Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
"MEDIA nasional heboh menanggapi vonis ringan terhadap hakim (nonaktif) Syarifuddin Umar yang terbukti bersalah tertangkap tangan menerima suap Rp250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia Puguh Wirawan!" ujar Umar. "Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis dia hanya 4 tahun penjara, dari tuntutan jaksa 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan!" "Vonis itu dinilai ringan karena dibanding dengan tuntutan jaksa yang amat berat itu—hingga vonis cuma seperlima tuntutan!" timpal Amir. "Tapi jika dibanding vonis kasus korupsi cek pelawat para anggota DPR antara 2,5 tahun dan 4 tahun, justru vonis terhadap hakim itu relatif berat! Jadi, masalah sebenarnya, vonis kasus korupsi tokoh-tokoh yang seharusnya jadi teladan dan acuan moral masyarakat itu cenderung terlalu ringan!" 

"Sudah pun contoh moralitas buruk yang mereka tebar, vonis ringan yang tak efektif memberi efek jera pula yang diberikan! Itu masalah inti kenapa media nasional bereaksi heboh terhadap vonis itu!" tegas Umar. "Posisi sosial dan struktural formal sebagai kelompok panutan, yang ketika melakukan perbuatan melanggar hukum harus dihukum lebih berat, ternyata malah sebaliknya! Akibatnya, justru keteladanan dalam melakukan korupsi yang ditiru para pengikutnya! Ini menjadi penyebab korupsi meningkat dua kali lipat—menurut data Mabes Polri, dari 2010 sebanyak 585 kasus, 2011 menjadi 1.323 kasus!" (Kompas, 27-2). "Sampai di situ, pengadilan sebagai representasi kekuasaan negara dalam mewujudkan keadilan hukum di tengah kehidupan masyarakat bangsa menunjukkan arah kurang tegas dan jelas dalam usaha memberantas korupsi, padahal korupsi itu penyakit kanker yang amat berbahaya dalam proses mewujudkan keadilan hukum maupun keadilan substantif—sosial-ekonomi!" timpal Amir. 

 "Apalagi di negeri ini apa yang dijuluki mafia hukum, mafia peradilan, dan sejenisnya demikian kokoh sehingga Satgas Antimafia Hukum yang dibentuk Presiden SBY tumbang tanpa jejak reputasi yang memuaskan rakyat!" "Karena itu, pengadilan sebagai representasi kekuasaan negara harus bisa memberi arah yang tegas dan jelas bagi mewujudkan keadilan hukum, bukan cenderung malah sebaliknya!" tegas Umar. "Itu berarti, pengadilan harus memberi putusan luar biasa terhadap kasus korupsi yang telah disepakati bangsa sebagai kejahatan luar biasa! Pengadilan bisa terkesan hilang arah saat memvonis ringan kejahatan luar biasa—yang dilakukan sosok panutan pula!" ***
Selanjutnya.....

Simbiosis Diganti Saling Memangsa!

"TATANAN sosial tradisional yang berabad-abad memelihara harmoni simbiosis mutualistis, yang kuat dan yang lemah hidup dalam kebersamaan saling menghidupi, kini tercabik-cabik dan diganti homo homini lupus, saling memangsa di antara sesama!" ujar Umar. "Itu terlihat dari hilangnya budaya bawon pada tetangga dan kerabat saat panen, sampai bakar-bakaran aset milik perusahaan di Mesuji!" "Itu terjadi karena Orde Baru secara sengaja membongkar tatanan sosial tradisional lewat dalih menciptakan tatanan sosial Pancasila, tapi menggantinya dengan tatanan komando terpusat yang menonjolkan kekuasaan sebagai panglima, dengan mengorientasikan secara nyata yang kuat memangsa yang lemah! Di era reformasi, pola itu diubah dengan bangkitnya keberanian kalangan yang lemah untuk melawan yang kuat lewat kebangkitan budaya massa, jadilah kini tatanan sosial saling memangsa, seperti di Mesuji!" 

"Masalah utamanya grip atau cengkeraman penguasa pada rakyat setelah lepas pada akhir Orde Baru, sejauh ini belum bisa dikembalikan!" tegas Umar. "Grip yang lepas itu baik dalam arti pemerintahan maupun law enforcement! Celaka dua belasnya, tatanan terpusat belum berakhir sepenuhnya sehingga sengketa tanah 1 rante saja tak bisa diselesaikan tokoh-tokoh lokal, tapi harus sampai ke kasasi Mahkamah Agung! Di sisi lain, perlawanan di luar sistem (pemerintahan dan hukum) justru kian marak, berakibat putusan berkekuatan hukum tetap pun tak bisa dieksekusi! Pemerintah (terutama pusat) lamban karena tak mampu menjalankan putusannya sendiri seperti rekomendasi TPF kasus Mesuji yang tak kunjung direalisasi hingga menumbulkan ekses lanjutan!" "Pokoknya dengan semua itu tatanan sosial era reformasi sebuah realitas sosial yang kacau, istilah Kompas (26-2), negeri gonjang-ganjing!" timpal Amir. 

"Tak ada kekuasaan (baik pemerintah maupun hukum) yang punya grip cukup kuat untuk mengendalikan gerakan budaya massa! Malah sering, foto presiden dibakar demonstran tanpa saksi hukum! Pemerintah hanya bersifat responsif atas kasus-kasus yang timbul, tapi tak tuntas menyelesaikan masalah! Konsekuensinya, bara-bara konflik tetap membara dalam sekam di seantero negeri!" "Simpulnya, rezim penguasa—eksekutif, legislatif—yudikatif telah gagal mewujudkan tatanan sosial yang sesuai ideal reformasi!" tegas Umar. "Penyebabnya karena organ rezim penyakitan dan banyak pejaba
Selanjutnya.....

‘Semprul van Susur’, Akhir Genius Lokal!

"SAAT nenek wafat, Bedul paling sedih! Ia terisak di pojok, seolah tanpa nenek dunia kiamat!" ujar Umar. "Belakangan diketahui, sepeninggal nenek, Bedul ketiadaan sumber semprul untuk rokok lintingan kelobotnya!" "Semprul itu apa?" tanya Amir. "Semprul itu bekas susur, gumpalan tembakau yang dipakai nenek memoles mulut saat makan sirih!" jelas Umar. "Tembakau basah bekas susur nenek itu, sehari empat atau lima gumpal, oleh Bedul dikumpul dan dijemur! Setelah kering, dia linting dengan kulit jagung jadi rokok khas kelangenannya! Rokok semprul lintingan kelobot itu ia masukkan kotak rokok mewah 555, sehari-hari ia bawa dalam saku bajunya!" "Waduh, nenek mungkin pemakan sirih terakhir yang memakai susur dengan gumpalan tembakau besar!" timpal Amir. "Pemakan sirih masih banyak, tapi pakai suntil, tembakau penggosok bibir dan giginya kecil, tak sebesar ujung kelingking!"

"Maka itu, wafatnya nenek mengakibatkan Bedul tak bisa lagi membuat rokok lintingan semprul!" tegas Umar. "Dengan begitu, bukan saja Bedul ketiadaan rokok yang bisa memuaskan seleranya, karena menurut dia kalau terbiasa mengisap lintingan semprul, rokok buatan pabrik terasa hambar, tapi juga menjadi akhir dari genius lokal pemanfaatan limbah susur!" "Menjurus berakhirnya berbagai kebiasaan warga yang merupakan genius lokal memang sedang menggejala!" tukas Amir. "Salah satunya tradisi rewang, tetangga dan kerabat memasak bersama untuk hidangan pesta keluarga, kini mulai pudar digeser oleh bisnis katering! Juga tradisi derep, tetangga dan kerabat membantu memanen padi dan diberi bagian bawon, sekarang digeser buruh sabit-banting yang bekerja secara upahan!" "Memang semakin banyak pekerjaan produk genius lokal yang berorientasi memperkokoh kebersamaan warga tergeser oleh jasa upahan!" sambut Umar. 

"Hal itu menjadi petunjuk sedang berlangsung perubahan sosial dalam masyarakat, mungkin dari masyarakat paguyuban menjadi masyarakat patembayan—bergeser dari pola gotong-royong kekeluargaan ke pola komersial!" "Pola komersial lebih menguntungkan pemodal!" tegas Amir. "Sedang warga kebanyakan yang dalam paguyuban kebagian nikmat, keluarganya ikut makan daging saat ikut mengolah, dalam pola komersial cuma kebagian sialnya—baru ikut makan daging saat datang sebagai undangan!" "Lebih sial lagi, tetangga dan kerabat saat panen biasanya dapat bawon, kini jadi tak dapat apa-apa!" entak Umar. "Sedih nian, tergesernya tradisi mengurangi jenis saluran rezeki!" ***
Selanjutnya.....

Paradoks Korupsi, 'Gayus Baru' pun Bermunculan!

"PATAH tumbuh hilang berganti, esa hilang dua terbilang, begitulah realitas korupsi di Indonesia, meskipun tekad penguasa memberantas kejahatan luar biasa itu tak henti diserukan!" ujar Umar. "Terakhir, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Da (38), ditahan Kejaksaan Agung setelah sejumlah rekeningnya di bank senilai Rp28 miliar ditemukan PPATK! 'Gayus baru' dari Ditjen Pajak itu, kata Arnold Angkauw, direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejakgung, juga punya 250 ribu dolar AS dan emas 1 kg yang telah disita!" "Itu baru satu dari ratusan rekening gendut PNS muda yang ditemukan PPATK, di luar lebih 2.000 transaksi mencurigakan di kalangan DPR!" timpal Amir. "Kalau semua itu bisa ditindaklanjuti polisi, jaksa, dan KPK, korupsi di negeri kita bukan lagi sekadar esa hilang dua terbilang, tapi gugur satu (divonis bebas) tumbuh seribu! Kalau penindakan lanjut benar-benar dilakukan, terjadi paradoks pemberantasan korupsi—semakin keras seruan penguasa untuk memberantas korupsi, semakin banyak orang melakukan korupsi!" 

"Bagaimana paradoks itu terjadi?" tanya Umar. "Gagalnya keteladanan dari atasan, yang keras cuma suaranya saja sehingga mengakibatkan peniruan masif pada strata bawahannya!" tegas Amir. "Itu tak terlepas dari pseudomatika—seolah-olah—peraturan digembar-gemborkan telah dijalankan semestinya, tapi justru bawahan yang melaksanakan perintah atasan dibebani kewajiban yang hanya bisa dipenuhi jika peraturan itu cuma seolah-olah saja dijalankan!" "Kalau begitu, pada prinsipnya korupsi dilakukan secara berjamaah, dengan atasan sebagai 'imam' bawahan mengikuti arahannya, meskipun sang atasan pura-pura tak tahu dan di pengadilan mengaku tak mencampuri pekerjaan yang ditangani bawahan!" timpal Umar.

 "Tanpa peduli, atasan sebenarnya menerima bagian paling besar dari hasilnya! Tapi di pengadilan, bawahan harus menanggungjawabi semuanya dengan membatasi sampai dirinya saja yang terkait korupsi, atasan selalu terlihat bersih dari cemaran noda korupsi!" "Artinya, bawahan harus sungguh-sungguh menjaga dengan segala konsekuensi agar atasan bisa menjadi tokoh hipokrit sejati atau munafik yang sempurna!" tukas Amir. "Begitulah paradoks tersebut terjadi karena dalam korupsi berjamaah, untuk ‘menyelamatkan' seorang 'imam' justru jamaah—yang jumlahnya jelas bejibun—dikorbankan! Karena praktek atasan selalu bisa jalan terus, korupsi kian merajalela! 'Gayus baru' pun bermunculan!" ***
Selanjutnya.....

Mantra Semar Mesem, ‘Isone Mung Sa'mono!

JUMPA makhluk mirip jin “Jarum 76” di televisi, Edi ketakutan dan membaca mantra mengusirnya. Setelah berulang dia baca mantranya, makhluk itu bukan menghilang, tapi malah terkekeh menukas, "Isone mung sa'mono! (Bisanya cuma segitu!)” Tapi Edi yang semakin ketakutan dan cuma tahu satu-satunya mantra dari eyang (kakek) itu, ia terus mengulang-ulang mantra tersebut! "Setop!" seru makhluk. "Itu bukan mantra untuk mengusir jin-setan-demit! Bacaan yang kau ulang-ulang itu justru mantra semar mesem (semar tersenyum) sehingga makhluk yang kau tuju dengan mantra itu bukannya pergi, melainkan malah jatuh cinta padamu!" Edi nyengir mendengarnya karena baru saat itu ia tahu mantra apa sebenarnya yang diwariskan eyangnya. "Berarti program-program semacam mantra yang ditujukan kepada rakyat untuk mengusir kemiskinan selama ini ternyata bukan mantra mengusir kemiskinan dari rakyat, tapi justru mantra semar mesem yang cuma membuat rakyat jatuh cinta pada penguasa meskipun mereka tetap miskin?" tanya Edi. 

"Kenyataannya bagaimana?" jawab jin balik bertanya yang dijawabnya sendiri, "Seperti salah satu programnya bantuan langsung tunai (BLT) kompensasi kenaikan harga BBM. Dengan bantuan Rp100 ribu/bulan/keluarga apa mungkin bisa mengusir kemiskinan dari keluarga Indonesia yang rata-rata terdiri dari empat jiwa (sepasang suami-istri dengan dua anak)? Menurut logika bahkan mustahil! Sebaliknya akibat keasyikan ngelamun menunggu datangnya BLT, orang malah jadi malas bekerja!" "Ah lo, jin sok tau!" timpal Edi. 

"Lebih parah lagi, orang yang jatuh cinta akibat mantra semar mesem bukan saja jadi pengkhayal lupa kerja, tak kepalang juga jadi lupa makan dan lupa tidur!" tegas jin. "Dalam bahasa ketopraknya, kondisi kejiwaan seperti itu disebut gandrung—rela berkorban apa saja asal bisa mendapatkan yang dirindu!" "Kalau begitu, dalam bentuk apa pun mantra semar mesem yang ditujukan ke rakyat itu justru bersifat negatif karena rakyat miskin bukan lagi berjuang untuk mengentaskan dirinya dari lembah di bawah garis kemiskinan, melainkan malah lupa kewajiban keluarganya karena gandrung semata pada bantuan penguasa!" tukas Edi. "Celakanya, nilai bantuan yang dicapai lewat kondisi kejiwaan gandrung itu tak mampu benar-benar mengentaskan keluarganya dari lembah kemiskinan! Akibatnya, terbenamlah mereka turun-temurun di lembah derita itu!" ***
Selanjutnya.....

Harga BBM Naik, BLT Diputar Lagi!

"PRESIDEN Yudhoyono, Rabu (22-2), mengatakan untuk mengurangi beban subsidi pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak—BBM!" ujar Umar. "Buat rakyat yang memikul beban berat akibat kenaikan harga BBM, pemerintah akan memberi kompensasi bantuan langsung tunai alias BLT!" "Asyik, BLT kembali diputar!" sambut Amir. "Ada yang dijadikan jaminan ngutang di warung bagi warga miskin! Dibanding Pemilu 2009 yang BLT dibagikan setahun penuh 2008 dan awal 2009, untuk Pemilu 2014 BLT disalurkan lebih awal sehingga bisa dua tahun penuh, 2012 dan 2013!" "Kayaknya waktu pelaksanaan BLT memang diatur demikian!" tukas Umar. "Alasannya, perintah menaikkan harga BBM sebenarnya sudah ada dalam UU APBN 2011, tapi ditunda mungkin karena terlalu jauh dari Pemilu 2014! Lalu, kampanye pemilu mendatang juga dipercepat mulai awal 2013! Jadi, penyaluran BLT tepat masa kampanye!" 

"Itu dia, pemilu bisa disyukuri sebagai pembawa berkah oleh mayoritas warga miskin!" timpal Amir. "Karena itu, betapa baiknya kalau frekuensi pemilu dipercepat, semisal dua atau tiga tahun sekali, hingga berbagai bantuan dari politikus dan partainya serta BLT dari penguasa berkelanjutan, tak ada lagi masa paceklik panjang kaum miskin!" "Mana bisa frekuensi pemilu dipercepat karena proses pergantian kepemimpinan nasional sesuai konstitusi berlangsung dalam periode lima tahun!" tegas Umar. "Sedang untuk bisa menghapus masa paceklik panjang mayoritas kaum miskin itu, seharusnya bukan cuma dilakukan lewat pandu politik setiap menjelang pemilu, tapi melalui usaha partai-partai terutama yang berkuasa dengan menciptakan aneka program pengentasan kemiskinan yang efektif dan tepat sasaran!" 

"Program efektif tepat sasaran itulah yang sejauh ini belum bisa diciptakan politisi berkuasa dan tidak berkuasa yang bekerja sama menyusun APBN sehingga dengan anggaran Rp86 triliun lebih tahun lalu hanya bisa mengentaskan 132 ribu warga dari bawah garis kemiskinan!" timpal Amir. "Padahal, kalau dana sebanyak itu dibagikan dalam bentuk BLT kepada 18,6 juta keluarga miskin (angka penerima BLT 2009), setiap keluarga menerima sekitar Rp4,8 juta, atau sama dengan empat tahun BLT musim 2008—2009! Sedangkan realitasnya, mayoritas warga miskin tak menerima serupiah pun dari dana Rp88,6 triliun tersebut!" "Karena itu, seburuk apa pun tujuan dan akibat BLT kompensasi harga BBM ini, masih dirasakan manfaatnya ketimbang program pengentasan kemiskinan yang gagal itu!" tegas Umar. "Sedikit bisa dirasakan lebih baik ketimbang banyak tapi menguap!" ***
Selanjutnya.....

Kelompok Kaya Hidup kian Wah!

"TAYANGAN Voice of America (VOA) di MetroTV, Rabu (22-2) mengejutkan, gaya hidup kelompok kaya dalam masyarakat justru kian wah di tengah memburuknya dampak krisis Eropa!" ujar Umar. "Lebih mengejutkan lagi, paling mencolok hal itu terjadi di Asia-Pasifik, jadi termasuk Indonesia!" "Gejala itu apa petunjuknya?" tanya Amir. "Penjualan mobil supermewah dari Roll Royce yang per unitnya seharga 450 ribu dolar AS, Ferrari, BMW, Mercy, sampai Lexus dan sekelasnya 2011 secara global naik 14%, dengan puncaknya di Asia-Pasifik naik 47%, lebih tinggi dari kawasan Arab 25%!" tegas Umar. "Penjualan mobil semua merek di AS tahun itu juga mencatat rekor, yakni mencapai 12 juta unit!" 

"Kalau melihat jubelan mobil mewah di jalanan Jakarta, termasuk Roll Royce yang semakin sering terlihat melintas, Indonesia diprediksi menempati papan atas Asia-Pasifik peningkatan pembelian mobil supermewah itu!" tukas Amir. "Hal ini bisa menjadi jawaban yang lebih rasional siapa paling menikmati pertumbuhan ekonomi 2011 sebesar 6,5%, kalau ternyata hanya menurunkan jumlah warga miskin 132 ribu orang, meski tak kepalang menghabiskan dana pengentasan kemiskinan dari APBN sebesar Rp86 triliun lebih!" "Jangan-jangan melalui mekanisme pasar politik dan ekonomi justru dana APBN buat pengentasan kemiskinan itu yang beralih-guna untuk membeli mobil-mobil supermewah yang memadati jalanan Jakarta itu!" timpal Umar. "Sedang 132 ribu warga yang mentas dari jurang bawah garis kemiskinan itu justru berkat kerja keras mereka sendiri, bukan hasil APBN yang terbukti tak tepat sasaran itu!" "Pengungkapan itu sebenarnya ingin menggelitik sikap kurang adil orang kaya yang suka pamer gaya hidup serbamewah di tengah penderitaan warga sekitarnya yang amat miskin!" tegas Amir. 

"Usaha menggelitik itu tentu dilatarbelakangi pandangan hidup liberal, di mana orang bebas mengekspresikan gaya hidup semampu dirinya! Beda di negeri kita yang bukan liberal, distribusi hasil-hasil pembangunan yang hanya dinikmati kelompok dan jaringan berkuasa, sekaligus di sisi lain membuat kelompok melarat kian sengsara, yang harus digugat!" "Apalagi kalau distribusi hasil-hasil pembangunan yang tak adil itu berekspresikan perilaku koruptif di jalur kekuasaan!" entak Umar. "Tak pelak lagi, hanya kebangkitan kekuatan moral seperti gerakan mahasiswa era reformasi, yang bisa diandalkan mengubahnya! Tanpa itu, kekuasaan justru kian korup dan distribusi hasil pembangunan semakin tak adil!" ***
Selanjutnya.....

Ditelusuri, 2.000 Transaksi DPR Mencurigakan!

"DALAM rapat dengan Komisi III DPR, ada materi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ditutup spidol hitam!" ujar Umar. "Menurut Kompas (21-2), yang dikaburkan itu berbunyi—saat ini PPATK melakukan proses analisis atas lebih dari 2.000 laporan terkait dengan anggota DPR, di mana mayoritas transaksi dilakukan anggota Badan Anggaran DPR!" "Sudahlah, jangan di-udal-udal lagi keburukan anggota DPR!" timpal Amir. "Kasihan rakyat yang memilih wakil-wakil rakyat itu, ternyata citra tokoh-tokoh hasil pilihan mereka menyedihkan! Jadi jangan diperburuk lagi!" "Tak perlu cemaskan soal citra itu!" tegas Umar. "Karena Ketua PPATK Muhammad Yusuf sudah menjamin, analisis menyangkut transaksi yang dilakukan anggota DPR tidak diniatkan untuk memperburuk citra DPR. Jadi, materi yang dihitamkan maupun proses analisis yang sedang dilakukan PPATK justru agar lebih menenteramkan hati rakyat yang memilih mereka, bahwa anggota DPR itu dilindungi asas praduga tak bersalah!" 

"Begitu baru benar! Jangan citra keburu hancur padahal orangnya belum tentu bersalah!" entak Amir. "Artinya PPATK memproses analisis 2.000 lebih transaksi mencurigakan sampai betul-betul kuat sebagai barang bukti, lalu serahkan buktinya ke KPK untuk diproses hukum! Dengan cara itu hanya orang per orang yang memang ada bukti bersalah yang menjalani proses hukum, tanpa menyandera semua anggota DPR dalam praduga dan citra buruk 2.000 transaksi mencurigakan!" "Untuk itu berarti PPATK harus serius melakukan penelusuran transaksi demi transaksi yang mencurigakan agar bisa spesifik-unik transaksi siapa yang melanggar hukum!" timpal Umar. 

"Justru kalau cuma menyebutkan lebih 2.000 transaksi DPR mencurigakan lalu didiamkan saja tak didalami, akibatnya malah menguyah-uyah semua anggota DPR tak bisa dilepaskan dari citra negatif yang ditimbulkan kasus itu!" "Jauh lebih menenteramkan hati rakyat lagi kalau para anggota DPR itu menjauhkan dirinya dari tindakan-tindakan yang bisa mengakibatkan citra DPR semakin terpuruk terus!" tegas Amir. "Kasihan rakyat, sudah pun orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil di legislatif tak sungguh-sungguh memperjuangkan perbaikan nasib mereka, malah merusak citra diri dan lembaganya pula!" "Maka itu, atas merebaknya berita 2.000 transaksi mencurigakan itu, DPR seharusnya justru menekan PPATK untuk memastikan transaksi itu milik siapa!" timpal Umar. "Dengan kepastian kotoran ditindak, sisanya mencerminkan DPR yang bersih!" ***
Selanjutnya.....

Konflik Pusat-Daerah, Kasus Beras Lampung!

"MESKIPUN DPRD dan Pemerintah Provinsi Lampung meminta Bulog mengutamakan penyerapan beras petani ketimbang impor beras, Bulog melanjutkan kebijakan impor dengan pekan ini memasukkan 15 ribu ton beras asal India!" ujar Umar. "Itu impor pertama tahun ini, setelah 2011 mengimpor 75 ribu ton untuk Lampung!" "Jumlah impor itu bisa dihitung dari selisih target dan realisasi penyerapan beras petani Lampung oleh Bulog!" kata Amir. "Pada 2011, dari target 120 ribu ton, Bulog hanya menyerap dari petani 44 ribu ton! Sisanya 75 ribu ton ditutupi beras impor asal Vietnam! Pada 2012, target penyerapan beras petani Lampung oleh Bulog 190 ribu ton, realisasi belum jelas, belum panen raya (Maret—April), sudah impor beras asal India 15 ribu ton!" "Tampak ketakkonforman harapan pimpinan daerah Lampung dengan kebijakan Bulog yang merepresentasikan Lembaga Pusat!" tukas Umar. "Dari nada tinggi protes DPRD setiap bicara soal ini, tercium auranya sebagai konflik pusat-daerah dalam kasus impor beras untuk Lampung!"

"Asumsi adanya konflik pusat-daerah itu justru tersimpul dari sikap ketakpedulian Bulog melabrak harapan pimpinan daerah Lampung dengan terus menggenjot impor beras hingga maksimal!" timpal Amir. "Lebih nyata lagi esensi konflik pusat-daerah itu pada standar pusat atas harga gabah dan beras petani yang tak bisa dilanggar Bulog, dengan realitas harga di daerah yang jauh lebih tinggi! Jadi konflik pusat-daerah itu simultan dari harapan pimpinan daerah yang kandas hingga harga yang tak sesuai!" "Konflik harga terjadi, karena standar harga pusat untuk produk kualitas rendah, sedang kualitas produk petani Lampung jauh lebih tinggi secara multidimensi—dari kondisi fisik sampai rasanya!" tegas Umar.

 "Idealnya, pusat membuat standar harga yang lengkap untuk aneka kualitas gabah dan beras petani, tak sebatas standar kondisi fisik dengan kadar airnya! Hal ini tak terlepas dari realitas di pasar dalam negeri, di setiap daerah selalu ada beras kualitas istimewa dari petani!" "Konflik pusat-daerah terkait harga di Lampung kritis karena langkah pusat seperti Bulog untuk menurunkan harga, sedangkan petani umumnya menikmati tingginya harga panenan mereka, yang pada Desember 2011 nilai tukar petani (NTP) Provinsi Lampung 123,74%!" timpal Amir. "Lebih signifikan, dari NTP Provinsi itu, khusus NTP padi dan palawija 133,63%! Pimpinan daerah Lampung tak setuju impor beras karena bisa membanjirkan beras murah di Lampung sehingga menjatuhkan harga beras petani! Petani dirugikan!" ***
Selanjutnya.....

Ternyata Kantuk Taklukkan Lapar!

DUA bocah balita berbaring di bentangan karton lembap, merengek minta makan pada ibunya yang duduk di dekat mereka. "Bapakmu ntar bawa ayam goreng!" sahut ibunya mengentak dingin malam, menenteramkan kedua anaknya yang lapar. "Hujannya baru reda, pasti bapakmu juga baru bisa mengais!" lanjut ibunya. Di seberang jalan, seorang politisi dari pusat yang reses mengamati keluarga pengemis di kaki lima toko itu dari dalam mobilnya yang diparkir. Tengah malam itu sang politisi ditemani istrinya keluar hotel untuk melihat realitas hidup rakyat di daerah pemilihan (DP)-nya! "Ke mana hasil mereka mengemis seharian, tengah malam begini anaknya kelaparan?" tanya istri politisi di sela rintih kelaparan anak pengemis.

"Mereka tak bisa lagi mengemis, jadi hanya hidup dari mengais tong sampah!" jelas politisi. "Itu sejak kota ini membuat Perda dengan meng-copy paste Perda DKI Jakarta, barang siapa memberi uang kepada pengemis didenda Rp50 juta atau dipenjara satu bulan!" "Akibat Perda itu kita cuma mengamati keluarga pengemis itu kelaparan dari seberang jalan ini, ketimbang memberi mereka selembar uang untuk membeli makanan?" tukas istri. "Sebab, jika kita beri mereka uang, kita melanggar hukum? Kalau begitu kita belikan nasi bungkus saja, pasti dalam Perda itu tak dilarang memberi nasi bungkus!" "Tapi kayaknya tak perlu lagi!" sambut politisi. "Soalnya kedua anak itu tampak sudah tidur! Ternyata, kantuknya berhasil menaklukkan lapar pada perut kedua anak itu sehingga mereka tertidur dan tak merengek minta makan lagi!" "Berarti masalah mereka hari ini selesai, melalui solusi dalam mimpi!" tukas istri.

 "Tapi kenapa para wakil rakyat DP ini tidak membuat solusi konkret, mencabut perda tak manusiawi itu, lalu membangun rumah miskin buat menampung mereka agar tak tidur di tirisan hujan begitu?" "Ingin sekali melakukan itu!" jawab politisi. "Kalau ingin kok tak dilakukan?" kejar istri. "Karena aku tugas di Komisi Pertahanan dan Luar Negeri, tak mengurusi pengemis-gelandangan!" jawab politisi. "Pernah kusampaikan ke teman se-DP yang mengurusi itu, tapi kewenangan pembatalan perda ada di Menteri Dalam Negeri, bukan menteri mitra komisi teman tersebut!" "Lantas, warga kota ini menerima saja perda seburuk itu?" kejar istri. "Warga demo, menolak! Tapi penguasa jalan terus!" jawab Politisi. "Warga marah, diam-diam tak memilih kembali penguasa yang raja tega itu! Cuma sayang, perdanya tetap jalan!" ***
Selanjutnya.....

Di Balik Mitos Lelaki Cupar!

"USAI diwisuda, Edi pulang kampung mewujudkan cita-citanya membangun desa! Tapi baru bulan pertama, di kalangan ibu-ibu desanya beredar isu bahwa Edi lelaki cupar—suka mencampuri urusan perempuan di dapur!" ujar Umar. "Padahal, di balik isu itu ada mitos lelaki cupar membawa sial, paling tidak lebih merepotkan perempuan yang dinikahinya karena akan selalu didikte urusan dapurnya hingga berapa butir cabai atau bawang yang harus dipakai sekali menyayur!" "Tapi bagaimana ceritanya sampai beredar isu begitu?" tanya Amir.
"Sewaktu kuliah di rumah indekos Edi masak sendiri, menyiangi ikan dan menggulai sendiri, mencuci piring sendiri! Saat pulang kampung kebiasaan itu dia lanjutkan di rumah membantu ibunya!" jelas Umar. "Rupanya hal itu diperhatikan tetangga, akhirnya merebak isu Edi cupar! Apalagi waktu di kota Edi rajin ikut kursus masakan tertentu, dari masakan China sampai Jepang, kalangan ibu-ibu di desa jadi lebih aneh melihatnya!" "Huahaha..!" Amir terbahak. "Pengetahuannya tentang dapur modern itu saja sudah bisa menjadi kekuatan pengubah atau transformator bagi cita-cita Edi membangun desanya! Karena itu, wajar pula jika ia dapat perlawanan terselubung dari ibu-ibu desa sebab dengan kepiawaian Edi di dapur itu, anak gadis mereka bisa terdegradasi dinilai kampungan!" "Maksudmu bukan Edi atau kaum pria yang harus membawa nilai-nilai kemajuan bagi kaum wanita ke desanya?" tukas Umar. "Sebaliknya, kalau cara berpikir kontragender seperti itu pula yang terjadi di kota, pasti lain ceritanya kalau yang terpilih jadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia bukan Miranda Gultom, kalau Senior Manager Nasabah Prioritas Citi Bank bukan Malinda Dee, kalau anggota Badan Anggaran DPR itu bukan Wa Ode dan Angie, tapi semua itu adalah kaum pria, pasti mereka belum jadi tersangka kasus korupsi!" "Bukan mustahil!" timpal Amir. "Sebab, jika di balik mitos lelaki cupar ada perlawanan kontragender, para pria di Badan Anggaran DPR tak segemas itu dalam menyudutkan seandai Wa Ode juga pria!" "Kontroversi terselubung antara budaya dominasi pria dan emansipatori perempuan mungkin akan selalu terjadi, dan mencuat gejalanya saat terjadi silang-peran berlebihan seperti dalam isu cupar—peralihan sebagian peran pria ke wanita saja belum tuntas, tahu-tahu malah muncul pria yang mengambil peran perempuan!" tegas Umar. "Gejala kontroversi terselubung itu akan selalu muncul justru untuk selalu mendorong perlunya aktualisasi perjuangan kesetaraan gender!" ***
Selanjutnya.....

Nalar Politisi Ditumpulkan 'Shock' Kuasa!

"SAAT Andi Mallarangeng selaku Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) di Bali menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Dewan Pembina PD kecewa dan marah besar mengetahui Angelina Sondakh dipindahkan ke Komisi III DPR yang membidangi hukum, rakyat kebanyakan langsung nyeletuk, dasar nalar politisi bebal!" ujar Umar. "Karena dengan berada di komisi itu, Angie sebagai tersangka di KPK bisa memanggil dan menjitak KPK!" "Bebal nalar politisi yang kau pakai itu ternyata ungkapan lain dari istilah formal yang dipakai SBY—pemindahan itu langkah yang tidak cerdas!" timpal Amir. "Kebebalan nalar sementara politisi Senayan yang membuat berang SBY itu cuma salah satu percikan gejalanya! Dari kasus yang mengalir, mulai studi banding ke luar negeri anggota DPR yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah, pembangunan gedung baru DPR yang akhirnya dibatalkan, sampai segala macam pemborosan yang tak henti disoroti pers, langkah yang menonjolkan kebebalan nalar politisi itu tampak nyaris menjadi masalah rutin!"

"Disebut bebal karena secara nyata tak mampu menalari perasaan mayoritas rakyat yang masih hidup menderita, dengan kegemaran para politisi itu memboroskan dana yang tidak sedikit pun mencerminkan komitmennya pada kepentingan rakyat yang amat membutuhkan setiap sen dana untuk menyambung hidup!" tukas Umar. "Hal itu terjadi cenderung akibat kebanyakan anggota DPR terkena shock—kejutan—kekuasaan yang seketika menggelembungkan dirinya hingga terasa amat besar dan kuat dengan sikap mentang-mentang bisa berbuat sesuka-sukanya!" "Berarti shock kekuasaan yang membuatnya jadi bersikap mentang-mentang itulah yang telah menumpulkan nalar banyak politisi Senayan!" timpal Amir. 

"Masalahnya, dari mana datangnya shock kekuasaan itu sehingga mencekam para politisi jadi bersikap mentang-mentang begitu?" "Pencarian jawaban untuk itu merupakan bidang kajian psikolog!" jawab Umar. "Sedang kita cuma bisa berharap para politisi Senayan introspeksi, menalar ulang komitmennya pada kepentingan rakyat sebagai ajang pengabdiannya—sehingga tidak lagi selalu lebih cenderung memaksakan kehendak untuk mendahulukan tercapainya kepentingan pribadi!" "Untuk kembali ke komitmen dasar perjuangan itu diperlukan pemicu yang kuat!" timpal Amir. "Pada kasus ini bisa bertolak dari istilah yang dipakai dalam pernyataan SBY, langkah itu tidak cerdas—makna harfiahnya, dasar guoblok!" ***
Selanjutnya.....

Negeri Pendusta, Tak Pintar Dusta Masuk Penjara!

"DI negeri pendusta, tak pintar berdusta masuk penjara!" Umar membaca monolog. "Barang siapa lihai berdusta berhak atas posisi dan kedudukan tinggi di pemerintahan maupun lembaga negara!" "Itu das sein, bukan sas sollen!" timpal Amir. "Artinya, itu realitas, bukan idealitas!" "Realitas hidup sesungguhnya telah berubah jadi panggung sandiwara, setiap warga bersaing adu piawai berakting memperebutkan pemeran utama berdusta dari pakem lakon yang disesuaikan dengan kepentingan penguasa!" tegas Umar. "Dan di panggung kekuasaan itu tak lain justru realitas kehidupan para bangsawan nan bermewah ria, tanpa empati sedikit pun pada penderitaan rakyat jelata! Gaya hidup mewah itu dibungkus slogan penuh dusta—pengabdian dan pengorbanan menunaikan amanat penderitaan rakyat, usaha menyejahterakan wong cilik! Slogan gombal jadi simpul semua dusta yang semakin membenam rakyat dalam kesengsaraan berkepanjangan!"

"Gombal demi gombal menuai kepuasan yang terlampias justru ketika dusta diterima sebagai kebenaran, tanpa kecuali cuma kebenaran semu yang dicapai lewat berbagai pembenaran hasil rekayasa!" timpal Amir. "Kepuasan diraih lewat dusta-dusta yang menyengsarakan rakyat tanpa diiringi kesadaran untuk menyesali kesalahan buah dusta-dusta yang terlembaga!" "Semua itu merajalela karena di negeri pendusta asas praduga tak bersalah dijunjung tinggi-tinggi di kedudukan-kedudukan tinggi sehingga para petinggi mendapatkan perlindungan penuh asasnya atas segala gaya dan nada dustanya!" lanjut Umar. "Akibat terlalu tingginya dijunjung asas praduga tak bersalah oleh para pettinggi dari ketinggian tempat kedudukan mereka, rakyat kelas bawah tak bisa menjangkaunya! Ditambah ketidakpintaran mereka berdusta, justru praduga bersalah yang lebih mudah menjerat dan menyeret mereka masuk penjara!"

 "Begitulah di negeri pendusta, tak pintar berdusta masuk penjara!" timpal Amir. "Sedang pendusta, lebih-lebih yang pintar menempatkan diri di balik payung perlindungan penguasa—pemilik mesin rekayasa pembenaran mengubah dusta jadi kebenaran—selalu bisa lolos dari incaran aparat yang berhamba pada kepentingan penguasa!" "Di negeri pendusta, tak ada mafia hukum atau mafia peradilan dan sejenisnya karena semua undang-undang ciptaan pendusta, dijalankan sesuai arahannya pula!" tegas Umar. "Dan karena segalanya dusta, penguasa bisa mengklaim itulah kebenaran berdasar kesepakatan bersama!" ***
Selanjutnya.....

Sidang Pengadilan kok Pakai 'Huuu...!'

"APA konsekuensinya jika dalam sebuah sidang pengadilan saat saksi memberi keterangan yang benar—menurut versinya tentu—para penonton berseru 'huuu...!" tanya Umar. "Sidang pengadilan kok pakai ‘huuu...!’" timpal Amir. "Konsekuensinya jelas, kebenaran yang dikemukakan dalam kesaksian di sidang itu jadi bisa diragukan! Karena itu, kejadian demikian tak boleh terulang! Sebab, selain mengganggu jalannya sidang sebagai prosesi yang harus steril dari pengaruh dari luar sidang, sekaligus juga bisa memengaruhi penilaian terhadap keterangan yang disampaikan! Sebelum hakim hadir, petugas ruang sidang seharusnya telah memberitahu semua ketentuan buat pengunjung sidang!" "Pasti sudah!" jamin Umar. "Tapi seruan 'huuu...!' itu spontan, terlepas begitu saja dari mulut para pengunjung sidang! Masalahnya, seperti dalam sidang kasus Nazaruddin di Pengadilan Tipikor, Rabu, kenapa kesaksian Angelina Sondakh bisa memicu serentak seruan 'Huuu...!' pengunjung?" 

"Bisa jadi karena sidang hari itu merupakan rangkaian panjang sidang kasus korupsi wisma atlet yang sudah memvonis tiga terpidana, Rosa Manullang, El Idris, dan Wafid Muharram, jalan cerita kasusnya sudah menjadi milik publik!" tukas Amir. "Publik itu terutama yang rajin mengikuti proses sidangnya di Pengadilan Tipikor! Maka itu, ketika keterangan seorang saksi menyimpang bahkan bertentangan dari jalan cerita baku yang telah dilembagakan dengan tiga vonis hakim itu, apalagi terkait istilah yang amat populer dalam kasusnya, ‘apel malang’, ‘apel washington’, ‘bos besar’, dan ‘ketua besar’, jelas spontanitas pengunjung sidang itu tak bisa terbendung! Seruan 'huuu...!' itu bahkan mengacu lebih jauh!"

 "Sejauh apa?" kejar Umar. "Mengacu pada tuduhan pengalihan jalan cerita yang terlembaga lewat tiga vonis hakim itu ke sebuah rekayasa mengikuti skenario cerita baru yang bukan saja menyelematkan saksi—melainkan juga sejumlah tokoh penting dalam kekuasaan—dari jerat hukum kasus tersebut!" tegas Amir. "Itu yang mebuat seruan 'huuu...!' pengunjung sidang itu meski tanpa pengeras suara tetap terdengar oleh penonton televisi dari jarak ribuan kilometer sekalipun!" "Tapi, untuk sidang Pengadilan Tipikor, rekayasa seperti itu tak mudah berhasil!" tegas Umar. "Juga sebaliknya, seruan 'huuu...!' itu meski suaranya berpengaruh terhadap kekhidmatan ruang sidang, tak mudah juga memengaruhi penilaian hakim pada substansi perkaranya! Jadi, itu hanya layak dicatat sebagai kejadian yang tak boleh terulang!" ***
Selanjutnya.....

Butuh Insentif, Diberi Pungutan Intensif!

SEORANG suami memesan kue ulang tahun buat istrinya. "Bikin satu meter persegi!" tegasnya. "Tulisan di atasnya apa, Pak?" tanya penjual kue. "Buat tulisannya dua baris!" tegas suami. "Kamu tak bertambah tua, di bagian atas! Dan, kamu justru semakin cantik, di bagian bawah!" Pada pelaksanaan acaranya, wajah suami jadi merah padam membaca tulisan pada kue ulang tahun yang juga dibaca para tamu: "Kamu tak bertambah tua di bagian atas. Kamu justru semakin cantik di bagian bawah." "Huahaha...!" seorang tamu terbahak. "Terbalik itu! Wajarnya yang semakin cantik bagian atas!" "Itu kesalahan teknis!" jelas suami. "Pembuat kue salah tulis! Kata-kata di bagian atas dan di bagian bawah itu instruksiku kepada pembuat kue, seharusnya tidak ikut tercantum dalam tulisan di atas kuenya!"

"Kesalahan teknis yang masuk akal!" sambut tamu. "Jangankan pembuat kue! Pejabat tinggi pemerintah saja bisa salah tangkap pesan kabinet agar petani karet yang amat membutuhkan bantuan supaya diberi insentif, kebijakan yang dibuat pejabat itu justru terbalik, memberlakukan pungutan intensif—bea keluar ekspor karet 10%!" "Petani butuh insentif, malah diberi pungutan intensif yang mencekik leher!" tegas suami. "Ironisnya, keputusan kontroversial itu diambil justru saat harga karet jatuh dari November 2011 sheet 100% kadar karet kering 5 dolar AS/kg, jadi 3 dolar AS/kg di bursa berjangka komoditas Jakarta pada lelang November 2011 untuk penyerahan April 2012! Sekalian, saat ekspor karet dari daerah produsen karet seperti Lampung turun drastis!" 

"Memang!" timpal tamu. "Ekspor komoditas karet pada November 2011 turun 9,09% dari periode sama 2010! Bahkan ekspor karet dalam November itu 956,5 juta dolar AS, lebih rendah dari Oktober sebesar 1,29 miliar miliar dolar AS!" (Kompas.com, 3-1) "Di tengah dua realitas negatif yang menjepit petani karet itu, kalau pemerintah membuat aturan baru yang memberatkan, bukan saja menjadikan petani jatuh tertimpa tangga, melainkan sudah pun jatuh digebuk lagi pakai tangga!" tukas suami. "Karena itu, pemerintah di tingkat kabinet harus cepat mencabut ketentuan bea ekspor karet tersebut, agar akhirnya tak jadi beban petani yang menghabisi daya belinya, juga tak menurunkan daya saing ekspor karet dan produk karet!" "Celakanya kalau bea ekspor karet itu justru benar sebagai kebijakan kabinet, pencabutan aturannya pasti lebih sulit!" timpal tamu. "Tapi ini jadi ujian bagi para wakil rakyat di Pemerintah Pusat, apakah mereka peduli pada penderitaan rakyat pemilihnya!" ***
Selanjutnya.....

Operasi Jantung, Dokter Vs Montir!

PRIA berusia 50-an memijit tombol merah di atas kepalanya begitu lampu safety belt padam tanda proses take off pesawat selesai. "Mau apa Bapak?" tanya penumpang di sisinya. "Memanggil pramugari untuk diambilkan air minum!" jawab pria. "Aku harus segera minum!" "Bapak ada jantung rupanya?" tanya penumpang. "Tentulah ada jantung!" entak pria. "Kalau tak ada jantung, manusia mana bisa hidup!" "Maksud saya sakit jantung!" jelas penumpang. "Sakit jantung, ada! Tapi belum parah!" jawab pria. "Baru dua kali operasi!" "Dua kali operasi jantung? Itu Bapak bilang belum parah?" entak penumpang. "Membayangkan dirinya dioperasi jantung saja orang-orang lain sudah ketakutan bukan kepalang!" 

"Ketakutan seperti itu berlebihan!" tegas pria. "Jantung manusia itu tak beda dengan karburator mobil! Ada yang rusak dibongkar, onderdilnya aus diganti! Bahkan, manusia lebih fleksibel dari mobil! Kalau dokter mengoperasi atau membongkar jantung manusia dia kerjakan dengan menjaga manusianya tetap hidup! Sedang kalau montir, membongkar karburator harus mematikan mesin mobilnya! Tak ada montir mampu membongkar karburator dengan mesin mobilnya tetap hidup!" "Jadi menurut Bapak, manusia sebenarnya justru lebih fleksibel dari mobil?" timpal penumpang. "Betul!" tegas pria. "Maka itu, tak perlu takut pada operasi jantung atau onderdil yang mana pun dalam tubuh kita saat diharuskan!" 

"Tak semua yang mengalami operasi jantung ketakutan, seperti yang dirasakan sebelumnya bisa hilang seperti Bapak!" timpal penumpang. "Tetanggaku, usai operasi jantung meminta semua orang yang dijumpainya untuk berhenti merokok sembari mengisahkan betapa ngerinya dioperasi jantung!" "Itu biasa terjadi pada orang yang dioperasi setelah lebih dahulu kena serangan jantung!" tegas pria. "Bahkan, kalau yang sempat lebih dahulu kena serangan jantung, bisa serbasalah!" "Seperti partai berkuasa yang mendapat serangan jantung?" timpal penumpang. "Kalau itu salah metaforis!" tukas pria. "Karena fungsi partai dianggap sekadar alat meraih kekuasaan, mereka metaforakan seperti mobil: onderdil yang rusak langsung dicopot dan dibuang ke tempat sampah—seperti Nazaruddin! Padahal partai sarana ekspresi dan aktualisasi kapasitas manusia, partai harus dimetaforakan seperti manusia, sebagai lembaga pengekspresi kasih sayang lebih-lebih terhadap sejawat—ini tak tecermin dalam kasus Nazaruddin! Lebih buruk lagi, sejawat yang mendapat nasib malang malah disingkirkan, diperlakukan selayak najis!" ***
Selanjutnya.....

Piramida Sadahurip, Iptek dan Metafisika!

"KENAPA usaha tim bentukan staf presiden bidang kebencanaan mengebor guna membuka piramida dalam Gunung Sadahurip, Garut, disoroti banyak orang, terutama politisi?" tanya Umar. "Itu pasti karena politisi dan rakyat awam tidak memahami rahasia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta metafisika purba di balik cerita Star Wars yang hanya diketahui Obi Wan Kenobi—mahaguru setiap satrio piningit calon pemimpin persekutuan antargalaksi sejagat raya!" "Ah, kau membuat aku tambah bingung!" timpal Amir. "Dari piramida Gunung Sadahurip, Garut, ke Star Wars, ujungnya malah satrio piningit!" "Nah, betul kan! Kau saja enggak nyambung!" entak Umar. "Obi Wan itu penyimpan rahasia untuk mengalahkan siapa pun penguasa semesta yang sebelumnya dia siapkan lewat proses sebagai satrio piningit! Seperti Dad Vader, yang berpaling dari persemakmuran probumi dengan menjadi pemimpin antargalaksi di pihak lawan! Saat itu terjadi, Obi Wan hadirkan Luke Skywalker—yang tak lain putra Dan Vader sendiri—dari planet tersembunyi ke planet tak dikenal tempat ia menggembleng Luke, satrio piningit berikutnya!" "Apa hubungan semua itu dengan piramida Sadahurip?" potong Amir.

"Bisa jadi itu bunker senjata pamungkas yang disembunyikan leluhur Obi Wan jutaan tahun lalu untuk mempertahankan bumi dari serbuan sekutu antargalaksi antibumi!" tegas Umar. "Hal begitu jelas kurang dipahami politisi dan rakyat awam, bahwa perang bintang (star wars) antarkubu persekutuan makhluk antargalaksi, sejak zaman prasejarah berlangsung adu kekuatan paduan iptek dan metafisika! Sisi metafisika yang justru lebih menentukan yang dikendalikan Obi Wan!" "Sudah, sudah!" entak Amir. "Bicaramu membuka rahasia kau penggemar game online Star Wars! Ntar kau lanjutkan ke peran Ratu Lela, Chewbacca, Robot R2D2! 

Akhirnya, hanya menjadi pembenar pekerjaan sia-sia yang memalukan seperti pernah dilakukan seorang menteri agama menggali harta karun di situs Istana Batutulis!" "Huahaha..., ternyata kau punya ujung cerita juga!" Umar terbahak. "Hari gini dibawa ke cerita satrio piningit model yang berujung ke pusaka Majapahit, orang lebih cepat melengos! Lain kalau dikaitkan iptek, tim di bawah presiden, atau juga metafisika Barat, orang bisa bertahan agak lama!" "Tapi apa pun bumbu ceritanya, ujung dari usaha-usaha seperti itu sering absurd!" tukas Amir. "Jadi kisah cinderela, tak mendidik rakyat bekerja keras untuk mencapai taraf hidup lebih baik!" ***
Selanjutnya.....

‘Pers Solusi’ Atasi Konflik!

H. Bambang Eka Wijaya "PERS Indonesia diminta menempatkan diri jadi bagian solusi dalam mengatasi konflik di tengah masyarakat!" ujar Umar. "Itu disampaikan Presiden Yudhoyono pada Hari Pers Nasional, Jambi, Kamis (9-2). Ia memperkirakan 5 hingga 10 tahun ke depan potensi konflik antarunsur masyarakat masih tinggi! Pemicunya, kondisi ekonomi belum sejahtera akibat demokrasi yang belum matang!" "Ada tiga fungsi pers dalam UU Pers: menyebar informasi, kritik/kontrol, dan hiburan! Lalu UU Penyiaran dilengkapi dengan kultural edukatif!" timpal Amir. "Bukan berarti tak mengenal 'pers solusi', tapi tugas utama pers—termasuk dalam kritik—mengungkap dan menyampaikan fakta! Sampai di situ tugas dan fungsi pers selesai! Dengan fakta itu, para pihak diharap bisa menarik simpul-simpul masalah dan menganyamnya jadi solusi!"
"Posisi itu sesuai peran pers secara universal!" tegas Umar. "Memang dalam editorial, opini atau pendapat subjek berita bisa memuat saran-saran menuju solusi, tapi itu sifatnya suplemen alias bonus dari pers! Sebab, pers secara umum justru membatasi diri untuk tidak menggurui pembaca!" "Dalam demokrasi yang matang, melalui fakta yang disampaikan pers, masyarakat memperbaiki kekurangan dirinya, terutama dalam hal-hal yang bisa merugikan orang lain dan jadi penyebab konflik!" lanjut Amir. "Beda pada demokrasi yang belum matang, fakta tentang kekurangan yang disiarkan pers di berita atau opini direspons emosional, tak kepalang digugat pencemaran nama baik! Sedang di negeri demokrasi matang, orang atau lembaga justru membayar konsultan untuk menemukan kekurangan dirinya untuk diperbaiki agar bisa melangkah lebih baik memenangkan persaingan!" "Di demokrasi mentah menjadikan pers bagian solusi malah bisa ditafsir pers harus membatasi diri dari fungsi menyampaikan fakta kebenaran—yang bisa menyulut amarah para pihak yang bersengketa!" tukas Umar. "Hal itu selain tak sehat bagi pers, juga tak sehat bagi masyarakat, karena akar konflik tak pernah tuntas diselesaikan—laten menjadi potensi konflik!" "Untuk itu, ‘pers solusi’ harus dipahami tanpa memasung fungsi pers!" timpal Amir. "Tapi pers sebagai mediator—bukan dalam arti mediator perundingan para pihak—melainkan menjalankan sepenuhnya fungsi pers merdeka, menggalang interaksi para pihak lewat media dengan sajian fakta akar masalah yang harus diselesaikan tuntas! Artinya, sebagai bagian dari solusi, pers mendorong solusi permanen, bukan solusi semu yang menyimpan bara konflik tetap membara!" ***
Selanjutnya.....

Fatalisme, Cuaca Ekstrem Dijadikan Kambing Hitam!

"CUACA ekstrem dijadikan kambing hitam, yang dituding sebagai penyebab nasib malang maupun kegagalan akibat ketaksiapan mengatasi masalah hidup kita!" ujar Umar. "Cuaca ekstrem disebut memicu turunnya ekspor Lampung 33,40% Desember 2011, atau anjloknya produk domestik regional bruto (PDRB) Lampung 8,74% pada triwulan IV 2011! Padahal, cuaca ekstrem yang dipicu pemanasan global itu hanya akibat dari perilaku manusia yang tak ramah lingkungan!" "Itu sifat buruk manusia yang acap mengarahkan telunjuk ke pihak lain untuk menutupi kesalahannya!" timpal Amir, "Melontarkan kesalahan ke cuaca ekstrem sebagai variabel di luar batas kemampuan manusia, mengesankan penderitaan nelayan yang tak bisa melaut merupakan siksaan dari 'sono'! Realitasnya, akibat ulah manusia juga! "...Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, melainkan merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri." (QS:30:[9])

"Kebiasaan buruk manusia yang acap berdalih penderitaan yang dialaminya sebagai azab hingga cuma bisa pasrah menerimanya, itulah yang dimaksud dengan fatalisme!" tukas Umar. "Jelas fatal sikap mengalihkan kesulitan hidup yang dialami akibat perbuatannya sendiri menjadi takdir dari Yang Mahakuasa! Bersumber dari sikap sejenislah ketika kita ikut-ikutan melontarkan penurunan ekspor dan PDRB sebagai kesalahan si kambing hitam cuaca ekstrem!" "Fatalisme yang membuat orang hanya pasrah dengan menganggap realitas hidup yang buruk sebagai kehendak-Nya, jelas menyesatkan!" timpal Amir. "Sebab, Dia sendiri menegaskan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tak berusaha mengubahnya!" "Penekanan kata 'berusaha' itu penting disimak, sehingga dengan cuaca ekstrem yang sudah menjadi 'agenda' di era pemanasan global dan salah musim, kita tidak lagi setiap kali cuma bisa menjadikannya kambing hitam!" tegas Umar. 

"Artinya, harus ada usaha seperti warga di negeri empat musim tetap bisa memproduksi sayuran segar di musim dingin bersalju! Jika di sana orang mengatasinya dengan green house, kita harus berusaha dengan cara lain yang lebih tepat!" "Contohnya nelayan, untuk mengatasi datangnya cuaca buruk serupa kapan saja, keluarganya bisa dimobilisasi untuk berbudi daya rumput laut yang gelombang besar meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, ditunjang lagi keramba milik usaha bersama!" timpal Amir. "Tanpa fatalisme yang menyesatkan, Tuhan membuka pintu rezeki dari segala penjuru dan lewat segala cara!" ***
Selanjutnya.....

Ekonomi Tumbuh Tidak Berkualitas

"PDB—produk domestik bruto—Indonesia 2011 tumbuh 2,6%, pendapatan per kapita ikut naik menjadi Rp30,8 juta (3.542,9 dolar AS) dari Rp27,1 juta (3.010,1 dolar AS) pada 2010!" ujar Umar. "Tapi, kata Pjs. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, pertumbuhan itu tak berkualitas karena tidak menyerap tenaga kerja optimal hingga tak signifikan menurunkan angka kemiskinan!" "Pertumbuhan 6,5% itu berkat dukungan sektor transportasi dan komunikasi yang tumbuh 10,7%; perdagangan, hotel, dan restoran 9,2%; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 6,8%," timpal Amir. "Sektor-sektor itu ternyata tumbuh dengan optimalisasi kapasitas terpasangnya! Sebenarnya, ini menunjukkan proses usaha yang makin sehat, karena lebih menonjol efektivitas dan efisiensinya! Namun, kebutuhan kita justru penyerapan tenaga kerja, sehingga tak terjawab tepat oleh prestasi yang sebenarnya cukup mengesankan tersebut!" "Kenyataan itu menunjukkan pemerintah kembali gagal dalam membangkitkan sektor riil, utamanya industri manufaktur yang mengolah raw material menjadi produk kemasan akhir hingga tradeable—menyerap tenaga kerja optimal!" tegas Umar. 

"Itu bukti pemerintah belum berhasil mengurai masalah-masalah serius yang dihadapi sektor riil, dari buruknya infrastruktur sampai suprastruktur (birokrasi) yang membebani operasional sektor riil dengan biaya siluman lebih 25%!" "Masalah itu sebenarnya sudah sering diungkap dalam hasil penelitian banyak pihak, terutama laporan tahunan Bank Dunia, tapi perbaikannya selalu tak efektif mengatasinya!" timpal Amir. "Contohnya ratusan bahkan ribuan perda, yang mengganggu dunia usaha di seantero negeri, meskipun telah dibatalkan oleh pusat, diam-diam masih terus dijalankan di daerah! Semisal retribusi di jalanan, meskipun di banyak tempat bangunan posnya telah dibongkar, penyetopan kendaraan dan pungutannya masih jalan terus!" 

"Semua itu ironi otonomi daerah!" tegas Umar. "Namanya saja otonom—punya kekuasaan penuh menentukan sendiri! Tapi realitasnya di atas 75% APBD dipenuhi pusat! Dan agar enak memakainya, DAU dan dana bagi hasil lain yang diterima tetap dari pusat diklaim jadi PAD! Setelah enak dipakai, dana untuk publik di APBD pun selalu di bawah 30%. Inilah dasar ketimpangan jadi menajam di daerah, hingga meskipun pendapatan per kapita 3.500 dolar AS, tetap saja banyak orang tak mampu menjangkau garis kemiskinan Rp244 ribu/bulan! Karena lebih 70% dana pusat ke daerah dikuasai elite untuk menopang gaya hidup yang berlebihan di tengah rakyatnya yang serbakekurangan!" ***
Selanjutnya.....

Narkoba, Bahaya Laten Indonesia!

"TERTANGKAPNYA pilot penerbangan swasta saat menggunakan narkoba di Surabaya menunjukkan bahaya laten narkoba di Indonesia terus semakin mencekam!" ujar Umar. "Laju ancaman ini juga mengejutkan! Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Goris Mere medio tahun lalu menyebutkan pada 2008 penyalahguna narkoba masih 1,99% dari jumlah penduduk, 2010 sudah menjadi 2,21% atau jika sekarang jumlahnya 3,8 juta orang, pada 2015 akan menjadi 5,1 juta orang! Dari semua itu, yang menjalani rehabilitasi baru 18 ribu orang!" "Lebih mengherankan lagi, terjadinya booming penyalahguna narkoba periode terakhir justru setelah lahirnya UU No. 35/2009 yang mengancam dengan hukuman mati pemilik narkoba 5 gram—tak peduli pengedar atau pengguna!" timpal Amir. "Tak kalah penting, pemilik narkoba di bawah 5 gram diancam hukuman minimal 4 tahun penjara disertai denda Rp500 juta atau diganti hukuman badan 2 tahun! Pokoknya, ancaman hukuman berat saja tak mampu menahan laju peningkatan bahaya laten narkoba!"

"Jera pada akibat narkoba kayaknya tak begitu terlihat!" tukas Umar. "Selain ada pilot tertangkap nyabu di Makassar bulan lalu, juga Afriani saat menggunakan narkoba mobilnya menabrak 15 orang di trotoar jalan, sembilan di antaranya tewas, toh pilot yang tertangkap di Surabaya itu tak takut dan tetap menggunakan narkoba!" "Itu menunjukkan tingkat kecanduannya sudah tak tertahankan!" timpal Amir. "Faktor kecanduan pada setiap pengguna itulah, dalam arti pantang coba langsung ketagihan, penyebab pesatnya laju jumlah penyalahguna narkoba di negeri kita!" "Celakanya, jumlah penyalahguna yang terus meningkat itu sekaligus menjadikan Indonesia sebagai pasar penting bagi kartel-kartel mafia perdagangan narkoba dunia!" tegas Umar.


"Selain lewat Bandara Soekarno-Hatta sering tertangkap pasokan berjumlah besar dari pasar internasional yang dilakukan lewat segala cara, Bakauheni termasuk jaring penangkal kedua yang banyak menangkap kiriman narkoba dari luar negeri!" "Tapi dari fenomena Bakauheni perlu penyimakan lebih saksama!" timpal Amir. "Bakauheni cuma lintasan dari Sumatera ke Jawa, sebelum sampai Bakau aliran dari luar negeri ke Sumatera praktis tak terhalang jaring penangkal seketat di Bakau! Fenomena Bakauheni berarti, jangan-jangan narkoba yang beredar di Sumatera dan lolos lewat jalur lain ke Jawa, jumlahnya jauh lebih besar dari yang terjaring di Bakauheni! Petunjuknya, jumlah penyalahguna yang terus meningkat pesat selalu mendapat pasokan yang cukup!" ***
Selanjutnya.....

'Setiap Orang' Diancam Pidana UU Zakat Baru!

"JADI pusing membaca UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 38 berbunyi, 'Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang," ujar Umar. "Pelanggaran pasal itu diatur dalam Ketentuan Pidana, Pasal 41, 'Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta!" "Untuk amil zakat tradisional dalam masyarakat di masjid atau guru ngaji, bagaimana?" tanya Amir. "Secara eksplisit tak disebut UU itu!" jawab Umar. "Berarti masuk 'setiap orang' jika jadi amil zakat diancam pidana! Karena Pasal 17 berbunyi 'Untuk membantu Baznas dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ." "Apa pula itu Baznas dan LAZ?" kejar Amir. 

"Baznas itu Badan Amil Zakat Nasional, lembaga pemerintah nonstruktural yang mengelola zakat nasional, di daerah Baznas provinsi dan Baznas kabupaten/kota! Anggota Baznas diseleksi DPR, diangkat dan bertanggung jawab pada Presiden!" jelas Umar. "LAZ, Lembaga Amil Zakat bentukan masyarakat dengan syarat berat!" "Seberat apa syaratnya?" tanya Amir. "Syaratnya, Pasal 18, (1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri," jawab Umar. "(2) Izin sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan 

Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. berbentuk lembaga berbadan hukum; c. men-dapat rekomendasi dari Baznas; d. memiliki pengawas syariat; e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. bersifat nirlaba; g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala. Lalu Pasal 19, LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada Baznas secara berkala." "Berarti selain pajak, zakat juga secara nasional ditangani pemerintah!" timpal Amir. "Kalau pajak penerimaan dan penyalurannya sering kurang beres, apa zakat juga mau diperlakukan serupa?" "Jangan suuzan!" tegas Umar. "Bahwa amil zakat masjid-masjid pelosok akan sulit memenuhi syarat pembetukan LAZ, bisa jadi! Tapi pemerintah kan lazim, jika bisa dipersulit, kenapa dipermudah?" ***
Selanjutnya.....

Partai Demokrat Turun Peringkat!

"LSI—Lembaga Survei Indonesia, Minggu (5-2), merilis hasil survei terbaru, popularitas Partai Demokrat (PD) merosot ke peringkat tiga dengan peraihan dukungan 13,7%, dari peringkat pertama dengan perolehan suara lebih 20% pada Pemilu 2009!" ujar Umar. "Survei terakhir LSI di 33 provinsi dari 21 Januari hingga 2 Februari 2012 itu menempatkan Partai Golkar di posisi puncak dengan meraih dukungan 18,9%, diikuti PDIP dengan perolehan 14,2%!" "Hasil survei itu membuktikan kasus wisma atlet yang melibatkan (mantan) Bendahara Umum PD Nazaruddin mengimbas telak pada popularitas PD!" timpal Amir. "Survei itu dilakukan sebelum KPK menetapkan kader PD lainnya, Angelina Sondakh, sebaga tersangka kasus sama! (3-2) Bisa diperkirakan arahnya jika makin banyak kader PD jadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK!"

"Mengenai penurunan dukungan pada PD seperti hasil survei itu, Presiden Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina PD Minggu sore menegaskan, itu realitas!" tegas Umar. "Respons itu disampaikan setelah sembilan pendiri dan deklarator PD menyampaikan keprihatinan atas ulah sejumlah kader PD yang terkait korupsi, dan permintaan dari kader seluruh daerah agar Yudhoyono turun tangan atas isu-isu yang merugikan PD terkait penanganan KPK pada korupsi kader-kader PD!" "Atas semua itu Yudhoyono justru melempar bola, mestinya DPP bisa melakukan komunikasi efektif, khususnya kepada rakyat apa yang sebenarnya terjadi!" timpal Amir. "Misal, menjawab serangan-serangan yang dianggap tidak berdasar apa pun! Berkomunikasi dengan KPK, apa yang sebenarnya terjadi, bukan apa yang diperbincangkan di luar!" "Pada bagian itu, terkesan kuat Yudhoyono kecewa pada DPP!" tukas Umar. 

"Tapi ia berkilah dari desakan melakukan pembersihan para kader bermasalah, termasuk di DPR. Ia tegaskan dirinya menghormati proses hukum. Siapa pun akan diberi sanksi untuk menegakkan prinsip moral maupun kode etik!" "Tapi, apakah hanya dengan berserah pada proses hukum, menegakkan sanksi moral dan etika di organisasi, cukup efektif membendung gejala penurunan popularitas PD, hingga tak semakin memburuk?" timpal Amir. "Tentu saja tetap perlu solusi nyata seperti diharapkan kader dari seluruh daerah! Tapi solusi itu bukan tunggal, sama di seantero negeri, melainkan apa pun yang bisa dilakukan setiap kader sesuai kemampuan dan kebutuhan daerahnya! Setiap kader jadi pemain aktif, bukan cuma jadi penonton—hasilnya, sejuta solusi pasti bisa mengatasi sebuah masalah!" ***
Selanjutnya.....

'KPK Baru', Hukum Menjadi Guyonan!

"HEBAT! Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid tiga menjadikan kegiatan penegakan hukum sebagai guyonan!" tukas nenek usai menyaksikan konferensi pers Ketua KPK Abraham Samad yang menyatakan Angelina Sondakh sebagai tersangka. "Tata cara konferensi pers aparat penegak hukum memang belum diatur dalam sejenis KUHAP. Tapi, pernyataan tentang status seseorang dalam suatu perkara merupakan bagian dari proses hukum! Karena itu, jika dalam proses hukum yang semestinya disampaikam kepada publik dengan sikap formal itu dilakukan lewat guyonan, hukum pun praktis di forum formal dipraktekkan jadi pentas dagelan!"

"Nenek yang penggemar OVJ, Sentilan-Sentilun, dan acara humor lainnya di televisi kok malah sewot pada gaya cengengesan Ketua KPK dalam konferensi pers kasus Angelina Sondakh?" timpal cucu. "Padahal, gaya 'KPK baru' konferensi pers guyon itu bisa jadi justru untuk bisa menarik penggemar acara humor di televisi menjadi penonton acara berita, lebih-lebih berita tentang korupsi, sehingga gerakan antikorupsi jadi lebih merakyat! Lebih penting lagi, kalau koruptor dijadikan guyon, bahan tertawaan publik, hingga mencapai trial by the comedy, bukan mustahil jadi tertawaan masyarakat bisa dirasakan koruptor lebih sakit daripada hukuman badan!" "Kemungkinan demikian bisa saja!" sambut nenek. "Tapi, jika itu terjadi dan pangkalnya dari pratek aparat penegak hukum, proporsi hukum bergeser dari legal-formal menjadi dagelan-legal! Padahal dalam prinsip due process of law, untuk mencapai keadilan hukum, maka pada setiap langkah terkait semua dimensi prosesnya harus berdasar sikap adil serta berorientasi kebenaran!" 

"Maksud nenek sikap cengengesan itu tidak adil dan tidak benar bagi tersangka dalam asas praduga tak bersalah?" tambah cucu. "Tidak pada tempatnya tersangka dijadikan tertawaan!" "Jangankan tersangka yang belum tentu bersalah! Orang yang nyata-nyata punya cacat pun dalam masyarakat tak boleh dijadikan tertawaan!" tegas nenek. "Orang yang punya kekuasaan memang cenderung bertindak asal tidak secara formal melanggar hukum! Padahal, orang berkuasa juga dijadikan teladan masyarakat sehingga faktor etiket—patut atau tidaknya sesuatu yang ia lakukan menjadi jauh lebih penting!" "Tapi justru etiket—dari cara bersikap sampai cara bicara di depan publik—itu sekarang sukar didapat keteladanannya dari para pemimpin!" timpal cucu. "Bahkan itulah hakikat krisis etika-moral bangsa dewasa ini—krisis keteladanan pemimpin!" ***
Selanjutnya.....

Buah yang Busuk Terjatuh Duluan!

"SEMULA ditonjolkan paham buah busuk terjatuh duluan! Itu saat Nazaruddin sebagai bendahara umum Partai Demokrat dinyatakan terlibat kasus korupsi wisma atlet, dia diperlakukan sebagai satu buah yang busuk dari sebuah pohon partai yang besar!" ujar Umar. "Dengan paham begitu, setelah Nazaruddin dikeluarkan dan dipecat dari partai, partai pun bisa dianggap kembali kinclong, bersih seperti sediakala!"
"Inti dari pemahaman itu, perilaku menyimpang dan jiwa korup hanya gejala kasuistik sifat pribadi Nazaruddin, bukan gejala perilaku kelompok atau perilaku umum elite partai!" timpal Amir. "Masih dalam paham yang sama, para kader separtai tak perlu resah ketika Angelina Sondakh ditetapkan jadi tersangka oleh KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi! Karena, itu juga hanya berarti satu buah busuk lainnya saja yang jatuh duluan! Buah lain yang tidak busuk takkan ikut terjatuh!" "Pemahaman demikian menyenangkan buat para kader partai karena cukup dengan membersihkan partai dari buah-buah busuk tersebut partai pun kembali bersih, tak bermasalah lagi!" tegas Umar. "Tapi dalam kenyataannya tidaklah demikian! Dan inilah yang harus disadari kader partai, yakni saat buah busuk yang jatuh dari pohon partai itu disantap masyarakat bangsa ternyata beracun! Pohon asal buah jatuh yang beracun itu pun diberi nama pohon buah beracun! Akibatnya, para kader partai di pohon partai itu dianggap masyarakat sama dengan buah yang jatuh itu, buah-buah beracun yang berbahaya!" "Karena itu tidak tepat saat ada kadernya terlibat korupsi, setelah memecat kader tersebut, partai memutus total hubungan dengan sang kader dengan anggapan lepasnya kader itu partai jadi bersih kembali!" timpal Amir. "Kenyataannya seperti Nazaruddin yang saat korupsi berposisi sebagai bendahara umum partai, tanpa jabatan itu ia tak punya kekuasaan dan akses untuk korupsi. Hingga meski ia telah dipecat, masyarakat tetap tak melepaskan kaitannya dengan partai! Proses hukumnya bukan saja menyerempet dan menyeret partainya, malah menelanjangi tokoh-tokohnya, meracuni partainya!" "Memang, lebih tepat meski dipecat hubungan dengan kader tersebut tak diputus total, misalnya dengan tetap memberinya bantuan hukum—yang dengan itu sang kader tak sakit hati dan berbalik menyerang partai!" tegas Umar. "Artinya, buah busuk yang jatuh harus diopeni partai agar tidak menjadi racun bagi partainya sendiri—yang ekses negatifnya mengimbas masyarakat bangsa!"
Selanjutnya.....

Pakta Integritas Antikorupsi PNS!

"SETIAP pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan menandatangani pakta integritas antikorupsi, kolusi, dan nepotisme!" ujar Umar. "Pakta ini sesuai Inpres No. 9/2011 dengan Pedoman Umum Permen PAN-RB No. 49/2011. Pakta buat gubernur sudah ditandatangani 20 Desember 2011 di Hotel Mercure, Jakarta, untuk PNS daerah Februari ini!" "Pakta integritas itu pernyataan seseorang pada diri sendiri untuk ini atau untuk itu!" timpal Umar. "Dibanding sumpah yang ada sanksi hukumnya buat sumpah palsu, pakta integritas belum ada ketentuan hukumnya! Pakta integritas dikenal di era reformasi, dibuat politisi saat menjadi calon anggota legislatif atau eksekutif, jika terpilih akan melakukan ini-itu! Sejauh ini, tak ada sanksi atau risiko apa pun pada dirinya ketika setelah terpilih tak melakukan isi pakta tersebut!"
"Pakta dalam bahasa Indonesia berarti ‘perjanjian’, seperti pada Pakta Warsawa!" tegas Umar. "Arti integritas dalan kamus Webster, adherence to a code of values—dukungan pada suatu perangkat nilai! Di situs resmi www.menpan.go.id, pakta integritas ini diartikan janji kepada diri sendiri untuk melaksanakan tugas sesuai peraturan perundangan dan tak akan melakukan KKN!" "Dilihat dari makna dan bobot dimensi hukumnya, mengandalkan pakta integritas jadi pamungkas menghentikan korupsi pada semua PNS sama saja dengan bohong!" timpal Amir. "Bukan itu intinya! Tapi, perlu ada ayunan langkah awal reformasi birokrasi dilakukan setiap PNS! Mungkin itu arti strategis pakta integritas antikorupsi meski hadir setelah 13 tahun reformasi!" "Pada reformasi 13 tahun lalu baru kekuasaan Soeharto saja yang ditumbangkan!" tegas Umar. "Sedangkan birokrasinya, yang ada sampai saat ini adalah birokrasi lama yang karakternya tidak berubah!" (Kompas, 2-2). Dengan demikian, pakta integritas bisa dijadikan pendorong kepada PNS untuk berpikir mengubah karakter dirinya dari karakter Orde Baru ke karakter reformis!" "Untuk bisa menjadi pemicu proses perubahan karakter pada PNS, pakta itu tak bisa dilepas jalan sendiri setelah ditandatangani!" timpal Amir. "Untuk itu, diperlukan motor penggerak motivasi agar pakta itu hidup dan berperan dalam kegiatan sehari-hari PNS! Bukan saja mencegah dirinya korupsi, melainkan sekaligus mendorong tumbuhnya budaya antikorupsi, kolusi, dan nepotisme!" "Dengan begitu, makna integritas dalam pakta itu jadi adhere to code of anticorruption values—mendorong perangkat nilai antikorupsi!" tegas Umar. "Itu bisa menjadi motor pencegah laju korupsi kalangan politisi—yang diposisikan oleh demokrasi memimpin barisan PNS!" ***
Selanjutnya.....

Menyimak Cara Berpikir Nenek! (3-Habis)

"BEGITULAH! Sekalipun elite, politisi, penguasa, dan kalangan kuat ingin serta berusaha memberi yang terbaik kepada kalangan lemah, tidak serta-merta bisa mewujudkan!" tegas nenek. "Pengalaman pengentasan kemiskinan yang menghabiskan Rp86,1 triliun pada 2011, hasilnya tak memadai!" "Berarti elite itu kalah dari nenek, yang lewat pepaya dan pisang bisa memberi yang terbaik pada orang lain, pada masyarakat!" timpal cucu. "Bukan cuma nenek! Tapi petani Lampung yang mampu memproduksi komoditas berkualitas mencapai nilai tukar pertanian (NTP) 123,74 pada Desember 2011, jauh di atas NTP nasional 105,54!" tegas nenek. "Terutama petani padi dan palawija yang mencapai NTP 133,63. Konkretnya, beras Lampung merajai pasar beras kelas atas di Palembang, Banten, dan Jakarta! Jagung manis Lampung menguasai pasar jagung rebus Ibu Kota!" 

"Tampak, justru petani Lampung yang mampu meraih posisi advantage dalam sistem sosial-ekonomi transaksional, menarik kebaikan bagi kaumnya dengan memberi yang terbaik pada bangsa!" timpal cucu. "Sedang kemampuan elite memberi yang terbaik masih sebatas retorika penghias bibir karena prasarana dan sarana produksi serta infrastruktur yang jadi kewajiban mereka masih jauh dari memadai! Mayoritas tanaman padi yang mengukir NTP 133,63 itu dibudidayakan di sawah tadah hujan, bukan produk irigasi teknis dengan anggaran sektor pertanian semua kabupaten yang imut-imut!" "Kenapa keinginan elite memberi yang terbaik selalu kandas?" kejar cucu. "Beda dengan petani dan jelata yang menjadikan kerja sebagai ibadah yang dilakukan dengan ikhlas, pada langkah elite untuk berbuat terbaik ketulusannya mungkin bermasalah!" tukas nenek.


"Soalnya, langkah elite itu cuma kulit, sedang isinya tujuan kekuasaan! Itu salah satu dasar asumsi kenapa dalam paham laissez faire, ekonomi tumbuh saat elite terutama birokrat sedang tidur! Sebab, kalau melek, ada saja tingkahnya yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi!" "Tingkah birokrat yang begitu mudah ditemukan!" timpal cucu. "Salah satunya jebakan buat mobil pikap pengangkut barang di depan Terminal Rajabasa, Bandar Lampung! Tanpa pemberitahuan dan rambu yang cukup jelas terlihat dari jauh, pikap luar kota yang tak tahu harus masuk terminal bablas lalu diudak dan ditangkap sebagai pelanggar aturan hukum lalu lintas!" "Begitulah elite dan birokrat memanfaatkan hukum menjebak rakyat!" tegas nenek. "Bukan memberi yang terbaik, malah menyengsarakan!" ***
Selanjutnya.....

Menyimak Cara Berpikir Nenek! (2)

"TAPI, bagaimana cara pihak yang kuat membuktikan sikapnya selalu memberi yang terbaik pada kalangan lemah?" tanya cucu. "Salah satu contohnya yang dilakukan Perdana Menteri Naoto Kan!" jawab nenek. "Meski orang-orang luar negeri (termasuk Indonesia) memuji bagusnya cara ia menangani korban tsunami, justru di Diet (parlemen) kecewa dan menilai dia gagal, terutama dalam mengamankan kebocoran reaktor nuklir Fukushima. Ia terima tuduhan tak mampu memberikan yang terbaik pada para korban tsunami—dan ia pun mundur dari jabatan Perdana Menteri 26 Agustus 2011." "Kalau di sini pasti pejabatnya mengelak tak mau mengakui kegagalannya, berkilah dengan aneka retorika!" timpal cucu. "Lebih buruk lagi, malah menyalahkan korban, tak bisa diatur!" "Di Jepang, sampai mengecewakan korban itu memang tak ada alasan yang bisa dibuat karena anggaran tak terbatas!" jelas nenek.

"Di sini juga kalau untuk membantu para korban bencana alam sebenarnya tak terbatas, berapa saja tak ada yang protes!" tukas cucu. "Masalah justru karena pejabat yang tidak menjadikan bencana sebagai prioritas, tapi selalu ada hal lain yang lebih dia utamakan dalam alokasi anggaran! Soalnya, memberikan yang terbaik kepada kalangan lemah belum menjadi tradisi di sini!" "Sebenarnya elite kita juga kepingin memberikan yang terbaik kepada kalangan lemah, cuma keinginan itu tak kesampaian akibat kemampuan diri mereka terbatas!" timpal nenek. "Contohnya, APBN 2011 untuk pengentasan kemiskinan Rp86,1 triliun, ini dana yang tak sedikit, tapi dari laporan BPS terakhir, jumlah warga yang bisa dientaskan dari kemiskinan cuma 130 ribu orang—dari 30,02 juta orang menjadi 29,89 juta orang miskin! (Kadir Ruslan, Kompasiana.com, 8-1) Artinya, sekitar Rp660 juta untuk mengentaskan setiap satu orang miskin!" 

"Andai yang berhasil dientaskan 1 juta orang, berarti Rp86 juta per orang!" timpal cucu. "Sedang kalau Rp86,1 triliun itu dibagi rata kepada 30,02 juta orang miskin, per orang dapat Rp2,8 juta! Dengan garis kemiskinan konsumsi Rp244 ribu/orang/bulan, pada tahun itu tak ada lagi orang miskin tercatat dalam statistik Indonesia!" "Nah, apakah dengan begitu elite negeri kita bisa disebut telah memberi yang terbaik kepada kaum lemah?" tanya nenek. "Belum bisa!" tegas cucu. "Kalau memberi, secara nyata pemberian itu ada diterima! Masalahnya, kalau uang yang harus diberikan itu tak sampai ke tangan yang seharusnya menerima, lantas dikemanakan uang sebanyak itu?" ***
Selanjutnya.....