Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

TKW, Soal Harga Diri Bangsa!

"BARULAH, setelah tubuh Siti Hajar sering disiram air panas oleh majikan terungkap, pemerintah menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) pembantu rumah tangga (babu) ke Malaysia mulai pekan lalu!" ujar Umar. "Itu berlaku hingga perjanjian dengan Malaysia diperbarui untuk perlindungan terbaik bagi TKW!"

"Meski terlambat, kebijakan itu seharusnya dibuat sejak kasus Nirmala Bonat, langkah itu tetap layak dipuji!" sambut Amir. "Betapa, pemerintah terlihat mulai memperhatikan soal harga diri bangsa yang telah lama terabaikan terkait nasib buruk TKW!"Dengan itu pemerintah telah berubah, dari lebih mengutamakan devisa TKW, jadi lebih utama lagi harga diri atau martabat bangsa!" timpal Umar. "Tanpa peduli devisa Rp90 triliun setahun hasil ekspor bangsa bisa terganggu kebijakan tersebut, perbaikan nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri harus menjadi prioritas pemerintah!"

"Untuk perbaikan nasib TKI dari semua sisi, harus dipastikan lewat pemberlakuan semua aturan ILO (Organisasi Buruh Sedunia) dalam perjanjian kerja antarnegara--semua hak pekerja diakui: standar gaji, keselamatan kerja, jam kerja dan lembur, dan hari libur!" tegas Amir. "Itu memang tak bisa dipaksakan! Ada prakondisi yang harus disiapkan di dalam negeri, fokus pada peningkatan posisi tawar TKI. Ini PR bupati-wali kota, mempersiapkan warganya menjadi pekerja di luar negeri, sebagai bentuk konkret menciptakan kesempatan kerja!"

"Kegiatan pemda mengelola persiapan TKI itu juga bisa jadi sumber PAD, selain kemudian menikmati perputaran uang kiriman TKI kepada keluarganya sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi daerah!" sambut Umar. "Bisa menjadi sumber PAD, karena selama ini PJTKI mengalokasi dana perekrutan dan pelatihan calon TKI. Dana itu, lewat kontrak PJTKI dengan pemda atau BUMD yang dibentuk untuk itu, akan bisa membiayai kegiatan penyiapan TKI oleh bupati-wali kota! Besar dana itu lumayan, agen pencari calon TKI ke desa-desa selama ini bisa mendapat 200 ringgit Malaysia (sekitar Rp5,5 juta) per TKI. Itu di luar biaya pelatihan!" 
"Banyak kebaikan dengan pengelolaan persiapan TKI oleh pemda!" tegas Amir. "Seperti, bisa dijamin TKW yang dipersiapkan tidak terjebak trafficking atau dijadikan pekerja ilegal, lebih mudah melengkapi surat-surat yang diperlukan! Kepala daerah juga memikul tanggung jawab sebanding atas nasib warganya yang bekerja di luar negeri, tak seperti selama ini, cuma kebagian repotnya jika warganya jadi korban!"

"Dengan perjanjian kerja standar ILO dan kualitas TKI dijamin kepala daerah, tegaknya harga diri dan martabat bangsa tersistem, bukan lagi semata tergantung kebaikan majikan!" timpal Umar. "Lebih dari itu, juga dijamin dalam kontrak, usai penempatan setiap TKI bebas berhubungan dengan kepala daerahnya, agar kontrol atas nasib TKI berjalan setiap waktu!" ***

Selanjutnya.....

KPK pun Meresahkan Presiden!

"DI Kompas, Presiden SBY mengkhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadi super body yang tak terkontrol oleh lembaga mana pun! Pernyataan itu diplintir seolah presiden ikut mengebiri KPK, yang arusnya memang cukup deras!" ujar Umar. "Untuk itu, presiden meluruskan, maksudnya KPK juga harus check and balance, seperti semua lembaga negara lainnya, termasuk kepresidenan! Lalu, BPKP--entah betul atas perintah presiden--ngotot untuk mengaudit KPK!"

"Dari proses seputar pernyataan itu terkesan kuat sepak terjang KPK memberantas korupsi selama ini rupanya meresahkan presiden juga!" sambut Umar. "Kenyataan itu kontroversial dengan iklan kampanye antikorupsi dari tim suksesnya yang gencar tayang di semua televisi nasional! Waktunya bertepatan pula dengan memuncaknya isu gerakan usaha mengebiri KPK! Tak ayal, pernyataannya dalam konteks situasi seperti itu memudahkan untuk diplintir seolah presiden menjadi sosok di balik gerakan mengebiri KPK!"

"Konon lagi yang dipermasalahkan presiden soal check and balanced, yang wajar dianggap aneh jika presiden tidak tahu selama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit KPK, bukan saja secara rutin, tapi juga setiap timbul kecurigaan secara kasuistik--seperti saat tersiar KPK menyadap hape Rani Juliani dan Nasrudin yang tak ada hubungannya dengan kasus korupsi!" timpal Umar. "Atas dasar sebenarnya KPK tidak out of control itulah, ketika presiden meresahkan cara kerja KPK, disusul BPKP (lembaga yang dibentuk dengan Keppres hingga eksis sebagai kepanjangan tangan presiden) ngotot untuk mengaudit KPK, mudah pula ditafsirkan presiden mau mengobok-obok KPK!"

"Apalagi BPKP yang cuma produk Keppres sebenarnya enggak level dengan KPK yang dilahirkan oleh konstitusi--UUD!" tegas Amir. "Jadi, dalam hirarki sistem ketatanegaraan, yang berjalan selama ini sudah benar, BPK yang mengaudit KPK! Jika dipaksakan juga BPKP mengaudit KPK, maka kacaulah sistem ketatanegaraan kita--seperti Bawasda diberi wewenang mengaudit gubernur provinsi lain, di luar wilayah yurisdiksinya!"
"Tapi hal itu bukan mustahil akan dipaksakan juga, jika KPK mau diacak-acak atau bahkan dihancurkan!" timpal Umar. "Mencemaskan KPK tumbuh menjadi super body saja sudah keliru, karena KPK memang diciptakan sebagai super body, yang mekanisme kerjanya dibuat dengan mengatasi sistem operasi dan prosedur (SOP) lembaga-lembaga penegak hukum yang ada! KPK telah membuktikan super bodynya dengan menggeledah ruang kantor ketua mahkamah agung, atau sejumlah jaksa agung muda, serta menyadap teleponnya! Semua itu hanya bisa dilakukan oleh sebuah lembaga super body!"
"Namun kita harus tetap berprasangka baik!" tegas Amir. "Presiden yang antikorupsi pasti tidak akan pernah berniat melumpuhkan KPK!" ***
Selanjutnya.....

Tiga Model Atasi Kemiskinan!

"DEBAT calon presiden (capres) putaran dua di Metro TV (25-6) adu konsep mengatasi kemiskinan dan pengangguran!" ujar Umar. "Megawati mengajukan konsep gotong royong dan pendayagunaan sumber alam! SBY lewat intervensi pemerintah ke sistem ekonomi pasar! Sedang JK peningkatan pertanian dan perniagaan yang menampung 60% tenaga kerja! Mana yang paling jitu?"

"Ketiga konsep kalau dijalankan secara fokus, efektif, dan konsisten sama jitunya!" jawab Amir.

"Tapi cuma jitu dalam konsep! Selama ini juga banyak konsep bagus! Masalah kita selalu justru implementasinya--pada tataran praksis! Konsep sebagus apa pun, pada tahap pelaksanaannya selalu menyimpang, tak mencapai sasaran! Faktor kekurangan pelaksana lapangan yang mumpuni dan berdedikasi, menjadi penyebab kegagalan nyaris segala bentuk program! Memang ada satu dua kelompok yang berhasil lalu dijadikan window dressing -contoh sukses-- program lewat iklan retorika televisi! Tapi mayoritas lainnya, menyisakan masalah! Seperti KUT, jadi tumpukan kredit macet!"

"Tapi 55% dari pengangguran kita tamatan SMP ke atas! Jutaan orang pula sarjana!" timpal Umar. "Apakah mereka belum mumpuni dijadikan pelaksana lapangan?"

"Dalam debat capres itu kan dibahas masalah pendidikan yang tidak nyambung (link and match) dengan dunia kerja!" tegas Amir. "Akibatnya, untuk mendapatkan jumlah yang cukup bagi tenaga pelaksana lapangan buat setiap konsep itu, perlu waktu melatih sedikitnya lima tahun! Keburu habis satu masa jabatan presiden! Itu belum bicara soal anggaran dan pelatih, butuh waktu pula penyiapannya--jika seorang presiden fokus untuk ini, buat jangka panjang bagus, tapi prestasi pada masa jabatanya bisa jeblok!"

"Mungkin itu penyebab usaha pengentasan kemiskinan dan pengangguran selama ini hasilnya selalu kurang memuaskan!!" timpal Umar. "Karena dilaksanakan secara simbolik lewat program-program makroekonomi, tak bisa secara mendasar membangkitkan warga miskin dengan kemampuan mandiri dalam kelompok-kelompok organisme yang terpadu sebagai tim kerja dengan panduan pelaksana lapangan berdedikasi!"

"Semua model yang diajukan capres butuh tenaga lapangan yang mumpuni membangun kelompok kegiatan terpadu hingga menjadi organisme hidup yang mampu survival dan fungsional bagi meningkatkan kesejahteraan setiap anggota kelompok!" tegas Amir. "Tanpa itu, semua model cuma bagus dalam konsep, suksesnya sebatas retorika!" ***
Selanjutnya.....

Prita, Rasa Keadilan Masyarakat!

"PROTES publik lewat facebook dari lebih setengah juta warga Indonesia di seantero dunia atas penggunaan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronika) untuk menjerat Prita Mulyasari, tidak sia-sia!" ujar Umar. "Majelis Hakim PN Tangerang diketuai Karel Tuppu membebaskan Prita dari segala dakwaan, karena UU ITE yang dijadikan dasar penuntutan baru berlaku 21 April 2010!"
"Kita angkat salut pada majelis hakim yang telah menegakkan rasa keadilan masyarakat seperti tercermin pada pernyataan ratusan ribu warga di facebook itu!" sambut Amir.
"Mengembangkan hukum dengan menyerap dan menerapkan rasa keadilan masyarakat merupakan kewajiban setiap hakim sesuai UU tentang Kehakiman!"

"Tapi dalam kasus ini, apakah masyarakat melalui facebook itu tidak menyalahi ketentuan yang melarang masyarakat menyampaikan pendapat lewat media massa atas suatu kasus yang bisa memengaruhi proses persidangan pengadilan yang sedang berjalan?" potong Umar.
"People power lewat facebook dilakukan ketika jaksa melakukan penahanan terhadap Prita di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang secara semena-mena--tak boleh ditemui dua anak balitanya! Saat itu, kasus pidana dengan dakwaan yang membuat Prita ditahan itu belum disidang oleh pengadilan!" jelas Amir.

"Itulah saat paling tepat warga dan media massa menyampaikan pendapat dan koreksinya! Sebab, setelah kasusnya masuk persidangan pengadilan, pendapat dan koreksi masyarakat lewat media massa yang bisa memengaruhi persidangan harus dihentikan!"
"Setelah Prita dibebaskan dari segala dakwaan dalam persidangan pidana, bagaimana dengan putusan perdata PN Tangerang atas kasus yang sama?" tanya Umar.

"Penanganan kasus Prita oleh PN Tangerang ini memang agak aneh!" jawab Amir. "Seharusnya kasus pidana dulu diselesaikan, karena kebenaran peristiwa dan penerapan hukumnya harus diuji dulu lewat sidang pidana, baru kemudian akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebenaran peristiwa dan penerapan hukum yang telah diuji dalam sidang pidana itu (kalau ada) diselesaikan lewat persidangan perdata! Berarti, putusan perdata atas kasus Prita itu ditetapkan di atas dasar kebenaran peristiwa dan penerapan hukum yang belum diuji--jadi, dasarnya masih mentah!"

"Kalau begitu, kasus Prita ini masih akan memberi hikmah lebih banyak lagi dalam sistem hukum kita! Selain hikmah rasa keadilan masyarakat lewat facebook yang diakomodasi hakim, juga soal kebenaran peristiwa dan penerapan hukum yang harus diuji di persidangan pidana sebagai dasar sidang perdata kasus yang sama!" tegas Umar. "Demi kepastian hukum, seseorang tak bisa dihukum perdata yang bertentangan dengan putusan pidana dalam satu kasus yang sama!" *** Selanjutnya.....

Kepedulian buat Anak-Anak Malang!

"KEPEDULIAN! Itulah kata sederhana tapi amat sulit diperoleh anak-anak malang penderita gizi buruk dari mereka yang berjanji menyejahterakan rakyat!" ujar Umar.
"Sukria, setelah tiga pekan dirawat dalam keadaan tak sadar dan kemudian dibawa orang tuanya keluar dari RSUAM, Bandar Lampung, akhirnya menyusul Maulana, Elva, dan Wiji yang lebih dulu jiwanya direnggut busung lapar di RSU tersebut! Sejak dari tempat meninggal di rumah pamannya, Tanggamus, sampai jenazah Sukria dimakamkan di kampungnya, Lampung Timur, tak satu pun mereka yang berjanji menyejahterakan rakyat itu peduli melayatnya!"

"Tiadanya kepedulian terhadap anak-anak malang bergizi buruk yang mencapai klimaks burung lapar itu menunjukkan, sebenarnya mereka menjanjikan kesejahteraan rakyat itu tanpa manajemen!" timpal Amir. "Apalagi managemen mutakhir arahan Jim Collin, lewat buku Good to Great, untuk mengelola kegiatan mencapai suatu tujuan yang pertama harus ditangani adalah fakta-fakta brutal yang timbul dalam lingkup kegiatan tersebut! Letusan gizi buruk dengan rentetan kasus busung lapar yang menelan korban jiwa berantai, jelas fakta brutal dalam lingkup kegiatan menyejahterakan rakyat! Kalau fakta-fakta brutal itu tak dieliminasi, jelas akan menjadi komplikasi rumit yang sekaligus menghambat usaha menyejahterakan rakyat!"
"Memang, tak ada kamus yang menyebut rakyat sejahtera ketika dicekam gejala gizi buruk, apalagi dilanda kematian berantai akibat busung lapar!" tegas Umar. "Logika sederhana seperti itu layak menjadi pertimbangan guna membuka mata hati terhadap realitas kehidupan rakyat yang masih amat menyedihkan sebagai produk ketakpedulian justru dari mereka yang berjanji dan secara formal berkewajiban menyejahterakan rakyat! Betapa, dengan maraknya gizi buruk dan
busung lapar menelan korban jiwa memberi petunjuk, kesejahteraan yang dijanjikan semakin jauh dari harapan!"

"Dihadapkan pada ekspektasi rakyat yang tinggi untuk mewujudkan kesejahteraan dalam era otonomi daerah, pukulan peristiwa-peristiwa yang menjurus ke arah sebaliknya itu secara langsung bisa menurunkan tingkat harapan dan kepercayaan rakyat kepada mereka yang sebelumnya rakyat dukung berkat janji-janji yang memekarkan harapan!" sambut Amir. "Untuk itu, di tengah situasi memuncaknya gejala gizi buruk, tak ada kata terlambat merehabilitasi kepedulian terhadap bencana sosial tersebut! Sebab, semakin tidak dipedulikan gejala yang semakin marak itu, tanpa antisipasi lebih progresif, kejadian buruk bisa terus mengentak bertubi-tubi, akan semakin keras pula tamparan menuntut tanggung jawab ke pengobral janji menyejahterakan rakyat!" *** Selanjutnya.....

Priayi Amtenar Jadi Pelayan!

"UUPP--Undang-Undang Pelayanan Publik--telah disahkan DPR, untuk mengatur budaya kerja baik aparat pemerintah maupun swasta yang terkait pelaksanaan pelayanan publik!" ujar Umar. "Apa mungkin UU itu bisa mengubah budaya priayi amtenar yang sudah manjing mendarah daging--pada aparat birokrasi pemerintah umumnya sebagai kelas sosial yang harus dilayani rakyat, 'turun kelas' menjadi pelayan rakyat?"

"Jelas tak mudah!" tegas Amir. "Sebab, dalam budaya priayi amtenar, birokrasi pemerintahan justru merupakan sosok nyata kehadiran penjajah di tengah masyarakat! Watak dasar penjajah seperti menindas, memperbudak, dan
memeras rakyat, dijalankan oleh priayi amtenar mulai dari memaksa rakyat kerja rodi tanpa digaji, sedang dana pekerjaan umum dari negara dinikmati para pejabat, sampai menarik pajak dari rakyat di luar kemampuan membayarnya, hasilnya untuk memperkaya diri dan memberi upeti ke atasan! (baca: Max Havelaar Semangat budaya seperti itu belum hilang sepenuhnya dari aparat birokrasi pemerintah kita, sehingga untuk mengubahnya secara drastis menjadi budaya pelayan bukan hanya perlu waktu, tapi lebih dari itu, perlu proses tegas penerapan sanksi sampai setiap ayat UUPP terlaksana efektif sesuai bunyi sesungguhnya!"

"Dengan kapasitas pengawasan internal birokrasi pemerintah yang cenderung amat lemah, harapan UUPP bisa berjalan efektif dalam waktu singkat terlalu berlebihan!" timpal Umar. "Sementara itu, pengawasan luar
seperti dari LSM dan pers, masih belum mendapat respons standar! Maksudnya, tergantung karakter pimpinan suatu instansi--ada yang cukup responsif, tapi banyak pula yang tak peduli dengan kontrol eksternal!"
"Memang, untuk melakukan perubahan budaya masih banyak sisi lagi yang harus diperhatikan!" tegas Amir. "Masalah motivasi dan orientasi calon pegawai negeri sipil (CPNS), misalnya, bahkan harus sudah diidentifikasi sejak rekrutmen, seperti proses rekrutmen di perusahaan swasta standar! Bukan rahasia umum lagi, motivasi kebanyakan CPNS selain untuk mendapat pekerjaan tetap yang ringan dan jaminan pensiun, juga untuk mencapai status sosial kelas menengah, yang bisa kontroversial dengan praktek budaya pelayan rakyat bagi PNS sesuai UUPP!"

"Meski begitu, lahirnya UUPP pantas disyukuri, karena ada acuan bagi rakyat untuk menuntut hak-haknya atas pelayanan ketika berhubungan dengan instansi pemerintah atau pun pelayanan standar dari perusahaan swasta yang mengelola ruang publik!" ujar Umar. "Dari semua itu perlu disadari, standar pelayanan publik selalu menjadi cerminan tingkat kesejahteraan rakyat! Jadi, dilihat dari realitas pelayanan publiknya, sekarang ini kesejahteraan rakyat kita masih buruk!" *** Selanjutnya.....

Komplikasi Motif Kriminalitas!

"KRIMINALITAS bermotif sosial-ekonomi marak di Lampung, dari mencuri laptop di masjid, burung piaraan, sampai membongkar ATM dan peti baja--brankas!" ujar Umar.

"Apakah semua itu semata akibat kesulitan ekonomi rakyat memuncak, atau implikasi runtuhnya moralitas masyarakat?"
"Akibat komplikasi dari kedua faktor tersebut--kesulitan ekonomi yang diletuskan kemerosotan moralitas!" jawab Amir. "Sulit, buntu, atau terjepit kesulitan sosial-ekonomi seperti apa pun, kalau dasar moralnya kokoh, orang tak akan terjerumus jadi kriminal! Sebaliknya kalau dasar moralnya rapuh, kaya bergelimang harta pun tetap ngebut korupsi! Model ini menjadi inspirator bagi mereka yang menghadapi kesulitan hidup--yang sudah kaya berlebihan saja masih nyolong, konon lagi yang melarat terdesak pula! Komplikasinya, sudah pun miskin, kurang kuat pula moralnya, dimulai dari nekat, kemudian 'terpaksa' jadi kebiasaan!"

"Nekatnya sudah mencuri di kompleks masjid, bukan saja laptop yang terletak di ruang pengurus Masjid Al Wasyi'i, malah di pekarangan Masjid Nurul Ulum Islamic Center, kaca mobil Lexus tamu dari Jakarta dipecahkan untuk mengambil hape bagus di dalamnya!" tukas Umar. "Artinya, komplikasi kesulitan ekonomi dan kemerosotan moral itu sudah amatlah parahnya! Tak lagi mempertimbangkan tempat kejahatan itu mereka lakukan! Tapi, siapa yang harus bertanggung jawab atas gejala seburuk itu?"

"Pertama adalah orang-orang bijak yang dengan tangkas menyatakan setiap kejahatan itu cuma kasuistik!" timpal Amir. "Karena dengan itu bisa jadi mereka sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa buah-buah busuk itu rontok dari pohon masyarakat di mana mereka sebagai akar, batang, dahan atau daunnya! Pohon masyarakat itu adalah sebuah sistem sosial yang berputar
dalam kausalitas--sebab-akibat--sehingga tak satu pun peristiwa terjadi tanpa suatu sebab atau akibat dalam sistem sosial tersebut!"

"Dengan asumsi buah-buah busuk itu jatuhan dari pohon masyarakat yang pohon tersebut adalah kita semua, berarti kita harus berani menyikapi bahwa mereka yang bernasib malang jadi kriminal itu adalah juga anak-anak kita semua!" tegas Umar. "Artinya, hanya dengan memenjarakan mereka takkan menghentikan pertumbuhan buah busuk jika kita tetap hidup dengan cara dan gaya yang memutar sistem sosial sekarang--penyebab busuknya buah-buah tersebut!"

"Jadi, komplikasi motif sosial-ekonomi dengan keruntuhan moralitas itu terjadi sebagai akibat anomali dalam sistem sosial yang sadar atau tidak kita jalankan selama ini!" timpal Amir. "Hanya jika kita mau jujur pada diri sendiri dan meluruskan kembali sikap dari anomali tersebut, buah busuk itu bisa dikurangi! Jika tidak, juga bukan salah kita! Melainkan sistem, yang lepas dari kendali kita!" *** Selanjutnya.....

Iran, Contoh Buruk Pemilu Presiden!

"PRIHATIN kita atas perkembangan terakhir Iran!" ujar Umar. "Meski apa yang sebenarnya terjadi di sana tak jelas, karena sampai kemarin wartawan asing dilarang masuk, dari video amatir rekaman warga yang lolos keluar lewat internet terlihat betapa buruknya gambaran situasi di Iran! Banyak demonstran pemrotes hasil pemilu tewas oleh kekerasan pihak militer!"

"Peristiwa di Iran penting sebagai pelajaran bagi pemilihan umum (pemilu) presiden, yang dari berita resmi sebelum kerusuhan terjadi, pasalnya diketahui akibat pekerjaan panitia pelaksana pemilu (semacam KPU) yang kurang beres!" timpal Amir.
"Malangnya, ketika pelaksana tersebut siap melakukan penghitungan ulang atas kemenangan Ahmadinejad 70 persen, demo besar-besaran justru melanda Teheran, dan korban berjatuhan! Kesiapan hitung ulang dinilai sebagai pengakuan dan bukti ketidakberesan pelaksanaan pemilu!"
"Padahal aku amat bangga dengan Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad! Iran telah menjadi benteng dunia Islam yang berani menantang Israel dan sekutu Baratnya!" tegas Umar. "Aku curiga, kisruh Iran merupakan buah skenario Yahudi mengacau negeri itu lewat unsur-unsur dalam negeri karena pengaruh luar gagal untuk menembusnya!"

"Curiga boleh saja karena kemungkinan untuk itu dilihat dari propaganda Barat merusak citra Iran selama ini juga cukup bertubi-tubi!" sambut Amir. "Masalahnya, karena terlalu defensif hingga antipati dan menutup diri pada Barat, pemilu presiden yang dilakukan juga dilakukan tertutup dari dunia luar! Bahkan sampai kemarin, pers asing masih dilarang masuk! Padahal, kalau bebas disaksikan observer internasional dan pers asing, kemenangan 70 persen Ahmadinejad tak terhujat!"

"Tapi objektif saja, Ahmadinejad sebenarnya tidak menutup diri pada media dan kekuatan Barat! Tahun lalu dia keliling dunia Barat dan roadshow di Amerika Serikat!" entak Umar. "Tapi justru Barat dipelopori Israel yang prejudice, propagandanya membuat kesan Ahmadinejad membentengi diri dari segala bentuk media dan kekuatan Barat!"


"Tapi propaganda Barat itu dijustifikasi tindakan Iran sendiri, seperti melarang pers dan pemantau asing meliput pemilu presiden, bahkan ketika timbul masalah!" timpal Amir. "Begitupun, andai kubu Musavi, pesaingnya, tak didukung 'dinasti' Rafsanjani yang bukan saja populer di luar negeri, melainkan juga berakar di sayap modern warga Iran, Ahmadinejad tak terpojok seburuk sekarang! Itu jelas memprihatinkan, seperti kata Dubes RI di Iran pada Metro TV kemarin, dua hari ini situasi Teheran relatif terkendali karena militer berhasil mengantisipasi semua titik temu massa! Artinya, Ahmadinejad telah berhasil melumat demokrasi massa sipil dengan kekuatan militer!" *** Selanjutnya.....

Gizi Buruk Janji Palsu 'Propoor'!

"MASIH berlanjutnya jatuh korban tewas akibat komplikasi busung lapar sebagai letusan gejala gizi buruk di Lampung, dengan penanganan aparat 'berdarah dingin' hingga penderita sempat tewas duluan menunggu proses rujukan yang terhambat birokrasi, menunjukkan segala dimensi strategi dan kebijakan propoor cuma janji palsu!" ujar Umar. "Janji meningkatkan kesejahteraan rakyat--propoor--yang gempita dari satu ke kampanye berikutnya (pemilu, pilkada) selalu terngiang di telinga rakyat, tapi realitas di tengah letusan gejala gizi buruk dewasa ini justru membuktikan sebaliknya!"

"Pengalaman pahit keluarga korban dan penderita komplikasi gizi buruk menjadi bukti nyata untuk itu!" sambut Amir. "Dari keluarga Maulana ke Elva yang meninggal, hingga keluarga Sukriya yang tak pernah siuman selama dirawat sampai dibawa pulang, mendesak kita untuk menuntut janji para politisi dan pejabat negara untuk berpihak kepada rakyat, bahkan lebih jauh lagi, berpihak kaum miskin--propoor! Apa arti keberpihakan jika tidak sedikit pun perhatian diberikan ketika si miskin membutuhkan kepedulian mereka?"

"Sikap dingin para pemimpin--politisi dan pejabat negara--sehingga terkesan mereka menganggap para penderita dan korban gizi buruk itu dudu sanak dudu kadang yen mati ora kelangan, bukan famili bukan pula teman kalau mati tidak merasa kehilangan, menguak gejala asosial kalangan elite kita! Tak sejalan dengan ucapannya saat sok akrab dengan rakyat karena butuh dukungan!" tegas umar. "Tak selarasnya ucapan dan tindakan para elite pemimpin itu amat mencemaskan! Sebab, yang sedemikian itu merupakan gejala split personality--kepribadian yang terbelah--bicara manis, tapi tindakannya pahit sekali!"

"Prasangka baik kita, semua itu bukanlah suatu tindakan yang secara sadar dipilih kalangan pemimpin, melainkan hanya karena lalai dari kewajiban atau lupa pada janjinya!" tegas Amir. "Sebab, kalau tindakan itu merupakan pilihan sadar, yang terjadi adalah sebuah pengingkaran baik terhadap kewajiban formal maupun pada janji! Suatu hal yang tak bisa dimaafkan!"
"Masih ada satu kisi-kisi lagi yang kau lupakan!" timpal Umar. "Bukan soal lalai atau lupa maupun pilihan sadar atau tidak! Dalam masa peralihan dari tradisional ke modern, kemungkinan yang sering karena orang belum tahu hingga kurang menyadari kewajiban yang seharusnya diberi prioritas! Artinya, semua itu terjadi karena atas hal-hal baru dalam kehidupan bernegara bangsa masih dijalani dalam proses belajar!"

"Saya tidak menolak semua itu sebagai masalah proses belajar!"
tegas Amir. "Tapi, kesadaran dalam proses belajar itu juga harus dijadikan dasar berpikir para pelakunya sehingga tidak mengesankan yang serbasalah itu sudah benar--asal menguntungkan dirinya! Sebab, sebagai proses belajar pun uang sekolahnya mahal sekali--nyawa banyak balita gizi buruk!" *** Selanjutnya.....

Mengecoh, Debat Capres Antiklimaks!

"DEBAT capres di televisi malam Jumat antiklimaks bagi penonton!" ujar Temin. "Jadi dialog ewuh-pakewuh, seperti dua menko (SBY dan JK) bicara di depan presiden--Mega!"
"Bahkan JK keceplos 'Saya sekarang masih wakil presiden!' saat diminta menanggapi uraian SBY!" sambut Temon. "Gaya ketiga capres tidak klop dengan saat kampanye di depan massanya, yang cenderung saling menyerang pesaing!"
"Jauh saling serang, jumpa saling melengkapi?" timpal Temin. "Ada apa di balik antiklimaks itu?"

"Ternyata format debat tanpa perdebatan itu hasil kesepakatan KPU dengan tim sukses ketiga capres! (Kompas, 20-6) Jadi, antiklimaks itu justru sesuai skenario! Nyatanya, lembaga pengelola demokrasi dan para aktor belum siap memainkan demokrasi sesungguhnya! Baru main secara formalistik--debat sekadar memenuhi ketentuan formal, tidak mempertajam dan memperdalam pemahaman terhadap esensi materi kampanye untuk dinilai publik pemilih! Esensi debat itu justru disisihkan!"

"Kalau begitu, berarti KPU bersama tim sukses ketiga capres secara sengaja mengecoh publik!" tukas Temin. "Apakah secara etika-moral tim-pemimpin itu patut mengecoh rakyat pemilih?"
"Tak ada pasal untuk pengecohan di UU Pilpres!" tegas Temon. "Soal pengecohan elite pada rakyat, tak hanya saat kampanye! Bahkan pembangunan selama 40 tahun ini juga pengecohan!"
"Gile lo!" potong Temin. "Apa buktinya!"
"Buktinya pada Rasio Gini yang terus menanjak, sebagai petunjuk ketimpangan pendapatan terus melebar!" tegas Temon. "Menurut Mudrajat Kuncoro, guru besar ekonomika dan bisnis UGM, 1971 Rasio Gini Indonesia 0,18, naik menjadi 0,24 pada 1997--menyulut multikrisis menjatuhkan Orde Baru! (investorindonesia.com, 19-5-2008, 23:29:35 WIB).

Orde Reformasi ternyata lebih parah, hanya dalam 10 tahun, pada 2007 Rasio Gini Indonesia menjadi 0,37." (Gajah Kusumo & Dewi Astuti, Bisnis Indonesia, 19-8-2008)
"Maksudnya semakin tinggi angkanya kian lebar pula ketimpangan pendapatan?" sela Temin.
"Betul! Artinya, selama 40 tahun pembangunan, ketimpangan pendapatan meningkat lebih dua kali lipat! Apa dengan begitu pembangunan tidak mengecoh rakyat?" entak Temon. "Rasio Gini itu standar Bank Dunia, skor 0 sampai 1, tapi tak boleh melampaui 0,5 sebagai limit terparah! Kita semakin mendekati limit itu!"
"Seperti apa wujud ketimpangan itu?" kejar Temin.

"Contoh, 40% penduduk berpendapatan rendah 2002 mendapat kue nasional (PDB) 20,82%, pada 2007 tinggal 19,1%. Lalu 40% warga kelompok menengah dari 38,89% turun jadi 36,11%. Sedang 20% kelas atas, naik dari 42,2% jadi 44,8%," jelas Temon. "Jadi, pembangunan selama ini mengecoh rakyat, yang miskin kian melarat, sedang elite--yang selalu mendahulukan kepentingan dirinya--tambah makmur drastis!" *** Selanjutnya.....

Belajar Prestasi dari Band 'Indie'!

"MALAM Minggu kita merayakan HUT Kota Bandar Lampung sambil menonton band Hijau Daun di Tugu Adipura!" ajak Umar.
"Ajakanmu terbalik!" sambut Amir. "Kita nonton Hijau Daun sambil merayakan HUT kota! Sebab, HUT kota setiap tahun, sedang menonton band Hijau Daun secara langsung kesempatan langka!
"Kenapa Hijau Daun begitu istimewa bagimu?" tanya Umar.
"Karena prestasi band indie kota kita yang berhasil ke tingkat nasional tergolong langka!" jawab Amir. "Untuk dekade ini, tercatat hanya Kangen dan Hijau Daun yang berhasil mewujudkan impian setiap grup band itu! Kita layak belajar dari sukses mereka, yang sungguh tidak mudah meraihnya! Sukses kedua band melengkapi kebanggaan warga Lampung dalam bidang seni, memperkuat daftar sukses para penyairnya di tingkat nasional!"
"Apanya yang perlu dipelajari?" kejar Umar.
"Ketekunan mereka berkreasi dalam kondisi serbaterbatas, tanpa berharap bantuan fasilitas atau dana APBD!" tegas Amir.

"Dalam kondisi penuh keterbatasan itu mereka mampu mengeksplorasi kekuatan intuisi dirinya, mangaktualisasikannya dalam wujud karya seni! Meski kedua band beraliran pop, tak dapat dikesampingkan arti kreasi seninya dalam menciptakan lagu sendiri sebagai kekhasan band indie! Sukses band indie didasari kepekaan dua hal sekaligus, atas irama dan lagu yang orisinal, dan syairnya mengena semangat zamannya! Dengan demikian, sukses band indie adalah sukses multidimesi--irama musik yang padu dengan syair lagunya!"

"Terharu aku mendengar uraianmu!" sambut Umar. "Betapa tidak! Anak-anak pinggiran dalam kondisi serbaterbatas mampu mengukir prestasi ke tingkat nasional di bidang yang didominasi selebriti! Di sisi lain, tak sedikit kalangan yang bergelimang fasilitas dan dana cuma bisa berkutat di kandang, gagal menembus ke mana pun!"
"Lebih penting untuk belajar dari sukses mereka adalah kalangan birokrat dan politisi dalam mengelola pembangunan daerah, khususnya dalam berorientasi pada prestasi!" tegas Amir. "Orientasi pada prestasi itu, di kalangan birokrat
pemerintahan dan politisi, cenderung kurang mendapat prioritas!"

"Itu karena birokrat dan politisi lebih berorientasi pada kepentingan!" potong Umar. "Birokrat lebih berorientasi kepentingan kedudukan, sedang orientasi politisi dalam kepentingan kekuasaan! Akibatnya, bahkan orientasi ideal birokrat sebagai pelayan rakyat dan politisi mengabdi kepentingan rakyat malah cuma jadi sambilan!"
"Maka itu, kusambut ajakanmu menonton Hijau Daun!" tegas Amir. "Asal jangan seperti studi banding, hanya dengan melihat-lihat buah kerja keras dan ketekunan orang, lantas yakin akan bisa berprestasi menyamainya--tanpa kerja keras dan ketekunan yang sama!" *** Selanjutnya.....

'Polling', JK-Win Menang Satu Putaran!

"KETAHUAN! Prediksimu JK-Win lawan Mega-Pro ke putaran dua pilpres ternyata dari hasil pollingSMS detik.com!" tukas Temin. "Aku baru lihat di MI(18-6), kalau di polling detik.com JK-Win dapat suara 40,967%, disusul Mega-Pro 31,822%, dan SBY-Berbudi 27,211%."

"Di polling kompas.com dan tempointeraktif.com malah JK-Win menang satu putaran!" timpal Temon. "Di kompas.com JK-Win meraih 66,14%, diikuti SBY-Berbudi 21,15%, dan Mega-Pro 12,71%. Sedang di tempointeraktif.com, JK-Win mendapat 51%, SBY-Berbudi 30%, dan Mega-Pro 19%. Juga polling SMS elshinta.com menempatkan JK-Win di urutan pertama dengan 41,57%, disusul SBY-Berbudi 37,26%, dan Mega-Pro 21,17%."

"Semua itu kan angka sebelum debat capres!" kilah Temin. "Setelah debat pasti terbalik!"
"Kalau terbalik berarti pasangan Mega-Pro yang teratas!" potong Temon. "Maksudku, SBY-Berbudi memuncaki klasemen!" tegas Temin. "Tak percaya lihat saja tren semua polling setelah debat capres!"
"Gaya defensifmu betul-betul mengesankan kau tim sukses SBY-Berbudi!" sambut Temon.
"Kalau penyusunan tim sukses dilakukan lewat casting seperti memilih aktor film, kurasa kau lulus jadi tim sukses SBY-Berbudi! Sayangnya, justru gaya defensif kubu SBY-Berbudi itulah yang cenderung menjadi salah satu faktor kelemahan dalam persaingan menarik perhatian pemilih, lebih-lebih dari kalangan proaktif mengikuti polling!"

"Responden polling itu cuma lapisan kecil dari heterogenitas bangsa kita yang besar! Jadi, tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar warga bangsa!" tegas Temin.
"Responden yang proaktif hingga responsif memanfaatkan polling-polling itu, lebih mencerminkan aspirasi kelompok kecil yang tidak puas dengan kondisi sekarang! Padahal, sebagian besar rakyat merasakan kondisi sekarang sudah lebih baik dan menginginkan yang sudah baik itu dilanjutkan!"
"Anggapan sebagian besar rakyat merasa kondisi sekarang sudah baik dan harus dilanjutkan itulah titik krusial sikap defensif kubu SBY-Berbudi!" tukas Temon.


"Sekalipun hal itu ditanamkan ke benak rakyat dengan tayangan intensitas tinggi di televisi, hasilnya cuma hiper-realitas, hanya kesan seolah-olah begitu! Namun, dengan kesulitan hidup yang masih menyergap sebagian besar rakyat setiap hari, kesan sebatas hiper-realitas itu mudah menguap! Hasil polling cerminkan itu!"

"Polling lagi!" entak Temin. "Yang lebih konkret!"
"Konkretnya, para pesaing berpacu dengan ide-ide baru sebagai alternatif keluar dari kondisi buntu kehidupan mayoritas rakyat!" jawab Temon. "Kubu SBY-Berbudi bisa tertinggal jika cuma defensif, bertahan pada segala bentuk kebuntuan rakyat itu dengan slogan lanjutkan, lanjutkan! Maaf, Min! Itu ditolak responden polling!" *** Selanjutnya.....

Dipidana Korupsi tanpa Menikmati!

"EMPAT mantan deputi gubernur Bank Indonesia (BI), Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tajudin dipidana penjara masing-masing empat tahun lebih dalam kasus korupsi dana yayasan di BI," ujar Umar. "Menurut hakim, hukuman itu dijatuhkan dengan berbagai hal yang meringankan, salah satunya, mereka tak menikmati hasil perbuatan korupsi tersebut!"

"Sedang sejumlah anggota DPR yang menikmati aliran dana BI itu malah tak tersentuh hukum!" timpal Amir. "Itu sesuai keterangan Hamka Yandu di sidang pengadilan! Hanya Yandu dan Anthony Zeidra Abidin anggota DPR yang terkena pidana korupsi ini, teman-teman sekomisinya lolos!"
"Soal sejumlah anggota DPR yang belum terjerat mungkin hanya soal waktu!" tegas Umar. "Sebab korupsi itu kejahatan luar biasa--extraordinary crime, jadi kasusnya tak mengenal kedaluwarsa!"

"Dengan korupsi sebagai kejahatan luar biasa itulah, bukan yang menikmati saja dijerat!" timpal Amir. "Siapa pun terkait tindak korupsi, seperti lewat menyalahgunakan kekuasaan memperkaya orang lain atau sejenisnya dengan merugikan keuangan negara, digolongkan sebagai koruptor!"
"Tergolong koruptor seharusnya yang menikmati hasilnya! Sedang mereka tidak sama sekali!" tukas Umar. "Apa melabeli mereka koruptor tak keliru?"

"Korupsi berasal dari kata Inggris corrupt--juga dipakai pada disket yang kena virus atau rusak! Akibat corrupt di satu sektor disket, rekaman lagu di dalamnya juga rusak! Seperti syair lagu 'biarlah kutanggung semua derita', ketika disketnya rusak jika diputar berbunyi 'biarlah kutang ... kutang ... kutang...!' Konon lagi BI bukan sekadar disket, tapi sebuah server induk jaringan keuangan nasional! Jika server induknya rusak, bisa berantakan semua jaringan sistemnya!"
"Kalau begitu ngapain para deputi gubernur BI itu susah payah mengalokasikan dana ke DPR sampai menanggung akibat seberat itu?" entak Umar.

"Terdorong oleh 'idealisme'--dalam tanda petik!" jawab Amir. "Yaitu, untuk mewariskan sebuah UU Bank Sentral yang murni independen dari campur tangan presiden! Sukses itu menjadikan sistem bank sentral kita lebih maju dari AS--yang hingga kini masih terkait presiden!" (Lihat, Didik Rachbini, BI Menuju Independensi Bank Sentral, 2000)
"Duileh, ngetop banget!" entak Umar. "Sistem AS saja liberal,
sistem apa pula bank sentral kita?"

"Jadi superliberal!" tegas Amir. "Dengan sistem baru itu, siapa pun jadi pimpinan BI kemudian akan mengenang mereka sebagai pahlawan! Sebab dengan sistem superliberal itu, pimpinan BI bebas menetapkan sendiri gaji, tak lagi mengikuti struktur gaji PNS! Maka itu, gaji pimpinan BI bisa lebih Rp100 juta/bulan, melebihi gaji presiden!"
"Ternyata, untuk jadi 'pahlawan' mereka juga seperti pahlawan kemerdekaan!" tukas Umar. "Harus siap masuk penjara!" *** Selanjutnya.....

Mega-Pro vs JK-Win ke Putaran Dua!

"MENURUT prakiraanmu, pasangan Mega-Pro atau JK-Win yang maju ke putaran dua?" tanya Temin.
"Kalau prakiraanku, di putaran dua nanti yang bertarung Mega-Pro lawan JK-Win!" jawab Temon. "Nah, langsung jadi penasaran!"
"Jelas penasaran!" timpal Temin. "Pertanyaanku Mega atau JK, kau jawab Mega lawan JK! Kutanya prakiraanmu, kau jawab dengan harapanmu!"
"Dari ekspresimu, kau bukan keberatan soal atau dijawab jadi lawan!" tukas Temon. "Melainkan, lebih keberatan pada pasangan yang masuk final!"
"Mungkin tadi begitu!" kilah Temin. "Tapi segera kusadari, kalau bercanda kau suka ngaco!"

"Siapa yang ngaco?" entak Temon. "Itu salah satu kemungkinan yang bisa terjadi dalam pilpres kali ini! Dan ibarat bal-balan, pertandingan baru akan dilakukan 8 Juli. Jadi, hanya jika sudah pasti bola tidak bunder dan wasit bakal berpihaklah salah satu tim bisa memastikan bakal menang! Apa kau sudah tahu ada dasar untuk mengklaim seperti itu, hingga hal wajar pun kau sebut ngaco?"

"Susah ngomong ama Lo! Ngejebak melulu!" tukas Temin. "Pakai akal sehatlah! Dalam pilkada saja sulit menyaingi incumbent, kecuali diadu dengan jagoan muda yang betul-betul solid, seperti di Lampung Barat, Tanggamus atau Jawa Barat! Pesaing model itu tak ada di pilpres ini!"
"Cuma karena tak ada pesaing muda saja asumsi incumbent susah dikalahkan?" kejar Temon.

"Asumsi terkuatnya, incumbent sudah terbukti, sedang contender baru janji!" tegas Temin. "Ini contohnya, sebaran berita JN News hari ini di hape-ku: Di era SBY, 3.157 kasus korupsi ditangani. Di antaranya 127 kasus melibatkan pejabat dan mantan pejabat negara yang diproses secara hukum dan dipenjara, ujar Idhi Siregar, S.H."


"Menjaring koruptor itu seperti menjala ikan!" timpal Temon. "Di air yang banyak ikannya, setiap tebar banyak ikan yang tersangkut di jala! Sedang di tempat yang tak ada ikannya, sampai bungkuk pun menebar jala, tak seekor pun ikan tersangkut! Berita itu menunjukkan ternyata di era ini makin banyak koruptor!"

"Inilah yang membuat aku ogah bicara ama Lo! Cerita apa pun, kau pelintir!" entak Temin.
"Dipelintir bagaimana? Kau minta pakai akal sehat! Bicaraku kan logis, aktualisasi akal sehat!" timpal Temon. "Akal sehat rakyat juga mengikuti logika-logika di lingkungan sekitar mereka, mirip logika menjala tadi! Jangan kira ketika orang pintar bicara A lalu mereka tafsirkan A juga! Bisa-bisa, sesuai dengan logika lingkungannya, ditafsirkan Z!"

"Kalau begitu, aku rakyat desa, bisa berlogika seperti itu juga!" sambut Temin. "Betul, pasangan Mega-Pro akan bertarung lawan JK-Win di putaran dua pilpres...mbesok! Tafsirkan sendiri!"
"Ternyata kau bisa sinis juga!" tegas Temon. "Mbesok, bahasa Jawa, bisa berarti besok, tapi lebih sering berarti sometime in the future!" *** Selanjutnya.....

Derita TKW Makin Parah Saja!

"SETELAH tubuh Nirmala Bonet disetrika majikan setiap sang bos kesal, menyusul tubuh Siti Hajar disiram majikannya dengan air panas sampai melepuh setiap melakukan kesalahan!" ujar Umar. "Itu pun belum cukup! Mayat Nurul Widayanti tergantung di rumah orang tua majikannya! (Kompas, 15-6) Semua itu tenaga kerja wanita (TKW) kita di Malaysia yang deritanya justru makin parah saja!"

"Sekilas saja mendengar perlakuan amat buruk terhadap TKW itu darah kita langsung mendidih dibakar amarah pada majikan mereka yang biadab!" sambut Amir. "Tapi kenapa kita selama ini cuma menyalahkan majikan TKW, tanpa cari tahu kenapa para majikan itu bisa berubah jadi seperti bukan manusia lagi? Lalu apa benar orang-orang kita sendiri tak punya kesalahan, apalagi sebagai prima causa dari penderitaan TKW?"
"Sikap menganggap orang kita paling suci hingga lupa introspeksi mencari kemungkinan kesalahan kita sendiri yang mengambil korban para TKW seperti Nirmala, Siti, dan Nurul, justru menjadi penyebab derita TKW kita makin parah dari waktu ke waktu!" tegas Umar. "Misalnya, kenapa para majikan bisa marah besar ketika babu TKW melakukan kesalahan? Bukan rahasia umum lagi karena para majikan itu telah membayar ribuan ringgit kepada penyalur tenaga kerja dengan standar TKW mampu menangani semua pekerjaan rumah tangga! Nyatanya, TKW malang bingung menangani perangkat rumah model apartemen--yang belum dikenal di kampungnya! Untuk marah pada penyalur TKW mungkin berhitung kalah kuat, para majikan itu melampiaskannya ke TKW!"


"Bisa jadi itu akibat penyalur mengejar omzet tinggi hingga tak sempat memberi latihan cukup untuk semua tugas TKW! Jadi, para penyalur TKW kitalah yang harus introspeksi dalam hal ini!" timpal Amir. "Meski demikian, seyogianya TKW bisa cepat belajar sambil bekerja! Tapi ternyata mereka sukar belajar, mungkin karena konsentrasi pikirannya yang tak bisa fokus--karena selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun mereka tak pernah menerima gaji! Gajinya diambil penyalur sebagai pengganti biaya penempatannya!"

"Bukankah semua biaya mendatangkan TKW ditanggung majikan lewat membayar mahal untuk mendapatkan babu--saking mahalnya ada majikan sampai beranggapan telah membeli budak?" tukas Umar.
"Persepsi majikan seperti itulah pangkal bencana pada TKW, apalagi kalau oleh penyalur uang pemberian majikan itu dianggap persenan atau imbalan jasa atas susah payah mendatangkan TKW buat si majikan! Sehingga, semua biaya untuk itu oleh penyalur dibebankan pada TKW!" tegas Amir. "Bukan soal persepsi siapa yang benar, melainkan pasti, semua itu berakibat derita TKW makin parah saja!" *** Selanjutnya.....

Cara Klenik Cegah Pesawat Jatuh!

PRIHATIN pada jatuhnya pesawat terbang TNI secara beruntun, Temin ke ahli klenik modern untuk mencari tahu bagaimana cara pencegahannya.
"Saya sudah proses matrik komputer peristiwa jatuhnya pesawat TNI dalam sewindu ini! Hasilnya begini!" ujar ahli klenik modern sambil menarik kertas dari printer komputernya dan memberikan ke Temin.

Dengan penasaran Temin menyambar potongan kertas dari tangan sang ahli, dan cepat membacanya. "Matrik dari rangkaian kejatuhan pesawat TNI selama sewindu terakhir, agar tidak jatuh lagi pesawat TNI harus menghindari terbang pada pasaran almanak Jawa Kliwon, Legi, Paing, Pon, dan Wage!"
"Cukup jelas, 'kan?" sela ahli klenik.
"Tapi," Temin menghela napas, "kalau pada kelima pasaran almanak Jawa itu, Kliwon, Legi, Paing, Pon, dan Wage pesawat TNI disarankan jangan terbang, berarti tak tersisa lagi hari yang boleh terbang! Karena pasaran dalam almanak Jawa cuma lima itu!"
"Memang!" tegas ahli klenik. "Untuk memastikan agar pesawat tidak jatuh lagi, pesawatnya jangan terbang! Kalau tidak terbang, kujamin 1000 persen pesawatnya tidak akan jatuh!"
"Kalau pesawat tidak terbang jelas tak ada risiko jatuh!" entak Temin. "Mungkin dengan perhitungan risiko yang sama, agar pesawat TNI tak jatuh lagi, Presiden SBY menyarankan TNI untuk membatasi penerbangan!"

"Terbukti kan, Bapak Presiden amat bijaksana!" entak ahli klenik. "Bukan saja karena berarti hasil analisis tim Presiden tak jauh beda dengan matrik klenikku! Tapi diproyeksikan dalam sistem analisis apa pun secara universal, pasti hasilnya sama> tingkat risiko berkurang sebanding dengan pembatasan jumlah penerbangannya! Maka itu, untuk mencapai zero risk, pilihan kebijakannya adalah zero flight!"

"Tapi mohon maaf Tuan Ahli!" sela Temin. "Hasil analisis kebijakan Tuan itu memang logis, tapi artinya nihil! Sebab, pesawat-pesawat TNI itu diperlukan untuk mengawal kedaulatan negara kita yang amat luas, sehingga pilihan kebijakan paling tepat adalah solusi agar pesawat-pesawat TNI lebih banyak terbang dengan daya jangkau lebih jauh lagi, sebagai keniscayaan tetap terjaga dan terlindunginya seluruh kawasan tanah air! Hal itu tak mungkin jika dilakukan pembatasan terbang, apalagi zero flight!"

"Kalau itu pilihan kebijakan sebagai kebutuhan nyata negara ini, berarti para pemimpin hasil pemilu terakhir--legislatif dan eksekutif--harus menghitung ulang berapa tingkat minimal dan tingkat ideal kebutuhan untuk itu 10 tahun ke depan, yang dibayar dengan APBN 25 tahun mendatang!" tegas ahli klenik. "Maksudnya, usai lunas 25 tahun, dibuat peremajaan lagi untuk 10 tahun ke depan dengan pembayaran 25 tahun berikutnya! Hanya dengan begitu perangkat militer TNI selalu up to date, tidak lagi tambal sulam rongsokan dari zaman ke zaman!" *** Selanjutnya.....

'Kriwikan' Menjadi 'Grojogan!

"KASUS Prita Mulyasari yang sempat disel dalam rumah tahanan wanita Tangerang, ternyata kriwikan menjadi grojogan--aliran air yang kecil berubah menjadi banjir bandang--yang menyeret Kepala Kejaksaan Tinggi Banten sampai copot dari jabatannya!" ujar Umar. "Padahal, pangkal masalahnya sepele, keluhan Prita di e-mail¯ pribadi tentang pelayanan RS Omni International!"

"Itu bukti Kejaksaan Agung tidak main-main jika anak buahnya kedapatan bertindak kurang semestinya menyalahgunakan kewenangan jaksa dan hukum!" sambut Amir. "Tindakan tegas yang diambil secepat itu oleh Jaksa Agung, tentu bisa menjadi pelajaran yang layak disimak oleh jajaran kejaksaan di seluruh Tanah Air!"
"Dalam penegakan citra aparat dan wibawa hukum, tindakan Jaksa Agung dalam menangani kasus Prita ini memang amat berkesan!" timpal Umar. "Dan itu tak terlepas dari respons Jaksa Agung pada pemberitaan pers cetak maupun elektronik yang bertubi-tubi menyoroti kasus Prita, terutama banjirnya dukungan terhadap Prita lewat internet (facebook¯). Dengan begitu, kasus ni sekaligus mengangkat relevansi internet sebagai salah satu jenis media massa seperti diatur dalam UU No. 40/ 1999 tentang Pers!"

"Meski, keefektifan kontrol media massa tetap saja tergantung pada kepekaan pimpinan instansi yang disoroti!" tegas Amir. "Artinya, respons dan tindakan Jaksa Agung itu bisa menjadi teladan pimpinan instansi lainnya, terutama yang terkait penegakan hukum! Bukannya di instansi lain tak ada atasan menindak tegas bawahan dalam merespons pemberitaan pers! Tentu saja ada, namun tindakan tegas itu lebih sering diambil terhadap anak buah lapisan bawah! Begitu terkait dengan jabatan yang agak tinggi, apalagi setingkat orang nomor satu jajarannya di tingkat provinsi, arah angin justru yang harus dialihkan!"

"Pengalihan arah angin dari kritik media massa terhadap jajaran suatu instansi, meski bertujuan menjaga citra instansinya, hasilnya lebih sering justru cuma memperburuk citra!" timpal Umar. "Karena, citra yang tak lain adalah kesan hasil bentukan pendapat umum,
sering tak mampu ditutupi atau diubah hanya oleh tindakan pengalihan perhatian atau kompensasi! Apalagi arus pendapat umumnya sebesar dukungan yang terjadi dalam kasus Prita!"

"Dukungan publik dalam kasus Prita begitu cepat membesar sebenarnya hanya akibat diangap sangat keterlaluannya penyimpangan hukum yang dilakukan! Masak hanya akibat mengeluh saja seorang warga yang lemah dijebloskan ke bui tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun--dijenguk anak balitanya saja tak boleh!" tegas Amir. "Lebih lagi keluhan itu menyangkut lembaga yang besar dan kuat, langsung mencolok kesan keberpihakan jaksa! Jadi kuncinya, tindakan aparat pada kaum lemah jangan keterlaluan!" *** Selanjutnya.....

Sisi Budaya Politik Monolog Butet!

"MONOLOG Butet Kertarajasa dalam Deklarasi Pemilu Damai yang dihadiri tiga pasangan capres-cawapres Rabu lalu menjadi polemik antarkubu pro dan kontra!" ujar Umar. "Di sisi lain, kalangan seniman netral menegaskan monolog Butet itu karya seni yang bagus! Hanya tempat pentasnya kurang tepat sehingga jadi kontroversial!"

"Monolog merupakan salah satu jenis teater yang mengangkat karya seni sastra! Dibanding dengan kebanyakan monolog mengangkat karya fiksi, monolog Butet mengangkat realitas faktual kehidupan berbangsa! Dengan aktingnya yang mengundang tawa, monolog Butet jadi sejenis karikatur!" sambut Amir. "Karikatur lucu tapi nylekit, memang itu bentuk umumnya! Karikatur mengandung kritik, juga keharusan! Monolog Butet jadi kontroversial hanya karena disajikan langsung di depan orang yang merasa jadi sasaran kritik! Ini tidak lazim dalam budaya politik Indonesia, yang terbiasa saling kritik antarpodium dari tempat yang saling berjauhan! Karikatur di koran lebih aman karena pembuat karikatur dan tokoh atau pihak yang menjadi sasaran kritik karikaturnya saling berjauhan!"

"Budaya politik model apa pula itu, sukanya saling kritik dari jarak jauh?" kejar Umar.
"Budaya telepolitik!" tegas Amir. "Sarana paling kena untuk itu televisi, bisa memadu dua gambar saling kritik menjadi berhadapan pada satu layar! Atau, memutar bergantian dua pernyataan yang berlawanan! Siapa yang lebih unggul dalam debat jarak jauh itu, silakan penonton menilai sendiri!"

"Kalau realitas budaya telepolitik seperti itu, cuma terlihat dekat karena
gambarnya dipadukan oleh televisi, sedang antartokoh tersebut sebenarnya berjarak jauh, budaya telepolitik membawa konsekuensi logis dalam hubungannya dengan rakyat!" timpal Umar. "Konsekuensinya, para tokoh politik yang suka gembar-gembor dekat dengan rakyat, dekatnya bukan dalam arti lahir-batin, melainkan dekat lewat layar kaca! Tak ayal, seperti keberadaannya yang terkapsul di layar kaca televisi itu, sepak terjang para politisi secara nyata juga terkapsul dari kepentingan rakyat! Kecenderungan politisi--legislatif dan eksekutif-- lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan politiknya ketimbang kepentingan rakyat, merupakan kenyataan!"

"Dilihat dari kecenderungan budaya politik yang sedemikian, monolog Butet layak dicatat sebagai terobosan budaya, meretas jarak pengkritik jadi berhadapan langsung dengan yang dikritik!" tegas Amir. "Sebagai terobosan atau 'barang baru', monolog Butet menjadi nyleneh dan aneh! Tapi tanpa terobosan itu, politisi sukar diubah dari kegandrungannya pada budaya telepolitik, yang lebih bebas mengkritik dengan bicara sesuka sendiri dari jarak jauh! Dalam budaya telepolitik, para politisi kampanye perubahan, tapi ogah dan sukar mengubah dirinya sendiri!" *** Selanjutnya.....

Sikap Antikemanusiaan Pemimpin!

"MENGERIKAN!" entak Umar. "Meski bencana busung lapar diberitakan dengan judul berhuruf besar, 68 balita dari berbagai penjuru Lampung jadi korban, puluhan balita lain diwawat di sejumlah RSUD--di RSUAM saja 10 bocah--sebagai puncak gunung es kritisnya gejala gizi buruk di daerah ini, tak ada pemimpin formal maupun nonformal berinisiatif menggelar gerakan darurat mengatasinya! Yang menonjol justru bentakan membantah--di wilayah tanggung jawabnya tidak ada gizi buruk, apalagi busung lapar!"

"Itu mencerminkan adanya kecenderungan sikap antikemanusiaan pada sementara pemimpin di daerah ini hingga alergi pada tuntutan simpati--apalagi tanggung jawab--terhadap hal-hal terkait masalah kemanusiaan!" sambut Amir. "Bukti alergi dimaksud tampak
pada nasib Sukriya, salah seorang korban bencana busung lapar itu, setengah bulan berbaring koma di RSUAM tak seorang pun pemimpin formal atau nonformal menjenguknya!"
"Padahal mampir sejenak, bicara sepatah dua dengan orang tuanya, sudah memberi dukungan moral yang amat berarti bagi keluarga Sukriya!" timpal Umar. "Lebih baik lagi kalau bisa memberi bantuan buat belanja selama menunggui anaknya di RS. Tapi kenapa sikap demikian bisa menggejala pada sementara pemimpin kita?"

"Mungkin faktor orientasi yang mendominasi sikap para pemimpin itu!" tukas Amir. "Dan itu, orientasi pada kekuasaan yang melampaui ubun-ubun--sehingga hal-hal yang tidak punya kaitan dengan power building, konon pula bisa menodai kemulusan kekuasaannya, harus dijauhi! Itu membuat nasib Sukriya dan kawan-kawannya korban letusan bencana busung lapar jadi lebih malang lagi karena penderitaan mereka dinafikan adanya oleh kalangan pemimpin!"

"Meski demikian, usaha mengurangi keseriusan gejala ini tetap perlu didorong!" timpal Umar. "Usaha itu bisa dilakukan dengan mengaktifkan seluruh posyandu di semua RW dan lingkungan, dengan meningkatkan tiga kali lipat anggaran untuk asupan tambahan! Hitungannya, kalau dengan asupan sekali sepekan masih meletuskan bencana, mungkin dengan dua kali sepekan baru mencapai statis atau seimbang dengan tekanan gejalanya! Jadi, untuk menurunkan gejalanya, harus tiga kali sepekan!"


"Sebenarnya anggaran posyandu itu relatif kecil, apalagi dibanding dengan dana pos bantuan di APBD Provinsi Lampung yang per tahun bisa lebih Rp100 miliar!" tegas Amir. "Ketimbang dana pos bantuan dihabiskan ke arah tak jelas, lebih baik sebagian dialihkan untuk meningkatkan tiga kali lipat dana asupan tambahan posyandu! Itu bisa menjadi usaha nyata mengatasi gejala gizi buruk, ketimbang kewalahan membantah setiap gejala gizi buruk meletus jadi busung lapar!" *** Selanjutnya.....

Unila, Program Studi Pawang Ular!

"ADA apa keluarga kalian tadi terbahak panjang, sampai tetangga melongok heran?" tanya Umar.
"Kemenakan datang dari kampung, katanya mau masuk Unila--Universitas Lampung!" jelas Amir. "Ditanya mau kuliah di jurusan apa, dia jawab memilih program studi pawang ular! Itu yang meledakkan tawa kami sekeluarga!"

"Bagaimana ia bisa mengira di Unila ada program studi pawang ular?" kejar Umar.
"Konon di kampung tersebar cerita, mau jurusan atau program studi apa saja ada di Unila!" jelas Amir. "Ada kesan, Unila itu seperti pukat harimau, segala jenis ikan besar-kecil disapu bersih! Bukan saja dalam arti beraneka ragam program studi, juga dari diploma dua (D-2) sampai S-3 tersedia!"

"Itu mungkin salah satu penyebab kredibilitas akademik Unila merosot jadi berakreditasi C!" timpal Umar. "Tingkat akreditasi universitas yang membuat lulusannya diragukan kualitasnya, sekalipun dari program studi berakreditasi lebih baik! Akreditasi C ditolak masuk PNS atau TNI. Pada penerimaan karyawan swasta perusahaan maju, tersisih duluan ketika seleksi berkas! Dalam kasus seperti itu, lulusan dari program studi berakreditasi A pun tak ada kesempatan untuk menjelaskan ke bagian rekrutmen!"

"Masalah lebih serius terkait visi Unila 2025 masuk top ten perguruan tinggi negeri Indonesia!" tegas Amir. "Kalau akreditasinya malah merosot begitu, makin jauh dari tujuan! Belum lagi kebanggaan masyarakat Lampung pada kualitas Unila, juga ikut merosot!"
"Untuk reorientasi ke visi tersebut jelas Unila harus berbenah!" sambut Umar.

"Sebagaimana lazimnya universitas par excellence, ketat dan tajam limitasinya pada program studi yang jadi unggulannya, Unila harus merampingkan pada program studi yang benar-benar didukung staf pengajar dan fasilitas solid dan kompeten! Lebih baik satu program studi yang solid dan kompeten di lima kelas, daripada lima program studi masing-masing satu kelas! Lepas program studi yang tidak solid dan kompeten menjadi garapan perguruan tinggi swasta, ketimbang jadi bandul pemberat dengan akibat akreditasi
universitasnya merosot!"

"Tepatnya, Unila harus secepatnya kembali ke quality oriented dengan melepas ambisi quantity oriented yang terlalu sengak bau komersialisasi pendidikannya!" tegas Amir.
"Dengan begitu, pada program studi yang bisa dijadikan unggulan, tapi akreditasinya masih rendah, seperti program pascasarjana Fakultas Hukum, bisa digenjot lebih fokus usaha peningkatan akreditasinya!"
"Pokoknya, warga Lampung yang menjadikan Unila sebagai kebanggaan daerahnya, sangat menyayangkan keterpurukan Unila jadi cuma berakreditasi C!" timpal Umar. "Sebab, hal itu cuma membuat kelop terpuruknya Lampung masuk jajaran provinsi termiskin!" *** Selanjutnya.....

Busung Lapar, Klimaks Gizi Buruk!

"KORAN mendaur ulang istilah busung lapar buat gizi buruk stadium fatal!" ujar Umar. "Kenapa?"
"Busung lapar bahasa rakyat! Ia berfungsi hard warning untuk cepat menolong penderitanya!" sambut Amir. "Tapi istilah busung lapar membuat gerah pejabat era Orde Baru, maka dihaluskan!"

"Ternyata tak sekadar dihaluskan! Istilah busung lapar dihilangkan agar pejabat tak gerah!" timpal Umar. "Jadi tak ada tanda bahaya! Penderita telanjur fatal baru dibawa ke RS, seperti Maulana (5) dari Panjang yang meninggal dan Sukriya dari Lamtim, dua pekan koma di RS!"

"Itu konsekuensi penghilangan istilah busung lapar sebagai klimaks gizi buruk!" tegas Amir. "Gizi buruk atau malnutrition gejala umum pada balita dari keluarga ekonomi lemah, akibat kurang asupan protein dan kalori! Kekurangan asupan yang laten bisa mengganggu perkembangan fisik, mental, dan kecerdasan anak! Maka itu, saat krisis ekonomi orang khawatir terjadi bencana sosial yang berujung lost generation, satu generasi tak punya kemampuan standar!"

"Untuk mencegah gizi balita memburuk kan ada posyandu di setiap RW!" sela Umar.
"Peran posyandu besar dalam mengendalikan gizi buruk balita agar tidak kritis!" tegas Amir. "Meski, tak semua balita terjangkau! Misal, pada hari dan jam yang ditentukan ibunya tak di rumah, sedang memulung! Untuk itu diharap petugas posyandu proaktif mengantar asupan ke tempat mereka!"
"Kalau tak dapat asupan tambahan, gejala kritis balita gizi buruk seperti apa?" kejar Umar.
"Dua gejala menjurus kritis harus diwaspadai, maramus dan kwasiorkor!" jelas Amir. "Menurut Kamus Kedokteran Dorland, maramus berasal dari bahasa Yunani marasmos, artinya menuju kematian! Maramus, kekurangan protein dan kalori, ditandai gangguan pertumbuhan serta mengurusnya lemak bawah kulit dan otot secara progresif. Namun, biasanya masih ada nafsu makan dan kesadaran mental. Infeksi, gangguan saluran pernapasan atau lain bisa jadi faktor pencetus!"
"Satunya lagi yang susah namanya?" kejar Umar.


"Kwasiorkor!" tegas Amir. "Ini nama tempat anak telantar di pantai Afrika, pertama dilaporkan jenis sindromnya, yang menyebar ke wilayah tropis dan subtropis! Ini sindrom defisiensi protein berat, dicirikan oleh hambatan pertumbuhan, perubahan pigmen rambut dan kulit, dan patologi pada hati! Temuan lain, anak apatis, cengeng, gangguan saluran cerna, pankreas mengecil! Kedua jenis gejala busung lapar itu bisa join--komplikasi--menjadi sindrom marasmic-kwashiorkor, defisiensi kalori dan protein dengan penyusutan jaringan pesat, lemak subkutan hilang, dan dehidrasi!"

"Kalau sindrom busung lapar mematikan, buat apa dihaluskan hanya agar pejabat tenang?" entak Umar. "Justru harus dibuat istilah lebih seram, agar lebih cepat diberi perhatian!" *** Selanjutnya.....

Malaysia, Lagak Orang Kaya Baru!

LAGAK Malaysia pada tetangganya mirip keluarga orang kaya baru yang kementhus-sok paling hebat!" ujar Umar. "Bayangkan, sampai Presiden Yudhoyono memperingatkan jangan melakukan provokasi di Ambalat, mereka tidak peduli, tetap saja melakukan provokasi!"

"Lagak orang kaya baru pada tetangga memang selalu keterlaluan! Orang tuanya sih kalau bicara tak mungkinlah kami begini atau begitu, tetapi tingkah anak-anaknya yang kemlinthi-suka menyebalkan orang lain--dari menyiksa TKI sampai berulang mengganggu kedaulatan wilayah negara lain di Ambalat, dibiarkan saja!" sambut Amir. "Lagak itu tak terlepas dari persepsi mereka atas tetangganya! Tajuk Kompas (8-6) menyebutkan keangkuhan Malaysia melakukan provokasi laut dan menjarah hutan serta ikan hanyalah akibat, bukan sebab. Sumber persoalan utama pada bangsa Indonesia sendiri yang tak mampu meningkatkan kemajuan ekonomi, ketertiban, dan keamanan."

""Celakanya, persepsi tentang kelemahan Indonesia dibanding dengan kehebatan Malaysia itu bukan cuma ada pada pihak Malaysia!" entak Umar. "Tak kepalang, persepsi itu juga menyergap kita sendiri! Lebih sejuta warga kita berhamba sebagai kawulo-TKI--di negeri itu! Sebagian dari mereka menerima perlakuan buruk, dicambuk dan disisksa dengan berbagai cara! De facto itu tanpa diimbangi upaya memadai menegakkan rasa harga diri, harkat dan martabat warga kita oleh pemerintah yang berkewajiban melindungi warga negaranya, jadi wajar membuat orang kaya baru tetangga kita jadi makin lebih kementhus!"

"Jangankan perlindungan dan penegakan harkat-martabat warga yang jauh dari pandangan mata penguasa! Bahkan yang ada di depan mata pun, seperti pedagang kaki lima di seantero negeri, malah jadi bulan-bulanan kiprah kekerasan Polisi Pamong Praja!" timpal Amir. "Kemiskinan makin dalam, ditandai dengan gizi buruk membeludak, juga pengangguran kian masif, kalangan elitenya malah terlena oleh nikmat korupsi--dalam arti luas! Semua itu memperkuat persepsi kelemahan Indonesia pada warga sendiri, sejajar persepsi tetangga!"

"Maka itu, dari sisi lain sebenarnya kita layak bersyukur dengan keangkuhan Malaysia! Betapa keangkuhan itu, lebih-lebih dalam kasus Ambalat, telah menyulut rasa harga diri kita sebagai bangsa bermartabat! Kita merasa tidak pada tempatnya selalu dilecehkan tetangga!" tegas Umar. "Tugas para pemimpin memaknai kebangkitan rasa harga diri itu menjadi sebuah momentum membangun karakter bangsa! Mulai karakter tidak korup, sampai karakter mumpuni--menuntaskan setiap tanggung jawab secara profesional--sesuai dengan acuan proses mencapai peradaban maju!" *** Selanjutnya.....

Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik!

WAKIL Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong mengingatkan para hakim agar berhati-hati menerapkan pasal pencemaran nama baik!" ujar Umar. "Menurut dia, kondisi kini berbeda dari kondisi saat pasal-pasal KUHP itu dibuat pada zaman penjajahan! Kini, pasal-pasal pencemaran nama baik itu sering disalahgunakan untuk membungkam sikap kritis warga!" (MI, 6-6)

"Pernyataan Wakil Ketua MA itu menjadi simpul diskursus terkait kasus Prita Mulyasari yang akibat mengeluh lewat e-mail dijebloskan ke bui menggunakan pasal-pasal pencemaran nama baik dari KUHP dan Pasal 27 UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sebenarnya baru akan berlaku 2010!" sambut Amir. "Namun, sekadar berdasar pesan seorang wakil ketua MA pada para hakim sifatnya tentatif, kapan teringat boleh tak digunakan, tapi saat lupa tak ada hukum formal yang bisa mencegah hakim menerapkan pasal-pasal itu! Cara paling aman agar pasal-pasal karet itu tidak selalu digunakan lagi adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapuskan pasal-pasal tersebut, baik yang termuat di KUHP maupun di UU ITE!"


"Betul juga!" timpal Umar. "Dari dulu orang heboh soal pasal-pasal karet dalam KUHP yang setiap penggunaannya menelan korban, tapi orang tak terpikir ke jalan pintas yang tersedia itu, judicial review ke MK! Padahal, banyak UU baru yang belum berlaku saja sudah diajukan judicial review-nya! Ternyata, malah lupa pada UU yang sudah karatan dan ketidakrelevanannya pada zaman demokrasi paling mencolok!"

"Meski demikian, jangan grusah-grusuh!" tegas Amir. "Untuk mengajukan judicial review itu ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi! Salah satunya, orang-orang dan organisasi-organisasi yang berkepentingan atau terkait langsung dengan pasal-pasal tersebut! Lebih afdal lagi yang telah menjadi korban konyol dari penyalahgunaan pasal-pasal tersebut!"
"Terpenting sudah diketahui ada jalan keluarnya!" timpal Umar. "Dengan begitu, diharapkan segera ada kelompok kepentingan yang paling afdal mengajukan judicial review sehingga masalah yang sudah merepotkan dari zaman ke zaman itu bisa segera dieliminasikan!"

"Sesungguhnya, amat pentingnya disegerakan penghapusan pasal-pasal pencemaran nama baik itu hanya karena selalu ada di antara aparat hukum kita tak peduli pada semangat demokrasi sebagai salah satu esensi reformasi!" tegas Amir. "Maka itu, meski mereka tak peduli demokrasi, kalau tak lagi tersedia pasal-pasal yang bisa disalahgunakan, rakyat terhindar dari salah guna maupun ketidakprofesionalan aparat hukum!" *** Selanjutnya.....

Gizi Buruk Mentahkan Retorika Sukses!

"GEMURUH retorika sukses meningkatkan gemerlap citra politisi dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden, dimentahkan Maulana (5 tahun). Bocah bergizi buruk itu mengembuskan napas terakhir di RSUAM, 3 Juni!" ujar Umar. "Putra Muhammad Ansori (35 tahun), penarik becak asal Kotabaru, Panjang, Bandar Lampung, itu tak mampu menahan gerogotan kelaparan berlarut-larut!"

"Di ruang sama, berbaring Sukriya bin Khaeruddin (9 tahun)
pasien gizi buruk asal Lampung Timur. Satu minggu hingga hari itu, ia tak sadarkan diri!" sambut Amir. "Kedua korban fatal puncak gunung es bejibunnya anak bergizi buruk itu klop sebagai cermin penderitaan warga kelas bawah kota dan desa yang tak teratasi oleh program-program jaring pengaman sosial (JPS) canangan Bank Dunia, dari raskin sampai BLT! Banyak warga miskin tak mampu menebus jatah raskin, hingga diambil pakai uang calo yang mengambil 10 kg dari 15 kg jatah berasnya per bulan! Atau BLT Rp100 ribu per bulan yang langsung diserahkan ke warung tempat utangnya menumpuk!"

"Berarti, sebagai ponstan penghilang rasa sakit sementara pun program-program JPS masih jauh dari memadai!" tegas Umar. "Bocah malang seperti Maulana dan Sukriya telah mementahkan keefektifan program-program simpul sukses politisi yang diekspose berlebihan dengan biaya iklan (yang pasti) amat mahal untuk meroketkan citra politisi! Sedang bahaya kelaparan larut di kalangan warga miskin, secara faktual bergelora mengiringi iklan-iklan sukses mengatasinya itu!"

"Namun begitu, bukan berarti program-program JPS itu tak perlu! Melainkan, itu saja jauh dari cukup!" timpal Amir. "Masih diperlukan program-program massif yang melibatkan kaum miskin dalam kelompok kerja terbatas di lokasi tempat tinggalnya untuk meningkatkan pendapatan riil secara kontinu, bukan berkala dengan jarak berbilang tahun--hanya tiap menjelang pemilu--yang terbukti letusan bencananya tak terkendali justru di musim pemilu! Bahkan, biaya iklan pencitraan sukses program itu bisa mengatasi letusan gejalanya jika uangnya dialihkan
untuk tambahan konsumsi kelompok paling parah!"

"Tepat!" ujar Umar. "Dana berbagai iklan retorika sukses itu dialihkan untuk membentuk Posko Kelaparan di setiap lingkungan warga kritis, yang tugasnya setiap malam memonitor rintihan kelaparan dari rumah ke rumah--seperti Kalifah Umar bin Khattab! Setiap ada keluhan atau rintihan dari dalam rumah, petugas posko mengetuk pintunya lalu memeriksa, jangan-jangan sang ibu sedang menanak batu agar anaknya terlena dari lapar dan tertidur!"
"Iklan retorika sukses memang cuma menghibur para politisi yang membuat pembenaran sendiri kebijakannya!" tegas Amir. "Sedang warga miskin yang anak-anaknya kelaparan tidak menyaksikan iklan itu, karena tak punya televisi!" *** Selanjutnya.....

'People Power' lewat 'Facebook'!

"BISA jadi kasus Prita Mulyasari pantas dicatat dalam museum rekor, telah dijadikannya media facebook sebagai sarana people power melawan penguasa hukum yang bertindak semena-mena terhadap warga!" ujar Umar. "Betapa, setelah Rabu siang pekan ini belasan ribu warga tampil di facebook mendesak pembebasan Prita dari bui, malamnya dukungan terhadap Prita di facebookterus berkembang hingga paginya melampaui seratus ribu, dengan peningkatan jumlah yang berpacu dengan amat pesat!"

"Fenomena facebook sebagai sarana people power  sebenarnya lebih dulu muncul di Iran! Tapi karena munculnya terkait kampanye pemilihan presiden yang dengan mudah diklaim sebagai black campaign, panitia pemilunya mengeluarkan larangan penggunaan facebook untuk menggugat penguasa di masa kampanye!" sambut Amir. "Di Indonesia, people power lewat facebook juga terjadi di masa kampanye pemilu presiden! Tapi karena para pengguna facebook di sini lebih tajam memfokuskan tembakannya ke sebatas kasus Prita, tidak melebar misalnya menjadikan kasus Prita sebagai contoh kegagalan rezim dalam menjalankan reformasi di bidang hukum, bahkan para pengguna facebook juga tidak terpancing oleh kehadiran dua pasangan capres dalam kasus ini, people power ini pun tidak mengandung gangguan terhadap proses pemilu presiden! Tampak people power ini benar-benar murni sebagai ekspresi simpati terhadap nasib Prita dengan desakan yang amat dahsyat untuk pelaksanaan hukum yang jujur dan adil oleh aparat penegak hukum!"

"Betapa dahsyatnya pressure dari people power lewat facebook ini terlihat dari respons Jaksa Agung yang dengan amat cepat membentuk tim eksaminasi! Timnya bekerja secara amat cepat pula, hingga hasilnya bisa langsung disampaikan kepada publik--bahwa jaksa yang menangani kasus Prita tidak profesional!" tegas Umar.

"Dengan hasil eksaminasi seperti itu, yang menunjukkan adanya penyimpangan penerapan hukum alias cacat hukum dalam berkas penuntutan, seharusnya Jaksa Agung meminta pengadilan menghentikan persidangan guna mengganti jaksa dan berkas penuntutannya! Agar, hukum bisa diproses di atas rel yang benar!
"Untuk itu sebenarnya pengadilan bisa membuat putusan sela! Tapi biarlah, soal itu kita lihat apa jadinya saja!" timpal Amir. "Kembali ke facebook sebagai sarana people power, jelas mengangkat peradaban manusia menjadi lebih tinggi karena ia menggantikan people power dalam bentuk arak-arakan massa dalam jumlah amat besar yang bisa menjurus anarki! People power lewat facebook, sebuah perjuangan massa amat besar yang dilakukan tanpa kemungkinan anarki!" *** Selanjutnya.....

Prita, Konsumen yang Teraniaya!

"DI negeri neoliberal, yang wajib menjalankan pasar bebas sehingga segalanya dikomersialkan dan harus siap bersaing dengan pemain asing tanpa kecuali bidang kesehatan (dan pendidikan), tarif kamar dan fasilitas rumah sakit (RS) ada yang lebih mahal dari tarif hotel bintang lima!" ujar Umar. "Bedanya, jika di kamar hotel selalu tersedia formulir keluhan atau kesan konsumen, lengkap dengan amplop tertutup ke alamat management dan kotak tempat memasukkannya di resepsionis, di rumah sakit dengan label internasional pun bisa malah sebaliknya! Seorang pasien yang mengeluh, seperti dialami Prita Mulyasari di Tangerang, justru teraniaya dijebloskan ke bui dengan ancaman hukuman berat!"

"Pada berkas P-21 dari kepolisian sebenarnya tuduhan hanya pencemaran nama baik! Setelah di kejaksaan rupanya ditambah dengan Pasal 27 UU No. 11/2008 dengan ancaman hukuman 6 tahun dan denda Rp1 miliar!" sambut Amir. "Meski demikian, bukan berarti polisi juga telah melaksanakan tugasnya dengan baik! Selaku pengayom masyarakat--ini tugas terpenting polisi--ketika ada pengaduan tentang pencederaan hak warga oleh warga lainnya, tindakan pertama kepolisian seharusnya mencari tahu apakah warga yang diadukan itu punya hak untuk melakukan perbuatan itu! Artinya, apakah dengan perbuatan itu ia telah melanggar hukum! Dan Prita selaku konsumen, punya seperangkat hak dalam UU Perlindungan Konsumen yang juga harus menjadi bagian tugas polisi melindungi masyarakat!"

"Tepat sekali!" timpal Umar. "UU Perlindungan Konsumen menetapkan setiap
konsumen berhak memperoleh informasi yang cukup atas produk maupun layanan yang dibayarnya! Bahkan dalam UU Kesehatan, pasien berhak diberi informasi tentang penyakit, obat maupun layanan yang diberikan RS! Hak-hak konsumen dan hak-hak pasien itulah yang tak didapatkan Prita dari dokter, perawat, dan manajemen RS sehingga ia keluhkan dalam e-mail pribadinya! Lebih jauh lagi, keluhan yang dilakukan Prita itu, bahkan klaim untuk rehabilitasi atas kerugian konsumen oleh kesalahan produk dan layanan juga merupakan hak konsumen!"

"Maka itu, jika hukum dijalankan dengan benar dan komprehensif, tidak secuil-secuil sekenanya saja, Prita justru bertindak di atas hak-haknya yang sah menurut hukum sehingga harus dilindungi aparat negara yang berkewajiban mengayomi setiap warga negara!" tegas Amir. "Apalagi kejaksaaan, tugasnya digambarkan dengan lambang timbangan, seharusnya menimbang secara adil antara perbuatan dan pasal-pasal yang diterapkan dalam tuntutan! Soalnya, dalam kasus Prita rakyat sedih melihat wajah Jaksa Agung memelas ketika menyatakan sesuai dengan hasil eksaminasi Kejaksaan Agung, pelaksanaan tugas jaksa tidak profesional!"*** Selanjutnya.....

Prita Mulyasari, Mata Hati Warga!

"MENDADAK perhatian warga bangsa yang peka terhadap penderitaan sesama bertumpu ke sosok ibu dua anak, Prita Mulyasari (32) yang sejak 13 Mei 2009 meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang!" ujar Umar. "Belasan ribu warga melalui facebook mendesak penguasa untuk segera membebaskan Prita!"

"Perjuangan lewat facebook itu sejalan dengan gempuran media televisi nasional yang bertubi-tubi menonjolkan berita ketidakadilan terhadap Prita!" sambut Amir. "Tak kepalang, Wakil Presiden M. Jusuf Kalla meminta polisi memeriksa ulang kasusnya! Dewan Pers Nasional mengunjungi Prita, berjanji memberikan bantuan hukum! Juga Komnas HAM, menegaskan hukuman terhadap Prita melanggar UUD, yang menjamin kebebasan warga mengemukakan pendapat! Tak ketinggalan pula, tim sukses JK-Win dan Mega-Pro melihat kondisi Prita di tahanan dan berjanji membantu!"

"Berkat pressure publik yang luas itu, akhirnya pihak berwenang mengubah status Prita menjadi tahanan kota!" tegas Umar. "Semua itu hanya sebagai akibat Prita pada Agustus 2008 mengirim sepucuk e-mail kepada teman-temannya, berisi keluhan tentang pengalamannya atas pelayanan yang buruk di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang! Tujuan Prita agar
kejadian serupa tak terulang! Oleh teman-temannya, keluhan Prita itu dikirim ke milis-miliskomunitas mereka sehingga menjadi bacaan luas! RS Omni membantah isi e-mail Prita lewat dua media massa!"

"Tapi masalahnya tak selesai di situ!" timpal Amir. "RS Omni mengadukan Prita ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik! Kemudian jaksa mendakwanya dengan pasal berlapis, Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, lalu Pasal 27 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11/2008 dengan ancaman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar! Pada 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang menghukum Prita harus membayar ganti rugi materiil Rp161 juta dan ganti rugi immaterial Rp100 juta! Dan 13 Mei 2009, Prita dijebloskan ke LPW Tangerang, tanpa diberi izin untuk ditemui suami dan dua anaknya--usia tiga tahun!"

"Hukuman berat itu dijatuhkan hanya akibat menulis e-mail keluhan, jelas terlalu berlebihan!" tegas Umar. "Apalagi masalahnya menyangkut pelayanan buruk di RS, yang secara umum juga dialami oleh banyak warga lain di negeri ini! Jadi, e-mail Prita hanyalah satu dari sekian banyak keluhan warga yang dimuat rubrik surat pembca dan SMS koran, kritik yang bertujuan memperbaiki pelayanan publik!"

"Maka itu, dengan penderitaan sejauh itu yang dialami Prita untuk kemaslahatan warga atas pelayanan publik, Prita bisa disebut sebagi mata hati warga!" timpal Amir. "Diharapkan kasus ini memicu perbaikan pelayanan publik di segala bidang, dengan dijadikan prioritas dalam usaha peningkatan kesejahteraan!" *** Selanjutnya.....

Kisah Cinderela Jadi Cindelaras!

"MENIKAHI pangeran Kelantan, Manohara itu putri dari kesultanan mana?" tanya Tina.
"Kayaknya dia bukan bangsawan!" jawab tante. "Ibu warga biasa dari Indonesia, ayah Prancis!"
"Kalau begitu perkawinannya dengan pangeran itu seperti kisah Cinderela--seorang gadis biasa yang ngenger di rumah bangsawan memikat hati pangeran!" sambut Tina. "Kenapa kisah Cinderela berubah jadi cerita nestapa begitu? Konon lagi pangerannya putra mahkota, ketika naik takhta nanti Manohara akan jadi permaisuri! Seharusnya kisah bahagia yang menyelimutinya!"

"Kita tidak tahu sejati ceritanya bagaimana! Tapi gambaran tentang seorang pangeran brutal dari negeri lemah-lembut, terkesan kontroversial!" tegas tante. "Juga kita tidak tahu adat tradisi kerajaannya! Misalnya, apakah bisa perempuan biasa dijadikan permaisuri ketika putra mahkota naik takhta? Ada kerajaan berpantang untuk itu!"
"Kalau di kerajaan itu adatnya begitu, kasihan deh Manohara yang orang biasa!" tukas Tina. "Meski dinikahi duluan, statusnya cuma boleh sebatas selir--yang memang bebas diperlakukan sesuka-suka keluarga raja! Menuntut hak-hak istimewa, malah jadi tertawaan kaum bangsawan sana!"

"Seandai latar belakangnya demikian, kisah Cinderela itu berubah jadi Cindelaras, konflik selir yang mendamba status permaisuri!" tukas tante. "Apa pun dia lakukan, si selir tetap menjadi tokoh antagonis--si jahat--sampai akhir cerita!"
"Tapi Manohara kan bukan selir!" entak Tina.
"Memang, Manohara bukan selir!" tegas tante. "Tetapi, dari tuturan pengalaman pahit Manohara sendiri, dia juga tidak diperlakukan selayak putri yang dipersiapkan sebagai permaisuri! Dalam tradisi bangsawan di kerajaan tertentu, perlakuan terhadap Manohara itu justru on the track!"

"Apa warga biasa Malaysia tidak protes pada sikap kaum bangsawannya seperti itu?" kejar Tina.
"Kerajaan dan segala tradisinya merupakan konvensi, dilindungi konstitusi negaranya--yang berbentuk monarki parlementer!" tegas tante. "Itu salah satu latar belakang ISA--Internal Security Act--di negara itu, dengan orientasi menjaga kemapanan kaum bangsawan, siapa pun yang dicurigai mengancam kemapanan sistem itu, boleh dipenjara tanpa proses peradilan!"
"Ngeri banget aturannya!" entak Tina.


"Begitulah!" tegas tente. "Kita yang terbiasa hidup di negeri egaliter, semua orang sederajat, merasa tidak adil atas perlakuan semena-mena seorang bangsawan terhadap warga kita! Padahal dalam tradisi mereka, perlakuan itu justru merupakan yang seharusnya!"
"Kalau begitu perlawanan hukum Manohara bisa sia-sia!" timpal Tina. "Kasihan dia, seperti ikan sungai dimasukkan ke laut, tak tahan dengan rasa asinnya--padahal justru itu ciri khasnya!" *** Selanjutnya.....

'Injury Time' Pelantikan Gubernur!

"MAU pelantikan gubernur kok situasi jadi tegang seperti saat injury time dalam final sepak bola!" tukas Umar. "Isu simpang-siur! Ada yang optimistis pasangan gubernur terpilih Oedin-Joko pasti dilantik, ada pula yang ragu karena sebuah konfirmasi dari pejabat yang ikut Presiden ke Korea Selatan, Senin siang, menyebut keppres pelantikannya belum diteken Presiden!"

"Tapi angin buruk dari Korea itu sudah dibantah Humas Depdagri, Senin petang! Berita yang betul, Oedin-Joko jadi dilantik Selasa, 2 Juni 2009!" timpal Amir. "Kepastian itu juga datang dari Mensesneg Hatta Radjasa. Seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR, Hatta menyatakan keppres untuk pelantikan Oedin-Joko sudah diteken Presiden, Jumat, 29 Mei!"
"Namun, kenapa suasana injury time mencekam Lampung, cukup menarik untuk disimak!" ujar Umar. "Siapa tahu ke belakang ada buntutnya!"

"Untuk gaya permainan politik Lampung, buntut itu niscaya!" tegas Amir. "Apalagi kondisi injury time dimaksud faktual! Seperti di lapangan bola, injury time terjadi ketika waktu bertanding pada arloji wasit sudah habis, tapi diberi tambahan waktu oleh komisi pertandingan sebagai pengganti waktu ketika pertandingan dihentikan saat ada pemain cedera (injury) dan sebagainya! Pelantikan Oedin-Joko juga begitu. Menurut UU harus dilantik sebulan setelah ditetapkan sebagai pemenang pilgub, tapi oleh komisi pertandingan (pemerintah pusat) diberi perpanjangan waktu sampai masa jabatan gubernur yang ada selesai!"

"Sebab itu, tak aneh kalau kondisi injury time pelantikan gubernur jadi setegang injury time di lapangan bola!" timpal Umar. "Apalagi, ternyata, masa injury time di lapangan bola merupakan kesempatan di waktu yang amat sempit bagi tim yang kalah untuk membalas dan memenangkan pertandingan, juga dilakukan dalam injury time pilgub ini! Sehingga, situasinya malah jadi lebih tegang dibanding dengan injury time sepak bola!"
"Begitulah!" tegas Amir. "Situasi injury time pilgub ini jadi lebih tegang dari sepak bola karena hakim garis (KPU Lampung) mengibarkan bendera ada pelanggaran yang harus diganjar tendangan penalti, meski wasit telah meniup pluit akhir pertandingan! Menurut hakim garis, pelanggaran terjadi sebelum pluit akhir pertandingan berbunyi! Jadi eksekusi penalti tetap harus dilakukan!"

"Tapi, kalaupun penalti dilakukan, skor lawan kan tetap tak bisa menang?" potong Umar.
"Dengan tim pemenang meninggalkan lapangan seusai peluit bubaran berbunyi, menurut hakim garis mereka melakukan WO, setara kalah 5-0," jelas Amir. "Dengan itu, tim yang posisi juara dua harus diberi piala sebagai juara!"

"Putusan kontroversial menjadikan runner up sebagai juara itu dalam sepak bola selesai setelah piala diserahkan kepada tim juara!" timpal Umar. "Tapi dalam politik, selalu bisa berbuntut!" *** Selanjutnya.....

Cerdas-Cermat SD Kota vs Desa!

DALAM final cerdas-cermat tingkat SD, murid sekolah kota jumpa sekolah desa.
"Seorang peternak punya 10 induk sapi!" pembawa acara melontar pertanyaan. "Setelah lima tahun jadi berapa sapi peternak tersebut, jika setiap tahun setiap induk melahirkan seekor anak sapi!"

"Jadi 60 ekor!" jawab anak kota yang lebih cepat menekan bel.
"Regu B?" pembawa acara melempar pertanyaan.
"Jadi 75 ekor!" jawab anak desa.
"Uraikan jawabannya!" perintah pembawa acara.
"Semua anak sapi dari sepuluh induk bersama induknya jadi 60!" jelas anak desa.
"Lalu, anak sapi kelahiran tahun pertama pada usia jalan empat tahun sudah melahirkan, jadi beranak dua kali sampai tahun kelima! Juga anak-anak sapi kelahiran tahun kedua sudah melahirkan sekali!"
"Kalau begitu, apa bukan jadi 90?" potong pembawa acara.
"Anak sapi yang dilahirkan tidak betina semua, lazimnya satu jantan satu betina!" jawab anak desa.

"Jadi anak sapi tahun pertama itu cuma lima ekor yang betina, dua kali beranak jadi tambah 10! Lalu anak sapi tahun kedua juga cuma lima yang betina, sekali beranak menambah lima ekor! Jadi, 60 tambah 10 anak sapi kelahiran tahun pertama selama dua tahun, tambah lima ekor lagi anak sapi kelahiran tahun
kedua, jumlahnya jadi 75 ekor!"

"Regu B mendapat nilai 90!" tegas ketua tim juri. "Jawabannya cukup logis!"
"Panitia pembuat soalnya tidak fair!" gerutu Umar sambil keluar ruangan. "Masak pada anak kota diajukan pertanyaan soal sapi, jelas tidak tahu!"
"Itu dia!" timpal Amir. "Selama ini elite dari kota selalu sok tahu mendikte dan membuat program untuk warga desa, padahal sesungguhnya mereka tak tahu persis seluk-beluk kehidupan warga desa! Apalagi faktor-faktor di balik kemiskinan mereka! Akibatnya, gonta-ganti pemimpin pun kemiskinan tak kunjung berhasil diatasi, malah sebaliknya, selalu makin parah saja!"

"Tapi itu kan cuma anak-anak SD!" entak Umar.
"Tapi kan mereka calon elite, yang nantinya harus mengatur dan mendikte anak-anak desa itu!" tegas Amir. "Bayangkan kalau angkatan mereka kelak jadi pemimpin dan anak-anak desa itu yang dipimpin, masalah desa tak pernah ditangani dengan benar dan kemiskinan berlanjut turun-temurun hanya karena suara rakyat desa tak pernah didengar! Meski ada musrenbang, setiap tingkat usulan rakyat mengalami reduksi, akhirnya yang dilaksanakan tetap saja maunya elite, terutama sesuai dengan kepentingan penguasa!"

"Memang begitulah nasib rakyat, lebih-lebih yang terbelenggu kemiskinan!" timpal Umar. "Setiap pemilu didekati seolah-olah suaranya didengar, deritanya menyayat hati calon pemimpin! Usai pemilu, hanya keuntungan multidimensi pemimpin saja yang diprioritaskan!" *** Selanjutnya.....