"PDB—produk domestik bruto—Indonesia 2011 tumbuh 2,6%, pendapatan per kapita ikut naik menjadi Rp30,8 juta (3.542,9 dolar AS) dari Rp27,1 juta (3.010,1 dolar AS) pada 2010!" ujar Umar. "Tapi, kata Pjs. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, pertumbuhan itu tak berkualitas karena tidak menyerap tenaga kerja optimal hingga tak signifikan menurunkan angka kemiskinan!"
"Pertumbuhan 6,5% itu berkat dukungan sektor transportasi dan komunikasi yang tumbuh 10,7%; perdagangan, hotel, dan restoran 9,2%; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 6,8%," timpal Amir. "Sektor-sektor itu ternyata tumbuh dengan optimalisasi kapasitas terpasangnya! Sebenarnya, ini menunjukkan proses usaha yang makin sehat, karena lebih menonjol efektivitas dan efisiensinya! Namun, kebutuhan kita justru penyerapan tenaga kerja, sehingga tak terjawab tepat oleh prestasi yang sebenarnya cukup mengesankan tersebut!"
"Kenyataan itu menunjukkan pemerintah kembali gagal dalam membangkitkan sektor riil, utamanya industri manufaktur yang mengolah raw material menjadi produk kemasan akhir hingga tradeable—menyerap tenaga kerja optimal!" tegas Umar.
"Itu bukti pemerintah belum berhasil mengurai masalah-masalah serius yang dihadapi sektor riil, dari buruknya infrastruktur sampai suprastruktur (birokrasi) yang membebani operasional sektor riil dengan biaya siluman lebih 25%!"
"Masalah itu sebenarnya sudah sering diungkap dalam hasil penelitian banyak pihak, terutama laporan tahunan Bank Dunia, tapi perbaikannya selalu tak efektif mengatasinya!" timpal Amir.
"Contohnya ratusan bahkan ribuan perda, yang mengganggu dunia usaha di seantero negeri, meskipun telah dibatalkan oleh pusat, diam-diam masih terus dijalankan di daerah! Semisal retribusi di jalanan, meskipun di banyak tempat bangunan posnya telah dibongkar, penyetopan kendaraan dan pungutannya masih jalan terus!"
"Semua itu ironi otonomi daerah!" tegas Umar. "Namanya saja otonom—punya kekuasaan penuh menentukan sendiri! Tapi realitasnya di atas 75% APBD dipenuhi pusat! Dan agar enak memakainya, DAU dan dana bagi hasil lain yang diterima tetap dari pusat diklaim jadi PAD! Setelah enak dipakai, dana untuk publik di APBD pun selalu di bawah 30%. Inilah dasar ketimpangan jadi menajam di daerah, hingga meskipun pendapatan per kapita 3.500 dolar AS, tetap saja banyak orang tak mampu menjangkau garis kemiskinan Rp244 ribu/bulan! Karena lebih 70% dana pusat ke daerah dikuasai elite untuk menopang gaya hidup yang berlebihan di tengah rakyatnya yang serbakekurangan!" ***
"Semua itu ironi otonomi daerah!" tegas Umar. "Namanya saja otonom—punya kekuasaan penuh menentukan sendiri! Tapi realitasnya di atas 75% APBD dipenuhi pusat! Dan agar enak memakainya, DAU dan dana bagi hasil lain yang diterima tetap dari pusat diklaim jadi PAD! Setelah enak dipakai, dana untuk publik di APBD pun selalu di bawah 30%. Inilah dasar ketimpangan jadi menajam di daerah, hingga meskipun pendapatan per kapita 3.500 dolar AS, tetap saja banyak orang tak mampu menjangkau garis kemiskinan Rp244 ribu/bulan! Karena lebih 70% dana pusat ke daerah dikuasai elite untuk menopang gaya hidup yang berlebihan di tengah rakyatnya yang serbakekurangan!" ***
0 komentar:
Posting Komentar