Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kota Baru, Gubernur pun Mengeluh!

"MUNGKIN ini pertama kali terjadi sepanjang dua periode masa jabatannya sebagai gubernur, Sjachroedin Z.P. mengeluh!" ujar Umar. "Dan itu menyangkut lambannya proses pembangunan kota baru di Jatimulyo, Lampung Selatan. Menurut dia, baru jalan utama dan gerbangnya saja yang terlihat, sedang dinas dan instansi di luar Bina Marga belum aktif mengikutinya!" "Keluhan Gubernur itu bisa dipahami karena sebagai sebuah gagasannya yang besar, kota baru tak tergarap cukup sistematis!" timpal Amir. "Investor juga tak segera berduyun-duyun seperti diprediksi!" "Meskipun demikian, Sekprov Lampung Berlian Tihang tetap optimistis sejumlah bangunan utama selesai akhir 2013 sehingga awal 2014 Gubernur, DPRD, dan Setprov sudah bisa pindah kantor ke kota baru!" tegas Umar. "Menurut Berlian Tihang, pembangunannya dilakukan dengan anggaran bertahap. Jalan tembus dari pusat kota dibangun dari jalut dua Korpri, dekat, cuma 14 km!"

"Terkesan lambannya proses pembangunan kota baru karena banyak dinas dan instansi takut salah kalau buru-buru ikut sibuk membangun di kota baru!" sambut Amir. "Terutama salah dari segi anggaran. Itu memang masalah sensitif. Karena itu, rencana anggarannya harus dikonsolidasi oleh Badan Pengelola Kota Baru untuk selanjutnya diintegrasikan prosesnya di DPRD lewat panitia anggaran eksekutif!" "Berarti keluhan Gubernur itu harus direspons komprehensif oleh Badan Pengelola Kota Baru!" tegas Umar. "Komprehensif baik ke dalam jajaran Pemprov maupun keluar dengan kampanye segala sesuatunya tentang kota baru sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat pendidikan, dan pusat rekreasi, dengan memberi gambaran jelas partisipasi apa dari masyarakat yang masih terbuka atau malah dibutuhkan!" 

"Membangun kota baru yang modern dengan fungsi seperti itu jelas tak sederhana!" timpal Amir. "Paling tidak, ada jaminan tak jadi langganan banjir sekian ratus tahun! Bandung dan Medan yang sejak awal disiapkan sedemikian rupa pun, setelah dihuni jutaan orang saluran air limbah rumah tangga maupun air hujan di bawah badan jalan utama jadi tak memadai lagi! Hingga, harus digali ulang saluran selebar badan jalan berkedalaman beberapa meter lewat proyek BUDP dan MUDP!" "Kota modern memang fungsi bawah tanahnya maksimal sehingga penggunaannya harus dikelola sejak awal!" tegas Umar. "Dari jaringan listrik, telepon, air, gas, limbah WC, rumah tangga, sampai subway (rel KA bawah tanah). Jangan seperti Kota Bandar Lampung yang ingin 'diselamatkan' dengan kota baru ini, gonta-ganti menggali hingga jalan raya babak belur terus!" ***
Selanjutnya.....

Perlawanan Rakyat terhadap Politisi!

"SAWERAN untuk gedung baru KPK itu sebenarnya bukan gedung baru KPK nian yang didamba rakyat!" ujar Umar. "Itu hanyalah lantaran atau kemasan bagi rakyat dari berbagai lapisan sosial untuk mengucurkan isinya, perlawanan terhadap politisi—khususnya yang berada di DPR—karena cenderung mengecilkan arti penilaian rakyat atas tingkah mereka, seperti tingkah mereka mengecilkan arti KPK lewat mengesampingkan kebutuhan untuk kelancaran pelaksanaan tugas memberantas korupsi!" "Jadi gedung baru KPK hanya sasaran antara efek biliar sodokan perlawanan rakyat!" timpal Amir. "Sebagai lantaran perlawanan rakyat, kebutuhan KPK yang ditelantarkan itu amat seksi untuk memberi kesan negatif memojokkan politisi!" 

"Tapi semua itu harus tetap dijaga proporsinya sebagai kritik konstituen terhadap politisi!" tegas Umar. "Bahwa pihak politisi cuek, tak mau tahu dan tak peduli kritik dari konstituennya itu tak masalah! Karena tujuan dari gerakan saweran itu membuat kontras tingkah politisi yang tak peduli pada kepentingan rakyat, terlalu asyik dengan kepentingan pribadi dan bermain unjuk kekuasaan! Maka itu, semakin jauh politisi menyimpang semakin mencolok pula terlihat kelalaian politisi terhadap tugas dan tanggung jawab konstitusionalnya terhadap konstituen!" "Berarti lewat saweran itu rakyat secara saksama memajang di publik realitas etika-moral politisi yang membuat rakyat dongkol karena kepentingannya cuma dijadikan mainan oleh para politisi, sedang yang selalu diprioritaskan kepentingan para politisi itu sendiri!" timpal Amir. 

"Untuk itu rakyat tak berharap bisa mengubah sikap mental politisi hanya dengan sekali gebrak, saweran! Lebih dari itu, gerakan ini mile stone perlawanan kultural edukatif rakyat terhadap politisi guna membentuk etika moral berbangsa lebih elegan dalam masyarakat sehingga kelak kalau perilaku politisi era reformasi sekarang diceritakan, jadi tertawaan warga bangsa masa depan!" "Itu hukuman lintas generasi sejenis nasib patung Ratu Totok Kerot yang dikutuk Joyoboyo (Wikipedia), yang kisahnya mewariskan sepasang ajaran etika moral kekuasaan!" tegas Umar. "Pertama kokohnya iman Joyoboyo, penguasa Kerajaan Pamenang, dari rayuan putri yang cantik sehingga etika moral kekuasaan di negaranya secara berjenjang terpelihara baik! Itu yang membuat nama Joyoboyo jadi pujaan dalam karya-karya pujangga Ronggowarsito! Kedua, si putri cantik yang dengan segala cara tanpa peduli etika moral merayu Joyoboyo untuk menyimpang dan menyalahgunakan kekuasaan, dikutuk Joyoboyo menjadi perempuan jelek hingga patungnya jadi cibiran sepanjang zaman!" ***
Selanjutnya.....

Terus Bergilir Anggota DPR Diperiksa KPK!

"HARI ini giliran siapa, agaknya cuma tunggu hasil undian bagi anggota DPR yang masih terus bergilir diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi—KPK!" ujar Umar. "Terakhir mendapat giliran dipanggil untuk diperiksa KPK anggota DPR yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum!" "Tapi bukan berarti setiap diperiksa KPK anggota DPR itu bersalah atau koruptor!" timpal Amir. "Jauh dari itu! Karena banyak anggota DPR diperiksa KPK hanya sebagai saksi! Malah cuma klarifikasi, atau ditanya tentang sistem dan prosedur penetapan anggaran seperti dialami anggota Badan Anggaran! Oleh karena itu, pemeriksaan KPK yang dilakoni anggota DPR itu justru bisa dijadikan kredit poin—pengalaman yang menambah kapasitas pribadi!"
"Demikian pula dengan mereka yang dari hasil pemeriksaan ditetapkan sebagai tersangka!" tegas Umar. "Kelompok ini harus dihormati juga dengan asas praduga tak bersalah—dianggap tak bersalah sampai pengadilan membuktikan bersalah! Setelah divonis bersalah nantinya tetap harus dihormati. Kalau perlu dibuat patung di daerah pemilihannya, sebagai contoh buruk yang tak boleh ditiru!

"Tapi bentuk patungnya komik atau karikatural, bukan model patung pahlawan yang sosoknya dibuat gagah perkasa!" timpal Amir. "Untuk membuat politisi jera terhadap perbuatan korupsi, patung koruptor di daerah pemilihan dirinya itu dijadikan jamarat, dilempari batu oleh orang yang lewat!" "Hukuman ekstra yang akan tetap dijalani sekalipun orangnya meninggal itu harus terpaket dalam vonis hakim, berarti ada UU yang mengaturnya, tak bisa diberlakukan sembarangan!" tegas Umar. "Jadi, logikanya takkan ada anggota DPR mau membuat UU yang mengancam dirinya sendiri dengan hukuman lintas generasi, melampaui masa hidupnya!"


 "Untuk membuktikan dirinya sungguh-sungguh antikorupsi para anggota DPR seharusnya berani membuat UU seperti itu, seperti Anas Urbaningrum berani janji siap digantung di Monas kalau terbukti korupsi satu rupiah saja dalam proyek Hambalang!" timpal Amir. "UU itu juga mengatur pelaksanaan sumpah atau janji terkait korupsi seperti dikatakan Anas! Apalagi pembela bisa berkilah janji seperti Anas itu hanya berlaku jika terbukti korupsi satu rupiah saja! Kalau korupsinya lebih dari satu rupiah, janji itu tak berlaku!" "Pokoknya semakin pastinya berjalan giliran panggilan KPK pada anggota DPR bisa membuat kegalauan di kalangan DPR, mengaktual dalam salah tingkah—seperti memberi tanda bintang untuk ditunda rencana pembangunan gedung baru KPK yang telah disetujui semua menteri terkait!" tegas Umar. "Karena di DPR banyak yang berdebar, giliran siapa berikutnya?" ***
Selanjutnya.....

Saweran Bangun Gedung Baru KPK!

"REAKSI spontan rakyat untuk saweran membangun gedung KPK seperti dilakukan para pedagang kaki lima begitu tersiar berita Komisi III DPR RI menolak usulan untuk membangun gedung baru KPK, cukup mencengangkan!" ujar Umar. "Ternyata diam-diam rakyat jelata di lapisan sosial terbawah negeri ini memperhatikan dan menggantungkan harapan pada suksesnya kerja KPK sehingga siap mendukung demi kelancaran tugas besar bangsa membasmi korupsi!" "Sebaliknya DPR!" timpal Amir. "Dengan semakin ramainya dukungan pada saweran rakyat itu, kian kuat dikesankan DPR justru tidak mendukung kemudahan dan kelancaran tugas KPK! Atau bisa lebih buruk lagi, DPR justru mempersulit dan menghambat kerja KPK!"

"Kesan seperti itu jelas punya konsekuensi!" tegas Umar. "DPR lewat proses tayangan media massa yang intens terpateri dalam benak warga bangsa—dimitoskan—sebagai kubu yang anti terhadap gerakan pemberantasan korupsi! Tampak, DPR yang cenderung untuk selalu unjuk kekuasaan itu kurang peduli pada strategi berkomunikasi sehingga terimbas ekses negatif proses interaksi komunikasi massa! Kalah dari pedagang kaki lima yang bahkan bisa memanfaatkan kelemahan DPR itu untuk menuai kesan (citra) positif buat kaumnya!" "Kelemahan (anggota) DPR dalam mengeksplorasi potensi kekuatan media massa hingga menghasilkan mitos (citra yang terpateri di benak massa) negatif atas diri dan lembaganya itu, lebih sebagai akibat perilaku umum para legislator yang cenderung sering bicara nyungsang—melawan arus logika publik!" tukas Amir. "Akibatnya, ketika sesekali anggota DPR menyampaikan sesuatu yang logis pun, massa meresponsnya dengan praduga dari balik mitos negatif anggota DPR yang telanjur berkerak di benaknya!" 

"Karena itu, respons spontan pedagang kaki lima terhadap penolakan DPR itu bagai magnet kutub yang segera menarik simpati luas di seantero negeri untuk mendukung saweran nasional membangun gedung baru KPK!" tegas Umar. "Tak kepalang, segala elemen masyarakat dari semua lapisan sosial mendukung saweran itu, tanpa kecuali Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang menyatakan dirinya menjadi penyawer pertama, sedangkan Menteri BUMN Dahlan Iskan menyawerkan enam bulan gajinya!" "Semua itu memperkuat mitos negatif tentang DPR!" sambut Amir. "Sehingga dorongan makin kuat untuk menguak lebih dalam realitas di balik mitos itu—kenapa DPR selalu cenderung untuk mempersulit kerja KPK? Bukan memfasilitasi secara lebih lengkap agar tugas besar bangsa memberantas korupsi bisa tuntas! Atau, mungkin tak bisa tuntas sebelum pemberantasan korupsi di DPR tuntas!" ***
Selanjutnya.....

Calon Al Ikhwan Menangi Pemilu Presiden Mesir!

"MOHAMMED Mursi (60), Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal Adalah), sayap politik Ikhwanul Muslimin, terpilih sebagai Presiden Mesir hasil pemilu 16—17 Juni 2012 yang diumumkan Minggu!" ujar Umar. "Mursi meraih suara 51,73%, mengalahkan mantan perdana menteri era Hosni Mubarak, Ahmed Shafiq!" "Kemenangan Mursi sebagai warga sipil pertama yang jadi presiden Mesir disambut histeris puluhan ribu warga yang berhimpun di Lapangan Tahrir, yang semula siap rusuh jika Safiq menang!" timpal Amir. "Mursi lahir di Desa Adwah, Provinsi Syarqiyah, Mesir timur, dari keluarga petani sederhana 20 Agustus 1951. Ia meraih gelar doktor teknik dari University of Southern California 1982." (Antara-OL, 25-6)

"Sejak 1977 Mursi aktif di Ikhwanul Muslimin, berkali-kali masuk penjara dengan tuduhan melakukan gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintah!" tegas Umar. "Sejak awal rezim Nasser (1953) sampai akhir rezim Mubarak (2011), Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al Bana pada 1926 itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang! Hasan Al Bana mengerahkan sejuta pemuda Arab ke Palestina tahun 1947 saat Inggris, Prancis, dan AS mendirikan negara Israel! Pada 1949 Hasan Al Bana dan sejumlah petinggi pemerintah Mesir pro-Al Ikhwan (sebutan warga Ikhwanul Muslimin) tewas dibunuh oleh konspirasi intelijen pro-Israel!" "Maka itu, terpilihnya Mursi sebagai presiden Mesir bukan saja menjadi bangkitnya nurani rakyat Mesir, bahkan lebih dari itu akan mampu memberikan bobot signifikan bagi musim semi-Arab (Arab spring) dengan sistem demokrasi modern!" timpal Amir.

 "Optimisme merebak sampai London, pakar politik Islam Maha Azzam menyatakan peluang terbuka memajukan Mesir sebagai negara sipil! Euforia demikian memang meledak-ledak di seantero negeri yang sejak zaman Firaun tertindas di bawah kekuasaan otoriter yang militeristik!" "Euforia boleh-boleh saja, Menteri Keuangan Samir Radwan justru mengingatkan pemerintahan baru akan menghadapi masalah berat di bidang finansial!" tegas Umar. "Soal berat itu, cadangan devisa tinggal 15 miliar dolar AS, pengangguran mencapai 12%, dengan 42% warga di negerinya hidup di bawah. garis kemiskinan!" "Itu justru merangsang Mursi yang dalam kampanyenya berjanji akan membangun pemerintahan modern transparan berbasis Islam dengan tetap menghormati perjanjian internasional!" timpal Amir. "Dan konsep pemerintahan Ikhwanul Muslimin itulah yang menarik dan ditunggu dunia untuk membuktikan keunggulannya, sejalan dengan popularitas nama Ikhwanul Muslimin dan Hasan Al Bana!" ***
Selanjutnya.....

Terlalu, Pengadaan Alquran Dikorupsi!

"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—mulai menyelidiki dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran di Kementerian Agama!" ujar Umar. "Kata Juru Bicara KPK Johan Budi, Jumat (22-6), dugaan korupsi terjadi pada proyek 2010—2011 di Ditjen Bimas Islam yang waktu itu dipimpin Nazaruddin Umar—sekarang menjabat wakil menteri agama! Setiap tahun dicetak 2 juta eksemplar Alquran dengan anggaran Rp130 miliar!" "Jadi tepat kalau pada konferensi pers Kementerian Agama yang digelar untuk merespons berita dari KPK itu Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar yang menjawab: Sampai saat ini secara normatif atau di atas kertas tidak menemukan penyimpangan!" timpal Amir. "Untuk itu Ketua KPK Abraham Samad ngotot: Saya lupa berapa kerugian negaranya, tapi kami punya bukti yang kuat!""

"Terpenting, konferensi pers itu digelar guna menyatakan Kementerian Agama terbuka dan mendukung KPK dalam melakukan pemeriksaan terkait dugaan korupsi pada proyek pengadaan Alquran!" tegas Umar. "Bahkan, pimpinan Kementerian Agama sendiri menganggap keterlaluan perbuatan korupsi dalam pengadaan Alquran sehingga Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar siap jika harus diperiksa KPK! "Dengan sikap terbuka pada pemeriksaan KPK itu bisa dikatakan setengah masalah selesai, tinggal menguji kemampuan penyidik KPK membuktikan korupsinya!" timpal Amir. "Pembuktian KPK diperlukan justru untuk sekaligus membersihkan Kementerian Agama dari oknum-oknum yang kurang cocok bekerja di situ!" "Iktikad baik dengan secara tulus membuka diri untuk pemeriksaan KPK agar instansinya benar-benar bersih dari korupsi seperti dilakukan Menteri Agama Suryadharma Ali layak jadi teladan!" tegas Umar. "Sebab, sikap pemimpin tertinggi suatu instansi amat menentukan bersih atau tidaknya instansi tersebut dari korupsi! 

Jika pimpinan instansi cenderung menutup diri, takut jangan-jangan ekor sebuah kasus mengimbas ke bos instansinya, instansi tersebut bisa menjadi sarang koruptor! Apalagi kalau malah resisten terhadap setiap usaha menyingkap borok busuk di tubuh instansinya sehingga jika muncul whistle blower langsung dikeroyok dan dibenamkan secara beramai-ramai oleh kalangan pimpinan instansinya, tak kepalang instansi itu pun menjadi tempat paling nyaman sebagai sarang koruptor pemilik rekening gendut!" "Maka itu, sikap membuka diri bagi menjaga instansinya tetap terjaga bersih dan konsisten pada haluan misinya seperti dilakukan Menteri Agama itu amatlah penting, lebih-lebih dengan misi Kementerian Agama yang suci!" timpal Amir. "Hanya dengan sikap dan cara seperti itu misi suci Kementerian Agama bisa terjaga dari cemaran laknat sejenis koruptor pengadaan Alquran!" ***
Selanjutnya.....

Melebar, Jurang Kaya dan Miskin!

"SALAH satu faktor penting penyebab merosotnya amat tajam indeks negara gagal (ING) Indonesia—dari peringkat 87 pada 2009 menjadi 63 pada 2012—adalah kian melebarnya jurang antara si kaya dan kaum miskin!" ujar Umar. "Ketimpangan sosial yang semakin menganga itu bagaikan luka membusuk di tubuh bangsa hingga baunya tercium di Washington DC, Amerika Serikat, di mana lembaga peneliti nirlaba Fund for Peace memeringkat ING 178 negara di dunia!" "Apa sebenarnya yang tersirat di balik penegasan tambah lebar dan dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin itu, padahal statistik di dalam negeri mencatat penurunan jumlah orang miskin di Indonesia dari tataran 15% pada 2009 menjadi sekitar 12% pada 2012?" tanya Amir."Itu soal beda cara pengukurannya!" jawab Umar. "Statistik kita pakai hitungan konsumsi berbilang sen di bawah 1 dolar AS per orang per hari, sedang Washington pakai pendapatan 2 dolar AS per orang per hari! Akibatnya, jika pakai kacamata mereka jurang itu tampak menganga lebih lebar dan lebih dalam!"

"Tapi kenapa kita pakai kacamata kuda yang melihat jurang itu sempit sehingga bisa membuat kita terjerumus?" kejar Amir. "Masalahnya, kita sudah berada dalam jurang itu, jadi tak perlu takut terjerumus masuk jurang lagi!" jawab Umar. "Beda dengan orang yang belum terjerumus, perlu kacamata yang benar agar tak terjerumus! Sedang kita yang telanjur berada dalam jurang, perlu pakai kacamata rayband agar hal-hal buruk dalam jurang terlihat menjadi serbaindah!" "Jadi itu rupanya tujuan kita membuat pranata ukuran sendiri yang berbeda dengan standar universal?" timpal Amir. 

"Bukan untuk melihat esensi masalah, melainkan sekadar pelipur lara dari realitas pahitnya hidup! Realitas itu, merosotnya ING dari peringkat 87 ke 63 dalam tiga tahun seiring yang tecermin di ranah hukum berupa kecamuk korupsi di jantung kekuasaan negara yang nilainya tembus triliunan rupiah!" "Maka itu, kita seharusnya rajin berkaca diri di cermin universal, agar tak terbuai cermin gila yang mencitrakan wajah kita tampan, padahal di cermin normal terlihat wajah kita celemotan dengan riasan kosmetik artifisial yang norak!" tegas Umar. "Kita layak menyadari bahwa ketimpangan sosial jurang kaya-miskin yang semakin lebar itu merupakan 'penyakit dalam' yang menggerogoti tubuh bangsa! Karena itu harus diobati dan dirawat dengan baik agar peringkat ING-nya tak terus memburuk! Penyakit seperti itu tak cukup diobati minyak angjn, apalagi kalau tujuannya cuma agar bau harumnya merebak!" ***
Selanjutnya.....

Indeks Negara Gagal, Posisi Indonesia Memburuk Drastis!

"POSISI Indonesia terus memburuk secara drastis pada indeks negara gagal (failed state index) dari peringkat 87 pada 2009 ke peringkat 63 pada 2012, atau merosot 24 tingkat dalam tiga tahun!" ujar Umar. "Dalam indeks ini semakin kecil angka peringkatnya makin buruk. Peringkat terakhir itu diumumkan, Senin (18-6), di Washington DC, AS, oleh lembaga riset nirlaba The Fund for Peace dan majalah Foreign Policy yang meneliti di 178 negara!" "Peringkat 63 itu masuk kelompok berbahaya (in danger), apalagi dengan laju kemerosotan setajam itu!" timpal Amir. "Peringkat satu indeks negara gagal (ING) ditempati Somalia. Disusul posisi dua Republik Demokrasi Kongo! Tempat terjauh dari ancaman gagal, peringkat 178, diduduki Finlandia!"

"Dari sekian variabel yang diteliti, tiga faktor diangkat sebagai pemicu utama kemerosotan drastis ING Indonesia!" tegas Umar. "Pertama tekanan penduduk (demografis) akibat degradasi lahan serta tergusurnya warga karena masalah lingkungan! Kedua, ketidakpuasan kelompok karena banyak demonstrasi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas! Ketiga tekanan sosial akibat semakin lebarnya jurang antara si kaya dan si miskin!" "Merinding bulu kuduk mendengar penyebab terpacunya kita menuju negara gagal!" timpal Amir. "Tekanan penduduk atas tanah dengan ancaman Hukum Malthus—penduduk meningkat dengan deret ukur sedang produksi pangan naik dengan deret hitung—ditimpa involusi pertanian Clifford Geertz setiap petak tanah dibebani menghidupi jumlah penduduk yang terus makin besar, kini muncul pula degradasi lahan dan penggusuran! Betapa ngeri arti negara gagal itu bagi bangsa kita!" 

 "Miris boleh saja melihat ancaman negara gagal berpacu mendekati kita, tapi harapan rebound tetap terbuka!" tegas Umar. "Sebab, sebelum disalip Finlandia dari peringkat 178, pada 2010 posisi itu ditempati Bosnia-Herzegovina (Wikipedia), yang seperti Indonesia, mayoritas penduduknya muslim! Artinya, kita punya dasar keyakinan yang sama untuk menjauh dari ancaman kegagalan negara yang terus menguat itu!" "Cuma, dari segi apa kita harus belajar dari Bosnia untuk menciptakan arus balik buat negara kita agar bergerak menjauh dari sedotan 'lubang hitam' kegagalan?" tanya Amir. "Dari laporan media tentang Bosnia, sebagai bangsa bernyawa saringan sisa pembantaian massal (genocide), mereka hidup di garis ajaran secara letterlijk!" jawab Umar. "Artinya, mereka hidup lurus, tak munafik, dan mengekang maksimal syahwat korupsi! Cobalah tempuh cara hidup yang sama, semua pendorong bangsa ke jurang kegagalan akan bisa dihentikan!" ***
Selanjutnya.....

Wasit Euro 2012 Mengecewakan!

"DUA tim Eropa timur jadi korban kinerja wasit yang mengecewakan!" ujar Umar. "Korban pertama Kroasia saat lawan Spanyol, strikernya Mandzukic didorong dengan keras oleh Sergio Ramos dalam kotak penalti. Bukannya Ramos dinyatakan salah, malah pemain Kroasia yang mempertanyakan putusan wasit itu dikartu kuning!" 

"Bahkan gol tunggal ke gawang Kroasia di menit terakhir berbau offside dua pemain Spanyol!" potong Amir. "Itu dia!" timpal Umar. "Korban kedua justru tuan rumah, Ukraina! Setelah bola melewati garis gawang Inggris baru disontek keluar oleh Jhon Terry, tak dinyatakan wasit sebagai gol! Padahal kalau gol itu diakui, pertandingan saat itu draw!" 

"Celakanya, akibat kurang fair-nya wasit pada tanding yang menentukan itu, kedua negara tersingkir dari lanjutan Euro 2012!" timpal Amir. "Jadi bukan hanya mengecewakan suporter tim bersangkutan dan penonton netral di antero jagat, melainkan juga merugikan tak kepalang negara-negara korban ketakadilan wasit!" 

"Dengan begitu, penonton di dunia ketiga yang berharap bisa memetik pelajaran berharga tentang keadilan lewat tontonan kelas dunia itu, gagal mendapatkannya!" tukas Umar. "Sebaliknya justru menuai kekesalan yang mengusik hatinya!" "Dari sisi itu, begitu adanya!" sambut Amir. "Kalau pertandingan itu di negeri kita, wasitnya mungkin dikeroyok pemain dan penonton yang turun ke lapangan, lalu sebagian membakar stadion! Tapi di sana, baik pemain maupun penonton bisa menahan diri dan tetap terkendali!"
"Sportivitas pemain, penonton, dan pelatih itulah pelajaran berharga yang layak dipetik masyarakat kita!" tegas Umar. 

"Tetap sportif menerima dan menghormati apa pun putusan wasit! Contoh dramatisnya pelatih Ukraina Oleg Blokhin. Meski sepanjang akhir pertandingan ia berekspresi kesal atas putusan wasit tak mengakui gol buat timnya, begitu pertandingan usai ia ke titik tengah lapangan memanggil para pemain untuk memberi hormat pada penonton! Artinya, apa pun yang terjadi penonton bisa menilai sendiri bahwa mereka telah memberikan yang terbaik!" "Soal itu harus dilihat dari cara berpikir warganya!" tukas Amir. 

"Di sana orang membedakan game (permainan) dari kehidupan sesungguhnya, hingga bisa membedakan yang ada di lapangan itu cuma permainan! Sedang di sini, tak bisa membedakan kedua hal itu, hingga yang di lapangan itu jadi soal hidup-mati! Suporter lawan pun dianggap musuh yang harus dibunuh beramai-ramai, seperti tiga suporter Persib yang terbunuh di Senayan!" "Itu mungkin karena kita Homo Ludens—makhluk suka bermain—yang paripurna!" timpal Umar. "Hingga saat kerja pun bermain melulu!" ***
Selanjutnya.....

Petahana dan Anak Petahana!

"SEBANYAK 13 pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Senin lalu telah mendaftar di KPU sebagai peserta pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) tiga kabupaten—Tanggamus, Lampung Barat, dan Tulangbawang!" ujar Umar. "Di dua daerah kompetisi masih diikuti petahana (Tanggamus dan Lampung Barat), sedang di Tulangbawang diikuti putra petahana (bupati) yang akan digantikan oleh pemenang pemilukada!" "Kesertaan petahana dan putra petahana itu hal wajar dalam pemilihan umum, bahkan andai ada yang dalam rangka membangun dinasti, sebab adanya dinasti politik di negara demokrasi lazim saja seperti Dinasti Nixon dan Kennedy di Amerika Serikat!" timpal Amir. "Hal terpenting justru pada KPU yang berperan selaku komisi pertandingan dan Panwas sebagai wasit yang mengawasi jalannya pertandingan di lapangan! Dalam hal ini, menjamin fair play bisa ditegakkan dalam kompetisi!"

"Untuk itu, integritas dan kredibilitas maupun kemampuan dan kemauan penyelenggara/pengawas pemilukada senantiasa harus diuji!" tegas Umar. "Soalnya Lampung punya pengalaman buruk kinerja penyelenggara pemilukada yang membawa kotak suara dihitung di persembunyian, seperti kucing beranak membawa anak-anaknya sembunyi, sehingga penghitungan suara hasil pemilukada tak bisa dihadiri panwascam dan wakil-wakil peserta!" "Kemungkinan hal buruk itu terulang tak mustahil, karena ketika hal itu digugat ke MK, hasilnya jauh dari harapan!" timpal Amir. "Ini semata terkait penyelenggara yang harus senantiasa membuktikan bekerja dengan baik dan benar agar kerawanan di balik ikutnya petahana dan anak petahana dalam pemilukada tak menimbulkan ekses negatif!" 

"Sisi rawan petahana dan anak petahana ikut pemilukada, antara lain mobilisasi birokrasi sebagai tim sukses, penggunaan APBD khususnya dana bansos untuk mendukung usaha pemenangannya, lalu penggunaan fasilitas pemda untuk operasional tim sukses!" tukas Umar. "Semua sisi rawan itu tak sederhana, bahkan ada yang di luar batas kemampuan panitia pengawas untuk menanganinya! Hal seperti itulah, ketika pihak-pihak yang berkewajiban menanganinya ternyata juga 'tak berdaya' mengatasinya, kecurangan pun berlangsung nyaman-nyaman saja!" “Karena itu, hanya semangat fair play pada diri petahana itu sendirilah kontrol terbaik agar sisi-sisi rawan dari kesertaannya dalam pemilukada tidak terjadi, atau setidaknya tak bisa dibuktikan proses hukum!" timpal Amir. "Masalahnya sering, justru kelemahan hukum dalam mencegah sisi-sisi rawan itu yang dijadikan peluang meraih kemenangan oleh petahana! Tapi itu kisah empiris dari masa lalu! Ke depan, semoga tidak lebih buruk!" ***
Selanjutnya.....

Tortor Mandailing Diklaim Malaysia

MENTERI Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Rais Yatim dikutip kantor berita Bernama Kamis lalu mengatakan tarian tortor Mandailing dan gordang sambilan merupakan warisan budaya nasional Malaysia!" ujar Umar. "Kata Rais, tari tortor dan gordang sambilan itu bagian dari keanekaan budaya negeri Malaysia yang secara reguler ditampilkan di depan publik lokal maupun internasional!" "Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Windu Nuryanti di Metro TV (18-6) menyatakan pihaknya mengonfirmasi ke pihak Malaysia, diperoleh jawaban klaim itu didasarkan pada adanya warga Malaysia asal Mandailing yang menari tortor dan memainkan gordang sambilan—musik perkusi yang terdiri dari sembilan gendang dijajar dari yang terbesar sampai terkecil. Bentuknya panjang dengan kulitnya hanya di sisi atas dipukul dengan tangkai penggebuk, bukan dengan tangan seperti gendang Jawa!" timpal Amir. "Selain itu, kata Windu, klaim itu belum masuk daftar usulan di UNESCO untuk dijadikan Warisan Dunia. Yang ada justru usulan Indonesia, yakni budaya subak di Bali!"

"Tapi materi budaya itu oleh Rais Yatim akan dikukuhkan menjadi warisan budaya nasional Malaysia sesuai UU Warisan Nasional negeri itu tahun 2005!" tegas Umar. "Itu yang membuat warga pewaris asli budaya tersebut di negeri kita menolak klaim Malaysia itu! Juga protes keras dari segenap rakyat Indonesia, terutama Malaysia semakin menjadi-jadi dalam membajak budaya kita untuk tujuan komersial, promosi pariwisata negerinya!" "Memang, sejak 2007 Malaysia mengklaim sebagai budaya mereka, antara lain kesenian reog Ponorogo, batik, lagu Rasa Sayange, tari pendet Bali!" ujar Amir. "Karena itu, kegemaran Malaysia main caplok itu harus dihentikan! Apalagi mereka selalu menggunakan perantau Indonesia di negerinya yang secara fisik nyata-nyata mereka tindas itu sebagai alasan!"

 "Itulah masalah yang disoroti Ketua Lembaga Adat Batak Mandailing, Saleh Salam Harahap, yang mengakui migran dari Mandailing bermukim cukup lama di Malaysia yang dijadikan dasar klaim pemerintah negeri itu!" tegas Umar. "Tapi ia yakin, tokoh-tokoh Mandailing yang ia kenal di Petak dan Kuala Lumpur tak akan tinggal diam dengan klaim pemerintah Malaysia itu!" (Tempo.com) "Tapi kenapa Malaysia jadi gelap mata membajak banyak budaya Indonesia untuk jualan wisatanya?" tanya Amir. "Jawabnya cari di TTCI (The Travel and Tourism Competitive Index), meski Malaysia unggul di peringkat 32 dunia di tahun 2008, sedang Indonesia 81, ada tren Malaysia terus merosot, 2011 jadi peringkat 35, sedang Indonesia naik tajam jadi 74," jawab Umar. "Malaysia perlu jualan budaya karena jualan lokalisasi judi sudah jenuh!" ***
Selanjutnya.....

Uang Muka 30%, Terlalu Berat!

"KALAU mau disebut sebagai sarana pemerataan, uang muka teringan dalam kredit kendaraan bermotor dan pemilikan rumah yang berlaku sebelum Jumat pekan lalu, itulah yang paling efektif!" tegas Umar. "Tapi, setelah uang muka 30% diberlakukan Jumat lalu, fasilitas yang menjadi sarana pemerataan itu pupus, jadi terlalu berat bagi rakyat jelata umumnya menjangkau kedua hal yang telah menjadi kebutuhan primer bagi rakyat itu!" "Dua hal itu yang tampaknya justru belum masuk pertimbangan pembuatan kebijakan tersebut!" sambut Amir. "Pertama bahwa keringanan uang muka kredit rumah dan otomotif—utamanya sepeda motor—merupakan fasilitas untuk terciptanya pemerataan sosial-ekonomi! Kedua, bahwa rumah dan sepeda motor itu 'kebutuhan primer' dalam realitas hidup masyarakat dewasa ini!"

"Rumah sebagai kebutuhan primer malah sudah masuk konsep lama—sandang, pangan, papan!" timpal Umar. "Sedang sepeda motor menjadi sarana cari makan—ojek, dagang keliling, transportasi keluarga untuk ke tempat kerja, antar-jemput anak sekolah, dan sebagainya! Pokoknya kalau cara mendapatkannya dipersulit, akan berpengaruh pada proses pemerataan dan keidupan sosial-ekonomi mayoritas rakyat!" "Selain itu, dengan keterbatasan mendapatkan sepeda motor baru, kalau salah satu alasan penetapan beratnya uang muka agar jalan raya lebih aman karena jumlah sepeda motor dibatasi, realitasnya bisa justru sebaliknya!" tukas Amir. "Karena, jalan raya segera dijubeli sepeda motor tua yang tingkat aman dikendarainya terus semakin rendah! Lain hal jika 'regenerasi kendaraan' tidak dihambat!" 

 "Kedua hal itu—seagai sarana pemerataan dan kebutuhan primer—mungkin dikesampingkan oleh Bank Indonesia (BI) dalam pembuatan kebijakan itu karena ancaman kredit macet pada kedua jenis tersebut yang akibatnya bisa seperti nasib kredit perumahan pada krisis ekonomi 2008 di Amerika Serikat (AS), masalahnya jelas berbeda!" tegas Umar. "Di AS, jaminan kredit atas kredit perumahan telah dijaminkan secara bertingkat-tingkat (derivatif), sedang di sini umumnya kontrak leasing total lost (jaminan langsung dengan risiko yang tak laku dijual di pasar derivatif) sehingga kedua jenis kredit itu justru menggairahkan pasar asuransi!" "Masalah sebenarnya bukan hal yang realistis, melainkan paranoid yang semakin mencekam kalangan pemimpin bangsa ini, sehingga ancaman sebesar tungau di seberang pulau jadi tampak sebesar gajah!" timpal Amir. "Padahal, ancaman ketidakmerataan sosial-ekonomi jauh lebih berbahaya dari gelembung sabun kredit rumah dan sepeda motor di negeri ini!" ***
Selanjutnya.....

Kala ‘Total Football’ Menjadi Tak Andal!

"TRAGIS nian! Dengan permainan total football yang melegenda pernah memukau dunia dari zaman Johan Cruiff hingga Van Basten, tim Belanda yang bertabur bintang kalah beruntun di babak penyisihan grup Piala Eropa 2012!" ujar Umar. "Dan total football pun berubah menjadi tragedi bagi tim yang bermain tak andal dilihat dari hasil akhirnya itu! Sebab jika dilihat lewat proses, sampai Mario Gomez mencetak gol kedua di menit 38, Belanda unggul dalam ball position, 61 persen!" "Itulah bukti faktor luck—keberuntungan—punya porsi 51 persen dalam menentukan hasil tanding sepak bola!" timpal Amir. "Faktor keberuntungan pula yang masih menyisakan peluang buat Belanda untuk tetap bisa masuk babak delapan besar jika mampu mengalahkan Portugal dengan selisih gol yang lebih baik dari Portugal dan Denmark—andai Denmark juga dikalahkan Jerman yang perkasa itu!"

"Ada dua kelemahan Belanda yang terlihat dalam dua kekalahan berturut Belanda!" tukas Umar. "Pertama, saat laga lawan Denmark, permainan Belanda sebagai sebuah tim masih kurang padu, belum solid! Meski permainan individu unggul, tanpa kerja sama tim yang baik tampak kurang efekif!" "Gol tunggal Dehli ke gawang Belanda bahkan akibat salah pengertian pemain belakang Belanda dalam mengantisipasi bola liar sehingga Dehli lolos dan bisa bebas melepas tendangan di mulut gawang!" sela Amir. "Begitulah!" timpal Umar. "Kedua, ketika lawan Jerman kesalahan itu diperbaiki sehingga meski kalah dua gol, penguasaan bolanya unggul! Kelemahannya saat itu, penguasaan bola hanya diputar-putar di luar tembok pertahanan Jerman, tak mampu menembusnya bahkan dengan terobosan Arjen Robben yang terkenal tajam itu! 

Termasuk gol Van Persie, dicetak dari balik tembok hingga gerak cepat Van Persie tak terlihat kiper lawan!" "Untuk pertandingan ketiga yang bagi kedua pihak merupakan tarung hidup-mati—siapa kalah angkat koper, hanya jika Belanda bisa menyempurnakan permainan total football dalam penguasaan bola, ketangguhan pertahanan dan ketajaman ujung tombak serangan, sisa peluang Belanda untuk tak tersingkir dari arena Piala Eropa 2012 masih bisa diharapkan!" ujar Amir. "Tetapi, itu pun akhirnya tergantung pada Jerman yang sudah memastikan lolos ke putaran kedua, apakah mereka harus bermain ngotot menguras tenaga dengan risiko pemain cedera melawan Denmark yang pasti ngotot habis untuk merebut tiket kedua dari Grup A ke delapan besar! Sakitnya Belanda dan Portugal di situ, Jerman memillih simpan tenaga untuk pertandingan babak selanjutnya yang lebih penting bagi menapak ke takhta juara!" ***
Selanjutnya.....

Globalisasi, Gombalisasi, Gembelisasi!

"AWALNYA globalisasi dielu-elukan sebagai jalan pintas peradaban negara-negara terbelakang dari era flinstone atau agraris ke era informasi tanpa melalui era revolusi industri yang berdarah-darah!" ujar Umar. "Setelah jalan dua dekade di peralihan abad 20 ke 21, terbukti gambaran ideal itu cuma gombal! Realitasnya, warga pewaris dunia batu dijauhkan dari batu-batu milik mereka yang diambil alih dan diolah oleh kekuatan modern! Demikian pula masyarakat agraris, disingkirkan dari tanahnya yang kemudian dikelola oleh manajemen industri maju, sedang untuk mencukupi kebutuhan pangannya, warga agraris itu dipaksa membeli dari industrialis modern!" "Tampak, globalisasi cuma gombalisasi!" timpal Amir. "Dan karena pengambilalihan hak-hak atas batu dan tanah itu menelantarkan sekaligus menyengsarakan kaum pewaris batu (terutama di Papua) dan tanah (utamanya di Kalimantan dan Sumatera) yang akhirnya hidup menjadi gembel yang menggelandang di atas tanah warisan leluhurnya sendiri! Jadi, globalisasi tak cuma gombalisasi, tapi sekaligus gembelisasi!"

"Dan peradaban justru mundur ke cara hidup serigala, homo homini lupus, saling memangsa di antara sesamanya, yang kuat memangsa yang lemah lewat mekanisme kekuasaan modal dan teknologi!" tukas Umar. "Berbasis kekuasaan modal dan teknologi yang berbagi nikmat dengan kekuasaan politik lokal, globalisasi bukannya proses mengangkat harkat dan martabat warga pemilik asli batu dan tanah, tapi membenamkan mereka ke bawah permukaan peradaban tanpa kecuali lewat tekanan kekuatan bersenjata yang mematikan!" "Gejala itu bukan hanya menonjol di Papua, melainkan secara sporadis juga terjadi di pulau-pulau lain di Indonesia!" timpal Amir. 

"Bahkan di Kalimantan, orang utan sebagai pewaris hak Ilahiah hutan di sana, dihabisi secara sistematis seiring dengan meluasnya perkebunan kelapa sawit! Tepatnya, untuk pengamanan proyek-proyek maupun memenangkan konflik atas batu dan tanah, penguasa modal, teknologi, dan politik justru mempraktekkan pola revolusi industri yang berdarah-darah!" "Terpenting dari semua itu adalah, bagaimana para penguasa dan pemilik kekuatan di atas angin cepat menyadari bahwa kemajuan peradaban bukan ditentukan oleh ketinggian teknologinya, melainkan setinggi apa kita bisa mengangkat derajat manusia bangsanya!" tegas Umar. "Kemuliaan manusia, itulah tujuan pembangunan global seperti di paket MDG's'—bukan model gombalisasi apalagi gembelisasi!" ***
Selanjutnya.....

Calon Bupati Makin Sedikit!

"BUAT apa menghamburkan uang miliaran untuk ikut pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kalau peluang menangnya sebenarnya masih spekulasi!" ujar Umar. "Itulah cara berpikir realistis yang mulai berkembang di kalangan tokoh masyarakat Lampung sehingga calon bupati yang mengikuti pilkada tiga kabupaten di Lampung tahun ini—Tanggamus, Tulangbawang, Lampung Barat—cenderung makin sedikit!" "Itu jelas kabar gembira karena kecenderungan tersebut mengesankan kian dewasanya kalangan tokoh masyarakat untuk mengukur sendiri kapasitas ketokohan dirinya, becermin tentang kepantasan dirinya mendamba untuk menjadi orang nomor satu di kabupatennya!" timpal Amir. "Saya sering sedih bila melihat seseorang tanpa pikir panjang dan introspeksi siapa dirinya, royal bagi-bagi sembako ribuan paket untuk sosialisasi menaikkan popularitas namanya di masyarakat!" 

"Popularitas ketokohan itu perlu agar hasil survei menempatkan dirinya di posisi atas, dengan mana partai politik mau mengusungnya sebagai calon dalam pilkada!" tegas Umar. "Tapi banyak orang yang belum jelas tingkat popularitasnya pada hasil survei, sudah keburu menghamburkan dana untuk menyewa perahu partai politik! Setelah habis uang banyak, ternyata pengurus pusat partai mendasarkan pilihan calon yang diusungnya dalam pilkada sesuai hasil survei!" "Bukan cuma itu!" potong Amir. "Belum jelas apakah pasti ada partai yang bakal mengusungnya, ia sudah menghamburkan dana untuk mencetak poster wajahnya, spanduk, baliho, umbul-umbul, dan sebagainya! Celakanya, setelah ketahuan partai tak ada yang mau mengusungnya, untuk mencari dukungan pencalonan lewat jalur independen sudah kekurangan waktu untuk memenuhi jumlah dukungan lengkap dengan fotokopi KTP-nya! 

Sudah habis uang sedemikian banyak, jangankan ikut pilkada, untuk mendaftar pencalonan namanya ke KPU saja gagal!" "Makin sedikitnya pendaftar pasangan calon bupati dan wakil bupati ke KPU, juga tak terlepas dari kecenderungan partai politik untuk ramai-ramai mendukung calon yang unggul dalam survei dengan membentuk koalisi tertentu!" tegas Umar. "Tentu saja, calon yang didukung beramai-ramai itu dipilih juga berdasar penilaian sang calon mampu mengeluarkan biaya operasi pemenangan dirinya yang cukup dan adil kepada setiap partai!" "Berkurangnya pasangan calon yang lolos unuk mengikuti pilkada, semakin kecil pula jumlah paket sembako yang diterima rakyat pemilih!" timpal Amir. "Dan pilkada semakin berkualitas ketika rakyat tak lagi berharap pada pembagian sembako untuk menentukan pilihannya!" ***
Selanjutnya.....

Ekses Krisis Eropa Mulai Menyengat!

"EKSES krisis ekonomi Eropa mulai menyengat!" ujar Umar. "Neraca perdagangan kita April defisit 640 juta dolar AS! Sementara ekspor melemah, impor justru ugal-ugalan, seperti impor beras yang tak peduli panen raya, hingga baru April saja sudah mencapai 834 ribu ton dengan nilai mencapai Rp4,2 triliun!" (metrotvnews.com) "Hal itu senada laporan Kompas (11-6), hantaman krisis global semakin mengusik perekonomian Indonesia! Selain menekan nilai rupiah atas dolar AS dan mengoreksi tajam indeks harga saham gabungan (IHSG), juga berakibat terjadinya pengurangan tenaga kerja!" timpal Amir. "Impor April 2012 naik 11,65% dari periode sama tahun lalu, akibat industri dalam negeri sebagian besar menggunakan bahan baku, bahan penolong, dan barang modal impor dengan persentase lebih dari 80%! Tajamnya kenaikan impor ini, menurut Kompas, juga akibat kenaikan impor BBM!"

"Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dalam pidato penyerahan penghargaan Pasar Modal 2012 akhir pekan lalu mengingatkan ancaman krisis!" tegas Umar. "Sebagai bagian dari pasar global kita tak bisa melepaskan diri dari dampak buruk bila krisis terus berlanjut! Untuk itu Menkeu meminta kita terus memperkuat perekonomian dalam negeri. Salah satu kekuatan yang bisa dioptimalkan adalah kuatnya konsumsi dalam negeri dengan besarnya jumlah kelas menengah!" "Justru kekuatan konsumsi kelas menengah kita yang besar itu bisa menjadi pemicu kesulitan baru di masa krisis!" tukas Amir. "Karena konsumsi dalam life style kelas menengah kita berorientasi impor, dari pangan sampai aksesori teknologis pola industrial society! 

Semua gaya konsumtif itu yang sudah terpadu (integrated) dengan sistem industri rakitan telanjur melembaga di negeri kita, tak mudah diatasi untuk menurunkan impor. Karena, satu-satunya jalan keluar selama ini adalah dengan memacu ekspor!" "Tapi memacu ekspor itu yang terkendala oleh lemahnya permintaan pasar akibat krisis global!" tegas Umar. "Lucunya, bahkan kalau program pembatasan BBM sukses dan semua mobil kalangan kelas menengah beralih ke pertamax, biaya impor BBM naik drastis hingga menambah tajam defisit neraca perdagangan!" "Begitulah jika ekses krisis telah menyengat!" timpal Amir. "Sengatan itu tak terlalu sakit andai para pejabat tak berburu rente, seperti impor beras berlebihan saat panen raya! Defisit neraca 640 juta dolar AS itu tak perlu terjadi jika impor beras tak dipaksakan Rp4,2 triliun—4,7 miliar dolar AS!" ***
Selanjutnya.....

Tolak Predikat Kota Terkotor!

"DIPIMPIN Sekretaris Kota Bandar Lampung Badri Tamam, 500-an orang terdiri dari camat, lurah, kepala dinas, dan pegawai Pemkot bersama warga, Jumat lalu demonstrasi ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Jakarta!" ujar Umar. "Mereka menyampaikan protes keras Wali Kota Herman H.N. kepada KLH yang memberi predikat kota terkotor kepada Bandar Lampung! Demo itu sempat rusuh akibat dilarang masuk halaman KLH, pagar kantor itu roboh diterjang massa!" "Pemberian predikat kota terkotor di Indonesia buat Bandar Lampung jelas tak bisa diterima, bukan saja oleh pimpinan pemerintahan kotanya, tapi lebih lagi oleh warganya!" timpal Amir. "Tak sukar dibayangkan, dengan stigma kota terkotor itu, yang mencerminkan warganya jorok, warga luar daerah bisa jadi enggan melamar anak gadis dari keluarga yang punya kebiasaan hidup jorok itu!"

"Dilihat dari situ, pemberian predikat terkotor itu bahkan bisa dianggap sebagai penghinaan!" tegas Umar. "Jangankan predikat negatif seperti itu diberikan kepada warga Lampung yang punya harga diri (fi'il) tinggi! Kepada orang yang benar-benar jorok pun, ketika dirinya dituding jorok—apalagi di muka umum, si jorok itu pasti marah dan menolak predikat terjorok!" "Pejabat KLH yang menerima mereka mengonfirmasi, Bandar Lampung mendapat nilai terbawah dari 13 kota besar yang disurvei tim Adipura KLH akibat pengelolaan air di kota itu yang masih sangat buruk!" ujar Amir. "Contoh air dari empat perumahan dan sebuah sungai yang dijadikan dasar! Dengan dasar yang faktual itu ditegaskan KLH takkan mengubah angka hasil penilaian tim Adipura maupun mengubah urutan posisinya!" "Penjelasan KLH itu justru menyulut amarah warga Lampung!" timpal Umar. 

"Tak kepalang, Senin kemarin 10 bus besar massa Majelis Penyimbang Adat Lampung dipimpin Zainal Hayat Karim mendatangi KLH dengan tuntutan agar Menteri KLH meminta maaf secara tertulis kepada masyarakat Lampung atas penghinaan itu! Permohonan maaf itu harus disiarkan media cetak dan elektronik!" (Elshinta, 11-6:12.48) "Ironis sekali!" tegas Amir. "Bandar Lampung sepanjang dekade 1990-an berturut-turut mendapat Adipura, bahkan Adipura Emas, hingga dibangun Tugu Adipura di tengah kota! Kondisi Bandar Lampung begitu-begitu saja, di sana-sini malah ada bangunan baru yang indah! Kenapa dulu bisa dapat Adipura, kini malah terkotor?" "Masalahnya mungkin bukan realitas kotanya, tapi seperti disitir Aryanto dari Pussbik!" timpal Umar. "Yakni, KLH harus bisa menepis intrik politik dan permainan uang yang selama ini menyelimuti pemberian Adipura!" ***
Selanjutnya.....

Belanda Kalah, Indonesia Sedih!

"KESEDIHAN mencekam mayoritas penonton bareng Euro 2012 saat wasit meniup peluit akhir dengan hasil Belanda dikalahkan Denmark 0-1," ujar Umar. "Rasa sedih itu tampak jauh lebih dalam dibanding saat tim Thomas dan Uber kalah bersamaan dalam sehari di perempat final!" "Itu tak bisa dilepaskan dari pengaruh para pakar dan komentator bola negeri kita di televisi yang mengumbar prediksi Belanda akan menang dari Denmark 2-0! Lebih jauh lagi, mayoritas warga di jalanan atau warung yang ditanya reporter mengunggulkan Belanda sebagai juara Euro 2012!" timpal Amir. "Itu membuat mayoritas penonton bola Indonesia menjagokan Belanda, sehingga ketika Belanda kalah tampak Indonesia bersedih! Padahal, kalau sikap empati dan simpati pada Belanda itu ditunjukkan pada zaman penjajahan atau masa revolusi kemerdekaan, orangnya bukan cuma dituding inlander, tapi bisa ditombak bambu runcing oleh pejuang kemerdekaan!"

"Itu yang disebut wolak-walik ing zaman!" tegas Umar. "Dalam pari'an Jawa itu zaman dimetaforakan seperti tempe yang digoreng, harus dibolak-balik agar matangnya sempurna! Kalau tidak dibolak-balik, bawahnya gosong alias hangus sedang atasnya masih mentah!" "Jadi, bisa dipahami sikap mayoritas warga yang pro-Belanda dalam Euro 2012 itu mencerminkan suatu sikap bangsa yang cukup matang!" timpal Amir. "Sikap itu mengekspresikan Indonesia bangsa yang pemaaf, bukan bangsa pendendam! Nasionalismenya bukan yang sempit dan picik, melainkan yang berjiwa besar dan berwawasan luas, sesuai kapasitas yang dibutuhkan implementasi pembukaan UUD 1945—ikut menyelenggarakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan! 

Bagaimana kita mampu menangani perdamaian dunia kalau di kampung sendiri saja kita bentrok antardesa/kelompok, antarsuku, antaragama!" "Dari sisi humanisme universal, sikap bangsa Indonesia yang telah sedemikian matang itu merupakan kemajuan esensial, yakni berhasil mengubah rasa benci menjadi cinta!" tegas Umar. "Sayangnya, kematangan sikap itu masih mengaktual secara terbatas, hanya ketika tersulut event-event mondial sejenis Euro 2012, yang durasinya amat terbatas dan kita sendiri belum mampu menyelenggarakannya! Akibatnya, setelah event itu berakhir dan layar televisi kembali dikuasai politisi dan penguasa, kehidupan bangsa kembali didominasi sikap partisan terimplikasi suku, agama, bahkan sektarianisme amat sempit! Kembali kerdil!" ***
Selanjutnya.....

Dana Kemiskinan Mulai Berlimpah!

"DANA pengentasan kemiskinan di Provinsi Lampung mulai melimpah! Tahun 2012 ini saja, digerujuk Rp1,31 triliun!" ujar Umar. "Dari jumlah itu kalau dibagi tunai langsung ke 1,29 juta warga miskin provinsi ini, setiap orang bisa dapat bagian Rp1 juta! Tambahan sebesar itu bagi setiap orang miskin untuk satu tahun, jika khusus untuk tambahan konsumsi, dengan garis kemiskinan pada konsumsi sekitar Rp260 ribu/jiwa/bulan bukan mustahil kemiskinan di Provinsi Lampung bisa dientas tuntas 100%!" "Tambahan Rp1 juta/jiwa/tahun buat menutupi kekurangan belanja setiap warga miskin memang bisa membuat lolos dari garis kemiskinan!" timpal Amir. "Kalau tujuannya cuma menghapus angka kemiskinan, tak perlu repot bikin cluster ini atau itu, dananya dicurahkan saja ke situ, tujuan tercapai tahun ini! Tahun selanjutnya dengan dana sebesar itu lagi, cukup untuk menjaga agar angka kemiskinan tak muncul lagi!"

"Dengan Rp972 miliar lebih atau sekitar 80% dari dana pengentasan kemiskinan Lampung itu difokuskan ke 'cluster satu' yang merupakan program bantuan langsung, sebenarnya tak jauh beda dari idemu!" tegas Umar. "Bedanya, dalam idemu bantuan diberikan langsung kepada setiap jiwa, sedang dalam cluster-clusteran itu dana 'bantuan langsung' disalurkan lewat pengelola program yang telah ditetapkan!" "Karena banyak program yang harus dilalui dana pengentasan kemiskinan itulah, Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said tak gegabah, dengan dana Rp1,31 triliun itu cuma memasang target penurunan kemiskinan 2% dari kemiskinan akhir 2011 sebesar 16,38%," tukas Amir. 

"Itu bisa dipahami karena pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan memproses subsistence to sufficient—dari serbakekurangan menuju kecukupan! Proses menjadi faktor penting!" "Terutama proses yang dilakukan keluarga miskin itu sendiri untuk mementaskan diri dari kemiskinan!" tegas Umar. "Pengalaman indah (mentas dari kemiskinan) itu menjadi fondasi yang harus dipertahankan dengan keyakinan bahwa lewat kerja keras dan kesungguhan bisa mencapai tujuan! Pengalaman itu yang ingin dipetik usaha pengentasan kemiskinan dengan program cluster—membentuk kelompok kerja bersama warga miskin dalam suatu lokasi tertentu!" "Program cluster entaskan kemiskinan secara universal awalnya meniru Kibutz, komunitas kerja kelompok terpadu di satu lokasi imigran Yahudi yang kembali dari Eropa sejak 1919!" timpal Amir. "Kibutz bukan saja mencetak wirausaha, hasilnya malah menjadi modal Yahudi menguasai keuangan dunia dewasa ini! Jadi, bukan model cluster penerima bantuan langsung!" ***
Selanjutnya.....

Pembatasan BBM, Justru Rakyat Lebih Sengsara !

PROGRAM pembatasan BBM bersubsidi yang dicanangkan agar subsidi tepat sasaran pada warga kelas bawah atau kurang mampu, pada realisasinya justru rakyat kelompok sasaran program tersebut jadi lebih sengsara!” ujar Umar. "Khususnya karena realisasi program pembatasan itu dengan pengurangan kuota terhadap SPBU di kawasan pelosok jauh dari kota besar, mengakibatkan pasokan jauh dari kebutuhan sehingga rakyat kebanyakan di kawasan pinggiran yang merupakan sasaran subsidi justru harus membeli BBM bersubsidi eceran dengan harga Rp7.500 sampai lebih Rp10 ribu per liter!" "Ironis! Justru rakyat yang dijadikan sebagai sasaran subsidi BBM malah dikorbankan dalam realisasi programnya di lapangan!" timpal Amir. "Tapi begitulah nasib rakyat, selalu didasarkan hitung-hitungan di atas kertas tanpa sedikit pun mengkaji realitas hidup rakyat jelata dan perilaku ekonomi warga yang bakal terdorong kebijakan tersebut!" "Lebih ironis lagi harga BBM bersubsidi jauh lebih mahal di pelosok desa itu tidak mudah diatasi dengan tambahan kuota BBM untuk Provinsi Lampung sebesar 77.724 kiloliter (kl) atau 11,98% untuk tahun ini dari 648.997 kl menjadi 726.721 kl!" tukas Umar.

"Soalnya, karena tambahan kuota itu untuk mencukupi kebutuhan BBM bersubsidi Lampung sampai akhir tahun karena kuota sebelumnya hanya cukup sampai Oktober! Selain itu, penjualan BBM bersubsidi di SPBU dengan harga di atas semestinya di daerah pedalaman bukan lagi rahasia, bahkan ada yang terang-terangan memasang spanduk sebagai pemberitahuan kepada konsumen! Lebih parah lagi, sekalipun penjualan BBM bersubsidi di SPBU seperti itu dilaporkan oleh warga kepada polisi seperti di Lampung Tengah, sejauh ini tak ada penindakan!" "Karena itu, kalau program pembatasan BBM di Lampung hanya dijalankan semata dengan retorika, cukup dengan mengeluarkan surat-surat keputusan, atau malah cuma omong begini atau begitu melulu, kesengsaraan rakyat sasaran program subsidi akibat salah urus programnya tak bisa dihindari!" timpal Amir.

 "Artinya, demi kesengsaraan rakyat yang terimbas kebijakan ini tak berlarut, tak salah jika pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam program ini turun langsung ke lapangan meluruskan penyimpangan serta menegakkan aturan! Masalah tak bisa selesai hanya dengan ongkang-ongkang menunggu laporan asal bapak senang—ABS!" "Lucunya masalah harga BBM bersubsidi jauh di atas semestinya yang harus dibayar oleh rakyat yang sesungguhnya diamankan kepentingannya dengan pembatasan BBM itu, hanya bisa diatasi lewat mengembalikan kebijakan pasokan di SPBU pelosok seperti sediakala!" tegas Umar. "Mobil-mobil mewah yang nyedot BBM bersubsidi adanya di kota besar, kok malah SPBU pelosok pedalaman yang dipangkas kuota pasokannya!" ***
Selanjutnya.....

KPK Curigai BPK Mengobral WTP?

"PUKUL anak sindir tetangga! Itulah kiasan ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepala daerah untuk tak mengejar predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dengan cara tak wajar! MetroTV, Senin (4-6)" ujar Umar. "Predikat WTP itu hasil audit APBD yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jadi, meskipun Ketua KPK minta kepada kepala daerah, tujuan sebenarnya bisa saja ke BPK—yang belakangan terkesan mengobral WTP ke banyak kepala daerah!" "Sindiran KPK itu salah alamat!" timpal Amir. "Meskipun BPK yang memberikan WTP, hingga kalau KPK minta kepala daerah tidak mengejar WTP dengan cara tidak wajar, terkesan WTP itu hasil ‘main mata’ kepala daerah dengan (oknum) BPK! Kesan itu tidaklah sepenuhnya benar!" "Apa dasarmu menyatakan begitu?" potong Umar. "Karena di balik WTP yang diraih itu ada proses yang sudah jalan bertahun-tahun, asistensi BPKP untuk tertib administrasi keuangan di kabupaten/kota!" jawab Amir. "Target asistensi itu mencapai WTP hasil audit BPK!"

"Jadi predikat WTP itu cuma pertanda tercapainya tertib administrasi sesuai standar prosedural, bukan jaminan tak ada lagi korupsi?" tukas Umar. "Begitulah! WTP bukan jaminan tak ada korupsi!" tegas Amir. "Pertama, karena itu cuma audit berkas untuk memastikan semua dilakukan sesuai ketentuan dan prosedural! Kedua, juga bukan audit proses yang on the spot mengawasi setiap tahapan pekerjaan! Audit proses (seharusnya) dilakukan internal auditor (inspektorat), tapi cenderung absen fungsinya! Juga bukan audit investigasi, mencari penyimpangan dengan mengusut kembali prosesnya secara post factum! Jadi, WTP bukan ukuran tak ada lagi korupsi!" "Sebaliknya, tertib administrasi itu justru menambah sulit pengungkapan korupsi karena selama ini malah cenderung digunakan untuk menyelubungi korupsi!" tukas Umar. 

"Administrasi keuangan pemerintah seharusnya berjalan dengan tiga dimensi due process of control—pertama, kontrol prosedural sejalan dengan kontrol materinya, seperti belanja semen 10 sak apakah prosedur administrasinya benar, lalu apakah materinya benar 10 sak semen yang diterima dan dipakai! Kedua, kontrol internal (inspektorat) sejalan dengan eksternal (BPK). Ketiga, kontrol proses penerimaan anggaran sejalan dengan kontrol pengeluarannya!" "Kontrol dua sisi sejalan itu selama ini timpang! Kontrol tertib administrasi tak diikuti kontrol materinya secara sebanding! Lalu, audit proses oleh kontrol internal (inspektorat) tak bunyi, geliatnya jauh lebih lemah dari kontrol eksternal oleh BPK! Kemudian kontrol terhadap penerimaan, nyaris tak ada!" timpal Amir. "Tampak banyak kisi-kisi pengelolaan keuangan daerah yang bolong! WTP hanya hasil kontrol sebagian dari banyak bolongan itu, tak bisa menjamin bebas korupsi! Jika WTP diobral, bisa mempersulit kerja polisi, jaksa, dan KPK!" ***
Selanjutnya.....

67 Tahun Pancasila! (5-Habis)

"KEADILAN Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia selalu jauh dari jangkauan akibat sikap-tindak para pemimpin bangsa dari pusat sampai daerah tak kunjung berubah, mengulang terus perbuatan dengan harapan membuahkan hasil berbeda!" ujar Umar. "Contohnya memfokuskan segala daya menumbuhkan ekonomi, meski arti pertumbuhan itu hanya bisa dinikmati oleh yang memiliki akses untuk memetiknya! Justru akses itu yang tak dimiliki oleh mereka yang ditelantarkan sistem!" "Pertumbuhan bisa dinikmati relatif lebih merata seperti nikmat hujan hanya terjadi di negara yang sistemnya telah merajut distribusi pajak dari hasil pertumbuhan ekonomi itu lewat pelayanan publik yang solid!" timpal Amir. "Lain di sini, sejak proses pengumpulan pajaknya lebih dulu digarong 'beraneka Gayus' bekerja sama dengan pengusaha mitranya! Lalu sisa dananya, dengan contoh kasus pengelolaan APBD seantero negeri, lebih dulu 70% disisihkan untuk belanja pejabat dan aparatur! Lagi-lagi sisanya 30% yang seolah dikhususkan untuk belanja publik, dikorupsi lagi semaksimal bisa dilakukan! Menurut temuan Bank Dunia, setidaknya dikorupsi 30%!"

"Semua itulah yang diulang-ulang terus dengan harapan bisa memberikan hasil yang berbeda—keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai buah dari korupsi!" tegas Umar. "Harapan yang sama sekali tak masuk akal!" "Dalam sistem kapitalis ortodoks (andalan utama untuk survive dan dapat laba dari nilai tambah hasil memeras keringat buruh, selanjutnya nilai tambah itu pula yang jadi angka pertumbuhan ekonomi) seperti di Indonesia, pertumbuhan ekonomi bukan nikmat! Tapi sumber penderitaan buruh karena keringatnya diperas jadi power of growth!" tukas Amir. "Itulah pertumbuhan yang dipuja-puji para pemimpin Indonesia, yang secara nyata juga artinya hanya bisa dinikmati para majikan, kaum kapitalis!" 

"Karena itu, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sikap-tindak dan cara berpikir para pemimpin ini harus berubah! Sebab, hasil yang berbeda hanya bisa didapatkan dengan cara yang berbeda pula!" tegas Umar. "Tapi apakah bisa suatu rezim (para pemimpin) mengubah sikap-tindak dan cara berpikirnya? Menurut konsep demokrasi, tidak mungkin! Maka itu diperlukan penggantian rezim secara berkala lewat pemilu! Sayangnya, selain sistem dan penyelenggara pemilu bisa tak fair, pemenangnya sering bagian dari rezim yang digantikan, atau malah penerus sikap-tindak dan cara berpikirnya! Keadilan sosial pun kembali cuma retorika!" ***
Selanjutnya.....

67 Tahun Pancasila! (4)

"ARTI demokrasi itu pemerintahan oleh rakyat! Berarti, rakyat sebagai penentu hal-hal penting dalam kehidupan bernegara-bangsa!" ujar Umar. "Namun, dalam sistem demokrasi perwakilan, rakyat mendelegasikan sebagian kewenangannya itu kepada orang yang dipilih untuk mewakili kepentingan mereka (legislatif) atau menjalankan hak-haknya mengelola negara (eksekutif). Disebut sebagian karena kalau ada masalah yang sangat penting untuk mengatasi kebuntuan legislatif dan eksekutif, hak dan kewenangan rakyat senantiasa tersisa untuk melakukan referendum!" "Di zaman Presiden B.J. Habibie, warga negara Indonesia yang tinggal di Provinsi Timor Timur melakukan referendum, hasilnya kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memenangkan referendum!" timpal Amir. "Tak ada satu pihak pun di negeri ini, bahkan di muka bumi ini, yang berhak atau bisa menghalangi keputusan rakyat Timor Timur itu! Tapi itulah contoh demokrasi, rakyat yang menentukan saat ada masalah amat penting!"

"Terpenting dicatat, referendum yang dilakukan sebagai praktek sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan justru sebagai jalan keluar ketika wakil-wakil rakyat dan pemimpin hasil pilihan (wakil) rakyat mentok di jalan buntu!" tegas Umar. "Buntu, salah satu gejalanya saat tiada lagi hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan karena para pemimpin yang dipilih rakyat tak mampu lagi mengagregasikan lalu mengartikulasikan—apalagi mengaktualisasikan—kepentingan rakyat karena mabuk kekuasaan, sehingga selalu lebih mengutamakan dan mendahulukan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan politiknya semata!" 

"Jadi, dalam memperingati 67 tahun Pancasila, para wakil rakyat dan pemimpin pilihan rakyat amat tepat jika introspeksi apakah kiprahnya di panggung politik telah sesuai pakem kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan atau belum, atau malah menyimpang dan mengkhianati amanah rakyat yang diwakili/direpresentasikan kekuasaannya!" timpal Amir. "Masalahnya, kalau penyimpangan dan pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat yang diwakili/direpresentasikan kekuasaannya berlanjut, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia akan makin jauh dari harapan—meski ketakadilan sosial itu pendorong penting dalam sejarah referendum di Indonesia—Karena, untuk apa diwakilkan kalau hanya untuk dikhianati!" ***
Selanjutnya.....

67 Tahun Pancasila! (3)

"SILA ketiga Persatuan Indonesia paling banyak mendapat ujian sejak awal! Masih di era revolusi kemerdekaan, Partai Komunis Indonesia (PKI) 1948 menikam balita Republik dari belakang dengan Pemberontakan Madiun dipimpin Muso!" ujar Umar. "PKI yang mau mengganti ideologi negara Pancasila dengan komunisme, 30 September 1965 mengulangi perbuatannya! Dipimpin D.N. Aidit dan Kolonel Untung dari Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden kala itu) melakukan kudeta!" "Kedua usaha PKI itu bisa digagalkan, tapi telah menghujamkan luka yang dalam pada bangsa Indonesia, terutama dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia—NKRI!" timpal Amir. "Tapi bukan cuma tikaman dari sisi kiri (komunis) saja yang diderita bangsa! Dari sisi kanan juga, yang secara ideologis berusaha mengganti Negara Pancasila menjadi Negara Islam Indonesia (NII), menikam bangsa lewat pemberontakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) meletus serentak 1950-an awal di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan!"

"Tak cukup dari kiri dan kanan, dari bawah (dalam arti berjuang untuk mengutamakan kepentingan daerah) juga tak mau ketinggalan, pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia—PRRI—akhir 1950-an mengampanyekan senjata-senjata mutakhir (pada era itu) buatan Amerika Serikat dengan front utama Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sulawesi Utara!" tegas Umar. "Semua itu, yang sifat gerakannya berskala nasional, ternyata belum cukup! Separatisme tak pernah sama sekali lengang sepanjang sejarah Republik! Dari gerakan Rakyat Maluku Selatan yang sudah aktif sejak 1950-an dengan remote control dari Negeri Belanda, di Ambon beberapa tahun lalu masih mengecoh dengan tarian massal di depan acara resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono! Lalu Gerakan Aceh Merdeka yang baru berakhir dekade lalu! Sisa gerakan separatisme yang kini masih runyam, Organisasi Papua Merdeka, tak henti membuat kejutan!" "Artinya, masalah Persatuan Indonesia belum tuntas!" timpal Amir. "Maju-mundurnya masalah itu ke depan akan sangat tergantung pada praktek demokrasi sebagai implementasi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia!" "Ketakadilan politik akibat gagalnya implementasi sila keempat Pancasila, dan ketakadilan substantif (sosial-ekonomi) akibat kegagalan mewujudkan sila kelima, tak boleh disepelekan!" tegas Umar. "Soalnya, dua sisi itu yang bias ke masalah suku dan agama termasuk biang balkanisasi di Eropa Timur!" ***
Selanjutnya.....

67 Tahun Pancasila! (2)

"SILA kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!" ujar Umar. "Setinggi apa suatu masyarakat menghormati harkat dan martabat sesama manusia, menjadi ukuran maju atau terbelakangnya peradaban masyarakat tersebut! Standar holistisnya ajaran Islam yang secara jelas menegaskan, semua manusia sama di depan Sang Khalik, yang membedakan hanya amal ibadahnya!" "Soal amal ibadah itu hablun minallah, hubungan manusia dengan Tuhannya! Orang lain tidak bisa sembarangan menilai amal orang lain karena hanya Tuhan yang tahu!" timpal Amir. "Karena itu, diidealkan setiap orang menghargai dan menghormati orang lain sebagaimana ia ingin dihargai dan dihormati! Namun, dalam realitas kehidupan banyak orang cenderung untuk merasa lebih unggul dan lebih mulia dari yang lain hingga berlaku tidak adil, bahkan secara tidak beradab menindas dengan memperbudak sesamanya!"

"Maka itu, sila kemanusiaan dilengkapi predikat yang adil dan beradab!" tegas Umar. "Adil dalam dua dimensi utama, yakni secara hukum dan politik maupun secara substantif; sosial, ekonomi, dan budaya! Beradab dari terpenuhinya kebutuhan fisik, mental, dan rohani sampai eksis mengaktualkan harkat dan martabat setiap warga negara! Untuk itu, masyarakat antarbangsa secara bersama menciptakan standar universal untuk mengukur tercapai atau belum adil dan beradab itu di suatu negara! Dengan standar universal yang harus diwujudkan itu, Bung Karno pada pencetusan awal menyebut sila kemanusiaan ini dengan internasionalisme!" "Garis kemiskinan, indeks pembangunan manusia (IPM), dan Millenium Development Goal's (MDG's) contoh ukuran universal yang populer!" sambut Amir. 

"Garis kemiskinan, oleh Bank Dunia yang membantu dana pembangunan negara-negara berkembang ditetapkan 2 dolar AS/hari, tetapi di Indonesia garis kemiskinan ditetapkan di bawah 1 dolar AS/hari! Artinya, pergulatan hidup rakyat Indonesia kini masih jauh dari ideal sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!" "Hal itu lebih jelas tergambar pada peringkat IPM Indonesia di posisi 124 dari 180 negara yang diperingkat PBB!" tegas Umar. "Di ASEAN, IPM kita urutan 6, di bawah Singapura (peringkat 23), Brunei (30), Malaysia (66), Filipina (105), Vietnam (116)." (Youthempowering.org, 12-5) "Tampak betapa memprihatinkan pelaksanaan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab setelah 67 tahun usia Pancasila!" timpal Amir. "Penyebabnya, standar harkat dan martabat bangsa pada garis kemiskinan ditetapkan di bawah 1 dolar, jauh di bawah garis kemiskinan universal 2 dolar! Jadi, posisi kita bergantung penempatannya!" ***
Selanjutnya.....

67 Tahun Pancasila!

"HARI ini, 1 Juni 2012, Pancasila berusia 67 tahun! Pancasila lahir dalam pidato Bung Karno di rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang mencari dasar bagi negara Indonesia merdeka!" ujar Umar. "Pancasila dimaksud Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." "Sila Ketuhanan Yang Maha Esa secara prinsip menegaskan Indonesia bukan negara ateis!" timpal Amir. "Saat Pancasila lahir, dalam masyarakat Indonesia sudah terdapat berbagai agama yang hidup berdampingan, bukan saja rukun, damai dengan toleransi tinggi, malah bersatu dalam cita-cita dan tekad sekaligus berjuang bersama-sama untuk memerdekakan bangsa dan negara Indonesia!""

"Oleh sebab itu, ketika dalam kehidupan berbangsa kini cenderung ada yang kurang harmonis dalam kerukunan antarumat beragama, atau apalagi konflik intraumat seagama, melirik ke kaca spion melihat keteladanan dari para pemimpin umat masa itu jadi keharusan!" tegas Umar. "Lebih baik lagi kalau mau berusaha mendalami pemikiran M. Natsir, Agus Salim, dan tokoh-tokoh sezamannya dalam usahanya untuk mengutamakan tetap terjaganya kesatuan dan persatuan bangsa yang mengayomi semua umat beragama dengan tidak memaksakan yang terbaik menurut agamanya sendiri! Keikhlasan mereka mencoret tujuh kata dalam Djakarta Charter yang sejak awal mereka perjuangkan masuk Pembukaan UUD ‘45, contoh sikap toleransi yang layak diteladani! "Bukan hanya diteladani umat Islam masa kini, melainkan juga oleh tokoh-tokoh umat beragama lain untuk tidak selalu ngotot to be or not to be ketika menghadapi tuntutan untuk toleran yang jika tak dilakukan berekses fatal!" potong Amir.


"Hal itu perlu dipertegas, bukan hanya karena gejala radikalisme juga berpangkal pada konflik-konflik antarumat beragama—semisal di Ambon dekade lalu—yang tersulut oleh keringnya sikap toleran di kedua pihak! Konflik juga seperti cinta, tak bisa bertepuk sebelah tangan!" "Untuk itu, pada hari lahirnya Pancasila ini, amat baik jika kita semua menyegarkan cara berpikir dan bersikap seperti yang telah diteladankan para Bapak Pendiri Republik!" tegas Umar. "Tetap utuh dan bersatunya negara ini, atau maju mundurnya bangsa Indonesia ditentukan oleh kemampuan kita mengisi kemerdekaan dalam kebersamaan, bukan oleh kejingoan dan main asal kepruk!" ***
Selanjutnya.....