Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ketakutan pada Rezim ’Macht-Staat’!

“RUSAKNYA sistem hukum ditabrak perppu plt. (pelaksana tugas) pimpinan KPK justru dikatakan penasihat presiden, Adnan Buyung Nasution, saat diwawancara Metro TV soal kesediaannya menjadi tim seleksi plt.!” ujar Umar. “Buyung menyebut kesiapannya itu, to reduce the damages—untuk mengurangi kerusakan! Ia mengaku baru diajak bicara setelah perppu keluar, sehingga cuma bisa memberi saran untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan perppu!”

“Dari pernyataan lanjutan Buyung yang berujung desakan agar Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji dinonaktifkan, tersimpul Buyung sendiri menilai dasar perppu tak kuat, hanya berdasar penetapan status tersangka dua pimpinan KPK atas tuduhan penyalahgunaan wewenang, padahal kewenangan instansi lain itu di luar domain polisi!” sambut Amir. “Lebih lagi kalau motif pemaksaan status tersangka itu hanya untuk menghentikan penyelidikan KPK terhadap Susno Duadji dalam skandal Bank Century! Menyadari kelemahan penetapan status tersangka atas dua pimpinan KPK itu, Polri kemudian manuver dengan mengubah kasus suap sebagai kesalahan pimpinan KPK! Sedihnya, pernyataan Kapolri terkait kasus suap itu dibantah ’saksi mahkota’, Ary Muladi, bahwa dia tak pernah bertemu langsung dengan pimpinan KPK—Bibit, Chandra, dan Antasari—seperti disebut Kapolri!”

“Jadi semakin jelas, tindakan Polri terhadap dua pimpinan KPK—Bibit dan
Chandra—nyata-nyata kriminalisasi, menjerat tersangka dengan hukum yang bisa molor ditarik-tarik untuk dicolokkan kian kemari! Hukum diberi sifat baru—relativitas, bisa disesuaikan untuk kebutuhan apa saja!” tegas Umar. “Celakanya, relativitas hukum itu kemudian digunakan sebagai dasar perppu! Sehingga, secara simultan semua tahap prosesnya tampak lebih menonjolkan kepentingan kekuasaan ketimbang kebenaran dasar hukumnya! Tentu hal itu sangat disayangkan, karena konstelasinya akan terus meluas dengan DPR yang didominasi koalisi pendukung penguasa pasti cepat menyetujui perppu, hingga memaksa lahirnya rezim macht-staat—negara kekuasaan--segala sesuatu dijalankan lebih dengan pertimbangan kekuasaan ketimbang kebenaran dasar hukumnya, serta diorientasikan semata demi kepentingan penguasa!”

“Itu membuat wajar jika pimpinan komisi-komisi negara independen seperti Komnas HAM, Komisi Kepolisian Nasional, PPATK, Komnas Perempuan, KPI, dan lainya menjadi ketakutan terhadap kriminalisasi, karena tugasnya sering menyangkut investigasi di kubu-kubu kekuasaan, yang telah tergugus dalam rezim macht-staat—seperti dialami KPK, saat melaksanakan tugas dengan mudah dibalik jadi tersangka lewat rubber law system yang bisa molor untuk dicolokkan ke mana saja!” tukas Amir. “Siapa tak takut hukum bisa berubah kapan saja, tergantung selera rezim!” n
Selanjutnya.....

Jika Skandal Bank Century 'Suejuk'!

"SKANDAL Bank Century agaknya tertolong oleh masa peralihan di lembaga legislatif (DPR) dan BPK!" ujar Umar. "Masa bakti DPR 2004--2009 tinggal satu hari, Rabu, 30 September! Maka itu, hasil audit investigasi BPK tahap awal atas skandal Bank Century tidak dibuka ke publik, tapi akan diserahkan kepada DPR 2009--2014. Kemudian audit lanjutan BPK atas kasus tersebut juga akan terputus dengan berakhirnya masa tugas BPK sekarang 19 Oktober 2009. Auditnya dilanjutkan BPK hasil pilihan DPR yang mengabaikan fatwa Mahkamah Agung--dengan menyisihkan orang dalam BPK pelanjut tradisi audit garis keras!"

"Masa peralihan tampak bisa menjadi advantage bagi proses skandal Bank Century, yang kasusnya fokus pada pejabat-pejabat senior pemerintah di Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menggelontorkan dana talangan (bailout) Rp6,7 triliun, dari kebutuhan semula hanya Rp632 miliar!" sambut Amir.
"Hal itu menguntungkan nasib skandal Bank Century karena DPR baru didominasi koalisi pendukung pemerintah, hingga demi menyelamatkan 'wajah pemerintah' yang merupakan lanjutan pemerintah sebelumnya, unjuk kebolehan satu bahasa dalam koalisi yang masih gress itu tak sulit diduga! Didukung BPK baru yang telah disaring dari kelompok 'garis keras', tak ayal jika proses penyelesaian skandal Bank Century ke depan bakal berjalan suejuk!"

"Advantage pada skandal Bank Century bukan pula sebatas itu!" tegas Umar.

"Tak kalah penting, hasil audit investigasi setelah diselesaikan BPK baru tadi, akan diserahkan kepada KPK--saat KPK sudah dipimpin hasil bentukan perppu buatan presiden! Kian sempurnalah skenario penjinakan bola liar skandal Bank Century!"

"Hal yang layak diwaspadai, kalangan gerakan antikorupsi bukan sebatas penyelesaian formalistik skandal Bank Century!" timpal Amir. "Lebih jauh dari itu, dijadikannya penyelesaian formalistik skandal Bank Century sebagai 'skenario model' bagi mengatasi tekanan terhadap kasus-kasus korupsi ke masa depan! Betapa konstelasi pemberantasan korupsi kemudian malah berubah menjadi semacam konspirasi tingkat tinggi!"

"Dengan demikian, ujiannya justru pada proses penanganan skandal Bank Century!" tegas Umar. "Jika rekayasa dalam proses penanganan skandal Bank Century dibiarkan berjalan mulus, bukan mustahil model sejenis akan melembaga sebagai tradisi yang mapan ke masa depan! Bahkan lebih berbahaya lagi kalau KPK telah menjadi bagian dalam konspirasi tersebut, justru KPK bisa dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan-lawan politik kalangan konspirator!"

"Jika hal itu sampai terjadi, bukan cuma riwayat pemberantasan korupsi yang tamat!" timpal Amir. "Demokrasinya juga bisa sekarat!" ***
Selanjutnya.....

Polisi Terjebak Eksperimen Hukum!

"KONFLIK cicak lawan buaya membuat polisi terjebak melakukan eksperimen hukum!" ujar Umar. "Secara publik itu tampak sejak polisi memaksakan diri menangani kasus pelanggaran wewenang instansi lain, tanpa peduli pelanggaran seperti itu merupakan domain PTUN--Pengadilan Tata Usaha Negara! Polisi melakukan eksperimen lewat mencocok-cocokkan pelanggaran itu pada pasal-pasal KUHP, tanpa memikirkan engke kumaha hakim--nanti bagaimana (pertimbangan) hakim--malah soal pertimbangan hakim kumaha engke--bagaimana nanti--saja!"

"Eksperimentalis sebenarnya lazim dalam fisika, kimia, dan biologi!" sambut Amir. "Eksperimen dalam cabang ilmu itu dilakukan selain untuk mempelajari teori, dengan skeptisisme juga membuktikan kekeliruan teori! Berkat eksperimen, hukum gerak Aristoteles direvisi Galileo, lalu disempurnakan Isaac Newton, dan dikoreksi Einstein jadi teori relativitas! Dalam fisika, eksperimen menyangkut benda! Sedangkan hukum, eksperimen atas nasib manusia dan masyarakat bangsa! Eksesnya pada manusia dan bangsa inilah yang perlu diwaspadai polisi saat terjebak melakukan eksperimen hukum!"

"Lebih penting lagi, arti eksperimen itu coba-coba!" tegas Umar. "Coba-coba dengan benda mati saja--seperti eksperimen fisika dan kimia--harus hati-hati karena salah-salah meledak! Apalagi eksperimen nasib manusia dan bangsa! Sekali salah, fatal! Sebab, ketika hukum jadi eksperimen--kepastian hukum makin jauh!"

"Eksperimen polisi dalam kasus cicak lawan buaya juga tebersit dari pengondisian Antasari, hingga ia merasa dalam situasi tertekan untuk melaporkan sejawatnya, pimpinan KPK!" timpal Amir. "Bisa disebut eksperimen, karena testimoni Antasari, dasar pengaduan itu, hanya beralaskan keterangan Anggoro Widjojo, tersangka korupsi yang tidak berani bertanggung jawab atas keterangannya dengan melarikan diri ke luar negeri! Akibatnya, kasus yang diusung polisi berdasar keterangan tak bisa dipertanggungjawabkan itu, fakta hukumnya sumir!"

"Untuk itu, meski secara politik langkah polisi mendapat angin, secara hukum polisi tetap perlu menarik hikmah dari pengalaman ini!" tegas Umar. "Sebab, dalam kancah politiknya sendiri, meski Presiden telah memberhentikan sementara kedua pimpinan KPK--Bibit dan Chandra--serta mengeluarkan perppu untuk menunjuk pelaksana sementara pimpinan KPK, implemetasi perppu yang semula akan melakukan penunjukan langsung, jutru dibanting setir melalui tim lima untuk menyeleksi calonnya--seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution di televisi! Jadi, kalau politik bisa manuver sambil jalan, polisi sebagai penegak hukum harus kokoh dasarnya sejak langkah awal! Karena, hukum sebagai komitmen aturan main bersama masyarakat bangsa yang berbeda-beda, adalah seperangkat nilai standar yang wajib dihormati dan dijunjung bersama--bukan untuk eksperimen, apalagi coba-coba!" ***
Selanjutnya.....

Kisah Muzaki Pemudik Bermotor!

"APA kesan mudik?" tanya Temon. "Bukan soal jalanan macet, itu lazim setiap Lebaran!"
"Perasaan kurang enak kami pemudik bermobil, gara-gara seorang teman mudik pakai sepeda motor!" jawab Temin. "Kami jadi buah bibir di desa, karena pemudik bermotor itu membagi zakat penghasilannya kepada mustahik di sekitar rumahnya! Sedang kami pemudik bermobil, jangankan zakat penghasilan, ada yang zakat fitrah pun tidak! Alhasil, setiap kami membuat alasan kenapa belum bayar zakat penghasilan! Ada berkilah masih berutang--kredit rumah dan mobil! Ada mengaku itu mobil bos ia pinjam untuk mudik! Ada pula menyatakan itu mobil sewaan!"

"Menyedihkan! Alasan itu membuat kalian perlu dikasihani!" tegas Temon. "Kalau aku jadi kau, kudekati muzaki pemudik bermotor itu untuk cari tahu berapa penghasilannya!"
"Malah kubawa dia jalan-jalan dengan mobilku! Dia teman sekelasku di SD!" timpal Temin. "Sulit dipercaya, dia cuma pekerja pabrik dengan gaji Rp900 ribu/bulan,
termasuk tunjangan istri dan dua anak! Malah, motor yang dia pakai mudik kreditnya belum lunas!"

"Bagaimana cara dia menghisab penghasilannya, hingga bisa jadi muzaki?" kejar Temon.
"Dia pakai cara menghisab zakat keluarga istrinya! Mertuanya petani sawah tadah hujan setiap tahun membayar zakat persepuluhan--10 persen--dari hasil panennya jika melebihi setara 526 kg beras!" jelas Temin. "Harga beras kini Rp6.000/kg, setara penghasilan Rp3.156.000 setahun!"
"Dengan gaji Rp900 ribu/bulan, setahun Rp10 juta lebih, jauh di atas hisab penghasilan petani sawah tadah hujan, ia layak jadi muzaki!" tegas Temon. "Tapi bagaimana kredit motor yang belum lunas?"

"Justru berkat dapat kredit motor itu ia syukuri, doanya setiap salat mohon peningkatan derajat warfakni--terkabul! Derajat dirinya meningkat jadi muzaki!" jawab Temin. "Dengan motor itu, gajinya yang dahulu harus dikurangi uang transpor pergi dan pulang kerja Rp10 ribu/hari, jadi utuh dia serahkan ke istri! Memang dia harus kerja keras, setelah di pabrik pagi hingga pukul empat sore, bakda magrib sampai pukul 22.00 ia ngojek! Dengan itu angsuran motornya dibayar, malah bersisa ditabung istrinya, yang sebelum itu tak bisa menabung! Sisanya itu termasuk tabungan untuk zakat penghasilan tetapnya, per bulan Rp22.500--2,5 persen dari Rp900 ribu!
Jumlah satu tahun Rp270 ribu, dia bagi ke sembilan mustahik sekitar rumahnya di kampung!"

"Tampak, untuk meningkatkan derajat dirinya di depan Tuhan sebagai muzaki, perlu niat dan tekad bulat, serta kesungguhan diiringi kemauan kerja keras!" tegas Temon.
"Sehingga, meski dia cuma mudik bermotor, derajatnya lebih istimewa dari kalian yang mudik bermobil!" ***
Selanjutnya.....

Pedagogisme, Masih Jauh dari Ideal!

"BANGSA kita dewasa ini tergolong penganut pedagogisme--meyakini pendidikan sebagai pendorong perubahan semua dimensi kehidupan!" ujar Umar. "Itu tercermin pada APBN 2010, anggaran sektor pendidikan terbesar dari semua depertemen! Namun, apakah isme itu telah mengaktual dalam realitas kehidupan bangsa, terutama dalam mendorong perubahan semua dimensi, atau baru sekadar legal-formal di APBN, menjadi masalah yang layak disimak!"

"Kayaknya masalah itu tak beda dengan realitas bidang-bidang lain, lebih mencolok pada legal-formal atau sekadar formalisme, sedang efektivitasnya jauh panggang dari api!" sambut Amir. "Contoh gamblang formalisme terlihat pada Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di pemda, sedikit sekali hasil temuannya atas korupsi dan penyimpangan sampai ke ranah hukum! Polisi dan jaksa justru lebih sering dapat umpan bagi penindakan kasus korupsi di pemda dari temuan BPK--yang lolos dari jaring Bawasda! Jelas terlihat, Bawasda cuma embel-embel melengkapi struktur organisasi pemda!
Begitu pula dengan anggaran pendidikan, boro-boro membuat dunia pendidikan sebagai pendorong perubahan semua dimensi kehidupan, mengubah 'tradisi' koruptif pada tubuhnya sendiri saja belum mampu!"

"Dengan 'tradisi' koruptif yang menggerogoti dunia pendidikan kita, terutama di birokrasinya, (Febri Hendri A.A., Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita, Kompas, [24-9]) kehidupan pendidikan kita masih jauh dari ideal pedagogisme yang secara simultan merupakan pusat pancaran cahaya etika dan moral masyarakat!" tegas Umar. "Sebaliknya, dunia pendidikan malah jadi pusat penyebaran wabah krisis etika dan moral!"

"Dengan itu, UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) sebagai skenario ideal dunia pendidikan kita, tak urung juga terimbas--dana anggaran besar yang dikucurkan tak membuahkan hasil sebanding--compang-camping fasilitas pendidikan lebih menonjol!" timpal Amir. "Penyebabnya, tulis Febri berdasar penelitian ICW, perencanaan dan penganggaran pendidikan dilakukan dari atas ke bawah. Politisi dan rekanan dengan mudah menitipkan proyek ke berbagai pos anggaran pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran tidak mencerminkan kebutuhan pendidikan, tetapi justru mengakomodasi kepentingan birokrasi, politisi, dan pengusaha."

"Kian jelas terlihat pedagogisme yang semu, baru sebatas legal-formal anggaran, sedang pada realitasnya dalam dunia pendidikan masih jauh panggang dari api!" tegas Umar. "Dengan begitu jangankan jadi lokomotif pendorong perubahan semua dimensi, pedagogisme semu itu malah menjadikan pendidikan sebagai lokomotif rusak yang harus didorong rakyat! Tak bisa lain, lokomotif itu harus diperbaiki overhaul, untuk diharapkan bisa berfungsi semestinya!" ***

Selanjutnya.....

Pemberantasan Korupsi 'Ojo Ngono'!

"MESKI implisit, sikap tergesa-gesa Presiden SBY mengeluarkan Perppu Pelaksana Tugas Sementara Pimpinan KPK usai polisi menetapkan Bibit dan Chandra jadi tersangka, kuat mengesankan adanya isyarat khas dalam langkahnya itu!" ujar Umar. "Isyarat itu berupa harapannya, dalam pemberantasan korupsi agar ngono yo ngono, ning ojo ngono-begitu ya begitu tapi jangan begitulah! Presiden tidak menuntut banyak, melainkan sekadar, jaga dan pertimbangkan juga dong perasaannya selaku kepala negara!"

"Kenapa isyarat itu perlu ia berikan?" timpal Amir.
"Karena kedua unsur pimpinan KPK itu (Bibit dan Chandra) terkesan sudah njarak-sengaja cari pasal lewat vivere veri coloso alias menyerempet-nyerempet bahaya--dengan menggasak apa saja yang ada kaitan dengan Presiden, baik secara pribadi maupun dinas!" jawab Umar. "Secara pribadi tampak pada penjeblosan Aulia Pohan--besan SBY--ke penjara, sedang dalam kedinasan tercium pada dua kasus terakhir yang sedang digarap KPK--skandal Bank Century dengan fokus utama Boediono yang baru terpilih jadi wakil presiden, serta kasus korupsi di KPU yang selaku penyelenggara pemilu terlalu mencolok propasangan SBY-Berbudi!"

"Maksudnya, meski tiga plt. yang nanti terpilih lewat kondisi darurat (pakai perppu) bukan orang dekat Presiden, siapa pun orangnya pasti bisa menangkap isyarat apa
sebenarnya keinginan SBY hingga mengasumsikan negara dalam kondisi darurat?" sambut Amir. "Isyarat itu sebenarnya yang telah dibaca polisi sejak dini dari pernyataan-pernyataan SBY tentang KPK yang mencerminkan kegelisahannya terhadap lembaga pemberantas korupsi tersebut! Sehingga, saat kebetulan dalam skandal Bank Century KPK juga menyerempat kubu Polri, langsung disikat habis! Selain membuka jalan untuk mengatasi kegelisahan Presiden, sekaligus mengamankan tubuh Polri dari pengacak-acakan oleh KPK--seperti pernah dilakukan terhadap kejaksaan!"

"Jadi, isyarat itu pulalah yang harus ditangkap kejaksaan, bukan untuk balas dendam, tapi demi kepentingan yang lebih urgen--mengamankan kebijakan Presiden!" tegas Umar. "Artinya, meski dasar hukum yang digunakan polisi dalam penetapan status tersangka terhadap Bibit dan Chandra lemah, jaksa harus tetap memberi P-21 atas berkasnya (dianggap lengkap), agar bisa secepatnya ditetapkan sebagai terdakwa! Dengan status terdakwa, Bibit dan Chandra akan tereliminasi secara permanen dari KPK!"

"Jika prosesnya pada hari-hari berikut ini memang berjalan demikian, bakal segera diketahui kepastian nasib Bibit dan Chandra!" timpal Amir. "Sekaligus, ketahuan pula nasib pemberantasan korupsi di negeri ini, yang harus dijalankan dengan prinsip ngono yo ngono, penuh tepo-seliro, tak peduli korupsi itu extraordinary crime, kejahatan yang luar biasa!" ***
Selanjutnya.....

Ricuh Bagi Zakat Justru di Jakarta!

"PERISTIWA memalukan dan melecehkan kaum duafa dalam pembagian zakat terjadi justru di Pemda DKI Jakarta hari kedua Lebaran!" ujar Umar. "Memalukan, Pemda DKI gagal mengatur ribuan warga miskin hingga ricuh, orang tua, wanita, dan anak-anak terinjak-injak, banyak yang pingsan! Melecehkan, Sekprov DKI melempar tanggung jawab atas kegagalan itu dengan menyalahkan para duafa tak mau antre! Padahal, akibat penanganan yang buruk, ribuan pendamba zakat Rp40 ribu itu berjam-jam terpanggang terik matahari!"

"Ironisnya, DKI menjalankan perda mengancam pemberi santunan pada orang miskin di tempat umum dengan hukuman enam bulan penjara atau denda Rp20 juta!" sambut Amir.

"Tapi dalam demonstrasi kedermawanan--istilah sosiolog Imam Prasojo (Metro TV [22-9])--Pemda DKI semdiri melanggarnya secara terbuka! Ini dijadikan dasar Wardah Hafidz,
konsorsium warga miskin kota, menggugat Pemda DKI ke pengadilan!"

"Aneh, kejadian memalukan itu justru dilakukan pemerintah Ibu Kota, pusat peradaban bangsa, yang seharusnya memberi cerminan budaya par excellence!" tegas Umar. "Orang daerah kagum pada lembaga-lembaga amil zakat nasional di Jakarta--Baznas, Dompet Duafa, Rumah Zakat, dan lainnya--yang tepercaya dalam penyaluran zakat! Pemda DKI membawahkan Bazis, pengelola zakat pegawai pemda! Tapi saat Pemda DKI punya zakat berjumlah besar--dari upah pungut pajak, iuran, dan retribusi daerah para pejabat senior yang bisa miliaran rupiah--tak menyalurkan lewat lembaga yang ada, malah memakainya untuk demonstrasi kedermawanan?"

"Jawabannya terangkum dalam uraian Wardah--seperti motif politisi bagi-bagi sembako!" timpal Amir. "Padahal, kalau zakat upah pungut pejabat senior DKI dibuat membangun baitulmal di semua masjid Jakarta seperti gagasan Forum Takmir Masjid Bandar Lampung, guna menggalang tradisi zakat nonfitrah warga komunitas setiap masjid, besar artinya dalam mengatasi kemiskinan!"

"Apalagi pakai versi penghitungan zakat penghasilan disesuaikan petani sawah tadah hujan yang panen sekali setahun, setara 526 kg beras atau jika Rp6.000/kg, penghasilan Rp3.156.000/tahun wajib dizakati, jumlah muzaki bisa lebih masif!" tegas Umar. "Dibanding wajib zakat petani irigasi teknis lima persen dan tadah hujan 10 persen, zakat penghasilan nonhasil bumi hanya 2,5 persen, relatif tak berat bagi yang sadar zakat jika dilunasi setiap gajian di baitulmal masjidnya!"

"Itu jika Pemda DKI, dan pemda lain yang para pejabat seniornya dapat upah pungut besar untuk dilunasi zakatnya, tak memakai zakat tersebut untuk demonstrasi kedermawanan dengan motif politik!" tukas Amir. "Motivasi itu tantangan bagi keefektifan zakat mengatasi kemiskinan!" ***
Selanjutnya.....

Ramalan Ki Jogoboyo, KPK Moderat!

"JOGOBOYO sebutan buat kepala dusun di Jawa dahulu! Kalau penjabatnya muda disapa bayan--hurup 'o' lazim dibaca 'a' jika diberi imbuhan seperti rupo (wajah) menjadi ®MDRV¯rupane®MDNM¯ (wajahnya). Jika mampu mempertahankan jabatan itu seumur hidup, disebut Ki Jogoboyo!" ujar Umar. "Orang mencapai tingkat Ki Jogoboyo karena mampu meramal perubahan kekuasaan di level atas, hingga antisipasinya tepat dalam melakukan penyesuaian pada perubahan!"

"Tapi bukan sembarang antisipasi, apalagi untuk menjilat ke atas!" potong Amir.
"Jogoboyo itu di hati warga dimaknai pawang buaya, melindungi warga dari kebuasan buaya penguasa yang lazim menindas rakyat, misalnya dengan menarik pajek (pajak) berlebihan! Dengan Jogoboyo berpengaruh dan disegani-selayak kepala suku, warganya mendapat perlakuan lebih wajar dari penguasa! Ia didaulat warga jadi Jogoboyo seumur hidup--lewat pemilihan langsung secara periodik!"

"Maka itu, ramalan Ki Jogoboyo atas perubahan konstelasi kekuasaan, seperti tengah
terjadi pada Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) setelah keluar perppu penunjukan pimpinan sementara KPK, layak disimak!" tegas Umar. "Dibentuknya 'tim lima' penyeleksi pimpinan sementara KPK terdiri dari tiga unsur penguasa (Menko Polhukam, Menhukham, dan Ketua Tim Penasihat Presiden) serta dua unsur independen, mudah ditebak KPK ke depan diformat lebih moderat! Artinya, tidak seekstrem KPK terakhir yang main tabrak tembok-tembok kekuasaan! Mungkin mirip KPK saat diketuai Taufiqurrahman Ruki--yang masuk 'tim lima' unsur independen!"

"Atas ramalan Ki Jogoboyo demikian, antisipasi terpenting pada dua kasus terakhir yang sedang didobrak KPK--penyebab pimpinannya dipreteli--skandal Bank Century dan dugaan korupsi di KPU!" sambut Amir. "Pada skandal Bank Century, arahnya terlalu mencolok menuju Boediono pada kapasitasnya selaku Gubernur BI, padahal kini jadi Wakil Presiden--dwitunggal pemimpin negara! Arah tindakan yang bisa mencemari 'kesucian' dwitunggal tak boleh dibiarkan! Lalu KPU, yang sejak awal menonjol kecondongannya pada pasangan SBY-Berbudi, tentu amat layak diingat jasanya setelah pasangan itu menang!"

"Tapi bukan berarti kedua kasus itu tak ditangani KPK!" sela Umar. "Tetap dilanjutkan, cuma dalam versi yang tadi itu, lebih 'moderat'!"
"Kira-kira begitulah!" tegas Amir. "Dengan itu, 'Ki Jogoboyo' atau 'kepala suku' yang berkewajiban melindungi 'warganya' justru harus lebih hati-hati, karena KPK yang telah menjelma sebagai buaya abdi penguasa itu tak lagi mengejar monyet di pohon tinggi, tapi yang main becek di bawah pohon! Secara kuantitatif statistik, hasil kerja KPK tidak akan merosot! Bedanya cuma pada kawasan garapan!" ***
Selanjutnya.....

Ikan Akuarium Juga Kesurupan!

SEORANG anak ikut Lebaran ke rumah bos, di jalan "kecantol" kuda lumping ngamen. "Kenapa mata para pemain mencicil, tak kedip-kedip!" ia tanya ayahnya.
"Mereka kerasukan roh halus!" jawab ayah.
"Roh halus itu apa?" kejar anak.
"Roh halus itu sejenis hantu!" jelas ayah. "Maka itu, kita harus cepat pergi menjauh, agar tak ikut kerasukan!"

Si anak jadi takut dan menarik ayahnya beranjak. Di rumah bos, ia tertarik pada akuarium besar yang banyak ikan hiasnya, bermain di gelembung air, dibuai cahaya lampu warna-warni.
Tak lama memperhatikan ikan di akuarium, anak itu kembali menarik tangan ayahnya. "Ayo cepat pergi dari sini!" ajaknya. "Ikan-ikan di akuarium juga kerasukan!"
"Bagaimana kau tahu ikan kesurupan?" sela bos.
"Mata semua ikan mencicil terus, tak kedip-kedip!" jawab si anak. "Nanti hantunya merasuki kita!"

"Masak iya?" sambut bos bergegas ke akuarium. Setelah memperhatikan bos baru sadar, ternyata mata ikan tak berkedip. Tapi ia dapat solusi agar si anak tak ketakutan lagi. "Betul! Ikan-ikan ini kesurupan! Tapi jangan takut, yang merasuki hantu air, tak bisa keluar dari air! Seperti hantu laut, cuma bisa merasuki orang di laut!"
"Maklum anak-anak!" timpal ayah.

"Tapi anakmu benar, sekarang musim kerasukan!" tegas bos. "Di banyak sekolah lanjutan, bukan cuma di Panjang atau Sumatera, di Jawa, Sulawesi, dan pulau lain, setiap kerasukan bisa puluhan murid bersamaan!"
"Kami tadi nonton kuda lumping!" timpal ayah. "Mata para pemain yang kesurupan mencicil terus seperti ikan!"

"Kuda lumping kerasukannya dikendalikan pawang, yang selalu bisa mengatasi!" ujar bos. "Yang tidak terkendali justru kerasukan hantu isme-isme modern, individualisme, konsumtivisme, pragmatisme, dan lain-lain! Individualisme, misalnya, menyalahi kodrat manusia sebagai makhluk sosial! Itu bukan watak asli orangnya, melainkan determinasi suatu kekuatan tak terlihat yang telah merasukinya!"

"Individualisme bahkan melampaui kapasitas persona dirinya sebagai pribadi! Ia ringkus kapasitasnya selaku pejabat publik lewat menomorsekiankan kewajibannya (kontrak sosial) harus mendahulukan atau menomor-satukan kepentingan publik, dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata!" timpal ayah. "Tugas dan kewajibannya kepada rakyat dan negara belum ada apa-apanya, advanced salary (gaji di muka) yang menjadi pilihan pertama diurusnya! Lalu dirasuki konsumtivisme, menggadaikan gajinya ke bank beberapa tahun ke depan untuk pola hidup barunya!"

"Soal begitu sudah dianggap hal biasa, sudah menjadi kebiasaan atau konvensi perilaku elite politik!" tegas bos. "Artinya, kesurupan isme-isme di luar fitrahnya sebagai makhluk sosial itu sudah menjadi hal wajar, seperti juga dianggap wajar pemain kuda lumping makan beling! Meski beling bukan makanan manusia!" ***
Selanjutnya.....

Nenek Sedih Ramadan Lebih Singkat!

"KENAPA usai zikir salat magrib tadi nenek terisak-isak?" tanya cucu.
"Saat itu tadi, nenek sedih karena Ramadan lebih singkat! Padahal, kerinduan nenek pada Ramadan belum sembuh sepenuhnya!" jawab nenek. "Aku sedih karena harus merindukannya sepanjang tahun lagi, itu pun kalau usia nenek sampai!"

"Orang-orang lain gembira Ramadan lebih singkat karena bisa cepat Idulfitri dan kembali suci seperti bayi, nenek malah meratapi berlalunya!" tukas cucu. "Kalau sepanjang tahun harus puasa dan beribadah terus siang dan malam seperti Ramadan, mana orang tahan?"

"Bagi orang yang tahu ibadah Ramadan jika diterima Allah nilainya tak terhingga, rida-Nya dunia akhirat, pasti juga menginginkan semua hari yang dilaluinya bernilai seperti Ramadan!" tegas nenek. "Bulan yang di dalamnya terdapat malam bernilai seribu bulan--86 tahun lebih--sehingga beribadah pada malam itu sama dengan beribadah penuh seumur hidup! Pantas kan, nenek mendambakan selalu berada di bulan itu?"

"Sangat pantas!" jawab cucu. "Tapi ibadah dalam bulan itu kan harus disempurnakan dengan melunasi zakat fitrah dan ibadah Idulfitri! Dengan begitu juga bisa diartikan, Ramadan memang dibatasi agar bisa maksimal beribadah dalam bulan tersebut, sekaligus disempurnakan di bagian akhirnya dengan ibadah Idulfitri!"

"Dengan hakikat Idulfitri sebagai penyempurna ibadah Ramadan, bukankah semangat beribadah harus lebih kental dalam Idulfitri, bukan seperti yang gamblang terlihat. Idulfitri malah dijadikan kesempatan untuk konsumtif habis-habisan, puncak
kosumerisme berlebihan yang justru dijalani banyak orang sepanjang tahun?" tukas nenek. "Bagi warga yang tak mampu, Idulfitri menjadi kesempatan membeli baju baru setahun sekali, mungkin lain soal! Tapi justru bagi yang mampu, lebih menghamburkan uangnya untuk pamer kemewahan daripada melunasi zakat atas harta dan penghasilannya, jelas makna Idulfitri telah disimpangkan dari hakikinya! Sebab, kalau mereka memang mau menyempurnakan ibadah Ramadan, pilihan utamanya tentu membersihkan harta dan penghasilannya agar semua nikmat yang dikonsumsinya bersih, hingga dirinya ikut jadi bersih! Bersihnya diri seseorang jelas tidak terlepas dari bersih atau tidaknya konsumsi yang dinikmatinya, bersih dari hak-hak kaum duafa yang melekat pada harta dan penghasilannya!"

"Ah, Nenek menyadari hal itu juga setelah usia Nenek entah sampai Ramadan mendatang atau tidak!" tukas cucu. "Seingatku, waktu aku masih kecil dulu, setiap Idulfitri Nenek malah lebih konsumtif dari mereka!"
"Memang!" nenek mengakui. "Alangkah baiknya jika kesadaran tersebut datang lebih cepat, sejak muda! Sebab, takdir usia siapa tahu? Selamat Idulfitri!" ***
Selanjutnya.....

Tamatlah Riwayat Noordin M. Top!

"AKHIRNYA, tamatlah riwayat Noordin M. Top, gembong teroris asal Malaysia buron nomor satu Polri! Ia tewas meledakkan diri hingga wajahnya rusak!" ujar Umar.

"Polisi memastikan itu jenazah Noordin berdasar sidik jarinya. Bersama Noordin, tewas dua teroris perakit bom, Urwah dan Aji!"

"Lega dadaku dapat kepastian yang tewas Noordin M. Top!" sambut Amir. "Betapa, bersama teroris asal Malaysia lainnya Dr. Azhari, selama ini mereka menebar maut di negeri kita! Alasannya hanya karena Indonesia sejawat Amerika, penyerang Taliban--sekutu Al Qaeda di Afghanistan! Padahal Malaysia sekutu Inggris, ikut menyerang Taliban di Afghanistan!"

"Itulah subjektivitas Dr. Azhari dan Noordin M. Top yang tak dilihat para pengikutnya di Indonesia hingga rela mengebom negeri sendiri dan saudara sebangsa!"
tegas Umar. "Untuk sukses Densus 88 Antiteror Polri menghabisi petualang Noordin M. Top, kita angkat salut! Diharapkan, dengan kerja efektif Densus 88, sisa teroris segera diringkus!"

"Efektifnya kerja Densus 88 layak diacungi jempol! Tak ada bias sedikit pun dalam penyergapannya, meski dilakukan di perkampungan padat warga--Solo!" timpal Amir.

"Tewasnya Adib Susilo risiko menyembunyikan teroris! Sedang terlukanya istrinya yang hamil, Munawaroh, salahnya sendiri. Diminta petugas agar keluar, malah bertahan!"
"Keefektifan kerja Densus 88 dengan zero bias itu bahkan jauh lebih baik dari ABRI di era Orde Baru!" tegas Umar. "Bandingkan dengan pengepungan ABRI di Talangsari, banyak wanita dan anak-anak di antara 246 korban tewas dalam penyerbuan terhadap jemaah pengajian Warsidi 7 Februari 1989!" (Fadilasari, Talangsari 1989, LSPP, 2007)

"Bandingan bias itu meyakinkan kita bahwa untuk mengatasi teror di negeri ini, cukup Polri, sesuai prinsip civil society yang ditegakkan reformasi!" timpal Amir. "Kalau ingin lebih tangguh, Densus 88 ditingkatkan kualitasnya! Jadi, tak perlu merevisi UU Antiterorisme hanya untuk memberi dasar hukum melibatkan TNI memerangi terorisme, karena pengalaman biasnya pada warga sipil yang luas di masa Orde Baru itu tak boleh diulang!"

"Tampak, demi pertimbangan mencapai zero bias itu pula kenapa pengepungan rumah Mujahri di Temanggung dilakukan Densus 88 hingga 17 jam! Untuk tujuan itu terbukti kerja Densus 88 sangat efektif, hanya Ibrohim, otak pelaku Bom Mega Kuningan, yang tewas!" tegas Umar. "Memang, drama pengepungan panjang di Temanggung itu diejek jenderal Orde Baru dengan bandingan penyergapan pesawat Woyla yang hanya tiga menit! Tapi melihat medannya di kampung warga sipil yang padat penduduk, pilihan Densus 88 untuk menghindari bias terbukti efektif!"

"Maka itu, kita dukung Densus 88 meningkatkan kualitas!" timpal Amir. "Tak perlu meneror rakyat dengan menebar intel ke antero negeri memburu segelintir teroris! Cukup Densus, bravo 88!"
Selanjutnya.....

Gunjing Jalanan Cicak Lawan Buaya! (3)

"FAKTOR conflict of interest aparat hukum dalam cicak lawan buaya kental di gunjing jalanan!" ujar Umar. "Faktor itu ditengarai memicu adu cepat memenangkan konflik! Kisah bermula dari bocornya penyadapan KPK atas ponsel Komjenpol Susno Duadji terkait skandal Bank Century! Susno berang hingga petinggi Polri itu sesumbar menyebut KPK cuma cicak mau melawan pihaknya yang ia sebut buaya! Adu cepat bertindak pun dilakukan bukan cuma membuktikan buaya lebih kuat, melainkan lebih jauh lagi, untuk mengandaskan penyelidikan KPK atas dirinya terkait skandal Bank Century!"

"Pantas, ambang penetapan tersangka dua pimpinan KPK, Susno konferensi pers untuk mengklarifikasi surat yang ia kirim ke Bank Century, dengan menegaskan tak ada pelanggaran hukum pada surat tersebut!" sambut Amir. "Surat ke Bank Century itu dihebohkan pers, terkait hasil penyadapan KPK yang disiar ulang televisi bahwa Susno minta Rp10 miliar di kasus Bank Century!"

"Dengan memenangkan adu cepat menetapkan lawan sebagai tersangka, pihak buaya memenangkan tafsir hukum atas semua hal dalam sengketa itu--meski dasar penetapan tersangka cuma salah prosedur meneken surat cekal Joko Chandra dan Anggoro Widjojo, yang harus diteken lima pimpinan KPK, tapi diteken satu orang!" tegas Umar.
"Paling dahsyat hasil adu cepat unjuk kekuasaan itu ialah sukses Susno mementahkan amanat konstitusi yang menabalkan KPK lembaga superbodi! Sekarang, KPK jadi kerupuk mudah dilumat, bukan lagi superbodi yang tak bisa dikontrol seperti dicemaskan Presiden SBY saat berkunjung ke Kompas!"

"Sebagai abdi negara, sukses Susno mengatasi masalah yang dicemaskan Kepala Negara itu jelas gemilang!" timpal Amir. "Reputasi setinggi itu pada abdi negara lazim dianugerahi bintang jasa dan kenaikan pangkat dua tingkat--jika kini bintang tiga, jadi bintang lima!"

"Penghargaan itu harus diberikan sebagai contoh cara kerja cerdas dan tangkas abdi negara demi loyalitas pada pemimpin tertinggi!" tegas Umar. "Lain hal bagi penggunjing jalanan yang berorientasi kepentingan rakyat untuk pelaksanaan amanat konstitusi dalam pemberantasan korupsi! Dengan kesuperbodian KPK runtuh, tamatlah pemberantasan korupsi yang efektif! Selanjutnya kembali ke model sarang laba-laba--cuma bisa menjerat koruptor lemah dan kelas teri, koruptor paus sekelas hasil KPK dua tahun terakhir justru lolos!"

"Namun, lagi-lagi orang jalanan menilai positif hikmah penetapan tersangka berdasar pelanggaran prosedur, sebagai penerapan dual process of law!" timpal Amir. "Sebab, dengan prinsip hukum berlaku sama bagi semua orang, polisi bisa menindak pidana semua orang terkait salah prosedur dalam pelaksanaan anggaran seperti hasil audit BPK, di mana APBN dan lebih 500 APBD I dan II lima tahun terakhir disclaimer terus!"
Selanjutnya.....

Gunjing Jalanan Cicak Lawan Buaya! (2)

"AKU jumpa versi lain gunjing jalanan cicak lawan buaya!" seru Amir. "Dimulai Anggoro melempar muntahan unek-unek perutnya, ditampung dan dikemas Azhari lalu dibawa pulang! Kotoran yang dilempar Anggoro dari Singapura itu, tercium dan dikerubuti buaya yang lalu dijadikan mainan!"

"Rupanya buaya xenolatry, gandrung pada apa saja yang dilempar dari luar negeri!" sambut Umar. "Muntahan kotor pun ditimang-timang!"

"Pemahaman men on the street atas hal itu justru positif, tindakan buaya itu teladan usaha daur ulang memanfaatkan kotoran jadi pupuk kompos, atau menyuling kakus jadi biogas!" timpal Amir. "Maka itu, kotoran yang kemudian dikemas dalam testimoni Antasari itu bagi buaya produk daur ulang yang berguna dan langsung dimanfaatkan!"

"Pokoknya kemasan kotoran yang formalnya pengaduan Antasari atas cicak itu, membuat buaya secara formal berkewajiban memproses dan menindaklanjutinya! Maka itu, cicak pun jadi bulan-bulanan buaya!" sela Umar.
"Dan di tempat persembunyian di luar negeri, Anggoro tertawa jingkrak-jingkrak puas mengetahui kotoran yang dia lempar berhasil menjadi mainan buaya untuk mencelakakan cicak yang memburu dirinya!"

"Kata orang-orang di jalanan, metode Anggoro ini akan jadi pelajaran penting para koruptor lain, sebagai modus operandi meloloskan diri ke luar negeri dengan melempar kotoran ke dalam negeri untuk menyulut konflik lewat mengadu kepala sesama penegak hukum!" tegas Amir. "Anggoro terbukti lihai dalam menyulut konflik, tampak dari emosi yang seperti ilalang kering, langsung marak terbakar oleh kotoran Anggoro!"

"Bahkan salah satu pihak tanpa pikir panjang mendeklarasikan diri dan korpsnya sebagai buaya, dengan mengecilkan korps lawannya cuma cicak!" timpal Umar. "Padahal di kalangan awam, buaya lebih dikenal sebagai binatang buas yang jahat, hidup dari memangsa makhluk lemah!"

"Pilihan buaya sebagai gambaran ideal diri dan korps juga mencerminkan banyak hal, terutama kebiasaan dan kegemaran yang tak terpuji!" tegas Amir. "Orang-orang jalanan memang biasa bicara lepas tanpa beban, hingga lazim dijadikan gambaran ekspresi manusia merdeka! Simpul orang jalanan yang penting disimak, betapa bodoh aparat penegak hukum mau diadu oleh Anggoro, orang yang lari ke luar negeri karena tak
berani bertanggung jawab atas perbuatannya di muka hukum negeri ini!"

"Soal nilai kotoran itu sebagai materi hukum, kita serahkan pada hakim untuk menentukan nanti!" timpal Umar. "Tapi begitulah cara orang jalanan melihat masalah, tanpa pretensi atau kepentingan tersembunyi--conflict of interest! Hal terakhir inilah yang harus dijernihkan dari setiap aparat penegak hukum, agar hukum dijalankan dengan benar secara apa adanya!"
Selanjutnya.....

Gunjing Jalanan Cicak Lawan Buaya!

"GUNJING orang di jalanan, the man on the street, mengenai cicak lawan buaya--KPK lawan polisi--ternyata menarik juga!" ujar Umar. "Cerita dimulai dari pertemuan Singapura antara Antasari Azhar, waktu itu sebagai ketua KPK, dengan buron KPK Anggoro Widjojo dirut PT Masaro! Isi pertemuan itu dijadikan testimoni oleh Antasari, kemudian digunakan polisi untuk menjerat pimpinan KPK!"

"Bagaimana cerita di jalanan soal itu?" kejar Amir.
"Pertemuan itu kesempatan emas KPK menangkap Anggoro, buron KPK yang dicekal ke luar negeri!" tutur Umar. "Pertemuan 'baik-baik' Anggoro dan Antasari boleh saja, tapi seusai itu semestinya buntut Antasari (tim KPK) menjerat Anggoro! Tapi karena KPK itu cicak, buntutnya kecil, jika dipakai membelit malah putus sendiri! Lain ekor buaya, sekali sabet Antasari klepek-klepek tak berdaya!"

"Antasari malah terkena Stockholm Syndrome--memihak penyanderanya--dengan membuat testimoni yang bisa mencelakakan para sejawat kerjanya di KPK!" sela Amir.
"Orang jalanan tak kenal sindroma itu!" tegas Umar. "Mereka persoalkan testimoni Antasari yang dibuat berdasar tuturan buron yang takut pulang ke Tanah Air! Apa kekuatan hukum keterangan orang yang tidak berani bertanggung jawab atas pernyataannya di muka hukum resmi negeri ini? Testimoni itu jelas tak bisa dijadikan dasar hukum buat buaya untuk menguntal--menelan mentah-mentah--cicak, yang diberi keistimewaan bisa memanjat dinding vertikal atau plafon terbalik!"

"Lantas keistimewaan cicak itu dipermasalahkan oleh buaya?" potong Amir.
"Kali ini tebakanmu tepat!" sambut Umar. "Karena cicak bisa memanjat dinding tegak dan plafon terbalik membuat tak bisa dijangkau buaya, macan, atau makhluk buas lainnya itu sempat meresahkan pawang buaya, buaya pun unjuk kebolehan untuk membuktikan kepada sang pawang, buaya bisa menjangkaunya! Kebetulan sistem hukumnya seperti gubuk reot yang rapuh! Dengan sabetan ekor buaya yang amat kuat itu gubuknya runtuh, sehingga dengan mudah buaya membuktikan, bisa menjangkau cicak!"

"Berarti pawang buaya gembira, tak perlu lagi mencemaskan keistimewaan cicak!" sela Amir.
"Itu tebakan orang jalanan!" tegas Umar. "Cuma, orang jalanan sedih dihabisinya keistimewaan cicak itu! Sebab, bukan hanya tikus-tikus koruptor semakin bebas menggerogoti harta negara dan uang rakyat, kucing-kucing garong juga berpesta mempermainkan cicak yang sudah tak berdaya!"

"Gubuk ambruk dan cicak lumpuh sekarat tak masalah, asalkan pawang buaya tidak lagi mencemaskan keistimewaan cicak!" tegas Amir. "Orang jalanan sedih silakan saja, yang penting buaya bangga, telah membuktikan berhasil menghabisi keistimewaan cicak!" n
Selanjutnya.....

Mudik, Rindu pada 'Sangkan Paran'!

"SIBUK nian cari pinjaman koper, mau mudik ke mana?" tanya Edi.
"Gua Lebaran ke Jakarta, bukan mudik" tegas Edo. "Mudik itu metamorfosis kata mengudik, alias ke udik! Jadi hanya orang udik yang mudik, pulang ke udik! Sedang aku, bukan nyombong, lahir dan besar di Jakarta! Karena itu, Lebaran aku pulang ke Jakarta! Semua sepakat, Jakarta bukan udik!"
"Bukan sombong, tapi arogan!" entak Edi. "Orang mudik karena rindu kampung halaman! Sedang kau, orang Jakarta, tak punya kampung halaman! Tak ada kamusnya orang rindu kota halaman!"

"Bukan kampung atau kota halaman benar yang dirindukan, tapi tempat asal kita!" timpal Edo. "Kalau sekadar kampung atau kota di mana pun ada! Tapi tempat dari mana kita berasal, cuma ada satu, itulah yang dirindukan!"
"Dalam bahasa nenekku asal-usul dari mana kita datang itu disebut sangkan paran!" tegas Edi. "Di hari suci Idulfitri, kerinduan pada sangkan paran dorongan inner dynamic bawaan lahir--naluri--itu, kata nenek, sebenarnya sebagai pengantar kerinduan dari yang abadi dalam diri kita pada sangkan paraning dumadi, asal-usul dari mana sejatinya kita datang--ke mana pula semua akan kembali! Dorongan kerinduan seperti itulah yang menggerakkan puluhan
juta orang bergerak mudik seperti gabah diinteri--diputar di tampah (nyiru)--menuju ke asal masing-masing!"

"Dan untuk itu orang rela menghabiskan semua tabungannya sepanjang tahun, bahkan ada yang sampai berutang dibayar setahun ke depan!" tukas Edo. "Hal itu terjadi akibat ingin dirinya tampak layak dan memadai dalam kepulangannya ke kampung, seperti juga saudara atau teman-temannya yang justru menjadikan event mudik sebagai unjuk sukses di rantau!"

"Sikap berlebihan saat mudik itu sebenarnya tak perlu, apalagi kalau harus lewat mengutang!" tegas Edi. "Seperti kau, hanya tiga hari di rumah ibumu, tak perlu pakai kopor besar hanya untuk pamer gombal milikmu pada kerabat!"
"Terus terang saja kalau tak ikhlas kupinjam koper besarmu, jangan menyindir!" timpal Edo. "Aku pinjam kopor besar bukan untuk pamer gombal, tapi membawa pakaian yang sudah tak kupakai lagi untuk dibagikan pada famili yang memang mengharapkan! Lalu pulangnya nanti kuisi oleh-oleh buat kalian!"

"Jangan keburu marah! Aku cuma memberi contoh!" tegas Edi. "Maksudku, sikap berlebihan waktu mudik itu tak perlu, terutama dalam hal membawa barang, karena sangat merepotkan! Apalagi kalau naik kendaraan umum, dalam jubelan penumpang berebut naik bus atau kereta api kelas ekonomi, bisa lolos tubuh sebatang masuk kendaraan saja sudah syukur! Jadi cukup apa adanya saja! Karena, ketika kerinduan mudik ke sangkan paraning dumadi tiba, kita juga tak membawa segala macam daki dunia itu, kok!" n 
Selanjutnya.....

Terdampar di Negeri Termiskin!

TAHUN 2045. Sepasang musafir terdampar dari mesin time tunnel dekat lapangan. Orang berlari-lari keluar kolong simpang susun jalan tol ke arah mereka. Kedua musafir panik, takut dikeroyok massa, terbirit lari ke arah lapangan. Ternyata semakin ramai orang keluar dari bawah kolong tol berlari di belakang mereka!
Setelah lewat lapangan, mereka berhenti. Ribuan orang itu rupanya berkejaran ke lapangan, bukan mengejar mereka. Keduanya masuk lapangan, menanya warga, "Ada apa?"

"Ini waktunya pemerintah menjatuhkan bantuan buat kami dari pesawat!" jawab warga.
"Hadiah 100 tahun hari kemerdekaan!"

"Begini banyak orang, apa tak berbahaya berebut bantuan yang dijatuhkan?" tanya musafir.

"Kami beradab, tak akan berebut!" jawab warga. "Karung bantuan sudah dilabeli per kelompok! Semua warga keluar kolong tol untuk memberi salut pada awak pesawat, tanda terima kasih ke pemerintah yang bermurah hati! Itu tradisi di semua tempat droping bantuan, seantero negeri!"

"Seantero negeri rakyat miskin, kalian sebutkan pemerintah murah hati?" timpal musafir.

"Pemerintah sekarang pilihan langsung rakyat! Ini benar-benar berkat murah hati mereka!" jawab warga. "Lautan kemiskinan sekarang bukan salah mereka, melainkan pemerintahan terdahulu yang sangat korup, jauh sebelum mereka lahir! Selain korup, kekayaan alam negeri diserahkan pada kamerad asing, sehingga hasilnya lebih memakmurkan negeri asing ketimbang warga bangsanya sendiri! Kami jadi negeri termiskin di dunia, diwarisi jurang-jurang dalam, bekas galian tambang yang sulit diolah kembali! Maka itu, mayoritas warga tinggal di kolong jalan tol sekeliling negeri!"

"Tapi kami baca di internet, banyak negeri lain sukses memberantas korupsi belajar dari komisi pemberantas korupsi negeri ini?" tukas musafir.

"Kami juga bangga dengan reputasi itu!" tegas warga. "Tapi sukses komisi itu sebenarnya terjadi hanya satu tahun, 2008, setelah itu serangan balik koruptor yang bersarang nyaris di semua lembaga negara, berhasil mengamputasi kewenangan dan mempreteli organnya, sampai akhirnya komisi itu lumpuh! Korupsi pun merajalela tak terhingga!"

"Pemerintah kalian dapat dari mana bantuan yang didrop lewat pesawat itu?" tanya musafir.

"Bantuan dari asing yang dahulu menguras alam negeri kami!" jawab warga. "Juga dari negeri penampung pelarian hasil korupsi negeri kami!"

"Jadi, sudahlah kekayaan alam dikuras asing, uang rakyat yang dikorupsi dilarikan ke luar negeri pula?" kejar musafir.

"Malah dari tempat persembunyian di luar negeri, koruptor mengatur jaringannya merusak nama baik komisi itu!" tegas warga. "Begitu cerita turun-temurun nenek-nenek kami, setiap cucunya bertanya, kenapa negeri ini jadi termiskin?" ***
Selanjutnya.....

Baitulmal, Kembangkan 'Local Genius'!

"BAITULMAL itu buah pemikiran genius Khalifah Umar bin Chatab sebagai tempat menghimpun zakat, infak, sedekah, dan hibah untuk dijadikan crisis center umat!" ujar Umar. "Umar bin Chatab, sang Amirul Mukminin, setiap malam ke kawasan miskin mencari warga yang kelaparan! Jika ada, ia ke baitulmal dan memanggul sendiri sekarung bahan pangan buat yang amat membutuhkan!"

"Pada Zaman Sahabat, fungsi zakat (fitrah dan nonfitrah) menjadi sarana penting menciptakan keadilan substantif--sosial ekonomi--di kalangan umat!" sambut Amir. "Abubakar Sidik tegas, akan memerangi siapa pun yang tak melunasi zakat! Karena itu, usaha menggalang zakat nonfitrah dengan membentuk baitulmal di setiap masjid, seperti dilakukan forum silaturahmi takmir masjid (Forsitam) Bandar Lampung, merupakan gerakan kembali ke semangat Zaman Sahabat dalam menciptakan keadilan substantif di tengah umat!"

"Untuk usaha itu, tipe ideal ketokohan Umar bin Chatab--genius dan tegas--tak boleh dilupakan!" tegas Umar. "Memang, kegeniusan dan ketegasan Umar bin Chatab tak
tertandingi! Tapi, yang kita butuhkan juga cuma sebatas kegeniusan lokal (local genius), bukan pula personifikasi, melainkan kearifan lokal lembaga pengelola baitulmal!"

"Sulitnya, local genius dalam arti kearifan lokal seperti itu di negeri kita sedang mengalami krisis, tergerus pengaruh budaya asing!" timpal Amir. "Itu tersurat di uraian Dr. Supra Wimbarti, M.Sc., pada Seminar Local Genius di Sekolah Pascasarjana UGM (www.imdonesia.go.id, [18-12-2008]). Menurut Supra, keraifan lokal lahir dan berkembang dalam waktu yang sudah amat lama, ratusan bahkan ribuan tahun, menjadi bangun budaya bangsa dengan mahakarya seperti Borobudur dan lainnya! Namun, akibat tergerus budaya asing, kini perlu pendekatan baru untuk menumbuhkan kearifan lokal dalam budaya kita, melalui orientasi mindset kearifan lokal dalam kebiasaan masyarakat!"

"Tampak kebutuhan agama dan budaya bertemu dalam satu tuntuan zaman, pengembangan kearifan lokal!" tegas Umar. "Artinya, menggalang kebiasaan masyarakat melunasi zakat nonfitrah dengan membangun baitulmal yang mumpuni sebagai crisis center di setiap masjid guna menciptakan keadilan substantif di kalangan umat, secara kelembagaan juga mengembangkan kearifan lokal yang menjadi keunggulan bersaing umat di era globalisasi!"

"Jelas, dengan bangkitnya baitumal sebagai poros keadilan substantif umat, dengan sendirinya menjadi benteng dari gempuran liberalisasi dunia yang selalu cuma menguntungkan pihak ekonomi kuat--kaum kapitalis!" timpal Amir. "Poros-poros kearifan lokal seperti itu yang dimaksud Naisbitt dalam Megatrend sebagai penentu survival dalam globalisasi! Dilihat dari situ, betapa genius Umar bin Chatab sang pendiri pertama baitulmal!" ***
Selanjutnya.....

Rezim Rahasia Ancam Hukum Mati!

"JIKA RUU Rahasia Negara disahkan di akhir masa bakti DPR 2004--2009 yang tinggal beberapa hari, bangsa Indonesia memasuki era rezim rahasia dengan ancaman hukuman berat, dari paling singkat 7 tahun dan paling lama 20 tahun!" ujar Umar. "Malah Pasal 45 Ayat (3), hukuman 20 tahun atau hukuman mati!" (Kompas, [10-09-09])

"Itu ancaman pada perorangan! Buat perusahaan atau korporasi, tak kalah seru!" sambut Amir. "Pasal 49 Ayat (1) berbunyi, Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana paling sedikit Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Ayat (2), Korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat (1) dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang."

"Kriteria tindakan yang diancam hukuman 7 tahun sampai 20 tahun disebutkan, pada Pasal 45 Ayat (1), Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengetahui

kemudian menyimpan, menerima, dan memberikan, menghilangkan, menggandakan, memodifikasi/mengubah, memiliki/menguasai, memotret, merekam, memalsukan, merusak/manghancurkan, menyalin, mengalihkan/memindahkan atau memasuki (wilayah) atau mengintai (wilayah) benda rahasia negara dengan tingkat kerahasiaan Sangat Rahasia, dipidana...." tutur Umar. "Tampak, selain beratnya ancaman hukuman, juga betapa ruwet jerat hukum buat mengkriminalisasikan rakyat!"

"Masalahnya, di zaman Orde Baru yang otoriter saja tak ada UU seperti itu dengan ancaman hukuman seberat itu pula!" tegas Amir. "Lebih parah lagi, kriteria rahasia yang ditentukan RUU itu luas sekali! Dengan bahasa hukum yang ruwet tadi, peluang jeratnya tinggi sekali!"

"Pokoknya rezim rahasia nanti bisa lebih buruk dari Orde Baru!" timpal Umar. "Lebih-lebih di daerah, tanpa UU seperti itu pun sering informasi publik disembunyikan dengan alasan rahasia negara, peluang mengendus korupsi jadi sulit!"

"Namun, harapan masih ada!" tegas Amir. "Dasar reformasi adalah keterbukaan, rezim rahasia jelas bertentangan dengan dasar reformasi! Untuk itu, parpol-parpol di parlemen--Partai Demokrat, PDIP, PKS, PAN, dan PBB--yang dilahirkan reformasi sebagai buah perjuangan mahasiswa, pasti akan berjuang mempertahankan keterbukaan sebagai dasar reformasi--ibu kandung eksistensialnya!"

"Bisa diyakini, parpol-parpol itu tidak akan jadi pengkhianat terhadap reformasi lewat memasang jerat kriminalisasi dengan ancaman hukuman amat berat pada rakyat konstituennya!" timpal Umar. "Kalau parpol-parpol itu memaksakan, jelas mereka lupa sangkan paraning dumadi--lupa asal usul keberadaannya--tak tahu diri!" ***
Selanjutnya.....

Paradoks Bancakan vs Tanggung Jawab!

"PARA pemimpin kita sering terjebak paradoks antara bancakan--pesta-- dan tanggung jawab!" ujar Umar. "Untuk bancakan, semua pihak terkait menyiapkan biaya masing-masing berjumlah besar, tapi untuk pelaksanaan tanggung jawab, tanpa kecuali menyangkut penderitaan rakyat yang sangat berat, semua pihak saling menunggu!"
"Paradoks itu terlihat pada persiapan bancakan melantik anggota DPR dan DPD, dengan total biaya Rp50,1 miliar--dari KPU Rp11 miliar, Setjen DPR 32,5 miliar, dan Setjen DPD 6,6 miliar!" timpal Amir. "Pada saat bersamaan, tanggung jawab para pemimpin terhadap puluhan ribu jiwa korban bencana gempa yang berserak seantero Jawa Barat dan Jawa Tengah tak dilaksanakan secara memadai, banyak yang tetap telantar, sedang semua tingkat pemerintah saling menunggu salah satu pihak menurunkan bantuan lebih dahulu!"

"Paling menyedihkan, bantuan pemerintah yang tidak diberikan secara all out itu dialami warga Cianjur yang kampungnya tertimpa longsor saat gempa!"
tegas Umar. "Peralatan berat saja tidak diberikan secara mencukupi untuk menggali mayat yang tertimbun, lalu dihentikan sebelum masa tanggap darurat berakhir! Padahal, masih banyak korban belum ditemukan!"

"Paling lucu, ketika para korban yang telantar mengeluh ketiadaan bantuan pemerintah yang mereka terima, dengan enteng pejabat yang bertanggung jawab menyatakan di televisi bahwa pihaknya sudah membuat posko di suatu tempat untuk kawasan pengeluh itu!" sambut Amir. "Terkesan, untuk tanggap darurat bencana semasif gempa 7,3 SR, pejabat merasa tanggung jawabnya selesai setelah membangun sebuah posko!"

"Amat tragis korban lumpur Lapindo di Sidoarjo!" timpal Umar. "Pemerintah mengeluarkan keppres ganti rugi dibayar perusahaan pengebor gas 20 persen di muka, setelah dua tahun sisanya yang 80 persen dilunasi! Batas waktu dua tahun berlalu sisa pembayaran tak dilunasi, pemerintah diam, tidak menuntut perusahaan bersangkutan agar melunasinya! Terkesan, untuk melindungi warga negara dari nasib buruk dalam kasus Lapindo, pemerintah merasa tanggung jawabnya telah selesai dengan mengeluarkan sebuah keppres! Untuk selanjutnya, rakyat korban lumpur yang sengsara berkepanjangan tak dipedulikan lagi, tanpa kecuali para korban rajin beramai-ramai demo ke Surabaya, atau malah ke Jakarta!"

"Demikianlah paradoks yang menjebak kalangan pemimpin kita!" tegas Amir. "Terakhir lagi terkait kerugian para nasabah Bank Century, yang simpanannya tak diprioritaskan pembayarannya, padahal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atas keputusan tim pemerintah dan Bank Indonesia, telah menggelontorkan dana Rp6,7 triliun! Lantas, dana sebanyak itu, buat bancakan siapa?" ***
Selanjutnya.....

Zakat Nonfitrah, Area 'Blue Ocean'!

"DALAM bisnis, suatu kawasan yang belum jenuh dengan persaingan bidang usaha tertentu, disebut blue ocean--kawasan 'empuk' mengembangkan usaha!" ujar Umar. "Dari kondisinya sebagai lahan tidur, usaha mengembangkan zakat nonfitrah di negeri ini tergolong menggarap area blue ocean!"

"Didukung berbagai kegiatan ekonomi syariah (perbankan, asuransi, pasar modal, real estate) yang telah eksis meski di pasar read ocean, lahan persaingan 'berdarah-darah', usaha memobilisasi zakat nonfitrah di area blue ocean jadi cukup menjanjikan!" sambut Amir. "Tentu seperti juga prasyarat pada berbagai kegiatan ekonomi syariah yang berhasil leading itu, suatu manajemen dengan achievment yang profesional diperlukan! Apalagi, usaha menggarap lahan tidur ini relatif belum pernah dicoba secara serius meski rintisan oleh lazda-lazda dan laznas sudah cukup jauh, jika sosialisasi dilakukan profesional, insya Allah 'demam zakat nonfitrah' bisa cepat meluas!"

"Meski tampak banyak advantage bagi usaha menggarap area blue ocean, tak pula sembarang
metode bisa diterapkan!" tegas Umar. "Konon pula suatu area jadi blue ocean bagi suatu produk, karena masyarakatnya belum mengenal produk tersebut, atau belum jadi bagian dari kebiasaan sehari-harinya! Maka itu, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, penggagas Blue Ocean Strategy menekankan penting dicari pendekatan lokal untuk mendorong perubahan life style warga dengan produk yang diintrodusir!"

"Untuk produk zakat nonfitrah, pendekatan lokal mendorong life style itu bisa dilakukan melalui para panutan, yakni kalangan opinion leader dan kelompok dominan di masyarakat, dipadu dalam gugus pelopor pada setiap komunitas masjid!" sambut Amir. "Kata kuncinya pada keberhasilan menggalang gugus pelopor tersebut sebagai pendukung usaha menjadikan zakat nonfitrah sebagai life style masyarakat! Dengan tingkat rasionalitas tinggi gugus pelopor, usaha membuat komunitas masjid sebagai blue ocean zakat nonfitrah tampak peluangnya!"

"Dari semua itu terlihat tugas penting Forum Silaturahmi Takmir Masjid (Forsitam) dalam mewujudkan cita-citanya mendayagunakan zakat nonfitrah untuk mengatasi kemiskinan!" tegas Umar. "Pertama, mengadakan lokakarya buat utusan para takmir yang terpilih sebagai calon pengelola baitulmal masjidnya, dengan tiga materi pokok--pengetahuan tentang zakat nonfitrah, manajemen baitulmal sebagai crisis center, dan teknik menjual produk dari instruktur sales asuransi syariah! Kedua, menindaklanjuti hasil lokakarya dengan panduan pembentukan baitulmal di setiap ketakmiran, lalu bimbingan rutin untuk pengembangan!"

"Mengujudkan impian jadi kenyataan, memang tak mudah!" timpal Amir. "Pada area blue ocean pun, tetap perlu ketekunan dan kesabaran!" n 
Selanjutnya.....

Baitulmal, 'Crisis Center' bagi Umat!

"DALAM gerakan back to mosque--kembali ke masjid--yang belakangan mulai marak dengan menjadikan masjid sebagai crisis center--pusat pemecahan masalah, baitulmal yang dibentuk takmir merupakan sarana penting bagi mengatasi kemiskinan!" ujar Umar. "Gerakan memperkokoh akidah dan syariat itu akan lebih membumi jika mampu mengefektifkan ibadah wajib zakat di kalangan muzaki, hingga lewat baitulmal, zakat bisa diandalkan mengentaskan kemiskinan!"

"Ideal itu, sekalipun masih seperti impian, wajib dicanangkan agar cakrawala pikir terbuka untuk mengatasi kemiskinan yang berkarat di kalangan umat Islam!" sambut Amir. "Rumusan Ilahiah yang menjadikan ibadah zakat (nonfitrah) sebagai sarana keadilan sosial bagi umat, bukah hal yang mustahil. Zaman itu hanya bisa terwujud bila ada usaha untuk mengujudkannya!"

"Untuk itu kita layak angkat salut pada Forum Silaturahmi Takmir Masjid (Forsitam)
Kota Bandar Lampung, meski dengan segala keterbatasannya, telah berusaha menggulirkan usaha menuju ke sana!" tegas Umar. "Alangkah baiknya jika pemerintah kota, yang menyadari beratnya usaha mengentaskan kemiskinan, siap membantu usaha para takmir ini! Kemiskinan harus dikepung dari segala penjuru agar secara simultan berkurang keeratan belitannya! Betapa, buah usaha para takmir itu nanti mengurangi kemiskinan, secara statistik mendukung kinerja pemerintah!"

"Apalagi, baitulmal sebagai crisis center, benteng terakhir umat untuk bebas dari kelaparan saat paceklik, juga berfungsi untuk menanggulangi kondisi darurat jika terjadi bencana sebelum bantuan dari luar--yang sering terlambat--tiba!" timpal Amir. "Ini mengisi kekosongan cadangan darurat milik warga, yang dialami nyaris seantero negeri sehingga setiap terjadi kondisi darurat, semata tergantung bantuan luar yang selain sering terlambat, juga selalu tak memadai!"

"Pokoknya banyak dimensi manfaat baitulmal sebagai crisis center terkait kemiskinan dan kondisi darurat, sebanding aneka jenis zakat nonfitrah sebagai lahan tidur yang belum digarap dalam masyarakat! Belum lagi infak dan sedekah, menurut pengalaman sejumlah lazda di Lampung, potensinya juga cukup besar!" tegas Umar.

"Untuk mewujudkan semua itu, dukungan para tokoh lokal pada ketakmiran masjid setempat untuk membangun baitulmal dengan manajemen yang baik, amat diharapkan!"
"Lebih-lebih dukungan penunaian zakat nonfitrah dari para tokoh lokal itu jika hisab penghasilan per tahunnya telah menempatkannya sebagai muzaki!" sambut Amir. "Dengan zakat nonfitrah itu ibadah wajib, jika sosialisasi dari ketakmiran cukup baik, diyakini akan ada muzaki di setiap masjid, meski sebagai awal sedikit jumlahnya! Tapi tetap harus dimulai, tanpa langkah awal tak ada langkah kedua dan selanjutnya!" ***
Selanjutnya.....

Relevansi Politik Bencana Alam!

"MELIHAT derita korban gempa kok geleng-geleng kepala?" tukas Umar. "Tak lazim! Ada apa?" "Teringat bencana jebolnya waduk Situ Gintung!" jawab Amir. "Ketika itu, parpol beradu cepat buka posko di sekitar lokasi bencana untuk membantu korban! Aneh, di lokasi bencana alam gempa yang jauh lebih luas sekarang, tak terlihat lagi posko-posko parpol seperti di Situ Gintung!"

"Pemilu telah selesai, buat apa lagi parpol-parpol buka posko di lokasi bencana alam?
" timpal Umar. "Bencana Situ Gintung terjadi di ambang pemilu, jadi paling tepat bagi parpol dijadikan ajang unjuk peduli nasib rakyat yang sedang menderita! Unjuk peduli terhadap penderitaan rakyat itu untuk memikat hati pemilih, hingga setelah pemilu usai, hal itu dianggap tak relevan lagi bagi parpol!"

"Jadi, pembukaan posko-posko parpol di bencana Situ Gintung itu bukan buah ketulusan hati untuk menolong korban, tapi lebih sebagai promosi parpol untuk memenangi pemilu?" tukas Amir. "Maka itu, setelah menang pemilu, meski bencana alam yang terjadi jauh lebih luas dan lebih massif, pertolongan serupa yang amat dibutuhkan korban tak mereka anggap penting lagi?"

"Kenyataannya begitu!" sambut Umar. "Dan itu mencerminkan relevansi politik bencana alam!"
"Relevansi politik seperti apa?" potong Amir.
"Relevansi politik di mana terjadinya bencana alam justru dianggap penting bagi parpol guna dijadikan panggung memikat simpati pemilih, agar memberikan suara ke partai yang dikesankan peka terhadap penderitaan rakyat!" jelas Umar. "Jelas tak etis menjadikan bencana sebagai arena promosi meraih kekuasaan! Tetapi, belang itu mencolok ketika sesusai pemilu gerakan peduli penderitaan rakyat tak dilakukan lagi saat terjadi bencana alam yang justru lebih luas dan massif!"

"Kalau begitu bukan lagi sekadar pragmatis dalam usaha memenangi pemilu, malah menghalalkan segala cara!" tegas Amir. "Tak sukar dibayangkan, dioreintasikan ke mana kekuasaan yang diperoleh dengan cara seperti itu! Ketika kemalangan bencana pun diorentasikan pada kepentingan kekuasaan, menjadi relevansi politik jika segala langkah parpol semata berorientasi kekuasaan!"

"Orientasi mutlak pada kekuasaan itu terlihat jelas pada bencana alam gempa bumi yang luas itu, kebetulan terjadi saat parpol-parpol sibuk bagi-bagi kekuasaan hasil pemilu!" tegas Umar. "Gema kesibukan bagi-bagi kekuasaan, wacana susunan kabinet dan distribusi kekuasaan, terdengar lebih nyaring dari rintihan korban bencana gempa!"

"Relevansi politik seperti itu membuat orang jadi berpikir, kalau bisa diorder, bencana alam sebaiknya terjadi menjelang pemilu!" tegas Amir. "Dengan begitu, parpol-perpol bisa menjadikan bencana tersebut sebagai ajang kampanye terselubung di atas penderitaan korban dan mayat-mayat yang bergelimpangan!" n
Selanjutnya.....

Semua Takmir Bentuk Baitulmal!

"APA hasil seminar pengelolaan zakat produktif di Fakultas Dakwah IAIN Lampung?" tanya Umar.
"Hasilnya, agar semua takmir membuat baitulmal bersifat permanen di masjidnya, meningkatkan amil zakat yang selama ini bersifat sementara selama Ramadan dan Idulfitri, lembaganya jadi aktif mengembangkan dan mengelola zakat nonfitrah sepanjang tahun!" jawab Amir. "Baitulmal itu secara rutin menggalang zakat mal, zakat profesi, serta zakat penghasilan lain dari warga atau jemaah masjidnya yang mampu sebagai muzaki. Lalu mengelola hasilnya dengan fokus untuk mengentaskan kemiskinan di antara warga jemaahnya yang miskin--para mustahik!"

"Bagaimana kesimpulan itu bisa dicapai seminar forum silaturahmi takmir masjid (Forsitam) dan Lazdai serta Lampung Peduli?" kejar Umar.
"Justru berkat uraian seorang pendiri Lazda di Lampung sebagai narasumber!" tegas Amir. "Kata dia, Lazda-Lazda maupun Laznas yang sudah ada bagaikan membuka hutan membuat jalan rintisan penggalangan zakat nonfirtah! Jalannya semakin mulus, tapi lahan tidur di kiri-kanan jalan rintis itu tak digarap! Lahan tidur calon muzaki nonfitrah inilah yang harus digarap baitulmal di lingkungan masjidnya! Lazda-Lazda membantu sosialisasi jenis zakat yang bisa digarap, agar hasilnya optimal!"

"Kalau semua baitulmal masjid menggarap zakat nonfitrah dari jemaah untuk jemaah
begitu, insya Allah, zakat bisa diandalkan mengentaskan kemiskinan!" sambut Umar. "Cuma, apa cukup tenaga amil untuk baitulmal setiap masjid agar bisa mengelola program produktif-inovatif?"
"Dengan pola konvensional seperdelapan atau 12,5 persen hasilnya untuk biaya operasional amil--termasuk honorarium tiga orang pengelola baitulmal--ini menjadi lapangan kerja baru yang menarik! Orang siap belajar dan bekerja keras untuk itu," jawab Amir. "Malah di perumahan kaya bisa muncul amil berdasi, seperti sales asuransi!"

"Sama-sama pengeluaran bulanan manfaat atau hasilnya akan diterima setelah meninggal, di asuransi nasabah tak tahu uangnya digunakan untuk apa, sedang zakat jelas untuk menolong warga miskin dekat rumahnya!" timpal Umar. "Tampak, zakat bisa lebih menarik!"

"Amil baitulmal selain menyosialisasikan hitungan harta kena zakat, juga menyampaikan standar gaji atau penghasilan yang wajib dizakati, sekitar Rp25 juta per tahun atau Rp2,1 juta per bulan, kena zakat Rp62.500 per bulan! Pada tingkat itu, diyakini akan banyak muzaki baru yang setiap bulan ke baitul mal agar harta dan penghasilan yang dinikmatinya bersih!" tegas Amir. "Zakat itu sifatnya wajib setara salat dan puasa, hingga bisa diibaratkan salat itu baju, puasa dasi, dan zakat celana! Jadi, orang yang salat dan puasa tapi tak melunasi zakat harta atau penghasilannya, sama dengan orang pakai baju dan dasi tapi lupa pakai celana!" ***
Selanjutnya.....

Tradisi Kritik Belum Terbentuk! (2)

"SISI lemah sebagai kendala utama terbentuknya tradisi kritik justru pada penyampaian kritik!" ujar Umar. "Kritik disampaikan lebih menonjolkan emosionalitas ketimbang rasionalitas, menuding tanpa argumentasi memadai ketimbang mengurai masalah secara jernih untuk menunjukkan kelemahan atau kesalahan objek yang dikritik! Lalu, diboboti pemaksaan kehendak sepihak ketimbang membuka ruang untuk diskusi mencari alternatif solusi secara bersama-sama!"

"Hal itu mudah dipahami karena sepanjang Orde Baru rakyat dibungkam, tak kenal kritik!" sambut Amir. "Sedang reformasi itu sendiri, secara nyata merupakan paduan pekik perjuangan mahasiswa dengan amuk massa (kerusuhan Mei '98) yang tersimpul sebagai people power meruntuhkan Orde Baru! Kritik emosional lewat unjuk rasa itu merupakan metamorfosis dari amuk massa yang diformat dalam kerangka--seolah-olah--sebagai pelaksanaan demokrasi perwakilan!"

"Pseudomatika--keseolah-olahan--demokrasi perwakilan itu terkesan kuat, dengan
lembaga-lembaga representatif hasil pilihan rakyat yang menjadi tumpuan demonstran!" tegas Umar. "Namun hakikat dari perwakilan atau malah kerakyatan itu sirna saat para pemimpin hasil pilihan yang menampung aspirasi rakyat itu mengambil keputusan lebih berorientasi pada kepentingan kelompok elitenya! Perbandingan anggaran publik yang selalu lebih kecil dari anggaran rutin atau biaya operasional lingkungan kerja elite, membuktikan hal itu!"

"Celakanya, terkait dengan usaha mendahulukan kepentingan kelompoknya itu, kalangan elite tak segan mengenyampingkan usul dan kritik massa yang ditampungnya!" timpal Amir. "Untuk itu, elite berwajah ganda! Di depan massa mereka sok pahlawan memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi dalam praktek selalu lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompok elitenya semata!"

"Semua sisi lemah massa dalam penyampaian kritiknya dimanipulasi elite seolah-olah proses demokrasi perwakilan telah berjalan dengan baik, justru untuk mengelak dari kritik kelompok kritis seperti dari kubu intelektual, pers, dan LSM!" tutur Umar. "Alhasil, elite dan kelompok penguasa yang pada dasarnya masih antikritik, menjadikan kritik emosional dari massa yang seolah-olah telah diakomodasi itu sebagai alasan mengelak untuk committed pada kritik yang sebenarnya--dari kubu intelektual, pers, dan LSM!"

"Dengan demikian, suatu tradisi kritik yang efektif masih perlu waktu lagi untuk bisa terbangun secara ideal!" tegas Amir. "Kondisi ideal tradisi kritik itu baru terbangun kelak setelah pendidikan mampu mencetak massa kritis dalam jumlah besar sehingga bobot kritik massa lebih rasional ketimbang emosional, mampu menekan perilaku elite yang selalu mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya semata!" ***
Selanjutnya.....

Tradisi Kritik Belum Terbangun!

"SATU dekade reformasi, dasar kultural bagi masyarakatnya yang kritis, tradisi kritik, belum terbangun!" ujar Umar. "Presiden SBY sebenarnya amat menyadari pentingnya tradisi itu, sehingga membuka jalur hotline di 9949 dan PO Box 9949 Jakarta 10000, tapi hasilnya belum optimal! Nasib Arif Rohmana, guru Pandegelang, yang sempat 18 jam ditahan polisi akibat mengirim SMS ke telepon Ibu Negara, salah satu petunjuknya!"

"Staf ahli presiden, Heru Lelono, menyatakan di televisi, semua keluhan atau laporan yang masuk hotline presiden diproses! Malah ada yang dibawa ke sidang kabinet! Namun, sebagian diteruskan ke instansi yang terkait untuk ditangani!" sambut Amir. "Pada kasus Arif, bisa saja SMS diteruskan ke PLN atau PLTU Labuan, tapi mungkin, di alamat terakhir ini diperam sehingga Arif frustrasi!"

"Maka itu, untuk membangun tradisi kritik hingga melembaga, pengelolaan hotline presiden perlu dibenahi dengan mekanisme kontrol terhadap proses di instansi teknis yang menerima terusan hotline presiden!" tegas Umar.
"Seiring itu, dibuat standar pelayanan keluhan, laporan dan kritik dari warga di kantor pemerintahan dan DPRD, agar tak lagi terjadi ratusan warga yang menyampikan keluhan menginap berhari hari di DPRD, tak satu pun wakil rakyat melayaninya!"

"Standar penyampaian dan pelayanan kritik itu perlu dibangun sebagai tradisi kritik dalan masyarakat reformis yang terus bertambah kritis oleh semangat keterbukaan era reformasi, justru sebagai kemajuan peradaban!" timpal Amir. "Amat pentingnya tradisi itu, menjaga agar saluran kritik tidak tersumbat, sesuai pengalaman bangsa, jika saluran kritik tersumbat berkepanjangan seperti era Orde Baru, bisa meledak jadi amuk massa yang simultan pada kerusuhan Mei 1998!"

"Amuk massa yang mudah tersulut awal reformasi itu, didorong kemajuan IT dan media massa telah berubah menjadi pola kritis di jalan damai, berupa unjuk rasa dan SMS yang jauh lebih beradab!" tegas Umar. "Sebaliknya di pihak penguasa yang cenderung justru makin tertutup! Kecenderungan itu bahkan terjadi sistemik, dengan keluarnya UU ITE, RUU Rahasia Negara, reviai UU Antiterorisme, tegangan yang lebih tinggi dari era Orde Baru!"

"Pergeseran dari gejala amuk massa ke unjuk rasa dan SMS itu tak lepas dari iklim demokratis yang tercipta oleh UU Keterbukaan Informasi Publik, melengkapi serangkai UU yang mengaktualkan semangat reformasi!" sambut Amir. "Inkonsistensi legislasi yang cenderung bergeser dari haluan reformasi itu layak dipertanyakan--mau dibawa ke mana reformasi? Gejala memutar balik arah reformasi ini hanya bisa dicegah dengan tradisi kritik, sarana aktualisasi sikap dasar rakyat yang telah melahirkan reformasi--dan melembaga jadi kebiasaan hidup--mengawal arah reformasi itu sendiri!" ***
Selanjutnya.....

Pengadilan Tipikor, Potret Lucu DPR!

"MK--Mahkamah Konstitusi--memberi waktu tiga tahun sejak 19 Desember 2006 untuk mengganti pengadilan ad hoc tipikor--tindak pidana korupsi--yang keberadaannya ditetapkan pada satu pasal UU KPK, dengan Pengadilan Tipikor yang berdiri dengan UU sendiri!" ujar Umar. "Namun, hingga masa bakti DPR akan berakhir 30 September 2009, rapat Pansus (Panitia Khusus) dan Panja (Panitia Kerja) tak pernah kuorum! Sementara anggota DPR yang serius berusaha menyelesaikan RUU itu menempatkan pengadilan tipikor sebagai bagian atau dalam pengadilan negeri!"

"Pantas Ketua MK Machfud M.D. sampai menggelar konferensi pers untuk menegaskan, pengadilan tipikor bukan subordinat dari pengadilan negeri!" sambut Umar. "Menurut Machfud, maksud MK agar tak ada dualisme--pengadilan khusus tipikor di pengadilan umum--format pengadilan tipikor ke depan adalah satu kamar tersendiri dalam lingkungan peradilan umum! (Kompas, [2-9]) Jadi, bukan disatukan dan di bawah (subordinat) pengadilan negeri!"

"Proses legislasi RUU Pengadilan Tipikor tampak jadi potret lucu DPR!" tukas Umar.
"Sudah pun pembahasannya di berbagai tingkat DPR tak pernah kuorum, ada yang serius penafsirannya menyimpang dari amar MK! Jangan-jangan proses sedemikian itu disengaja untuk memperlemah posisi dan keandalan pengadilan tipikor!"

"Usaha memperlemah apalagi menggagalkan RUU yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi sebagai amanat reformasi, jelas suatu tindakan yang tak terpuji!" timpal Umar. "Konon pula, Presiden SBY telah berjanji dalam kampanye untuk masa jabatannya yang kedua, kalau DPR gagal menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor, presiden akan mengeluarkan PP pengganti UU untuk pengadilan tipikor tersebut!"

"Tapi kalau PP pengganti UU, isinya bisa sepihak sesuai kepentingan pemerintah saja!" tegas Umar. "Akan lebih baik kalau UU itu produk bersama DPR dan pemerintah!"

"Kalau terpaksa, apa boleh buat!" timpal Amir. "Kalau PP tersebut ada kekurangan, atau juga menyimpang dari amar MK, masih bisa diuji-materialkan ke MK! Diyakini, akhirnya akan sesuai hyga dengan yang diinginkan MK!"

"Meski di balik kebuntuan ada jalan keluar yang masih bisa diharapkan, tetap layak dipertanyakan kenapa DPR bersikap demikian dalam menangani RUU Tipikor?" ujar Umar.

"Apa mungkin mereka alergi terhadap segala bentuk aturan yang bisa menindak korupsi, akibat selama ini cukup banyak sejawat mereka di DPR terjerat kasus korupsi?"

"Bisa jadi!" sambut Amir. "Apalagi sebagian dari mereka masih akan duduk kembali di DPR, nanti bisa konyol kalau sampai terjerat oleh UU yang dibuatnya sendiri! Takut senjata makan tuan!"
Selanjutnya.....

Nasib Seorang Guru yang Frustrasi!

"ARIF Rohmana, guru SMP 2 Cimanuk, Pandeglang, Banten, sempat ditahan 18 jam oleh Polda, akibat SMS-nya ke Ibu Negara bernada mengancam!" ujar Umar. "Pasalnya, ganti rugi dari PLTU Labuhan atas saluran udara tegangan ekstratinggi (SUTET) yang melintasi rumahnya tak memadai!"
"Soal begitu sampai ke Ibu Negara?" sela Amir.

"Awalnya si dia SMS ke pejabat PLTU! Berulang SMS tak dapat tanggapan! Lalu ke bupati, ke gubernur! Semua, tak dapat tanggapan!" jelas Umar. "Lalu Agustus tahun lalu, ia dapat nomor Ibu Negara dari temannya yang pernah ikut pengajian. Saat itu Ibu Negara memberi nomor hape-nya kepada jemaah, kalau ada masalah supaya SMS ke nomor itu! Ia pun SMS ke nomor itu! Ternyata tak dapat tanggapan. Dia ulang-ulang, tetap tak ditanggapi!
Akhirnya ia frustrasi, tak tahum engadu ke mana lagi, ia kirim SMS bernada mengancam itu!"
"Bagaimana bunyi ancamannya?" potong Amir.

"Menurut Koran Tempo (1-9), bunyinya, 'Terompet sumber malapetaka masyarakat Labuan telah kau bunyikan, mulai sekarang kaulah target kami selanjutnya!" tutur Umar. "SMS itu ia kirim tahun lalu, tapi baru sekarang direspons! Ia dibebaskan setelah meminta maaf pada keluarga Presiden!"

"Pasti berkat maaf keluarga Presiden, motifnya juga cuma frustrasi, ia dibebaskan Polda. Tanpa itu, mengancam keluarga Presiden adalah kasus sangat serius!" timpal Amir. "Kita angkat salut pada keluarga Presiden yang cepat memaafkan, sehingga sang guru bisa kembali keluarganya! Kasus ini pelajaran bagi kita, agar tak sembarang mengirim SMS ke presiden dan keluarga!"

"Tapi Presiden kan membuka jalur hotline bagi warga, siapa pun, dipersilakan menyampaikan keluhannya melalui SMS ke nomor 9949 dan surat ke Kotak Pos 9949, Jakarta 10000!" entak Umar. "Guru itu mengirim SMS juga lewat nomor yang diberikan Ibu Negara sendiri di pengajian!"
"Memang!" sambut Amir. "Karena itulah keluarga Presiden juga cepat memaafkan!"

"Maksudku, kenapa kalau Presiden membuka jalur hotline dan Ibu Negara memberikan nomor untuk menyampaikan keluhan, SMS warga berulang-ulang tak ditanggapi sehingga frustrasi?" tegas Umar. "Pangkal masalahnya di situ! Bahwa Presiden dan Ibu Negara sibuk, semua maklum! Karena sibuk, tak sempat menanggapi keluhan rakyat dari seantero Tanah Air, sebaiknya jangan buka hotline! Akibatnya, ketika keluhan yang disampaikan berulang-ulang tak ditanggapi, bisa membuat rakyat jadi frustrasi--seperti sang guru!"

"Dari nasib buruk guru itu, bukan Presiden yang harus menutup hotline-nya!" ujar Amir. "Tapi rakyat yang harus menarik pelajaran! Hotline itu untuk masalah-masalah sangat penting, bukan hal-hal tetek-bengek begitu! Seperti kasus SUTET, bukan ke presiden, tapi gugatan ke pengadilan! Putusan pengadilan justru lebih mengikat PLTU!" ***
Selanjutnya.....