SEORANG anak ikut Lebaran ke rumah bos, di jalan "kecantol" kuda lumping ngamen. "Kenapa mata para pemain mencicil, tak kedip-kedip!" ia tanya ayahnya.
"Mereka kerasukan roh halus!" jawab ayah.
"Roh halus itu apa?" kejar anak.
"Roh halus itu sejenis hantu!" jelas ayah. "Maka itu, kita harus cepat pergi menjauh, agar tak ikut kerasukan!"
Si anak jadi takut dan menarik ayahnya beranjak. Di rumah bos, ia tertarik pada akuarium besar yang banyak ikan hiasnya, bermain di gelembung air, dibuai cahaya lampu warna-warni.
Tak lama memperhatikan ikan di akuarium, anak itu kembali menarik tangan ayahnya. "Ayo cepat pergi dari sini!" ajaknya. "Ikan-ikan di akuarium juga kerasukan!"
"Bagaimana kau tahu ikan kesurupan?" sela bos.
"Mata semua ikan mencicil terus, tak kedip-kedip!" jawab si anak. "Nanti hantunya merasuki kita!"
"Masak iya?" sambut bos bergegas ke akuarium. Setelah memperhatikan bos baru sadar, ternyata mata ikan tak berkedip. Tapi ia dapat solusi agar si anak tak ketakutan lagi. "Betul! Ikan-ikan ini kesurupan! Tapi jangan takut, yang merasuki hantu air, tak bisa keluar dari air! Seperti hantu laut, cuma bisa merasuki orang di laut!"
"Tapi anakmu benar, sekarang musim kerasukan!" tegas bos. "Di banyak sekolah lanjutan, bukan cuma di Panjang atau Sumatera, di Jawa, Sulawesi, dan pulau lain, setiap kerasukan bisa puluhan murid bersamaan!"
"Kami tadi nonton kuda lumping!" timpal ayah. "Mata para pemain yang kesurupan mencicil terus seperti ikan!"
"Kuda lumping kerasukannya dikendalikan pawang, yang selalu bisa mengatasi!" ujar bos. "Yang tidak terkendali justru kerasukan hantu isme-isme modern, individualisme, konsumtivisme, pragmatisme, dan lain-lain! Individualisme, misalnya, menyalahi kodrat manusia sebagai makhluk sosial! Itu bukan watak asli orangnya, melainkan determinasi suatu kekuatan tak terlihat yang telah merasukinya!"
"Individualisme bahkan melampaui kapasitas persona dirinya sebagai pribadi! Ia ringkus kapasitasnya selaku pejabat publik lewat menomorsekiankan kewajibannya (kontrak sosial) harus mendahulukan atau menomor-satukan kepentingan publik, dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata!" timpal ayah. "Tugas dan kewajibannya kepada rakyat dan negara belum ada apa-apanya, advanced salary (gaji di muka) yang menjadi pilihan pertama diurusnya! Lalu dirasuki konsumtivisme, menggadaikan gajinya ke bank beberapa tahun ke depan untuk pola hidup barunya!"
"Soal begitu sudah dianggap hal biasa, sudah menjadi kebiasaan atau konvensi perilaku elite politik!" tegas bos. "Artinya, kesurupan isme-isme di luar fitrahnya sebagai makhluk sosial itu sudah menjadi hal wajar, seperti juga dianggap wajar pemain kuda lumping makan beling! Meski beling bukan makanan manusia!" ***
0 komentar:
Posting Komentar