Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Resesi, Bencana tanpa Pintu Darurat!

Artikel Halanan 8, Lampung Post Senin 31-08-2020
Resesi, Bencana tanpa Pintu Darurat!
H. Bambang Eka Wijaya

AKIBAT pandemi Covid-19, resesi global menyergap. AS, Jepang, Jerman, Inggris, Korea Selatan hingga Singapura, mengakui kena resesi. Itu karena resesi tanpa pintu darurat, meski banyak duit mereka tak bisa melompat keluar dari resesi.
Dengan kenyataan resesi global itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani berusaha realistis. Tak mungkin membuat lompatan besar keluar dari pandemi Covid-19 dan resesi bawaannya.
"Kalau indikator di Juli, di kuartal III, terjadi down side risk, suatu risiko nyata. Kuartal III di kisaran 0% hingga negatif 2%," kata Sri Mulyani di konferensi pers APBN (25/8/2020).
Jika proyeksi tersebut terealisasi, artinya Indonesia menghadapi pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturutturut. Maka perekonomian Indonesia masuk kategori resesi teknikal.
Ia menjelaskan kinerja perekonomian pada kuartal III tidak sesolid yang dibayangkan.
Faktanya, kinerja ekspor dan impor, hingga indikator tingkat produktivitas manufaktur serta sektor kuangan justru kembali ke zona negatif pada priode Juli 2020 ini.
Sri Mulyani mengatakan, kunci utama untuk mengerek kinerja perekonomiam pada kuartal III adalah investasi dan konsumsi domestik.
"Kalau tetap negatif meski pemerintah sudah all out, maka akan sulit untuk masuk ke zone netral tahun inj," ujar. (Kompas.com, 25/8)
Menurut dia, Presiden Joko Widodo telah meminta beberapa menteri untuk fokus pada indikator investasi yang sempat mengalami kontraksi cukup dalam, yakni minus 9,61%.
Di sisi lain, dari sektor konsunsi, selain bansos yang digelontorkan pemerintah, juga diperlukan dorongan dari kelas menengah dan atas.
"Outlook kita sangat tergantung konsumsi dan investasi, dan pemerintah akan melakukan berbagai kebijakan untuk mengembalikan confident itu," imbuh Sri.
Sayangnya, menurut Kepala BPS Suhariyanto beberapa waktu lalu, justru di saat kritis warga kelas menengah cenderung menahan diri untuk tidak membelanjakan uangnya.
Masalahnya, resesi tak punya pintu darurat. Jika melompat, hanya menabrak tembok dan terpental kembali ke jurang resesi.
Karena itu negara maju tak coba melompat, tapi membangun tangga untuk bisa cepat keluar dari jurang resesi. Resesi yang berlarut, menjadi depresi.
Syarat keluar dari resesi dampak Covid adalah selesai dulu urusan dengan Covid. Indonesia mengalami kesulitan untuk lepas dari jerat Covid-19. Harapan tinggal pada vaksin buatan Tiongkok. Jangan pula, andalan untuk keluar dari resesi juga investasi dari Tiongkok. ***




Selanjutnya.....

Studi, Kopi Bermanfaat untuk Melindungi Hati!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 30-08-2020
Studi, Kopi Bermanfaat
untuk Melindungi Hati!
H. Bambang Eka Wijaya

MINUM kopi bermanfaat melindungi hati dan membantu mencegah kematian akibat penyakit hati. Demikian hasil studi sekelompok peneliti Australia yang terbit dalam Alimentary Pharmacology and Therapeutics.
Mereka menemukan, minum lebih dari dua cangkir kopi sehari bisa membantu melindungi seseorang dari kematian terkait penyakit hati.
"Meningkatkan konsumsi kopi per kapita hingga lebih dari dua cangkir per hari berpotensi mencegah ratusan ribu kematian terkait hati setiap tahun jika efek kopi pada kematian terkait hati dikonfirmasi dalam uji klinis," tulis Sarah Gardner dari unit transplantasi hati di The Austin Hospital  Australia. (Kompas.com, 20/8/2020)
Gardner dan rekannya merujuk pada temuan penelitian sebelumnya yang menyebut, "Mereka yang minum 2-3 cangkir kopi setiap hari memiliki penurunan risiko 38% karsinoma hepatoseluler (kanker hati primer) dan penurunan risiko kematian 46% akibat penyakit hati kronis."
"Jika seseorang minum empat cangkir kopi atau lebih setiap hari, pengurangan risiko kanker hati menjadi 41% dan kematian akibat penyakit hati kronis 71%. Studi lain melaporkan pengurangan risiko dengan besaran serupa."
Para peneliti dari Australia itu mengamati efek mengonsumsi lebih dari dua cangkir kopi dan lebih dari empat cangkir kopi setiap hari per kapita terhadap kematian terkait hati.
Para peneliti menggunakan kumpulan data Global Burden of Disease 2016 dari 194 negara. Gardner dan rekan menemukan, pada 2016 semua negara meningkatkan asupan kopi per kapita menjadi lebih dari dua cangkir per hari, perkiraan jumlah kematian terkait hati berada di angka 630.947 dan 462.861 kematian bisa dicegah.
Jika asupan kopi per kapita lebih dari empat cangkir per hari, penelitian itu memperkirakan jumlah kematian terkait hati akan menjadi 360.523, dan 723.287 kematian bisa dihindari.
Secara global, jumlah total kematian terkait penyakit hati pada 2016 diperkirakan mencapai 1.240.201 kasus.
"Kopi jelas memperbaiki hati kita," kata Dr. Douglas Dieterich, ahli hepatologi di Mount Sinai Division of Liver Medicine dan Gastroenterology, kepada Fox News.
"Studi ini menunjukkan dampak pada skala yang lebih besar dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan manfaat kopi."
Dr. Dieterich juga mengatakan, ia merekomendasikan kopi kepada beberapa pasiennya, karena bisa membantu mereka yang memiliki penyakit hati tertentu. "Kopi juga baik untuk penyakit hati yang memengaruhi saluran empedu," imbuhnya. ***


Selanjutnya.....

Menjamin Covid-19 Tetap Terkendali!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 29-08-2020
Menjamin Covid-19 Tetap Terkendali!
H. Bambang Eka Wijaya

PRESIDEN Joko Widodo  meminta kasus Covid-19 di Indonesia tetap terkendali sebelum ditemukannya vaksin. Hal itu disampaikan Presiden saat berkunjung ke Banda Aceh, Selasa. (25/8/2020).
Kalau update Covid-19 pada tanggal Presiden menyatakan itu sebagai standar "terkendali", berarti patokannya angka kasus baru Covid-19 harian pada 2.447 kasus dengan jumlah pasien Covid-19 yang tutup usia sehari 99 orang. 
Untuk selanjutnys, kalau angka hariannya9 lebih rendah dianggap terkendali, kalau angkanya lebih besar berarti tidak  terkendali. Dengan adanya angka patokan terkendali itu, tampak kemajuan penanganannya ketika angka hariannya terus menurun.
Patokan angka standar untuk terkendali itu menyadarkan semua unsur, utamanya satuan tugas pengendali pandemi, untuk menjamin Covid-19 senantiasa terkendali. Artinya, angka kumulatif terinfeksi virus Corona boleh terus naik dari hari ke hari, tapi angka harian kasus baru dan pasien Covid meninggal dunia harus terus turun.
Angka harian kasus baru 2447 itu sebagai patokan terkendalinya Covid-19 termasuk ideal, karena angka itu di bawah rekor kasus baru yang pernah tercapai di Indonesia. Rekor kasus baru tercatat terjadi pada Kamis (9 Juli 2020) sebanyak 2.657 kasus.
Angka kumulatif terifeksi Covid-19 di Indonesia sejak 2 Meret hingga hari itu sebanyak 157.859 kasus, bisa dinilai "terkendali" dengan kesembuhan 70% dan jumlah meninggal dunia 6.858 orang. Tentunya itu kalau dibanding dengan negara-negara lain di hari yang sama.
Misalnya, 1. Amerika Serikat, dengan 5.913.351 kasus dengan 181.059 meninggal dunia. 2. Brasil, 3.622.861 kasus, dengan 115.309 orang meninggal dunia.
3. India, 3.164.881 kasus, dengan 58.556 orang meninggal dunia. 4. Rusia, 961.493 kasus, dengan 16.448 orang meninggal dunia.
5. Afrika Selatan, 611.450 kasus, dengan 13.159 orang meninggal dunia. 6. Peru  600.438 kasus, 27.813 orang meninggal dunia.
Meski bisa dinilai terkendali, pada angka harian 2.447 kasus baru, sebenarnya tergolong relatif tinggi. Mengingat, Indonesia sudah memerangi Covid-19 selama lima bulan, sejak 2 Maret. Waktu yang cukup panjang dibanding Tiongkok, Jepang, Italia, Inggris, dan sejumlah negara lain yang selesai dalam empat bulan. Sedang kita, sampai lima bulan itu, belum menunjukkan tren penurunan yang konsisten.
Jadi, selain terkendali, sembari menunggu kehadiran vaksin, perlu upaya lebih keras untuk menurunkan angka harian kasus baru, dan memperkecil tingkat kematian. ***








Selanjutnya.....

UBI, Bansos Sapujagat Tanpa Syarat!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 28-08-2020
UBI, Bansos Sapujagat Tanpa Syarat!
H. Bambang Eka Wijaya

PEMERINTAH membuat beragam bantuan sosial (Bansos), antara lain PKH, BPNT, BLT, BST, Kartu Prakerja. Pekan ini cair bansos UMKM dan Pekerja bergaji di bawah Rp5 juta. Setiap jenis Bansos ada syarat penerimanya, selalu menyisakan yang tak memenuhi syarat.
Misalnya bansos UMKM, syaratnya minimal secara administratif terdaftar, belum pernah dapat KUR, punya rekening bank. Untuk itu, pedagang asongan, pedagang amparan dan sejenisnya tak memenuhi syarat.
Lalu pekerja bergaji di bawah Rp5 juta, syaratnya terdaftar di BPJS Tenagakerja. Pada 2020, menurut BPS, 56,50% tenaga kerja berada di sektor informal, jelas tak masuk daftar BPJS Tenagakerja. Padahal, justru mereka pendapatannya kebanyakan di bawah UMR, hingga amat membutuhkan, tapi malah tak memenuhi syarat.
Demi keadilan bagi mereka yang tak memenuhi syarat penerima Bansos, muncul gagasan Bansos Sapujagat Tanpa Syarat yang memperlakukan sama semua penerima dan jumlah bantuan sama besarnya. Nama usulan itu Universal Basic Income (UBI).
Artinya semua Bansos disatukan dan diseragamkan jumlahnya sebesar UBI. (Kompas.com, 21/8) Yakni, sekitar garis kemiskinan per rumah tangga, yang pada Maret 2020 Rp2.118.678/rumah tangga/bulan.
Bansos Sapujagat Tanpa Syarat, dibagi rata ke semua rumah tangga miskin dan rentan miskin, jadi semua warga kelas menengah ke bawah.
Penyatuan menegah ke bawah itu relevan dengan hasil penelitian LIPI (Buras, 27/8), di mana 87,3% Rumah Tangga Usaha dan 64,8% Rumah Tangga Pekerja mengalami kesulitan keuangan akibat Pandemi Covid-19.
Dengan seluruh Bansos disatukan dalam program UBI, administrasinya seragam, cukup ditangani Kementerian Sosial dan Dinas Sosial provinsi/kabupaten/kota.
Dengan jumlah yang cukup memenuhi kebutuhan dasar, para penerima tak terlalu stres lagi.
Ketimbang selama ini, Bansos tak mengurangi stres warga. Hitung dengan bijak bantuan Rp600 ribu/bulan per keluarga, per hari Rp20 ribu. Per rumah tangga menurut BPS 4,6 jiwa, untuk beli lauk kerupuk tiga kali makan sehari saja tak cukup.
Dengan UBI dibulatkan Rp2,2 juta/bulan per keluarga, diperkirakan ada 40 juta keluarga menengah ke bawah, total dana UBI per bulan Rp88 triliun. Empat bulan Rp352 triliun. Tak jauh beda dengan total dana jaring pengaman sosial sekarang.
Sumber dananya seperti bansos lain, dari utangan. Toh sama, kelak rakyat juga yang bayar. Tapi efektivitas bagi penerima dan kontribusinya terhadap Konsumsi Rumah Tangga pada PDB, ini lebih nyata. ***
Selanjutnya.....

Saat Konsumsi Rumah Tangga Jeblok!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 27-08-2020
Saat Konsumsi Rumah Tangga Jeblok!
H. Bambang Eka Wijaya

KONTRIBUSI konsumsi rumah tangga setiap tahun mencapai 55-60% pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada kuartal II 2020, konsumsi rumah tangga jeblok hingga minus 5,51% (yoy), langsung menyeret pertumbuhan ekonomi menjadi minus 5,32%.
Kondisi ekonomi rumah tangga yang terpuruk disurvei Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan tema "Ekonomi Rumah Tangga Indonesia: Mitigasi dan Pemulihan", pada 10-31 Juli 2020.
Dari 2.258 responden aktif rumah tangga di 32 provinsi, 1.548 responden memenuhi syarat analisis sampel. 79,7% responden berstatus Rumah Tangga Pekerja, sisanya 20,3% Rumah Tangga Usaha.
Hasilnya, dampak terhadap rumah tangga pada kemampuan pengelolaan ekonomi rumah tangga, sebanyak 87,3% Rumah Tangga Usaha dan 64,8% Rumah Tanngga Pekerja merass mengalami kesulitan keuangan.
"Sebaliknya, berdasar Rumah Tangga yang mengalami kesulitan keuangan, Rumah Tangga Pekerja lebih merasa berat untuk membiayai konsumsi kebutuhan pangan, 52,9%," ujar Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Agus Eko Nugroho. Sedangkan Rumah Tangga Usaha telatif lebih rendah, 37,8%. (lipi.go.id, 23/8/2020)
Goncangan kesehatan dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar menggeser pola konsumsi makanan siap saji bagi seluruh rumah tangga di mana penurunan pengeluaran makanan siap saji diikuti peningkatan belanja bahan makanan.
Terkait stimulus ekonomi paket bantuan sosial yang diterima dari pemerintah, 19,4% rumah tangga melaporkan pernah mendapat bantuan sosial. "Sebagian besar penerima yang merasakan penurunan pendapatan terjadi di kelompok Rumah Tangga Usaha," jelasnya.
Rinciannya, 56,36% pada Rumah Tangga Usaha pendapatan rendah, dan 43,33% Rumah Tangga Pekerja berpenghasilan kurang dari Rp1,5 juta.
Bansos tidak secara langsung mempengaruhi ekspektasi masa depan rumah tangga.
Di sisi lain, ekspektasi rumah tangga rerhadap perubahan pendapatan rumah tangga dengan pendapatan menurun di tengah pandemi, memiliki ekspektasi paling rendah untuk dapat bekerja normal dalam masa enam bulan ke depan.
Tim peneliti merekmendasikan, agar pemerintah mendorong aktivitas masyarakat dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Tampak hasil survei LIPI relevan dengan data BPS bahwa ekonomi rumah tangga sebagai andalan ekonomi nasional memang terpuruk. Data BPS menyebut konsumsi rumah tangga minus 5,51%, data LIPI menyebut 87,3% Rumah Tangga Usaha dan 64,8% Rumah Tangga Pekerja kesulitan keuangan. ***

Selanjutnya.....

Lebay, Vietnam Atasi Pandemi-Resesi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 26-08-2020
Lebay, Vietnam Atasi Pandemi-Resesi!
H. Bambang Eka Wijaya

LEBAY itu prokem anak zaman now, berarti berlebihan. Itulah gaya Vietnam hingga berhasil mengatasi pandemi dan resesi bawaannya. Sebaliknya gaya Indonesia, pada awalnya meremehkan virus Corona dengan disebut tak lebih berbahaya dari flu biasa.
Dengan gaya lebay itu, per 20 Agustus sejak Januari 2020 pasien positif Covid-19 di negara berpenduduk 97 juta itu tercatat sebanyak 1.007 orang, dengan kematian 1 orang.  Sedangkan Indonesia yang mencatat kasus pertama pada 2 Maret 2020, per 20 Agustus 2020 itu tercatat pasien positif sebanyak 147.211 kasus, dengan tambahan kasus baru hari itu 2.266, dengan jumlah meninggal dunia 6.418 orang. (Kompas.com, 20/8)
Mengenai gaya dan data Vietnam itu, diakui kebenarannya oleh Profesor Guy Thwaites, Direktur Oxford University Clinical Research Unit yang berbasis di Ho Chi Minh, dikutip CBBC-Indonesia dari BBC (21/8/2020).
Masih dari BBC, hal itu diperkuat oleh Dr. Tood Poolack dari Harvard University, dengan mengatakan, "Saat Anda berhadapan dengan penyakit yang masih belum diketahui seperti ini (waktu itu belum diberi nama Covid-19), memang lebih baik bersikap berlebihan."
Sikap berlebihan itu diambil pemerintah Vietnam sejak merebaknya wabah pneumonia akut di Wuhan, Tiongkok.
Seperti tertulis di Viet Nam News tanggal 17 Januari 2020, "Wakil Perdana Menteri Vu Duc Dam memerintahkan berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk menerapkan langkah drastis dalam rangka mencegah pneumonia akut (nCov) agar tidak menyebar di Vietnam.
"Dam memerintahkan lembaga-lembaga tersebut untuk memonitor perkembangan  di Tiongkok dan mempeekuat karantina medis di perbatasan, bandara, dan pelabuhan. (Indonesia justru memberi insentif 50 dolar AS pada tiket setiap turis yang datang ke Indonesia, bahkan membayar influencer untuk mendatangkan turis lebih banyak)
"Dam menginstruksikan kepada menteri kesehatan untuk segera menyusun rencana aksi merespon penyakit tersebut, menyusul rekomendasi dari WHO."
Berkat keberhasilan gaya lebay menaklukkan Corona, ekonomi Vietnam pun lolos dari bayangan resesi sampai kuartal II 2020, yang tetap tumbuh positif pada level  0,36% (yoy). Kuartal sebelumnya tumbuh 3,82%.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam memang terbaik di kawasan ASEAN. Pada 2019, tumbuh 6,9%, dengan kuartal III 2019 tumbuh 7,31%.
Kinerja ekonomi Vietnam sepanjang 2019 itu, menunjukkan mereka tak terpengaruh oleh perang dagang AS-RRT. Pada 2020, mampu bertahan dari dampak global Covid-19. ***





Selanjutnya.....

Mencari Solusi Seasembada Sapi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 25-08-2020
Mencari Solusi Swasembada Sapi!
H. Bambang Eka Wijaya

ERA Orde Baru Pak Harto membuat ranch di Tapos, menyilangkan pejantan sapi "Berangus" asal Australia dengan sapi induk lokal. Saat Pak Harto lengser, sekitar 2.000 ekor bibit sapi hasil persilangan sudah dibagikan ke daerah-daerah dengan label "Sapi Banpres".
Dengan kegiatan di Tapos, upaya swasembada sapi waktu itu hampir terwujud. Kini jejak Sapi Banpres itu susah dicari. Bahkan sapi Brangus tak ada lagi di Tapos.
Di era reformasi, Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) mencanangkan program swasembada sapi dengan menyetop impor sapi bakalan. Ternyata sapi lokal belum cukup untuk itu. Akibatnya, sapi-sapi betina bunting pun dipotong. Harga daging sapi langsung melonjak dari kisaran Rp35.000/kg jadi lebih Rp100.000, menyulut krisis daging impor.
Jalan keluarnya, impor sapi bakalan dibuka lagi. Tapi harga daging sapi, yang terlanjur tinggi sukar diturunkan hingga hari ini.
Namun, tetap perlu dicari solusi program swasembada sapi, agar tidak sampai akhir zaman kita terus mengimpor sapi.
Keluhan pengusaha untuk membuat ranch sapi seperti di Tapos, adalah sulitnya mencari tanah yang luasnya cukup untuk itu. Utamanya karena melihat di Australia, beternak sapi tidak pakai kandang, tapi dilepas cari makan sendiri di savana yang luas. Penggembalanya cukup beberapa orang saja untuk ribuan sapi, dibantu anjing-anjing gembala yang terlatih. Dengan begitu biaya beternak sapi di Australia sangat murah, sehingga biaya produksi daging sapi juga rendah, sekarang bisa setara di kisaran Rp30.000/kg.
Untuk mencari savana seperti di Australia itu di Indonesia mungkin sukar, kalau pun ada harga tanahnya mahal sekali. Karena itu, perlu cara lain untuk mencapai solusi swasembada sapi.
Cara yang paling mungkin, mendayagunakan pengusaha penggemukan yang mengimpor sapi bakalan untuk tidak mengirim ke rumah potong semua sapinya. Tapi menyisihkan 0,5% dari sapi yang diimpornya untuk digaduhkan pada petani sekitar kandang miliknya.
Dengan 0,5% tetap dipelihara dengan pola gaduh itu, kalau setahun impor sapi 500 ribu ekor, berarti disisakan 2.500 ekor per tahun (lebih banyak dari Sapi Banpres). Dengan pola gaduh sejak bakalan, berarti anak pertama sapi buat petani pemelihara, anak kedua dan seterusnya bagi dua.
Kalau itu dilakukan konsisten, pada suatu saat pengusaha livestock tidak lagi mengimpor sapi, tapi cukup dengan memanen anak-anak sapinya yang digaduhkan kepada petani. Pada saat itu, swasembada sapi sudah terwujud. ***


Selanjutnya.....

Pacuan Resesi Anggaran vs Resesi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 24-08-2020
Pacuan Realisasi Anggaran vs Resesi!
H. Bambang Eka Wijaya

UNTUK mengatasi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah telah menyiapkan dana Rp695,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, sampai 5 Agustus anggaran tersebut baru terealisasi Rp151,25 triliun. (Kompas.com, 19/8)
Dipotong realisasi kuartal II 2020 sampai akhir Juni Rp72,5 triliun (Investor.id, 10/7), berarti realisasi per 1 Juli hingga 5 Agustus sebesar Rp78,75 triliun. Mungkin realisasi itu relatif kecil, apalagi jika realisasi anggaran ini diandalkan untuk menghindarkan Indonesia dari resesi pada kuartal III 2020, Juli-Agustus-September.
Realisasi tersebut tergolong lamban bisa disimak dari keluhan Sri Mulyani. Bendahara negara itu mengatakan, salah satu tantangan dalam melakukan percepatan realisasi anggaran yakni beberapa pejabat menteri yang masih baru dan belum terbiasa dengan birokrasi pemerintahan.
Padahal, di tengah kondisi pandemi pemerintah perlu melakukan kerja cepat untuk mendorong kinerja perekonomian yang tertekan.
"Beberapa menteri benar-benar baru saya selalu berpikiran seluruh menteri seperti saya, tapi ternyata tidak," ujar Sri Mulyani dalam diskusi yang diadakan The Jakarta Post. (19/8)
"Beberapa dari mereka benar-benar baru, tidak semua benar-benar paham birokrasi, beberapa belum pernah bekerja di pemerintah," kata Sri.
Ia mengaku terdapat beberapa halangan dalam proses merealisasikan anggaran di tengah pandemi. Sebab, dalam proses realisasi anggaran, pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek kehati-hatian agar realisasi belanja benar-benar dialokasikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
"Menyiram uang ke masyarakat, tidak seperti menyiram toilet. Sebab akan ada orang di luar sana yang melakukan proses audit, sehingga Anda harus bisa memastikan uang tersebut mengalir ke mana, by name, by addres, by their account number," tegas Sri.
Dari penjelasan Sri Mulyani itu bisa dipahami ribetnya menghindari resesi ekonomi pada kuartal III 2020. Andai realisasi anggaran melaju pesat pun, masih harus dipacu lagi untuk mengalahkan laju resesi global yang terus meluas.
Meski demikian, kita harus optimis bisa lolos dari resesi pada kuartal III 2020. Karena, selain anggaran Covid dan PEN ada induknya, APBN 2020, yang sampai akhir Juni realisasinya telah mencapai Rp1.068,9 triliun. Itu 39% dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp2.739,2 triliun.
Dengan itu, optimisme masyarakat diharapkan mendukung optimisme pemerintah untuk lolos dari resesi kuartal III 2020. ***

Selanjutnya.....

Hoaks Ihwal Covid-19 Tewaskan 800 Orang!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 23-08-2020
Hoaks Ikhwal Covid-19
Tewaskan 800 Orang!
H. Bambang Eka Wijaya

STUDI tentang infodemi menemukan hoaks dan teori konspirasi terkait Covid-19 telah menelan setidaknya 800 korban jiwa di seluruh dunia. Terbanyak korban hoaks tentang mitos bahwa mengonsumsi alkohol berkadar tinggi bisa membersihkan tubuh dari virus korona.
Mitos tersebut tersebar di berbagai negara, termasuk Iran dan Turki. Seperti laporan studi dalam The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene yang dilansir dari ScienceAlert/Sains.Kompas (13/8/2020), mitos itu menyebabkan 800 orang meninggal, 5.876 harus dirawat di rumah sakit, 60 orang menjadi buta setelah mengonsumsi metanol.
Hal serupa juga terjadi si Qatar, dua orang pria meninggal dunia karena mengonsumsi disinfektan atau hand sanitizer berbahan alkohol.
Sementara di India, sebuah video yang disebar di media sosial mengklaim bahwa meminum alkohol yang terbuat dari biji datura yang beracun bisa meningkatkan imunitas terhadap Covid-19. Akibat mengikuti anjuran itu, puluhan orang termasuk lima anak-anak jatuh sakit.
Dalam studi ini sekelompok peneliti penyakit menular internasional menganalisis berbagai media sosial dan situs berita untuk mengetahui bagaimana misnformasi terkait Cobid-19 menyebar di internet.
Secara total mereka menemukan sekitar 2.300 laporan hoaks dan teori konspirasi Covid-19 dalam 25 bahasa di 87 negara. Mayoritas misinformasi itu tidak membantu, bahkan bisa berbahaya hingga menyebabkan kematian.
Selain klaim-klaim mengenai upaya penyembuhan Covix19, para peneliti juga menemukan banyak hoaks dan teori konspirasi lainnya.
Contohnya antara lain, virus korona merupakan sejenis penyakit rabies, virus korona bisa sisebarkan lewat ponsel, virus korona adalah senjata biologis yang sengaja direkayasa, virus korona dibuat untuk menjual vaksin, dan sebagainya.
Para peneliti mengaku mereka tidak menginveatigasi lebih lanjut rentang seberapa dipercayanya rumor-rumor itu. Namun, fakta misinformasi itu bisa beredar bebas di media sosial dan internet menjadi masalah besar yang harus dilawan.
Mereka menulis, misinformasi yang didorong oleh rumor, stigma dan teori konspirasi bisa memiliki implikasi serius terhadap individu dan komunitas jika diprioritaskan di atas panduan berbasis bukti.
"Agensi-agensi kesehatan harus mengawasi misinformasi terkait Covid-19 secara real time, dan melibatkan komunitas lokal serta pemangku kepentingan di pemerintahan untuk mengatasi misinformasi yang merebak di media sosial," ujar mereka. ***





Selanjutnya.....

Ekspor Dipacu Justru Saat Pandemi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 22-08-2020
Ekspor Dipacu Justru Saat Pandemi!
H. Bambang Eka Wijaya

NERACA dagang Indonesia Juli 2020 surplus 3,26 miliar dolar AS. Ekspor mencapai 13,73 miliar dolar AS, naik 14,33% dari Juni 2020 sebesar 12,03 miliar dolar AS, juga naik 15,09% dari Mei sebesar 10,53 miliar dolar AS. Tampak, ekspor dipacu justru saat pandemi.
Realitas itu menunjukkan pemerintah cenderung lebih memprioritaskan ekonomi, dengan konsekuensi pandemi Covid-19 yang merupakan sisi lain dari krisis ganda, ikut melaju bersama ekspor.
Itu terlihat pada update Covid-19 per 1 Mei 2020 mencatat kasus baru sebanyak 433 dengan total pasien terjangkit virus Corona sebanyak 10.551 orang, dan jumlah meninggal dunia 800 orang. (Kompas.com/detik-health, 1/5/2020). 
Sedangkan update Covid-19 per 31 Juli 2020, mencatat kasus baru bertambah 2.040 dengan total pasien terinfeksi virus Corona jadi 108.736 orang, dengan pasien meninggal dunia sebanyak 5.131 orang. (detik.com/liputan6, 31/7/2020)
Demikian laju Covid-19 dari 1 Mei 2020 hingga 31 Juli 2020 yang terus mengejar laju peningkatan ekspor yang menjadi prioritas. Namun, prestasi ekspor itu tampak sebagai pilihan kebijakan yang dianggap terbaik oleh pemerintah dengan semua kebijakan yang ditetapkan secara cermat, terukur dan dianggap paling bijaksana.
Sebagai konsekuensi pilihan kebijakan, arahan presiden untuk menciptakan keseimbangan dalam menginjak pedal gas ekonomi dan pedal rem Covid'19, belum berhasil dilakukan. Kenyataannya pedal gas ekonomi yang dipacu, Covid-19 ikut terpacu bersamaan.
Itu akibat penanganan pandemi dan ekonomi digabungkan. Sehingga saat laju ekonomi dipercepat, covid juga ikut melaju. Celakanya, laju ekonomi yang tercapai, tak mampu mengimbangi apalagi mengalahkan dampak kenaikan pandemi bawaan kenaikan ekonomi tersebut.
Contohnya kuartal II 2020, ekonomi dalam hal ini ekspor melaju naik, oleh dampak kenaikan covid, ekonomi justru tumbuh negatif 5,32%.
Sementara upaya menahan laju Covid-19 belum mencapai hasil optimal. Selain Inpres mewajibkan rakyat menaati protokol kesehatan, pemerintah malah terkesan pasrah menunggu selesainya uji klinis Vaksin. 
 Untuk mempertajam serangan pada Covid, layak dipikirkan untuk melakukan decoupling (memisahkan) penanganan pandemi dari ekonomi.
Jika kedua sisi krisis terpisah, kenaikan ekononi tak menarik Corona ikut naik. Dampak corona bisa dilokalisir dengan karantina lokal, satu kantor atau pasar. Langkah ini tak mengganggu ekonomi secara umum, tapi efektif memutus rantai penularan covid. ***




Selanjutnya.....

Cerita Data.di Balik Deflasi..Juli 2020!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 19-08-2020
Cerita Data di Balik Deflasi Juli 2020!
H. Bambang Eka Wijaya

BADAN Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi Juli 2020 sebesar 0,10%. Dari Indeks Harga Konsumen (IHK) di 90 kota, 61 kota deflasi, 29 kota inflasi. Deflasi terjadi akibat harga barang dan jasa turun.
Turunnya harga itu bisa sesuai hukum ekonomi, permintaan turun sementara penawaran tetap atau naik. Pada turunnya permintaan harus dicari pengaruh daya beli masyarakat.
Itu bisa dilihat dari data, misal di Lampung. Nilai Tukar Petani Juli 2020 pada 92,99%. Terendah NTP subsektor perkebunan rakyat 89,2%. Dengan balans daya beli petani pada NTP 100, maka dengan NTP Juli 2020 itu daya beli petani minus 7% sampai minus 11%. Bisa diduga, dari mana datangnya deflasi 0,10% itu.
Demikian hitungan kasar gaya warung kopi.  Meski meminjam data statistik, isinya bukan kajian statistika. Tapi sekadar mendapatkan gambaran kasarnya.
Lemahnya daya beli jadi pangkal masalah, karena pada kuartal II 2020, ekonomi kita mengalami kontraksi minus 5,32%. Layak dicermati, anjloknya pertumbuhan kuartal II 2020 itu terjadi dari pertumbuhan 2,97% pada kuartal I 2020.
Seberapa dalam sebenarnya nilai nyata anjloknya PDB pada kuartal II 2020 itu? Mengacu PDB RI per 31 Desember 2019 sebesar Rp15.833,9 triliun, setiap 1% PDB sebesar Rp158,33 triliun pada kuartal I 2020.
Dengan tumbuh 2,97% kali Rp158.33 triliun sama dengan Rp470,24 triliun, berarti PDB tahunan akhir Maret jadi Rp16.304,14 triliun. Setiap 1% bernilai Rp163,04 triliun.
Saat akhir kuartal II 2020 terjadi pertumbuhan minus 5,32% (yoy), atau kuartal ke kuartal (qtq) terjadi kontrsksi 4,19% kali Rp163,04 triliun, sama dengan Rp683.137 triliun. Sehingga PDB tahunan pada akhir Juni 2020 merosot jadi Rp15.621,00 triliun.
Itulah angka awal perjuangan kuartal III 2020 yang harus dipertahankan tak boleh turun lagi agar Indonesia tak masuk jurang resesi. Besarnya PDB triwulan itu yang harus dicapai untuk pertumbuhan nol persen adalah sebesar PDB triwulan II 2020 yakni Rp3.687,7 triliun.
Untuk mencapai itu awal kuartal III 2020 sudah tersedia dana bantalan penangkal resesi.  Sisa jaring pengaman sosial per akhir Juni Rp131,4 ttiliun (203,9 triliun dikurangi pemakaian kuartal II sebesar 72,5 triliun). Dana stimulus pemulihan ekonomi nasional Rp695 triliun, dan dana bansos karyawan bergaji di bawah Rp5 juta Rp32 triliun. Total Rp858,4 triliun.
Kalau tak ada salah sasaran, meski ekonomi anjlok sebesar kuartal sebelumnya (Rp683,137 triliun), Indonesia bisa terhindar dari resesi. ***
Selanjutnya.....

Merdeka! Hidup Bahagia Tidak Selalu Mesti Kaya!


Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 16-08-2020
Merdeka! Hidup Bahagia
Tidak Selalu Mesti Kaya!
H. Bambang Eka Wijaya

SUDAH 75 tahun merdeka hidup tetap miskin. Bagaimana bisa bahagia?
Keluhan itu mengasumsikan, syarat bahagia harus lebih dahulu kaya. Padahal banyak orang kaya tidak bahagia. Sebaliknya, banyak orang makan sepiring berdua, tidur beralas koran, mereka hidup bahagia.
Sebab, kebahagiaan itu bukan kondisi materialistik, melainlan suasana hati yang qana'ah, merasa cukup pada apa yang ada.
Seperti kata Seneca, filsuf Romawi guru politik Kaisar Nero, "Kebahagiaan sejati tercapai dengan keinginan terbatas." True happiness consist in desiring little.
Jadi, meski tingkat konsumsi keluarga masih di bawah garis kemiskinan Rp425.000 per jiwa per bulan, tapi kalau merasa cukup (qana'ah) dengan apa yang ada dan disyukuri, keluarganya merasa bahagia. Cukup dengan sepeda pergi kerja, tak harus keluar biaya naik ojek atau angkot, makan nasi sayurnya daun singkong dipetik di belakang rumah, sore santai ngopi dengan singkong rebus.
Beda dengan orang yang kemampuan terbatas tapi keinginannya terlalu tinggi. Melihat tetangga beli mobil baru, ia beli mobil tua yang bobrok, pokoknya sama-sama punya mobil. Mobil tua yang dia beli merongrong, sebentar-sebentar masuk bengkel. Tubuhnya pun jadi kerempeng, karena mobilnya sering mogok di jalan sehingga harus dia dorong.
Jadi syarat utama untuk bahagia, merdekakan dirimu dari keinginan di luar kemampuan menggapainya. Merdekakan juga dirimu dari  janji muluk pejabat atau penguasa  misalnya janji saat pemilu atau pilkada, karena semua itu cuma penghias bibir. Tujuan utama politikus adalah meraih kekuasaan dan  melestarikannya, menyejahterakan rakyat itu cuma latah-latahan belaka.
Buktinya, sudan 75 tahun merdeka kemiskinan tak habis juga. Jadi kalau mau bahagia menunggu lepas dari garis kemiskinan, sampai akhir hayat mungkin tak bahagia.
Juga kalau menanti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) membaik. Misalnya warga Lampung yang IPM-nya terendah di Sumatera. Kalau menunggu IPM terbaik di Sumatera, bakal tak pernah bahagia.
Jadi, untuk hidup bahagia hal utama yang harus dilakukan adalah merdekakan diri dari percaya pada janji muluk penguasa. Karena, selain belum tentu ia mampu memenuhi janjinya, kendala bisa datang dari arah yang tak terduga. Terutama kendala dari semangat korupsinya.
Bahagia milik manusia merdeka. Merdeka jiwanya dari keinginan berlebihan secara material. Merdeka dari tipu daya janji muluk penguasa. Merdeka dari pemberi harapan palsu (php). Merdeka! ***

Selanjutnya.....

Membangun Peradaban Merdeka!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 15-08-2020
Membangun Peradaban Merdeka!
H. Bambang Eka Wijaya

BERDASAR prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab, peradaban yang dibangun dalam mengisi kemerdekaan adalah peradaban yang berorientasi memuliakan manusia.
Itu berlaku dalam semua bidang kehidupan. Baik itu bidang politik, demokrasi, dan pemerintahan. Baik itu bidang ekonomi, bisnis, investasi, dan permodalan. Baik itu bidang hukum, dan ketertiban umum. Maupun bidang kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Semua berorientasi memuliakan manusia.
Sedangkan yang cenderung menyiksa manusia, maupun merendahkan, menyakiti fisik, mental atau perasaan manusia, ditolak.
Orientasi memuliakan manusia itu baik ia sebagai tujuan maupun sebagai cara mencapainya. Jadi tujuan dan cara mencapainya harus selaras, keduanya berorientasi pada memuliakan manusia.
Tujuan tidak menghalalkan cara. Karena kalau tujuanya baik tapi cara mencapainya buruk, bisa merendahkan manusia, maka ia menjadi tidak adil.
Jadi orientasi peradaban merdeka yang dibangun, lengkap berasaskan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Salah satu bidang yang sering menuntut kecermatan orientasi praktiknya, dalam politik, demokrasi dan pemerintahan.
Dalam demokrasi terkait pendekatan partisipatif yang lazim pada masyarakat berperadaban demokrasi maju, di sisi lain pendekatan intimidatif pada kekuasaan tiran dalam masyarakat primitif terbelakang.
Pendekatan partisipatif berdasar pada kesadaran warga untuk berpartisipasi atau ikut serta dalam kegiatan berbangsa. Seperti dalam Pemilu, penyelenggara melakukan sosialisasi pentingnya memberi suara dalam Pemilu. Lalu menjelaskan segala hal teknis pemilu. Namun, warga tidak dikenai sanksi atau hukuman jika tidak memilih.
Demikianlah peradaban merdeka. Warga benar-benar merdeka menentukan pilihan, termasuk merdeka memilih untuk tidak memilih.
Sebaliknya pendekatan intimidatif dalam masyarakat primitif yang peradabannya terbelakang. Setiap membuat aturan, selalu didasari dengan pemberlakuan sanksi dari hukuman denda sampai kerja paksa. Pelaksanaan hukuman juga bisa langsung dilakukan oleh petugas di lapangan, sehingga mudah jadi tindakan sewenang-wenang. Pokoknya rakyat diintimidasi terus. Deterent factor, hal yang membuat rakyat gemetar dan takut, jadi model standar kekuasaan tiran.
Namun, terkadang pendekatan intimidatif itu juga dilakukan untuk tujuan baik. Tapi karena cara mencapainya tidak baik, bisa menyakiti rakyat, pencapaian tujuan baik dengan cara buruk ditolak karena tidak adil. ***

Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahuun Indonesia Merdeka! (9)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 14-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (9)
H. Bambang Eka Wijaya

NGONO YO NGONO: Di zaman Orde Baru pihak pemerintah mengimbau media massa jika mengritik pemerintah "ngono yo ngono, ning ojo ngono". Maksudnya meski realitasnya memang begitu, kritiknya jangan menyakitkan hati apalagi intimidatif.
Kini rupanya zaman terbalik. Justru media yang mengimbau pemerintah, agar "ngono yo ngono, ning ojo ngono." Ini terkait keluarnya Inpres yang mengancam pidana berupa kerja sosial terhadap rakyat yang melanggar protokol kesehatan. 
Mungkin ada kecenderungan rakyat bandel, tak menaati protokol kesehatan, yang terlihat pada banyaknya pelanggaran di DKI Jakarta, hingga sanksi denda dalam dua minggu terkumpul lehih dua miliar rupiah itu tak lagi cukup untuk mendisiplinkan masyarakat. Maka dibuatlah Inpres yang bersanksi pidana kerja sosial. (Di zaman penjajah namanya kerja psksa)
Itu yang diimbau "ngono yo ngono, ning ojo ngono." Mungkin benar rakyat bandel, ada yang tak menaati protokol kesehatan. Namun, kurang elok kalau pemerintah langsung mengintimidasi rakyatnya dengan sanksi yang bisa meresahkan. Apalagi kalau itu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, amat mustahil.
Sebab, Jokowi naik dari wali kota Solo menjadi Gubernur Jakarta, lalu dari Gubernur naik  jadi Presiden, terkenal berkat kemampuannya menggalang partisipasi rakyat dalam menyelesaikan masalah.
Di Solo mengundang makan siang pedagang kaki lima yang mau direlokasi. Pedagang yang merasa "di-wongke" pindah sendiri ke lokasi baru. Di Jakarta, Jokowi mengundang makan siang warga Pluit untuk rehab waduk, warga pun siap berpartisipasi dalam program Pemda.
Tapi kini setelah di priode kedua jabatan presidennya, Jokowi seolah melupakan dahsyatnya kemampuan dirinya menggalang partisipasi rakyat. Jangan-jangan ini terjadi karena adanya salah 'asupan' dari lingkungan kekuasaannya, sehingga keunggulan dirinya dikesampingkan dan diganti dengan intimidasi pada rakyat.
Mungkin waktunya sudah tepat untuk diingatkan, "ngono yo ngono, ning ojo ngono."
Untuk itu layak disayangkan perubahan hubungan Jokowi dengan rakyat menjadi indimidatif. Mungkin karena tekanan Covid-19 dan resesi yang berat
Namun, untuk menjaga agar tak terjadi tindakan sewenang-wenang para petugas kepada rakyat di jalanan, penerapan sanksi hukum Inpres ini tetap dilakukan lewat mekanisme peradilan umum oleh hakim.
Jadi prinsipnya tetap the tule of law. Tilang saja yang dendanya hanya Rp10.000 harus lewat putusan hakim di sidang pengadilan. *** (Habis)


Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (8)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 13-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (8)
H. Bambang Eka Wijaya

JAGOKAN UANG: Ungkapan Batak "Ise do mangatur nagara on? Hepeng!" (Siapa yang mengatur negara ini? Uang) jadi kenyataan. Untuk mengatasi Covid-19 dan resesi, Presiden membuat UU (No.2/2020), ia bebas menarik defisit APBN tanpa kontrol DPR dan DPD.
Defisit yang ditarik melampaui batasan UU lama (3%) menjadi lebih 5% atau Rp695 triliun dijagokan untuk mengatasi Covid-19 dan stimulus pemulihan ekonomi nasional mencegah resesi. Itu diputuskan lewat Prepres (No.54 dan 72/2020), tanpa pembahasan dan persetujuan DPR dan DPD yang mewakili rakyat.
Pemerintah mengandalkan uang dengan menyisihkan DPR dan DPD serta rakyat yang diwakilinya untuk kebebasannya menarik dana APBN tanpa perlu persetujuan rakyat lewat lembaga perwakilannya. Kemampuan uang untuk itu harus dibuktikan lewat realisasinya.
Karena uang yang dijagokan untuk mengatasi pandemi dan resesi, kinerja menteri kabinet juga diukur lewat seberapa besar dan cepat ia merealisasikan anggaran. Tak kepalang, presiden pun berulang kali marah-marah ketika para menteri cenderung lamban dalam merealisasikan anggaran.
Sayang, marah-marahnya Presiden itu mengisyaratkan kurang berhasilnya upaya memutus rantai penyebaran Covid-19. Bahksn hingga lima bulan menumpas virus korona dengsn kebebasan menarik uang APBN itu, 2 Maret--2 Agustus, belum ada tanda-tanda kapan serangan Covid-19 bakal berakhir.
Malah belakangan, harapan menyelesaikan masalah Covid-19 digantungkan pada sukses uji klinis vaksin buatan Tiongkok (Sinovac). Dan itu sama sekali tak ada kaitannya dengan kebebasan menarik defisit APBN. Sebab, kalau hanya untuk memproduksi vaksin, Biofarma biasa membuat ratusan juta unit.
Namun, kita doakan uji klinis vaksin Sinovac sukses, agar tak terlalu dalam lagi menggali defisit utang yang harus dipikul anak cucu.
Kalau Covid-19 bisa selesai dengan vaksin, maka ujian dalam menjagokan uang sebagai solusi tinggal terfokus mengatasi resesi. Memang, salah satu sisi New Deals mengatasi depresi besar 1930-an, adalah program padat karya tunai di proyek-proyek Pekerjaan Umum. Dan itu telah diadopsi Kementerian PUPR.
Lalu apakah dengan dana jaring pengaman sosial dan stimulus ke korporasi dan UMKM bisa menggagalkan resesi, itu yang ditunggu hasilnya. Apakah benar, hanya dengan uang segala bisa beres.
Kalau cukup begitu, syukur. Tapi logikanya pasca-Covid yang telah mengobrak-abrik paradigma lama, perlu inovasi holistik merujuk paradigma baru yang bukan semata uang. ***




Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (7)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 12-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (7)
H. Bambang Eka Wijaya

IMPOR PANGAN: Janji cukup sandang dan pangan tak kunjung terpenuhi. Impor pangan kian tinggi. Negeri tropis, agraris, disatukan laut ini impor garam 2019 sebanyak 2,6 juta ton, 2020 naik jadi 2,9 juta ton. Impor kedelai 2,67 juta ton, impor gandum 10,69 juta ton.
Franky Welirang dari Kadin menyebut, 2019 impor jagung 1,58 juta ton. (Indonesia-inside.id (28/2/2020).
Sementara untuk memenuhi konsumsi daging sapi 700.000 ton per tahun, produksi dalam negeri hanya mampu 400.000 ton. Kekurangan 300.000 ton, menurut  Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, harus impor sapi bakalan antara 1,3 juta ekor sampai 1,7 juta ekor.
Selain itu, untuk sektor industri pemerintah mengimpor 60.000 ton daging kerbau dan 129.000 daging olahan. Kompas.com, 30/1/2020)
Kekurangan daging yang dicukupi dari impor cukup besar itu, terjadi pada konsumsi daging Indonesia yang terendah dari tetangga, 2,6 kg per kapita per tahun, dibanding Filipina 3,1 kg, Malaysia 4,8 kg, Vietnam 9,9 kg.
Rendahnya konsumsi daging sapi karena harganya mahal, 4 kali lipat dari Australia. Itu terjadi sejak Kabinet Indonesia Bersatu II, yang mencanangkan swasembada daging sapi dan menghentikan impor sapi bakalan. Nyatanya sapi lokal tak cukup, hingga sapi bunting pun dipotong. Harga daging meroket tiga kali lipat, hingga kini tak berhasil diturunkan seperti sebelumnya.
Soal swasembada pangan ini, di awal kiprah Kabinet Kerja Presiden Jokowi saat membuka Munas HIPMI XV di Bandung 12 Januari 2015 mengatakan, "Saya sampaikan berkali-kali bahwa dalam tiga tahun saya targetkan kepada Menteri Pertanian untuk bisa swasembada, tiga tahun tidak boleh lebih. Dimulai dengan beras, kemudian nanti jagung, gula, kedelai, terus daging, semuanya."
Alhamdulillah, berkat target itu swasembada beras terwujud. Sedang lain-lainnya, sampai masa tugas Kabinet Kerja berakhir masih dalam perjuangan.
Gagalnya swasembada kedelai menurut Dirjen Tanaman Pangan Sumardjo Gatot Irianto karena keterbatasan lahan. Kebutuhan tanah 2,5 juta hektare untuk itu susah dipenuhi, juga lahan yang sesuai untuk kedelai sangat terbatas.
Sedangkan untuk membumikan gandum di Indonesia, berbagai percobaan yang dilakukan gagal. Salah satunya program Bulog di Jatim 1980-an, tak berhasil. 2016 Unpad dan Satya Wacana melakukan percobaan, hingga kini belum jadi tanaman massal.
Banyak upaya dilakukan untuk menghentikan impor pangan, termasuk yang sederhana, garam, tapi 75 tahun merdeka tak berhasil. ***

Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (6)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 11-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (6)
H. Bambang Eka Wijaya

BANCAKAN APBD: Sudah 75 tahun merdeka, 27,6% anak Indonesia menderita stunting, kurang gizi kronis sejak di kandungan hingga 1.000 hari usianya. Tubuh anak lebih pendek dari teman seusianya. Penyebabnya, antara lain, APBD hanya jadi bancakan elite daerah.
Stunting satu dari setiap empat anak Indonesia membuktikan otonomi daerah dan ramainya pemekaran kabupaten tidak menjadi peluang bagi anak bangsa untuk tumbuh sehat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, hampir 70% APBD hanya untuk orang Pemda. (CNBC Indonesia, 14/11/2019)
Sri Mulyani memerinci, sebesar 31% habis untuk perjalanan dinas dan jasa kantor. Kemudian 36% APBD habis untuk belanja gaji pegawai. "Jadi APBD-nya hampir 70% untuk mengurusi orang-orang pemda," ujarnya.
Bukan berarti sisanya buat rakyat. Belanja DPRD yang disiapkan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga sering harus ditutupi dana transfer pusat untuk APBD. Sisanya untuk proryek, kena potong fee proyek lagi buat pimpinan daerah. Banyak elite kabupaten kena OTT KPK karena bancakan fee proyek dana APBD.
Akibatnya, daerah kekurangan dana untuk membangun kesejahteraan rakyat. Jangankan kesejahteraan rakyat, jalan kabupaten saja, umumnya 50% rusak, dan 50% sisanya rusak parah. Itu menyebabkan stunting tak cukup kuat menarik perhatian alite daerah untuk mengatasinya.
Stunting di atas angka prevalensi nasional menurut Presiden Jokowi terdapat di 10 provinsi. Yakni, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. (Kompas.com, 5/8/2020)
"Untuk itu, saya juga ingin minta para gubernur, nanti Mendagri juga bisa menyampaikan, bupati, wali kota, sampai ke kepala desa, teutama untuk10 provinsi tersebut, agar betul-betul bisa konsentrasi dan fokus untuk penurunan stunting," kata Jokowi.
Jokowi berharap dari angka prevalensi stunting sekarang 27,6%, pada 2024 turun menjadi 14%.
Provinsi Lampung berada di luar 10 provinsi yang jadi sorotan presiden itu. Angka prevalensi stunting Lampung 27,28%, di bawah nasional.
Untuk mencapai target nasional menjadi 14% pada 2024, Lampung melakukan intervensi melalui Lembaga Stunting Agency (LSA). Ini aliansi strategis berbagai pemangku kepentingan dengan NGO terkait dan fakuktas kedokteran. Intervensi ke kabupaten yang angka prevalensi stuntingnya masih tinggi, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Tanggamus. ***





Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (5)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 10-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (5)
H. Bambang Eka Wijaya

PERBUDAKAN MODERN:  Meski sejak 2014 Indonesia sudah di Peringkat Delapan Global Slavery Index hasil penelitian perbudakan global modern di 167 negara, pemerintah malah memaksakan RUU Ciptakerja yang justru melegalisasi perbudakan modern.
Itu yang membuat banyak pihak menolak Omnibus Law Ciptakerja, terutama kaum buruh. Pola perbudakan modern itu dalam Klaster Ketenagakerjaan yang oleh serikat pekerja minta dicabut dari RUU. 
Dalam klaster itu, hak-hak buruh yang diatur UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, ada yang dihilangkan. Contohnya, terhadap buruh perempuan hak atas cuti melahirkan, cuti haid, cuti pernikahan, dan cuti ketika ada acara keluarga dihapus. Artinya, jika mengambil hak cuti gajinya tak dibayar.
Kemudian penerapan perjanjian kerja waktu tertentu atau sistem kontrak dan outsourcing dilembagakan. Akibatnya, masa depan pekerja muda tidak jelas. Bayangkan ketika bonus demografi pekerja muda membanjiri pasar kerja, mereka hanya bisa mendapatkan lapangan kerja tanpa jaminan sosial dan masa depan yang jelas.
Dan yang amat merugikan kaum buruh, mulai dari jam kerja yang semakin memberatkan buruh, upah minimum yang tak memakai UMK lagi, dalam pemutusan hubungan kerja, pekerja tak lagi mendapatkan haknya penuh seperti sebelumnya.
Padahal, tanpa itu pun, masalah perbudakan modern di Indonesia sudah parah. Tertutama terkait peketja migran (TKI), pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja anak.
Wahyu Susilo dari Migrant Care yang melakukan penelitian untuk Global Slavery Index di Indonesia, dikutip BBC-News mengatakan, area dari advokasi ini bukan hanya buruh migran. Tapi juga perbudekan di sektor pekerja anak.
Juga upaya untuk mengeksploitasi buruh perempusn untuk proses produksi rantai pasok komoditas minyak kelapa sawit. Lalu memperkerjakan PRT di bawah umur tanpa memberi hak-hak mereka.
Belum lagi perbudakan modern terkait bisnis berbasis digital yang menjadi sorotan Sharan Burrow, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC). (Antara, 13/11/2019).
Pertumbuhan bisnis berbasis digital mulai dari aplikasi jasa transportasi dan pengantar makanan, pembuat aplikasi yang hanya meniru Taksi Uber Amerika untuk tranpostasi lokal, mengambil bagian terlalu besar dari mitra driver (20%). Mereka membuat pekerja kian rentan karena mereka kesulitan mendapatkan kontrak kerja yang jelas serta jaminan sosial. Akibatnya pekerja sulit memperoleh hak dasar seperti gaji yang layak, jelas Burrow. ***




Selanjutnya.....

Ramuan Bawang Putih Antibiotik 1.000 Tahun!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 09-08-2020
Ramuan Bawang Putih
Antibiotik 1.000 Tahun!
H. Bambang Eka Wijaya

ERA 1950-an, di desa belum ada Puskesmas. Jika kaki anak kudisan, diobati dengan irisan bawang putih dan merah, diberi minyak goreng, dipanaskan di mangkuk sampai mendidih. Saat minyak hangat, dioleskan merata pada kudis. Hasilnya lumayan, cepat sembuh.
Studi baru dipimpin Jessica Furner-Pardoe dari Universiity of Warwick menemukan ramuan bawang putih dan merah itu merupakan antibiotik yang sangat kuat. Bahkan terhadap bakteri yang telah resisten (kebal) terhadap antibiotik modern, bisa dihabisinya.
Studi itu berpangkal pada penemuan buku teks medis berusia 1.000 tahun di Inggris. Para peneliti menggunakan ramuan bawang putih dari buku kuno itu ketika bakteri mematikan semakin resisten terhadap antibiotik modern.
Seperti dikutip sains.kompas dari Science Alert (30/7/2020), manuskrip kuno tersebut dikenal sebagai Bald's Leechbook.
Di masa lalu, resep untuk eyesalve ini telah terbukti membunuh Stephylococcus aureus, bakteri yang menyebabkan penyakit yang disebut golden steph. Hasil temuan studi Jessica mendukung fakta kuno tersebut.
Ketika bakteri membentuk struktur kokoh yang dikenal sebagai biofilm, ramuan kuno tersebut bekerja efektif.
S. aureus adalsh bakteri yang sangat resisten, sebagian besar karena mereka bisa membentuk biofilm, atau seperti disebutkan sebuah penelitian, agregat yang tertutup lendir dari bakteri sessile, melekat secara permanen pada permukaan. Itu yang kemudian membuat golden staph menjadi penyakit berbahaya.
Memecah biofilm pada bakteri membutuhkan konsentrasi antibiotik 100 hingga 1000 kali lebih besar dari yang diperlukan. Dalam kasus yang ekstrim, bahkan mungkin memerlukan amputasi untuk menghindari keracunan darah.
Meski begitu, jika penelitian ini benar, tak ada yang tak bisa ditangani oleh ramuan kuno ini. Bahkan lebih baik, ramuan ini melawan semua bakteri yang menginfeksi luka, membentuk biofilm,  dan tumbuh sangat resisten terhadap antibiotik.
"Kami kira itu memiliki janji khusus untuk mengobati infeksi kaki pada penderita diabetes," kata ahli mikrobiologi University of Warwick, Freya Harrison, ke CNN. Infeksi kaki diabetik adalah infeksi biofilm yang sangat redisten, imbuhnya.
"Penyakit itu adalah beban kesehatan dan ekonomi yang sangat besar. Itu benar-benar bisa nenjadi penyakit yang tak bisa diobati," ujar Harrison.
Ramuan yang diuji para peneliti dari manuskrip kuno itu terdiri dari bawang putih, bawang merah, daun bawang, empedu sapi dan anggur. ***


 
Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (4)

Artikel Halaman 8,Lampung Post Sabtu 08-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (4)
H. Bambang Eka Wijaya

DPR DIAMPUTASI: Setelah 75 tahun merdeka, performa demokrasi semestinya sudah pada kondisi ideal. Namun, DPR justru kehilangan tangan kewenangan budgeting, diamputasi UU Nomor 2/2020 demi menyelamatkan negara dari pandemi dan krisis ekonomi.
Ironis, saat menghadapi tantangan berat berupa pandemi Covid-19 dengan dampak sosial-ekonominya, yang terbaik mestinya semua kekuatan negara-bangsa disatukan untuk mengatasinya. Tapi ini, DPR (juga DPD) malah disingkirkan dari hak dan kewajibannya ikut mengelola APBN. Padahal hak dan kewajban DPR untuk itu konstitusional.
Lebih ironia lagi, DPR yang hak dan kewajiban konstitusionalnya diamputasi itu, malah setuju mengesahkan UU yang mengamputasi kewenangan mereka tersebut.
Dengan tersingkirnya DPR (dan DPD) dari kewenangan penentuan APBN itu, eksekutif atau pemerintah menjadi satu-satunya pihak yang berhak dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah Covid-19 dengan segala bentuk dampak dan akibatnya.
Mengingat DPR dan DPD adalah wakil rakyat, dengan tidak disertakannya DPR dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mewakili rakyat itu, sekaligus bisa berarti, pemerintah telah berjalan sendiri dalam mengatasi Covid-19, tanpa lagi dukungan rakyat yang berlaku dalam sistem demokrasi perwakilan.
Mungkin, kesimpulan penafsiran rakyat yang cenderung sedemikian rupa, membuat partisipasi rakyat dalam mendukung perang melawan Covid-19 tidak maksimal sepenuh greget. Buktinya, banyak orang menjalani protokol kesehatan lebih karena adanya pengawasan yang keras, sehingga denda tak pakai masker di Jakarta terkumpul mendekati Rp1 miliar pekan lalu.
Sikap masyarakat yang cenderung mengikuti irama gendang yang ditabuh pemerintah untuk mau jalan sendiri mengatasi Covid-19 itu, bisa membuat upaya percepatan menghentikan penyebaran virus korona tersandung lemahnya partisipasi masyarakat.
Apalagi kalau sebelumnya partisipasi masyarakat itu setiap hari dirangsang oleh briefing Gugus Tugas Covid-19 di layar televisi dan internet, balakangan briefing harian itu ditiadakan. Partisipasi pun jadi melempem.
Alhasil, keberhasilan uji klinis vaksin Sinovac menjadi tumpuan harapan untuk cepat selesai dan bisa segera diproduksi. Sebab kalau cara penanganan pandemi tetap seperti yang sudah dilakukan selama ini, akhir wabah Covid-19 masih sulit diprediksi.
Hanya dengan kehadiran vaksin, Covid-19 bisa diharapkan teratasi tuntas. Dan setelah itu pula pemulihan ekonomi mendapat momentum. ***



Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (3)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 07-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka (3)
H. Bambang Eka Wijaya

LAPAS OVERKAPASITAS: Lamanya usia kemerdekaan ternyata tak cukup untuk membuka kebuntuan jalan menuju hidup wajar bagi banyak orang. Salah satu ironi 75 tahun Indonesia merdeka adalah lembaga pemasyarakatan overkapasitas dua kali lipat.
Boro-boro cita-cita proklamasi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat adil-makmur tercapai. Untuk bertahan hidup saja pun, masih banyak warga yang harus menempuh jalan penuh risiko, antara lain masuk penjara.
Andaikan jalan hidup itu tidak serba buntu, ke depan buntu, ke balakang buntu, ke samping kanan buntu, ke samping kiri buntu, ke atas buntu  ke bawah juga buntu, tak mungkin orang yang waras memilih jalan berisiko masuk penjara. Mereka itu semua waras, sebab kalau tidak waras bukan ke penjara mereka dikirim, tapi ke rumah sakit jiwa.
Itu membuktikan sampai 75 tahun merdeka, negara gagal membuat peluang kecil saja pun untuk jalan hidup mereka keluar dari liang yang buntu ke segala arah tersebut. Ada sedikit saja peluang lolos dari liang buntu itu, pasti bisa seperti Belanda yang pada 2013 menutup 24 penjara di negerinya.
Sedang di Indonesia, sesuai laporan akhir tahun 2019 Menkumham Yasonna Laoly, 528 lapas dengan kapasitas 130.512 orang, dijubeli penghuni lapas sebanyak 269.846 orang, atau overkapasitas 107%, dua kali lipat lebih.
Realitas itu akibat banyak pemimpin bangsa, orientasinya untuk lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, keluarga, kroni dan golongannya hanya sebatas penghias bibir dalam beretorika. Itulah penyebab orang yang tak punya akses kekuasaan jadi buntu ke segala arah.
Karena, semua peluang sudah tersumbat oleh jaringan kepentingan kekuasaan. Contohnya, mau bertani saja mereka, lahan milik negara sudah babis diserahkan oleh penguasa ke para taipan. Taipan sawit saja, berjuta-juta hektar. Taipan hutan tanaman industri (HTI), juga berjuta hektar. 
Padahal kalau setiap orang terpidana ini dibagi dua hektare perkebunan inti rakyat (PIR), untuk 269.846 itu baru setengah juta hektar lebih, tak sampai 10% dari lahan sawit yang dikuasai taipan (sekitar 12 juta hektare). Dengan itu kalau Belanda mengosongkan 24 penjara, kita bisa mengosongkan 500 penjara!
Soal PIR itu, setiap pengusaha membuka perkebunan kelapa sawit pasti berjanji 50% buat PIR. Tapi realisasinya, amat sedikit sekali. Jadi sebenarnya pemerintah tinggal menagih janji para pengusaha untuk berbagi PIR dimaksud. ***,







Selanjutnya.....

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (2)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 06-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (2)
H. Bambang Eka Wijaya

TANAH MILIK TAIPAN: Guyon nyaris di semua daerah tentang warga tradisional lokal kalau mantu menjual tanah, jadi pembenar realitas semua tanah yang luas, di kota, daerah, di hutan sekalipun, dikuasai taipan.
Masyarakat tradisional lokal malah tersingkir dari tanah warisan nenek moyangnya, karena negeri leluhur mereka masuk dalam peta areal Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan pemerintah buat taipan. Akibatnya, ratusan ribu bahkan jutaan hektare tanah negeri dikuasai taipan, sedang anak negeri ada yang tak kebagian barang sejengkal pun.
Itulah ironi 75 tahun Indonesia merdeka. Itu yang membuat ada beberapa rombongan anak negeri menjelang hari keramat 75 tahun kita merdeka, berjalan kaki dari kampungnya nun jauh di Sumatera ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya di Istana Presiden.
Rombongan pertama dari Simalingkar dan Pancur Batu, Sumatera Utara. Advanced tim mereka sudah diterima Ketua MPR Bambang Soesatyo dengan janji membantu perjuangan mereka.
Rombongan kedua Suku Anak Dalam, dari pedalaman Jambi. Ini merupakan jalan kaki kedua dari kampungnya ke Istana Presiden. Kali ini untuk menagih janji Presiden kepada mereka untuk menyelesaikan pencaplokan tanah keluhur mereka ke dalam areal HGU.
Perjuangan dua romobongan jalan kaki ribuan kilometer menuju Istana dari kampungnya itu, cerminan dari banyak warga tradisional lokal lain yang tanah leluhurnya dialihkuasakan oleh pemerintah kepada taipan. Kenapa pemerintah lebih sayang pada taipan hingga sekian luas tanah produktif diserahkan kepada mereka, justru dengan menyingkirkan anak negeri setempat tanpa menyisakan sedikit pun untuk sarana penghidupan?
Itulah ironisnya kemerdekaan yang direbut anak negeri dengan mengorbankan jiwa dan raga. Bahkan kalau di zaman penjajah Suku Anak Dalam bisa berburu di hutan ulayatnya, kini untuk memungut brondolan -- buah sawit yang rontok dari tandannya -- mereka diusir dengan cara yang menyinggung perasaan, sehingga di masa pandemi terjadi bentrokan antara orang rimba (sebutan yang menyayat pilu bagi Suku Anak Dalam) dengan Satpam perkebunan sawit yang mengusir mereka dari areal HGU.
Haruskah setelah 75 tahun merdeka warga tradisional lokal di daerah-daerah semakin tersingkir dari tanah warisan keluhuenya? Lalu untuk menghibur, mereka boleh menjadi kuli bangunan di lahan leluhurnya yang telah jadi real estate, atau jadi buruh panen sawit di perkebunan milik taipan.
Hai para pemimpin, itukah arti kemerdekaan kita? ***


Selanjutnya.....

ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (1)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 05-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (1)
H. Bambang Eka Wijaya

JADI NEGARA ADHOC: Meski Presiden Jokowi pekan lalu membubarkan 18 lembaga negara adhoc, saat yang sama ia membentuk lembaga adhoc baru, direksi program kartu prakerja. Ini  melestarikan Indonesia sebagai negara adhoc, tugas-tugas penting negara dijalankan oleh lembaga adhoc yang bersifat darurat.
Padahal idealnya, setiap tugas penting negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah, dijalankan oleh kementerian/departemen yang dipimpin menteri yang ditetapkan prediden saat membentuk pemerintahan.
Tapi ironis, tugas-tugas penting negara yang merupakan tugas pokok untuk mewujudkan lesejahteraan rakyat, justru dialihkan dari kementerian ke lembaga-lembaga adhoc. Selain kartu prakerja  juga BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, badan pengelola dana pungutan ekspor kelapa sawit, dan bisa dicari lembaga/badan lainnya.
Kebanyakan lembaga adhoc itu dibentuk modusnya terkait dana besar yang dikelolanya. Ironisnya, relevansi dana besar yang dikelola dengan pembentukan lembaga adhoc itu bukan pada kesejahteraan rakyat yang ingin diwujudkan, tapi lebih pada gaji direksi lembaga pengelola dana tersebut.
Misalnya, gaji direksi kartu prakerja mencapai Rp70-an juta. Gaji direksi BPJS Kesehatan pernah disebut sampai Rp500 jutaan. Alasannya karena tanggung jawab mereka berat mengurus dana puluhan triliun. Lha menteri yang mengurus dana ratusan triliun per tahun kok gaji kotornya cuma Rp20 juta per bulan (ini diungkap Menteri Tjahjo Kumolo).
Kalau begitu kan lucu, gaji direksi lembaga adhoc itu ada yang hingga 25 kali lipat gaji menteri, padahal secara konstitusional tanggung jawab formalnya lebih berat para menteri.
Kalau begitu, demi efektif dan efisiennya pelaksanaan tugas pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyat, lembaga-lembaga adhoc itu diintegrasikan ke kementerian atau departemen yang spesialisasinya terkait. Dibentuk dirjen baru atau di bawah struktur dirjen yang sudah ada. Sehingga gaji direkturnya di bawah gaji menteri, dan dana yang dikelola bisa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mereka mengelola dana besar, kalau gajinya kecil rawan korupsi. Cari orang yang mau dan mampu serta tidak korupsi, orientasinya mengabdi pada negara bukan demi uang. Kalau korupsi penjarakan, kok susah amat.
Untuk itu, rekruitmen menteri memang harus benar-benar memilih orang yang mumpuni. Tak boleh memilih timun bungkuk, hanya menggenapi hitungan jumlah menteri dari partai. Partai harus siap dengan kader unggulan. ***

Selanjutnya.....

Resesi Landa AS, Jerman, Hong Kong!


Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 04-08-2020
Resesi  Landa AS, Jerman, Hong Kong!
H. Bambang Eka Wijaya

AMERIKA Serikat, Jerman dan Hong Kong pekan lalu mengumumkan ekonomi negerinya resesi. PDB AS kuartal II 2020 minus 32,9%, setelah kuartal I 2020 minus 5%. PDB Jerman kuartal II 2020 minus 10,1%, setelah kuartal I 2020 minus 2,2%.
Sedangkan Hong Kong, bekas koloni Inggris yang menjadi pusat keuangan global di Timur itu telah mengalami krisis setahun penuh sejak demo menuntut pembatalan RUU Ekstradisi Kriminal ke Tiongkok medio 2019. Kuartal II 2019 minus 3,8%, dan kuartal III 2019 minus 2,8%. Pada kuartal IV 2019 minus 3,04%.
Lalu pada kuartal I 2020 PDB Hong Kong minus 9,1%, dan kuartal II 2020 minus 9%. Hong Kong lebih tertekan lagi, karena menjadi hotspot konflik AS-RRT.
Hongkong bersama Singapura dan Korea Selatan kini nenjadi segi tiga episentrum resesi di Asia. Pada 1997, krisis di Thailand dan Korea Selatan menyeret Indonesia dan negara lain di Asia terperosok krisis moneter yang parah. Kini jadi ujian bagi negara Asia lain untuk mampu bertahan dari gravitasi resesi.
Dilansir CNBC Internasioal (30/7) Departemen Perdagangan AS merillis, dengan negatif 32,9%, ekomomi AS saat ini terburuk sepanjang sejarah. Lebih buruk dari 1958, waktu itu negatif 10%. Bahkan lebih buruk dari depresi besar1920-an--1930-an.
Kejatuhan ekonomi AS terdalam pada konsumsi rumah tangga yang pada kuartal I 2020 negatif 6,8%, dan pada kuartal II 2020 terperosok hingga negatif 34,6%.
"Laporan tersebut menggarisbawahi betapa dalam dan gelapnya lubang yang dimasuki perekonomian pada kuartal II 2020. Lubang itu sangat dalam dan gelap, kita pasti akan keluar (dari lubang itu), tapi akan butuh waktu lama," kata Mark Zandi, ekonom di Moody's Analytics, dikutip detik-finance dari CNBC. (31/7/2020)
Sementara itu, kantor federal statistik Jerman mengonfirmasi, dalam basis tahunan (YoY), pada kuartal II 2020 itu PDB Jerman min7us 11,7%. Pada kuartal I minus 2,3%.
"Ini penurunan paling tajam perhitungan PDB triwulan Jerman sejak 1970," tambah kantor statistik.
Di hari sama Jerman melaporkan data pengangguran stabil di 6,4%. Kantor Tenaga Kerja mengatakan orang yang keluar dari pekerjaan turun 18.000 menjadi 2,923 juta orang. Ini lebih rendah dari poling Reuter, yang menyebut ada tambahan pengangguran 43.000 yang mendorong angka pengangguran jadi 6,5%.
Fakta resesi di AS, Jerman, dan segi tiga Asia  mendekati peringatan resesi global dari Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD). Maka itu, carilah cara menghindar. ***









Selanjutnya.....

Perangi Covid-19 Pakai Peluru Kapur!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 03-08-2020
Perangi Covid-19 Pakai Peluru Kapur!
H. Bambang Eka Wijaya

JURU bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, tiga minggu terakhir kasus baru cenderung meningkat. Memang itu akibat kian masifnya testing, namun positivity rate atau tingkat positif dari jumlah orang yang diperiksa per hari tinggi, yakni 13,3% per 29 Juli 2020.
Hal itu terjadi kemungkinan karena kita perang melawan Covid dengan hemat peluru. Seperti diungkap Presiden Jokowi (detik.com, 29/7) dari anggaran sektor kesehatan melawan Covid sebesar Rp87,55 triliun, sampai hari itu baru terealisasi 7,74%.
Dengan perang covid dudah berlangsung 5 bulan, 2 Maret -- 2 Agustus 2020, berarti perbulan memakai anggaran hanya 1,5%. Itu kurang lebih sama untuk membeli selongsong peluru dan mesiunya, tapi kepala pelurunya memakai kapur.
Jadi perang melawan covid prakteknys seperti latihan perang pakai peluru kapur, siapa yang kena tembak di topi baja atau rompinya ada tanda goresan kapur. Sistem testing dalam penanggulangan covid secara prinsip sama, menandai siapa yang sudah kena infeksi.
Itu karena dalam memerangi Covid-19, Indonesia cenderung tidak all out. Tidak ada perang frontal semisal lock down seperti di banyak negara lain. Di sini memilih "perang dingin", dengan rumusan: 3-S, 3-M, dan 3-T.
3-S itu, Semprot Semua Sarana. Untuk sarana transportasi, pernah tukang ojek disemprot sekujur tubuhnya.
3-M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Praktis selama PSBB, kampanye untuk 3-M ini yang menghabiskan jam tayang televisi gugus tugas Covid-19. Tapi, hasilnya sampai gugus tugas diganti jadi satgas, tetap kurang maksimal. Hingga, denda terhadap pelanggarnya di Jakarta saja dapat ratusan juta rupiah.
Lalu 3 T, Tracking, Testing, dan Treatment. Tracking menelusuri orang yang ada kontak dengan pasien positif terinfeksi. Juga mencari tahu dari siapa dia tertular.
Testing, melakukan rapid tes dan swab. Rapid tes mencari yang reaktif untuk dipastikan lewat swab. Swab memastikan terinfeksi.
Sedang Treatment, penanganan perawatan dan pengobatannya. Setiap orang yang sudah positif terinfeksi covid harus diisolasi dan dirawat di rumah sakit.
Titik lemah penanganan covid di Indonesia pada testing. Sudah 5 bulan dari 270 juta penduduk baru dapat 1,5 juta spesimen. Padahal seharusnya, 1.000 spesimen per sejuta penduduk per minggu.
Akibatnya banyak virus melenggang diemban orang tanpa gejala (OTG). Di Jakarta, 66% kasus baru dari OTG. Positivity ratenya juga terus meningkat, bulan lalu 10,4, kini 13,3%. ***

Selanjutnya.....

Hasil Uji Coba Fase 2 Vaksin Covid-19 RRT!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 02-08-2020
Hasil Uji Coba Fase-2
Vaksin Covid-19 RRT!
H. Bambang Eka Wijaya

SEBELUM dikirim ke Indonesia untuk uji klinis fase-3, bakal vaksin Covid-19 buatan Sinovac, lebih dahulu diuji coba fase-1 dan fase-2 di Tiongkok. Fase-2 uji coba dilakukan pada 508 relawan mulai April lalu.
Uji coba fase-2 itu dipublikasi jurnal The Lancet, dilansir Science Daily, Rabu (22/7/2020). Hasilnya menunjukkan vaksin ini aman dan menginduksi respon imun atau kekebalan tubuh.
Tujuan penelitian itu untuk mengevaluasi respon imun dan keamanan vaksin, serta untuk menentukan dosis yang paling cocok untuk percobaan fase-3. Uji coba fase-3 untuk mengkonfirmasi apakah kandidat vaksin efektif melindungi terhadap infeksi SARS-Coc-2, Covid-19.
Profesor Feng-Cai Zhu dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) provinsi Jiangsu, Tiongkok, mengatakan uji coba fase-2 menambah bukti tentang keamanan dan imunogenisitas dalam populasi besar daripada uji coba fase-1.
"Ini langkah penting dalam mengevaluasi percobaan tahap awal vaksin dan uji coba vaksin fase-3," kata Zhu. (Sains.Kompas, 22/7)
Vaksin dalam percobaan ini menggunakan virus flu biasa manusia, yakni adenovirus, untuk mengirimkan materi genetik yang mengkode protein spike SARS-Cov-2 ke sel.
Adenovirus adalah virus flu yang menginfeksi sel manusia dengan mudah, tetapi tidak mampu menyebabkan penyakit.
Selanjutnys materi genetik dari sel-sel tersebut menghasilkan protein spike dan melakukan perjalanan ke kelenjar getah bening, di mana sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi yang akan mengenali protein spike tersebut dan melawan virus korona.
Dari 508 peserta uji coba itu, sebanyak 253 peserta menerima dosis tinggi, 129 peserta menetirima fosis rendah, dan 126 peserta menerima plasebo.
Sekitar 309 peserta berusia 18-44 tahun, 124 peserta berusia 45-54 tahun, dan 65 peserta berusia 55 tahun atau lebih.
Hasilnya: (1). 95% atau 241 dari 253 peserta dosis tinggi dan 91% yakni 118 dari 129 dosis rendah menunjukkan respon sel T atau antibodi pada hari ke 28 pascavaksinasi.
(2). Pascavaksinasi hari ke 28, vaksin menginduksi respon antibodi menetralisasi pada 59% atsu 148 dari 253 kelompok dosis tinggi dan 47% atau 61 dari 129 penerima dosis rendah.
(3). Kelompok plasebo tidak menunjukkan peningkatan antibodi sejak awal uji coba.
Kedua dosis vaksin menginduksi respon antibodi penetral yang signifikan untuk virus SARS-Cov-2 hidup.
Dalam 28 hari, 24 peserta dosis tinggi mengakami efek samping parah. Reaksi parah paling umum adalah demam. ***

Selanjutnya.....

Gaji Direksi Kartu Prakerja Rp77 Juta!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 01-08-2020
Gaji Direksi Kartu Prakerja Rp77 Juta!
H. Bambang Eka Wijaya

GAJI direksi pengelola program Kartu Prakerja sesuai Kepres 81/2020 yang diteken Presiden Jokowi 20 Juli, gaji Direktur Eksekutif Kartu Prakerja Rp77,5 juta sebulan. Direktur Operasi Rp62 juta. Direktur Teknologi Rp58 juta. Direktur Kemitraan Rp54,25 juta. Direktur Pemantauan dan Ditektur Hukum Rp47 juta.
Kritik pun bermunculan. Salah satunya dari Wakil Ketua MPR Syarief Hasan. Politisi senior Partai Demokrat itu mengatakan, Kartu Prakerja hanyalah salah satu program yang didesain layaknya bantuan sosial lain. Karena itu, program tersebut tidak memerlukan direksi baru yang berpotensi menggemukkan birokrasi.
"Bantuan untuk masyarakat belum terealisasi sepenuhnya, namun pemerintah malah sudah menggelontorkan dana besar untuk jajaran direksi program Kartu Prakerja. Pemerintah berpihak kepada siapa?" kritik Syarief Hasan.
Aturan mengenai gaji direksi Kartu Prakerja itu diundangkan Menkumham Yasonna Laoly seusai Kepresnya diteken Presiden. (RM.co.id, 29/7/2020)
Namun demikian, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, gaji yang diterima para direksi pelaksana Kartu Prakerja sudah sesuai dengan tangging jawab yang diembannya. "Tentu itu sudah dikalkulasi dengan baik," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengumumkan angka pengangguran di Indonesia meningkat hingga 3,7 juta orang akibat pandemi. Kenaikannya mencapai 50%, dari angka pengangguran BPS pada Februari 2020 sebesar 6,88 juta orang. Dengan demikian angka resmi pengangguran di Indonesia pada akhir Juli 6,88 juta ditambah 3,7 juta, menjadi 10,58 juta orang.
Kritik warganet pun bertubi-tubi di media sosial. Akun @davidnowiehungry menulis "Sense of crisisnya di mana ya?" Senada, akun @Gifzul1 menimpali, "R.I.P. Sense of crisis."
Sementara akun @gus_d mempertanyakan, "Yang menganggur kebagian apanya? Utang numpuk, pengangguran naik terus. Gua yang nganggur keteteran buat makan ini malah jor-joran!"
Akun @AbdulBasri96 menimpali, "Programnya nggak jalan. Gaji terus berjalan." Dan akun @SalimFarrah mengamini, "Iya, kok bisa, program gak jalan direksinya digaji."
Kritik dari segala penjuru itu bisa disimpulkan, menyesalkan justru pemerintah tidak peka bahkan tidak memiliki sense of crisis. Pemerintah hilang kesadaran, jor-joran menghamburkan dana utangan yang sudah melampaui batas (defisit APBN sudah mencekik leher toleransi UU), bahkan krisis utang sudah diperingatkan Bank Dunia. ***






Selanjutnya.....