"APA konsekuensinya jika dalam sebuah sidang pengadilan saat saksi memberi keterangan yang benar—menurut versinya tentu—para penonton berseru 'huuu...!" tanya Umar.
"Sidang pengadilan kok pakai ‘huuu...!’" timpal Amir. "Konsekuensinya jelas, kebenaran yang dikemukakan dalam kesaksian di sidang itu jadi bisa diragukan! Karena itu, kejadian demikian tak boleh terulang! Sebab, selain mengganggu jalannya sidang sebagai prosesi yang harus steril dari pengaruh dari luar sidang, sekaligus juga bisa memengaruhi penilaian terhadap keterangan yang disampaikan! Sebelum hakim hadir, petugas ruang sidang seharusnya telah memberitahu semua ketentuan buat pengunjung sidang!"
"Pasti sudah!" jamin Umar. "Tapi seruan 'huuu...!' itu spontan, terlepas begitu saja dari mulut para pengunjung sidang! Masalahnya, seperti dalam sidang kasus Nazaruddin di Pengadilan Tipikor, Rabu, kenapa kesaksian Angelina Sondakh bisa memicu serentak seruan 'Huuu...!' pengunjung?"
"Bisa jadi karena sidang hari itu merupakan rangkaian panjang sidang kasus korupsi wisma atlet yang sudah memvonis tiga terpidana, Rosa Manullang, El Idris, dan Wafid Muharram, jalan cerita kasusnya sudah menjadi milik publik!" tukas Amir. "Publik itu terutama yang rajin mengikuti proses sidangnya di Pengadilan Tipikor! Maka itu, ketika keterangan seorang saksi menyimpang bahkan bertentangan dari jalan cerita baku yang telah dilembagakan dengan tiga vonis hakim itu, apalagi terkait istilah yang amat populer dalam kasusnya, ‘apel malang’, ‘apel washington’, ‘bos besar’, dan ‘ketua besar’, jelas spontanitas pengunjung sidang itu tak bisa terbendung! Seruan 'huuu...!' itu bahkan mengacu lebih jauh!"
"Sejauh apa?" kejar Umar. "Mengacu pada tuduhan pengalihan jalan cerita yang terlembaga lewat tiga vonis hakim itu ke sebuah rekayasa mengikuti skenario cerita baru yang bukan saja menyelematkan saksi—melainkan juga sejumlah tokoh penting dalam kekuasaan—dari jerat hukum kasus tersebut!" tegas Amir. "Itu yang mebuat seruan 'huuu...!' pengunjung sidang itu meski tanpa pengeras suara tetap terdengar oleh penonton televisi dari jarak ribuan kilometer sekalipun!" "Tapi, untuk sidang Pengadilan Tipikor, rekayasa seperti itu tak mudah berhasil!" tegas Umar. "Juga sebaliknya, seruan 'huuu...!' itu meski suaranya berpengaruh terhadap kekhidmatan ruang sidang, tak mudah juga memengaruhi penilaian hakim pada substansi perkaranya! Jadi, itu hanya layak dicatat sebagai kejadian yang tak boleh terulang!" ***
"Sejauh apa?" kejar Umar. "Mengacu pada tuduhan pengalihan jalan cerita yang terlembaga lewat tiga vonis hakim itu ke sebuah rekayasa mengikuti skenario cerita baru yang bukan saja menyelematkan saksi—melainkan juga sejumlah tokoh penting dalam kekuasaan—dari jerat hukum kasus tersebut!" tegas Amir. "Itu yang mebuat seruan 'huuu...!' pengunjung sidang itu meski tanpa pengeras suara tetap terdengar oleh penonton televisi dari jarak ribuan kilometer sekalipun!" "Tapi, untuk sidang Pengadilan Tipikor, rekayasa seperti itu tak mudah berhasil!" tegas Umar. "Juga sebaliknya, seruan 'huuu...!' itu meski suaranya berpengaruh terhadap kekhidmatan ruang sidang, tak mudah juga memengaruhi penilaian hakim pada substansi perkaranya! Jadi, itu hanya layak dicatat sebagai kejadian yang tak boleh terulang!" ***
0 komentar:
Posting Komentar