Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pulsa, Picu Perubahan Sosial Desa!

SEORANG penjaja pulsa keliling desa, baik pulsa kartu maupun elektronik, kehabisan dagangan! Padahal, baru separuh jalan dari rute yang biasa ia jalani. Saat ia telepon istrinya yang menjaga konter pulsa di pasar kecamatan, istri menebak, “Pasti itu karena Nokia buka fitur pertanian!”

“Bagaimana warga desa bisa tahu?” timpal suami.

“Mereka kan sudah main internet lewat hape!” jawab istri. “Pakai Facebook, malahan! Informasi
yang penting bagi mereka lebih cepat diketahui!”

“Facebook itu yang pesat menghabiskan pulsa!” sambut suami. “Tolong kirim kartu pulsa lewat ojek, kutunggu di warung Tegal Sari! Kalau pulsa elektronik bisa kuisi sendiri lewat phone banking! Saldo setoran kemarin belum kau pakai, kan?”

“Belum! Pakai saja saldo kemarin!” jawab istri.
Seorang relawan sosial asal kota yang duduk di warung semeja dengan penjaja geleng kepala mendengar pembicaraan telepon penjaja itu.

“Pandangan orang kota tentang warga desa sudah jauh tertinggal dari pesatnya realitas perubahan sosial di desa!” tukas relawan. “Di kota besar sekalipun, masih terbatas kelas sosial tertentu yang menggunakan phone banking! Sedang kalian cuma penjaja keliling desa, sudah memakainya bahkan untuk transaksi bisnis!”

“Remaja desa usia SMP sekarang sudah main Facebook atau game online!” timpal penjaja. “Bukan hal asing lagi kalau bapak, ibu, dan anak serumah saling asyik main Facebook dengan kelompok masing-masing! Televisi mulai kalah, mungkin karena
acaranya begitu-begitu melulu! Paling tidak, warga mulai selektif memilih acara televisi, tak lagi ditongkrongi siang-malam!”

“Itu gejala titik balik, warga desa kembali ke komunikasi personal setelah sedemikian lama dicekoki sepihak oleh determinasi media massa dalam era broadcasting!” tegas relawan. “Gejala yang dipicu pulsa jajaan Anda itu memberi isyarat, perubahan sistem komunikasi skala global dari broadcasting (satu pemancar mendikte jutaan customer) ke sistem broadband (jutaan situs atau pemancar melayani seorang customer) juga telah mencapai desa! Namun, di sini ada kelebihan signifikan, warga memanfaatkan sistem baru ini dengan komunikasi sosial, yang membuat para aktor perubahan ini bisa menemukan kelompok sosial sealiran pikiran, hobi, sampai selera musik!”

“Itu kemajuan atau kemunduran?” kejar penjaja.

“Kemajuan penting dalam penemuan kembali jati diri setiap warga, setelah digebyah-uyah sekadar sebagai massa yang seragam di era broadcast!” tegas relawan. “Konsekuensinya secara politik juga nanti tak kepalang! Warga yang tambah kritis tak mudah lagi diklaim sebagai pendukung politisi tertentu! Sebaliknya, justru politisi atau penguasa harus memberi bukti melayani kepentingan rakyat, baru bisa mendapat dukungan! Jadi, politisi yang lebih sibuk mengurusi kepentingan dirinya, segera terpental keluar dari hati rakyat!”

Selanjutnya.....

Nelayan Kita ke Laut Memanen Ikan!


"ANEH! Nelayan asing mencuri ikan kita bisa hit and run, beberapa kapal mendatangi satu titik dengan gerak cepat memenuhi palka berkapasitas 500 ton atau lebih, lalu lari!" ujar Umar. "Sedang nelayan kita sampai habis bekalnya melaut--bahan bakar kapal dan perutnya--beberapa ember plastik es yang dibawa jarang dipenuhi ikan!"

"Kapal pencuri ikan hit and run itu dibantu sistem komunikasi satelit juragannya yang memastikan koordinat ikan berkumpul, lalu dengan fitur GPS--geo position satellite yang bisa di-setting di hape--mereka langsung menuju tempat memanen ikan!" sambut Amir. "Para juragan nelayan kita belum berpikir sejauh itu, apalagi nelayan perorangan!"


"Bukan juragan atau nelayan perorangan yang harus memikirkan itu! Tapi negara, Kementerian Kelautan dan Perikanan!" tegas Umar. "Bangun pusat pemantau satelit untuk mengetahui koordinat ikan di perairan seantero negeri kita, lalu informasi itu disebar ke seluruh Tanah Air yang dimonitor para nelayan lewat hape satelit berfitur GPS yang dibagikan ke mereka! Dengan demikian para nelayan kita juga bisa ke laut memanen ikan, tak lagi berspekulasi asal pergi ke tengah laut!"

"Dananya dari mana?" timpal Amir. "Perlu ratusan miliar seperti sistem komunikasi yang dibangun PT Masaro (Anggoro Widjojo) untuk Departemen Kehutanan memantau rehabilitasi hutan yang jadi kasus cicak lawan buaya!"

"Tentu saja dana dari anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan!" tegas Umar.

"Daripada membeli kapal pesiar mewah Lagoon 500 belasan miliar rupiah, dana itu cukup untuk membangun pusat komunikasi satelit pemantau posisi ikan! Lantas, jaringan hape satelit untuk para nelayan memonitor sebaran informasinya, bisa dari APBD I dan II! Untuk tahap pertama, di Lampung mungkin dana sebesar yang dipakai rombongan DPRD dan pejabat pemda studi banding ke Hong Kong sudah memadai!"

"Soal alokasi anggaran tergantung prioritas di benak para pejabat eksekutif dan legislatif!" ujar Amir. "Kalau prioritas di benak mereka pelesiran, dengan kapal pesiar mewah atau ke Hong Kong dan Macau, ke situlah prioritas alokasi anggaran! Lain hal kalau isi benaknya usaha meningkatkan taraf hidup nelayan dan reka daya maksimalisasi eksplorasi kekayaan laut kita, kerja sama pusat dan daerah membangun sistem komunikasi satelit perikanan laut dan nelayan pasti diprioritaskan!"

"Kalau cara berpikir para pejabat eksekutif dan legislatif kita begitu terus, kekayaan laut kita cuma dinikmati pencuri ikan dari negeri lain!" tegas Umar.

"Sedang nelayan kita, dengan lubuk-lubuk ikannya dikuras nelayan asing, semakin sulit mencari ikan dan hasil tangkapannya makin sedikit, hidupnya juga kian sengsara! Saat cuaca buruk gelombang laut lima meter pun mereka memaksa diri melaut mempertaruhkan nyawa, justru agar keluarganya bisa bertahan hidup!" n
Selanjutnya.....

Formalisasi Kemewahan Pejabat!

""KENAPA anak-anak bising di luar sana?" tanya kakek. "Demo apa lagi?"

"Biasa, Kek! Namanya juga mahasiswa!" jawab cucu. "Demo menjadi proses penanaman rasa cinta Tanah Air dengan sikap kritis, sehingga komitmennya tumbuh untuk berjuang maksimal memajukan bangsa dan negara!"

"Yang kutanya demo soal apa?" entak kakek.

"Soal kinerja 100 hari kabinet!" jawab cucu. "Saat pertumbuhan ekonomi turun tajam dari lebih 6 persen pada 2008 menjadi tinggal 4,3 persen pada 2009, para menteri tukar mobil dari harga Rp400 jutaan menjadi hampir Rp1,5 miliar! Malahan, menteri kelautan dan perikanan beli kapal pesiar mewah, Lagoon 500, seharga Rp14 miliar untuk patroli terumbu karang! Tak mau ketinggalan presidennya, kata Menteri Sudi Silalahi, sudah bayar persekot Rp200 miliar atas persetujuan DPR, untuk membeli pesawat kepresidenan Boeing 737-800 seharga Rp400 miliar sampai Rp700 miliar!"."


"Katakan pada mahasiswa itu, kakek mendukung mereka demo!" tegas kakek. "Masa pertumbuhan ekonomi turun, berarti merosot pula kemampuan menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan, bukannya mengencangkan ikat pinggang dan menekankan pola hidup sederhana, malah memformalisasi gaya hidup mewah dengan sisa-sisa kemampuan yang dimiliki! Tanyakan ke pemimpin dunia mana pun, pasti disebutkan itu kebijakan paling keblinger!"

"Kakek jangan terlalu emosional begitu!" potong cucu. "Tensi kakek tadi di atas 160!"

"Kau jangan khawatirkan kakek! Tapi khawatirkan bangsa ini, mau dijadikan apa?" bentak kakek. "Pakai uang pribadi saja pun para pejabat itu tak layak hidup bermewah-mewah di tengah realitas mengecilnya kemampuan negara mengatasi masalah rakyatnya yang menderita! Konon lagi memakai uang negara, yang juga uang rakyat!"

"Tapi kabinet sekarang bukan kabinet amanat penderitaan rakyat! Jadi soal penderitaan rakyat bukan urusan para pejabat tersebut!" tukas cucu. "Sekarang namanya Kabinet Indonesia Bersatu II, jadi sepanjang tak ada perpecahan di negeri ini, seberat apa pun rakyat menderita mereka tetap bisa mengklaim sukses 100 persen--seperti saat dituding mahasiswa kabinetnya gagal total!"

"Jelas! Karena lain yang dimaksud mahasiswa, lain pula yang mereka maksud!" tegas kakek. "Maksud mahasiswa dalam tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat, sedang para pejabat tersebut memaksudkan usahanya memformalisasi pola hidup mewah--yang memang sukses bulat 100 persen karena tak seorang pun rakyat Indonesia berani mencegahnya!"

"Mahasiswa demo itu kan mencegah!" sela cucu.

"Mencegah itu atas hal-hal yang belum terjadi!" tegas kakek. "Kalau yang sudah telanjur, cuma bisa menyesali! Formalisasi pola hidup mewah para pejabat itu memang pantas disesalkan!"
Selanjutnya.....

Publik Bangun Oposisi Nonformal!


"PUBLIK--direpresentasikan massa kritis dari berbagai elemen masyarakat dari mahasiswa sampai buruh, tani dan warga miskin kota--lewat Gerakan 28 Januari di seantero negeri terbukti mampu membangun barisan oposisi nonformal bagi pemerintahan SBY-Boediono yang monolitis!" ujar Umar. "Kekuasaan monolitis dengan koalisi partai berkuasa 76 persen suara di parlemen--lebih tiga perempat--itu, membuat kekuatan pengimbang di parlemen jadi kurang efektif, publik harus membangun kekuatan pengimbang di luar struktur formal!"

"Dari jumlah demonstran dan keanekaragaman elemen masyarakat yang ikut demonstrasi pada 28 Januari 2010--100 hari pemerintahan SBY--Boediono--jauh lebih besar dibanding demo Hari Antikorupsi 9 Desember 2009, usaha publik membangun barisan oposisi nonformal cukup berhasil!" timpal Amir. "Untuk itu, makna oposisi nonformal perlu dipahami, hal yang hadir sebagai tuntutan realitas justru untuk menyelamatkan kehidupan berbangsa dari monolitisme absolut!"


"Pertama layak diperhatikan, mahasiswa dan beraneka elemen masyarakat yang ikut Gerakan 28 Januari merupakan pihak penegak perjuangan reformasi, sehingga barisan oposisi nonformal ini bangkit sebagai kewajiban mengawal kelanjutan perjuangan reformasi!" tegas Umar. "Kewajiban itu muncul sebagai tuntutan sejarah, setelah reformasi hasil perjuangan mereka itu kemudian lebih didominasi partai politik, yang oleh partai-partai politik itu dikembalikan menjadi monolitis lebih parah dari era Orde Baru dengan mayoritas tunggal 66-70 persen--kini malah 76 persen!"

"Artinya, sistem formal demokrasi telah terjebak dalam kapsul kekuasaan elite menjurus monolitis, menyimpang dari semangat reformasi dan bahkan kembali ke pola lebih buruk dari Orde Baru yang sebelumnya dikoreksi oleh reformasi! Maka itu, perjalanan sejarah memang harus diluruskan dengan gerakan ekstraparlementer seperti yang dipakai sebelumnya!" timpal Amir. "Bertolak dari situ, pemaknaan gerakan oposisi nonformal ini juga harus kembali pada hakikat semula, yakni sebagai kekuatan moral--moral forces!"

"Itu sejalan kebangkitan kembali gerakan moral forces tersebut, yang utamanya dibidani oleh memuncaknya ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, mulai kasus Prita Mulyasari, kasus cicak lawan buaya, dan skandal Bank Century!" tegas Umar. "Terpenting, orientasi moral forces bukan kekuasaan, tapi kualitatif pada tuntutan! Karena itu, membesar atau mengecilnya gerakan moral forces tergantung pada akomodasi politik formal dalam mengakomodasi tuntutannya! Jika tuntutannya semakin banyak diakomodasi, akan mengecil gerakannya! Sebaliknya, jika tuntutan terutama esensi moralitasnya ditindas, gerakan bisa membesar tak kepalang, kekuatan setangguh rezim Orde Baru pun bisa tumbang!" ***
Selanjutnya.....

Defensif, 100 Hari SBY-Boediono!

""KESAN umum 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, cenderung defensifnya Presiden setiap tampil di televisi, baik saat bicara langsung maupun dalam tayangan berita!" ujar Umar. "Di balik itu terkesan pula, SBY-Boediono terjebak dalam polemik kontroversial, sejak isu cicak lawan buaya sampai skandal Bank Century! Soal ini tak sepele, karena menyita perhatian publik, jebakan itu mendominasi arus informasi sehingga kinerja 100 hari kabinet luput dari perhatian rakyat!"

"Apalagi penonton televisi terjebak siaran rapat pansus Bank Century dan tayangan tetap lain!" timpal Amir. "Kinerja kabinet jadi minus jam tayang!"

"Tayangan tetap lain apa pula?" potong Umar."


"Tayangan tetap hari ke hari, berita penggusuran pedagang kaki lima di seantero negeri dengan cara keras, tak kenal ampun! Jeritan pilu ibu-ibu pedagang menyayat, menyatakan yang diubrak-abrik itu tumpuan hidup keluarga, tapi pelaksana perintah penguasa yang menggilasnya tak mau mengerti!" jelas Amir. "Frekuensi dan kerasnya penggusuran itu terlihat peningkatannya! Tak bisa dielakkan kalau rakyat yang menghadapi nasib malang itu beranggapan tindakan itu dikebut demi kinerja 100 hari pemerintah! Rakyat jelata tahunya pemerintah itu satu, dari pusat sampai desa, dari Sabang sampai Merauke!"

"Lantas, pertanda apa itu terkait 100 hari SBY-Boediono dan kabinetnya?" kata Umar.

"Pertanda 100 hari pertama lebih diutamakan untuk defensif dari isu di tingkat atas, hingga lupa mengontrol birokrasi pemerintah bawahan yang lagi asyik mengubrak-abrik kehidupan rakyat jelata, pendukungnya dalam pilpres!" tegas Amir. "Dan itu terjadi karena dalam 100 hari ini SBY terlalu sensitif terhadap isu-isu di atas, tampak tak sebanding sensitifnya pada nasib rakyat kecil korban penggusuran!"

"Dengan begitu jadi lebih mudah perbaikan langkah yang harus dilakukan ke depan!" sambut Umar. "Yakni, mengurangi sensitivitas terhadap isu level atas, dengan mengalihkan kesensitifan ke lapisan terbawah, nasib rakyat jelata yang sedang teraniaya, terutama pedagang kaki lima!"

"Kalau bisa begitu, alangkah baiknya!" tegas Amir. "Tapi kemungkinannya kecil sekali!"

"Kenapa kau begitu pesimistis?" kejar Umar.

"Karena SBY lebih sensitif pada hasil-hasil survei tentang popularitasnya!" jawab Amir. "Padahal, kebanyakan survei itu dilakukan lewat telepon rumah warga kota besar, hingga orientasinya pun lebih diutamakan pada kepentingan lapisan masyarakat kota besar yang punya telepon di rumah, agar tampilan popularitasnya selalu terjaga baik di media massa!"

"Tapi berbagai survei menunjukkan popularitas SBY cenderung terus menurun!" tukas Umar.

"Justru itu, usaha defensif harus lebih gigih agar penurunannya tak bablas!" timpal Amir. "Malang nian nasib jelata, seperti pedagang kaki lima, tak jadi bagian dalam kedefensifan SBY-Boediono!""
Selanjutnya.....

JSS, Belajar dari Kisah Suramadu!

"JSS--jembatan Selat Sunda--harus dibangun dengan persiapan lebih baik pada masyarakat dan prasarana serta sarananya di sisi hinterland--dalam hal ini Lampung--agar tak mengulang kisah antiklimaks Madura pada pembangunan Jembatan Surabaya-Madura--Suramadu!" ujar Umar.

"Antiklimaks seperti apa?" tanya Amir.

"Menurut Dr. M. Ikhsan Modjo, ekonom Unair, di seminar Lampung Menyongsong JSS, akibat persiapan prapembangunan secara multidimensi kemasyarakatannya kurang memadai, dewasa ini bukan investor yang berbondong-bondong ke Madura seperti dibayangkan semula!" jelas Umar. "Justru sebaliknya, warga Madura yang ramai-ramai rekreasi dan belanja ke Surabaya! Artinya, uang dari Madura yang malah disedot Surabaya!"


"Berarti, dalam waktu yang masih tersedia sekitar 15--20 tahun sampai JSS selesai dibangun, warga Lampung harus menyiapkan pusat-pusat daya tarik baru yang mampu menyaingi kemajuan di sisi lain jembatan, agar bisa menyedot perhatian warga Jakarta dan Pulau Jawa umumnya!" timpal Amir. "Sebab, katakanlah tak terelakkan dengan JSS warga Sumatera tertarik berkunjung ke Jawa, tapi dengan daya tarik yang seimbang sehingga warga Jawa juga ingin ke Lampung, jumlah penduduknya jauh lebih besar Pulau Jawa, juga kemakmurannya! Jadi, secara kuantitatif (jumlah orang) maupun kualitatif (besar belanjanya) Lampung tetap untung!"

"Pusat-pusat daya tarik baru untuk liburan berupa tempat hiburan, rekreasi, dan belanja itu bukan pula hanya di sekitar ujung jalan keluar dari JSS!" tegas Umar. "Dengan jalan yang baik antarkota di Lampung, semua daerah menata diri bersaing sebagai tujuan lanjutan! Kalau terbatas hanya di sekitar JSS, orang cepat bosan sekali berkunjung selesai! Jadi, tujuan-tujuan alternatif harus siap!"

"Tapi, untuk semua itu, apakah pembangunan JSS bakal betul-betul terlaksana?" tukas Amir. "Sebab, JSS itu sudah digagas sejak zaman Bung Karno, tapi selalu jadi angin lalu!"

"Kali ini lebih konkret!" jawab Umar. "Keppresnya sudah keluar 28 Desember 2009! Itu dasar Bank Indonesia cabang Bandar Lampung dan Lampung Post membuat seminar JSS, di mana Dr. Kausar Ali Saleh, M.Sc., pakar pemerintahan dan otonomi daerah menyingkap, dari sisi suprastruktur, masih diperlukan seperangkat aturan hukum baru bagi pemda untuk memayungi realisasi gagasan besar tersebut! Misalnya, aturan untuk konsolidasi dukungan dan partisipasi warga pada JSS sebagai bagian dari shareholder pemda, di luar obligasi daerah, agar JSS jadi milik masyarakat! Sekaligus, JSS tak terlalu membebani APBD yang harus tetap fokus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat!"

"Pikiran bagus!" tegas Amir. "Jangan sepenuhnya andalkan investor asing, nanti ironis--di negeri kita ada jembatan terpanjang di dunia, ternyata milik China!"
Selanjutnya.....

Jangan Kriminalisasi Kebijakan!

"PRESIDEN SBY meminta kebijakan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya tak dikriminalisasi!" ujar Umar. "Hal itu ia sampaikan terkait langkah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mem-bailout Bank Century untuk menyelamatkan ekonomi saat itu dari ancaman krisis!" (Kompas, 25-1)

"Tak boleh dilewatkan kutipan langsung ucapan Presiden, 'Pesan saya adalah kebijakan tidak boleh dipidanakan, tetapi kalau ada sisi-sisi lain dari kebijakan itu yang keluar dari yang seharusnya, ada penyimpangan, ya penyimpangannya itu yang bisa diperkarakan, bukan kebijakan, bukan beleid'," sambut Amir."


"Ia berharap tak terjadi politisasi berlebihan atas kasus Bank Century. Kasus itu perlu diletakkan dalam konteks yang benar dan dilihat secara jernih, sesuai ketentuan konstitusi dan undang-undang. Bahaya kalau keluar dari konteksnya, keluar dari koridor, kemudian ada kepentingan-kepentingan lain!"

"Pernyataan Presiden itu tak terlepas dari proses di Pansus Hak Angket DPR, yang melaksanakan tugas konstitusional DPR menguji kebijakan KSSK (Menteri Keuangan dan Gubernur BI) pada bailout Bank Century! Ini jelas proses politik!" tegas Umar. "Proses pidananya ditangani KPK, menelusuri sisi-sisi lain kebijakan itu, mencari 'penyimpangan' seperti dimaksud Presiden! Kemungkinan itu tidak tertutup. Berdasar hasil audit BPK, ada dana Rp2,8 triliun yang dikucurkan tanpa dasar hukum!"

"Sampai sejauh itu, tak ada kontroversi antara pernyataan Presiden dan proses di Pansus Hak Angket DPR maupun KPK!" timpal Amir. "Soal kekhawatiran yang membersit dari pernyataan Presiden, sama dengan yang dirasakan rakyat penonton siaran langsung rapat-rapat Pansus Hak Angket DPR di televisi! Itu akibat tampak terlalu ngototnya anggota Pansus 'menginterogasi' tokoh yang mereka undang, mengesankan seolah ada agenda tersembunyi lebih jauh lewat medium Pansus! Apalagi ketika ada usaha melimpahkan tanggung jawab terakhir skandal Bank Century pada presiden! Ujung-ujungnya, karena hasil hak angket bisa digunakan sebagai dasar membuat pernyataan pendapat DPR, yang merupakan pintu masuk ke proses pemakzulan, maka kegelisahan hak angket dipolitisasi menuju pemakzulan tak mengada-ada! Meski, jalan untuk itu tak mudah!"

"Berarti pemakzulan lewat politisasi!" ujar Umar. "Kenapa Presiden minta jangan dikriminalisasi?"

"Pemakzulan juga bisa lewat kasus kriminal, seperti korupsi, selain politis pengkhianatan terhadap negara dan pelanggaran konstitusi!" jelas Amir. "Jadi, harus diantisipasi semua sisinya, karena pernyataan pendapat DPR yang bertolak dari hasil angket bisa saja mengacu ke dua sisi tersebut! Jika ada agenda tersembunyi ke arah itu, didukung tekanan people power--demo massa semua elemen mengepung istana--apa tak layak Presiden khawatir?"
Selanjutnya.....

Peningkatan Tensi Alam dan Politik!

"TUMBEN ke dokter" ujar Temin. "Sakit apa?"

"Bukan sakit!" jawab Temon. "Persiapan musim pancaroba akhir Januari sampai Februari, sesuai prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, cuaca buruk mengancam daerah kita!"

"Terus terang saja, cek kesiapan fisik menghadapi peningkatan tensi politik negeri kita dua pekan ke depan!" tukas Temin. "Dimulai Senin 25 Januari, Pansus Skandal Bank Century maraton menyusun rekomendasi untuk paripurna DPR 4 Februari! Ketegangannya bisa diprediksi, karena sejak 26 Januari DPR mulai dikepung demonstran berbagai elemen, puncaknya demo bersama 28 Januari, menyikapi 100 hari pemerintahan SBY-Boediono!"

"Begitulah! Tensi alam dan politik meningkat saksama, apalagi tegangan politik itu disiarkan langsung televisi!" timpal Temon. "Tensi politik lebih rentan dengan tekanan demonstran, karena tarik-menarik kepentingan pada penyusunan rekomendasi Pansus maupun putusan paripurna DPR atas skandal Bank Century nanti, hasilnya bisa bertentangan dengan aspirasi massa! Itu masih diperberat lagi dengan pelampiasan ketakpuasan massa pada kinerja 100 hari SBY-Boediono yang lebih prioritas pada peningkatan gaya hidup mewah anggota kabinet dan para pejabat negara, termasuk anggota parlemen, ketimbang fokusnya pada kesejahteraan rakyat!"

"Bukankah prioritas peningkatan kesejahteraan

pejabat negara itu lebih realistis karena jumlah mereka relatif sedikit, juga dengan kemewahan mencolok, kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Boediono bisa dibuktikan kepada rakyat sebagai prestasi nyata?" tegas Temin.

"Kalau prioritasnya meningkatkan kesejahteraan rakyat yang jumlahnya ratusan juta jiwa, jelas tak cukup 100 hari! Artinya, rakyat bersabar dong, menunggu giliran! Sekarang pejabat negara dulu, berikutnya giliran kesejahteraan rakyat!"

"Rakyat selalu sabar!" timpal Temon. "Tetapi, masalah utamanya bukan kesabaran rakyat menunggu giliran! Melainkan, mentalitas pejabat negara yang belum berubah, selalu cenderung untuk lebih mendahulukan kepentingan dirinya dari kepentingan rakyat! Padahal, dari periode ke periode pemerintahan, yang diharapkan rakyat perubahan sikap para pejabat negara! Tapi kini, justru unjuk hidup mewah itu dilakukan sebagai prestasi 100 hari pemerintahan!"

"Untuk prestasi 100 hari pemerintahan perlu yang bisa dilihat rakyat secara kasatmata!" tegas Umar. "Kalau peningkatan mentalitas, tak terlihat! Perlu waktu lagi untuk pembuktiannya!"

"Memang!" entak Temon. "Bagi seorang pejabat negara, sepanjang masa jabatannya merupakan pembuktian konsistensi mentalitasnya, terutama dalam mendahulukan kepentingan rakyat dari kepentingan dirinya! Bukan seperti sekarang, lebih dulu dibuktikan pengutamaan kepentingan dirinya daripada kepentingan rakyat!"

Selanjutnya.....

Demokrasi Mercon, Maling Senyum!


"ANALOG iklan bailout Bank Century seperti menolong rumah maling terbakar, akhir kerja Pansus membawa dua opsi ke voting di paripurna DPR--setuju bailout (ya) atau (tidak)--membuat malingnya tersenyum!" ujar Umar. "Maling yang membakar rumah sendiri untuk merampok triliunan dana nasabah, kagum pada penggantian dana yang dirampok dan rumah yang dibakar dengan uang rakyat Rp6,7 triliun, bisa diselesaikan dengan cara sederhana--pilihan ya atau tidak!"

"Itulah keistimewaan politisi kita!" sambut Amir. "Pansus yang dicadangi biaya Rp5 miliar itu pun menjadi seperti mercon, menghabiskan banyak biaya cuma demi kebisingan sejenak!"

"Demokrasi mercon!" tukas Umar. "Demokrasi yang cuma menghasilkan kebisingan sesaat, sedang nasib uang rakyat yang menjadi pokok masalahnya malah kian tak jelas juntrungannya!"


"Sisi itu mencerminkan pintarnya politisi kita!" timpal Amir. "Dana bailout Bank Century Rp6,7 triliun menjadi aset Bank Mutiara cuma Rp560-an miliar--kurang sepersepuluhnya--dinilai wajar saja sebagai ongkos menyelamatkan ekonomi dari krisis global! Padahal kenyataan sebenarnya, seperti dibuktikan pengadilan dalam kasus Robert Tantular (pemilik Bank Century), sesuai asumsi M. Jusuf Kalla yang memerintahkan polisi menangkap Robert Tantular, ambruk/gagal kliringnya Bank Century akibat dirampok para pemiliknya sendiri!"

"Tapi dengan penyederhanaan masalah pada akhir kerja Pansus Hak Angket Skandal Bank Century, semua kebenaran yang terungkap dari para saksi dan para ahli di rapat Pansus Hak Angket tak berguna lagi! Semua kebenaran itu lenyap ditelan praktek demokrasi tirani mayoritas!" tukas Umar. "Disebut tirani, karena kebenaran bukan ditentukan oleh fakta-fakta dari proses persidangan terbuka (baik rapat Pansus DPR maupun sidang pengadilan kasus Robert Tantular), melainkan lebih ditentukan oleh suara mayoritas dalam voting di DPR! Dengan demikian kebenaran produk tirani mayoritas tidak terjamin sebagai kebenaran berdasar moral (baik moral hukum berdasar pengadilan maupun moral lain-lainnya berdasar fakta di rapat terbuka Pansus), tapi cuma kebenaran berdasar kekuasaan yang secara de facto berada di tangan mayoritas!"

"Namun, suara mayoritas di parlemen dalam demokrasi mercon, di mana pilihan sikap anggota DPR tak sepenuhnya mencerminkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, tapi lebih mewakili kepentingan penguasa atau partainya, yang sesungguhnya terjadi bukan tirani mayoritas, melainkan tirani minoritas oleh segelintir elite penguasa dan partai!" timpal Amir. "Demikianlah demokrasi mercon, membuat maling tersenyum gembira karena kerusakan akibat kejahatannya direhabilitasi oleh sistem politik, sedang rakyat mayoritas yang uangnya dijarah cuma bisa mengurut dada menahan getirnya nasib!" n
Selanjutnya.....

Konspirasi ala Kesepakatan Bogor!


"PARA pemimpin lembaga tinggi negara sepakat untuk tidak saling menjatuhkan! Sesuai tempat pertemuan, komitmen itu disebut Kesepakatan Bogor!" ujar Umar. "Para pemimpin memahami sistem presidensial, pemakzulan presiden dan wakil presiden diatur jelas pada Pasal 7 UUD 1945. Untuk itu, Presiden meminta lembaga-lembaga tinggi negara saling bersinergi, melengkapi, dan mengawasi dengan check and balances, bukan saling menjatuhkan atau saling mengintip!"

"Kesepakatan itu secara eksplisit amat baik untuk menciptakan ketenangan kerja para pemimpin!" timpal Amir. "Namun secara implisit, kesepakatan itu bisa menjadi konspirasi! Karena, kesepakatan itu membuat proses check and balances menutup mata pada kesalahan, yang besar dikecilkan, setelah kecil dianggap tak ada! Ungkapan tradisionalnya, jatuh di mata dipicingkan, di perut dikempiskan!"

"Dengan begitu sebenarnya kesepakatan seperti itu tak perlu, karena jika para pemimpin lembaga tinggi negara menjalankan kewenangan dan tanggung jawab sesuai konstitusi, sistem ketatanegaraan berjalan seirama, kompak, dan terpadu--ideal!" tegas Umar. "Justru dengan adanya kesepakatan berbau konspirasi itu, jalan sistem ketatanegaraan bisa kurang sempurna karena kesalahan yang mungkin terjadi di antara gir-gir roda sistemnya tidak segera diperbaiki, tapi dibiarkan bahkan ditutup-tutupi!"


"Begitulah!" timpal Amir. "Akibat pembiaran atau permisif itu, kesalahan kecil bisa membesar, lalu fatal! Orde Baru jatuh oleh permisifisme sistemik, semua kesalahan di semua lembaga tinggi negara dibiarkan dan ditutupi, dengan akibat sistemnya mengalami proses pembusukan--systemic decay! Bedanya, konspirasi era Orde Baru itu dilakukan diam-diam bahkan secara rahasia, kini konspirasi dilakukan secara terbuka dan terang-terangan!"

"Itu risiko era keterbukaan!" tegas Umar. "Juga momennya jadi mudah dibaca, seiring dengan menguatnya pengaitan tanggung jawab Presiden SBY dengan skandal Bank Century oleh Pansus DPR! Itu sejalan hierarki kewenangan Sri Mulyani selaku pembantu presiden, hingga secara prinsip tanggung jawab setiap tindakan sang pembantu secara konstitusional tak terlepas dari presiden!"

"Pengalaman pemakzulan presiden di negeri kita layak membuat Presdien SBY gundah! Apalagi, kaitan tanggung jawab menteri pada presiden bersifat lebih formal, ketimbang tanggung jawab tukang pijat dengan presiden yang terjadi dalam pemakzulan Gus Dur!" timpal Amir. "Bertolak dari pengalaman itu, Kesepakatan Bogor amat tepat, karena kasus pemakzulan Gus Dur yang bermula dari kasus tukang pijat mengambil uang dari Bulog Rp1,2 miliar itu berproses di DPR dan MPR, lalu dilegitimasi Ketua MA! Dengan Kesepakatan Bogor mengikat para pemimpin lembaga tinggi negara untuk tidak saling menjatuhkan, jabatan presiden aman dari ancaman pemakzulan!" n
Selanjutnya.....

ATM Bobol, Akhir Era Pita Magnetis!

SEORANG house keeper--pekerja kebersihan kamar hotel--ke ATM. Ia masukkan nomor PIN-nya tapi transaksi ditolak! Ia keluarkan kartu dan terbelalak, yang ia masukkan tadi bukan kartu ATM, tapi master key--kunci induk kamar hotel--yang bisa digunakan membuka semua pintu kamar lantai tempat tugasnya!

"Kartu kunci kamar hotel mudah dibuat dan diperbarui setiap minggu, kalau seri pita magnetis kartu ATM bocor keluar lalu dikloning, bisa buat membobol ATM!" ujar karyawan pada temannya.


"Itu yang terjadi sekarang!" timpal teman. "Suatu sindikat membobol enam bank papan atas di Bali dan Jakarta! Di Bali dalam empat hari bobol Rp4,1 miliar! Di Jakarta belum diketahui pastinya, kata Kabareskrim Polri Komjen Ito Sumardi, kemarin dilaporkan masih terjadi, satu nasabah kehilangan Rp70 juta! Diberitakan televisi, penarikannya di sejumlah ATM terjadi hanya berselang 20 detik! Kartunya dikloning jadi beberapa buah, lalu ditarik beriringan di sejumlah ATM dalam hitungan detik!"

"Gawat!" entak karyawan. "Kulihat, bahan kartu dan pita magnetis ATM dan kartu kunci hotel tak jauh beda! Berarti, blangkonya dijual di pasar!"

"Bukan hanya bahan kartu magnetis yang dijual bebas!" timpal teman. "Skimmer--alat pembuat, pengopi, dan pengganda kartu magnetis juga dijual bebas dalam segala bentuk dan ukuran! Salah satunya berbentuk mulut ATM, tempat colokan kartu di ATM! Kata ahli forensik IT, skimmer model itulah yang digunakan untuk membobol bank kali ini! Kata sang ahli, membuka dan memasang skimmer perekam transaksi di ATM, cuma tiga sampai lima menit!"

"Dari rekaman transaksi pada skimmer itu mereka dapat nomor kartu dan PIN?" kejar karyawan.

"Begitu kata ahli forensik!" jawab teman. "Data skimmer diurai ke komputer untuk digandakan"

"Berarti ATM berpita magnetis tak lagi terjamin 100 persen keamanannya!" tukas karyawan.

"Soal itu orang bank sudah tahu!" tegas teman. "Sebab, di Eropa 1 Januari 2010 menjadi era akhir pita magnetis! Kartu kredit dengan pita magnetis tidak laku lagi! Yang berlaku pakai cip--peranti sebesar kancing baju, dipasang terpadu saat pencetakan kartu kredit!"

"Berarti seluruh perangkat terkaitnya di Eropa sudah siap, mulai dari ATM dan alat transaksi di merchant yang melayani pengguna kartu kredit!" sela karyawan.

"Faktor perangkat pelayanan cip itulah kendala di negeri kita!" tegas teman. "Meski semua kartu kredit sudah pakai cip, agar kalau dibawa ke luar negeri bisa digunakan, tapi tetap dipasangi pita magnetis untuk transaksi di dalam negeri! Bahkan untuk kartu ATM (debet card) di negeri kita, nyaris semua bank belum memasangi cip!"

"Pantas sindikat internasional pembobol ATM beraksi di Indonesia, teknologinya ketinggalan zaman!" tukas karyawan. "Menjadi tugas bank secepatnya memperbarui alat-alat transaksinya, agar nasabah tak cemas rekeningnya bobol!"
Selanjutnya.....

'Cluster', Republik Indonesia Idaman!

KAKEK dari kota kecil mengunjungi cucunya di kota besar. Di gerbang cluster, taksinya tak boleh masuk. Satpam menanya mau bertamu ke rumah siapa, nomor berapa, kakek sebagai apanya. Usai dicek dan dapat izin dari pemilik rumah, barulah satpam membuka gerbang .

"Baru tahu Kakek, cucunya hebat!" ujar cucu nyombong. "Mau bertamu ke rumahnya saja harus diproses satpam baru bisa masuk!"


"Betul!" sambut kakek. "Orang kota besar banyak akal! Karena rumahnya dalam gang, mulut gangnya dari jalan besar dipasang gerbang dan dijaga satpam, diberi nama modern--dulu Gang Nenas, diubah jadi Cluster Pineaple!"

"Kakek sok tau!" tukas cucu. "Ini perumahan real estate, cluster-nya didesain sejak awal!"

"Begitulah pintarnya real estate!" timpal kakek. "Karena rumah dalam gang harganya rendah, dibuat cluster yang dijaga satpam, harganya jadi lebih mahal karena keamanan terjamin!"

"Bukan cuma itu, Kek! Gengsi cluster lebih tinggi! Mengajukan kartu kredit platinum, kalau alamat tinggal di gang, tak diberi! Kalau cluster, lancar!" jelas cucu.

"Bahkan, cluster inilah Republik Indonesia idaman, suatu wilayah negeri yang tak kenal pengemis, pengamen, fakir-miskin dan anak telantar! Selain dalam cluster tak ada yang tinggal, melintas saja mereka tak pernah!"

"Jelas kalian tak kenal kaum duafa itu, karena baru dekat gerbang saja sudah dihardik dan diusir satpam!" entak kakek. "Itu justru menunjukkan kalian terlalu eksklusif, tertutup dari mayoritas warga sebangsa yang hidup serbakekurangan! Akibatnya, kalian tak kenal amanat penderitaan rakyat, rasa senasib dan sepenanggungan sebagai sebuah bangsa!"

"Semua itu cuma klise, Kek!" jawab cucu. "Malah orang yang bicaranya mengumbar klise itu cuma sebagai topeng dari perbuatan mencundangi hak-hak mayoritas rakyat yang menderita! Masih mendingan kami warga cluster ini, meski terkesan kurang perhatian pada kaum duafa, kami tidak merongrong hak-hak rakyat jelata!"

Kakek terkesiap! "Tampaknya hal itu yang kurang kami sadari, warga luar cluster!" tukasnya. "Jika bisa diciptakan suatu masyarakat yang benar-benar bersih dari perongrong hak-hak rakyat jelata, negeri kita lebih mungkin untuk lebih cepat menjadi republik idaman!"

"Maka itu, justru untuk mengentaskan warga dari kemiskinan, perlu dibuat sistem cluster, program menangani kemiskinan dengan area terbatas yang kecil-kecil, memadukan usaha pemerintah dan warga masyarakat setempat!" tegas cucu. "Jika tidak di-cluster dengan batasan area tugas yang ketat, sukar dilihat hasilnya! Dengan sistem kelompok terbatas masyarakat, misalnya lewat koordinasi baitulmal setiap masjid, garapannya diharapkan bisa lebih efektif! Gambaran republik idaman bisa lebih terbayang jelas!"
Selanjutnya.....

Semua Naik, Ekonomi Gagal Ginjal!

"PUSING! Tahun 2010 semua naik!" keluh seorang ibu begitu duduk di angkutan kota.

"Sama, Bu! Aku lebih pusing lagi!" sambut tante di sampingnya. "Beras kualitas sedang naik jadi Rp7.000 per kg, gula lebih Rp10 ribu, minyak goreng juga! Semua naiknya hampir 20 persen, padahal kenaikan gaji pegawai negeri cuma lima persen!"

Si ibu kaget, sebab yang ia keluhkan naik tadi, hasil pemeriksaan darahnya di laboratorium! "Maksudku tadi, yang naik tensi dan unsur dalam darahku, gula, asam urat, kolesterol LDL, dan trigliserda!" jelasnya.

"Nah, itu dia penyebab alamiah kenaikan harga bahan pokok, selain dampak psikologis akibat kenaikan gaji pegawai!" entak tante.


"Penyebab apaan?" sambut ibu agak tersinggung.

"Kenaikan harga yang bersifat nyata berdasar hukum alam (sebab-akibat) justru disebabkan peningkatan konsumsi, antara lain akibat konsumsi berlebihan seperti yang ibu lakukan sebagaimana terbukti dengan kelebihan banyak unsur makanan dalam darah ibu!" jelas tante. "Sedang dampak psikologis akibat kenaikan gaji pegawai, nantinya akan menyesuaikan kembali (re-adjusment) pada level nyata peningkatan daya beli setara kenaikan gaji! Maka itu, kenaikan harga akibat kenaikan gaji lazim disebut dampak psikologis, sedang akibat peningkatan konsumsi dan daya beli masyarakat lebih bersifat riil sebagai aktualisasi hukum alam lewat proses sebab-akibat!"

"Tubuh manusia memang fana, sebagai bagian dari alam semesta sehingga tak terlepas dari hukum alam yang terpadu dengan (with-in) sistem sosial-ekonomi!" sambut ibu yang cepat menyadari tante di sisinya bukan orang sembarangan. "Tapi seperti penjelasan ahli di laboratorium soal kelebihan asam urat padahal saya disiplin ketat membatasinya pada makanan yang dikonsumsi, dalam proses hukum alam itu juga terjadi anomali! Dalam proses hukum alam, selain dari makanan, organ tubuh yang aus dikumpulkan ke hati, dari hati dilempar ke ginjal sebagai asam urat! Namun, ginjal sendiri sering tidak tuntas membuang asam urat ke urine, sehingga kembali ke darah dan menjadi beban dalam sirkulasi darah, bisa menggumpal jadi penyakit saluran darah tersumbat!"

"Maksud ibu dari semua itu?" potong tante.

"Banyak anomali dalam sistem ekonomi kita, sehingga mekanisme harga bisa seperti ginjal yang gagal membuang asam urat ke urine lalu menjadi beban dan penyakit dalam perekonomian bangsa!" tegas ibu. "Seperti beras, katanya overproduksi hingga harus ekspor, genjotan harganya justru melambung tinggi!"

"Dari semua itu terlihat, selain faktor hukum alam dan psikologis, terdapat faktor anomali yang justru dominan dalam sistem ekonomi kita!" tukas tante. "Dengan anomali yang membuat beras saat surplus harganya meroket itu membuktikan perekonomian kita menderita gagal ginjal!"
Selanjutnya.....

Arus Balik 'Trafficking' ke Lampung!

"JIKA sebelumnya Lampung merupakan daerah asal korban trafficking--perdagangan manusia khususnya perempuan untuk dijadikan budak seks--seperti dialami seorang gadis yang berhasil meloloskan diri dari kawasan perbatasan Kalimantan Barat dan dikembalikan ke Way Kanan, kini terjadi arus baliknya, Lampung menjadi tujuan trafficking ¯!" ujar Umar. "Seorang gadis dusun dari Magelang, Jawa Tengah, yang dibius sepanjang perjalanan Yogya--Bandar Lampung, pekan lalu meloloskan diri melompat dari jendela hanya mengenakan pakaian dalam di kawasan Polsek Panjang!"

"Dramatis!" sambut Amir. "It, gadis asal Magelang yang cuma tamatan sekolah dasar itu, saat sadar dari biusan mendengar dirinya ditawarkan para penculik kepada germo! Mendengar itu, dengan sisa tenaga dari siksaan pembiusan dan tak diberi makan sepanjang perjalanan Yogya--Bandar Lampung, ia meloncat dari jendela untuk berjuang mempertahankan kesucian dirinya!"

"Ia berhasil mencapai perumahan warga yang memberinya kain penutup tubuhnya yang setengah telanjang, untuk dipakainya menuju kantor polisi!" tegas Umar. "Sayangnya, ia yang baru sadar dari bius dan pertama berada di suatu kawasan, tak ingat jalan ataupun rumah tempat ia dikurung, hingga polisi gagal meringkus orang yang membawanya dari Jawa ke Lampung! Di sisi lain, warga yang sempat menolongnya juga tidak proaktif memberi informasi kepada polisi, bisa jadi takut mengambil risiko pembalasan dari komplotan mafia trafficking !"

"Kedua peristiwa itu cuma puncak gunung es! Berarti, Lampung yang sebelumnya berstatus daerah kuning--tempat para korban trafficking berasal, kini berubah menjadi daerah merah atau core area --tempat kejahatan yang amat keji terhadap kemanusiaan itu dilakukan!" timpal Amir. "Untuk itu, kepolisian juga harus meningkatkan status operasinya dalam usaha mengatasinya, dari penangkalan saat yellow area, menjadi operasi pembasmian pada red atau core area ! Artinya, kepolisian harus menurunkan task forces ¯--satuan tugas reserse terbaiknya--ke core area ¯ untuk menyapu bersih seluruh jaringan mafia trafficking ¯! Ultimate goal ¯-nya, Lampung bersih total kembali menjadi green area ¯, berakhir realitasnya sebagai daerah asal korban, maupun sebagai red core®kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut!"

"Tuntutan terhadap polisi agar menurunkan task forces ¯ itu mutlak, justru sebagai tantangan terhadap kemampuan polisi melakukan pengayoman pada masyarakat dalam arti luas!" tegas Umar. "Sebab, jika status core area ¯ itu tak langsung dihancurkan, bisa ditingkatkan menjadi base field ¯, Lampung menjadi pusat pengiriman 'barang jadi'--korban siap pakai--ke seantero dunia! Jika itu terjadi, peta Lampung menjadi berwarna hitam dalam dunia trafficking ¯!" n

Selanjutnya.....

Lampung Ekspor Bangsa ke Hong Kong!

"APA ini, Ustaz?" seorang abang becak terbelalak membuka amplop pemberian kiai saat turun dari becaknya, melihat isinya lima ratus ribu rupiah. "Mungkin Ustaz salah cabut amplop dari saku!"

"Tidak! Tak ada yang salah!" jawab kiai tegas. "Itu saya terima dari panitia tablig, katanya sekadar untuk ongkos becak! Jadi, itu amanah yang harus disampaikan sepenuhnya kepada mustahaknya, tak boleh disunat sedikit pun!"
Abang becak turun mencium tangan sang kiai. "Kalau para pemimpin menjaga amanah seperti kiai, para anggota DPRD Lampung tak perlu ramai-ramai studi banding ke Hong Kong menghabiskan uang rakyat untuk memperlancar usaha ekspor bangsa ke negeri itu!" tukasnya.

"Sebab, jika setiap sen uang amanah dari negara untuk rakyat sampai kepada mustahaknya, hidup rakyat tak terlalu sengsara, tidak harus menjadi komoditas ekspor untuk mendapatkan devisa! Apalagi jika uang proyek dan program yang bertujuan akhir menciptakan lapangan kerja mencapai sasaran sepenuhnya, lapangan kerja tersedia di sekitar kita, tak perlu mencarinya ke negara lain!"

"Sabar! Jangan suuzan!" sambut kiai menepuk bahu abang becak. "Studi ke Hong Kong, sebagai bagian negeri China, pilihan bagus! Ada sunah menyatakan, tuntutlah ilmu walau ke China!"

"Tapi, Ustaz, apa tak lebih baik usaha dipusatkan menciptakan lapangan kerja di negeri sendiri, karena syaratnya amat sederhana, para pemimpin bersikap amanah!" timpal abang becak.

"Tentunya karena sudah terbukti mereka tidak mampu menciptakan lapangan kerja di kampung sendiri, meski syaratnya sesederhana kau sebut, mereka menetapkan ekspor bangsa--mengirim warga kita mencari pekerjaan ke negara lain dengan harapan bisa mendatangkan devisa!" tutur kiai. "Lagi pula, ekspor Lampung tahun lalu sampai November turun 18,19%, nyaris seperlima! Jadi perlu kompensasi, ternyata yang paling gampang justru mengekspor rakyatnya!"

"Bukankah lebih baik meningkatkan ekspor lewat menaikkan produksi komoditasnya, kegiatan untuk itu sekaligus menciptakan lapangan kerja baru, tenaga kerjanya bisa ditampung sehingga tak perlu diekspor?" sela abang becak.

"Untuk meningkatkan produksi atau membuat produk ekspor baru perlu waktu!" tegas kiai.

"Jadi, yang selalu siap ekspor itu manusia, keadaannya juga sempurna berkat penciptaan Allah Yang Mahaagung! Belum lagi soal anggarannya! Untuk meningkatkan produksi atau membuat produksi baru perlu anggaran, yang penyalurannya belum tentu pula sesuai amanah hingga keberhasilannya tidak terjamin! Sedang manusia ciptaan Allah yang sempurna itu telah tersedia banyak, menciptanya tak perlu anggaran pula!"

"Apalagi kalau anggarannya kadung habis untuk
study tour ramai-ramai anggota DPRD!" entak abang becak. "Memang tak ada pilihan lain!" n
Selanjutnya.....

Siapa 'Don Carleone' Mafia Hukum?


"FILM God Father melukiskan mafia itu organisasi jaringan antarkelompok, setiap kelompok dipimpin seorang don! Setiap don menguasai wilayah kerja tertentu, sekaligus sebagai anggota 'keluarga besar' mafia yang dipimpin oleh salah seorang yang dipilih di antara para don berdasar besarnya pengaruh di kalangan mereka!" ujar Umar. "Pada zaman keemasannya, keluarga besar mafia Amerika dipimpin Don Carleone! Lalu, siapa 'Don Carleone' mafia hukum Indonesia?"

"Pemetaan struktur jaringan mafia hukum Indonesia itu dalam skala makro maupun skala mikro setiap don dengan wilayah kerjanya, seharusnya menjadi tugas pertama Satgas Mafia Hukum yang dibentuk Presiden SBY!" timpal Amir. "Langkah awal sidak ke LP cukup bagus, sebagai pintu masuk ke wilayah kerja don tertentu, untuk menelusuri urutan jaringan berikutnya, sampai ditemukan skala don yang lebih besar!"


"Jadi bukan langsung berhenti di situ, konon lagi masalahnya dikembalikan pada

"keluarga besar"-nya untuk diselesaikan secara kekeluargaan!" tukas Umar. "Padahal analog dengan sistem mafia The God Father, yang harus ditemukan siapa Don di wilayah kerja LP itu, dan hierarki selanjutnya!"

"Seharusnya begitu!" sambut Amir. "Tapi okelah! Karena satgas itu sendiri dibentuk hanya sebagai komponen retorika, sehingga sebenarnya badan itu dianggap telah selesai ketika dibentuk! Dalam retorika yang penting ada yang bisa disebutkan, bukan implementasinya secara komprehensif! Selanjutnya, harapan untuk pemetaan mafia hukum di negeri ini tinggal dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan pintu masuk kasus Anggodo yang telah dijadikan tersangka! Mungkin dengan menelusuri wilayah kerja mafia jaringan terkait Anggodo dan menemukan don-nya, akan bisa dicari kaitannya dengan don-don lainnya, sampai akhirnya ditemukan siapa 'Don Carleone' mafia hukum di negeri kita!"

"Untuk itu masih harus disusun mosaik-mosaik jaringan mafia hukum mulai dari kasus Anggodo, kasus Arthalita--baik kasus pertama maupun di LP, serta sejumlah kasus lainnya--sehingga gambaran jaringannya bisa tampak lebih jelas!" tegas Umar. "Dari potongan mosaik-mosaik itu dilanjutkan sampai terbentuk gambaran lebih komprehensif!"

"Namun demikian, membongkar mafia hukum tak bisa lepas dari jaringan dalam lembaga-lembaga penegak hukum! Pengalaman KPK, tantangannya cukup berat!" timpal Amir.

"Contohnya, pada 30 September 2005, KPK menggeledah Mahkamah Agung (MA) termasuk ruang kerja Ketua MA, usai menangkap Harini Wiyoso, pengacara Probosutejo dalam kasus reboisasi! Tapi KPK gagal menjerat pejabat teras MA--cuma staf bawahan! Artinya, tak mudah mengungkap tuntas jaringan dan siapa 'Don Carleone' mafia hukum Indonesia! Apalagi sekadar satgas tepo seliro--takut menyinggung perasaan pejabat!" ***
Selanjutnya.....

Ngeri, 'Nonton' Akrobat Debus Politik!

SAAT Temon dan Temin duduk di tepi jalan desa mengamati sapinya merumput, dua pengendara sepeda yang lewat turun. "Nderek langkung!" ujar salah seorang minta izin "numpang lewat" sambil membungkukkan tubuh, tangan kanan di setang sepeda, tangan kiri lurus ke bawah sampai hampir menyentuh tanah!

"Mungkin karena demikian santunnya kehidupan sehari-hari masyarakat kita, saya sering tak tahan dari rasa ngeri sehingga mematikan televisi saat anggota Pansus Skandal Bank Century di DPR menghardik dengan pertanyaan bernada keras pejabat tinggi negara yang mereka undang!" ujar Temon. "Setiap kali
nonton siaran langsung acara itu, saya masgul seperti menyaksikan itu di negeri yang etiket peradaban politiknya belum maju!"

"Aku bahkan pernah tersedak air yang kuminum saat pertanyaan anggota Pansus menghentak ke arah Boediono!" timpal Temin. "Masalahnya, dia diundang ke DPR--sebuah lembaga terhormat! Meski diundang sebagai mantan Gubernur BI, Boediono secara formal kan Wakil Presiden, dwitunggal pemimpin bangsa berstatus lambang negara! Sayang DPR-nya kan, kalau sampai berubah jadi sekadar ruang interogasi?"

"Agaknya karena mendapat panggung istimewa, disiarkan langsung televisi berhari-hari, para anggota Pansus unjuk kebolehan kepada publik dengan bermain akrobat debus politik! Debus, atraksi yang membuat penonton merasa ngeri!" tukas Temon. "Padahal, yang diinginkan rakyat bukan hardikan keras, tapi cara kerja yang efektif hingga produktif mencapai tujuan pembentukan Pansus! Sebaliknya dengan gaya keras, selain saat kena hardik orang langsung defensif, penonton bisa jadi kasihan melihat orang yang diperlakukan selayak pesakitan! Akibatnya, simpati penonton bisa berbalik pada sang pesakitan!"

"Simpati warga terhadap orang yang teraniaya bukan hal baru di negeri kita!" sambut Temin. "Kalau sampai hal itu terjadi, bukan saja kerja Pansus kontraproduktif, malah Pansus itu sendiri bisa beralih jadi kelompok antagonis di mata penonton!"

"Bila terjadi sejauh itu, orang yang semula diincar Pansus sebagai antagonis, malah berubah jadi protagonis--bahkan pahlawan!" ujar Temon. "Jangan diremehkan, gelagat ke sana ada, bukan mustahil! Sehingga, kalau para anggota Pansus tak menyadarinya karena asyik berakrobat debus politik, mereka bisa sampai ke
point of no return--titik tak ada jalan kembali--tugas Pansus mencari tokoh antagonis, yang ditemukan justru para pahlawan! Sedang yang akhirnya jadi antagonis justru mereka sendiri--akibat gagal menyingkap skandal Bank Century--hasilnya justru the golden way Bank Century!"

"Itu jika permainan akrobat debus politik terus berlanjut!" timpal Temin. "Akhir ngeri riwayat Pansus seperti itu tentu saja harus dihindari!" ***
Selanjutnya.....

Janji Penjual Obat dan Citra Politisi!

PENJUAL obat kuat di terminal terhenyak, belum selesai menggelar lapak di hari kelima dia di kota itu, pembeli mengerubutinya sehingga semua stok obat yang dia bawa habis! Ia bingung, apakah obatnya benar-benar manjur hingga promosi dari mulut ke mulut meluas, atau berkat provokasinya, obat kuatnya ramuan warisan raja 100 selir?"
Untuk memastikan, ia tanya salah satu pembeli yang masih menunggu bus. "Dari mana Anda dapat info tentang obat saya, hingga membeli sampai lima paket?"

"Saya petugas balai pengawas obat dan makanan!" jawab yang ditanya. "Saya beli sampel untuk dianalisis, atas permintaan polisi daerah!"

"Polisi daerah?" penjual obat terkejut. "Anda lihat sendiri pembeli obatku ramai, tak ada masalah!"

"Yang berjubel tadi intel-intel polsek dari semua penjuru!" jawab petugas. "Bisa jadi mereka cari contoh barang bukti untuk penyelidikan kasus, berdasar laporan warga! Mungkin karena skala kasusnya luas, polisi daerah ikut turun!"

"Polsek semua penjuru?" penjual obat tersentak. "Masak sekali gagal membuktikan kemanjuran obatku menjadikan dirinya raja 100 selir, orang lantas ramai-ramai mengadu ke polisi? Sangat tidak adil! Dari pemilu ke pemilu jutaan orang tertipu janji politisi mengentaskan mereka dari kemiskinan, tak satu pun mengadu ke polisi!"

"Polisi kan cuma menjalankan tugas! Ada laporan warga, mereka
follow up!" tegas petugas. "Jadi jangan salahkan polisi! Introspeksi diri, belajar pada politisi kenapa janji-janjinya tak terbukti pun tidak diadukan ke polisi, malah pemilu berikutnya dipilih kembali!"

"Karena setiap lima tahun politisi datang dengan program sosial dan hiburan buat
rakyat!" timpal penjual obat. "Politisi bisa melakukan itu karena penghasilan bulanannya dari uang rakyat selama lima tahun besar sekali! Penjual obat keliling dari kota ke kota, tak mungkin melakukan hal serupa!"

"Dalam hal ini pangkal masalahnya mungkin tingkat kejutannya yang berbeda!" ujar petugas. "Terhadap politisi, rakyat tak terkejut janji-janji mereka tak terbukti, karena secara umum rakyat sudah cukup maklum memang begitulah politisi! Sedang pada penjual obat, pada dasarnya rakyat masih percaya obatnya manjur! Akibatnya, rakyat terkejut dan kecewa berat ketika janjinya tidak terbukti! Reaksi warga melapor ke polisi sejajar dengan tingkat kekecewaan mereka itu!"

"Kok terbalik?" entak penjual obat. "Seharusnya penilaian umum rakyat terhadap politisi adalah tokoh-tokoh yang integritas dan kredibilitasnya tinggi, janji-janjinya diyakini akan terbukti, bukan malah rakyat cukup maklum dan menganggap wajar janji politisi tidak terbukti!"
"Kalau sudah begitu citra politisi di mata rakyat, kita bisa apa?" timpal petugas. "Apalagi jika para politisi malah nyaman dengan citra demikian!" ***

Selanjutnya.....

Jamur Kuping, Ciri Pesta Kaum Elite!

GEMBIRA melihat apa yang tumbuh di batang kayu lapuk belakang rumah neneknya di desa, Tina--gadis kota--bersorak, "Jamur kuping!" Ia bergegas ke dapur mengambil kresek bekas bungkus oleh-oleh bawaannya dari kota.

"Cari apa bawa kantong plastik?" tanya nenek.

"Jamur kuping! Banyak di belakang!" jawab Tina. "Di Jakarta itu makanan mewah yang mahal, adanya cuma di supermarket besar! Kubuat tumis nanti Nenek cicipi, pasti nikmat!"

"Kau olah jadi apa pun, kalau jamur kuping nenek sudah mbelenger--bosan!" sambut neneknya. "Di sini, musim hujan tumbuh beraneka jamur!"

"Tapi di Jakarta, meski warnanya hitam, jamur kuping menjadi ciri pembeda pesta kaum elite dengan warga biasa!" jelas Tina. "Kalau yang pesta elite, dalam hidangan mihunnya selalu terdapat jamur kuping! Sebaliknya di pesta warga jelata!"

"Pantas elite kota besar kehabisan kuping!" tukas nenek. "Tak bisa mendengar keluhan, harapan, bahkan tuntutan mahasiswa atau rakyat jelata yang sedang menghadapi kesulitan!"

"Nenek bicara apa?" Tina tersentak.

"Setiap hari kulihat berita di televisi, mahasiswa atau rakyat jelata yang datang beramai-ramai untuk menyampaikan keluhan, harapan atau tuntutan kepada elite selalu diadang barisan polisi berseragam mirip astronaut dengan gebukan dan tameng di tangan!" jelas nenek. "Akibatnya, sering tak bisa dihindarkan terjadinya bentrokan polisi melawan rakyat, rakyat babak belur atau lari kocar-kacir menghindari gebukan

polisi! Pagar betis polisi dijadikan benteng pengadang hanya karena elite kehabisan kuping, tak bisa lagi mendengar jeritan hati nurani rakyat!"

"Kalau itu yang Nenek maksud, memang begitulah kenyataannya!" timpal Tina.

"Sedang pesta di tempat rakyat tak menyajikan jamur kuping, karena rakyat masih menggunakan kupingnya!" tegas nenek. "Terutama untuk mendengar janji-janji elite dalam kampanye pemilihan umum, baik untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat pusat maupun daerah! Sebaliknya, elite enggan menggunakan kupingnya untuk mendengar keluhan, harapan, dan tuntutan rakyat hingga menggunakan polisi negara untuk membubarkan atau mengusir massa!"

"Sebenarnya, apa salahnya ya, kalau elite siap mendengarkan aspirasi rakyat, menemui setiap rombongan rakyat yang datang!" timpal Tina. "Tapi elitenya malah sembunyi, menyuruh polisi berantem dengan rakyat yang seharusnya mereka ayomi!"

"Elite tak berani bertemu rakyat secara langsung, selain karena janji-janji kampanye mereka cuma pepesan kosong, juga takut kalau privilese atau hak-hak istimewa mereka terusik!" tegas nenek. "Padahal, setiap kali rakyat datang berbondong-bondong karena hak-hak mereka dijarah atau ditilap oleh elite!" ***

Selanjutnya.....

Lepat Singkong Vs Istana di Penjara!


MBAH Siyem, yang rumahnya berhampiran dengan afdeling--perumahan buruh perkebunan--setiap hari membuat lepat singkong. Sebaskom lepat, begitu masak diletakkan di meja teras rumahnya, ia pun langsung salat zuhur dan melepas lelahnya membuat lepat dengan tidur siang. Saat asar dia bangun, baskomnya sudah kosong! Di hari gajian, warga afdeling berdatangan membayar lepat yang mereka ambil, menyebut sendiri berapa jumlah lepat yang harus dibayarnya.

"Apa Mbah tak pernah dibohongi orang, dia ambil banyak diakui sedikit?" tanya tetangga.

"Tentu saja pernah!" jawab mbah.

"Mbah tahu orangnya?" kejar tetangga.

"Tahu!" jawab mbah, bernada pasti.

"Bagaimana bisa tahu, saat mereka mengambil lepat kan Mbah sedang tidur?" timpal tetangga.


"Orangnya mengaku sendiri!" jelas mbah. "Waktu pulang dari penjara didakwa mencuri karet milik perkebunan, dia langsung mampir dan meminta maaf! Katanya, dia masuk bui gara-gara kualat berbohong pada mbah, cuma membayar sebagian lepat yang dia ambil! Ia yakin begitu, karena orang lain mencuri karet tak masuk penjara!"

"Kualat gara-gara membayar cuma sebagian lepat Mbah?" tetangga tersentak. "Bagaimana pula dengan koruptor miliaran atau triliunan dengan mengencundangi hak banyak rakyat jelata?"

"Kualat itu menurut perasaan orangnya!" ujar mbah. "Dia cerita, setiap malam di penjara tak bisa tidur! Sebenarnya karena penjara sempit, ruangan yang seharusnya untuk 10 orang, diisi 40 orang! Tapi akibat tak bisa tidur, pikirannya melayang mencari penyebab penderitaan itu, yang selalu muncul perasaan kualat berbohong padaku!"

"Berarti kalau penjaranya nyaman, ruang 8 X 8 meter untuk sendirian, berpendingin, berfasilitas hotel bintang, televisi layar datar dan karaoke, termasuk peralatan bermain anak-cucu yang boleh datang kapan saja, seperti yang bisa diperoleh koruptor sesuai temuan Satgas Mafia Hukum, meski dipenjara tak menderita seperti pencuri karet itu, jadi tak ada tekanan untuk merasa kualat!" tukas tetangga. "Bisa jadi itu penyebab korupsi sukar diberantas, karena terbongkar pun korupsinya orang tetap bisa mendapat istana dalam penjara!"

"Mestinya bagaimana?" tanya mbah.

"Bangun penjara khusus buat koruptor! Ada rupa ada harga, uangnya resmi masuk kas negara!" tegas tetangga. "Ada bangsal untuk kelas teri yang tak mampu bayar! Lalu ada kelas satu dan dua, tarifnya hotel melati untuk para tumbal yang dikorbankan demi menyelamatkan tindak korupsi bosnya! Untuk koruptor sejati tersedia VIP, super-VIP, VVIP, super-VVIP, dan super-VVIP plus, tarif dan fasilitas hotel bintang satu sampai lima!"

"Kalau dibuat semewah itu lepat singkongku kalah!" keluh mbah. "Karena orang tak lagi takut kualat korupsi, mengambil lepat lima diakui satu!" ***
Selanjutnya.....

Demokrasi Boneka Kucing Anggora!


PADA hari ulang tahunnya, Desi dibawa tantenya yang bekerja di perusahaan asing ke petshop--tempat jualan hewan piaraan.

"Lihat itu hamster--tikus putih--berlari di sangkar berputar!" ujar tante. "Itu kucing anggora berbulu tebal, tidur melulu! Itu cihuahua, anjing mungil!"

"Semua menggemaskan, Tante!" sambut Desi.

"Kau suka yang mana?" kejar tante.


"Aku suka semua hewan piaraan ini!" jawab Desi. "Tapi tak bisa memeliharanya, karena aku alergi! Apalagi menggendong kucing anggora, hanya memegang hamster atau cihuahua saja alergiku kambuh! Maka itu, aku lebih suka hewan piaraan dalam bentuk artifisialnya, bonekanya!"

"Begitu? Tampaknya kau sudah terkena wabah yang menggejala di kalangan penguasa negeri transisi demokrasi!" sambut tante. "Seperti halnya kau suka hewan piaraan tapi alergi, penguasa juga menyatakan suka demokrasi, tapi secara nyata mereka alergi terhadap demokrasi dalam arti sesungguhnya! Untuk itu, mereka memilih penerapan demokrasi artifisial--demokrasi seolah-olah saja--mirip boneka kucing anggora!"

"Seperti apa demokrasi artifisial itu?" kejar Desi.

"Contohnya Pansus Century Gate di DPR yang ingin mewujudkan demokrasi sesungguhnya!" jelas tante. "Tapi karena kalangan penguasa alergi pada demokrasi sesungguhnya, mereka lakukan usaha-usaha untuk menjadikan kerja Pansus itu artifisial, dengan menebarkan pemahaman secara intens lewat media massa meyakinkan rakyat luas bahwa proses pengungkapan Century Gate itu politisasi! Jika rakyat luas meyakini kerja Pansus Century Gate cuma politisasi, proses demokrasi atas Century Gate telah menjadi artifisial--semata untuk tujuan politik tertentu!"

"Jadi, dengan usaha mengartifisialkan demokrasi, kalangan penguasa tak kambuh alerginya?" timpal Desi.

"Namanya juga usaha!" tukas tante. "Soal berhasil atau tidak, tergantung keuletan anggota Pansus Century Gate dalam mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya! Setidaknya, dengan usahanya itu kalangan penguasa bisa merasa lebih nyaman sementara, ketimbang cuma pasrah pada proses yang kalau dibiarkan bisa memojokkan mereka!"

"Apa ukuran berhasilnya usaha itu?" tanya Desi.

"Usaha tersebut bisa disebut berhasil jika Pansus Century Gate gagal membuktikan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat tertentu dalam proses penyelamatan Bank Century!" jawab tante. "Sebaliknya, tindakan para pejabat tersebut justru diberi justifikasi dan legitimasi--pembenaran dan kekuatan dasar hukum! Jadi, Pansus bekerja cuma formalistis belaka, tidak betul-betul berusaha melakukan pembuktian asumsi-asumsi yang mendasari pembentukan Pansus itu sendiri!"

"Kalau kerja Pansus sekadar formalistis, demokrasi memang telah menjadi boneka kucing anggora!" timpal Desi. "Demokrasi artifisial!" ***
Selanjutnya.....

Disiplin Juragan Topeng Monyet!

"SARIMIN pergi ke sawah!" seru pengamen topeng monyet sambil menabuh drum, monyetnya segera memakai capil dan memanggul cangkul kecil lalu berjalan keliling di depan penonton. Tak lama kemudian ganti sesi, "Sarimin pergi ke pasar!"

Menjelang petang pengamen pulang, genderang di tangan kiri dan monyet duduk di bahunya, tangan kanannya menenteng sekantong plastik jagung segar masih dengan kelobotnya.

"Juragan topeng monyet pulang!" sambut istrinya mengambil bawaan dari tangan suaminya. "Lupa pesanku pagi tadi? Beras kita habis! Yang dibawa malah makanan monyet melulu!"

"Beras kan bisa dibeli di warung depan!" jawab suami. "Sedang untuk dia cuma ada di pasar!"

"Untuk dia! Bilang untuk monyet kenapa?" entak istri. "Jangan keterlaluan, lebih mengutamakan kepentingan monyet daripada anak-istrinya! Anaknya jarang pernah makan buah, tapi untuk monyet, tak pernah lupa membelikannya!"

"Karena dialah aktornya, yang seharian berakting mencari duit buat penghidupan keluarga kita!" jelas suami. "Sedang aku cuma panjak, penabuh genderang mengiringi aktingnya! Tentu saja, sekaligus bendahara, mengurus uang hasilnya! Karena itu, aku harus disiplin agar usaha ini bisa berjalan lancar dari hari ke hari!"

"Tapi tetap kau pemimpinnya! Sedang monyet itu anak wayang, anak buah!" tegas istri.

"Tirulah para pemimpin, anak buah yang harus disiplin pada pimpinan, bukan sebaliknya!"

"Disiplin anak buah itu tak bisa dilepaskan dari disiplin pemimpinnya, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasarnya!" tegas suami. "Kalau anak buah ditelantarkan, seperti dia, sekalipun cuma monyet, kalau sampai

kurang makan dan sakit, tak bisa ngamen! Apalagi anak buah itu manusia, selain kebutuhan fisik dasar, rasa harga dirinya juga perlu dihormati! Semakin tinggi status anak buah, semakin tinggi pula rasa harga dirinya! Kalau harga dirinya ditelantarkan, meski jenderal bisa menjadi tak disiplin!"

"Juragan topeng monyet saja bicara soal disiplin jenderal yang ditelantarkan!" sergah istri. "Kalau begitu, sampai tak disiplinnya jenderal itu berarti tak terlepas dari kurang disiplinnya atasan pada kewajibannya, sehingga anak buahnya merasa ditelantarkan, terutama harga dirinya?"

"Kalau tidak merasa harga dirinya ditelantarkan, apa mungkin dia melanggar disiplin?" tukas suami. "Jadi, hukum kausalitas--sebab-akibat--tak bisa dikesampingkan! Misalnya, kutelantarkan si monyet sehingga sakit dan tak bisa ngamen, siapa yang salah? Tentu saja aku yang salah, mana bisa si monyet selaku objek penderita disalahkan!"

"Begitu?" sambut istri. "Tapi aku bangga, meski cuma juragan topeng monyet, suamiku berani menyalahkan jenderal, atasan jenderal lain yang dipreteli fasilitasnya karena dinilai tak disiplin!" ***

Selanjutnya.....

Makan 'Beton' dan 'Dekeman' Jepang!


MAHASISWA baru di Jepang heran, di kulkas apartemen teman ia temukan beton (biji nangka) rebus dan dekeman (kedelai rebus) dalam kemasan plastik bertulisan huruf Jepang!

"Di mana kau dapat makanan kelangenan Indonesia ini?" tanya mahasiswa.

"Banyak di supermarket sini!" jawab temannya. "Aneh memang, di negeri kita beton rebus tak ada dijual, hanya makanan iseng rumahan! Sedang dekeman, hanya dijual jika ada tontonan di desa! Sedang di sini, dikemas dengan jaminan tanpa pengawet dan dijual di supermarket!"


"Padahal di kampung, beton rebus lewat sehari berlendir!" ujar mahasiswa. "Juga dekeman!"

"Beton rebus sini sebelum dikemas dioven, meski tetap lembap tidak berlendir! Selain itu plastik kemasan relatif tebal, menjaga keawetannya!" timpal teman. "Juga dekeman, direbus tanpa mengubah warna asli hijau segar kulit kedelai, dipajang dalam kotak berpendingin!"

"Faktor teknis proses produksi dan pemasarannya itu yang membuat beton lebih banyak dibuang di negeri kita, sedang Jepang entah dapat beton dari mana, malah menjadikannya komoditas menarik!" tegas mahasiswa. "Tapi itu layak jadi pelajaran bagi kita, benda yang dibuang sebagai sampah di negeri kita, seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya, syukur bisa jadi duit! Bayangkan, Jepang yang menguasai dunia dengan produksi mobil dan elektroniknya, masih melakukan hal-hal yang kita anggap sepele! Artinya, untuk meningkatkan kemakmuran rakyat kita harus bisa daya gunakan secara simultan dari hal-hal yang sangat canggih sampai yang sepele!"

"Kontras dengan negeri kita yang mayoritas rakyat masih miskin! Di sisi canggih kita kalah, di sisi sepele tak kelola dengan baik!" timpal teman. "Salah satu sebabnya, sistem pendidikan kita terlalu sentralistis dan berorientasi status quo--melestarikan nilai-nilai orang tua pada anak secara instruktif dan doktriner! Semangat mencari nilai-bilai baru--sebagai inventor (penemu)--tak dapat penekanan! Di Jepang, pelestarian nilai taken for granted diperoleh dari masyarakatnya, sedang pencarian nilai-nilai baru diprioritaskan, khususnya inventor! Sejak SD anak berkompetisi mencari temuan baru, yang berhasil mendapat perhatian lewat jalur khusus!"

"Terbalik, Jepang yang negeri kerajaan rakyatnya malah berorientasi pada pencarian nilai secara bebas, sedang negeri kita yang republik rakyatnya justru berorientasi feodalistik, berburu kehidupan mapan!" tukas mahasiswa. "Akibatnya, anak-anak kita cuma mimpi jadi pegawai negeri yang mapan dengan jaminan pensiun, atau pekerjaan yang bisa hidup enak tanpa kerja keras seperti politisi! Orientasi sedemikian membuat anak justru taken for granted pada gaya hidup status quo--tak kuat dorongan untuk mencari sendiri nilai-nilai baru, apalagi temuan baru! Tanpa mencari, tentu tak mendapat apa pun! Coba semua mencari!" ***
Selanjutnya.....

UN, Presiden Ambil Jalan Tengah!


"GONG polemik tentang ujian nasional (UN) telah berbunyi!" ujar Umar. "Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan UN dilaksanakan 2010 tetapi bukan sebagai alat ukur tunggal atau satu-satunya penentu kelulusan! Sementara itu, Presiden minta penyelenggaraan UN diperbaiki, disempurnakan, serta ditingkatkan kualitasnya!"

"Instruksi Presiden lewat rapat kabinet bidang kesra itu cukup melegakan karena kedua pihak yang berpolemik--pro-UN murni sebagai penentu kelulusan dan proproses belajar tiga atau enam tahun--sama-sama diakomodasi!" sambut Amir. "Tinggal pihak instansi pendidikan dan sekolah menjabarkan pelaksanaannya sehingga kelulusan siswa yang ditetapkan sekolah bisa mendapatkan legalitas instansi pendidikan yang mengeluarkan ijazah tanda lulus murid!"

"Untuk mendapatkan legalitas itu tentu integritas dan kredibilitas sekolah yang pertama harus jadi patokan!" tegas Umar.
"Keputusan sekolah tidak bisa diambil hanya oleh kepala sekolah bersama wakilnya saja! Kepala sekolah harus kerja bersama tim guru senior yang dibentuk untuk itu! Dengan begitu, kinerja siswa selama tiga atau enam tahun mendapat penilaian yang benar-benar objektif!"

"Kualifikasi kinerja siswa selama proses belajar di sekolah itu juga harus jelas standarnya!" timpal Amir. "Pertama, kualitas akademik berdasar nilai rapornya selama proses belajar. Kedua, disiplin, kerajinan belajar, serta akhlak atau mentalitas dan budi-pekertinya. Ketiga, nilai mata pelajaran yang tak di-UN-kan, seperti olahraga, kesenian, dan muatan lokal sekolahnya. Keempat nilai UN itu sendiri, dengan syarat minimum pencapaian nilai rata-ratanya dari hasil UN disesuaikan akreditasi sekolahnya dari instansi pendidikan, misalnya A, B, atau C. Untuk kelompok A mungkin 85 persen dari patokan nilai minimum yang harus dicapai dalam UN--kalau standar UN 5,5, berarti 85 dari 5,5. Lalu kelompok B 75 persen, dan C 65 persen! Dengan standar minimum capaian dari hasil UN, lulusan berdasar putusan sekolah juga tidak buruk-buruk amat!"

"Terpenting dengan penilaian komprehensif semua sisi penting selama proses belajar itu lebih adil bagi murid, ketimbang kelulusan yang hanya ditentukan oleh satu-satunya nilai, dari UN!" tegas Umar. "Masalah keadilan bagi murid itulah yang diperjuangkan terkait UN selama ini! Maka itu, keadilan dimaksud harus diwujudkan!"

"Namun, penyelesaian masalah ini tak mungkin seperti makan cabai, sekali kletus langsung pedas!" timpal Amir. "Selalu ada kemungkinan belitan kepentingan dari tingkat pusat, instansi pendidikan daerah, juga di sekolah! Semua kepentingan tarik-menarik hingga jangan terkejut kalau akhirnya tarikan terkuat yang menang dan berakibat, arah prosesnya kembali melenceng dari idealnya!" ***
Selanjutnya.....

Cegah Hura-Hura Menjarah APBD!


"SEKJEN Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan dalam evaluasi keuangan daerah akhir tahun menyebutkan tahun 2009 sebagai tahun hura-hura elite politik menjarah APBD. (Kompas, 7-1)" ujar Umar. "Itu disimpulkan Fitra berdasar hasil pantauan yang luas, termasuk daerah-daerah pemekaran!"

"Evaluasi Fitra itu warning bagi para pengelola anggaran agar lebih berhati-hati, terutama di Provinsi Lampung yang baru menerima DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) APBN 2010 sebesar Rp11,33 triliun!" timpal Amir. "Mengajak berhati-hati itu penting, karena terminologi yang digunakan memberi isyarat terjadi peningkatan drastis dalam bermain anggaran, dari sebelumnya menyunat anggaran untuk bancakan, kini jadi menjarah anggaran untuk hura-hura!"


"Betul-betul drastis!" sela Umar. "Menyunat hanya memotong sedikit ujungnya, bancakan makan bersama dari satu ambeng yang terdiri dari nasi, urap, kerupuk atau rempeyek, dan sebutir telur rebus dipotong dengan benang menjadi delapan atau bahkan 16 sayatan! Sedangkan menjarah, mengambil secara tanpa hak sebanyak mungkin, bahkan digotong beramai-ramai! Lalu hura-hura, pesta pora menghamburkan dana tanpa batas!"

"Itu dia! Evaluasi Fitra yang mencerminkan ada peningkatan drastis gejala korupsi di daerah amat kontras dengan realitas penderitaan rakyat di pelosok daerah yang tak kunjung mentas dari kemiskinan!" tegas Amir. "Untuk mencegah agar gejala itu tidak terjadi, kalangan elite daerah sebaiknya mengurangi kegemaran selalu melihat ke atas! Sebaliknya, perbanyak melihat ke bawah! Lihatlah nasib rakyat yang masih butuh banyak perhatian dan empati, sehingga menumbuhkan keberpihakan dan tekad perjuangan untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat yang malang! Sebab, kalau lebih banyak melihat ke atas, mendongak terus, pejabat di atas pakai mobil Crown Super-Saloon, bukan saja lantas ikut pakai super-saloon, malah harus melampauinya supaya tampak lebih hebat"

"Kalau pilihan supaya tampak lebih hebat itu yang dilakukan, sudahlah dalam APBD anggaran rutin untuk pejabat dan pegawai jauh lebih besar dari anggaran untuk rakyat, dengan bertambahnya secara signifikan anggaran fasilitas pejabat, dana anggaran untuk rakyat mengkerut jadi jauh lebih kecil lagi!" timpal Umar. "Dengan itu, hura-hura yang dilakukan bukan semata pesta pora makan--yang menghabiskan sekarung beras pun tak seberapa harganya, melainkan hura-hura dengan menghamburkan dana APBD untuk fasilitas pejabat yang mengakibatkan porsi anggaran untuk rakyat kian menciut terus!"

"Tepatnya, menjarah dan hura-hura itu tak harus ditafsirkan harfiah!" tegas Amir.

"Bisa jadi caranya lebih halus, tapi hasil jarahannya justru jauh lebih besar!" ***
Selanjutnya.....

Ekspor Lampung Turun 18,19%

>

"BPS--Badan Pusat Statistik--merilis nilai ekspor Provinsi Lampung Januari--November 2009 turun 18,19 persen dari periode sama 2008," ujar Umar. "Menurut Muhamad Razif, kepala BPS Lampung, penurunan terjadi pada empat kelompok utama komoditas ekspor Lampung! Kelompok kopi, teh, dan rempah-rempah (kontribusi 25,02%), lemak dan minyak hewani/nabati (24,18%), pulp--bubur kertas--dan olahannya (6,55%), buah-buahan dan sayuran (6,54%). Total kontribusi empat kelompok itu 62,28%."

"Ekspor nonmigas menurut Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu (5-1) secara nasional 2009 turun 12%. Maka, penurunan ekspor Lampung itu 6% lebih buruk!" sambut Amir. "Itu bisa terjadi selain dampak krisis keuangan global dengan menurunnya impor negara-negara maju terutama AS, Jepang dan Uni Eropa, khusus Lampung juga terkena akibat kasus Tripanca, terkait 150 ribu ton kopi, kakao, dan rempah yang jadi masalah!"

"Dampak krisis global pada semester awal 2009 itu tampak pada penurunan ekspor Lampung ke Jepang dan AS yang sebelumnya selalu di posisi teratas, digeser ekspor ke China!" tegas Umar. "Pergeseran signifikan tujuan ekspor ke China sebagai kompensasi masa krisis global itu cukup penting bagi diversifikasi tujuan ekspor Lampung! Saat ekonomi dunia kembali normal dan ekspor ke negara maju pulih, hasil diversifikasi menopang laju pertumbuhan komoditas ekspor Lampung--terutama kakao, minyak nabati (sawit), serta ikan dan udang yang kian pesat tumbuhnya!"

"Pertumbuhan produksi komoditas ekspor yang tampak di lapangan, dihadapkan dengan realitas penurunan nilai ekspornya--meski kuat alasan penyebabnya (krisis global)--tetap menuntut jalan keluar untuk menciptakan keseimbangan kembali antara produktivitas dan pemasarannya!" timpal Amir. "Sebab, dalam pelajaran ekonomi elementer pun diketahui, saat penawaran lebih besar dari permintaan berakibat

"Jalan keluar seperti apa?" potong Umar.

"Untuk komoditas rakyat seperti kopi dan kakao, sebelum ekspor pulih sedang produk melimpah, mungkin pemkab setempat bekerja sama dengan asosiasi eksportir menampung sementara panen rakyat untuk menyangga harga!" jawab Amir. "Sedang pada minyak nabati (sawit), pemda dan perbankan mendorong para produsen untuk membangun pabrik biodiesel, substitusi solar, yang kebutuhannya relatif tak terbatas! Dengan itu, lemahnya permintaan pasar ekspor tak berpengaruh signifikan pada produsen!" n


Selanjutnya.....

Century Gate Masuki Babak Baru!


"PETUNJUK membersit, Century Gate memasuki babak baru!" ujar Umar. "KPK sudah menemukan lima indikasi korupsi dalam dana talangan Rp6,7 triliun ke Bank Century! Sedang DPR, setelah rapat Pansus Hak Angket Century Gate sepanjang hari kemarin 'menghabisi' mantan Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan, Aulia Pohan, diketahui telah terjadi pembiaran atas kesalahan yang dilakukan berulang sejak awal merger tiga bank gagal--CIC, Pikko, dan Danpac--menjadi Bank Century!"

"Dari kedua sisinya itu semakin tampak adanya pelanggaran hukum, baik akibat penyalahgunaan wewenang maupun kelalaian!" timpal Amir. "Dari situ terpenting dicatat, dalam pengungkapan kasus ini sama sekali tidak ada politisasi! Kedua lembaga melangkah tepat pada jalur tugasnya--KPK menelusuri korupsinya, Pansus DPR mencari pelanggaran aturan main kekuasaan!"

"Catatan itu penting karena membantu bank di saat krisis untuk menyelamatkan ekonomi negara tentu merupakan keharusan!" tegas Umar.
"Tapi timbul masalah, di balik pelaksanaan keharusan itu ada yang membonceng untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan merampok sebagian dana talangan dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebesar Rp6,7 triliun itu! Padahal, dana LPS itu uang negara, setoran modal awal LPS dari APBN Rp4 triliun dan setoran bank dari potongan bunga tabungan nasabah untuk premi jaminan simpanan! Jadi, seluruh dana itu uang rakyat!"

"Dengan talangan itu uang rakyat, penyimpangan dalam penyalurannya sebesar Rp2,8 triliun yang tak berdasar hukum (versi BPK), harus dicari yang bertanggung jawab!" timpal Amir. "Usaha mencari penggarong uang rakyat nyata bukan politisasi! Sebaliknya, usaha menutup-nutupi penggarongan itu dengan penggunaan segala bentuk kekuasaan yang justru merupakan politisasi!"

"Maka itu, KPK dan Pansus DPR tak perlu terhalang oleh segala bentuk kontraisu yang menyebut pelaksanaan tugas mereka sebagai politisasi!" tegas Umar. "Semua sepakat bantuan pada bank di masa krisis untuk menyelamatkan ekonomi nasional! Tapi semua juga sepakat, siapa pun membonceng untuk keuntungan pribadi atau golongan di balik bantuan tersebut, apalagi menggarong dana talangannya, harus ditindak tegas menurut hukum!"

"Lebih lagi pidana korupsi terkait perbankan! Berdasar yurisprudensi, kelalaian pimpinan BI dari Burhanuddin Abdullah sampai Aulia Pohan atas dana Yayasan BI divonis hukuman berat, dalam Century Gate--seperti terungkap di rapat Pansus Selasa (5-1)--kelalaian terjadi berulang-ulang sampai para anggota Pansus menyebutnya permisivisme,--pembiaran kesalahan yang terus-terusan terjadi!" timpal Amir. "Karena itu, harus diperjuangkan hukum tetap berlaku sama pada setiap warga negara!" n
Selanjutnya.....

Laode Ida Tolak Mobil Supermewah!


"MAHATMA Gandhi, bapak bangsa India, naik kereta api ekonomi di kelas tiga!" tutur Umar. "Orang di sekitarnya mengenali itu tokoh besar bangsanya, menanya, 'Kenapa Anda naik kereta ekonomi kelas tiga?' Dengan senyum pemimpin agung berpakaian lembaran kain putih mirip ihram itu menjawab, 'Karena tidak ada kelas empat!"

"Itu contoh hidup sangat sederhana dari seorang pemimpin yang amat dihormati bukan saja oleh bangsanya, tapi juga dunia!" sambut Amir. "Lewat praktek hidup sederhana meneladani Gandhi para pemimpin India, di tengah krisis keuangan global ekonomi negerinya yang berpenduduk satu miliar jiwa mampu mencapai pertumbuhan di atas delapan persen pada 2009! Sedang kita, cuma mampu tumbuh empat persen saja, jauh di bawah skala penyerapan tenaga kerja yang dibutuhkan, para pejabat negaranya sudah merasa amat hebat hingga memakai kendaraan dinas Crown Super-Saloon seharga Rp1,3 miliar!"

"Maka itu, sangat wajar Laode Ida, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), menolak kendaraan dinas supermewah itu!" tegas Umar. "Menurut dia, selisih harga lebih Rp800 juta itu berarti banyak bagi rakyat yang mayoritas masih melarat! Laode Ida menegaskan, pimpinan negara kita tidak peka terhadap penderitaan rakyat!"


"Masalahnya, karena para pemimpin kita terjebak hidup dalam retorikanya sendiri!" timpal Amir. "Dengan retorika mereka sebutkan negara telah maju dan rakyatnya makmur, mereka anggap retorikanya itu telah menjadi kenyataan sehingga dirinya merasa patut tampil selayak pemimpin di negara yang rakyatnya makmur! Celakanya, ada di antara pemimpin itu, meski tak sebanyak bilangan jari seperti Laode Ida, masih bisa melihat realitas penderitaan rakyat apa adanya! Akibatnya terjadi kontras, para pemimpin hidup supermewah, rakyatnya hidup tiarap tercekam superderita!"

"Ironisnya, para pemimpin selalu merujuk sukses negerinya dengan mengacu India dan China, yang keduanya berpenduduk lebih satu miliar jiwa dengan angka pertumbuhan ekonomi kontinu di atas delapan persen! Bahkan sebelum krisis global China bisa lebih 10 persen!" tukas Umar. "Padahal, kedua negara itu bisa mencapai sukses demikian terutama berkat para pemimpin negerinya hidup sangat sederhana, sedang para pemimpin kita sebaliknya! Di China koruptor dihukum mati, di sini komisi antikorupsinya diadang berbagai penyulitan! Terakhir disiapkan aturan penyadapan telepon koruptor setiap dilakukan komisi itu!"

"Meski begitu, kita cuma bisa berdoa langkah Laode Ida membawa pencerahan pada para pemimpin bangsa kita, hingga mampu melihat dengan jernih realitas penderitaan rakyat!" timpal Amir. "Agar mereka tak lagi lupa diri, menari-nari hidup supermewah di atas penderitaan rakyat!"
Selanjutnya.....

Sambut Positif Perdagangan Bebas!

"TAHUN baru di rumah nenek, kami berdoa menyambut positif berlakunya perdagangan bebas ASEAN-China pada detik-detik pergantian tahun!" ujar Amir.

"Iseng amat?" timpal Umar. "Apa kaitannya, nenekmu bukan pemegang lisensi merek dagang China?"

"Nenekku pengagum Gus Dur, jadi dia lihat dari sisi humanis universal arti perdagangan bebas itu bagi rakyat!" jawab Amir. "Pertama, bisa mendapatkan dengan harga lebih murah barang-barang kelontong, seperti
benik (kancing baju), jarum, benang jahit, dan lainnya! Lebih murah dari saat kena bea dan selundupan! Semua itu kebutuhan sehari-hari warga jelata!"

"Tapi mengancam industri nasional, yang kalah bersaing harga dengan produk China!" potong Umar.

"Itu terkait dengan nikmat kedua bagi rakyat!" tegas Amir. "Tekanan persaingan harga mendesak industri nasional melakukan rasionalisasi dan efisiensi maksimal untuk bisa bertahan hidup! Rasionalisasi antara lain gaji pimpinan di sektor industri kita yang
amat jauh dari buruhnya yang kandas di UMR! Di China, perbandingan gaji terendah dan tertinggi tak boleh lebih 1 : 12. Dirut BUMN ke kantor naik sepeda!"

"Itu saja tak cukup!" timpal Umar. "Industri kita terbelit ekonomi biaya tinggi, terutama gurita korupsi/pungli, pokok masalahnya di luar faktor internal dunia usaha!"

"Itu jadi nikmat ketiga bagi rakyat!" sambut Amir. "Dunia usaha akan mendesak pemerintah bersungguh-sungguh membersihkan birokrasi dari segala bentuk korupsi dan pungli! Jika gagal dan industri mengalami kebangkrutan masif, PHK membeludak, pemerintah bisa jatuh! Maka itu, pemerintah harus serius memberantas korupsi/pungli, rakyat juga yang menikmati hasilnya!"

"Bagaimana kalau pemerintah tak peduli gagal dalam memberantas korupsi dan pungli, karena lewat retorika selalu bisa pamer keberhasilan lewat versinya sendiri?" tukas Umar. "Sebaliknya, justru memanfaatkan sistem yang korup itu untuk melestarikan kekuasaan!"

"Kalau itu yang terjadi, ekonomi bangsa terpuruk fatal, usaha penyesuaian yang dilakukan internal dunia usaha sia-sia!" timpal Amir. "Meski begitu, ini tetap menjadi hikmah ke empat bagi rakyat, bisa menyaksikan pembuktian sejauh mana kemampuan pemerintah memberantas korupsi!"

"Maksudku setelah pemerintah terbukti gagal dan ekonomi nasional bangkrut!" kejar Umar.

"Kalau sudah setingkat itu hingga kemiskinan dan pengangguran masif sekali, rakyat mendapatkan hikmah kelima, menemukan kembali keberanian dirinya, jadi tak takut bergabung dalam gerakan rakyat memberantas korupsi dan pungli!" tegas Amir. "Dalam kondisi sedemikian, gerakan rakyat yang habis kesabarannya itu bisa menjadi gerakan cepat (revolusi) sosial antikorupsi! Gerakan ini sukar dibendung dengan retorika penguasa lewat menakut-nakuti! Di situ saatnya tiba, rakyat menentukan sendiri jalannya sejarah! Namun, dengan sikap positif kemungkinan terburuk itu diharapkan tidak sampai terjadi!" ***

Selanjutnya.....

Kakek 'Replanting' Lapangan Golf!


UNJUK sukses di kota, cucu membawa kakeknya yang datang dari desa ke lapangan golf.

"Ini tempat orang-orang sukses!" jelas cucu. "Aku dulu kakek ajari mengayun sabit membabat rumput, sekarang mengayun stik memukul bola!"
Kakek terangguk, memandang lapangan luas yang hijau, dipagari pepohonan tinggi di kiri-kanannya. Sambil ikut cucu jalan bersama kawan mainnya, ia pun banyak bertanya tentang golf, tentang orang-orang yang membawakan tongkat golf mereka!
Di jalan pulang cucu tanya, "Apa kesan kakek?"

"Bagus!" jawab kakek. "Itu olahraga sempurna! Jalan sampai tiga jam lebih, memukul bola pakai tenaga, menghirup udara segar! Cuma..."

"Cuma apa?" kejar cucu.


"Itu pepohonan di kiri-kanan sepanjang lapangan kenapa ditanam albasia atau cemara yang tidak berbuah?" ujar kakek. "Tadi kakek bayangkan, jika itu ditanami petai, melinjo, durian dan lainnya yang juga bisa menjulang setinggi itu, pasti hasilnya menambah perolehan sewa lapangan!"

"Kakek kuno, kampungan!" entak cucu. "Golf itu permainan kelas dunia, lapangannya juga harus berstandar internasional!"

"Masak pohonnya saja tak boleh di-Indonesia-kan? Yang bener aja!" timpal kakek. "Coba kalau itu tanaman kebun, hasilnya separuh untuk yayasan pengelola lapangan, separuhnya lagi bisa untuk kesejahteraan para kedi yang sekaligus diberi tugas menjaga, merawat, dan memanen hasilnya, kesejahteraan ratusan kedi bisa ditingkatkan!"

"Jadi kakek tadi dalam benak me-replanting--menanam ulang--pepohonan di lapangan golf, sekalian perhitungan ekonomisnya?" tanya cucu. "Tapi ada standar bentangan lebar pohonnya!"

"Lebar bentangan pohon bisa diatur!" tegas kakek. "Pokoknya semua aturan permainan tetap, pohonnya saja yang di-Indonesia-kan! Sekaligus sebagai contoh pembumian budaya dunia di negeri ini sehingga modernisasi bukan semata-mata westernisasi, melainkan juga mentahbiskan piranti lokal ke dalam proses modernisasi! Dengan begitu, di tengah kemajuan yang dicapai kita tetap merasa hidup di bumi Indonesia yang amat kita cintai! Berani mengajukan gagasanku?"

"Ogah, ah!" jawab cucu. "Ntar jadi tertawaan!"

"Kalau kalangan suksesnya--atau istilah televisi elitenya--saja tak berani meng-Indonesia-kan lingkungannya, sehingga simbol-simbol sukses dan kemajuan cuma yang serbawesternisasi, saat kemajuan tercapai bangsa ini kehilangan identitas atau jati dirinya!" tegas kakek. "Sampai di situ, secara budaya dengan semua subsistemnya--tanpa kecuali politik dan ekonomi--bangsa kita kembali terjajah! Penjajahan budaya, lebih merasuk ke sumsum sendi-sendi kehidupan!"

"Kakek repot jati diri melulu!" entak cucu. "Kakek lihat sendiri, tradisi feodal mampu bertahan dan menyatu dengan politik dan ekonomi liberal! Budaya dunia tak kenal batas negara, Kek!"
Selanjutnya.....

2010, Cekik dan Peras Guru Honorer!


"SEJALAN tradisinya, Indonesia memasuki 2010 dengan ketiadaan grand design--blue print--gambar akhir hasil pembangunan!" ujar Umar.

"Rencana pembangunan jangka menengah dan panjang cuma memuat target-target parsial, tambal sulam! Kemiskinan akhir periode anu berkurang anu persen! Pengangguran turun sekian persen! Kekurangan listrik 50 ribu mw ditambal 10 ribu mw, padahal periode itu sampai bolongnya jadi jauh lebih besar! Idealnya, ada blue print komprehensif bentuk akhir seutuhnya, berapa biayanya, bagaimana mewujudkannya lengkap time schedule prosesnya!"

"Tambal sulam itu terjadi nyaris di semua sektor!" timpal Amir. "Di sektor pendidikan amat parah, dilukiskan Dr. M. Abduhzen dari Institute for Education Reform dalam seminar akhir tahun FMGI--Forum Martabat Guru Indonesia--Lampung! Ganti rezim pejabat ganti kebijakan, sifatnya trial and error, hit and run, kick and rush--plesetan cekik dan peras!"


"Aslinya kick and rush berarti tendang dan tabrak, istilah rugbi--sepak bola Amerika!" ujar Umar. "Diplesetkan cekik dan peras, seperti apa?"

"Contoh gamblang diberikan Prof. Sutopo Gani--Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung--pada seminar sama! Dari 20 persen APBD 2009 Provinsi Lampung untuk pendidikan atau Rp380-an miliar, masuk sektor pendidikan cuma 10,5 persen! Yang 89 persen lebih masuk satker-satker lain dengan dalih kegiatan pendidikan satkernya!"

"Mantap sekali cekik dan perasnya!" tukas Umar.

"Padahal masalah sektor pendidikan sendiri jauh lebih kritis dari dalih yang malah diberi prioritas itu!" timpal Amir. "Menurut Prof. Sutopo, dari 107 ribu guru di Lampung, 54 ribu lebih guru honorer, merata di sekolah negeri dan swasta! Bukan rahasia, honor kebanyakan guru itu cuma sekitar Rp250 ribu sebulan! Jika guru honorer mogok, tegas Sutopo, pendidikan Lampung bisa lumpuh!"

"Gawat!" entak Umar. "Keadilan harus ditegakkan! Masak anggaran pendidikan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sudah dicukupi 20 persen, masih demikian banyak guru tercekik dan diperas!"

"Itulah yang diperjuangkan Dewan Pendidikan, dengan konsep tidak tambal sulam lagi!" tegas Amir. "Tuntutan kenaikan gaji guru honorer harus setara gaji minimal yang diterima guru PNS tahun 2010, yakni Rp2 juta! Ada komitmen nasional--sejak Hari Guru 2008 Presiden SBY menjanjikan nasib semua guru honorer selesai akhir 2009, kata Prof. Sutopo, kebutuhan dana untuk itu ditutup anggaran pendidikan pusat 50 persen, provinsi 30 persen, kabupaten-kota 20 persen! Anggaran pendidikan pusat dan provinsi di Lampung sekitar Rp1,7 triliun, biaya untuk itu dan kebutuhan pendidikan lainnya bisa dipenuhi!"

"Kuncinya pada kepala daerah dan DPRD yang saat kampanye berjanji propendidikan!" timpal Umar. "Jika mereka kesatria memenuhi janjinya, bukan janji kosong, derita guru honorer bisa diatasi--tak lagi melanjutkan tradisi tambal sulam!" ***
Selanjutnya.....