" timpal Amir. "Akibatnya, dengan prediksi produksi yang terus meningkat, pemerintah pura-pura tak tahu panen rakyat yang mampu diserap Bulog untuk cadangan nasional terus menurun, ditutupi impor beras yang terus meningkat hingga mencatat rekor pengimpor beras terbesar di dunia!"

 "Pokoknya banyak petunjuk jika berbagai gejala negatif itu tak bisa dihentikan kelanjutan trennya, ancaman kurang pangan terus semakin dekat!" tukas Umar. "Ancaman masuk zona bahaya oleh sikap (seperti pada Bulog) bahwa sebesar apa pun kekurangan selalu bisa dicukupi dengan impor! Padahal, gejala involusi pertanian bukan cuma domestik di Indonesia, tapi global! Itu diperparah harga pangan dunia yang terus naik!" "Berarti, akan tiba suatu masa, dengan harga amat mahal pun tak ada lagi pangan bisa diimpor oleh negara yang kekurangan!" timpal Amir. "Saat itu bahaya kelaparan jadi nyata—sejarahnya berawal dari Lampung, mencetak sawah di atas kertas!" ***
Selanjutnya.....

BLSM, Cuma Tunjangan Kemahalan!

"BLSM—bantuan langsung sederhana masyarakat—kompensasi kenaikan harga BBM buat keluarga miskin, seperti BLT!" ujar Umar. "Kali ini besarnya Rp150 ribu/keluarga/bulan, sifatnya tunjangan kemahalan sesuai kenaikan harga kebutuhan hidup akibat kenaikan harga BBM sebesar Rp140 ribu/keluarga/bulan! (Kompas, 10-3) Maksudnya, dengan BLSM keluarga miskin bisa bertahan pada standar hidup sebelum kenaikan harga BBM!"
"Jadi seisi negara dibuat repot oleh kebijakan itu, presiden, menteri-menteri, anggota DPR, rapat siang-malam, Bank Sentral mencetak duit ekstra dan mendistribusikan ke seantero negeri, aparat kabupaten/kota dan desa keliling woro-woro kapan pembagian dilakukan, lalu keluarga miskin turun gunung belasan kilometer menuju antrean BLSM di Kantor Pos kecamatan, tujuannya satu, mempertahankan standar hidup pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM!" timpal Amir. "Kenapa para pemimpin gemar mendramatisasi semua itu cuma untuk membawa keluarga miskin berputar dari kondisi A kembali ke kondisi A lagi? Itu pun jika semua sesuai prediksi! Jika ekses kenaikan BBM lebih buruk dari prediksi, kondisi warga miskin jadi lebih terpuruk!" "Tujuan utamanya agar anggaran subsidi BBM tidak membengkak terlalu besar!" tegas Umar. "Kalau terlalu besar kenapa?" kejar Amir. "Bisa dinilai negatif Bank Dunia!" jawab Umar. "Cuma itu kerepotan semua orang seisi negara bermuara? Menjaga reputasi pemerintah di mata Bank Dunia?" tukas Amir. "Celaka tiga belas kita! Belum lagi repotnya orang sektor perhubungan menjalankan public services obligation (PSO) yang menghabiskan dana Rp5 triliun selama 9 bulan, April—Desember 2012, kompensasi buat pengusaha angkutan agar tidak menaikkan tarif sesukanya!" "Ternyata malah kau yang mendramatisasi betapa repotnya orang seisi negara dibuat kenaikan harga BBM yang bisa mendegradasi standar hidup keluarga miskin kalau tak disangga BLSM!" timpal Umar. "Tapi, memang bisa dibayangkan betapa repotnya 17,5 juta keluarga dengan 74 juta warga miskin itu dibuat pembagian uang Rp26,5 triliun selama sembilan bulan hanya agar Bank Dunia tak menilai negatif pemerintah kita! Jangan-jangan biaya semua kerepotan itu kalau dikelola efektif bisa buat mengentaskan lebih banyak warga miskin ketimbang yang dicapai pada 2011, hanya 132 ribu orang dengan biaya Rp86 triliun!" "Tapi realitasnya?" sambut Amir. "Malang nian bangsa ini, tak punya seorang saja teknokrat yang mampu membuat loncatan maju hingga bangsa tak seperti gabah dikitari—berputar di situ terus!" ***
Selanjutnya.....

Menaikkan BBM, Menyayat IPM!

"PACUAN kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok selalu mendahului rencana kenaikan harga BBM, bahkan saat kebijakan penaikan harga BBM-nya sendiri belum jelas bentuk, besaran, maupun kompensasinya!" ujar Umar. "Itulah yang terjadi kembali sejak pekan ini, menyayat pilu perasaan rakyat yang selalu gagal menggapai kesejahteraan yang ditabur dalam janji manis penguasa!" "Anehnya penguasa bisanya cuma mengulang dan mengulang lagi kebijakan serupa, yang terbukti gagal mengantarkan rakyat mencapai kehidupan sejahtera, kebijakan yang tak bisa mengurangi pilunya penderitaan dengan kompensasi yang sungguh jauh dari pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat!" timpal Amir. "Pokoknya kemampuan penguasa cuma sebatas begitu-begitu saja, lalu mengklaim berhasil membawa negara-bangsa ini maju! Maju ke mana, kalau masalah dan cara mengatasinya masih sama, itu-itu juga, begitu-begitu juga!"

"Sebaliknya, kehidupan rakyat serbakekurangan yang berlarut-larut itu diulang-ulang penguasa dari waktu ke waktu, rakyat jelata diperlakukan seperti baterai yang tak pernah di-charge penuh, kondisi fisik dan mentalnya pun makin soak saja!" tegas Umar. "Itu tampak di indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang justru merosot dari peringkat 109 menjadi peringkat 124 dari 187 negara di dunia pada 2012! (Pikiran Rakyat Online, 3-3-2012) Artinya, semakin sok pintar penguasa beretorika bahwa kebijakan menaikkan harga BBM ini merupakan pilihan terbaik bagi rakyat, maka semakin pedih pula perasaan rakyat tersayat oleh realitas penderitaan yang semakin pilu!" "Dengan standar universal IPM itu sebagai ukuran maju-mundur atau naik turunnya kualitas bangsa, arti kenaikan BBM tak bisa hanya diukur dengan pengaruhnya pada kenaikan harga kebutuhan yang menyongsong dan mengikutinya kemudian!" timpal Amir.

 "Tak boleh dilupakan ekses kenaikan harga barang-jasa pada pendidikan, kesehatan, dan tekanan mental sosial ekonomi yang kian berat dipikul rakyat! Ini jelas tak cukup sekadar diukur dengan persentase dan nilai rupiah akibat kenaikan BBM pada barang dan jasa!" "Tepatnya, tidak memadai lagi penggunaan ukuran materialistik-kuantitatif semata dalam menghitung ekses kebijakan terhadap kehidupan masyarakat!" tegas Umar. "Bukan pula cuma dilengkapi dengan pengukuran kualitatif, tapi tak boleh dikesampingkan pedihnya perasaan rakyat yang memikul beban kebijakan! Melupakan perasaan rakyat berarti memimpin tanpa nurani!" ***
Selanjutnya.....

Kasus Kawula Alit Sulut Konflik Elit(e)

"USAI rapat di kantor Menko Polhukam, Jakarta, yang menugasi Pemprov Lampung mengambil alih penyelesaian konflik Mesuji, Gubernur Sjachroedin Z.P. langsung memerintahkan proses hukum atas para penggerak konflik!" ujar Umar. "Tak cukup di situ, ia menuding Abdurrachman Sarbini (Mance), bupati Tulangbawang, berada di balik tokoh penggeraknya! Tudingan itu dibantah Mance!" "Berarti, kasus penggerakan kawula alit (jelata) yang menghebohkan Republik itu menyulut konflik elite!" timpal Amir. "Asal bukan sebaliknya, justru konflik di kalangan elite tingkat provinsi yang menyulut kasus kawula alit, konflik Mesuji!" "Jangan dibolak-balik karena jika benar kasus Mesuji telah menyulut konflik elite, penyelesaian masalahnya malah lebih bisa diharapkan!" tegas Umar. "Soalnya, elite Lampung itu punya fi'il (rasa harga diri) yang amat tinggi! Ketika seorang elite dengan rasa harga diri tinggi dituding berbuat negatif, ia akan buktikan dirinya tak mungkin berbuat serendah yang ditudingkan, sekaligus menunjukkan mampu berbuat jauh lebih baik!"

"Maksudmu, dalam hal ini bisa saja Mance menemui Sjachroedin, menerima kewajiban dan tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik Mesuji yang diterima Pemprov dari rapat di kantor Menko Polhukam?" kejar Amir. "Itu pilihan ideal sikap bertanggung jawab untuk membuktikan dirinya bukan sekelas provokator seperti ditudingkan!" tegas Umar. "Apalagi Mance memang mampu membuktikan tanggung jawab sedemikian, seperti telah dia buat selama Mesuji dalam wilayah Kabupaten Tulangbawang, konflik seserius sekarang tak pernah terjadi!" "Artinya, konflik gawat itu terjadi akibat setelah keluar dari Kabupaten Tulangbawang, Mesuji jadi daerah tak bertuan!" tukas Amir. 

"Tapi apakah Sjachroedin yang menerima dari pusat tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik Mesuji itu mau menyerahkan atau mendelegasikannya pada Mance, lain soal! Tapi kau benar, konsistensi pada sikap fi'il di kalangan elite Lampung bisa menjadi dasar penyelesaian konflik secara simultan atas berbagai dimensinya!" "Tepatnya, konflik ini betapa kompleks dan ruwet sekalipun, akan selalu bisa diselesaikan ketika semua pihak kembali ke tampuk budaya, sebagai pakem yang dijunjung bersama!" tegas Umar. "Tentu semua itu tergantung keyakinan kalangan elitenya pada kemampuan budaya sebagai solusi yang luhur! Tanpa kecuali, ketika harus jalan seiring dengan proses hukum yang dijadikan pintu masuk penyelesaian konflik!" ***
Selanjutnya.....

PNS Miliarder Muda Uji Penegak Hukum!

"KETANGGUHAN penegak hukum diuji untuk tak tergelincir jebakan buatan sejumlah PNS muda (nonaktif), terutama dari Ditjen Pajak yang ditengarai PPATK memiliki rekening gendut hingga puluhan miliar!" ujar Umar. "Jebakan itu mirip buatan Gayus Tambunan hingga saat pertama diadili divonis percobaan (di PN Tangerang) lalu atas kasus yang cuma terkait dana Rp395 juta—padahal puluhan miliar terungkap! Tersangka DW kini juga menggiring penegak hukum (Kejaksaan Agung) terjebak dalam kasus hanya senilai Rp400 juta—di balik puluhan miliar temuan PPATK!" "Kemungkinan penegak hukum tergelincir kembali dalam jebakan seperti itu bukan mustahil!" timpal Amir. "Apalagi kalangan PNS muda kali ini terlihat lebih pintar bicara seperti yang salah seorangnya diberi kesempatan membela diri di Metro TV (7-3) atas rekeningnya Rp17 miliar! Ia yang masuk PNS berijazah D-3 Penilai PBB, lalu dapat kesempatan pendidikan dinas, saat mundur diri kecewa pada konspirasi (sebelum ditengarai PPATK) siap mengembalikan biaya pendidikan dinasnya!" 

"Saking pintarnya ia bersilat lidah, Sekjen Warga Pembayar Pajak Sasmita Hadinegoro memelas melihat dia yang bertubuh kurus rumahnya 141 meter di Tangerang dijadikan bulan-bulanan penegak hukum, sedang di gugusan atasnya yang terkait kasus ratusan miliar rumahnya ribuan meter di Menteng lolos dari jerat hukum!" tukas Umar. "Hal itu memperkuat beratnya tantangan penegak hukum membuktikan rekening gendut PNS muda itu hasil perbuatan melanggar hukum!" "Beratnya tantangan penegak hukum juga akibat cenderung kurang tulusnya dukungan penguasa terhadap usaha pemberantasan korupsi!" timpal Amir.

 "Seperti penyelidikan atas PNS muda yang pintar bicara itu, sudah lebih satu bulan Mabes Polri meminta izin Menteri Keuangan (atasan PNS tersebut) untuk membuka data rekeningnya, tapi tak kunjung diperoleh! Penegak hukum tak selalu bisa mengatasi kendala sejenis dalam dimensi lain yang muncul dalam proses penyidikan sehingga kasusnya stagnan—seperti Kasus Century!" "Ujian yang tak kalah berat bagi penegak hukum adalah atas rayuan gombal amplop tebal seperti yang menggelincirkan hakim, perwira Polri dan Cyrus Sinaga masuk bui dalam kasus Gayus!" tegas Umar. "Dari pengalaman negatif penegak hukum menangani kasus rekening gendut PNS muda itu, temuan PPATK atas 80 rekening gendut PNS Ditjen Pajak kali ini bisa dijadikan proses uji kompetensi penegak hukum—polisi, jaksa, KPK, dan hakim—mewujudkan rasa keadilan masyarakat!" ***
Selanjutnya.....

Dan Kasus Mesuji Diproses Hukum!

"KETUA lembaga adat Megou Pak Mesuji, Wan Mauli, ditahan Polda Lampung!" ujar Umar. "Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah Senin diperiksa terkait kasus pidana atas pengaduan seorang warga bernama Syaiful. Menurut Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih, Wan Mauli dijerat sangkaan pidana menjanjikan tanah ulayat di Register 45 Mesuji 2,25 hektare kepada warga dengan imbalan Rp1 juta buat orang lama dan Rp1,5 untuk orang baru!" (Kompas.com, 6-3) "Sementara Polres Tulangbawang usai memeriksa delapan saksi, memanggil dua tokoh masyarakat dari Kecamatan Tanjungraya, Mesuji, AE dan MT, yang dicurigai terlibat dalam pembakaran aset PT BSMI terakhir!" timpal Amir. "Tapi keduanya tidak hadir memenuhi panggilan itu. Polres menjadwal ulang pemeriksaan Senin depan!" (Metro TV, 6-3) 

"Dari kedua langkah polisi itu bisa diduga, kasus Mesuji mulai diproses secara hukum sebagai pintu masuk penyelesaiannya!" tegas Umar. "Untuk itu penolakan atas penahanan Wan Mauli dari warga Tugu Roda, Register 45, Sungaibuaya, Mesuji, bisa dipahami karena penyelesaian kasusnya justru dilakukan dengan menghentikan langkah pemandu perjuangan mereka! Tapi itulah langkah awal polisi mencari pintu masuk penyelesaian komprehensif kasus Mesuji yang demikian ruwet! Ini pilihan yang tak bisa ditolak, ketimbang kasus itu membeku berkepanjangan! Juga, lewat proses hukum itu pihak warga dapat peluang advokasi formal memperjuangkan kepentingan mereka!" "Perlu disadari pihak warga, proses hukum justru lebih efektif buat menyelesaikan sengketa, lebih-lebih kalau secara nyata pihak warga sudah punya bekal dasar penyelesaian yang disiapkan TGPF Mesuji bentukan Presiden SBY!" timpal Amir. 

"Sebaliknya jalan kekerasan, jika berlarut-larut justru merugikan kondisi fisik warga yang lemah dengan penderitaan keluarga berkepanjangan!" "Karena itu, lebih tepat warga mempersiapkan diri secara lebih baik menghadapi arena juang baru di jalur hukum guna memenangkan perjuangan!" tegas Umar. "Kalau kekerasan dan kekerasan lagi, hanya kekerasan yang tiada akhir! Sedang masa depan, tak bisa diingkari, hanya bisa diwujudkan dengan penyelesaian melalui jalan damai!" "Untuk itu, aparat hukum dan jajaran pemerintah yang menangani penyelesaian masalah ini melalui proses hukum, diharap sungguh-sungguh berdiri netral di antara yang bersengketa!" timpal Amir. "Sebab, jika langkah penyelesaiannya tidak teruji netral, setiap langkah penyelesaian berubah jadi konflik baru! Ujungnya, konflik tiada akhir!" ***
Selanjutnya.....

Nasib Guru Honorer yang kian Jontor!

"ADANYA pengetatan biaya operasional sekolah (BOS), terutama untuk membayar honor guru dibatasi maksimum 20%, mengakibatkan nasib guru honorer yang menderita berlarut jadi kian jontor!" ujar Umar. "Menurut harian Kompas (5-3) honor mereka dari sebelumnya Rp50 ribu—Rp500 ribu, turun jadi Rp50 ribu—Rp250 ribu! Jumlah guru honorer di sekolah negeri dan swasta yang tercatat saat ini 904.378 guru, dari jumlah itu 831.631 guru honorer yang diangkat sekolah!" "Dalam catatan jumlah guru yang terhimpun dalam www.wijayalabs.com, 831.631 guru itu masuk kriteria guru tidak tetap, dari jumlah guru yang terdata di Indonesia sebanyak 2.928.322!," timpal Umar. "Lucunya, justru jumlah guru honorer di sekolah negeri tak bisa dipastikan dari sembilan status guru di Indonesia! Yakni, 1. Guru PNS Kemendikbud 1.549.211; 2. Guru PNS Kemenag 24.406; 3. Guru PNS diperbantukan 133.326; 4. Guru bantu 15.584; 5. Guru honorer daerah 57.631; 6. Guru tidak tetap 831.163. 7. Guru tetap yayasan 314.355; 8. Guru honor di sekolah negeri; 9. Guru SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) sebanyak 2.646."

"Dari situ terlihat apa yang dilukiskan Kompas sebagai persoalan guru yang semrawut, padahal negara kita sudah 66 tahun merdeka!" tegas Umar. "Terjadi segala macam karut-marut di dalamnya, termasuk guru honorer yang sudah mengajar lebih 20 tahun tetap berstatus honorer kalau tidak banyak uang untuk meningkatkan statusnya menjadi guru PNS, lain hal yang mau keluar uang banyak meski masa tugasnya belum lama! Belum lagi keluarga pejabat yang tak kompeten pun ditempatkan jadi guru!" "Segala macam masalah serbaruwet yang diangkat menjadikan realitas pendidikan miris!" timpal Umar. "Masalahnya, apakah tidak ada satu orang saja di antara 240 juta penduduk Indonesia, dari pimpinan nasional sampai tokoh daerah yang mampu menyiapkan solusi mengatasi masalah pendidikan nasional yang semrawut ini?" 

 "Mencari satu orang yang memenuhi kualifikasi untuk itu pasti lebih sulit dari mencari 11 pemain sepak bola yang mampu membanggakan bangsa di level dunia! Mungkin karena dalam pendidikan sendiri sukar dicari tokoh mumpuni yang tulus!" tegas Umar. "Banyak yang tulus tapi kapasitas ketokohan dan posisinya tak mumpuni, sedang yang kapasitas dan posisinya mumpuni tak tulus, terbelit segala macam pamrih! Sukar di negeri kita mencari tokoh seperti Kaisar Jepang—kapasitas dan ketulusannya mumpuni buat menjamin, meski kalah perang guru tidak dibiarkan jontor!" ***
Selanjutnya.....

Peringkat 1 Dunia Unduh Situs Porno!

"BUKAN peningkatan moralitas bangsa terutama generasi muda yang tercapai, malah gejala negatif yang merebak di masyarakat: Indonesia pada akhir Februari 2011 menempati peringkat satu dunia untuk pengunduh dan pengunggah situs porno!" ujar Umar. "Reputasi buruk tersebut bahkan terjadi lewat lonjakan dramatis, di mana pada bulan sebelumnya Indonesia tercatat di peringkat tiga setelah China dan Turki!" "Namun, warga Lampung masih boleh menarik napas agak lega karena baik provinsinya maupun Bandar Lampung tidak masuk 10 besar provinsi maupun kota pengunduh situs pornografi!" timpal Amir. "Meskipun demikian, orang tua dan polisi diharap tetap waspada mengawasi remaja di rumah dan warnet, karena mayoritas akses situs porno itu dilakukan para remaja usia SMP dan SMA!" 

"Bukan cuma laptop dan komputer di rumah serta warnet akses situs porno bisa dilakukan! Di smartphone juga bisa!" tegas Umar. "Karena itu, Menteri Kominfo Tifatul Sembiring pernah ngotot agar pihak BlackBerry Kanada memblokir situs porno pada jaringan smartphone itu! Intinya waktu itu, kalau tak memblokir situs porno, BlackBerry tak boleh beroperasi di Indonesia! Entah seperti apa akhir polemik itu, tahu-tahu Indonesia malah jadi peringkat satu dunia kecanduan situs porno!" "Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Wakil Sekjen Tengku Zulkarnaen menuding Kementerian Kominfo tidak serius menangani bahaya pornografi!" timpal Amir. "Itu diakui Humas Kementerian Kominfo Gatot Dewabrata, pemblokiran situs porno saat ini masih lemah, masih bisa ditembus! Menurut dia, belum pernah ada operator bisa memblokir 100% situs porno!" 

 "Tidak pun diblokir 100%, seberapa pun maksimal yang bisa diblokir, kebocorannya pasti tak bisa menempatkan negeri kita peringkat satu dunia!" tegas Umar. "Alasan itu justru mencerminkan tak seriusnya menangkal situs porno! Apalagi, setelah bulan sebelumnya di peringkat tiga, seharusnya langsung pasang pagar betis menangkalnya! Tapi, nyatanya malah dilepas total sehingga melonjak ke peringkat satu dunia!" "Disebut sulit sepenuhnya juga berlebihan!" tukas Amir. "Sebab Yahoo, lewat persetujuan atas tawarannya, inbox pelanggan bisa bersih total dari segala bentuk spam, terutama situs porno! Artinya, kalau pemerintah memang man jadda (bersungguh-sungguh) insya Allah akan wa jada (berhasil). Lain hal jika polemiknya cuma retorika, dengan motif tertentu pula, justru di saat kritis malah dilepas! Jebol total!" ***
Selanjutnya.....

Aturan Menteri, Siapa Takut?

"AYAH belum memberi uang komite sekolah buat anak-anak!" istri mengingatkan suaminya. "Katanya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang melarang pungutan sekolah terhadap murid atau walinya!" sahut suami. "Cuma aturan larangan dari menteri, siapa takut?" tukas istri. "Aturan dan larangan dari Allah saja dilanggar orang! Begitulah kenyataan di negeri kita dewasa ini, berbagai aturan dan beraneka larangan terus keluar dari waktu ke waktu, tapi tanpa jaminan keefektifan berlakunya!"
"Bahkan dalam kehidupan bernegara, aturan tertinggi berupa konstitusi tak kepalang untuk dilanggar atau diakal-akali justru oleh para pejabat negara seperti kepala daerah dan anggota DPRD!" timpal suami. "Itu terkait pendidikan pula, yakni banyak daerah belum memenuhi perintah konstitusi untuk memberi sektor pendidikan 20% APBD, lalu diakal-akali pula dengan melabeli pendidikan pada aneka program di berbagai satker lain sehingga penyaluran dana APBD pendidikan ke jalur yang semestinya jadi terpangkas telak!" "Maka itu, jangan buru-buru berharap ada solusi dari APBD menutupi kekurangan biaya operasional sekolah (BOS) dengan munculnya aturan menteri yang melarang pungutan di sekolah!" tegas istri. "Tak efektifnya berjalan aturan bernegara dari perintah konstitusi hingga larangan menteri itu bagian dari tak berjalannya secara efektif sistem hukum di negeri ini! Contoh nyatanya persamaan di muka hukum, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mampu melaksanakannya! Banyak tersangka korupsi saat ditetapkan langsung ditahan tak boleh dijenguk keluarganya, tapi Angie tak ditahan, bebas bikin konferensi pers, dan kembali bekerja di DPR!" "Diskriminasi yang mencolok di bidang hukum melengkapi bermacam kelemahan praktek hukum yang mengecewakan mayoritas rakyat jelata itu, dipadu dengan seenaknya melanggar aturan dan larangan di dunia pendidikan dari perintah konstitusi sampai peraturan menteri, jelas bisa negatif bagi rakyat, membentuk sikap sinis yang mengaktual dalam tindakan destruktif!" timpal suami. "Celakanya dalam dunia pendidikan ekspresi sikap sinis dan destruktif itu cenderung terus menguat seperti terlihat pada tawuran yang melanda semua jenjang pendidikan!" "Semua itu harus ditarik kembali ke jalur yang benar lewat membersihkan dunia pendidikan dari segala akal-akalan penyimpangan anggaran!" tegas istri. "Jika pembersihan itu gagal, dipadu praktek hukum yang acak kadut, ke depan realitas negeri kita bisa lebih kacau dari film koboi!" ***
Selanjutnya.....

Perampok Damba Halaman Depan!

DI lampu merah, pria pengendara motor menanya pria di boncengannya, "Sudah baca koran?" "Sudah!" jawab yang ditanya. "Tapi koran utama tak memuatnya di halaman depan!" "Mungkin karena orangnya kurang banyak!" ujar pengendara, lalu meluncur begitu lampu hijau. Edi yang mendengar percakapan itu sesampai kantor langsung menyimak koran, demo apa yang tak masuk halaman depan pagi itu. Ternyata berita demo Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia di Bandar Lampung masuk halaman depan, bahkan fotonya jadi banner di atas! Edi pun membuka-buka halaman lain sambil coba menebak berita apa yang pantas masuk halaman depan tapi karena jumlah pelakunya dianggap kurang dialihkan ke halaman dalam! Dan Edi pun tercengang, ternyata berita lima orang bergolok merampok minimarket dekat SMAN 8 Telukbetung Selatan, Bandar Lampung, hanya dimuat koran harian di halaman dalam! Wajar kalau perampok yang mendambakan berita aksi mereka masuk halaman depan kecewa berat! Edi terbahak! 

"Masuk kantor kok ngakak, ada apa?" tanya Edo. Edi tuturkan ihwalnya. "Kalau asumsi mereka benar berita perampokannya tak masuk halaman depan karena jumlah pelakunya kurang banyak, jangan-jangan mereka mengerahkan bandit lebih banyak untuk aksi berikutnya!" ujar Edi. "Atau kalau tak dimuat di halaman depan karena nilai hasil rampokan pukul 22.20 saat minimarket mau tutup itu kecil, hanya sekitar Rp5 juta, terdiri uang tunai dari laci Rp2 juta serta rokok dan sejumlah dagangan lainnya. Ke depan para perampok bisa memaksakan hasil lebih besar sehingga bisa mengancam jiwa petugas minimarket!" "Perampok mendamba berita koran halaman depan itu hal baru, tapi tak mustahil! Sebab, saat seorang penjahat tertangkap di Metro, dalam dompetnya ditemukan guntingan koran berisi berita aksi kejahatan yang dia lakukan!" timpal Edo.


 "Mungkin, berita koran itu mereka butuhkan sebagai track record—bukti reputasi di kalangan mereka! Pemuatan di halaman depan bisa jadi memberi derajat reputasi yang tinggi!" "Unik juga!" tukas Edi. "Tapi jelas, berita halaman depan apalagi dengan huruf judul yang besar, bisa mempermalukan polisi apalagi kalau setiap kejadian langkahnya tertinggal dari perampok!" "Bisa jadi wartawannya teman akrab polisi, maka beritanya dimuat tersembunyi agar polisi teman si wartawan tak malu dikecundangi perampok!" timpal Edo. "Cuma, jika tekanan malu akibat dikecundangi perampok tak berat, polisi mudah lengah hingga selalu didahului perampok!" ***
Selanjutnya.....

Kemitraan yang Imun Provokator!

"KEMITRAAN inti-plasma bisa memberikan manfaat ideal jika polanya dilengkapi jaringan yang bisa menjaminnya imun dari gangguan provokator!" ujar Umar. "Pentingnya jaringan (networking) imunitas dari gangguan provokator itu mencuat dalam bedah karya tulis Mencari Pola Kemitraan yang Ideal dalam Sektor Perikanan, Rabu, relevan dengan realitas butuhnya solusi bagi kemitraan yang kurang harmonis di Lampung!" "Jelas, perlu dikaji lebih jauh bentuk, sifat, dan mekanisme jaringan itu sebagai peranti inheren mengebalkan kemitraan dari gangguan provokator dari dalam dan dari luar!" timpal Amir. "Jaringan itu tentu berbentuk medium informasi bersifat terbuka yang mengelola komunikasi antara inti dan plasma, lewat mana plasma mengetahui hal-hal penting terkait kemitraan dan proses berproduksi sehingga plasma well-inform tentang segala hal dan tak mempan dipengaruhi provokator dengan informasi palsu!" 

"Jaringan itu juga bisa melindungi setiap plasma dari aneka provokasi, sampai provokasi fisik yang menurut pengalaman merupakan senjata ampuh provokator mengintimidasi plasma sehingga tak berani bertahan melanjutkan kemitraan!" tegas Umar. "Sebaliknya, jaringan itu juga melindungi plasma dari kecurangan dan intimidasi inti! Jadi, dengan jaringan komunikasi itu kepentingan inti dan plasma sama-sama terlindungi!" "Disimak dari pengalaman krisis hubungan inti-plasma dalam kemitraan di Lampung, penyebab utamanya karena komunikasi dan informasi tentang kemitraan yang tak sambung pada kedua pihak!" timpal Umar. "Misalnya berapa sebenarnya utang pokok plasma, bunganya berapa per bulan, berapa tambahan utang biaya produksi, benur, pakan, listrik, belanja hidup bulanan, lalu berapa hasil panen dipotong utang, berapa sisa utangnya, yang jika tak bisa didapat informasinya on time, plasma bingung! 

Apalagi jika krisis ekonomi, makin lama kreditnya justru makin membengkak, tanpa penjelasan yang clear bisa membuat plasma meledak!" "Dan itu pernah terjadi di Lampung! Akibatnya, pola kemitraan di Lampung mengidap trauma kecurigaan yang mudah menyulut ketegangan tinggi!" entak Umar. "Oleh trauma itu, kemitraan di Lampung tak lagi cukup sebatas perjanjian dua pihak, inti dan plasma! Untuk lebih aman, perlu dibuat perda sebagai acuan kedua pihak sekaligus jadi jalan masuk bagi pemerintah bila perlu penengah! Ini, imunitas ekstra bagi kemitraan dari provokator! Asal bukan pejabat pemerintah yang malah menjelma jadi provokator!" ***
Selanjutnya.....