Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Papa Juga Ikut Belajar Goblok!

"PAPA baca buku SD tentang cara pembuatan garam?" tukas Budi. "Ternyata Papa juga ikut belajar goblok! Orang dewasa baca buku SD!"

"Penasaran! Apa susahnya membuat garam?" sambut ayah. "Masak negeri kita impor garam per tahun hampir satu triliun rupiah! Juga impor daging sapi lima triliun, susu 7,5 triliun, lalu daging ayam dan bahan pangan lain hingga total impor per tahun Rp50 triliun! (Kompas, [27-8]) Padahal, negeri kita semua pulaunya dikelilingi pantai, bisa dijadikan ladang garam! Kalau untuk menutupi kekurangan garam itu dilakukan upaya nasional, ribuan penganggur bisa dipekerjakan, devisanya bisa jadi surplus neraca perdagangan!"

"Orang pintar dan punya kekuasaan mana mau repot menggalang dana dan mengerahkan

rakyat membuka ladang garam baru!" tegas Budi. "Lebih mudah menelepon importir untuk mengimpor garam! Sekali bicara, masalah selesai! Begitu pula dengan kekurangan daging sapi, susu, dan bahan pangan lain, meski bisa membuka lapangan kerja banyak, orang pintar itu dapat apa? Kalau impor, paling tidak ada contoh barang yang ia uji (cicipi) untuk memastikan mutunya!"

"Jangan berprasangka buruk! Tak menyelesaikan masalah!" timpal ayah. "Cari cara goblok, seperti Bob Sadino membina petani sayuran organik untuk supermarket tempat belanja warga asing! Hanya dengan cara goblok begitu kita bisa mengganti impor bahan pangan!"

"Sekalipun mengaku goblok, Bob Sadino itu konglomerat!" tegas Budi. "Jadi, harapan layak ditumpukan pada para pemilik modal, atau punya kuasa, meniru cara goblok itu mengerahkan pengangguran memenuhi kebutuhan yang bisa didayagunakan di dalam negeri, hingga selain tak perlu impor, juga membuka lapangan kerja baru!"

"Masalahnya, untuk membuka usaha seperti itu orang-orang pintar pasti menghitung risikonya! Belum lagi tenaga profesional yang mumpuni untuk menangani bisnis seperti itu relatif langka!" sambut ayah. "Maka itu, orang-orang pintar pemilik uang kebanyakan memilih menanamkan uangnya dengan didepositokan di bank! Tak ada risiko, setiap hari uangnya bertambah!"

"Itu yang membuat ekonomi warga miskin sukar bangkit! Apalagi bank tak mudah percaya untuk membiayai usaha mereka!" tegas Budi. "Kalaupun ada dana mudah program pemerintah, selain bimbingan teknis produksi dan pemasarannya lemah, orientasi untuk substitusi impor pangan tak ada! Akhirnya, nilai tambah hasil program tak memadai, impor bahan pangan terus meningkat!"

"Padahal kalau programnya dijalankan dengan cara goblok, membuat garam untuk warga miskin pantai, menggemukkan sapi dan memelihara sapi perah untuk warga miskin dataran tinggi, dua masalah sekaligus diatasi--menekan impor bahan pangan dan mempekerjakan penganggur miskin!" timpal ayah. "Tapi, siapa mau belajar goblok?" ***

0 komentar: