Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

'Gemformasi', Arus Balik Reformasi !

"KATA peribahasa tua China, di ujung pendakian selalu terdapat jalan menurun!" ujar Umar. "Hal itu ternyata juga dialami reformasi, sehingga Presiden SBY dalam pidato Agustusan menyatakan perlunya reformasi babak dua!"

"Reformasi babak dua amaran presiden itu perlu disambut dan dijabarkan secara lebih jernih, agar kesinambungan perjalanan reformasi konsisten!" sambut Amir. "Karena, akibat perjalanan terus mendaki, saat di ujung pendakian reformasi gempor! Dengan gempornya reformasi, pada jalanan menurun ke depan banyak orang justru menyiapkan gemformasi, yakni jalan melingkar berupa arus balik kembali ke prareformasi!"

"Arus balik seperti apa?" potong Umar.
"Serangkaian riaknya terlihat,
dimulai dari UU ITE yang bila berlaku 2010 nanti, mengeluh saja pun rakyat bisa dipenjara! Silang pendapat hukum dalam kasus Prita Mulyasari sebatas apakah kini UU ITE itu sudah berlaku atau belum!" jawab Amir.

"Kedua, RUU Rahasia Negara, dengan kriteria 'rahasia negara' yang sangat luas hingga akan mudah mengkriminalkan rakyat dan pers! (Kompas, [31-8]) Saking luasnya kriteria, ketika warga menerima surat, e-mail, maupun men-download materi yang tak diketahuinya itu tergolong rahasia negara, bisa dipenjara ketika terbukti memiliki atau menyimpannya! Ketiga, kemarin disampaikan ke DPR usulan amendemen UU Antiterorisme yang memperluas operasional pengamanannya, dengan melibatkan rakyat dan TNI. Ketiga UU itu setelah diberlakukan nanti jika dipadu bisa lebih luas dari UU Antisubversif pada masa Orde Baru, juga lebih ketat dari ISA--Internal Security Act--di Malaysia!"

"Berarti, jalan menurun gemformasi yang bakal lancar arus baliknya ke era prareformasi itu segera sampai ke Orde Terbaru!" timpal Umar.
"Era Orde Terbaru itu baru sempurna nanti setelah gerakan elite yang marak belakangan ini selesai mengamendemen UU Pemerintahan Daerah, dengan mengembalikan pilkada pada pilihan DPRD, bukan lewat pemilihan langsung oleh rakyat lagi!" tegas Amir. "Saat itu terwujud nanti, semua hak rakyat yang dinikmati sebagai buah reformasi, mulai hak rakyat untuk tahu (people rights to know) yang terkenal dengan glassnost atau keterbukaan informasi, serta hak kedaulatan rakyat untuk memilih langsung pemimpin daerah, habislah sudah! Rakyat benar-benar gempor, tak punya lagi hak-hak yang dibanggakannya selama reformasi, sebaliknya malah terjepit oleh berbagai UU yang mengeluh saja bisa dipenjara, tertekan dalam ancaman hukuman berat dari UU Rahasia Negara dan UU Antiterorisme!"

"Dari semua itu terlihat betapa urgen canangan Presiden SBY untuk segera menyusun langkah reformasi babak dua!" timpal Umar. "Jangan tunggu rakyat gempor fatal hingga arus gemformasi tak bisa dibendung lagi!"
Selanjutnya.....

'Posmo', Era Kelas Profesional!

"DI Lampung, belakangan ini kalangan perguruan tinggi ramai-tamai buka program pascasarjana!" ujar Umar. "Apakah gejala itu sesuai kebutuhan realistis masyarakat atau sekadar gagah-gagahan berburu gelar pascasarjana itu untuk dijadikan gelar bangsawan baru, lambang status sosial?"

"Kedua latar itu bisa jadi sama betulnya!" jawab Amir. "Era postmodern (posmo) dewasa ini butuh barisan kelas profesional baru dengan spesialis di segala bidang sebagai pemandu masyarakat mengantisipasi kemajuan zaman yang pesat! Pembentukan kelas profesional spesialis itu lebih efektif lewat program pascasarjana! Di sisi lain juga tak bisa diingkari, gejala gelar pascasarjana cenderung dijadikan sekadar lambang status sosial, atau semacam gelar bangsawan baru!"

"Lantas, bagaimana cara mengurangi bias gelar pascasarjana hanya untuk lambang status sosial?" kejar Umar.
"Bias itu sebagian pada motivasi personal peserta program!" tegas Amir. "Program
pendidikan yang dijalankan secara baik, bisa mengubah orientasi personal ke arah yang sesuai idealnya! Itu berkat era posmo berorientasi minimalisme, dilengkapi sistem yang ketat menerapkan disiplin ilmu!"

"Bagaimana kaitan era posmo, minimalisme, dan ketatnya disiplin ilmu pengetahuan?" tanya Umar.
"Perubahan dari era modern ke posmo ditandai kian menjauhnya ilmu pengetahuan dari metafisika dan metanarasi (filsafat), dengan semakin mendekat ke pragmatisme dalam arti lebih menjurus ke sifat yang lebih aplikatif!" jelas Amir.

"Sifat aplikatif mendorong setiap cabang ilmu menumbuhkan banyak ranting yang kian terkait dengan kebutuhan manusia dan cara pemenuhannya! Ranting-ranting baru ilmu itu bersaing dalam ketajaman fokus dan keketatan limitasi (pembatasan) disiplin ilmu, obyek studinya menjadi sempit dan kecil, sehingga digelari minimalisme! Dari ketatnya limitasi ilmu era ini, setiap karya ilmiah menjadi seperti sidik jari, selalu ada bedanya! Jika ada yang sama, salah satu layak dicurigai plagiat!" "Tapi apa semua program pascasarjana menapak dengan disiplin ilmu yang ketat itu?" kejar Umar.

"Output-nya nanti yang akan membuktikan!" tegas Amir. "Program yang dikelola dengan benar dan penuh disiplin ilmu, Output-nya akan sejalan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyusun barisan profesional spesialis sesuai tuntutan era posmo sebagai era profesional! Sedang yang gagal menerapkan disiplin ilmu secara ketat, Output-nya akan berada di luar barisan itu, mengelus gelarnya sebagai lambang status sosial! Sejarah nanti yang membuktikan!"

"Tapi, dunia pendidikan juga pasar, orang bebas memilih sesuai motivasinya!" sela Umar.
"Persaingan global era posmo menuntut kualitas prima!" tegas Amir. "Kalau barisan profesionalnya kalah bersaing, apalagi bodong, kita cuma menjadi bangsa odong-odong!"
Selanjutnya.....

Perilaku Hewani Polisi Malaysia!

"KENAPA televisinya dimatikan?" tanya Umar. "Tak tega melihat warga
Indonesia--TKI--disiksa polisi Malaysia, ditinju, diterjangi sekeras-kerasnya, setelah terkapar tak berkutik diinjak dan disepaki lagi! Rekaman 'prosesi' penyiksaan itu ditayang ulang berhari-hari oleh televisi nasional kita!"

"Semula saya iba pada yang disiksa! Aneh, lama-kelamaan menyaksikan tayangan itu hatiku justru tersayat melihat polisi Malaysia yang menyiksa, perilakunya tak terlihat lagi selayaknya manusia, telah berubah buas seperti binatang!" jawab Amir.

"Jika rekaman itu asli, jelas kita prihatin karena saudara serumpun kita telah
berubah sifatnya, lebih menonjolkan perilaku hewani!"
"Mungkin saudara serumpun kita itu ingin membuktikan kebenaran filsafat Nietzche, naluri manusia itu jembatan antara yang insani dan hewani!" tegas Umar. "Jadi perlu dibahas, kenapa watak saudara serumpun kita bergeser semakin mengaktualkan naluri hewaninya?"

"Ada dua faktor pendorong ayunan pendulum naluri ke dua sisinya, yang insani dan hewani!" jawab Amir. "Pertama bersifat personal, intinya lepas kontrol atau lupa diri. Ini bisa akibat mabuk, baik mabuk obat terlarang atau alkohol, maupun mabuk atau lupa diri karena sukses! Sebaliknya, juga bisa akibat tekanan beban hidup yang berat, lazim disebut stres! Sedang faktor kedua, bersifat sistemik dalam masyarakatnya, seperti kaum Nazi, atau sistem totaliter lainnya!"

"Huahaha..!" Umar terbahak. "Untuk saudara serumpun kita di Malaysia itu, kayaknya terdorong kedua faktor--personal dan sistemik--sekaligus! Secara personal mabuk sukses ekonomi, jadi sombong dengan memandang rendah sesama manusia yang melarat--warga Indonesia yang merantau ke negerinya mencari sesuap nasi!
Secara sistemik, karena negerinya menerapkan Internal Security Act--ISA--di mana polisi dan aparat penguasa lainnya bebas menangkap dan menahan siapa saja yang dicurigai tanpa batasan-batasan hukum yang mengacu hak-hak asasi manusia! Dengan begitu bisa ditebak, kenapa bandul nalurinya sering mudah mengayun ke sisi yang hewani--karena telah terjadi sinergi antara faktor personal dengan faktor sistemik!"

"Kalau sudah begitu, justru kita yang harus bisa memosisikan diri secara lebih tepat dalam segala bentuk hubungan dengan saudara serumpun itu!" tegas Amir. "Karena, watak yang terbentuk oleh sinergi faktor personal dan sistemik itu tak mudah diubah!
Jadi, kitalah yang wajib menyumblimkan diri dengan berusaha sekuat daya untuk menjaga diri agar bisa bertahan pada naluri insani yang mulia, selalu sadar dalam kewarasan! Kalau kita ikut berperilaku kekerasan, seperti semangat konfrontatif yang dikobarkan, derajat kita justru jatuh--ikut melampiaskan naluri hewani seperti mereka! Itu bukan watak dan sifat dasar kita!" n 
Selanjutnya.....

Perilaku Hewani Polisi Malaysia!

"KENAPA televisinya dimatikan?" tanya Umar. "Tak tega melihat warga
Indonesia--TKI--disiksa polisi Malaysia, ditinju, diterjangi sekeras-kerasnya, setelah terkapar tak berkutik diinjak dan disepaki lagi! Rekaman 'prosesi' penyiksaan itu ditayang ulang berhari-hari oleh televisi nasional kita!"

"Semula saya iba pada yang disiksa! Aneh, lama-kelamaan menyaksikan tayangan itu hatiku justru tersayat melihat polisi Malaysia yang menyiksa, perilakunya tak terlihat lagi selayaknya manusia, telah berubah buas seperti binatang!" jawab Amir.

"Jika rekaman itu asli, jelas kita prihatin karena saudara serumpun kita telah berubah sifatnya, lebih menonjolkan perilaku hewani!"

"Mungkin saudara serumpun kita itu ingin membuktikan kebenaran filsafat Nietzche, naluri manusia
itu jembatan antara yang insani dan hewani!" tegas Umar. "Jadi perlu dibahas, kenapa watak saudara serumpun kita bergeser semakin mengaktualkan naluri hewaninya?"

"Ada dua faktor pendorong ayunan pendulum naluri ke dua sisinya, yang insani dan hewani!" jawab Amir. "Pertama bersifat personal, intinya lepas kontrol atau lupa
diri. Ini bisa akibat mabuk, baik mabuk obat terlarang atau alkohol, maupun mabuk atau lupa diri karena sukses! Sebaliknya, juga bisa akibat tekanan beban hidup yang berat, lazim disebut stres! Sedang faktor kedua, bersifat sistemik dalam masyarakatnya, seperti kaum Nazi, atau sistem totaliter lainnya!"

"Huahaha..!" Umar terbahak. "Untuk saudara serumpun kita di Malaysia itu,kayaknya terdorong kedua faktor--personal dan sistemik--sekaligus! Secara personal mabuk sukses ekonomi, jadi sombong dengan memandang rendah sesama manusia yang melarat--warga Indonesia yang merantau ke negerinya mencari sesuap nasi!
Secara sistemik, karena negerinya menerapkan Internal Security Act--ISA--di mana polisi dan aparat penguasa lainnya bebas menangkap dan menahan siapa saja yang dicurigai tanpa batasan-batasan hukum yang mengacu hak-hak asasi manusia! Dengan begitu bisa ditebak, kenapa bandul nalurinya sering mudah mengayun ke sisi yang hewani--karena telah terjadi sinergi antara faktor personal dengan faktor sistemik!"

"Kalau sudah begitu, justru kita yang harus bisa memosisikan diri secara lebih tepat dalam segala bentuk hubungan dengan saudara serumpun itu!" tegas Amir. "Karena, watak yang terbentuk oleh sinergi faktor personal dan sistemik itu tak mudah diubah!
Jadi, kitalah yang wajib menyumblimkan diri dengan berusaha sekuat daya untuk menjaga diri agar bisa bertahan pada naluri insani yang mulia, selalu sadar dalam kewarasan! Kalau kita ikut berperilaku kekerasan, seperti semangat konfrontatif yang dikobarkan, derajat kita justru jatuh--ikut melampiaskan naluri hewani seperti mereka! Itu bukan watak dan sifat dasar kita!"
Selanjutnya.....

Habis Koalisi Sepah Dibuang!

"HABIS manis sepah dibuang, itu makan tebu!" ujar Umar. "Kalau habis koalisi sepah dibuang?"

"Itu nasib partai-partai koalisi pendukung SBY-Boediono dalam pilpres lalu!" sambut Amir. "Hal itu disebutkan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Persatuan Pembangunan--PPP--Lukman Hakiem. Dia dan Sekjen PAN Zulkifli Hasan, serta Wasekjen PKS Fahri Hamzah, menyesalkan permainan politik Partai Demokrat--PD--yang secara diam-diam menekan anggota koalisi dengan bermanuver mendekati PDIP!" (Kompas, [28-8])

"Bagaimana cara menekannya?" kejar Umar.
"Kesimpulan mereka begitu berdasar pernyataan Wakil Ketua Umum PD, Achmad Mubarok,
langkah PD mendekati PDIP merupakan manuver politik untuk menekan partai-partai yang tergabung dalam koalisi agar tak menuntut macam-macam!" jelas Amir. "Menurut Lukman, pernyataan itu tidak etis, tak pantas diucapkan! Selain tak menghargai anggota koalisi, juga merupakan cara-cara berpolitik tidak transparan atau main belakang!"

"Kasihan mereka, merasa seperti sepah, dibuang setelah pasangan yang didukung memenangkan pilpres!" timpal Umar. "Anehnya, kalau partai-partai yang berjuang sejak awal memenangkan pilpres saja ditekan sedemikian rupa, elite Partai Golkar malah banyak yang ngotot untuk gabung dalam koalisi penguasa! Elite partai itu begitu cepat lupa, Partai Golkar juga pernah diremehkan oleh tokoh partai yang sama!"

"Justru melihat gelagat Golkar juga mau gabung ke koalisi penguasa, Fahri Hamzah menyatakan meski PKS ada dalam koalisi pemerintahan, karena kepentingan terjauh PKS menguatkan demokrasi dalam negara, PKS sangat berkepentingan adanya oposisi yang juga kuat!" tegas Amir. "Kata Fahri, tidak ada demokrasi tanpa ada oposisi yang kuat!"

"Pernyataan Fahri itu bisa jadi isyarat, PKS akan bermain politik seperti periode lima tahun terakhir, kaki kanan di parlemen, kaki kiri dalam pemerintahan!" sambut Umar. "Dengan model itu, untuk menjadi oposisi yang kuat susah juga. Saat ada masalah krusial, tarikan kepentingan bagian tubuhnya yang ada dalam pemerintahan akan meredam pressure-nya dari parlemen! Lain hal kalau order PKS saat masuk koalisi, enam kursi menteri, dikesampingkan--tak punya menteri di kabinet juga enggak pathe-an!"

"Menolak jatah kursi menteri terlalu emosional!" tegas Amir. "Paling mungkin, pilihannya seperti periode lalu! Ada di kabinet, tapi tetap kritis di parlemen, meski kritisnya terbatas!"

"Kalau begitu, ke depan karena semua partai yang punya suara signifikan di parlemen gabung dalam pemerintah, kondisi monolitiknya akan lebih telak dibanding era Orde Baru!" timpal Umar. "Era Orde Baru ada PPP dengan 100-an kursi DPR yang selalu beroposisi! Sedang ke depan, semua sepah ikut bancaan nikmat kekuasaan!" ***
Selanjutnya.....

Papa Juga Ikut Belajar Goblok!

"PAPA baca buku SD tentang cara pembuatan garam?" tukas Budi. "Ternyata Papa juga ikut belajar goblok! Orang dewasa baca buku SD!"

"Penasaran! Apa susahnya membuat garam?" sambut ayah. "Masak negeri kita impor garam per tahun hampir satu triliun rupiah! Juga impor daging sapi lima triliun, susu 7,5 triliun, lalu daging ayam dan bahan pangan lain hingga total impor per tahun Rp50 triliun! (Kompas, [27-8]) Padahal, negeri kita semua pulaunya dikelilingi pantai, bisa dijadikan ladang garam! Kalau untuk menutupi kekurangan garam itu dilakukan upaya nasional, ribuan penganggur bisa dipekerjakan, devisanya bisa jadi surplus neraca perdagangan!"

"Orang pintar dan punya kekuasaan mana mau repot menggalang dana dan mengerahkan
rakyat membuka ladang garam baru!" tegas Budi. "Lebih mudah menelepon importir untuk mengimpor garam! Sekali bicara, masalah selesai! Begitu pula dengan kekurangan daging sapi, susu, dan bahan pangan lain, meski bisa membuka lapangan kerja banyak, orang pintar itu dapat apa? Kalau impor, paling tidak ada contoh barang yang ia uji (cicipi) untuk memastikan mutunya!"

"Jangan berprasangka buruk! Tak menyelesaikan masalah!" timpal ayah. "Cari cara goblok, seperti Bob Sadino membina petani sayuran organik untuk supermarket tempat belanja warga asing! Hanya dengan cara goblok begitu kita bisa mengganti impor bahan pangan!"

"Sekalipun mengaku goblok, Bob Sadino itu konglomerat!" tegas Budi. "Jadi, harapan layak ditumpukan pada para pemilik modal, atau punya kuasa, meniru cara goblok itu mengerahkan pengangguran memenuhi kebutuhan yang bisa didayagunakan di dalam negeri, hingga selain tak perlu impor, juga membuka lapangan kerja baru!"

"Masalahnya, untuk membuka usaha seperti itu orang-orang pintar pasti menghitung risikonya! Belum lagi tenaga profesional yang mumpuni untuk menangani bisnis seperti itu relatif langka!" sambut ayah. "Maka itu, orang-orang pintar pemilik uang kebanyakan memilih menanamkan uangnya dengan didepositokan di bank! Tak ada risiko, setiap hari uangnya bertambah!"

"Itu yang membuat ekonomi warga miskin sukar bangkit! Apalagi bank tak mudah percaya untuk membiayai usaha mereka!" tegas Budi. "Kalaupun ada dana mudah program pemerintah, selain bimbingan teknis produksi dan pemasarannya lemah, orientasi untuk substitusi impor pangan tak ada! Akhirnya, nilai tambah hasil program tak memadai, impor bahan pangan terus meningkat!"

"Padahal kalau programnya dijalankan dengan cara goblok, membuat garam untuk warga miskin pantai, menggemukkan sapi dan memelihara sapi perah untuk warga miskin dataran tinggi, dua masalah sekaligus diatasi--menekan impor bahan pangan dan mempekerjakan penganggur miskin!" timpal ayah. "Tapi, siapa mau belajar goblok?" ***
Selanjutnya.....

Ada Udang di Balik Batu Terorisme!

"POLRI berhasil meringkus satu lagi tokoh teroris, Moh. Jibril di Tangerang! Berdasar bukti-bukti yang didapat ia layak diduga sebagai koordinator jaringan pendanaan kelompok Noordin M. Top!" ujar Umar. "Sejak bom Mega Kuningan medio Juli, dalam waktu relatif singkat polisi telah berhasil mengungkap para pelaku dan koordinatornya! Ada tertangkap hidup, mati tertembak, sebagian lagi buron dengan identitas sudah diketahui!"

"Dibanding serangan teroris ke WTC 11-9-2001 di AS, keberhasilan Polri mengungkap sekaligus meringkus sejumlah orang terkait jaringan teroris bom Mega Kuningan relatif lebih baik!" sambut Amir. "Tapi kenapa ada gerakan yang meragukan kemampuan Polri dalam memerangi terorisme! Misalnya, di televisi ada yang membandingkan sergapan polisi terhadap Ibrohim di rumah Muhjari, Temanggung, berlangsung 17 jam, dengan sergapan ABRI terhadap teroris pesawat Woyla di Don Muang, yang hanya tiga menit!"

"Penyergapan Polri terhadap teroris di Jatiasih, Bekasi, juga tak lebih dari tiga menit!" timpal
Umar. "Masalahnya, kalau tak ada udang di balik batu, tak akan tempua bersarang rendah! Jika dasar menilai lemah kemampuan Polri dengan bukti Densus 88 kecolongan hingga terjadi bom Mega Kuningan, di zaman Orde Baru juga intel ABRI sering kecolongan bom Komando Jihad!"
"Dibanding kondisi ketegangan masyarakat ekses dari kecamuk gerakan intel ABRI (sekarang TNI) era berburu Komando Jihad, kondisi masyarakat dalam masa Densus 88 Polri berburu teroris dewasa ini relatif jauh lebih tenteram! Rakyat tak mencemaskan ekses sepak terjang intel seperti masa lampau itu!" tegas Amir. "Bahkan saat-saat menjelang pemilu, masa lalu itu rakyat tercekam ketakutan untuk mengeluh saja pun, apalagi protes atau demo, karena bisa kena tuduhan subversif--ditahan tanpa dasar hukum dan batas waktu! Jadi, kondisi yang sudah amat baik bagi warga itu, selayaknya dijaga dan dipertahankan, untuk tidak diobrak oleh gerakan intel-intelan yang cuma menebar rasa takut pada rakyat, lebih menakutkan dari terorisme itu sendiri!"

"Tepatnya, segala bentuk udang di balik batu lewat usaha meragukan kapasitas kemampuan Polri memerangi teroris, agar dipertimbangkan kembali demi menjaga rasa tenteram masyarakat yang kondusif dewasa ini!" sambut Umar. "Sebaliknya, kapasitas kemampuan Polri dalam hal ini diupayakan untuk terus ditingkatkan, terutama dana operasi dan peralatannya!"
"Meski di sisi lain, kepada jajaran Polri juga perlu diingatkan untuk lebih keras berusaha melindungi rakyat dari segala jenis gangguan keamanan!" tegas Amir. "Dalam kondisi warga yang tata tentrem, gerak teroris lebih mudah terlihat!" n 
Selanjutnya.....

Nasib Antasari Semakin Gelap!

"SETELAH beberapa kali dikembalikan jaksa untuk disempurnakan polisi, akhirnya berkas Antasari Azhar sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Nasruddin Zulkarnaen dinyatakan P-21--memenuhi syarat untuk proses penuntutan oleh jaksa!" ujar Umar. "Antasari pun, kembali ke Kejari Jakarta Selatan sebagai tersangka, di lembaga yang pernah dipimpinnya sebagai kepala Kejari!"

"Dengan berkasnya dinyatakan jaksa telah cukup syarat untuk penuntutan, dugaan semula polisi tak punya cukup bukti untuk melibatkan Antasari, Ketua KPK (nonaktif) itu dalam pembunuhan berencana, terbantah sudah!" sambut Amir. "Itu mengisyaratkan nasib Antasari semakin gelap! Sebab, pihak jaksa tak sembarangan menerima berkas untuk dinyatakan P-21 pada kasus yang menimpa sesama jaksa! Artinya, bukti-bukti dari polisi sebagai dasar sangkaan terhadap Antasari cukup kuat!"

"Semakin gelapnya nasib Antasari bukan saja karena sejawatnya para jaksa telah menjustifikasi hasil kerja polisi, tapi lebih lagi, Antasari bisa disebut Malin Kundang pada korps kejaksaan!" tukas Umar. "Jadi demikian, karena saat Antasari menjabat Ketua KPK, ia menindak sejumlah petinggi kejaksaan agung dalam kasus korupsi!"


"Nasib semakin gelap buat Antasari juga terkait dengan KPK, lembaga yang juga pernah dia pimpin, menyangkut kasus Anggoro, tersangka korupsi yang sedang ditangani KPK!" timpal Amir. "Antasari sempat bertemu Anggoro, buronan KPK, di Singapura! Meski dengan alasan untuk mendengar pengakuan Anggoro telah diperas oknum KPK, pertemuan di luar kantor dengan tersangka yang kasusnya sedang ditangani KPK merupakan pelanggaran kode etik! Kasus ini bertolak dari testimoni Antasari setelah polisi menemukan rekaman pembicaraan Antasari dengan Anggoro di laptop milik Antasari!"

"Sungguh, semua itu cobaan amat berat bagi orang yang sedang di puncak reputasi, Ketua KPK, lembaga superbody yang full power! Sebagai tempat jatuh, posisi itu terlalu tinggi!" ujar Umar. "Karena itu, meski dengan segala keterbatasan dirinya dalam tahanan, Antasari harus bisa membuktikan sesuai pernyataannya pada pers di sisi istrinya saat pertama tuduhan terlibat pembunuhan diungkap polisi, bahwa dirinya tidak bersalah! Pernyataan singkat pada wartawaan saat berkas dan dirinya diserahkan ke kejaksaan, yang mengingatkan jaksa dalam berkas kasusnya dari polisi banyak bolong, maksudnya rangkaian pembuktiannya tidak nyambung, bisa menjadi celah bagi Antasari untuk meloloskan diri!"

"Celah itu satu-satunya harapan Antasari!" tegas Amir. "Gagal mengeksplorasi celah itu, bukan cuma jatuh dari tempat terlalu tinggi, lebih berat dari itu, terancam hukuman mati!" *** Selanjutnya.....

Buat Apa Memelihara Teroris?

"KAKEK, Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Murtopo di zaman Orde Baru lewat Pitut Suharto membentuk dan memelihara kelompok teroris Komando Jihad!" (Buras, [24-8]) ujar cucu. "Apakah teroris peliharaan Opsus itu melakukan serangan dengan bom seperti teroris sekarang?"

"Keahlian membuat bom juga ada pada teroris Komando Jihad, yang berporos sisa-sisa DI/TII--Darul Islam/Tentara Islam Indonesia!" jawab kakek. "Serangan berseri Komando Jihad terjadi 1976, pengeboman acara Isra Mikraj di Lapangan Simarito Pematang Siantar, Nite Club Apollo Medan, dan Gereja Percut Sei Tuan, Deli Serdang!"
"Kalau terorisnya terbukti melakukan serangan mengorbankan rakyat dan keamanan negara, buat apa memelihara teroris?" tanya cucu.


"Disimak dari situasi masa itu, pemeliharaan teroris itu untuk memperkuat kekuasaan rezim Orde Baru, lewat memperlemah kelompok-kelompok Islam yang kritis!" jawab kakek. "Komando Jihad digunakan untuk labelisasi, stigma, setiap ada tokoh atau kelompok yang kritis terhadap pemerintah, label Komando Jihad bisa dijadikan alat membungkamnya! Khotbah para khatib di masjid saat salat jumat atau id, diintai oleh intel, kalau ada yang mengkritik pemerintah, dipanggil ke koramil atau kodim. Begitu pula dakwah para ulama di majelis taklim atau tablig, diintai intel mencari kesalahan ucapan juru dakwah!"

"Ngeri banget!" sela cucu. "Kebebasan beragama dan kebebasan mimbar tak ada lagi!"
"Tapi kenyataan itu betul-betul terjadi di zaman Orde Baru!" tegas kakek. "Komando Jihad, teroris buatan penguasa itu, dijadikan alat membungkam tokoh dan ulama yang mengeritik pemerintah!"

"Motivasinya apa penguasa Orde Baru melakukan pelemahan terhadap gerakan-gerakan umat Islam melalui Komando Jihad itu?" tanya cucu.
"Untuk melanggengkan kekuasaan!" tegas kakek. "Diawali fusi partai-partai Islam, NU, Parmusi, PSII, dan Perti dipaksa gabung jadi PPP, lalu penerapan asas tunggal Pancasila hingga ada ormas berasas Islam membekukan diri! Dakwah dan khotbah diawasi!"

"Kalau Jumat lalu Kadiv Humas Polri menyatakan dakwah akan diawasi untuk mencegah terorisme, bisa kembali ke zaman Orde Baru!" tukas cucu.
"Pernyataan Kadiv Humas itu dibantah Kapolri tadi malam! Ditegaskan, tidak ada niat polisi untuk itu!" tegas kakek. "Cuma, di sisi lain, dalam pidato resmi Presiden menegaskan akan mengerahkan TNI untuk membasmi terorisme! Bagaimana ekses pasukan dan intel-intel TNI merasuk ke kehidupan sehari-hari warga, baru bisa kita lihat kemudian!"

"Berdasar pengalaman Komando Jihad, layak wanti-wanti atas penerjunan TNI membasmi teroris!" timpal cucu. "Jangan sampai gara-gara memburu hamster, tikus peliharaan salah satu anggota keluarga, seisi rumah diacak-acak!" Selanjutnya.....

Teroris Sekarang Siapa yang Punya?

"KEK, teroris sekarang siapa yang punya?" tanya cucu.
"Kau pikir teroris ada yang punya?" sambut kakek.
"Berarti kakek tak mengikuti acara Secret Operation di Metro TV!" tukas cucu. "Di situ diungkap, Komando Jihad, teroris di negeri kita beberapa dekade sejak 1970-an, ternyata bentukan Pitut Suharto dari Opsus (Operasi Khusus), jaringan intel Orde Baru di bawah Ali Murtopo! Komando Jihad dibentuk untuk kepentingan Opsus dari sisa-sisa gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Untuk pendanaannya, tokoh-tokoh Komando Jihad dijadikan agen minyak tanah Pertamina!"

"Berdasar cerita itu, menurutmu Komando Jihad siapa punya?" potong kakek.
"Jelas, Komando Jihad punya Opsus!" jawab cucu.
"Dengan contoh itu untuk melihat teroris siapa punya, tiga hal harus diurut: pertama sejarahnya, kedua untuk kepentingan siapa teroris dibentuk, dan ketiga pendanaannya!" tegas kakek. "Dari sejarahnya, kelompok Noordin M. Top sekarang sempalan Jemaah Islamiyah (JI), yang semula dibentuk sebagai subordinat Al-Qaeda! Sedang Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden, semula dibentuk dan dilatih oleh Amerika Serikat, untuk mendukung pejuang Mujahidin mengusir tentara Soviet dari Afghanistan! Dengan sejarah demikian, bisa dikatakan teroris bekerja untuk kepentingan AS, sekaligus teroris milik AS!"

"Hidup Kakek!" sambut cucu. "Teroris milik AS!"
"Itu dulu!" entak kakek. "Setelah kaum Mujahidin berkuasa di Pakistan, Osama dan kelompok teroris ditelantarkan oleh AS! Osama marah, bersama subordinatnya berbalik melawan AS! Tanpa dukungan Osama, kekuasaan Mujahidin dengan mudah direbut oleh Taliban! Bahkan, setelah sejumlah serangan pada kepentingan AS di Afrika, Osama dan Al Qaeda bergabung dengan Taliban! Maka itu, usai serangan ke WTC 11-9-2001, AS menyerbu Al-Qaeda di Afghanistan!"

"Berarti teroris bergeser jadi milik Osama!" sela cucu. "Tapi, apa dana teroris Noordin M. Top dari Arab dan Malaysia bisa dipastikan dari Al-Qaeda?"
"Noordin yang cerdik, bisa saja menciptakan kesan begitu!" tukas kakek. "Kebenaran kesan itu harus dibuktikan! Tapi dengan dana yang disebut miliaran rupiah itu, Noordin jadi gesit dan selalu lolos dari polisi--meski jaringan terorisnya berhasil dibongkar sampai akarnya!"

"Kegagalan polisi meringkus Noordin itu membuat penguasa gerah, hingga siap mengerahkan militer untuk memerangi teroris!" sela cucu.
"Gelar pasukan militer mengatasi teroris kurang tepat, selain mengecilkan polisi, pengerahannya bersama intel-intel militer sampai ke pelosok daerah bisa mengulang kesan buruk masa lalu!" tegas kakek. "Dengan kembalinya militer aktif di tengah masyarakat, kesan lain timbul, ternyata kehadiran teroris menguntungkan militer! Lewat tafsiran begitu, pertanyaan teroris sekarang siapa punya, bisa dijawab ngawur oleh awam!" ***
Selanjutnya.....

Mama Belajar Goblok dari Siapa?

"BUKA puasa singkong rebus doang?" keluh Budi. "Tak aneh kalau anak Mama tambah goblok!"
"Dimakan dulu baru komentar!" bentak ibu. "Itu kreasi ibu di bulan tua, masih untung ada singkong rebus ditaburi parutan keju!"
"Keju?" Budi tertarik makanan anak gedongan itu dipadu singkong, makanan anak udik. "Mantap gobloknya! Enak tenan! Bikin paduan singkong keju begini, Mama belajar goblok dari siapa?"

"Orang goblok karena tak mau belajar dari orang lain!" tegas ibu. "Ia menjadi goblok banget ketika membanggakan kegoblokannya!"
"Dengan membanggakan kreasi singkong-keju ini, berarti Mama goblok banget!" timpal Budi. "Itu didukung pilihan bahannya, keju impor! Ikutan menghabiskan devisa negara, ya?"

"Gobloknya mama justru karena memilih keju buatan dalam negeri!" tegas mama. "Mama lihat di televisi, meski merek terkenal dunia, keju ini diproduksi dengan bahan lokal di dalam negeri! Pabriknya kerja sama dengan peternak sapi perah di Batu, Malang! Keju dibuat dari susu sapi kental!"

"Terbukti gobloknya Mama!" tukas Budi. "Orang pintar memilih makanan yang 100 persen impor, terigu! Di negeri kita tak bisa menanam gandum, asal terigu! Tapi di negeri kita mayoritas orang pintar, sehingga politisi yang kampanye dengan intonasi berorientasi produk impor, bisa menang!"

"Mama sedih mengingat devisa yang diperoleh TKI lewat banting tulang di luar negeri dihabiskan orang-orang pintar untuk memakmurkan petani gandum negara lain! Padahal, petani negeri kita masih miskin!" tegas mama. "Bukan cuma petani gandum kita makmurkan, tapi juga petani buah!"

"Maka itu, meski TKI diperbudak, selalu kita dorong dengan pujian pahlawan devisa, demi devisanya diperlukan untuk menopang gaya hidup orang-orang pintar!" timpal Budi. "Coba hitung, devisa hasil berapa ratus atau bahkan ribu TKI yang dibutuhkan untuk membayar impor sebuah jam tangan Rolex buat orang pintar?"

"Mungkin itu salah satu alasan pendidikan negeri kita selalu terbelakang dari negara lain, karena amat diperlukan selalu banyak orang goblok untuk dijadikan penambang devisa, dari petani kopi dan lada, sampai buruh perkebunan dan pabrik komoditas ekspor!" tukas mama. "Seperti terakhir ini, warga dialihkan dari minyak tanah ke gas, ternyata gasnya harus impor! Menyedihkan, karena tanpa kita sadari, banyak orang pintar ketularan jadi goblok!"

"Kalau begitu, mobilitas sosial terbalik sedang terjadi di negeri kita!" sambut Budi. "Pada ujung prosesnya nanti, semakin goblok orang akan semakin tinggi status sosial ataupun kayanya!"

"Itu karena virus goblok yang ditebar Bob Sadino melalui bukunya Belajar Goblok(Kintamani: 2007) terus meluas!" tegas mama. "Akhirnya, orang-orang pintar nanti yang justru menjadi pekerja, atau malah pesuruh, orang goblok!" ***
Selanjutnya.....

Ramadan, Politik 'Cooling Down'!

"MARHABAN ya Ramadan!" ujar Umar. "Kau tiba tepat seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden, hingga berkah dan rahmah pengiringmu menjadi penyejuk yang tengah diperlukan untuk cooling down bagi politik nasional dalam melakukan rekondisi dari panas dan ketegangan suhu politik akibat persaingan tajam meraih kekuasaan!"

"Klaim pemilu legislatif dan pemilu presiden usai tentu dengan mengenyampingkan penghitungan ulang hasil pileg di Kabupaten Tulangbawang, yang menjadi ganjalan penuntasan proses pemilu secara nasional, guna dijadikan catatan warga Lampung buruknya kerja event nasional di daerah ini tidak sampai terulang!" sambut Amir. "Lewat kondisi Ramadan ini pula, suhu dan ketegangan akibat hasil penghitungan ulang itu kita harapkan bisa diredam dengan keikhlasan, agar usaha cooling down politik di bulan yang mulia ini bisa tercapai paripurna!"

"Apalagi dengan cooling down itu para politisi bisa lebih tenang beribadah dan menarik makna dan hikmah puasa Ramadan bagi kelanjutan tugasnya mengemban amanah rakyat yang diwakilinya!" tegas Umar. "Dengan haus dan lapar yang dirasakannya selama puasa, misalnya, bisa menjadi bandingan pada nasib kaum miskin yang mengalami hal itu dari waktu ke waktu di luar bulan Ramadan--tanpa jaminan adanya hidangan serbanikmat untuk berbuka seperti di rumahnya! Dengan menarik makna sedemikian, diharapkan para politisi berusaha mendahulukan kepentingan warga miskin, ketimbang kepentingan pribadi atau kelompok elitenya semata!"

"Lebih jauh lagi, suasana Ramadan juga menjadi kesempatan terbaik untuk silaturahmi, termasuk bagi para politisi!" timpal Amir. "Bagi para politisi, kalau selama proses pemilu legislatif dan pilpres terjadi hal-hal yang kurang pas, saling sindir atau saling menjelek-jelekkan, Ramadan justru menjadi saat tepat saling memaafkan--sekaligus mengafdalkan ibadah puasanya! Sedang kepada kaum miskin--duafa, selain selama ini mungkin terlupa, juga Ramadan saat yang tepat untuk mengeluarkan zakat harta ataupun zakat profesi penghasilannya yang relatif berlimpah sepanjang tahun! Zakat tersebut bisa diberikan langsung pada kaum duafa mustahiknya, atau melalui amil zakat!"

"Betapa Ramadan menjadi kesempatan emas bagi para politisi untuk menyempurnakan dirinya lewat memperbaiki silaturahmi dengan sesama politisi maupun masyarakat umumnya, khususnya lagi dengan kaum duafa, hingga hablun minannas sebagai jembatan hablun minallah-nya terbangun sebaik-baiknya!" tegas Umar. "Terbangunnya keserasian hablun minannas dan hablun minallah pada politisi selama Ramadan jelas amatlah indah, karena bisa menjadi rel atau track pengabdian sang wakil rakyat sepanjang tahun, sampai Ramadan berikutnya tiba! Ketika diberi waktu dan kemampuan, amat sayang jika disia-siakan!" ***
Selanjutnya.....

Berusahalah Jadi Politisi Baik!

"LIHAT Kek, gaya dasi, jas, dan sepatuku!" ujar cucu. "Untuk dilantik sebagai anggota DPRD, enggak kentara lagi asliku preman, kan?"
"Gaya pakaian itu bagian dari etiket, penyesuaian pada tempat kita berada!" sambut kakek. "Tapi, penyesuaian lewat pakaian saja tak cukup! Kau masih harus menghilangkan sifat asli premanmu dengan berusaha keras menjadi politisi baik!"
"Politisi baik itu seperti apa?" kejar cucu.
"Pertama, hilangkan kebiasaan gaya premanmu menghardik dan membentak di ruangan sidang wakil rakyat yang terhormat itu!" tegas kakek. "Lalu, berusaha mengaktualisasikan sikap-tindak politisi baik, secara etika-moral dan legal-formal!"
"Pasti susah mengubah sifat dan kebiasaan secara drastis begitu!" entak cucu. "Paling cuma berubah luarnya, gaya gerak dan ekspresi lewat berakting, sedang isi penghayatannya lain--entah apa!"
"Bisa mencapai tingkat itu pun sudah bagus, itu perilaku umum rata-rata politisi, lazim disebut aktor politik!" tegas kakek. "Artinya, keharusan pertama seorang politisi adalah sebagai aktor, berakting agar terlihat (meski cuma seolah-olah) sebagai politisi baik, sehingga ruangan sidang wakil rakyat menjadi tempat layak bagi tokoh-tokoh terhormat!"
"Tapi semua itu baru luar atau kulitnya!" potong cucu. "Isinya dong, Kek, apa saja?"
"Sikap-tindak politisi idealnya induktif, bertolak dari yang bersifat khusus pada dirinya--etika-moral, diimplementasikan ke format umum--legal-formal!" jelas kakek. "Etika dan moral sederhana! Etika pilihan baik-buruk serta patut atau tidak, sedang moral salah-benar! Kaidah atau ukuran etika adalah nilai dan norma yang dijunjung masyarakat, berwujud tatakrama keadaban! Sedangkan kaidah moral adalah ajaran salah-benar menurut agama ataupun adat-istiadat!"
"Mumet, Kek!" sela cucu. "Seruwet itu kakek sebut sederhana!"


"Sederhana, karena semua nilai dan norma itu sebenarnya meresap dan bersemayam mendarah daging dalam diri manusia secara kontinu lewat kehidupan sehari-hari bermasyarakat!" ujar kakek. "Bukti nilai dan norma mendarah daging, bisa mendorong refleks gerak fisik manusia saat ada yang perlu ditolong atau yang menyalahi kaidah etika-moral! Dengan kepaduan etika moral dalam dirinya seperti itulah, seorang politisi baik mengelola sikap tindaknya ke format umum kehidupan berbangsa, segala sesuatu terkerangka aturan hukum (legal), terangkai dengan prosedur atau tata acara (formal). Legal dan formal tak bisa dipisah, bagai dua sisi sekeping mata uang, lazim disebut dual process of law!"
"Kalau cuma memakai aspek legal, tanpa peduli formalnya?" tanya cucu.
"Bisa over acting!" tegas kakek. "Jika over acting, kau gagal menjadi politisi baik! Karena, ciri utama politisi baik, selalu bersikap-tindak proporsional!" Selanjutnya.....

Satono Diusir dari Sidang DPRD!

"BUPATI Lampung Timur, Satono, diusir dari mimbar oleh pimpinan sidang paripurna DPRD setempat saat bertugas membacakan sambutan gubernur dalam acara pelantikan anggota DPRD hasil pemilu 2009!" ujar Umar. "Alasannya, karena DPRD periode sebelumnya telah membuat mosi tidak percaya kepada sang bupati, terkait dengan pertanggungjawaban anggaran yang membawa bupati menjalani proses hukum!"

"Peristiwa itu sangat mengejutkan!" sambut Amir. "Dalam peristiwa itu setidaknya ada tiga hal yang penting dibicarakan. Pertama, kapasitas Satono tampil di mimbar. Kedua, status orang dalam proses hukum. Dan ketiga, makna mosi dalam bahasa dan aturan mainnya."

"Untuk hal pertama, Satono tampil di mimbar bukan dalam kapasitas jabatan dirinya sebagai bupati, tetapi sebagai petugas yang menjalankan perintah gubernur untuk
membacakan pidato sambutannya!" tegas Umar. "Jadi ia sebagai messanger--pembawa pesan! Penolakan terhadap pelaksanaan tugasnya itu, bisa berarti sebagai tindakan persona nongrata terhadap orang yang memberi Satono tugas, sekaligus menolak pesan yang disampaikannya! Dengan demikian secara implisit, yang diusir dari mimbar bukan Satono, tapi sang pemberi tugas!"

"Hal kedua, menyangkut status orang yang sedang menjalani proses hukum, harus dianggap dan diperlakukan sebagai orang yang tak bersalah sampai pengadilan menyatakan dia bersalah!" timpal Amir. "Asas praduga tak bersalah itu wajib dihormati dan dijunjung oleh setiap warga, lebih-lebih oleh lembaga wakil rakyat! Dengan tindakan formal secara kelembagaan melanggar asas itu, DPRD telah mencederai sistem negara hukum (rechtstaat) lewat pemaksaan kekuasaan (machtstaat)--menabrak pantangan konstitusi! Selain melanggar hak asasi orang bersangkutan, dengan pelanggaran asas tersebut juga telah terjadi trial by the parliament, alias DPRD main hakim sendiri! Hal ini mengacaukan fungsi lembaga negara, karena fungsi peradilan umum dijalankan hanya oleh Mahkamah Agung dan subordinatnya!"

"Hal ketiga, kata mosi berarti pernyataan sikap! Kata lanjutannya demosi, menurunkan orang dari pangkat atau jabatannya!" ujar Umar. "Mosi saja tak cukup untuk menurunkan orang dari jabatan. Masih harus diproses langkah formal lanjutan guna terpenuhinya syarat demosi! Seperti ketika MPR menjatuhkan Gus Dur, selain langkah formal sidang istimewa, syarat Ketua Mahkamah Agung menyatakan presiden bersalah menjadi penentu demosi! Jadi, bukan asal main usir dari mimbar!"

"Untuk Satono, syarat mutlak demosi adalah putusan pengadilan menyatakan ia bersalah!" tegas Amir. "Sebelum ada putusan pengadilan, DPRD wajib menjunjung asas praduga tak bersalah, memperlakukan Satono sebagai orang yang tidak bersalah!"

Selanjutnya.....

'The Founding Fathers Dream'!

"TADI malam kakek mengigau terus, kurang enak badan?" tanya cucu.
"Bukan tak enak badan, tapi tak enak hati!" jawab kakek. "Kakek beberapa hari ini teringat pada the founding fathers dream--impian para Bapak Pendiri negara ini, tadi malam jadi mimpi dalam mimpi! Itu yang membuat kakek mengigau!"

"Mimpi dalam mimpi bagaimana?" kejar cucu.
"Kakek mimpi memasuki satu per satu impian mereka, seperti yang mereka tuangkan dalam Pembukaan UUD 1945!" jelas kakek. "Impian pertama, negara melindungi setiap warga negara dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia!"

"Wah, masih adanya teroris menebar maut di kalangan warga negara, masih adanya serangan perusuh kepada pekerja di Timika, berkibarnya bendera Papua Merdeka di Abepura justru pada 17 Agustus, menunjukkan tugas negara untuk itu masih perlu lebih serius!" sela cucu.

"Juga perampokan diiringi siksaan atau bahkan pembunuhan terhadap korbannya, sapi warga disembelih penjahat malam hari dan sejenisnya, juga bagian perlindungan terhadap warga yang masih perlu ditingkatkan!" jelas kakek. "Kedua, impian memajukan kesejahteraan umum! Bukan saja infrastruktur yang masih jauh dari harapan, penikmatan infrastruktur yang sudah ada pun ditentukan kemampuan ekonomi! Jalan raya bebas hambatan lebih dinikmati mereka yang punya mobil bagus, pasar-pasar tradisional dan warung kampung semakin terdesak pasar modern dan retail multinasional, piranti komunikasi mutakhir belum terjangkau rakyat kebanyakan!"

"Nelayan kesulitan solar, petani kesulitan pupuk bersubsidi setiap musim tanam, termasuk impian memajukan kesejahteraan umum yang membuat kakek mengigau ketakutan!" timpal cucu.

"Belum lagi impian Bapak Pendiri mencerdaskan kehidupan bangsa, mimpi kakek malah terbawa ke nasib murid SD yang tewas tertimpa runtuhan gedung sekolahnya di Pesawaran!" tegas kakek. "Mayoritas angkatan kerja yang masih setara lulusan SD, hingga hanya bisa masuk sektor informal atau menjadi TKI, cari kerja ke luar negeri menjadi kuli bangsa lain, membuktikan usaha pencerdasan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraannya masih tenggelam dalam mimpi buruk kakek!"

"Jika impian para Bapak Pendiri dijadikan ukuran tingkat pencapaian kita sebagai bangsa selama 64 tahun merdeka, jadi terasa masih jauh dari tujuan kemerdekaan!" tukas cucu. "Pantas kakek mengigaunya sampai belingsatan!"

"Kesadaran para pengelola negara menggunakan ukuran tersebut, menjadi penentunya!" tegas kakek. "Lebih-lebih kewajiban mengamalkan Pasal 34 UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar harus diurus negara! Sebatas retorika saja pun, nasib kaum papa ini belum tersentuh!" ***
Selanjutnya.....

Optimisme di Hari Kemerdekaan!

AYAH dan anak lelakinya serentak menghormat sangsaka Merah Putih di ujung genter--galah bambu--yang mereka tancapkan di depan gubuk mereka dekat rel kereta api.

"Aku yakin, hari ini menjadi saat Ayah berhasil mengunduh sepeda dari puncak panjat pinang!" ujar anak optimistis, mengiringi langkah ayahnya menuju tempat Agustusan. "Tahun lalu tinggal 10 centi lagi tangan ayah menjangkau kayu silang di pucuk, tapi kaki ayah yang membelit batangnya keburu merosot!"

"Setahun ini kupikirkan kenapa belitan kaki ayah ke batang pinang bisa melorot ke bawah!" timpal ayah. "Dan ayah sudah dapat cara menguncinya! Pokoknya, impianmu bertahun-tahun untuk naik sepeda milik sendiri, akan terkabul hari ini!"

Di tengah kerubutan selusin orang dengan saling menginjak untuk bisa naik ke atas batang pinang, ayah berhasil lolos di tempat paling atas! Anaknya bersorak-sorak memberi semangat, hingga tangan ayah tinggal lima centi lagi menjangkau palang di pucuk! Tapi, saat berusaha menjangkau kayu silang, pemanjat dari bawah menarik kakinya! Ayah bersama para pemanjat lain pun melorot ke bawah kembali Ayah yang sudah kehabisan tenaga mundur dari jubelan pemanjat.

"Tadi lima centi lagi tangan ayah menjangkau palang di pucuk, kaki ayah ditarik orang!" keluh anak.

"Terpenting, ada kemajuan lima centi dari tahun lalu! Dengan kemajuan itu, berarti tahun depan kita akan sampai ke pucuk, dan kita dapatkan sepedanya!" ujar ayah optimistis. "Untuk dapat sesuatu harus sabar! Ayah saja sabar, sampai kakekmu meninggal gagal mencapai puncak panjat pinang meraih sepeda buat ayah!"

"Kalau terus diusahakan, kelak pasti dapat! Meski harus dari generasi ke generasi, untuk mendapat satu sepeda dari kemerdekaan ini aku yakin bisa!" tegas anak. "Kakek gagal mencapai pucuk, ayah melanjutkan! Kalau ayah gagal, masih ada aku yang melanjutkan! Jika aku gagal juga, anakku akan melanjutkan usaha ini!"

"Syaratnya negeri kita tetap merdeka, sehingga acara memperingati hari kemerdekaan dengan tradisi panjat pinang masih ada!" tegas ayah. "Untuk itu, kalau ada orang coba mengganggu kemerdekaan negara kita, kau harus tampil paling depan mempertahankannya! Agar panjat pinang tetap ada, dan kau bisa melanjutkan usaha keluarga mendamba sepeda!"

"Ayah tak perlu cemas, akan kupertahankan kemerdekaan bangsa agar pada suatu generasi kelak keluarga kita bisa mendapat sepeda dari kemerdekaan!" tegas anak. "Sekarang kan baru 64 tahun kita merdeka, terlalu berlebihan juga kalau setelah kehabisan tenaga tadi ayah paksakan untuk dapat sepeda! Masa depan bangsa masih panjang, kok!" ***
Selanjutnya.....

Indonesia, Negeriku Paling 'Uaneh'!

UANEH!" entak Temin. "Dua hari sakit ditahankan dengan diam saja, malah sembunyi di sentong! Mengeluh, kenapa?"

"Mengeluh?" sambut Temon. "Jangan asal bicara! Di negeri ini mengeluh bisa dipenjara! Contohnya, Prita Mulyasari! Maka itu, nonton televisi ikuti beritanya, bukan sinetron melulu!"

"Nonton berita bikin mumet!" tegas Temin. "Seperti Undang-Undang yang dipakai menjerat Prita, sesama penegak hukum tafsirnya lain-lain! Yang satu memutus belum berlaku, satunya lagi memutus sudah berlaku! Uaneh, kan?"

"Paling Uaneh pembukuan keuangan negara! Lima tahun berturut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disclaimer--tidak wajar!" tegas Temon. "Malah, lebih 500 APBD provinsi dan kota/kabupaten, cuma tujuh yang mendapat nilai wajar audit BPK! Selebihnya, semua disclaimer! Betapa amburadul pengelolaan uang rakyat, dari pusat, provinsi, sampai kota dan kabupaten tercermin dari hasil audit BPK itu!"

"Itu akibat keterbukaan informasi cuma slogan! Lebih-lebih terkait pengelolaan uang rakyat!" timpal Temin. "Jauh lebih buruk lagi di daerah! Anggota DPRD saja cuma bisa melihat data belanja daerah pada neracanya, sedang untuk uraian belanja, mencari sampai ke biro keuangan pun tak dapat! Apalagi wartawan, setiap mencari data belanja daerah, misalnya ketika ada kasus korupsi, terbentur alasan itu rahasia negara!"

"Itu dia!" entak Temon. "Di tengah merajalelanya korupsi di daerah yang terlihat dari kian ramainya pejabat daerah diadili karena korupsi, disiapkan pula RUU Rahasia Negara, yang akan semakin mempersulit wakil rakyat dan pers mendapat data keuangan daerah--karena semakin nyaman disembunyikan di balik benteng rahasia negara!"

"Korupsi bakal jauh merajalela lagi, karena dengan UU Rahasia Negara itu, justru pers yang menyiarkan bisa dihukum dengan ditetapkan di bawah pengawasan, dibekukan, dicabut izinnya, atau bahkan dijadikan korporasi terlarang!" tukas Temin. "Jadilah Indonesia, negeriku paling uaneh! Menjadi satu-satunya negeri di dunia, rakyatnya mengeluh saja dipenjara! Atau justru pers yang dihukum karena membongkar korupsi keuangan negara. Sedang koruptornya aman, berlindung di balik UU Rahasia Negara!"

"Maka itu, pada hari peringatan delapan windu kemerdekaan bangsa ini, para pemimpin negara layak introspeksi meluruskan kembali jalannya kehidupan bernegara-bangsa!" tegas Temon. "Introspeksi itu cukup dengan merujuk hak-hak warga negara ke Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Sedunia 10 Desember 1948 yang sudah diratifikasi jadi Tap MPR No. XVII/1999, terutama Pasal 19, tentang people right to know! Dengan itu bisa dihentikan arah Indonesia terjerumus menjadi negeri paling uaneh! Merdeka!" ***
Selanjutnya.....

Negara Milik Rakyat, Merdeka!

"NEGARA itu makhluk seperti apa, sehingga John F. Kennedy berkata, jangan tanya apa yang bisa kau dapatkan dari negara, tapi tanyalah dirimu apa yang bisa kau berikan pada negara?" tanya cucu.

"Negara memang sering dipersonifikasi sebagai makhluk hidup, yang bisa melindungi, memberi keadilan, kesejahteraan! Bahkan Thomas Hobbes menginginkan negara berupa monster Leviathan, yang kekuatannya bisa meredam perang saudara di negerinya, Inggris, awal abad 17," sambut kakek. "Konkretnya, negara adalah satu wilayah atau tempat di muka bumi dengan rakyat penghuninya punya pemerintahan! Pemerintah dan semua unsur kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan komisioner) mengaktual sebagai makhluk merepresentasikan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban negara!"

"Hak dan kewajiban negara ke siapa?" kejar cucu.

"Di negara merdeka, hak-hak dan kewajiban negara kepada seluruh rakyat yang berdaulat di negara itu!" tegas kakek. "Itu bedanya dengan negara terjajah, negara dan seluruh unsurnya--Tanah Air, rakyat, dan pemerintahan--semata mengabdi pada sang tuan penguasa, penjajah!"

"Kalau sang tuan di negeri terjajah itu penjajah, sang tuan di negeri merdeka berarti rakyat!" tegas cucu. "Dengan sang tuannya rakyat, berarti setelah merdeka, negara itu milik rakyat!"

"Itu yang masih perlu aksentuasi implementasinya, sebagai simpul setiap pengelola cabang kekuasaan negara itu sebagai abdi negara, dan setiap abdi negara itu pelayan rakyat!" sambut kakek. "Lebih jauh lagi, kalau setiap abdi negara itu pelayan rakyat, maka representasi negara sebagai sang tuan--kepada siapa setiap warga harus memberikan apa yang bisa seperti maksud Kennedy--adalah rakyat!"

"Tepatnya, kalau cita-cita kemerdekaan membuat negara adil dan makmur, keadilan--baik hukum maupun substantif--bagi seluruh rakyat, kemakmuran juga untuk seluruh rakyat!" timpal cucu. "Begitulah arti kemerdekaan bagi rakyat! Rakyatlah sebagai pemilik sah negara ini, sehingga semua kelembagaan representasi negara wajib melayani pemilik negara, yakni rakyat!"

"Namun, sejalan pernyatan Kennedy, dalam setiap hak pemilikan terhadap apa pun, di dalamnya inheren kewajiban pemilik terhadap miliknya itu!" tegas kakek. "Punya kambing, orang berkewajiban membuatkan kandangnya, memberi makannya! Punya mobil, orang harus menyervisnya secara teratur, mengganti oli, mengisi bensin! Begitu pula hak pemilikan rakyat terhadap negara, harus melaksanakan kewajibannya atas pemilikan itu!"

"Setuju, Kek!" tegas cucu. "Cuma, pernyataan Kennedy itu untuk negeri kita lebih tertuju pada mereka yang telah berlebihan memperoleh nikmat dari kemerdekaan! Sedang bagi mayoritas rakyat, belum mengenyam nikmat kemerdekaan, masih harus segera dipenuhi dulu hak-haknya sebagai pemilik negara! Merdeka!" ***
Selanjutnya.....

Ketika Parpol 'Berganti Kelamin'!

SAAT pacarnya ke toilet, cowok yang menunggu pesanan makanan di restoran menemukan foto pria tampan di tas tangan pacarnya. "Foto siapa ini?" bentak cowok begitu pacar kembali duduk.

"Itu fotoku, Mas!" jawab pacar. "Fotoku dahulu, sebelum ganti kelamin!"

"Jadi kau..?" sambut cowok terperangah.

"Tak perlu kaget sampai pucat begitu, Mas!" tegas pacar. "Soal berganti kelamin, partai politik (parpol) juga sekarang sudah lazim! Terutama parpol oposan, ganti kelamin bergabung masuk ruling group--kelompok berkuasa!"


Masih terengah-engah, cowok menukas, "Jadi kau tak bisa hamil, apalagi melahirkan?"

"Parpol yang fitrah sejarahnya oposisi, ketika berganti kelamin masuk ruling group juga jadi mandul!" tegas pacar. "Sebagai contoh, Partai Golkar! Setelah kalah Pemilu 1999, pada masa kepresidenan Gus Dur dilanjutkan Megawati, Partai Golkar menjalani fitrah sejarahnya sebagai oposisi! Menjalani fitrah sejarah itu Partai Golkar subur, pendukungnya berbiak, hingga memenangi Pemilu Legislatif 2004. Tapi setelah jagonya kalah pemilihan umum presiden (pilpres), bukannya kembali ke fitrah sejarahnya sebagai oposisi, melainkan terbawa M. Jusuf Kalla yang terpilih jadi wakil presiden lewat partai lain dan kemudian menjadi ketua umumnya, masuk kelompok berkuasa!"


"Menyalahi fitrahnya sebagai oposisi dan berganti kelamin masuk ruling group, Partai Golkar jadi mandul! Tanpa kecuali tokohnya jadi wakil presiden, menteri koordinator dan beberapa menteri, Partai Golkar yang mandul kalah dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009!"

"Tapi, kenapa PDI-P saat jadi oposisi justru kalah Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009?" sela cowok.


"Mungkin fitrah sejarahnya bukan oposisi!" jawab pacar. "Atau bisa pula, fitrah sejarah itu tidak dilakoni secara tulus! Misal, kerjanya mengkritik penguasa, tapi sepak-terjang para anggotanya di DPR tak beda dengan yang dikritik! Tak terlepas total dari kasus yang ditangani KPK, contohnya!"

"Berarti, kalau mereka bergabung dengan ruling group bakal lebih cocok?" kejar cowok.

"Soal itu kita lihat nanti!" tegas pacar. "Tapi saya kira, lebih tepat PDI-P menyempurnakan sikap oposisinya, bukan oposan dalam bicara saja, tak diimbangi sepak terjang anggotanya! Sedang cuma ikutan masuk gerbong penguasa, menurut pengalaman sejumlah parpol, justru kehilangan banyak kursi legislatif!"


"Lantas bagaimana dengan Partai Golkar yang sedang di persimpangan jalan, antara kembali ke gerbong penguasa--hingga munasnya dipercepat sebelum pelantikan presiden, atau memilih fitrah sejarahnya sebagai oposan?" kejar cowok.

"Dengan wakil presiden dan beberapa menteri pun Partai Golkar terbukti mandul dalam gerbong kekuasaan!" tegas pacar. "Keledai saja tidak terperosok dua kali di lubang yang sama!" *** 
Selanjutnya.....

MK Tuntaskan Gugatan Hasil Pilpres!

"MK--Mahkamah Konstitusi--menolak gugatan hasil pilpres 2009 yang diajukan para pemohon, pasangan JK-Win dan Mega-Pro!" ujar Umar. "Kata MK, dalil-dalil yang dikemukakan pemohon atas adanya penggelembungan perolehan suara secara terstruktur, sistematis dan masif lewat kekacauan daftar pemilih tetap (DPT) tak bisa dibuktikan! Dengan itu, keputusan KPU tentang pasangan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil pilpres 2009 dinyatakan sah!"

"Maka tuntaslah semua tahapan proses pilpres, sekaligus pemenangnya mendapatkan legalitas yang sempurna untuk mengemban amanah seluruh rakyat Indonesia guna menjalankan pemerintahan Negara Republik Indonesia!" timpal Amir. "Kita ucapkan selamat kepada pasangan SBY-Budiono! Semoga bangsa Indonesia selalu dalam rida-Nya, makin maju dan sejahtera di bawah kepemimpinan presiden terpilih!"

"Tak boleh lupa, kita juga wajib menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
pasangan JK-Win dan Mega-Pro beserta tim sukses dan para pendukungnya, yang berkat kerja keras mereka menjalankan demokrasi dalam proses pilpres dari tahap awal sampai tuntas, proses demokratis pemilihan kepala negara bisa berjalan secara maksimal!" tegas Umar. "Termasuk proses terakhir di MK, yang telah memberi pelajaran berharga bagi bangsa kita untuk memilih jalan damai dalam penyelesaian sengketa pilpres! Bahkan sikap Megawati Soekarnoputri layak diteladani, yang seusai putusan MK dibacakan, ia pidato resmi menyatakan dirinya menghormati putusan MK tersebut, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada segenap tim sukses, relawan, dan warga bangsa yang telah mendukung perjuangannya!"

"Pelajaran berharga dari pilpres itu terdapat di berkas putusan MK, antara lain yang menegaskan agar ke masa depan kita bisa menyelenggarakan pemilu yang lebih profesional, dari pembuatan Undang-Undangnya sampai pelaksanaannya oleh KPU!" sambut Amir. "Pada uraian sebelum amar putusannya, MK mengakui adanya pelanggaran administratif dan operasional, agar diselesaikan secara hukum untuk perbaikan pemilu ke depan! Kesalahan itu bersifat teknis, tidak membatalkan hasil pilpres!"

"Dengan segala kekurangan itu, satu pekerjaan besar bangsa telah selesai, pekerjaan selanjutnya menunggu--agenda menyejahterakan rakyat!" tegas Umar. "Agenda itu mendesak karena sempat agak dikesampingkan sepanjang 2009, akibat warga seantero negeri sibuk pesta demokrasi--dari pemilu ke pilpres! Gawe politik menghabiskan segala daya dan dana, semata untuk meraih kekuasaan! Maka itu, agenda menyejahterakan rakyat sebagai tujuan kekuasaan yang diperebutkan itu, harus secepatnya ditunaikan oleh peraih kekuasaan!!" ***
Selanjutnya.....

KPK, Keranjang Penadah Kotoran!

"KPK--Komisi Pemberantasan Korupsi--dijadikan keranjang penadah kotoran yang dilemparkan orang ke arahnya!" ujar Umar. "Kotoran itu berupa tuduhan dalam testimoni Antasari Azhar, ketua KPK nonaktif, dari rekaman bicara Antasari dengan Anggoro Widjaja di Singapura, tersangka korupsi! Lalu Anggoro mengadu ke polisi diperas Rp5,1 miliar oleh dua orang mengaku suruhan KPK, Ari Muladi dan Edi Sumarsono!" (MI, 11-8)

"KPK bisa menjadi keranjang sampah jika tak bisa mementahkan semua tuduhan itu!" sambut Amir. "Tapi, terlepas dari benar-tidaknya tuduhan itu, pihak-pihak yang berusaha memperlemah KPK kian dekat berhasil! Karena, akibat sibuknya KPK menangkis lemparan kotoran ke arahnya, fokusnya pada tugas bisa terganggu!"
"Sesuai konfirmasi MI, Sekjen KPK Bambang Sapto Pratomo Sunu menyatakan tidak ada pegawai KPK bernama Ari atau Edi!" tegas Umar. "Ari dan Edi menerima Rp5,1 miliar dengan janji barang bukti yang disita dari PT Masaro (milik Anggoro) akan dikembalikan, larangan ke luar negeri atas Anggoro dicabut, dan penyidikan perkaranya dihentikan! Menurut pengacara Anggoro, Bonaran Situmeang, setelah pemberian dana itu selama sembilan bulan Anggoro tak tersentuh hukum! Dia hanya sekali diperiksa sebagai saksi! Tapi, kini Anggoro ditetapkan sebagai tersangka!"

"Sebelum jumpa pers pihak Anggoro itu, KPK lebih dulu menunjukkan bukti surat palsu pencabutan larangan ke luar negeri atas Anggoro!" timpal Amir. "Langkah KPK bisa ditebak, menunjukkan KPK tak ada kaitan dengan orang yang mengaku suruhan KPK! Sedang Edi Sumarsono di Metro TV membantah menerima uang dari Anggoro!"
"Pernyataan Edi itu bisa menjadi kunci bagi KPK untuk membersihkan semua kotoran yang dilempar ke arah mereka!" tegas Umar. "Kalau orang yang disebut menerima uang terbukti tak menerima, berarti uang Rp5,1 miliar sebenarnya tidak ada! Dengan uangnya tidak ada, jelas tak ada pula yang bisa nyiprat ke kalangan KPK!"
"Tapi langkah KPK terakhir untuk membersihkan diri itu justru terlalu melebar!" tukas Amir. "Pengaduan KPK ke polisi bukan cuma pencemaran nama baik pimpinan KPK dan lembaganya oleh Antasari lewat testimoni, Anggoro dengan jumpa persnya, serta Ari dan Edi yang mengaku suruhan KPK! Tapi juga mengadukan media massa yang menyiarkan testimoni! Ini bisa menjadi bumerang bagi KPK, karena media yang sebelumnya selalu berpihak KPK, malah dijadikan musuh oleh KPK sendiri!"

"Langkah KPK itu justru menjustifikasi kecemasan Presiden SBY saat ke kantor Kompas, KPK sebagai superbody bisa tak terkendali karena tak ada yang bisa mengontrolnya!" timpal Umar. "Dengan menggugat media massa, serangan balik KPK bisa tidak efektif, karena KPK nanti akan lebih sibuk polemik daripada memberantas korupsi! KPK berantem dengan pers, koruptor tepuk tangan!" ***
Selanjutnya.....

Serial Drama TV Noordin M. Top!

"PERANG melawan teroris yang dilakukan Densus 88, tanpa disadari telah menjadi serial drama televisi berlakon Noordin M. Top yang disiarkan nyaris semua stasiun televisi nasional!" ujar Umar. "Warga masyarakat luas terlibat membicarakan serial drama teroris tersebut, tak kalah seru dari pendengar setia serial drama radio Saur Sepuh dengan tokoh Brama Kumbara era 1980-an!"

"Dua serial yang disajikan jenis media berbeda itu, meski sama serunya, pengaruhnya berbeda pada masyarakat!" sambut Amir. "Serial drama teroris lewat meda lihat dan dengar--televisi--menjadi repetisi kekerasan yang dipertontonkan paksa, tak cuma kekerasan perbuatan teroris, tapi juga unjuk kekerasan yang dilakukan polisi--seperti drama pengepungan rumah Muhzahri di Temanggung yang relatif bertele-tele selama 18 jam!"

"Apa pengaruh repetisi kekerasan itu?" sela Umar.

"Mempertontonkan repetisi kekerasan secara berseri begitu, yang diikuti penonton semua usia, bisa mengimunkan warga--terutama generasi muda--terhadap kekerasan!" tegas Amir. "Dalam keimunan itu, kekerasan diterima warga menjadi hal yang biasa-biasa saja! Kalau kecenderungan itu tak dihentikan, perlahan tapi pasti bisa menyemai violent culture dalam masyarakat--suatu budaya di mana kekerasan menjadi pilihan utama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan masalah!"

"Apa bedanya dengan Saur Sepuh yang juga ciat-ciat?" potong Umar.

Saur Sepuh lewat radio, tak ada paksaan melihat kekerasan! Meski ciat-ciat, pendengar cuma bisa membayangkan dengan versi masing-masing pertarungan silat yang diikutinya, tak menanam kesan indrawi sedalam gambar konkret televisi!" tegas Amir. "Kedua, dalam ®MDRV¯Saur Sepuh®MDNM¯ tokoh yang selalu disebut sehingga menjerat keidolaan para pendengar adalah Brama Kumbara, kesatria putih yang luhur budinya! Sedang dalam serial drama teroris, tokohnya Noordin M. Top, yang selalu menang selangkah dari polisi pemburunya! Lagi-lagi, kalau kecenderungan itu tak dihentikan, lalu polisi juga masih selalu kalah selangkah dari buronan nomor satu itu, bukan mustahil kalau secara diam-diam keidolaan warga jutru mengacu ke Noordin M. Top!"

"Apalagi dalam serial action, yang didaulat jadi jagoan oleh penonton selalu tokoh yang unggul, seperti Noordin M. Top dalam kejar-kejaran dengan polisi!" sambut Umar. "Konon lazim pula jagoan action seperti Zorro, sendiri melawan pasukan banyak anggota!"

"Tak kalah heboh, di balik selalu lolosnya Noordin M. Top dari sergapan polisi, berembus pula isu bos teroris itu punya ilmu menghilang, meski info intel memastikan dia ada di suatu tempat, disergap ia lolos!" timpal Amir. "Tampak perlu ditinjau ekses tayangan serial drama teroris, karena selain bisa berbalik menjagokan Noordin M. Top, keimunan warga dari kekerasan perlu dicegah!" n
Selanjutnya.....

35 Tahun, 'Every Body Business'!

"HARI ini, 10 Agustus 2009, Harian Lampung Post berusia 35 tahun! Bukan hanya dewasa, usia itu juga mengisyaratkan kematangan!" ujar Umar. "Namun, dengan segala kerendahan hati segenap pengasuh mohon maaf ke pembaca, pendukung setia penerbitan ini, atas kualitas Lampung Post yang kedewasaan dan kematangannya belum sepenuhnya mencerminkan usia tersebut!"

"Memang, masih banyak kekurangan yang harus dengan jujur diakui, perlu usaha dan kerja lebih keras lagi untuk terus menyempurnakannya sesuai perkembangan zaman!" sambut Amir. "Maka itu, hari ulang tahun ini layak jadi kesempatan mengevaluasi segala kekurangan, lalu menyegarkan komitmen memperbaikinya! Komitmen terpenting untuk selalu disegarkan adalah pada khitah eksistensial Lampung Post sebagai every body business, milik semua unsur masyarakat bangsa, khususnya warga Lampung!"


"Dengan komitmen every body business itu, Lampung Post tak bisa berumah di atas angin--terminologi Rendra--yang berarti tidak berpihak kepada siapa pun atau apa pun, kecuali pada kebenaran!" tegas Umar. "Prinsip every body business membuat Lampung Post tak bisa hanya berpihak pada kebenaran, karena harus membumi dengan berpihak pada kaum lemah dan teraniaya yang sering justru di posisi serbasalah! Itu bisa dilihat pada posisi pedagang kaki lima yang memacetkan lalu-lintas, atau malah narapidana, yang dengan semangat every body business tetap sebagai stake holder Lampung Post--selalu dijaga dan dihormati kepentingannya!"

"Di lain pihak, berorientasi pada kepentingan share holder, yang mengharuskan Lampung Post sebagai lembaga bisnis, pencari laba dan sumber penghidupan banyak orang, komitmen every body business justru harus konkret implementasinya!" timpal Amir. "Dilihat dari sisi bisnis, suatu usaha penerbitan akan sehat jika didukung pembaca setia! Pembaca akan setia jika media mampu mencerminkan aspirasinya, mengemban dan menjaga kepentingannya baik perorangan maupun kelompok, yang untuk itu mereka beli setiap hari atau langganan sebagai yuran bulanan agar koran tersebut tetap terbit! Hanya berkat dukungan itulah, share holder bisa mengelola peberbitan sebagai usaha bisnis, memberi kesejahteraan karyawan dan mendapat laba!"

"Pilihan pembaca terhadap media yang mewakili aspirasinya itu membuat pemilihan umum lewat pasar (election by market) terjadi setiap hari pada pers!" tegas Umar. "Faktor every body business menjadi titik temu kepentingan share holder dan stake holder, makin luas every body stake holder, semakin aman pula share holder! Terwakilinya segala kepentingan pada Lampung Post, hingga semua berkepentingan pada kehadiran Lampung Post, menjadi ukuran terwujudnya komitmen every body business! Dirgahayu Lampung Post!" Selanjutnya.....

Polri Sukses Menyergap Teroris !

“DRAMA penyergapan teroris sepanjang Jumat malam hingga Sabtu pagi di Temanggung dan Bekasi oleh Densus 88 Polri menuai sukses, menghabisi tiga teroris, satu di antaranya diduga tokoh utama teroris Noordin M. Top!” ujar Umar. “Di Bekasi, Polri menyita ratusan kilogram peledak untuk serangan bom bunuh diri di Jakarta!”

“Salut pada Polri atas suksesnya!” timpal Amir. “Keberhasilan itu, selain menangkap dan menghabisi para pelaku, juga menangkal rencana serangannya yang jika kecolongan bisa dahsyat, mengingat besarnya peledak yang disiapkan!”

“Bisa dibayangkan kalau perkiraan Kapolri benar, dengan bahan peledak sebanyak itu yang menjadi sasaran rumah pribadi Presiden SBY di Cikeas dan Istana Merdeka saat upacara Hari Kemerdekaan!” sambut Umar. “Bukan hanya besarnya jumlah korban, tapi lebih serius lagi para pejabat tinggi negara dan perwakilan asing yang kena! Betapa penting arti sukses Polri menangkal rencana serangan teroris itu!”

“Tak kalah pentingnya, selain tiga teroris yang tewas setelah melakukan perlawanan, Polri juga menangkap hidup sejumlah tersangka yang terkait kelompok teroris terakhir ini! Dari mereka diketahui, masih ada beberapa “tokoh strategis” teroris yang lolos!” tegas Amir. “Antara lain yang gambar hasil pengintaian polisi ditunjukkan Kapolri dalam jumpa pers, seperti SJ—tokoh perekrut calon pelaku bom bunuh diri! Juga AJ, ahli peracik bom murid langsung Dr. Azhari! Tak boleh dilupakan tersangka pelaku serangan bom sebelumnya yang belum tertangkap, seperti Dulmatin dari kasus bom Bali dan sang penata bunga Ibrohim dan Nur Said alias Nur Hasbi dari kasus bom J.W. Marriott dan Ritz Carlton terakhir! Juga Maruto! Memburu mereka sampai dapat, termasuk membongkar jaringan sel teroris baru yang mereka bentuk, menjadi tugas berat polisi yang belum selesai dalam menumpas terorisme!”

“Berarti, seandai yang tewas dalam pengepungan dan penyergapan di Temanggung itu Noordin M. Top, dengan masih berkeliarannya tokoh perekrut bom bunuh diri (SJ), ahli peracik bom murid Dr. azhari (AJ), ahli strategi teror (Nur Said, Dulmatin) dan ahli taktis lokasi (Ibrohim), ancaman teroris ke depan masih rawan!” timpal Umar. “Karena itu, sukses besar menumpas teroris di Temanggung dan Bekasi ini diharapkan tidak membuat Polri terlena, karena juga bukan mustahil kegiatan Temanggung dan Bekasi itu cuma umpan yang sengaja mereka bocorkan untuk pengalihan perhatian dari persiapan serangan para “tokoh spesialis” yang masih berkeliaran itu!”

“Harapan kita tentu, para “tokoh spesialis” itu bisa diringkus secepatnya, sebelum siap dengan serangan baru!” tegas Amir. “Kalau lambat, sel-sel baru teroris sempat terbentuk, terorisme malah jadi ancaman laten!” ***

Selanjutnya.....

Rendra, Maestro Kebebasan Ekspresi!

“DIALAH maestro penyair dramawan Indonesia: W.S.—Wahyu Sulaiman—Rendra, lahir di Solo, 7 November 1935, wafat di Jakarta, 6 Agustus 2009,” ujar Umar. “Putra pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah ini menjalani masa kecil dan remaja di kota kelahirannya. Ayahnya guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, juga sebagai dramawan tradisional, ibunya penari serimpi di keraton Surakarta.” (Wikipedia)

“Kematangan ekspresi seninya mencerminkan hasil proses pendidikannya di Akademi Seni Drama New York, Amerika Serikat, serta Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM!” timpal Amir. “Ia seniman produk proses intelektual, sejak keluarga hingga tahapan pendidikannya! Itu yang membuat ekspresi seninya, baik lewat puisi maupun teater, terasa getaran intelektualitasnya setiap kali harus nerabas melawan arus kekuasaan! Dan Rendra pantang menyerah meski rezim penguasa tak henti berusaha membungkamnya! Gebrakan Rendra bukan hanya dalam puisi dan naskah dramanya, juga intensif dalam kesenimanan, yang terpadu sebagai perjuangan kebebasan ekspresi!”

“Perjuangan kebebasan berekspresi juga bukan cuma dalam arti kebebasan warga dari rezim penguasa, melainkan juga dalam dunia seni itu sendiri!” sambut Umar. “Prof. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern (1989) menulis, dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri!”

“Rendra membawa kebebasan ekspresi, termasuk ekspresi dalam menghayati makna hidup seperti tersirat dalam puisinya!” tegas Amir. “Seperti pada puisi Renungan Indah: Seringkali aku berkata,/Ketika semua orang memuji milikku/Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan...../Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya//Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?/Untuk apa dia menitipkan padaku?....//Mengapa aku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali olehnya?/Ketika diminta kembali kusebut itu sebagai musibah/Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka/Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan itu adalah derita//Ketika aku berdoa kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku/Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua ’derita’ adalah hukum bagiku/Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika/aku rajin beribadah, selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku./Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih/Kuminta Dia membalas ’perlakuan baikku’, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku/Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk ibadah.” ***

Selanjutnya.....

PKB Progresif, Sumber Baru PAD!

“UNTUK menekan pertambahan jumlah kendaraan bermotor, di DPR tinggal ketuk palu pengesahan UU Pajak Kendaraan Motor (PKB) Progresif dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor! Maksud PKB progresif, tarif pajak tinggi buat pemilik mobil lebih dari satu!” ujar Umar. “Semua hasil pajak baru itu masuk PAD provinsi dan kota-kabupaten. Tarif pajak bahan bakar ditetapkan oleh masing-masing provinsi! Ketentuannya, 10 persen hasil semua pajak kendaraan itu untuk infrastruktur jalan.” (Kompas, [5—6 Agustus])

“Untuk daerah seperti Lampung, PKB progresif itu belum menambah pendapatan signifikan!” timpal Amir. “Sedang kalau tidak dibuat pengecualian, juragan bus, angkot, dan ojek bisa kelabakan! Sejak krismon dan lonjakan harga BBM, bus umum berat membayar PKB meski diberi keringanan! Konon lagi angkutan umum harus kena pajak setiap mengisi BBM, jelas terlalu berat mereka pikul, akhirnya mengimbas pada kenaikan tarif penumpang! Jadi beban baru lagi bagi rakyat!”

“Para pembuat UU tinggal di Jakarta, jadi standar idealnya juga menurut ukuran Jakarta, di mana PKB progresif dan pajak BBM hasilnya signifikan dan tak menimbulkan masalah!” tukas Umar. “Lain di daerah. Meski kepala daerah dan DPRD gembira mendapat sumber baru PAD hingga bisa lebih leluasa menghamburkannya, realitas kondisi ekonomi rakyat daerah masih berat memikulnya! Dari sebelumnya BBM disubsidi, nanti sudah pun tanpa subsidi, harus bayar pajak BBM pula!”

“Apalagi cuma 10 persen dari pajak kendaraan itu yang digunakan untuk infrastruktur
jalan!” timpal Amir. “Untuk kerusakan jalan provinsi, kabupaten dan kota separah sekarang, 100 persen pun tak cukup untuk membuat sebaik semula!”
“Tapi kedua UU tinggal ketuk palu di DPR!” tegas Umar. “Daerah harus menerima meski banyak masalah baru bisa timbul sebagai akibatnya!”

“Begitulah jika elite di pusat bukan menyelesaikan masalah dan meringankan beban rakyat, tapi justru membuat masalah dan menambah beban hidup rakyat!” timpal Amir. “Lucunya, kita baru mau mengenakan pajak BBM, padahal Jepang yang sudah memberlakukan pajak itu sejak 1974 mencabutnya saat harga BBM dunia meroket! Tanpa kecuali, rakyat Jepang tak keberatan pada PPn BBM itu, karena 100 persen buat infrastruktur jalan, terbukti sangat baik sampai ke jalan desa!”
“Di Jepang PKB progresif dari ukuran cc-nya! Mobil di bawah 1.000 cc pajaknya murah, di atas itu tinggi!” tegas Umar. “Mayoritas mobil di Jepang di bawah 1.000 cc, bisa menyeimbangkan panjang ruas jalan dan mobil!”

“Keseimbangan jumlah mobil di Jepang juga lewat pembatasan usia mobil, sekaligus menciptakan keseimbangan dengan produksi mobil baru!” timpal Amir. “Di sini, PKB progresif menghambat laju produksi mobil! Jadi, kita mengurangi jumlah mobil dengan memukul industrinya!”

Selanjutnya.....

Mbah Surip itu Teater Kontemporer!

"BERBAGAI kelompok masyarakat, dari pengamen se-Banten, komunitas reggae Jombang, sampai komunitas sepeda unik Kudus, tahlilan buat Mbah Surip!" ujar Umar. "Hal itu mereka lakukan dengan alasan, sebagai penghormatan pada keunikan pribadi Mbah Surip!"


"Semua penghormatan itu menunjukkan, Mbah Surip bukan sekadar penghibur!" sambut Amir. "Salah satu fungsi seniman, terutama penyanyi, memang menghibur. Tapi, seniman bukan barang atau benda yang hanya dinilai dari fungsinya! Khususnya lagi Mbah Surip, sebagai sosok pribadi dengan keunikan yang ditawarkan lewat gaya hidupnya sehari-hari, ekspresinya bernyanyi, dan syair dan tema lagunya, yang secara keseluruhan merupakan suatu nilai yang unik! Keunikan nilai yang ditawarkan Mbah Surip itulah 'sesuatu' yang dihormati banyak orang tersebut!"

"Nilai seperti apa?" kejar Umar.

"Nilai dari kehidupan Mbah Surip sebagai sebuah teater kontemporer!" tegas Amir. "Lazim pada teater kontemporer, di balik setiap tragedi--sedramatis apa pun itu--terselip semangat untuk bertahan hidup, meski kebanyakan lewat usaha yang karikatural! Mbah Surip hidup dalam bentuk karikatural itu sendiri!"


"Kayaknya Mbah Surip menjalani hidup demikian dengan kesadarannya!" timpal Umar. "Itu bisa ditebak dari pesannya, kalau mati minta dikubur di pemakaman Bengkel Teater milik W.S. Rendra!"

"Itu menunjukkan Mbah Surip menjalani hidup dengan cara berpikir tersendiri, yang unik!" tegas Amir. "Terpenting dari teater Mbah Surip, dalam kesulitan hidup seburuk apa pun orang harus tetap bisa bersama--®MDRV¯together®MDNM¯--mencari kehangatan, kegembiraan! Enak to! Mantep to!"


"Berarti nilai terpenting dari teater Mbah Surip, orang selayaknya menyadari untuk hidup sebagai aktor dalam kehidupan nyata!" timpal Umar. "Seperti Mbah Surip, berada di mana dan dalam kondisi apa pun, ia bergaya total memerankan keberadaan dirinya di panggung kehidupan!"

"Dari situ Mbah Surip mengingatkan kita ini hidup dalam masyarakat yang artifisial, dalam serba-kepura-puraan, semua orang adalah aktor yang menjalani hidup dengan peran sesuai topeng yang dipakai masing masing!" tegas Amir. "Menyadari peran yang dituutut topeng masing-masing itu, menjadi syarat mutlak untuk mampu berempati menempatkan diri dan berperan dalam realitas masyarakat yang hidup secara teatrikal!"


"Kalau begitu hakikat hidup ini cuma perjuangan mencari topeng! Cita-cita hanyalah topeng, suatu profil yang harus berfungsi dan berperilaku yang seharusnya menurut tuntutan topeng itu!" tukas Umar. "Pemilu, pilkada dan sebagainya cuma perjuangan mencari topeng! Mbah Surip secara karikatural memilih topeng buto--tokoh berambut gimbal dalam wayang! Dan terbukti, pilihannya itu dihormati banyak orang!" *** 
Selanjutnya.....

Pesan Mbah Surip dari Puncak Karier!

“MBAH Surip, penyanyi Tak Gendong, yang bernama asli Urip Ariyanto, wafat Selasa Wage 4 Agustus pukul 10.30 pada usia 60,” ujar Umar. “Seniman rakyat itu merangkak dari bawah, menyelesaikan perjuangannya saat menccapai puncak karier!”
“Nasib Mbah Surip mirip Gombloh, seniman rakyat terdahulu, yang sepanjang hidup berjuang penuh pengorbanan dan penderitaan demi pengabdian pada seni yang digelutinya, perjalanan kariernya selesai saat berada di puncak!” timpal Amir. “Itu suatu akhir istimewa, karena banyak seniman yang mencapai puncak karier pada usia lebih dini, justru hayatnya berakhir saat kariernya jatuh dengan segala kisah hidup yang dramatis!”

“Lahir 5 Mei 1949 di Mojokerto, Jawa Timur, Mbah Surip seorang duda empat anak dan empat cucu. Di balik gaya mutakhirnya yang gimbal-urakan, Mbah Surip sebenarnya berpendidikan relatif baik, setidaknya bisa dia jadikan modal bertualang kerja pada sektor pertambangan di Amerika dan Arab!” tegas Umar. “Tapi oleh darah seninya—ia sudah menulis sebagian lagunya yang populer belakangan ini ketika bekerja di Amerika—Mbah Surip tak bisa menikmati gaji dolarnya, sehingga kembali ke Tanah Air dan menggelandang sebagai seniman jalanan di Jakarta! Ternyata, lagu-lagu reggae-nya
yang berdialek empatik rakyat kebanyakan mendapat tempat di hati masyarakat luas!”
“Namun, justru gayanya yang konsisten merakyat itu menjadi masalah di puncak kariernya!” timpal Amir. “Dengan jadwal show yang sangat padat, seniman yang bertahun-tahun biasa jalan kaki dari Bulungan ke Taman Ismail Marzuki dan Ancol ini, menggendong gitarnya ke mana-mana dengan sepeda motor, yang dikendarai Farid Wahyu D.P., asistennya! Sejak lagu Tak Gendong meledak Mei 2009, menurut Farid, acara Mbah Surip selalu terisi pagi, sore, dan malam!” (Kompas.com, [12-7])

“Itu risiko sukses! Sangat melelahkan!” sambut Umar. “Bukan mau mengatakan kelelahan menjadi penyebab Mbah Surip meninggal! Jelas, ini soal takdir yang telah sampai! Yang ingin ditegaskan justru, sikap Mbah Surip memegang prinsip menolak kemapanan yang konsisten ia jalani sampai akhir hayatnya! Ini warisan berharga Mbah Surip, terutama bagi generasi muda, yang mudah silau oleh gemerlap kepalsuan materialisme!”
“Warisan nonmateriil, dalam arti cara bersikap dan memegang prinsip, khususnya lagi dalam pemahaman tentang belajar salah, yang bisa disebut sebagai salah satu ungkapan terpenting Mbah Surip!” tegas Amir. “Betapa, lewat gimbal dan urakannya menjadi lebih mudah bagi Mbah Surip membawa orang menyusuri logika terbalik, bahwa tanpa mengenal yang salah secara hakiki orang cuma bisa sampai pada tataran sok bener—malah—sok benernya sendiri! Jadi, pesan Mbah Surip, pelajarilah kesalahan untuk menemukan kebenaran!”

Selanjutnya.....

Trilogi ’Propoor, Employment, Growth’!

“DALAM pidato di DPR, Presiden SBY menyatakan tujuh prioritas APBN 2010 yang terangkai dalam tiga pro—kemiskinan (poor); pengangguran (employment), dan pertumbuhan (growth),” ujar Umar. “Pertama, sektor riil dijaga tetap bergerak dan didorong tumbuh dengan insentif fiskal. Kedua, mencegah gelombang PHK, sambil terus menurunkan angka pengangguran. Ketiga, menjaga stabilitas harga. Empat, menjaga dan meningkatkan daya beli rakyat lewat penurunan tarif pajak perorangan, peningkatan batas pendapatan kena pajak, penurunan harga BBM, menaikkan gaji PNS/TNI, pemberian BLT. Lima, melindungi warga miskin. Enam, menjaga ketahanan pangan dan energi. Dan tujuh, pertumbuhan ekonomi dipertahankan tetap tinggi, 4 sampai 4,5 persen!”

“Trilogi propoor, proemployment, dan progrowth itu bahasa teknokratis yang fasih di lidah politisi dalam retorika! Ungkapan itu mengena di hati kaum melarat, tapi dalam praktek lebih mendekati piece meal engineering—rekayasa cemilan, makanan kecil!” sambut Amir. “Retorika itu ditempuh negara berkembang yang gagal menjalankan strategi pembangunan lewat suatu perencanaan jangka menengah-panjang, social engineering! Propoor, proemployment, progrowth itu pun jadi pekerjaan menggocek bola anggaran yang bersifat short-cut—main operan pendek! Hasilnya sekadar menampilkan etalase-etalase contoh sukses yang sifatnya terbatas pada fokus penggocekan anggaran, tak mencerminkan realitas seluruh rakyat!”

“Tapi itu ditempuh akibat ekonomi global rentan goncangan multidimensi, hingga setiap
kali semua pelaku dituntut melakukan penyesuaian!” tegas Umar. “Sekaligus, itulah watak ekonomi liberal, yang menghindari perencanaan jangka panjang karena sering justru menjadi kaku, tidak lentur terhadap perubahan!”

“Tapi dengan model cemilan itu, negara-negara berkembang hanya mampu jadi hilir dari industri negara maju!” timpal Amir. “Sebab, tanpa strategi jangka panjang suatu negeri tak bisa membangun industri dasar, tak gigih riset membangun industri terapan, karena watak piece meal engginering berorientasi sebagai kosumen akibat berpacu di lahan praktis dan pragmatis! Lebih celaka lagi, akibat pragmatisme itu, sektor-sektor strategis di negerinya, mulai sektor keuangan/modal, sampai pertambangan dan energi, praktis dikuasai asing!”

“Itu dia, bagaimana mau membangun industri dasar kalau kapital dan sumber mineral-energinya dikuasai asing?” entak Umar. “Mau buat logam lempengan bahan bakunya harus impor setengah jadi, termasuk logam yang mineral mentahnya dikeruk dari negeri sendiri! Artinya, propoor, proemployment, dan progrowth lewat mengutak-atik anggaran itu pilihan paradigma terakhir—satu-satunya jalan yang bisa ditempuh!” ***

Selanjutnya.....

KPU Berkelit dari Putusan MA!

“KPU—Komisi Pemilihan Umum—berkelit dari putusan MA—Mahkamah Agung—yang membatalkan Peraturan KPU No. 15/2009 dan perintah merevisi Keputusan KPU No. 259/2009 tentang Penetapan Anggota Legislatif Terpilih Pemilu 2009!” ujar Umar. “Alasannya, putusan MA tak berlaku surut sehingga keputusan yang telah dibuat sebelum putusan MA itu bisa dijalankan! Sedang perintah revisi dari MA itu punya tenggang waktu 90 hari, jadi nanti saja direvisi, diselaraskan dengan putusan MK—Mahkamah Konstitusi—yang sedang diproses atas gugatan sejumlah parpol!”

“Jadi, atas dalih itu KPU menginstruksikan seluruh KPUD untuk memproses lanjut anggota legislatif terpilih yang telah ditetapkan!” sambut Amir. “Dengan itu,
kegoncangan yang dikhawatirkan akibat reaksi dari mereka yang telah ditetapkan terpilih tapi tak jadi dilantik, bisa diredam! Meski ini sementara, karena tekanan dari kalangan yang berkepentingan agar putusan MA dijalankan akan memuncak mendekati masa revisi—90 hari!”

“KPU ’mencari angin’ dalam waktu ke tenggat 90 hari itu, khususnya dengan mengoleksi putusan MK yang diharapkan bisa membuat revisi untuk memenuhi amar MA itu sifatnya tidak lagi terlalu prinsipil!” tegas Umar. “Dengan langkahnya ini KPU bisa disebut mengalami kemajuan dalam mengamalkan seni pengambilan keputusan—the art of decision making! Bukan sekadar berkelit mengelak dari tekanan legal-formal, sekaligus menyiapkan jalan keluar yang bisa diterima oleh kalangan lebih luas! Itu langkah seni, lebih indah dibanding asal membubarkan ketetapan yang telah dibuat KPUD seantero Tanah Air!”

“Namun, jika putusan MK menyusul nanti tidak selaras dengan langkah KPU ini, risiko hukum pengelakan putusan MA itu akan mengadang!” timpal Amir. “Selain datang dari kalangan yang berkepentingan dengan pelaksanaan putusan MA, risiko juga bisa muncul berupa tuduhan bertindak contempt of court terhadap MA—atas pengelakan dari putusan MA dengan dalih-dalih yang bisa dipatahkan oleh ketentuan hukum formal! Tapi ancaman ini hanya bisa terjadi jika MA proaktif mengawal pelaksanaan putusannya!”

“Tindakan agresif mendesak pelaksanaan putusan MA mungkin bukan dari MA sendiri! Melainkan, dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelaksanaan putusan MA tersebut!” tegas Umar. “Untuk itu, ’nasib KPU’ selanjutnya ditentukan oleh perkembangan politik usai pelantikan anggota legislatif! KPU bisa kewalahan oleh desakan kuat untuk merevisi daftar atas mereka yang telah dilantik padahal menurut putusan MA tidak berhak duduk! Sedang melengser mereka yang telah duduk juga, risikonya tak sepele! Jelas, KPU perlu cari angin agar tidak terjepit di antara benturan dua kepentingan—yang pro dan kontra putusan MA!” ***

Selanjutnya.....

Kasus Prita, Ketidakpastian Hukum!

“PT—Pengadilan Tinggi—Banten membatalkan putusan sela PN Tangerang yang membebaskan Prita Mulyasari dari segala dakwaan terkait keluhannya atas pelayanan RS Omni Internasional di milis pribadinya!” ujar Umar. “Menurut Ketua PT Banten, Sumarno, UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronika) telah berlaku sejak diundangkan! Alasannya, UU ITE memberi acuan ke kitab hukum acara pidana—KUHAP, meski pada pasal lain memerintahkan pembuatan PP dalam dua tahun!”

“Dalih Sumarno tentang dualisme UU ITE diungkap Jaksa Agung Hendarman Supanji, justru untuk menindak bawahannya!” sambut Amir. “Kata Jaksa Agung, UU ITE itu masih debatable! Ada pasal yang memerintahkan membuat PP selambatnya dua tahun, tapi ada pula acuan ke KUHAP! Jaksa Agung melakukan pemeriksaan untuk cari tahu faktor pendorong (push factor) hingga bawahannya menabrak yang debatable!”

“Tapi saya tak setuju mencari tahu push factor apa yang membuat PT Banten memungut kembali alas dakwaan yang telah dibatalkan PN Tangerang itu! Bisa terjebak menuduh yang bukan-bukan!” timpal Umar. “Justru lebih tepat menukik ke UU ITE yang kontroversial, bukan hanya menyangkut masa berlakunya, tapi lebih lagi terkait realitas zaman! Di era revolusi informasi dan keterbukaan dewasa ini, kenapa para pembuat UU menjerat warga negara ketika mengeluhkan pelayanan di milis pribadinya! Apalagi realitas pelayanan di negeri ini masih perlu perbaikan, baik pelayanan oleh swasta maupun pemerintah! Apa kata dunia, di negeri kita warga mengeluh saja dipenjara!”

“Capek membicarakan buruknya kualitas UU kita yang setiap kali menimbulkan ketidakpastian hukum!” tegas Amir. “Ketidakpastian hukum pada UU Pemilu yang mengakibatkan kisruh pembagian kursi legislatif belum selesai, muncul pula ketidakpastian hukum UU ITE pada kasus Prita Mulyasari! Jadi, saya tetap mau mencari tahu push factor ketika ada pilihan kontroversial, kenapa aparat hukum yang sepak-terjangnya merupakan realitas praktek hukum harus memilih yang melawan arus zaman—dalam hal ini, informasi dan keterbukaan! Bukankah, pencipta hukum (legislator) dan aparat hukum (terutama hakim) diwajibkan menggali rasa keadilan masyarakat, yang adanya justru dalam arus zaman itu sendiri!”

“Rupanya kau fokus ke penyebab ketidakpastian hukum, yang ternyata pada anomali penciptaan dan praktek hukum!” timpal Umar. “Anomali itu penyimpangan! Dalam kasus-kasus tersebut, penciptaan dan praktek hukum menyimpang dari arus zaman! Risikonya, penyelesaian konflik dalam masyarakat akan kontraproduktif terhadap peradaban! Artinya, dengan ketakpastian hukum akibat anomali penciptaan dan praktek hukum, salah-salah kita justru semakin tak beradab!” ***

Selanjutnya.....