Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (2)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 06-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (2)
H. Bambang Eka Wijaya

TANAH MILIK TAIPAN: Guyon nyaris di semua daerah tentang warga tradisional lokal kalau mantu menjual tanah, jadi pembenar realitas semua tanah yang luas, di kota, daerah, di hutan sekalipun, dikuasai taipan.
Masyarakat tradisional lokal malah tersingkir dari tanah warisan nenek moyangnya, karena negeri leluhur mereka masuk dalam peta areal Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan pemerintah buat taipan. Akibatnya, ratusan ribu bahkan jutaan hektare tanah negeri dikuasai taipan, sedang anak negeri ada yang tak kebagian barang sejengkal pun.
Itulah ironi 75 tahun Indonesia merdeka. Itu yang membuat ada beberapa rombongan anak negeri menjelang hari keramat 75 tahun kita merdeka, berjalan kaki dari kampungnya nun jauh di Sumatera ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya di Istana Presiden.
Rombongan pertama dari Simalingkar dan Pancur Batu, Sumatera Utara. Advanced tim mereka sudah diterima Ketua MPR Bambang Soesatyo dengan janji membantu perjuangan mereka.
Rombongan kedua Suku Anak Dalam, dari pedalaman Jambi. Ini merupakan jalan kaki kedua dari kampungnya ke Istana Presiden. Kali ini untuk menagih janji Presiden kepada mereka untuk menyelesaikan pencaplokan tanah keluhur mereka ke dalam areal HGU.
Perjuangan dua romobongan jalan kaki ribuan kilometer menuju Istana dari kampungnya itu, cerminan dari banyak warga tradisional lokal lain yang tanah leluhurnya dialihkuasakan oleh pemerintah kepada taipan. Kenapa pemerintah lebih sayang pada taipan hingga sekian luas tanah produktif diserahkan kepada mereka, justru dengan menyingkirkan anak negeri setempat tanpa menyisakan sedikit pun untuk sarana penghidupan?
Itulah ironisnya kemerdekaan yang direbut anak negeri dengan mengorbankan jiwa dan raga. Bahkan kalau di zaman penjajah Suku Anak Dalam bisa berburu di hutan ulayatnya, kini untuk memungut brondolan -- buah sawit yang rontok dari tandannya -- mereka diusir dengan cara yang menyinggung perasaan, sehingga di masa pandemi terjadi bentrokan antara orang rimba (sebutan yang menyayat pilu bagi Suku Anak Dalam) dengan Satpam perkebunan sawit yang mengusir mereka dari areal HGU.
Haruskah setelah 75 tahun merdeka warga tradisional lokal di daerah-daerah semakin tersingkir dari tanah warisan keluhuenya? Lalu untuk menghibur, mereka boleh menjadi kuli bangunan di lahan leluhurnya yang telah jadi real estate, atau jadi buruh panen sawit di perkebunan milik taipan.
Hai para pemimpin, itukah arti kemerdekaan kita? ***


0 komentar: