Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ironi 75 Tahuun Indonesia Merdeka! (9)

Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 14-08-2020
Ironi 75 Tahun Indonesia Merdeka! (9)
H. Bambang Eka Wijaya

NGONO YO NGONO: Di zaman Orde Baru pihak pemerintah mengimbau media massa jika mengritik pemerintah "ngono yo ngono, ning ojo ngono". Maksudnya meski realitasnya memang begitu, kritiknya jangan menyakitkan hati apalagi intimidatif.
Kini rupanya zaman terbalik. Justru media yang mengimbau pemerintah, agar "ngono yo ngono, ning ojo ngono." Ini terkait keluarnya Inpres yang mengancam pidana berupa kerja sosial terhadap rakyat yang melanggar protokol kesehatan. 
Mungkin ada kecenderungan rakyat bandel, tak menaati protokol kesehatan, yang terlihat pada banyaknya pelanggaran di DKI Jakarta, hingga sanksi denda dalam dua minggu terkumpul lehih dua miliar rupiah itu tak lagi cukup untuk mendisiplinkan masyarakat. Maka dibuatlah Inpres yang bersanksi pidana kerja sosial. (Di zaman penjajah namanya kerja psksa)
Itu yang diimbau "ngono yo ngono, ning ojo ngono." Mungkin benar rakyat bandel, ada yang tak menaati protokol kesehatan. Namun, kurang elok kalau pemerintah langsung mengintimidasi rakyatnya dengan sanksi yang bisa meresahkan. Apalagi kalau itu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, amat mustahil.
Sebab, Jokowi naik dari wali kota Solo menjadi Gubernur Jakarta, lalu dari Gubernur naik  jadi Presiden, terkenal berkat kemampuannya menggalang partisipasi rakyat dalam menyelesaikan masalah.
Di Solo mengundang makan siang pedagang kaki lima yang mau direlokasi. Pedagang yang merasa "di-wongke" pindah sendiri ke lokasi baru. Di Jakarta, Jokowi mengundang makan siang warga Pluit untuk rehab waduk, warga pun siap berpartisipasi dalam program Pemda.
Tapi kini setelah di priode kedua jabatan presidennya, Jokowi seolah melupakan dahsyatnya kemampuan dirinya menggalang partisipasi rakyat. Jangan-jangan ini terjadi karena adanya salah 'asupan' dari lingkungan kekuasaannya, sehingga keunggulan dirinya dikesampingkan dan diganti dengan intimidasi pada rakyat.
Mungkin waktunya sudah tepat untuk diingatkan, "ngono yo ngono, ning ojo ngono."
Untuk itu layak disayangkan perubahan hubungan Jokowi dengan rakyat menjadi indimidatif. Mungkin karena tekanan Covid-19 dan resesi yang berat
Namun, untuk menjaga agar tak terjadi tindakan sewenang-wenang para petugas kepada rakyat di jalanan, penerapan sanksi hukum Inpres ini tetap dilakukan lewat mekanisme peradilan umum oleh hakim.
Jadi prinsipnya tetap the tule of law. Tilang saja yang dendanya hanya Rp10.000 harus lewat putusan hakim di sidang pengadilan. *** (Habis)


0 komentar: