GEMBIRA melihat apa yang tumbuh di batang kayu lapuk belakang rumah neneknya di desa, Tina--gadis kota--bersorak, "Jamur kuping!" Ia bergegas ke dapur mengambil kresek bekas bungkus oleh-oleh bawaannya dari kota.
"Cari apa bawa kantong plastik?" tanya nenek.
"Jamur kuping! Banyak di belakang!" jawab Tina. "Di Jakarta itu makanan mewah yang mahal, adanya cuma di supermarket besar! Kubuat tumis nanti Nenek cicipi, pasti nikmat!"
"Kau olah jadi apa pun, kalau jamur kuping nenek sudah mbelenger--bosan!" sambut neneknya. "Di sini, musim hujan tumbuh beraneka jamur!"
"Tapi di Jakarta, meski warnanya hitam, jamur kuping menjadi ciri pembeda pesta kaum elite dengan warga biasa!" jelas Tina. "Kalau yang pesta elite, dalam hidangan mihunnya selalu terdapat jamur kuping! Sebaliknya di pesta warga jelata!"
"Pantas elite kota besar kehabisan kuping!" tukas nenek. "Tak bisa mendengar keluhan, harapan, bahkan tuntutan mahasiswa atau rakyat jelata yang sedang menghadapi kesulitan!"
"Nenek bicara apa?" Tina tersentak.
"Setiap hari kulihat berita di televisi, mahasiswa atau rakyat jelata yang datang beramai-ramai untuk menyampaikan keluhan, harapan atau tuntutan kepada elite selalu diadang barisan polisi berseragam mirip astronaut dengan gebukan dan tameng di tangan!" jelas nenek. "Akibatnya, sering tak bisa dihindarkan terjadinya bentrokan polisi melawan rakyat, rakyat babak belur atau lari kocar-kacir menghindari gebukan
"Kalau itu yang Nenek maksud, memang begitulah kenyataannya!" timpal Tina.
"Sedang pesta di tempat rakyat tak menyajikan jamur kuping, karena rakyat masih menggunakan kupingnya!" tegas nenek. "Terutama untuk mendengar janji-janji elite dalam kampanye pemilihan umum, baik untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat pusat maupun daerah! Sebaliknya, elite enggan menggunakan kupingnya untuk mendengar keluhan, harapan, dan tuntutan rakyat hingga menggunakan polisi negara untuk membubarkan atau mengusir massa!"
"Sebenarnya, apa salahnya ya, kalau elite siap mendengarkan aspirasi rakyat, menemui setiap rombongan rakyat yang datang!" timpal Tina. "Tapi elitenya malah sembunyi, menyuruh polisi berantem dengan rakyat yang seharusnya mereka ayomi!"
"Elite tak berani bertemu rakyat secara langsung, selain karena janji-janji kampanye mereka cuma pepesan kosong, juga takut kalau privilese atau hak-hak istimewa mereka terusik!" tegas nenek. "Padahal, setiap kali rakyat datang berbondong-bondong karena hak-hak mereka dijarah atau ditilap oleh elite!" ***
0 komentar:
Posting Komentar