Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Akhirnya, Satono Dinonaktifkan!


"MENDAGRI Gamawan Fauzi menonaktifkan Satono dari jabatan bupati Lampung Timur mulai 26 Mei 2011 dan menetapkan Wakil Bupati Erwin Arifin sebagai pelaksana tugas (plt.) bupati!" ujar Umar. "SK Mendagri itu dibacakan Kepala Biro Otonomi Daerah Provinsi Lampung Peturun, disaksikan Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said dan DPRD Lampung Timur serta para pejabat di Sukadana!"

"Untuk itu para pendukung dan pemilih Satono wajar dipermaklumkan, dengan penonaktifan itu meski sementara tidak duduk dan bekerja di kursi jabatan bupati, Satono secara legal formal tetap sebagai bupati kepala daerah yang sah Lampung Timur!" sambut Amir. "Itu berlaku sampai ada keputusan berkekuatan hukum tetap, setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasus Satono! Artinya, jika MA memutus bebas, Satono berhak kembali duduk ke kursi jabatan bupati! Lain hal jika MA memutus Satono bersalah, harus dengan lapang dada menerima!"

"Harapan pendukung Satono tentu idola mereka divonis bebas!" tukas Umar. "Hal itu bukan mustahil karena hakim Pengadilan Negeri sama pernah menjatuhkan vonis demikian pada putusan sela dalam kasus Satono!"

"Meski harapan utamanya demikian, jika nanti putusannya berbeda, pendukung Satono harus siap mental menerima kenyataan!" timpal Amir. "Menerima kenyataan bahwa para pendukung dan pemilih itu sendiri manusia hingga bisa saja salah dalam memilih! Atau kenyataan Satono juga manusia sehingga tak luput dari kesalahan!"

"Tapi kenapa kau tadi memilih bicara ke arah pendukung dan pemilih Satono?" entak Umar. "Tak kalah penting barisan lawan politiknya diberi pencerahan yang sama, agar tak bertindak secara berlebihan hingga justru bisa mencemari proses hukum! Misal, hakim yang dibutuhkan berpikir dalam suasana bebas dan merdeka untuk mempertimbangkan putusannya semata berdasar fakta-fakta hukum di persidangan, tak harus diintimidasi dan diacungi berbagai ancaman!"

"Pemahaman tentang sistem peradilan bebas masih perlu disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga pressure massa tak mengganggu hakim dalam mengambil putusan!" sambut Amir. "Tapi hal demikian bukan cuma dilakukan orang-orang kampung di daerah kita! Di Jakarta, bahkan di MA saat sidang kasus Akbar Tanjung, dua kelompok massa saling menekan pelaksanaan sidang dari luar gedung! Karena itu, sosialisasi pada pihak pro dan kontra diperlukan agar sistem peradilan bebas semakin dipahami semua warga!" ***

Selanjutnya.....

SMS dari Singapura Diskredit Presiden!


"SMS alias pesan pendek dari nomor berkode area Singapura mendiskredit Presiden SBY dan Partai Demokrat!" ujar Umar. "Presiden SBY mengaku sedih atas beredarnya SMS itu dan meminta agar fitnah tersebut dihentikan! SMS itu, menurut indosiar.com (30-5), berisi skandal pribadi Presiden SBY, megakorupsi Bank Century, kasus IT KPU, deposito Rp47 triliun milik Partai Demokrat, hingga rumor korupsi tokoh-tokoh Demokrat, antara lain Andi Malarangeng!"

"Fitnah itu benar-benar menggusarkan Presiden SBY, hingga dalam perjalanan menuju Pontianak dia sempatkan membuat konferensi pers di Bandara Halim!" timpal Umar.

"Bahkan, Presiden menyampaikan itu dengan wajah memerah, terkesan menahan amarah!"

"Untuk itu, kita sepaham dengan Presiden, orang yang melontar fitnah dari persembunyian di ruang gelap itu pengecut!" tegas Umar. "Kalau mau mengoreksi Presiden dan Partai Demokrat, lebih tepat disampaikan secara terbuka dan unjuk muka—dengan identitas yang jelas! Masalahnya rakyat sekarang sudah pintar, hanya kritik dan koreksi yang disampaikan orang dengan cara bertanggung jawab yang akan diperhatikan! Sedang informasi lempar batu sembunyi tangan tak digubris! Merespons yang sumbernya jelas saja sudah pusing, ngapain menambah pusing dengan gosip yang sumbernya tak jelas!"

"Memang! Sekalipun SMS itu juga disebarluaskan lewat jejaring sosial dan internet, rakyat sekarang kritis menyeleksi sendiri mana yang berguna dan mana yang sampah!" timpal Amir. "Lain soal kalau ada hal-hal yang menggelitik rasa ingin tahu atau membuat mereka penasaran, misalnya membuat sampah di internet itu bukan sembarangan, bisa mendiskredit Presiden dan Partai Demokrat, justru mendorong mereka mendaur ulang sampah itu!"

"Rasa ingin tahu orang-orang yang terpancing oleh reaksi Presiden SBY hingga membongkar dan mengais-ngais sampah itu yang malah bisa menebar bau busuk!" tukas Umar. "Justru di tangan pihak-pihak yang tak berkepentingan langsung ini ceritanya bisa dibumbui sesuai selera masing-masing, hingga justru terkesan lebih logis dan rasional! Berkembangnya cerita hasil daur ulang sampah yang diulang-ulang dengan versi masing-masing ini justru akan menghasilkan hiper-realitas—mengesankan meski berlebihan!"

"Realitas seperti apa pun yang dihasilkan, sampah tetap sampah!" sambut Amir.

"Maksudnya, gosip tanpa verifikasi tak bisa jadi fakta hukum, selalu jadi sampah tak berguna! Tapi perfeksionis cemas, sampah apa pun bisa mengotori dirinya!" ***

Selanjutnya.....

Truk Vs Mobil Rebutan Tol!

"UJI coba truk dilarang masuk tol lingkar dalam Kota Jakarta, yang semula berlaku selama KTT ASEAN, diperpanjang lagi sampai 10 Juni pada jalur Pluit sampai Cawang!" ujar Umar. "Truk dari Lampung dan Banten yang sebelumnya langsung masuk tol Tomang untuk ke Priok lewat Pluit atau Cawang, di Tangerang harus keluar tol dan di Serpong masuk tol lingkar luar Jakarta memutar lewat Bintaro, Cilandak, Jagakarsa, Pasar Rebo, baru menuju Priok pada simpang susun Cawang!"

"Jarak tempuh truk dari Tangerang ke Priok jadi dua kali lipat, begitu pula bahan bakar dan uang tol yang dibayar!" timpal Amir. "Selain itu, jalan Tangerang dan tol lingkar luar Jakarta yang jadi bottle-neck bagi truk dari semua jurusan itu pun macet sehingga waktu tempuh segala jenis komoditas ekspor-impor menuju/meninggalkan pelabuhan meningkat sebanding! Konsekuensinya, terjadi penambahan biaya yang berdampak pada daya saing produk ekspor kita di pasar global, dan kenaikan beban konsumen pada barang impor!"

"Itulah harga yang harus dibayar—selain tambah capeknya sopir truk setelah
berhari-hari di jalan yang rusak parah dan antre menunggu kapal di penyeberangan—bagi kenyamanan pemilik mobil di jalan tol Ibu Kota, dari kecepatan semula 20-40 km/jam jadi 40-60 km/jam!" tukas Umar. "Kenyamanan itu ternyata demikian nikmatnya, sehingga sekelompok orang mengatasnamakan warga Jakarta demo ke kantor Gubernur DKI menuntut agar pembatasan truk masuk tol dalam Kota Jakarta diberlakukan permanen!"

"Konflik truk versus mobil pribadi rebutan jalan tol cerminan konflik pusat-pinggiran, ekspresi konflik elite-massa! Mobil ekspresi elite pusat, sedang truk massa pinggiran!" timpal Amir. "Elite pusat secara nyata berorientasi kenyamanan dan kenikmatan pribadi dan golongan sosialnya, sedang massa pinggiran berorientasi kelancaran transportasi komoditas ekspor-impor guna mewujudkan perekonomian nasional yang efektif dan efisien!"

"Para ahli menyebut inti gerak ekonomi dunia ada pada barisan truk pengangkut komoditas yang berjalan penuh 7 x 24—tujuh hari seminggu 24 jam sehari! Semakin lancar (efektif) dan efisien biaya, semakin pesat kemajuan ekonomi suatu negara!" tegas Umar.

"Penentu kemajuan pada piece meal engineering—rekayasa meraih keunggulan lewat keefektifan sistem dan keefisienan biaya senilai secuil demi secuil roti! Kebijakan menghambat kelancaran truk justru sebaliknya!"

"Kita tunggu 10 Juni!" timpal Amir. "Akan terlihat, elite pusat mengutamakan kenikmatan pribadi atau keunggulan ekonomi bangsa!" ***
Selanjutnya.....

Bersangka Baik soal Nazaruddin!


"KARENA Nazaruddin masih anggota DPR dari Partai Demokrat yang Ketua Dewan Pembinanya Presiden SBY, sebaiknya kita berprasangka baik bahwa Nazaruddin akan kembali ke Tanah Air jika KPK memanggil untuk diperiksa!" ujar Umar.

"Meski Kompas (28-5) lewat judul tajuknya 'Modus Klasik Nazaruddin' telah 'memvonis' kepergiannya ke Singapura sehari sebelum cekal dari KPK keluar itu tak beda dengan banyak orang yang terkasus hukum berobat ke Singapura lalu tak kembali?" tanya Amir.

"Bagaimana bisa seyakin itu?"

"Pertama, bertolak dari pernyataan tokoh-tokoh Partai Demokrat di berbagai media, kepergian Nazaruddin berobat ke Singapura bukan hal luar biasa, dan mereka yakin kapan pun dipanggil KPK untuk diperiksa, Nazaruddin akan hadir! Kalau mereka yakin, kenapa kita tidak?" tegas Umar. "Kedua, aku kenal Kampung Bangun, Kecamatan Siantar (kini Gunung Malela), Kabupaten Simalungun, tempat Nazaruddin lahir dan sekolah sampai SMP! Lewat gambaran alam dan masyarakat kampung itu mungkin bisa dikenali karakter dasar remaja Nazaruddin—yang pada usia awal 30-an bisa jadi bendahara umum partai berkuasa!"

"Luar biasa!" sambut Amir. "Coba ceritakan!"

"Kampung Bangun terkantung dalam areal PTP IV (dulu) Bangun, dikelilingi perkebunan besar lain, Bah Jambi, Pagar Jawa, Laras (Afdeling L dan N), serta Bukit Maraja! Terletak pada jalan beraspal sejak zaman Belanda jurusan Siantar ke Asahan, tepatnya di Simpang Bah Jambi!" tutur Umar. "Artinya, sejak belum merdeka Bangun kawasan bisnis yang hidup! Lebih menarik, sejajar jalan raya itu Bangun dilintasi bahbolon (bah-sungai, bolon-besar) beraliran deras dan berbatu-batu!"

"Apa arti bahbolon bagi si Udin kecil?" kejar Amir.

"Mayoritas anak pria suka bermain di sungai, bahbolon menempa anak menaklukkan arus deras dan lebih dari itu, terlatih menyelam di lubuk celah batu untuk menangkap ikan jurung dengan tangan kosong!" jelas Umar.

"Bisa kubayangkan tempaan karakter bahbolon pada Udin!" timpal Amir. "Tapi fleksibilitasnya?"

"Di Bangun hingga sekarang ada SMP Teladan!" jawab Umar. "SMP itu didirikan awal 1960 oleh para alumnus FKIP Universitas HKBP Nommensen P. Siantar bekerja sama dan memakai gedung Perguruan Al Washliyah (ormas pendidikan Islam terkemuka di Sumut) yang dipimpin Muhammad Is Damanik! Bisa dibayangkan fleksibilitas kerja sama antarumat di bumi kelahiran Nazaruddin!"

"Super sekali!" entak Amir. "Harapan, Nazaruddin tak menjadi anomali bagi Partai Demokrat dan Bangun—kampung tempatnya dilahirkan!" ***

Selanjutnya.....

Percepatan Pembangunan Ekonomi!


"JUMAT kemarin, Indonesia masuk tahapan baru: Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi 2011-2025," ujar Umar. "Itu ditandai dengan peresmian empat proyek oleh Presiden SBY, salah satunya di Koridor Sumatera pabrik sawit modern bernilai Rp2,5 triliun di PTPN 3 Sei Mangke, Sumut!"

"Empat proyek itu bagian dari 17 proyek tahap pertama program percepatan yang bernilai Rp186 triliun!" timpal Amir. "Total nilai proyek untuk program percepatan itu Rp1.998 triliun dengan jumlah proyek 881."

"Ironisnya, kalau pada level nasional program percepatan dicanangkan lewat proyek nyaris Rp2.000 triliun, pertumbuhan ekonomi Lampung triwulan I 2011 menurut data BI justru melambat sekitar 0,5% dibanding triwulan IV 2010!" tukas Umar. "Bahkan, BI memperkirakan pelambatan pada triwulan II 2011 akan lebih signifikan lagi!"

"Lebih ironis, pelambatan pertumbuhan ekonomi Lampung itu layak diduga terjadi akibat kebijakan pusat!" timpal Amir. "Salah satunya, kebijakan pembatasan impor sapi bakalan yang ditetapkan akhir 2010, efektif dirasakan dampaknya pada PDRB awal 2011. Lampung pusat penggemukan sapi skala nasional, penyuplai daging ke Jakarta dan kota-kota di Sumatera sampai Medan!"

"Tapi tujuan pembatasan impor sapi bakalan itu baik, untuk mendorong pengembangan sapi lokal, terutama di Jawa dan Nusa Tenggara!" sambut Umar. "Selama ini daging sapi lokal kalah bersaing karena lebih mahal, timbang hidup Rp26 ribu/kg, sedang sapi eks bakalan impor Rp20 ribu/kg!"

"Itulah, berarti konsumen dipaksa membayar lebih mahal!" tegas Amir. "Padahal, penggemukan sapi bakalan itu di Lampung separuhnya dilakukan rakyat, peternak plasma! Akibat kebijakan itu yang dirugikan rakyat plasma, karena inti jadi lebih memprioritaskan penggemukan di kandangnya sendiri! Selain itu, peternak sapi lokal kita tak dididik bersaing global, mengefisienkan usaha menekan biaya produksi! Efisiensi yang terbukti bisa dilakukan peternak plasma itu sebaiknya yang ditularkan ke peternak sapi lokal! Bukan keunggulan peternak plasma malah dibabat habis!"

"Begitulah ekses 'kabinet politisi'! Dengan usaha menambah pemilih partainya lewat kebijakan yang 'populer', tak peduli berakibat negatif merusak sisi lain perekonomian yang justru sudah berjalan baik!" timpal Umar. "Jangan-jangan begitu juga pada tambak AWS yang selama ini diisolasi sebagai urusan pusat, plasma dicecar janji ada investor baru memberi belanja bulanan Rp3 juta! Produksi yang meningkat 10 kali lipat sejak revitalisasi pun, jadi macet dan absen di PDRB triwulan I 2011." ***

Selanjutnya.....

Sertifikasi Sterilkan Profesi Wartawan!


"DEWAN Pers memberikan Sertifikat Kompetensi Wartawan (SKW) Utama kepada 100 wartawan senior Rabu, sebagai isyarat dimulainya sertifikasi kompetensi bagi profesi wartawan di Indonesia!" ujar Umar. "Sertifikasi bukan pembatasan pada kemerdekaan wartawan, karena dilakukan oleh masyarakat pers sendiri untuk melindungi dan mensterilkan profesinya dari pencemaran oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab!"

"Memang, masyarakat sudah resah oleh tindakan 'abal-abal' yang memalsukan identitas dengan menyaru sebagai wartawan untuk memeras!" timpal Amir. "Lewat sertifikasi jenjang kompetensi dari wartawan muda, madya, dan utama, setiap wartawan yang benar-benar bekerja di media yang menurut data Dewan Pers memang ada, namanya akan masuk daftar wartawan di website Dewan Pers (www.dewanpers.org). Jika ada masalah, warga bisa mengeceknya. Kalau namanya tak ada sedang medianya juga tak ada di data Dewan Pers, bisa diproses pidana pemalsuan identitas, lalu kasus pemerasannya!"

"Dengan begitu tak bisa lagi abal-abal mengaku wartawan, preman yang tak kompeten seenaknya menabalkan diri menjadi pemimpin redaksi dan mengeluarkan kartu pers buat orang-orang yang dikoordinasi sebagai kelompok pemeras!" tegas Umar. "Sebab, setelah SKW berjalan, untuk jadi pemimpin redaksi harus wartawan utama!"

"Untuk itu, proses SKW harus dipercepat!" timpal Amir. "Dewan Pers memberi peluang organisasi profesi dan perguruan tinggi yang punya jurusan komunikasi untuk menyelenggarakan sertifikasi dengan verifikasi dan akreditasi Dewan Pers! Diharapkan sertifikasi pada wartawan yang benar-benar mustahak selesai lima tahun!"

"Langkah Dewan Pers melakukan sertifikasi untuk mensterilkan profesi wartawan ini melegakan, karena selama ini masyarakat pers tak punya kewenangan hukum untuk menindak perilaku abal-abal yang sudah keterlaluan meresahkan masyarakat dan merusak citra pers!" ujar Umar. "Untuk memperlancar pelaksanaaannya, Dewan Pers dan Kapolri sedang membahas kesepakatan agar nantinya segenap jajaran Polri bisa menindak abal-abal dengan dasar hukum yang jelas!"

"Selain itu, dengan mendapatkan SKW melalui uji kompetensi, kualitas wartawan juga makin baik!" timpal Amir. "Jelas, untuk lolos kualifikasi itu tak mudah! Tapi Dewan Pers memberi kelonggaran boleh mengulang uji kompetensi berapa kali pun atau berpindah-pindah penyelenggaranya sampai lulus! Itu bisa mendorong wartawan giat belajar, terus mengaktualkan diri di arus peradaban!" ***

Selanjutnya.....

Terpopuler, Modal Awal Calon Bupati!


"NAMANYA juga usaha, perlu modal!" ujar Umar. "Dan kalau usaha itu untuk menang pemilihan bupati, modal awal terpenting popularitas! Soal popularitas kini sudah bisa diukur lewat survei, baik oleh lembaga independen maupun lembaga yang lewat hasil surveinya menarik perhatian publik pada kandidat yang membiayai surveinya!"

"Hasil survei lembaga independen Rakata Institut untuk popularitas para kandidat di tiga daerah otonomi baru (DOB), Pringsewu, Tulangbawang Barat, dan Mesuji, menarik! Meski banyak orang menilai hasilnya 'seperti telah diperkirakan', tetap menyajikan kejutan!" timpal Amir. "Salah satu kejutan, Sujadi Saddat di ranking tiga! Padahal, ia menang pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lalu dengan Pringsewu pemekaran dari Tanggamus, berarti sebagai wakil bupati di kabupaten induk ia di Pringsewu incumbent!"

"Bisa jadi Sujadi kurang gencar sosialisasi, karena terlalu percaya diri popularitasnya dari dua sesi pemilihan sebelumnya belum luntur!" tukas Umar.

"Pengalaman Pilkada Bandar Lampung incumbent yang percaya diri berlebihan disalip pendatang baru! Jika Sujadi tak memacu sosialisasinya, bisa tertinggal lebih jauh lagi dari balapan Abdullah Fadri Auly dan Ririn Kuswantari, yang persaingan keduanya juga kian sengit!"

"Di Tulangbawang Barat, meski pasangan Bachtiar Basri (Plt. Bupati) dan Umar Akhmad (Ketua DPRD) seolah tak tergoyahkan, tokoh muda Frans Agung Mulia Putra yang menempelnya ketat tak boleh diremehkan!" timpal Amir. "Masalahnya, Frans punya invisible hands, yang pernah dipakai ayahnya sebelum pemekaran Tulangbawang! Hal serupa pernah dicapai Rycko Menoza yang berhasil mengonsolidasi pendukung ayahnya di kawasan pemilihannya saat memenangi Pilgub!"

"Di Mesuji, meski survei Rakata menempatkan Suprapto di urutan tiga setelah Khamamik dan Riswanda Hasan, calon termuda yang lahir dan sekolah di Simpangpematang itu bisa jadi kuda hitam!" tegas Umar. "Masuk tiga besar menyalip 'nama besar' di barisan kandidat saja sudah luar biasa! Padahal, ia terlambat memulai sosialisasi karena digandoli profesi dan jabatan pemimpin umum koran harian yang akhirnya harus ia relakan! Itu tentu dibanding Khamamik yang sosialisasi sejak Pilkada Tulangbawang sebelum pemekaran, juga Riswanda yang Plt. Bupati!"

"Setelah popularitas, modal yang juga tak boleh disepelekan adalah uang, untuk kampanye, cetak kaus, spanduk dan biaya saksi di semua TPS!" timpal Amir. "Semua harus mengesankan ia layak jadi bupati! Kalau kesan saja gagal diciptakan, bagaimana mau jadi bupati sungguhan!" ***

Selanjutnya.....

Tak Logis Menteri Sulut Kerusuhan!


"UCAPAN Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang seolah-olah ia menganjurkan petambak plasma mengambil alih tambak PT AWS (Lampost, 23-5), yang dikhawatirkan oleh Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Johanes Kitono disalahtafsirkan petambak sehingga bisa memancing atau menyulut kerusuhan (Lampost, 24-5), jika ditimbang dengan akal sehat tak logis!" ujar Umar.

"Maksudnya, tak logis seorang menteri membuat pernyataan seperti itu! Karena menteri sebagai sosok pemerintah pasti mengutamakan stabilitas ekonomi dan stabilitas keamanan, jadi tak mungkin bicara senegatif itu!"

"Logikanya begitu!" sambut Amir. "Apalagi Fadel pengusaha, tak masuk akal ia bicara membuat orang salah tafsir dan bertindak destruktif pada perusahaan—bisa dibayangkan kalau perusahaan miliknya diperlakukan seperti itu!"

"Belum lagi eksesnya terhadap iklim usaha dan iklim investasi yang harus dijaga oleh semua pihak agar tetap kondusif!" tegas Umar. "Jadi tak logis dan tak mungkin seorang menteri berkata yang bisa memancing dan menyulut kerusuhan itu!"

"Kemungkinannya, ada orang yang hadir dalam pertemuan dengan Menteri Kelautan hari Minggu salah kutip ucapan menteri saat menyampaikan kepada wartawan!" tukas Amir.

"Dengan asumsi demikian, tak ada lagi masalah dengan ucapan menteri yang bisa memancing kerusuhan karena ucapan itu tak ada, jadi tak perlu dirisaukan eksesnya!"

"Sebagai jaminan ia tak berkata begitu, jika terjadi kerusuhan di lapangan akibat ucapannya itu, pasti ia membantah pernah menyatakan seperti itu!" timpal Umar.

"Lebih lagi sebagai pemerintah, seorang menteri wajib mengajak semua pihak berpikir konstruktif dan menyelesaikan masalah secara damai dengan menjauhi cara kekerasan!"

"Dalam kasus di pertambakan AWS, dari awal terlihat perusahaan memilih mengalah guna tak terpancing tindak kekerasan!" ujar Amir. "Pabrik diblokir sampai tiga minggu buruh tak bisa kerja hingga berton-ton udang busuk, yang dengan itu mereka dipancing untuk membuka blokir dengan paksa (kekerasan), tapi mereka tak terpancing dan mengalah saja! Lalu pencegatan pasokan benur dan saprotam, mereka tak terpancing melakukan penerobosan paksa dengan kekerasan! Akibatnya, mayoritas plasma mitranya tak bisa berbudi daya, lagi-lagi perusahaaan mengalah dengan memilih jalan antikekerasan—mematikan aliran listrik!"

"Dari tuturanmu itu saja kalau pemerintah—entah tingkat mana pun—mau menyelesaikan masalah AWS, sudah ketahuan apa yang harus dilakukan!" tegas Umar. "Yang dibutuhkan cuma jaminan ketenangan berproduksi! Tak diganggu terus!" ***


Selanjutnya.....

Partai Demokrat Lolos dari Jerat!


"PD—Partai Demokrat—sebagai partai berkuasa secara ekstra dijaga kebersihannya oleh Ketua Dewan Pembina—SBY—dari segala cacat dan cela terkait dengan korupsi dan suap!" ujar Umar. "Maka itu, ketika saat pertama disebut-sebut ada kader PD terkait dengan kasus wisma atlet yang tiga tersangkanya tertangkap tangan KPK, SBY langsung tampil menegaskan partainya tidak akan melindungi jika kadernya terlibat! Untuk itu, SBY meminta aparat menegakkan hukum secara profesional!"

"Sebagai partai berkuasa, wajar PD sering dikait-kaitkan dengan kasus yang bisa memengaruhi kredibilitasnya!" sambut Amir. "Seperti dalam kasus terakhir, nama Nazaruddin, bendahara umum PD, disebut Kamaruddin Simanjuntak—pengacara pertama Rosalina Manullang—sebagai penerima komisi 13% dari proyek wisma atlet senilai 199 miliar!
Kebetulan nama Nazaruddin dan Rosalina tercantum dalam akta sebuah PT yang sama! Simanjuntak konon mendapatkan informasi komisi 13% itu dari Rosalina!" "Benar atau tidaknya info itu kita serahkan kepada pengadilan!" tegas Umar.

"Layak diperhatikan justru realitas PD yang terus meremajakan diri, menjadikan dirinya sebagai partai anak muda, mulai dari ketua umum dan sekretaris jenderalnya sampai pimpinannya di daerah seperti halnya di Lampung, hingga lebih memperkuat orientasinya pada idealisme yang menjadi ciri khas kaum muda! Untuk itu, mencuatnya isu korupsi komisi proyek pada inti pengurus pusat PD yang sekaligus terkait dengan tokoh muda (usia Nazaruddin 33 tahun) jelas pukulan dampaknya ke dalam partai amat telak!"

"Karena itu, bagaimana PD bisa lolos dari jerat kasus yang bisa menjadi trauma bagi kader-kader mudanya, akan menjadi penentu integritas (soliditas) dan kredibilitas partainya ke masa depan!" timpal Amir. "Sekaligus, cara lolos menyelamatkan citra partai itu menjadi pelajaran penting bagi kader muda untuk menjauhi pelanggaran sejenis!"

"Cara lolos yang bijaksana itu seperti diputuskan Dewan Kehormatan PD dengan memberhentikan Nazaruddin dari jabatan bendahara umum PD!" tegas Umar. "Putusan itu membantu para kader muda memantapkan diri dalam disiplin partai yang tegas dan tak ada tawar menawar—yang gagal dilunakkan dengan berbagai kontra isu yang dilakukan Nazaruddin dan kawan-kawannya!"

"Terpenting, PD telah lolos dari jerat kasus korupsi dengan mengorbankan bendahara umumnya!" timpal Amir. "Nazaruddin harus siap menjadi tumbal, sebab putusan itu mengesankan sangkaan korupsi pribadi, bukan korupsi kelembagaan partai!" ***

Selanjutnya.....

Perburuan Rente oleh Partai Politik!

"PENELITI senior bidang korupsi politik Indonesian Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, dalam jumpa pers Jumat (20-5) menyingkap perburuan rente oleh partai politik akibat parpol sulit membangun sumber keuangan mandiri!" ujar Umar. "Rente dimaksud dana yang dihimpun melalui kader di lembaga legislatif, eksekutif, maupun menangguk dari pengusaha! Perburuan rente ini merugikan rakyat, karena salah satu caranya membajak kebijakan dan anggaran negara!" (Kompas, 21-5)"Definisi rente itu apa?" tanya Amir.

"Rente di negeri kita semula berupa bunga uang yang dipinjamkan oleh ceti atau lintah darat, pinjaman yang bunganya mencekik si peminjam! Karena itu, sejak awal rente diharamkan!" jelas Umar. "Kini arti rente jadi lebih luas! Intinya tetap bunga uang terutama di bank, sehingga ekonomi yang digerakkan dana bank (berbunga) disebut ekonomi rente!


Hasil perputaran uang di pasar saham juga disebut rente! Tapi rente yang dimaksud peneliti korupsi politik itu lebih dekat ke arti tradisional tadi, tergolong uang haram!" "Kenapa digolongkan uang haram?" sela Amir.

"Apa tak haram, jika uangnya didapat bendahara partai dari persentase proyek di kementerian yang menterinya kader partainya, lalu akibat dana proyeknya dikurangi untuk prosentase, kualitas bangunan proyeknya dikurangi sebanding dengan nilai pengurangannya!" tegas Umar. "Apa tak haram kalau uang 'sewa perahu' untuk pilkada diperoleh dari korupsi, atau kalau utangan, untuk menutupi uang itu jika menang nanti juga diperoleh lewat korupsi? Lebih gawat lagi kalau kalah, rente utangannya tambah berlipat ganda!"

"Bagaimana membajak kebijakan dan anggaran negara seperti dimaksud peneliti itu?" tanya Amir."Itu antara lain bisa dilakukan kader parpol di eksekutif dalam mengelola dana pos bantuan!" jawab Umar. "Anggaran negara yang seharusnya untuk bantuan sosial yang luas, dibajak dengan diarahkan ke bantuan terbatas melalui 'orang-orang' yang fungsinya mengarahkan kemana semestinya dana bermuara!

"Untuk itu tampaknya parpol harus melibatkan politikus, birokrasi, dan pengusaha—terutama yang paham arti kepentingan partai dalam setiap proyek yang ditanganinya!" entak Amir. "Tapi semua itu berlaku sejauh berjalan rapi dan tidak bocor, apalagi ke wartawan, kan?

"Tentu saja!" jawab Umar. "Begitu bocor harus dibantah, dan aparat partai yang ceroboh hingga geliatnya ketahuan wartawan langsung dipecat! Harus dijaga, citra partai bebas rente!" ***




Selanjutnya.....

PSSI-ku Sayang, PSSI-ku Malang!

"KARENA suasana tidak kondusif, dengan mengucap Alhamdulillah dan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, sidang ditutup!" Umar membaca dari koran kalimat Agum Gumelar selaku ketua Komite Normalisasi menutup Kongres PSSI. "Tumpaslah harapan pembenahan organisasi sepak bola nasional, olahraga terfavorit di Tanah Air! Bagaimana nasib sepak bola kita selanjutnya?"

"Tergantung hasil usaha Agum selaku pemegang mandat FIFA agar organisasi sepak bola sedunia itu tidak men-skorsing keanggotaan PSSI dalam rapatnya 31 Mei nanti!" sambut Amir. "Kalau kena skors, bisa berbilang tahun, tim nasional tak bisa ikut turnamen internasional di bawah kendali FIFA, termasuk SEA Games 2011 Palembang, meski tim U-23 lama disiapkan! Artinya, Indonesia dikucilkan dari pergaulan dunia sepak bola!"

"Memalukan sekali kalau pengucilan itu sampai terjadi!" tegas Umar. "Karena dengan itu di mata dunia kita terkesan selayak bangsa primitif yang belum mampu hidup dalam peradaban berdasar aturan bersama hasil kesepakatan antarbangsa!"

"Lebih memalukan lagi kalau dalam rapat FIFA 31 Mei itu diputar rekaman Kongres PSSI, yang lebih enam jam sidang terjadi interupsi terus-menerus!" timpal Amir. "Jauh lebih konyol, isi interupsi silih berganti itu cuma lomba pidato dengan materi
sama, menggugat keputusan FIFA melarang George Toisutta dan Arifin Panigoro dicalonkan dalam pemilihan ketua umum PSSI!"

"Bahkan usai Thiery Regennas, Direktur FIFA Bidang Pengembangan dan Keanggotaan di depan kongres menjelaskan bahwa George Toisutta dan Arifin Panigoro dikenai sanksi itu akibat masalah prinsip bagi FIFA, yaitu terlibat dalam Liga Primer Indonesia (LPI) yang berada di luar PSSI," kata Umar.

"Wakil dari Samarinda malah menguasai mikrofon untuk voting setuju atau tidak Komisi Banding bicara di kongres tentang kenapa mereka meloloskan pencalonan George Toisutta dan Arifin Panigoro! Jadi bukan menimbang penjelasan FiFA, tapi malah unjuk kekuatan bagi kelompok mayoritas lewat voting masalah yang tak relevan!" tambah Umar. "Kondisi kongres yang makin tak terkendali dan menjurus cuma sebagai ajang unjuk kekuatan bergaya tirani mayoritas, menyimpang kian jauh dari agenda, membuat Agum Gumelar yang memimpin kongres langsung menutup sidang!"

"Kengototan tak menerima keputusan berdasar kesepakatan universal, seperti sanksi FIFA, cuma membuat bangsa Indonesia tampak primitif di mata dunia!" tegas Amir. "Apalagi kengototan itu berakibat para pemain sepak bola nasional kita terkucil dari turnamen internasional!" ***
Selanjutnya.....

'Generation Gap' Elite Era Revolusi dan Reformasi!


"APA bukti adanya gap—perbedaan karakter dan sikap-tindak—antara elite generasi era perjuangan mencapai kemerdekaan, elite pejuang revolusi mempertahankan kemerdekaan bangsa, dan elite generasi era reformasi?" tanya Umar.

"Elite era perjuangan kemerdekaan dan revolusi masuk penjara atau gugur di medan juang demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa, sedang elite era reformasi ramai-ramai masuk penjara akibat korupsi, serakah mau enaknya sendiri!" jawab Amir.

"Saking banyaknya elite korupsi, dibuat penjara khusus buat koruptor!"

"Itu pun, yang masuk penjara sesungguhnya hanya sebagian kecil saja dari semua koruptor yang telah merampas segala bentuk hak rakyat atas materi dan kesempatan untuk hidup sejahtera menikmati kemerdekaan bangsa!" timpal Umar. "Sebab, orang terjerat jadi tersangka korupsi sebagian besar hanya karena sedang sial, atau karena ada konspirasi yang menjerumuskan dirinya, atau karena terlalu serakah makan sendiri hingga ada yang tak kebagian lalu melapor!"

"Bagaimana bisa terjadi gap sedemikian drastis, generasi pejuang diganti oleh generasi koruptor?" tegas Amir. "Perubahan yang sangat kontras!"

"Rumusan korupsi itu abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan!" jawab Umar. "Dan itu mulai dilakukan pada periode akhir Orde Lama, kemudian berlanjut sepanjang Orde Baru! Gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa sebenarnya suatu kontrakultur dari tradisi korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan sepanjang Orde Baru itu! Orde Baru tumbang, tapi mahasiswa pendongkelnya tak punya orientasi dan ambisi kekuasaan! Ini menjadi peluang kalangan politisi yang kemudian membajak reformasi dari mahasiswa dan euforia melampiaskan ambisi kekuasaannya, sampai-sampai semua jalur rekrutmen kepala negara dan kepala daerah hanya bisa lewat partai politik—yang terakhir ini sudah dikoreksi!"

"Rupanya, menerima kekuasaan hasil perjuangan mahasiswa seperti makan pisang bekubak—sudah dikupaskan kulitnya—kalangan politisi dan semua sektor kekuasaan jadi lupa daratan, generasi korupsi hadir justru sebagai buah reformasi yang mulanya dimaksudkan mahasiswa kontrakultur buat abuse of power Orde Baru!" timpal Amir.

"Masalahnya, bagaimana kita bisa kembali ke semangat atau jiwa reformasi sejati dari
mahasiswa yang antikorupsi itu?"

"Tegakkan hukum secara sungguh-sungguh!" tegas Umar. "Terutama terhadap korupsi dalam arti abuse of power agar politisi tak seenaknya sendiri lagi." ***


Selanjutnya.....

Hari Kebangkitan Nasional, Kok Tak Bangkit Bersama?


"PADA Hari Kebangkitan Nasional ke 103, 20 Mei 1908-2011, simak tujuan kemerdekaan—simpul perjalanan perjuangan kebangkitan bangsa!" ujar Umar. "Tujuan itu pada Pembukaan UUD 1945, 'Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur!"

"Dari tujuan perjuangan pergerakan kemerdekaan itu, masalah adil dan makmur yang masih jauh dari harapan!" sambut Amir. "Sedang dari tujuan kemerdekaan, alinea empat, 'Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,'—tampak jadi lebih banyak lagi cita-cita kemerdekaan bangsa yang masih menuntut kerja keras untuk mewujudkannya!"

"Kesimpulan banyak hal masih jauh dari harapan setelah lebih 65 tahun merdeka, menyedihkan!" tegas Umar. "Apalagi banyak hal dari tujuan dan cita-cita kemerdekaan itu terbengkalai akibat maraknya korupsi, disertai ketakpedulian elite pada rakyat karena mengutamakan kepentingan pribadi dan parpolnya, bertentangan dengan tujuan pembentukan pemerintahan negara! Apa jadinya kalau negara ini berkepanjangan sekadar milik elite, sedang mayoritas rakyat sengsara!"

"Kenapa elite bangsa ini berusaha cuma mau bangkit sendiri, bahkan lewat korupsi atau akal-akalan lainnya, kok tak berusaha untuk bangkit bersama rakyatnya?" tukas Amir.

"Tak tahu kenapa bangsa yang merdeka berkat perjuangan generasi elite yang merakyat, kini bisa jatuh ke tangan generasi elite yang kerjanya cuma mengakal-akali rakyat, menipu dan membohongi rakyat hanya untuk kenikmatan dirinya semata!" timpal Umar.

"Setiap kali survei dalam berbagai bidang kehidupan hasilnya hanya menunjukkan semakin jauhnya kondisi realitas dari harapan yang dicanangkan cita-cita kemerdekaan!"

"Dalam teori itu disebut generation gap—di Kamus Webster, gap berarti a wide difference in character on attitude, perbedaan besar dalam watak pada sikapnya!" tegas Amir. "Gap itu terjadi karena elite dahulu orientasinya pada kepentingan rakyat sungguh-sungguh, sedang elite sekarang cuma seolah-olah, sekadar buat bungkus kepentingan pribadi dan parpolnya!" ***

Selanjutnya.....

‘Lockout’, Pilihan Terpahit AWS!


"MESKIPUN lockout—manajemen menutup pabriknya sebagai balasan pada aksi buruh yang kelewat batas—sejauh ini cuma teori, jika tak ada mediator yang bisa meyakinkan PT AWS dengan jaminan mereka bisa beroperasi kembali secara kondusif, tak mustahil AWS akan terpojok pada pilihan terpahit, lockout!" ujar Umar. "Perusahaan ditutup (locked) dan semua pekerja—buruh dan plasma—harus keluar (out) dari areal perusahaan!"

"Apa bisa begitu?" potong Amir.

"Kan teorinya ada, berarti lockout alternatif yang selalu tersedia!" jawab Umar.

"Saat perusahaan sudah merasa kondusif untuk kembali beroperasi kelak, dilakukanlah rekrutmen baru yang sama sekali tak ada kaitan dengan kontrak kerja lama yang pernah ada! Seleksi dilakukan secara profesional, yang memenuhi syarat diterima!"

"Tapi sukar melakukan lockout PT AWS, khususnya untuk mengeluarkan semua pekerja, termasuk plasma, dari areal perusahaan karena lokasinya telah menjadi kampung dengan pemerintahan formal!" timpal Amir. "Kecuali AWS bisa membuat modus seperti bedol desa untuk transmigrasi! Artinya, tempat penampungan mereka di luar kompleks disiapkan perusahaan!"

"Semua itu soal teknis!" tegas Umar. "Kalau AWS memilih lockout, sebagai pemilik perusahaan, tak ada pihak lain yang bisa melarangnya! Mungkin saja akan muncul gugatan ini-itu, kalau AWS sudah bulat tekadnya untuk lockout, segala tetek bengek itu konsekuensi kecil atas pilihannya!"

"Kok malah kau yang terkesan ngotot banget mau me-lockout PT AWS?" entak Amir.

"Kita kan membahas kemungkinan terburuk konflik AWS yang telah menghentikan operasi perusahaannya sejak 7 Mei!" kilah Umar. "Warga Lampung juga harus mengkaji kemungkinan terburuk itu, di mana dengan satu lembar SK direksi PT AWS saja, lebih dari 10 ribu orang di kawasan eks Dipasena langsung kehilangan mata pencarian! Jika sebanyak itu orang seketika jadi penganggur, ekses negatifnya tak bisa diremehkan!"

"Aku paham maksudmu!" timpal Amir. "Tokoh-tokoh Lampung tak layak lagi untuk tetap cuek bebek pada krisis yang terjadi di AWS! Bahkan, ini menjadi contoh bagaimana kita warga Lampung memperlakukan investasi! Selain nasib 10 ribu lebih tenaga kerja dipertaruhkan, kapasitas warga Lampung menerima investasi besar juga sedang diuji! Apa kata dunia kalau tenaga kerja sebanyak itu kucar-kacir dan investasi besar kalang kabut tak bisa kondusif!" ***

Selanjutnya.....

Soeharto, Paling Disukai Publik!


"SURVEI Indo Barometer membuktikan mantan Presiden Soeharto adalah presiden yang paling disukai publik, juga dianggap paling berhasil!" ujar Umar. "Sebanyak 36,5% responden memilih Soeharto sebagai presiden yang paling disukai, 20,9% SBY, 9,8% Soekarno, 9,2% Megawati, 4,4% Habibie, dan 4,3% Gus Dur!" (Kompas.com, 17-5)

"Hasil survei Soeharto paling berhasil?" kejar Amir.

"Lebih kuat, 40,5% responden memilih Soeharto adalah presiden paling berhasil!" tegas Umar. "Disusul SBY 21,9%, Soekarno 8,9%, Megawati 6,5%, Habibie 2,9%, dan Gus Dur 1,6%. Survei ini dengan wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden yang mewakili seluruh populasi publik dewasa Indonesia—multistage random sampling!"

"Apa warga terserang demam SARS?" tanya Amir.

"Jangan sampai hal itu akibat warga terserang SARS—severe acute respiratory syndrome—virus sesak napas mematikan asal Guangdong yang menyerang dunia 2002 itu!" jawab Umar.

"Bukan SARS yang itu!" tegas Amir. "Tapi SARS singkatan Saya Amat Rindu Soeharto!"

"SARS yang itu bisa lebih mengerikan dari virus sesak napas!" entak Umar. "Apalagi survei itu dilakukan dalam rangka menyambut 13 tahun reformasi dan 18 bulan Pemerintahan SBY-Boediono! Jelas bisa jadi celaka 13, jika ujung dari 13 tahun reformasi dan 18 bulan SBY-Boediono ternyata melingkar dan kembali pada pemujaan kepada Soeharto!"

"Kita boleh tak suka dan marah pada warga yang terkena SARS demam rindu Soeharto itu, tapi fakta itu tak boleh dikesampingkan atau diremehkan!" timpal Amir. "Karena, jangan-jangan warga yang demam itu lebih realistis dan menggunakan akal sehat! Misalnya, Soeharto membangun SD Inpres, pemerintahan sekarang menambal atap SD yang bocor saja tak mampu! Soeharto membangun jalan mulus, sekarang menambal lubangnya saja tak pernah selesai! Soeharto membangun irigasi, banyak petani di Talangpadang, Gunungalip, Kotaagung, Wonosobo, Pesawahan kembali bertani tadah hujan karena pemerintah kini tak pernah melihat dam-dam yang macet karatan!"

"Setop! Jangan terus kau sebut contoh kelebihan Soeharto di mata warga, dibanding penguasa sekarang! Sampai bibirmu memble bisa tak habis!" potong Umar. "Aku yakin, warga memilih begitu dalam survei bukan karena ingin kembali ke zaman yang dalam banyak sisi lain amat buruk itu, melainkan bertujuan mengingatkan prestasi elite berkuasa dalam membangun bangsa masih jauh dari harapan! Bahkan, lebih buruk dari zaman terburuk yang seharusnya dilupakan!" ***

Selanjutnya.....

Teroris dengan Nama Grup Baru!

"BERIRINGAN dengan kematian Osama bin Laden, balas dendam Taliban atas kematian Osama dengan bom ganda yang menewaskan lebih 80 orang di Pakistan, dua teroris dengan nama grup baru (Tauhid wal Jihad) tewas ditembak mati Densus 88 di Sukoharjo, Jawa Tengah!" ujar Umar. "Dua teroris yang tewas itu Sigit Qurdhowi dan Hendro Yunianto! Dari persembunyian mereka ditangkap sejumlah tersangka teroris, bersama aneka senjata api dan ratusan butir peluru!"

"Sekali lagi salut buat Densus 88 yang berhasil membongkar jaringan teroris sebelum beraksi!" sambut Amir. "Bahwa Sigit adalah tokoh senior di kalangan teroris, guru pembuatan bom teroris bunuh diri di Cirebon, memberi bukti keefektifan kerja Densus 88. Untuk itu, sebagian besar tugas operasinya dari pengintaian (intel) sampai penggerebekan dilakukan sendiri oleh Densus 88!"

"Jadi tidak seperti operasi yang dilakukan secara bersama-sama berbagai pihak, saat
dilakukan yang dicari sudah tak ada karena bocor duluan!" tukas Umar. "Karena itu, penajaman kemampuan Densus 88 harus lebih diutamakan daripada repot membuat UU intelijen baru yang membuat tugas mengatasi teroris dibagi-bagi tahapannya, yang malah bisa jadi celah terjadinya kebocoran info! Banyak kejadian yang bisa dijadikan contoh untuk semakin banyak pihak dilibatkan, semakin rentan kebocoran informasi!"

"Apalagi seperti masa lampau, yang namanya badan intelijen itu justru perekayasa kelompok-kelompok teroris seperti halnya Komando Jihad yang justru ditumbuhkan oleh kalangan intelijen sendiri dari sel DI-TII, organ NII," timpal Amir. "Karena itu, di tengah perang melawan teror yang serius dewasa ini, usaha membuat UU intelijen yang cuma membangkitkan trauma pada kerja intel masa lalu, amatlah tidak tepat! Apalagi hasilnya cuma rekayasa seperti masa lalu pula, cuma merepotkan semua seksi aparat keamanan dengan korban rakyat tak berdosa!"

"Memang, meningkatkan kemampuan kesatuan antiteror yang ada dengan melengkapi peralatan semutakhir mungkin, jelas lebih berguna daripada mereproduksi dengan UU lembaga-lembaga intel baru yang masih harus diuji lagi kapasitas dan kebenaran cara kerjanya!" tegas Umar. "Konon lagi kalau dengan superioritas UU baru dan kelembagaan intelnya itu nanti malah mengurangi atau membatasi kebebasan badan dan detasemen yang telah ada dan terbukti efektif kerjanya! Belajar dari pengalaman, kian banyak yang ikut menangani, kian banyak kepentingan terlibat, kian rawan kebocoran!" ***
Selanjutnya.....

Gejala Etatis Politisi Daerah!


"KATA Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, 4.000 Peraturan Daerah (Perda) sejak 2001 sampai 2009 yang dibuat dengan biaya Rp16 triliun dibatalkan Pemerintah Pusat karena melanggar hukum!" ujar Umar. "Kenapa politisi daerah di legislatif dan mitranya di eksekutif berulang-ulang membuat perda bermasalah seperti itu?"

"Mungkin karena politisi daerah mengidap etatis, pandangan yang beranggapan segalanya harus diatur negara!" jawab Amir. "Disebut mengidap, karena pandangan bisa membentuk sikap, dalam hal ini sikap etatis! Karena etatis mengharuskan segalanya diatur negara, pengidap etatis merasa punya kekuasaan mengatur segalanya pula! Sikap itulah produser perda bermasalah yang terus berulang!"

"Di mana letak etatisnya saat perda tentang biaya operasional DPRD Provinsi Lampung bermasalah dan dibatalkan Pusat?" tanya Umar.

"Terletak pada rasa berkuasa membuat aturan atas segalanya, ternyata di atas langit masih ada langit—di atas anggapan kekuasaannya tak terbatas itu ada kekuasaan Pusat yang berhak membatalkan perda buatan mereka!" jelas Amir. "Masalah merepotkan dalam gejala etatis yang berbentuk sikap tiran itu sebenarnya, tak adanya kepedulian pada prinsip-prinsip umum berbasis akal sehat--common sense! Itu karena etatis tak mengenal tabbayun—pertimbangan kritis akal sehat—bahkan sebaliknya menjadikan common sense sebagai lawan bersifat kontraideologis!"

"Pantas pada gugus-gugus kekuasaan yang etatis selalu mencolok penyikapan alergis pandangan berbasis akal sehat!" tukas Umar. "Gugus itu tak mau menggubris meski paket akal sehat publik itu disampaikan dengan suara menggelegar! Dalam hal ini bukan cuma politisi daerah, tetapi juga politisi Pusat, seperti terkait dengan studi banding atau pembangunan gedung baru DPR, sehingga tanggapan gugus kekuasaan mengesankan justru common sense yang tak bisa diterima!"

"Maka itu, obat untuk mengatasi gejala sikap etatis itu tak lain adalah tabbayun itu sendiri—yakni menghidupkan sikap kritis untuk melatih pertimbangan menilai dengan akal sehat!" timpal Amir. "Pertimbangan menilai mana yang benar dan baik untuk dipakai, sedang yang sampah dibuang! Dalam komunikasi politik mudah dikenali, jika masukannya sampah keluarnya juga sampah—garbage in, garbage out.!"

"Untuk itu, politisi daerah harus rajin tabbayun, selalu memperbarui pengetahuan dengan check dan recheck informasi!" tegas Umar. "Tanpa itu, jadi etatis tulen, pemamah biak sampah—berulang perda buatannya dibatalkan Pusat!" ***


Selanjutnya.....

Jalan Layang Tetap Dibangun!


"MESKI ada yang tidak setuju pembangunan jalan layang di pelintasan kereta api Jalan Gadjah Mada, dengan alasan Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merekomendasikan di jalan itu dibuat terowongan, Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. tetap akan membangun jalan layang di tempat itu!" ujar Umar. "Menurut Herman, tidak mungkin dibangun terowongan di tempat itu! Jalannya turunan, apalagi yang mau digali!"

"Masalahnya tampak sederhana!" timpal Amir. "Rekomendasi dari RTRW itu baru rancangan perda! Jadi, justru rancangan itu yang harus diubah, dilengkapi studi kelayakan teknis, agar tak ngawur lagi dalam penempatan bangunan! Perbaikan Raperda RTRW ini harus digesa, sebab tuntutan membangun banyak fasilitas publik sekelas jalan layang atau underpass sudah amat mendesak, berpacu dengan perkembangan masyarakat Kota Bandar Lampung yang pesat!"

"Sikap cepat menyesuaikan pada kenyataan apa yang lebih mungkin segera dibangun seperti dilakukan Herman H.N. itu lebih tepat, ketimbang kecenderungan sementara tokoh yang lebih gemar polemik hingga memperlambat proses pembangunan segala sesuatu!" tegas Umar. "Orientasi pada kesempurnaan memang baik, tapi pemenuhan kebutuhan tepat waktu sesuai perkembangan masyarakat, jelas lebih baik!"

"Bagi Kota Bandar Lampung justru karena banyak hal tak dipenuhi tepat waktu saat dibutuhkan, seperti pelebaran jalan utama dan jalan layang di banyak pelintasan kereta api dan persimpangan, maka kebutuhan itu kini jadi amat mendesak hingga tak tepat lagi lebih banyak berdebat daripada bekerja!" timpal Amir. "Apalagi masalah yang dihadapi Bandar Lampung bukan hanya kemacetan di jalan yang semakin ruwet, tak kalah mendesak semakin latennya ancaman banjir di banyak kawasan permukiman warga! Tepatnya, kelancaran arus lalu lintas dan arus air hujan menjadi dua prioritas Wali Kota mengatasinya!"

"Artinya, jangan pula lupa studi kelayakan teknis untuk Raperda RTRW itu juga merangkum usaha mengatasi problem banjir!" tegas Umar. "Lebih lagi secara kualitatif, bagi warga bersangkutan rumahnya jadi bebas banjir lebih tinggi nilai sejahteranya dibanding macet di jalan!"

"Maka itu, sejalan dengan persiapan membangun jalan layang mulai 2012, menjadi sangat tepat pula jika sejak sekarang juga dipersiapkan yang sama matangnya rencana membangun berbagai fasilitas bebas banjir!" timpal Amir. "Jalanan lancar dan bebas banjir menjadi dasar penting bagi kota modern—yang bersih dan indah!" ***


Selanjutnya.....

Pengguna Narkoba Tak Lagi Dipidana!


"PP—Peraturan Pemerintah—No. 25/2011 tentang Wajib Lapor Pengguna Narkoba meringankan status para pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) menjadi korban sehingga tak lagi dipidana!" ujar Umar.

"Nantinya pengguna sabu-sabu di bawah satu gram sampai tertangkap yang kedua—sesuai dengan bunyi PP—hanya dikenai wajib lapor ke lembaga medis dari puskesmas sampai rumah sakit untuk memastikan tak memakai narkoba lagi!"

"Kalau tertangkap yang ketiga?" potong Amir.

"Dia masuk panti rehabilitasi, tapi tempatnya dalam lembaga pemasyarakatan (LP) sehingga ia tidak bebas meski statusnya bukan terpidana, melainkan pesakitan yang dirawat!" jelas Umar. "Berapa lama dia dalam panti rehabilitasi itu, tergantung putusan hakim!"

"Apa bedanya terpidana dengan pesakitan kalau tempatnya sama-sama di LP!" tukas Amir.

"Maka itu, jangan sampai tertangkap tiga kali menggunakan narkoba!" jawab Umar. "Kalau sudah dua kali tertangkap menggunakan narkoba masih mengulangi juga, jelas masuk panti rehabilitasi yang tak bebas itu bisa disebut sebagai pilihan sendiri!"

"Begitu pun tetap lebih ringan dibanding sebagai terpidana bagi pemakai narkoba seperti selama ini!" timpal Amir. "Karena itu, aku mencemaskan keringanan hukuman terhadap pengguna ini bisa membuat berkurangnya rasa takut kaum remaja mendekati narkoba untuk coba-coba! Artinya, PP 25/2011 ini justru membuat kelonggaran dalam pengekangan terhadap pengaruh narkoba!"

"Tapi PP itu justru menyesuaikan dengan standar universal untuk perlakuan yang manusiawi, di mana pemakai itu cuma korban sedang sebagai penjahatnya adalah pengedarnya!" jelas Umar.

"Selain itu, batasan satu gram itu terlalu banyak, karena jumlah itu sama dengan 1.000 miligram! Padahal, terkait dengan obat-obatan syaraf, dosis sampai lima miligram saja sudah cukup keras!" tambah Amir. "Jika satu gram itu dibagikan untuk seratus orang, dalam waktu singkat bisa menjadikan mereka sebagai barisan pencandu baru! Itulah ancaman paling mengerikan dari pelonggaran ketentuan hukum buat pengguna narkoba!"

"Tapi apa hendak dikata, apalagi PP itu bahkan dibanggakan karena menempatkan bangsa kita sejajar dengan bangsa-bangsa maju dalam praktek hak-hak asasi manusia!" tegas Umar.

"Kaum muda mereka rusak tak masalah, negaranya sudah maju!" entak Amir. "Sedang kita, kaum muda rusak negaranya makin terbelakang!" ***


Selanjutnya.....

Taat Pajak, Wajib Jaga Sumbernya!


"AYAH Budi kaya, ya?" tukas Ujang. "Rumahnya besar!"

"Ayahnya pejabat, gajinya besar!" jawab ibu.

"Uang untuk gajinya dari mana?" kejar Ujang.

"Uang negara, dari rakyat yang taat membayar pajak!" jawab ibu. "Juga dapat gaji dari pajak anggota DPR/DPRD, PNS, polisi, militer, jaksa, hakim, guru negeri!"

"Jadi, ibu yang guru sekolah swasta?" tanya Ujang.

"Sebaliknya, setiap membeli barang kena pajak!" ujar ibu. "Setiap produk industri oleh produsen selaku wajib pungut (wapu) dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dari harga yang dibayar konsumen! Jadi, jika produksi banyak, harga tinggi, hasil pajaknya besar!"

"Jadi kalau produksi dihalangi, seperti industri udang di berita koran, sumber pajak terganggu jadi tak ada penerimaan!" tukas Ujang.

"Itu dia! Selain orang bijak taat pajak, semboyan itu harus dilengkapi taat pajak wajib jaga sumbernya!" sambut ibu. "Kalau sumber pajak terganggu dibiarkan, gangguan meluas negara tak bisa bayar gaji pejabat!"

"Apa mengganggu sumber penerimaan pajak itu bukan kejahatan?" kejar Ujang.

"Kejahatan serius!" tegas ibu. "Contohnya pajak industri udang yang terganggu produksinya itu! Jika total produksi 7.000 plasma sekali panen (120 hari) Rp2,1 triliun, PPN-nya 10% saja Rp210 miliar! Tambah beraneka pajak penghasilan (PPh 21 sampai 25) yang totalnya bisa lebih 10% lagi, total pajak sekali panen bisa lebih Rp400 miliar! Pemasukan pajak sebesar itulah yang terganggu! Apalagi jika kerja plasma baik dan kondusif, setahun bisa panen tiga kali! Pajak-pajak yang dikutip pusat itu dikembalikan ke daerah dalam berbagai bentuk, DAU, DAK, Dekon, perimbangan pusat daerah, daftar isian proyek dan sebagainya!"

"Banyak sekali pajak yang terganggu!" entak Ujang. "Kok ada anggota DPRD di koran bilang perusahaan itu tak punya uang, harus di-bailout!"

"Mungkin DPRD dapat masukan keliru!" timpal ibu. "Di-bailout uang dari mana? Sekali panen saja setara APBD Provinsi Lampung satu tahun, apa DPRD mau tak gajian? Sebaliknya, justru perusahaan itu yang telah melunasi pada PPA (Perusahaan Pengelola Aset eks BLBI) semua kewajiban pemilik lama perusahaan itu yang dulu di-bailout dengan uang negara! Artinya, kewajiban perusahaan itu pada PPA Rp0,00!"

"Berarti sudah jadi perusahaan swasta murni, tak ada lagi aset negara di dalamnya, pihak mana pun tak bisa memaksakan investor baru!" tegas Ujang. "Perjanjian kerja sama (PKS) inti dengan orang per orang plasma pun jadi hubungan bisnis setara, tak boleh orang lain mencampurinya!"

"PKS itu basis produksi, sumber dasar pajak negara!" timpal ibu. "Jadi, taat pajak, jaga sumbernya!" ***


Selanjutnya.....

MEA 2015, Tak Ada Dalih Ketaksiapan!


"KEPASTIAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku 2015, sesuai keputusan KTT ASEAN Minggu di Jakarta, segala harus dipersiapkan maksimal—dari infrastruktur, industri, perdagangan, sampai SDM!" ujar Umar. "Tak ada dalih bagi ketaksiapan di bidang apa pun, karena akibatnya menjadikan kita bangsa underdog dalam liberalisasi ASEAN!"

"Indonesia selaku pemimpin ASEAN terlalu nekat memastikan MEA berlaku 2015 itu!" sambut Amir. "Iklim investasi masih kurang kondusif akibat lemahnya kepastian hukum, birokrasi berbelit, dan infrastruktur jauh dari memadai, membuat kita sukar memacu kondisi untuk unggul bersaing dalam banyak hal dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand! Di bidang industri, ketiga negara itu siap pada level manufaktur, sedang kita untuk pengolahan dasar saja masih butuh investasi lagi! Di bidang teknologi informasi, Malaysia malah jadi pengekspor semikonduktor terbesar dunia!"

"Juga dalam bidang perdagangan, ketiganya telah jauh bermain dalam e-trade, sedang kita masih bisnis karungan yang truk pengangkutnya terbalik di kubangan lumpur jalan!" tukas Umar. "Artinya, dalam industri dan perdagangan MEA nanti, pemain level atas (kerjaan ringan nilai tambahnya besar) didominasi ketiga negara tersebut, sedang Indonesia bersama underdog lain berkutat di level bawah—kerjaan melelahkan nilai tambah kecil!"

"Dalam liberalisasi, lebih ruwet lagi bidang SDM di mana pasar tenaga kerja profesional lintas negara diatur dengan sertifikasi!" timpal Amir. "Sertifikasi guru SD saja kita masih kedodoran, apalagi untuk profesi padat ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi! Jika tak digesa proses penyiapannya, bisa-bisa nantinya dalam MEA itu pekerjaan supervisor ke atas dikuasai bangsa lain, sedang kita berkutat di kelas buruh alias kembali jadi bangsa kuli!"

"Guna bisa lepas dari kekhawatiran yang terkesan dibuat berlebihan itu, kembali faktor penghambat investasi tadi yang harus dibereskan, agar usaha mengejar ketertinggalan lewat memacu investasi dalam bidang industri, perdagangan, dan SDM bisa dilakukan!" tegas Umar. "Artinya, MEA sebagai agenda nasional digarap seluruh komponen bangsa secara saksama, bukan sebatas impian indah para pemimpin yang tak segera bergegas mengeliminasikan segala kendalanya! Dengan akibat, kala saatnya tiba MEA dijalankan oleh Indonesia seadanya, tertatih dan terseok-seok!"

"Itu sejalan pengalaman, selalu indah retorikanya di balik langka implementasinya!" timpal Amir. "Dan pada saatnya, ada pula retorika indah untuk mengelak dari tanggung jawab sejarah!" ***


Selanjutnya.....

Jerit Plasma tanpa Pengeras Suara!


"TRAGIS! Sekitar 3.000-an orang plasma tambak udang PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) berkumpul di depan sekretariat Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) dalam lokasi pertambakan eks Dipasena sejak Sabtu (7-5), secara bergantian melantunkan jerit penderitaannya!" ujar Umar. "Berhimpunnya ribuan orang itu terjadi spontan, hingga untuk bicara di depan ribuan orang itu mereka lakukan tanpa pengeras suara!"

"Sabtu itu merupakan hari mulai berlakunya kebijakan PT AWS untuk mematikan listrik di seluruh areal pertambakan, dihentikannya UBP—

uang bulanan plasma, dihentikannya persiapan menabur dan menabur benih, dan dibekukannya dana sisa hasil usaha (SHU) milik plasma yang belum dibayar!" sambut Amir. "Anehnya, jerit penderitaan plasma itu bukan ditujukan ke PT AWS, melainkan secara tegas dan jelas justru ke arah P3UW, yang menurut para pembicara dari tokoh plasma itu—antara lain Samsudin, Sutrimo, Ferli Ghandi—P3UW telah membuat tidak kondusif dan ajakan aksinya selalu merugikan plasma!"

"Memang, banyak hal mereka sebut sebagai kebohongan pengurus P3UW, dari mengajak mereka tidak menabur benih karena akan ada investor baru, sampai menjanjikan UBP Rp3 juta sebulan, yang semuanya cuma isapan jempol!" tukas Umar. "Untuk itu, pengurus P3UW mereka beri waktu sampai 15 Mei untuk membuktikan semua janjinya, selanjutnya akan dilakukan rapat anggota luar biasa untuk mengganti pengurus!"

"Meski demikian, Ketua Umum BPP P3UW Nafian Faiz menyatakan tak masalah rapat anggota luar biasa itu asal sesuai AD-ART dan kuorum dari suara anggota P3UW 7.500 orang!" timpal Amir. "Masalah 3.000-an plasma yang berkumpul itu—sebagian gagal hadir karena dicegat di alur ke lokasi--menurut Faiz cuma soal beda pendapat!"

"Jangan disepelekan beda pendapat, apalagi bila itu terjadi akibat beda pendapatan!" tegas Umar. "Bagi kalangan pengurus P3UW mungkin tanpa UBP, tanpa menabur benih, tanpa SHU, bahkan tanpa listrik AWS, hidup mereka selalu nyaman dan berkecukupan! Tapi bagi plasma kebanyakan, tanpa UBP mereka bisa kelabakan dapur tak ngebul! Tanpa SHU, anak tak bisa bayar uang sekolah! Tanpa listrik AWS, anak tak bisa belajar!"

"Dari para pembicara tanpa pengeras suara itu diketahui, karena diintimidasi, kalangan plasma selama ini selalu ikut saja kehendak pengurus P3UW sekalipun sebenarnya sangat merugikan kalangan plasma itu sendiri!" timpal Amir. "Karena itu, kata tokoh-tokoh plasma, untuk memperbaiki nasib kalangan plasma harus menolak intimidasi dari oknum-oknum pengurus P3UW!" ***


Selanjutnya.....

Pendidikan Watak Minim Pancasila!


"GEJALA prokekerasan berlatar agama yang meluas di kalangan pelajar seperti hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Koran Tempo, 26-4), membuat pada Hari Pendidikan lalu banyak orang mempertanyakan pendidikan watak atau karakter generasi muda!" ujar Umar. "Sebab, sikap itu mencerminkan pendidikan watak pada generasi muda minim nilai-nilai Pancasila, seperti kerukunan dan toleransi umat beragama!"

"Hal itu jelas memprihatinkan!" sambut Amir. "Itu konsekuensi dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan sehingga nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan, dan toleransi beragama ditinggalkan. Padahal nilai-nilai itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistik!" (Kompas, 6-5)

"Perubahan itu berdasar kurikulum 2006, sesuai garis UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang alergi pada pengajaran dan praktek Pancasila era Orde Baru yang indoktrinatif dan represif!" tukas Umar. "Karena itu, ayunan pendulum pun dibuat pada sisi terjauh dari era Orde Baru, Pancasila hanya jadi pelajaran hafalan semata, tanpa dilengkapi usaha aplikasinya ke sikap yang bisa membentuk karakter atau watak! Akibatnya, pendidikan karakter atau watak pun jadi minim Pancasila!"

"Namun, pemerintah tampak cepat menyadari dan mencerna kritik dari segala penjuru yang mengalir deras terakhir ini!" timpal Amir. "Mendiknas Moh. Nuh menegaskan segera merombak kurikulum, sekaligus empat mata pelajaran yang menjadi perekat dan identitas nasional kebangsaan. Yakni, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika!" (Kompas, 7-5)

"Perbaikan kurikulum penting bagi pendidikan karakter atau watak generasi muda, lebih-lebih dengan kelengkapan aplikasi proses internalisasi nilai-nilai ajarannya, dalam hal ini Pancasila!" tegas Umar. "Meskipun demikian, sebaik apa pun tekstual mata pelajaran terkait pendidikan karakter atau watak, selalu tak cukup untuk menggerakkan atau motorisasi nilai-nilainya! Karena karakter atau watak lebih terbentuk secara kontekstual—realitas sosial masyarakat tempat ajaran dan nilai-nilai ideal itu benar-benar hidup dan nyambung dengan nilai-nilai dalam proses pendidikan watak!"

"Tekstual nyambung dengan kontekstual!" timpal Amir. "Tapi kuncinya pada kontekstualnya! Kalau kontekstualnya tidak ideal, banyak orang terbelah kepribadiannya, lain kata (tekstual) lain pula perbuatannya (kontekstual)—mirip sekarang!" ***


Selanjutnya.....

Kalah dari China, Melirik Uni Eropa!


"ASEAN, termasuk Indonesia, setelah kalah telak dari China dalam pelaksanaan perdagangan bebas (ACFTA), pekan ini lewat ASEAN Summit melirik Uni Eropa untuk pasar produk ekspornya!" ujar Umar. "Bukankah Uni Eropa selain punya standar lebih tinggi kualitas komoditas untuk kawasannya, terutama dibanding pasar China, pasarnya juga lebih terbuka sehingga tingkat pesaing yang dihadapi jauh lebih berat?"

"Meski begitu, bagi Indonesia, Eropa justru pasar tradisional ekspornya sejak zaman VOC!" timpal Amir. "Tujuan ekspor perdana tembakau Deli (Sumatera Utara) medio abad 19 adalah Bremen, kota pelabuhan di Jerman, pusat perdagangan tembakau pembalut cerutu!"

"Berarti, meski persaingan jauh lebih tajam, pasar Eropa lebih menjanjikan bagi ASEAN, khususnya Indonesia, karena sudah punya pengalaman dan komoditasnya telah dikenal di kawasan tersebut!" tegas Umar. "Namun, di balik itu justru Uni Eropa yang kini mengalami krisis ekonomi terbatas mulai dari Yunani, Portugal—sampai PM-nya harus mundur—lalu Irlandia, dan masih merambat ke Islandia! Karena itu, dalam keinginan mencapai pasar lebih luas, kewaspadaan atas imbas negatif pengaruh dari luar harus tetap diutamakan!"

"Imbas negatif pengaruh dari Eropa itu berupa gaya hidup jetset di kalangan elite kita yang justru merupakan pilihan bebas!" timpal Amir. "Dari berbagai merk mobil kelas atas, sofa, tempat tidur, lampu kristal asal Eropa digandrungi, jauh dari realitas hidup mayoritas warga bangsanya yang menderita dan masih serba-kekurangan! Makin dikembangkan lagi hubungan dengan Uni Eropa, akan kian kuat pula imbas negatif terjadi!"

"Imbas seperti itu sukar dihindari!" tegas Umar. "Terpenting bagaimana peningkatan hubungan itu bisa meningkatkan ekspor produk kita guna meningkatkan kesempatan kerja! Dari peningkatan kesempatan kerja inilah kita harapkan maslahatnya bisa semakin nyata!"

"Lebih-lebih kesempatan kerja kreatif dengan peningkatan ekspor kerajinan rakyat, hasilnya sangat terasa dan langsung dinikmati rakyat!" timpal Amir. "Karena itu, bersamaan dengan peningkatan hubungan dagang itu, kita juga harus memperkuat kreativias produk-produk subsektor kerajinan rakyat! Produk-produk yang mengekspresikan keunikan berbasis budaya lokal bisa menjadi unggulan dalam persaingan global komoditas kreatif!"

"Merinding bulu romaku mendengar persaingan global komoditas kreatif!" entak Umar.

"Sekreatif apa kita sesungguhnya?" ***


Selanjutnya.....

Pemaksaan Tidak Berusia Panjang!


"KOK jadi termenung melulu?" tanya Umar.

"Memikirkan keponakan yang di Dipasena!" jawab Amir. "Selama revitalisasi tambak ia sudah dua kali panen! Sisa hasil usaha—SHU—panen kedua mereka siapkan untuk membayar anaknya masuk perguruan tinggi di Bandar Lampung, atau kalau bisa malah ke Jakarta! Ternyata SHU itu dibekukan oleh perusahaan inti yang menghentikan kegiatan usaha tambaknya!"

"Kasihan ponakanmu!" timpal Umar. "Dengan penghentian kegiatan perusahaan inti, sekalian juga dihentikan jaminan biaya hidup dan natura bulanan plasma, serta listrik di seluruh area pertambakan itu dimatikan! Jadi, jangankan membayar uang masuk kuliah anak, makan dan penghidupan sehari-hari mereka saja terancam!"

"Itu yang tak habis kupikirkan dari tadi!" tegas Amir. "Jadi begitu lagi, padahal penderitaan satu dekade petambak plasma di situ sudah berakhir dengan revitalisasi yang sudah berjalan baik, seperti dilaporkan Metro-TV baru-baru ini! Apa pemerintah tak melihat hal positif itu, sehingga tak mengayomi dan malah membiarkan warga kembali terancam derita berkepanjangan!"

"Tak mesti berkepanjangan!" timpal Umar. "Sebab, penghentian kegiatan perusahaan itu berpangkal dari pemaksaan kehendak sebuah organisasi massa—ormas! Dan pemaksaan, di negara hukum lazim tak berusia panjang! Sekalipun orang yang terkena pemaksaan itu mengalah tak mau ribut-ribut, hukum tak akan membiarkan pemaksaan terjadi berkepanjangan—apalagi merugikan kepentingan umum yang luas, seperti penghentian kegiatan usaha itu! Kecuali negara ini telah berganti dari negara hukum jadi negara preman!"

"Belum berganti! Masih tetap negara hukum!" tegas Amir. "Karena itu, sejalan keberadaan ormas yang demi hukum dijamin konstitusi, maka ormas itu pun wajib mematuhi hukum! Sehingga jika pemaksaan yang melanggar hukum dilanjutkan, percayalah tak selamanya hukum tertidur!"

"Apalagi kalau pemaksaan oleh ormas itu secara legal-formal menurut hukum sama sekali tak ada dasarnya, semisal putusan pengadilan, atau notariat serah-terima pembelian perusahaan secara eksplisit mencantumkan kewajiban pada Ormas tersebut!" timpal Umar. "Karena itu, selain tak selamanya hukum tertidur, tak selamanya pula tindakan yang salah dimenangkan—dalam cerita opera sabun sekalipun!"

"Kalau begitu ponakan kusuruh bersabar, semoga lebih cepat normal kembali!" sambut Amir. "Terpenting kalau ada yang mengajak melakukan hal yang salah jangan ikutan, karena justru memperlambat penyelesaian!" ***


Selanjutnya.....

Aksi Premanisme Hentikan Aktivitas Tambak PT AWS!


"PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), pengelola usaha pertambakan udang eks Dipasena, lewat siaran pers menyatakan terpaksa akan menghentikan aktivitas operasional perusahaannya akibat iklim investasi sudah tak kondusif oleh aksi premanisme yang terus-menerus dari oknum-oknum Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu—P3UW!" ujar Umar. "Untuk itu, perusahaan inti tidak lagi melanjutkan pemberian pinjaman biaya hidup bulanan plasma, menghentikan persiapan tebar dan tebar benur, serta menunda pembayaran SHU (sisa hasil usaha), dan mulai 7 Mei aliran listrik ke seluruh wilayah pertambakan dihentikan!"

"Aksi seperti apa yang dilakukan oknum P3UW hingga PT AWS memutuskan demikian?" tanya Amir.

"Dalam siaran pers disebutkan rangkaian aksi P3UW dari Mei 2009 sampai April 2011," jawab Umar. "Pada 5—26 Januari 2011 demo lanjutan disertai pemblokiran fasilitas-fasilitas vital perusahaan, operasional perusahaan lumpuh beberapa pekan! Sejak April 2011, penghadangan pengiriman benur dan sarana produksi tambak!"

"Maaf, aku geli!" sambut Amir. "Perusahaan beraset puluhan triliun—Dipasena diambil alih terkait dengan kewajiban Syamsul Nursalim Rp37 triliun—terpaksa menyerah berhenti operasi hanya akibat tekanan premanisme! Ini kejadian kedua di Lampung setelah PT Tris Delta Agrindo di Padangratu, yang terpaksa menutup dan meninggalkan pabrik nanas dengan ribuan hektare kebun nanas!"

"Kok geli, kan tidak lucu!" entak Umar. "Kalau investasi kelas triliunan diganggu terus-menerus sampai akhirnya hengkang, apa lagi yang bisa diharapkan investor besar di negeri ini, lebih-lebih provinsi ini? Apa yang lucu negeri jadi seperti tak bertuan, hukum dieliminasi oleh premanisme?"

"Investasi triliunan di negeri tak bertuan bisa lucu, tapi juga membuat miris!" timpal Amir. "Apa tak miris, 7.000-an plasma yang selesai revitalisasi dari total 9.150 plasma, akhirnya tak bisa bertambak dan tak lagi mendapat biaya hidup dan natura bulanan! Sejumlah itu pula istri, adik, atau keluarga plasma yang selama ini bekerja pada inti di pabrik atau lapangan ikut kehilangan sumber penghidupan! Apalagi tanpa listrik, pengolahan air untuk bertambak tradisional juga jadi sukar!"

"Pokoknya jadi lebih banyak masalah dengan perusahaan inti menghentikan aktivitasnya!" tegas Umar. "Salah satunya ekspor udang Lampung yang sempat mulai pulih ke puncak produksinya, tanpa eks Dipasena yang terbesar di Asia, ekspornya akan menurun kembali! Ini bisa berdampak signifikan pada nilai ekspor, sekaligus PDRB dan pertumbuhan ekonomi Lampung!" ***


Selanjutnya.....

Osama Tewas Pengganti Antre!


"KEMATIAN Osama bin Laden bisa terjadi kapan saja! Karena itu, bukan mustahil jika pemimpin organisasi teroris Al Qaeda itu telah menyiapkan penggantinya berlapis-lapis!" ujar Umar. "Pada antrean pengganti Osama, berdiri paling depan Ayman Al-Zawahiri, pria 59 tahun, asal Mesir ini disebut oleh AS sebagai pemimpin operasi, sedang Osama figur ideologi! Dokter ahli bedah cucu imam besar Al Azhar, Ayman, yang juga mentor Osama ini disebut penulis biografi Osama sebagai otak utama Al Qaeda!" (Tempo Interaktif, 3-5)

"Ayman itu putra Mohammad Rabbie Al-Zawahiri, profesor farmasi terkenal, ibunya politisi Umayma Azzam!" timpal Amir. "Usia 14 Ayman bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, bahkan saat organisasi yang saat itu dipimpin Sayyid Qutb diberangus, Ayman memimpin gerakan bawah tanah! Akibatnya, ia masuk di antara 301 orang yang ditangkap setelah Presiden Anwar Sadat tewas tertembak pada 1981!"

"Di urutan kedua Saif Al-Adel, juga dari Mesir. Usia 51—
54 tahun, pemimpin senior Al Qaeda, pelatih warga Somalia melawan pasukan AS di Mogadishu yang menjatuhkan dua helikopter Black Hawk—kisahnya difilmkan Hollywood!" lanjut Umar. "Saif paling dicari FBI, hadiah 5 juta dolar AS bagi pemberi informasi keberadaannya!"

"Menyusul di antrean Sulaiman Abu Gath, 45, asal Kuwait, juru bicara Al Qaeda! Di belakangnya ada Abu Hafiza, Fazul Abdullah Mohammed, dan seterusnya, semua petinggi Al Qaeda!" tambah Amir. "Artinya, tewasnya Osama tidak lantas bisa diartikan ancaman terorisme dari Al Qaeda habis, karena organisasi teroris kelas dunia itu tidak kekurangan orang hebat yang bisa menggantikan Osama! Bahkan dalam pendanaan yang selama ini bersumber dari Osama, tak bisa diremehkan dari para pelapis Osama untuk mencari substitusinya! Termasuk simpanan yang belum tercium, di mana saja uang Osama diinvestasikan selama ini!"

"Belum lagi dilihat dari organisasi lain yang bisa mendukung Al Qaeda dalam banyak hal!" tegas Umar. "Contohnya, serangan pasukan AS yang membunuh Osama bin Laden itu dikutuk Taliban, Hamas, Ikhwanul Muslimin—juga mantan Presiden Pakistan Musharraf karena tindakan militer itu melanggar kedaulatan Pakistan!"

"Dengan semua itu ke depan justru bisa terjadi logika sebaliknya!" timpal Amir.

"Jika selama ini aksi Al Qaeda harus di bawah kendali dan biaya dari Osama, ke depan semua sayap bisa bergerak sendiri dengan biaya masing-masing! Jika itu yang terjadi, kematian Osama justru membuat terorisme jadi makin semarak!" ***


Selanjutnya.....

Obama Datang Osama Tumbang!


"TENGAH malam ambang Senin Presiden Barack Obama membangunkan dunia, berpidato tentang keberhasilan pasukan elite negerinya membunuh musuh nomor wahid Amerika Serikat, Osama bin Laden, di Abbottabad, 100 km utara Islamabad, Pakistan!" ujar Umar. "Osama, tersangka otak serangan 11 September 2001 yang menewaskan lebih 3.000 warga Amerika itu tumbang diterjang peluru! Obama pun menang dan menjadi simbol keunggulan dunia atas terorisme!"

"Kepastian tewasnya Osama bin Laden memang amat penting, bukan hanya buat warga Amerika, tapi juga buat warga dunia! Tanpa kecuali warga Indonesia!" timpal Amir.

"Sebab, belakangan ini Indonesia telah dijadikan sebagai medan perang oleh teroris, seiring telah lahirnya generasi baru terorisme di negeri kita! (Kompas, 2-5) Tewasnya Osama diharapkan memudarkan semangatnya sebagai inspirasi gerakan teroris lokal, karena misteri kehebatan sang idola sudah tumpas!"

"Memudarnya semangat inspirator pada teroris lokal itu cuma sementara!" tegas Umar.

"Justru ketiadaan tokoh besar sebagai inspirator para teroris, membuka persaingan di antara mereka untuk tampil menjadi calon legenda baru! Ini harus diwaspadai, karena bisa mendorong mereka membuat aksi yang skalanya bisa dikenang dalam skala internasional jangka panjang seperti serangan 11 September 2001! Celakanya, jika usaha untuk itu justru muncul dari antara teroris di negeri kita!"

"Berarti dengan tewasnya Osama kita harus jauh lebih waspada lagi!" timpal Amir.

"Kewaspadaan tersebut harus lebih saksama lagi, karena secara ideologis teroris lokal negeri kita sudah lebih dulu meninggalkan ideologi terorisme Osama, yakni menyerang kepentingan Amerika dalam segala bentuknya! Sedangkan teroris lokal kita, seperti pada serangan bom bunuh diri di masjid Polresta Cirebon, bom buku, bahkan bom Serpong, tak mudah ditemukan kaitannya dengan kepentingan Amerika! Sekaligus itu berarti, calon sasaran serangan teroris semakin sulit ditebak karena bisa saja justru menyerang internal umat Islam sendiri seperti di Cirebon!"

"Lebih gawat lagi, seperti aksi bom bunuh diri di Cirebon, terorisme bukan lagi ketat berorientasi pada ideologinya, tapi malah bisa dilakukan hanya untuk balas dendam pribadi!" entak Umar. "Hal itu membuat jauh lebih repot menghadapi terorisme di negeri kita, ketimbang dunia yang lebih jelas ideologi terorisnya! Itu karena serangan seperti teroris juga telah dijadikan cara menyelesaikan masalah—yang tak beres di jalur hukum!" ***


Selanjutnya.....

Kendala Birokrasi Dunia Pendidikan!

"PADA Hari Pendidikan Nasional kali ini, catatan tegas layak diberikan ke birokrasi pendidikan di daerah yang kepedulian—apalagi komitmennya—pada dunia pendidikan nyaris tak terlihat!" tegas Umar. "Keterlambatan penyaluran BOS—biaya operasional sekolah—triwulan I 2011, yang sampai awal April 50% sekolah belum menerima—padahal dana itu ditransfer pusat medio Januari—hanya karena sedikit perubahan formulir pencairan dan salurannya jadi lewat kas pemkab/pemkot, menunjukkan birorasi pendidikan tak sedikit pun memiliki komitmen bagi kemajuan pendidikan!"

"Padahal, jika birokrasi (Dinas Pendidikan dan jajaran di kecamatan) punya kepedulian dan menyosialisasikan ke sekolah-sekolah perubahan formulir BOS hingga bulan Januari selesai, Februari bisa diproses pencairannya!" timpal Amir. "Tapi karena birokrasi pendidikan belum berfungsi semestinya sebagai lembaga pelayanan terhadap sekolah (publik), sampai priode triwulan pertama habis (akhir Maret) banyak
sekolah yang masih kebingungan tentang perubahan proses BOS!"

"Kejadian itu sangat ironis dengan kebulatan tekad bangsa menjadikan pendidikan prioritas utama dalam kehidupan bernegara, hingga telah disepakati dan dijalankan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD I/Ii," tukas Umar. "Namun pada prakteknya, aparat birokrasi pendidikan sebagai tangan negara yang harus melaksanakan prioritas pada dunia pendidikan itu malah melempam—tak bekerja efektif! Akibatnya, prioritas yang disertai ekspektasi rakyat amat tinggi itu selalu berujung pada kekecewaan!"

"Maka itu, pada Hari Pendidikan Nasional kali ini, para kepala daerah dan segenap aparat dinas pendidikan, diharapkan bisa mengubah mindset dengan menempatkan peran jajarannya di sentral pembangunan pendidikan, bukan malah menjadi kendala penghambat langkah menuju kemajuan!" timpal Amir. "Untuk itu, harapan pertama pada kepala daerah guna memilih pejabat di dinas pendidikan yang punya komitmen dan kapasitas memadai bagi dunia pendidikan!"

"Diakui, Dinas Pendidikan kini jadi satuan kerja (satker) yang mengelola dana APBD terbesar, bahkan lebih besar dari Dinas PU, hingga kapasitas mengelola anggaran menjadi prioritas pengisian jabatan!" tegas Umar. "Namun, bagaimana agar kemampuan mengelola anggaran itu difokuskan orientasinya pada dunia pendidikan, bukan cuma bagi kepentingan kepala daerah! Dari semua itu tampak, pembenahan mendasar diperlukan pada birokrasi pendidikan di daerah, agar tak malah lebih mapan keberadaannya sebagai kendala!" ***
Selanjutnya.....