"ANALOG iklan bailout Bank Century seperti menolong rumah maling terbakar, akhir kerja Pansus membawa dua opsi ke voting di paripurna DPR--setuju bailout (ya) atau (tidak)--membuat malingnya tersenyum!" ujar Umar. "Maling yang membakar rumah sendiri untuk merampok triliunan dana nasabah, kagum pada penggantian dana yang dirampok dan rumah yang dibakar dengan uang rakyat Rp6,7 triliun, bisa diselesaikan dengan cara sederhana--pilihan ya atau tidak!"
"Itulah keistimewaan politisi kita!" sambut Amir. "Pansus yang dicadangi biaya Rp5 miliar itu pun menjadi seperti mercon, menghabiskan banyak biaya cuma demi kebisingan sejenak!"
"Demokrasi mercon!" tukas Umar. "Demokrasi yang cuma menghasilkan kebisingan sesaat, sedang nasib uang rakyat yang menjadi pokok masalahnya malah kian tak jelas juntrungannya!"
"Sisi itu mencerminkan pintarnya politisi kita!" timpal Amir. "Dana bailout Bank Century Rp6,7 triliun menjadi aset Bank Mutiara cuma Rp560-an miliar--kurang sepersepuluhnya--dinilai wajar saja sebagai ongkos menyelamatkan ekonomi dari krisis global! Padahal kenyataan sebenarnya, seperti dibuktikan pengadilan dalam kasus Robert Tantular (pemilik Bank Century), sesuai asumsi M. Jusuf Kalla yang memerintahkan polisi menangkap Robert Tantular, ambruk/gagal kliringnya Bank Century akibat dirampok para pemiliknya sendiri!"
"Tapi dengan penyederhanaan masalah pada akhir kerja Pansus Hak Angket Skandal Bank Century, semua kebenaran yang terungkap dari para saksi dan para ahli di rapat Pansus Hak Angket tak berguna lagi! Semua kebenaran itu lenyap ditelan praktek demokrasi tirani mayoritas!" tukas Umar. "Disebut tirani, karena kebenaran bukan ditentukan oleh fakta-fakta dari proses persidangan terbuka (baik rapat Pansus DPR maupun sidang pengadilan kasus Robert Tantular), melainkan lebih ditentukan oleh suara mayoritas dalam voting di DPR! Dengan demikian kebenaran produk tirani mayoritas tidak terjamin sebagai kebenaran berdasar moral (baik moral hukum berdasar pengadilan maupun moral lain-lainnya berdasar fakta di rapat terbuka Pansus), tapi cuma kebenaran berdasar kekuasaan yang secara de facto berada di tangan mayoritas!"
"Namun, suara mayoritas di parlemen dalam demokrasi mercon, di mana pilihan sikap anggota DPR tak sepenuhnya mencerminkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, tapi lebih mewakili kepentingan penguasa atau partainya, yang sesungguhnya terjadi bukan tirani mayoritas, melainkan tirani minoritas oleh segelintir elite penguasa dan partai!" timpal Amir. "Demikianlah demokrasi mercon, membuat maling tersenyum gembira karena kerusakan akibat kejahatannya direhabilitasi oleh sistem politik, sedang rakyat mayoritas yang uangnya dijarah cuma bisa mengurut dada menahan getirnya nasib!" n
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Minggu, 24 Januari 2010
Demokrasi Mercon, Maling Senyum!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar