Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kontraproduktif, Jadi Rezim Autis!


"BICARA bos belakangan menjurus kontraproduktif!" ujar Umar. "Dari memberi setiap TKI handphone agar kalau dianiaya majikan bisa cepat lapor, menegaskan kasus Gayus tetap ditangani polisi saat kuat desakan publik agar diambil alih KPK, hingga tentang kekuasaan monarki di Yogya padahal sejak awal kemerdekaan sudah diintegrasikan dalam sistem negara Republik Indonesia dengan status Daerah Istimewa!"

"Bos yang kontraproduktif terus-terusan bisa menjadi rezim autis, asyik dengan pikiran dan khayalan sendiri, tak nyambung dengan realitas, melawan arus common sense—akal sehat publik, bahkan bisa lebih parah, terlepas dari konteks sejarah!" sambut Amir. "Seperti penyandang autis, kecerdasannya bisa di atas rata-rata tapi sering over-reaktif dan hiperaktif!"

"Tingkah over-reaktif jelas pada kasus TKI dan Gayus itu! Jika setiap orang dari lima juta TKI diberi satu handphone seharga Rp1 juta, perlu Rp5 triliun, lebih besar dari dana Jamkesmas untuk 22 juta warga miskin Rp4,3 triliun per tahun!" timpal Umar. "Sedang hiperaktif bertingkah nyeleneh, seperti menyebut seolah ada monarki di Yogya!"

"Pokoknya dengan langkah demi langkah yang terus kontraproduktif, rezim autis bisa membawa bangsanya tersesat dalam keruwetan serba tak masuk akal, kalut karena semakin jauh dari solusi yang dibutuhkan untuk keluar dari keterpurukan berkepanjangan!" tegas Amir. "Kondisi kalut itu mendorong kelompok warga atau masyarakat mencari alternatif jalan keluar sendiri dengan belajar dari pengalaman warga bangsa yang pernah berhasil keluar dari krisis yang mereka alami!"

"Mungkin itu bisa berarti, jika status Daerah Istimewa Yogyakarta yang diperoleh berdasar sejarah diingkari pusat, sedang Aceh dan Papua belakangan mendapat status daerah istimewa berlatar konflik bersenjata, untuk mengembalikan status daerahnya istimewa tak mustahil rakyat Yogyakarta meniru cara daerah lain mendapatkannya!" tebak Umar.

"Maka itu, 'terlepas dari konteks sejarah' itu stadium parah rezim autis yang terlalu asyik dengan pikiran dan khayalan sendiri, karena bisa menimbulkan risiko berbahaya bagi bangsanya!" tegas Amir. "Di lain pihak, sulit menyadarkan rezim autis untuk menghentikan langkah-langkah kontraproduktifnya meski menyulut konflik, karena rezim menjadi autis justru oleh pikiran dan khayalan tentang kekuasaannya yang amat kuat, tak satu pun kekuatan lain mampu menggoyahnya! Ia justru keranjingan mempermainkan subordinat-subordinat pendukung kekuasaannya guna unjuk kekuasaan membuktikan, dia apakan pun subordinat yang mabuk kekuasaan tak bisa berkutik!" ***

Selanjutnya.....

Marie Rasa Gaplek, Kualitas Hidup Kita!


"DISUGUHI Sonto roti Marie tadi aku jadi teringat jajanan 1950-an!" ujar kakek. "Di kemasan tertulis roti Marie, simbol modern beristilah asing dengan standar rasa sebenarnya gandum, saat dimakan terasa gaplek! Begitu kualitas hidup bangsa kita saat baru merdeka dahulu—
Marie rasa gaplek!"

"Kayaknya kualitas hidup Marie rasa gaplek pada bangsa kita sejak zaman itu hingga sekarang belum berubah!" sambut cucu. "Dari panggung nasional kekuasaan politik, hukum, dan sosial-ekonomi meski dikemas modern dengan label demokrasi, secara keseluruhan rasanya masih gaplek banget! Itu terjadi pada seluruh hierarki kekuasaan sampai terbawah, sehingga imbasnya amat dirasakan rakyat seperti buruh—upah mereka dikemas dengan label standar kebutuhan hidup layak (KHL), isinya jauh dari memadai untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak kaum buruh! Belum lagi nilainya acap tereduksi hasil survei harga yang ditunggangi kepentingan tertentu!"

"Memang! Dengan UMR (upah minimum regional) DKI Jakarta cuma Rp1,29 juta per bulan, di daerah umumnya di bawah Rp1 juta per bulan, hidup layak seperti apa yang bisa dicapai buruh?" tegas kakek. "Tapi itulah standar KHL produk demokrasi yang dituangkan sistem politik, hukum, dan sosial enonomi dari panggung kekuasaan nasional kita! Benar-benar Marie rasa gaplek!"

"Itu berarti, untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa yang pertama harus diperbaiki mind set—cara berpikir—para pemimpin di pentas kekuasaan nasional, dengan mengganti isi demokrasi dalam dimensi politik, hukum dan sosial-ekonomi dari gaplek menjadi Marie yang sebenarnya!" timpal Umar. "Celakanya, orientasi kepentingan jangka pendek demi memenangkan pemilu untuk mempertahankan kekuasaan, para pemimpin nasional itu tak hanya beretorika gaplek sebagai Marie, tapi malah mempertahankan gaplek sebagai Marie yang terbaik, lalu menghambat proses pembuatan Marie yang sebenarnya!"

"Tampak, janji perubahan cuma omong kosong, karena gaplek praktek politik, hukum dan sosial-ekonomi nasional yang dipertahankan semakin apek, cermin kehidupan rakyat lapisan terbawah yang kian getir penderitaannya!" tukas kakek. "Lucunya, para pemimpin nasional menegaskan pentingnya mengubah mind set rakyat yang justru sudah punya gambaran ideal demokrasi, diseesuaikan dengan mind set mereka—
para pemimpin—padahal justru mind set para pemimpin itu sendiri yang harus diubah untuk mewujudkan perubahan yang mereka janjikan!" ***

Selanjutnya.....

Busyro Titisan atau Utusan Dewa Mana?

"BUSYRO yang terpilih jadi ketua KPK itu titisan atau utusan dewa mana?" kakek tanya Ki Bedul, sejawat yang dianggap punya indra keenam.

"Dilihat dari sikap tegas dalam prinsip, tak kenal kompromi dalam penegakan hukum, tapi lembut dalam cara bertindaknya, tak lain lagi kaitannya, Batara Bayu!" jawab Ki Bedul. "Kelebihan Bayu, selincah dan segesit apa pun lelembut—makhluk halus—

bergerak, meski tak terlihat secara kasatmata, tetap bisa dia antisipasi! Koruptor itu sejenis lelembut, bekerja licin tanpa menyisakan bukti-bukti fisik yang terlihat kasatmata!"

"Kelemahannya apa?" kejar kakek.

"Pada wanita!" jawab Ki Bedul. "Ia enggan untuk membelainya! Maka itu, banyak wanita membawa kipas guna mengatasi keengganan Bayu itu!"

"Gawat juga itu!" entak kakek. "Karena titik nadir pelemahan KPK justru saat ketanggor wanita! Meski sudah banyak anggota DPR dihukum dua sampai empat tahun penjara karena terbukti menerima cek perjalanan bersumber dari wanita bernama Nunun, sampai kini belum sekali pun KPK berhasil menghadirkan Nunun untuk diperiksa!"

"Ketika menghadapi hal seperti itulah diperlukan ketegasan!" timpal Ki Bedul. "Bukan harus Bayu sendiri yang menangani, dia cukup perintahkan jajarannya untuk melaksanakan prosedur dengan semestinya! Di situ kunci masalah KPK, yang cuma punya lima komisioner harus menangani korupsi di seantero negeri! Jika harus komisioner sendiri langsung menanganinya, cuma berapa kasus bisa selesai per tahun? Untuk itu, komisioner lebih tepat sebagai dirigen yang menggerakkan semua divisi KPK bersimfoni! Dengan itu pemberantasan korupsi bisa bergerak lebih cepat!"

"Gemuruh simfoni itu pula membuat terpaan Bayu ke sarang lelembut koruptor semakin terasa menggentarkan!" tegas kakek. "Tapi apa cukup sebatas gentar, tak harus ada power lain yang bisa membuat lelembut lebih ketakutan dan menghentikan korupsinya?"

"Power dari kekuasaan pamungkas justru amat diperlukan"" timpal Ki Bedul. "Itu dari Yudistira, Raja Amarta, selaku pemegang pusaka Layang Kalimusodo—simbolisasi konstitusi! Jika Yudistira gunakan kekuasaan penuh amanat Kalimusodo bersistem presidensial selaku penguasa eksekutif tertinggi, tanpa injak rem dengan enggan intervensi ini-itu, suhu pemberantasan korupsi akan benar-benar 'in'! Dalam suhu seperti itu, Bayu cs. bisa lebih mudah meringkus lelembut koruptor dari sarangnya!"

"Masalahnya itu," sela kakek, "Yudistira cenderung injak rem justru di setiap jalan pendakian!" ***

Selanjutnya.....

Percepat Terbitnya Matahari Keadilan!


"KENAPA moyang kita mewajibkan setiap generasi memangkas bukit di timur lembah desa kita, cucu tanya kakeknya," ujar Umar. "Jawab kakek, bukit itu menghalangi warga lembah kita mendapatkan fajar dan sinar matahari lebih cepat seperti warga desa-desa lain, ketika mereka telah bekerja kita masih tidur! Itu penyebab desa kita selalu tertinggal dan terbelakang dari desa lain!"

"Bangsa kita senasib dengan warga lembah itu!" sambut Amir. "Kita telah berjuang antargenerasi memangkas bukit ketakadilan hukum dan substantif, tapi tetap terlambat mendapat fajar dan sinar matahari keadilan! Itu pula penyebab bangsa kita terlambat bangun, tertinggal dan terbelakang dari kemajuan bangsa-bangsa lain!"

"Untuk itu, tampilnya beriringan tiga pendekar pemimpin baru lembaga penegak hukum, Kapolri Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, dan Ketua KPK Busyro Muqoddas, layak diharap bisa mempercepat terbitnya fajar dan sinar matahari keadilan bagi bangsa ini!" tegas Umar. "Kata kuncinya pada kemauan tulus bekerja sama ketiga pendekar memangkas bukit ketakadilan itu secara saksama! Bukan kerja sama dalam arti konspirasi, saling menutupi keburukan! Tapi sambatan, membersihkan rumput dan gulma di ladang! Di ladang Polri, jaksa dan KPK ikut sambatan, begitu sebaliknya! Sebab kalau mau dikerjai sendiri tanpa sambatan, bisa lebih cepat subur rumput dan gulma ketimbang tanamannya! Itulah yang cenderung terjadi selama ini, konspirasi saling menutupi rumput dan gulma!"

"Rumput dan gulma di ladang lembaga penegak hukum itu bagian penting dari bukit ketakadilan hukum dan substantif yang harus dipangkas, kalau bisa tidak sampai harus dilakukan secara antargenerasi!" timpal Amir. "Betapa rumput dan gulma itu membuat tanaman yang baik malah tak berkembang dan berbuah! Betapa rumput dan gulma itu membuat tikus-tikus koruptor nyaman hidup merajalela menggerogoti kekayaan negara berupa uang untuk kesejahteraan rakyat, hingga ketakadilan hukumnya berekses pada ketakadilan substantif—ketakadilan sosial-ekonomi-budaya! Beraspek budaya, karena korupsi menghancurkan moral bangsa—
moralitas itu roh peradaban!"

"Setelah sambatan membersihkan ladang masing-masing, ketiga pendekar bersama berburu ke belantara koruptor!" tegas Umar. "Kalau berburu sendiri-sendiri, buruannya bisa lari ke arah lain! Tapi dengan berburu bersama, buruan digropyok ramai-ramai dengan pagar betis jajaran ketiga lembaga penegak hukum, buruannya tak bisa meloloskan diri! Harapan mempercepat terbitnya matahari keadilan pun tak berlebihan!" ***

Selanjutnya.....

Di Balik Signifikansi Pertumbuhan Ekonomi Lampung!


"BI—Bank Indonesia—melaporkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung triwulan tiga 2010 sebesar 6,25%, lebih tinggi dari prediksi BI 5,64%, dan signifikan dibanding triwulan sebelumnya 3,87%!" ujar Umar. "Basis pertumbuhan masih konsumsi swasta yang menguasai pangsa 55,13% dengan pertumbuhan 6,46%! Dukungan utama dari pertumbuhan investasi 16,6%--baki debet kredit investasi, impor bahan baku penolong, dan konsumsi semen! Lalu, ekspor naik 11,4%--dengan pangsa pasar komoditas hasil pertanian seperti kopi, teh, rempah 31,1% yang tumbuh 9,3%!"

"Dengan konsumsi swasta yang masih dominan pangsa dan pertumbuhannya sebagai basis, serta dukungan investasi yang baru tahap input, jelas di balik signifikansi pertumbuhan itu masih perlu dorongan serius untuk peningkatan peran pada sektor-sektor produksi dan sektor pemerintah—public sector!" sambut Amir. "Peningkatan peran ekspor produk pertanian rakyat terutama kopi, kakao, dan rempah—juga karet—tentu memberi arti positif pertumbuhan pada kesejahteraan rakyat! itu langsung terlihat pada peran konsumsi dalam proses pertumbuhan! Namun dengan pangsa pasar komoditasnya yang masih relatif kecil dalam komponen ekspor dibanding jumlah petani sebagai mayoritas warga Lampung, usaha ekstra mendorong peningkatannya jadi penting!"

"Seharusnya stimulan untuk itu datang dari sektor pemerintah, tapi justru itu yang dari laporan BI kurang ditonjolkan!" tegas Umar. "Soal itu juga mudah dicek silang ke APBD I dan II se-Lampung, jumlahnya pada sektor pertanian dan perkebunan rakyat umumnya kurang signifikan! Padahal justru di situlah prime stake—taruhan utama—ekonomi mayoritas rakyat Lampung!"

"Itu karena belanja public sector di Lampung secara umum masih terdominasi dari dan untuk aparatur!" timpal Amir. "Pergeseran dari dominasi kepentingan aparatur ke kepentingan publik lamban, kalau tidak yang terjadi justru sebaliknya, karena penambahan pegawai terus dilakukan dengan konsekuensi peningkatan belanja aparatur! Itu belum lagi dilihat dari daya dukung APBD pada infrastruktur perekonomian rakyat yang juga praktis masih lemah!"

"Tanpa dukungan public sector yang kuat bisa diduga sulit mempertahankan rekor signifikan pertumbuhan ekonomi triwulan tiga 2010 itu!" tegas Umar. "Kompensasinya, pemerintah daerah lebih giat promosi investasi, membuka kemudahan terbaik dalam semua dimensinya dibanding provinsi lain! Daya saing memikat investor itu masih harus ditingkatkan!"

Selanjutnya.....

Gayus, Kunci Pagar Mafia Hukum-Pajak!


"GAYUS H.P. Tambunan bebas berkicau di sidang pengadilan siapa dan apa perannya dalam mafia hukum dan mafia pajak!" ujar Umar. "Terpenting justru, kasus Gayus dengan segala akarnya tetap ditangani polisi, karena dengan begitu Gayus bisa dijadikan kunci pagar pengaman para pemain inti dan jaringannya di markas besar mafia hukum dan mafia pajak dari penyingkapan topengnya!"

"Kesan itu mencuat seiring desakan publik agar KPK mengambil alih kasus Gayus setelah kepolisian dan kejaksaan yang menanganinya sejak April cuma menyeret pemain kecil-kecil, tetapi Kapolri menegaskan kasus Gayus tetap ditangani Polri! Penegasan Kapolri itu diperkuat Presiden SBY melalui juru bicaranya Julian Aldrin Pasha!" timpal Amir. "Sedang KPK, yang 'diselamatkan' presiden dari kasus cicak vs buaya, tidak merespons desakan publik itu, malah mendukung penyelesaian kasus Gayus oleh polisi!"

"Kalau sudah begitu, kayaknya usai kasus Gayus yang sedang disidangkan dan kasus ngeluyurnya Gayus keluar tahanan, kasus mafia hukum dan mafia pajak selesai!" tukas Umar. "Selanjutnya, tak mustahil mafia hukum dan mafia pajak lebih nyaman beroperasi karena mendapatkan perlindungan dan pengamanan yang sistemik!"

"Kemungkinan itu hanya bisa bergeser jika KPK di bawah Busyro Muqoddas bisa kembali bernyali untuk menerobos sarang koruptor dalam stelsel-stelsel kekuasaan!" sambut Amir. "Suntikan nyali baru itu amat penting, sebab sejak kasus cicak vs. buaya yang melemahkan KPK telah memerosotkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini hingga tinggal positif 15 persen sesuai survei Lembaga Survei Indonesia Oktober 2010! Itu pun syukur masih positif, dibanding kepolisian minus 18,5 persen, Kejaksaan minus 17,6 persen, dan Pengadilan minus 15 persen!"

"Meski kecil, mendingan masih punya modal dasar kepercayaan rakyat bagi KPK memulai langkah kepemimpinan baru nanti!" tegas Umar. "Modal kepercayaan rakyat itu cukup untuk membuka kunci pagar yang melindungi mafia hukum dan mafia pajak lewat alat bukti asal uang 28 miliar dan 74 miliar sitaan dari Gayus, untuk diurai secara benar kaitannya dengan mafia hukum dan mafia pajak—yang dalam penanganan kasusnya sekarang justru dikesampingkan!"

"Kalau kunci pagar itu masih bisa dibuka kembali, dunia pemberantasan korupsi belum kiamat!" timpal Amir. "Asalkan, nyali KPK cukup kuat untuk menerobos konstelasi kekuasaan yang menguasai kunci pagarnya! Itu bukan tantangan sepele!" ***

Selanjutnya.....

Way Kanan, Meretas Jalur Kemajuan! (2)


"BAGI kabupaten tanpa kota utama yang dominan sebagai pusat bisnis dan pertumbuhan ekonomi, penajaman program pembangunan di Way Kanan memang harus fokus di desa!" ujar Umar. "Tapi, seperti umumnya pembangunan desa di negeri kita, banyak tangan turun dengan beraneka bantuan dilakukan secara meraba-raba, tanpa melihat proses, hasil atau eksesnya, karena yang dicatat sebagai prestasi jumlah bantuan yang dikucurkan, bukan keefektifan output-nya! Untuk itu, langkah awal Bupati Bustami Zainudin adalah mengintegrasikan semua bantuan dalam program terpadu sesuai prioritas kampung bersangkutan dengan fasilitator dan monitoring Pemkab!"

"Apa mungkin tertangani Pemkab sedemikian banyak kampung di kabupatennya?" tanya Amir.

"Pasti tak tertangani sekaligus!" jawab Umar. "Tahap pertama dari setiap kelompok sejumlah kampung dipilih satu sebagai kampung binaan untuk contoh bagi kampung sekitarnya! Dengan fasilitator Pemkab menggenapi semua bantuan itu menjadi satu miliar rupiah per kampung binaan, ketika semua kampung mendapat fasilitator sama nanti sudah lebih jelas tata kelola program dan arah penggunaan dananya oleh setiap kampung!"

"Inti program yang pasti untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat itu kira-kira apa?" kejar Amir.

"Mengembangkan ekonomi kampung guna menumbuhkan aneka jenis pekerjaan baru untuk menambah pendapatan, mengubah kebiasaan warga dari pekerjaan tunggal!" jelas Umar.

"Contohnya di sentra produsen gula kelapa, setiap orang menyadap, memasak, dan mencetak gulanya sendiri-sendiri! Padahal, hasil sadapan sepuluh orang bisa dimasak dan dicetak hanya oleh dua orang! Selain bisa lebih hemat kayu bakar, tenaga selebihnya bisa melakukan pekerjaan lain untuk menambah pendapatan! Atau satu gilingan tangan karet sheet cukup menangani produksi 10 petani, harga lebih tinggi dinikmati bersama!"

"Memperpanjang proses produksi hasil kebun guna menghasilkan produk akhir bernilai ekonomis lebih tinggi memang menciptakan jenis pekerjaan baru!" timpal Amir. "Itu bisa dilakukan juga untuk proses kopi petik merah agar grade produknya lebih tinggi, atau melabeli jaminan lada hitam organik bagi produk lada hitam Way Kanan—harganya di pasar internasional dua kali lipat dari lada hitam biasa!"

"Pokoknya banyak jalan ke Roma!" tegas Umar. "Tapi itu jika program pembangunan kampung diseriusi dengan cermat, tak asal turun tangan dengan cuma meraba-raba!" *** (Habis)

Selanjutnya.....

Way Kanan Meretas ke Jalur Kemajuan!


"WAY KANAN, yang sejak jadi kabupaten 10 tahun lalu kebagian persentase warga miskin tertinggi di Lampung, meretas ke jalur kemajuan dengan membuka penerbangan komersial Way Tuba—Jakarta pp, bekerja sama dengan Susi Air!" ujar Umar. "Bandara Way Tuba dilingkungi daerah yang amat butuh angkutan pintas ke Jakarta!"

"Tahap memperpendek langkah investor ke Way Kanan itu memang sudah saatnya!" sambut Amir. "Periode terakhir ini usaha Pemkab dan warganya membangun Way Kanan pusat perkebunan rakyat tanaman ekspor sudah terlihat hasilnya! Tanaman karet rakyat usia awal sadap mendominasi, ada dikelola secara modern berbibit unggul, ada pula semirepong bersama lada, cokelat, kopi, pisang!"

"Sayang curah hujan yang terlalu tinggi tahun ini berakibat tanaman muda itu produksinya tak maksimal!" timpal Umar. "Tapi ke depan, semua itu cukup menjanjikan bagi kemajuan warga Way Kanan! Karena itu, tak keliru jika bupati sekarang Bustami Zainudin yang mantan wakil bupati itu mempertajam program saat ia bersama bupati Tamanuri fokus mengembangkan kebun rakyat tanaman ekspor! Penajaman lewat meningkatkan nilai tambah panenan petani, seperti dari produksi karet lumps menjadi sheets yang dengan gilingan tangan pun harganya lebih tinggi tiga kali lipat!"

"Dukungan terpenting langkah maju Way Kanan pada kondusifnya kehidupan sosial-politik rakyat yang heterogen itu!" tegas Amir. "Dari tujuh daerah di Lampung yang melakukan pilkada terakhir, cuma Way Kanan satu-satunya yang tidak lanjut dengan gugatan ke MK! Mantan Bupati Tamanuri yang jagonya kalah di pilkada itu justru secara tulus mengatakan pada bupati terpilih, ia tak ingin pemimpin di Way Kanan seperti di pusat, para mantan pemimpin tak saling teguran! Silaturahmi terbaik para pemimpin kunci rukun-damainya semua lapisan masyarakat, prakondisi terpenting membangun kesejahteraan rakyat!"

"Kalau tokoh-tokoh kunci dan semua lapisan masyarakat sudah kondusif, mungkin tinggal para pemimpin di DPRD yang perlu memperkuat langkah bersama seluruh komponen itu jadi lebih kokoh lagi!" timpal Umar. "Harapan itu perlu disampaikan karena saat pilkada mayoritas di DPRD punya jago sendiri, ketika yang terpilih bukan jagonya bisa saja komitmennya kurang optimal! Namun, dengan keyakinan para politisi di DPRD-nya telah matang dan dewasa, semua berorientasi kepentingan rakyat, tak lagi dikenal kepentingan politik sempit yang bisa jadi kendala bagi dukungan terhadap kerja keras rakyat Way Kanan meraih kesejahteraan!" ***

Selanjutnya.....

'Poverty-Drain', Bukan Sekadar Masalah Perut!


"KENAPA setiap pemulangan TKI ilegal setelah menjalani hukuman di Malaysia, beritanya selalu menonjolkan perempuan bawa anak dan pria teruk membuktikan beratnya siksaan yang mereka alami?" tanya Umar.

"Sebenarnya bukan ditonjolkan! Tapi karena pria sakit dan perempuan bawa anak ribet ketika berlari kucing-kucingan dengan polisi Malaysia itu yang lebih mudah tertangkap!" jawab Amir. "Sedang pria dan wanita sehat tanpa diribeti anak, sejak dari desanya siap fisik-mental jadi pendatang haram, lain cerita!"

"Lain cerita bagaimana?" potong Umar.

"Maksudnya, mayoritas dari mereka berhasil mendapat izin kerja sementara, kemudian jadi izin tetap! Usaha untuk itu dengan tertangkap sebagai risiko terburuk dan penyiksaan di penjara Malaysia telah deja vu—berita basi hingga tak lagi bertubi-tubi diberitakan media massa kita—pekerja migran justru menunjukkan poverty-drain—pelarian kemiskinan ke luar negeri—bukan sekadar masalah perut!" tegas Amir.

"Pertama, mereka nekat menempuh risiko seserius itu demi mengaktualisasikan kodrat dirinya sebagai homofaber—makhluk pekerja! Untuk itu, putusan ke luar negeri bisa dipastikan jadi pilihan terakhir setelah gagal dari segala usaha mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri!" ujar Umar. "Kedua, untuk ke luar negeri butuh keberanian—lebih-lebih lewat jalur ilegal! Pilihan terberat itu keberaniannya untuk lebih dahulu menarik kesimpulan, tak lagi yakin dan percaya pemerintah mampu menyiapkan satu tempat kerja buat dirinya!"

"Kalau masih yakin dan percaya pemerintah bisa menciptakan satu pekerjaan buat dirinya, apalagi yang layak bagi kemanusiaan sesuai janji konstitusi, tak mungkin memilih jalan yang berisiko maut itu!" timpal Umar. "Risiko yang dihargai setara pahlawan—syuhada yang berkorban jiwa—dengan digelari pahlawan devisa, dengan bukti banyak yang harus berkorban jiwa! Kesiapan menempuh risiko seberat itu pasti pilihan terakhir setelah di dalam negeri tak lagi ada yang bisa mereka harapkan!"

"Maka itu, dengan kondisi kritis nasib pekerja kita di luar negeri hingga Presiden mengirim tim yang terdiri dari sejumlah menteri, menjadi momentum bagi pemerintah meningkatkan kapasitasnya memenuhi harapan massa miskin secara lebih realistis, guna menumbuhkan kembali keyakinan dan kepercayaan bahwa pemerintah mampu menyiapkan satu kesempatan kerja buat setiap mereka!" tegas Amir. "Tanpa itu, makin masifnya poverty-drain, bisa lebih kewalahan pemerintah menghadapi konsekuensi logisnya—akan kian masif pula masalah yang timbul!" ***

Selanjutnya.....

‘Poverty-Drain’,Perlu Inventarisasi Model Kemiskinan!

"AKIBAT kemiskinan dipandang seperti 'aib' hingga selalu ditutupi penguasa, kita jadi tak tahu aneka model kemiskinan rakyat sendiri dan menganggap kemiskinan itu seragam, sama di mana-mana!" ujar Umar. "Anggapan begitu melahirkan program sapu jagat pengentasan kemiskinan, satu program untuk segala model kemiskinan! Hasilnya, terjadi poverty-drain—pelarian kemiskinan ke luar negeri—yang mencengangkan, tiga juta orang hanya di dua negara, Malaysia dan Arab Saudi!"

"Saking butanya kita tentang kemiskinan rakyat sendiri, setiap sensus prosentase orang miskin turun kita bangga seolah program sapu jagat berhasil! Tak tahunya, penurunan terjadi akibat poverty-drain!" sambut Amir. "Siksaan berat buat pendatang haram di tahanan polisi Malaysia yang tertangkap bahkan tak mengurangi arus ilegal, setiap pekan diberitakan pemulangan ratusan pendatang haram setelah menjalani hukuman di Malaysia—termasuk perempuan bawa anak!"

"Untuk itu tak layak menyepelekan kemiskinan dengan menganggap sama di mana-mana, dan satu program sapu jagat mampu menyelesaikan semua persoalan kemiskinan!" tegas Umar. "Perlu melakukan inventarisasi model kemiskinan, baik dari lokasi maupun jenis kegiatannya, sekaligus bisa dijadikan sebagai diagnosis jenis penderitaan dan antisipasi terapinya! Untuk itu instansi yang mengurus kemiskinan bekerja sama dengan perguruan tinggi daerah setempat yang pasti lebih akrab dengan keunikan dan
kegeniusan lokal, sehingga identifikasi model kemiskinan dan diagnosisnya bisa lebih akurat!"

"Hal itu diperlukan untuk menghentikan sikap gegabah pemerintah selama ini, menyembuhkan kemiskinan tanpa diagnosis penyakit yang ada pada kemiskinan!" timpal Amir. "Seolah hanya dengan sejenis obat sakit perut, segala macam penyakit kemiskinan bisa sembuh! Contohnya dengan pertumbuhan ekonomi akan mengatasi kemiskinan, sejak 1978 bukti empiris di Indonesia telah membantahnya sehingga pemerintah Orde Baru mengubah Triliogi Pembangunan dengan memprioritaskan pemerataan! Pembuktian empirik dan akademik kala itu, pertumbuhan ekonomi saja justru mempertajam ketimpangan sosial!"

"Terlihat, derita pekerja migran kita di luar negeri akibat 'banjir bandang' poverty-drain, masalahnya harus diatasi secara komprehensif di akarnya, mengatasi kemiskinan secara kualitatif dan fokus pada diagnosis setiap model kemiskinan!" tegas Umar. "Bukan zamannya lagi, segala penyakit cukup diberi obat sakit perut!" ***



Selanjutnya.....

Mafia Hukum Kira Rakyat Amat Bodoh!


"DARI penanganan kasus mafia hukum dan mafia pajak, lewat sidang pengadilan dan dialog media massa, kuat terkesan mafia hukum berperan di balik penyiapan perkara dengan mengira rakyat amat bodoh tak bisa mencium gelagatnya!" ujar Umar. "Itu lebih gamblang lagi setelah Adnan Buyung menyingkap banyak nama besar di berkas pemeriksaan tak masuk dakwaan, cuma yang kecil-kecil masuk, perusahaan yang diangkat tak ada kaitan dengan uang Gayus yang bermasalah!"

"Anggapan rakyat amat bodoh hingga tak bisa menebak apa yang terjadi di balik itu justru yang membuat mereka—mafia hukum dan yang dengan kekuasaannya mempermainkan hukum—menjadi tak tahu diri, bebal dari aspirasi rakyat!" sambut Amir. "Jika itu tak cepat mereka sadari—terutama tetap bebal bermain kekuasaan atas hukum—tak bisa dijamin mereka tak segera terhanyut bersama kolega dan pejabat setingkatnya yang telah lebih dahulu tenggelam arus mainan sendiri!"

"Memang, dari pengalaman tampak, para pejabat yang tak tahu diri mempermainkan kekuasaannya atas hukum baru sadar setelah tersandung jerat yang dibuatnya sendiri!" tegas Umar. "Sebelum itu terjadi, mereka tak memikirkan perasaan rakyat, apa kata rakyat, betapa pedih penderitaan rakyat! Pokoknya enjoy bermain kekuasaan!"

"Tapi mekanisme takdir pejabat tergelincir jatuh oleh salah tingkahnya sendiri itu tak kunjung dijadikan pelajaran oleh para pejabat—terutama terkait mafia hukum! Ketika datang pejabat baru, yang digantikan justru lagak dan gaya pejabat lama!" timpal Amir. "Gonta-ganti pejabat, kondisi instansi dan pejabatnya begitu-begitu juga!"

"Maka itu, berharap perbaikan dari proses internal instansi seperti itu jelas cuma menggantang asap, kondisi internalnya bisa kian busuk!" tegas Umar. "Satu-satunya harapan adanya gebrakan dari kekuasaan lebih tinggi yang secara formal punya kewenangan memperbaiki kerja dan kinerja instansi itu! Andai, instansi dimaksud kepolisian dan kejaksaan yang bagian dari eksekutif dan bertanggung jawab pada presiden, maka presiden berhak menjitak pejabat dalam instansi tersebut jika tak bekerja dengan baik, karena sukses tugas instansi itu menjadi bagian dari kinerja presiden!"

"Tapi presiden menolak dengan alasan intervensi terhadap justice system!" timpal Amir.

"Justice system itu terkait materi perkara!" tegas Umar. "Kerja dan kinerja strukturnya justru di bawah presiden, karena bertanggung jawab kepada presiden! Kalau kinerjanya buruk, rakyat cuma tahu itu tanggung jawab presiden! Jangan kira rakyat amat bodoh!" ***

Selanjutnya.....

Solidaritas Sosial, Semangat Kurban!


"MASJID Namosain, Kupang, NTT, pada Hari Raya Kurban memotong 12 ekor sapi dan 32 kambing, mereka bagikan kepada panti asuhan dan warga miskin muslim dan nonmuslim yang didata sebelumnya!" ujar Umar. "Menghindari rebutan saat pembagian, seperti acap terjadi di tempat lain yang cenderung memalukan umat, panitia kurban mengantarkan daging kurban ke alamat para penerima!" (Metro TV, 17-11)

"Dibanding di Istiqlal Kamis pagi masih ricuh lagi saat pembagian daging 100 sapi kurban, 12 sapi dan 32 kambing di Kupang tak bisa dikecilkan!" timpal Amir.

"Artinya, contoh baik bisa datang dari arah tak terduga! Contoh baik itu penting bagi tempat yang kesabaran warga miskinnya minim seperti Jakarta dan kota-kota besar lain! Bahkan dari Kupang, selain cara pembagian paling aman, nilai tambah dikembangkan dengan memaknai salah satu dimensi semangat kurban sebagai solidaritas sosial—yang di dalamnya termasuk solidaritas antarumat beragama!"

"Negeri kita memang terlalu lama berkarat dalam pola sentralistik nyaris dalam segala hal sehingga segala sesuatu ukurannya dilihat ke pusat!" tegas Umar. "Seperti dalam pembagian daging kurban, kalau di Istiqlal saja setiap tahun terjadi insiden, ketika di tempat lain terjadi hal serupa dianggap wajar! Akibatnya, setiap Iduladha bangsa ini hanya direpotkan berita kericuhan pembagian daging kurban, hingga makna-makna hakiki yang lebih dalam dan lebih luas dari Hari Raya Kurban malah tak kebagian ruang dan durasi tayang syiarnya!"

"Gejala sentralistis tetap kuat meski desentralisasi diformalkan, terletak pada 'watak penguasa' dari warisan Orde Baru yang hingga kini tak lekang dari kalangan elite pusat secara umum! Dengan itu, mereka merasa paling super, yang datang dari pinggiran senantiasa dipandang rendah!" timpal Amir. "Padahal terbukti, hanya dalam pembagian daging kurban saja kita layak belajar dari Kupang! Juga dalam memaknai semangat kurban dengan solidaritas sosial! Solidaritas, lewat prakteknya di Kupang itu, bisa diartikan dengan sharing—berbagi dalam suka dan duka! Sederhana, mudah diamalkan, tapi sukar dicari contohnya dari politisi nasional yang lebih asyik bersitegang leher demi kepentingan politiknya!"

"Dengan pemaknaan yang sederhana dan mudah diamalkan itu, ikatan solidaritas dalam realitas masyarakat justru bisa lebih kuat!" tegas Umar. "Itu jadi lebih berarti lagi dengan solidaritas yang tergalang baik itu memperkokoh kerukunan antarumat beragama, bagian penting dalam realitas bangsa yang bhinneka tunggal ika!" ***

Selanjutnya.....

Hindari Bancakan Dana Pendidikan!


"ANGGARAN pendidikan RAPBD 2011 Provinsi Lampung Rp180 miliar, hanya 8,3% dari total RAPBD Rp2,162 triliun!" ujar Umar. "Di luar itu, disiapkan Rp45,28 miliar untuk diklat internal 20 satker di luar Dinas Pendidikan yang dikategorikan anggaran pendidikan, dikelola setiap satker!"

"Awam pun tahu itu melanggar konstitusi yang mengamanatkan anggaran pendidikan 20% dari APBN, APBD tingkat I, dan APBD tingkat II," timpal Amir. "Melanggar konstitusi bisa dijadikan dasar memakzulkan presiden! Artinya, pelanggaran itu kesalahan serius! Kalau kesalahan serius itu bisa dilakukan seenaknya di dunia pendidikan pula, tak terbayangkan bakal seperti apa Republik ini!"

"Lalu penggunaan anggaran pendidikan untuk diklat internal satker itu, hukumnya masih coba-coba, karena belum ada uji materi di Mahkamah Konstitusi—MK!" tegas Umar.

"Dengan putusan MK gaji guru masuk anggaran pendidikan yang 20% saja, di daerah tingkat II yang APBD-nya kecil dengan jumlah guru banyak, gaji guru hampir 20% dari APBD! Akibatnya, dengan 20% anggaran pendidikan dipenuhi pun, nilainya tak signifikan buat perbaikan sarana-prasarana pendidikan!"

"Karena relatif terbatasnya APBD tingkat II untuk perbaikan sarana-prasarana pendidikan, andalan untuk itu dari APBD tingkat I yang tidak terpakai cukup besar buat gaji guru!" timpal Amir. "Tapi kalau alokasinya jauh di bawah amanat konstitusi, diakal-akali dengan dana diklat internal satker sebagai anggaran pendidikan pula, tak heran perbaikan sarana-prasarana pendidikan di daerah ini jauh dari memadai—berita gedung sekolah ambruk sering terjadi!"

"Soal diklat untuk aparatur itu kita tidak antipati!" tegas Umar. "Tapi itu untuk diklat yang benar-benar buat peningkatan mutu personalia dan pelayanan publik! Tapi, karena Pemprov sudah punya lembaga diklat tersendiri, yang menangani diklat semua satker dengan program terlembaga, program diklat satker berbiaya lebih Rp2 miliar per tahun per satker itu jelas layak dikritisi standar akreditasi program dan pengajarnya! Ini untuk menghindari kesan, diklat yang dikelola satker itu cuma selubung buat bancakan dana pendidikan!"

"Training atau diklat itu spesialisasi canggih, tak begitu saja bisa dilakukan secara standar setiap satker saat kualitas pelaksanaan tugas pokoknya saja masih dikeluhkan customer—rakyat!" tegas Umar. "Di Eropa saja, yang kualitas pelaksanaan tugas birokrasinya sudah tinggi, training aparatur ditangani OECD dan Sigma! Maka itu, apa motivasi di balik pengalihan anggaran pendidikan ke diklat internal satker itu tak sukar ditebak!" ***


Selanjutnya.....

Relevansi Kurban dan Kepahlawanan!


"HARI Raya Kurban—Iduladha—kali ini beriringan dengan Hari Pahlawan!" ujar Umar.

"Bagaimana relevansinya?"

"Bukan cuma relevan pada Hari Pahlawan, ibadah kurban itu relevan dengan kehidupan sehari-hari kita sepanjang masa! Yakni, keikhlasannya yang benar-benar Lillahi ta’ala dalam berkurban juga harus dijadikan dasar yang sama kualitasnya buat setiap amal dan ibadah kita!" jawab Amir. "Jadi, dengan relevansi kurban yang sedemikian luas, dimensinya dalam semangat kepahlawanan layak ditarik! Dalam hal ini, keikhlasan yang Lillahi ta'ala mengorbankan kepentingan diri sendiri demi lebih mengutamakan kepentingan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan!"

"Itu semangat kepahlawanan yang mengaktual pada relawan di arena bencana, seperti Merapi dan Mentawai!" timpal Amir. "Sedang untuk semangat kepahlawanan pejuang kemerdekaan yang telah membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan, selama ini lazim diangkat dasarnya Sunah Rasul: hubbul wathon minal iman—cinta Tanah Air sebagian dari iman!"

"Iman itu kata kuncinya!" tegas Umar. "Terutama dalam mengaktualkan semangat kurban dan kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari, iman sebagai standar kualitasnya! Jika iman konsisten, kualitas keikhlasan Lillahi ta'ala-nya tinggi! Sebaliknya yang imannya tak konsisten, hanya seolah-olah atau berpura-pura ikhlas beramal, padahal pamrihnya sundul ubun-ubun!"

"Tapi semua itu kan cuma Tuhan Yang Mahatahu!" potong Amir. "Masyarakat cuma bisa menilai apa yang dilakukan, bukan motivasinya!"

"Memang!" timpal Umar. "Dan hal terpenting, kita tak boleh berburuk sangka! Lebih baik setiap kita menjaga konsistensi iman dan kualitas amal ibadah dalam mengaktualkan semangat kurban dan kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari!"

"Ujian untuk konsistensi iman itu tidak ringan!" tegas Amir. "Contoh hipotetisnya, seorang pejabat harus menjalankan kepentingan atasan dengan menyimpang dari ketentuan! Jika dilaksanakan, selain ia bisa tetap duduk pada jabatan tersebut, ia juga dapat bagian dari hasil penyimpangan! Sebaliknya jika imannya konsisten!"

"Pernah terjadi dalam posisi seperti itu seorang pejabat memilih konsistensi imannya, mundur diri dari jabatannya!" timpal Umar. "Mungkin itu satu dari seribu, tapi bersyukurlah kita, masih ada orang seperti itu! Artinya, semangat kurban dan kepahlawanan yang berakar pada konsistensi iman masih ada sehingga tak bisa diklaim mutlak tinggal kepura-puraan belaka!" ***

Selanjutnya.....

Bos Terima Bersih, Stelsel Korupsi Model Lampung!


"BEDA dengan daerah lain banyak kepala daerah selaku penguasa utama otonomi daerah masuk penjara kena kasus korupsi, di Lampung itu suatu kemustahilan!" ujar Umar. "Bisa begitu karena di Lampung sudah jadi tradisi, stelsel birokrasi berjalan dengan prinsip 'bos terima bersih'! Dengan prinsip itu, jika terjadi kasus korupsi yang terlibat terbatas pada stelsel pelaksana baik di Pemda maupun perusahaan mitra proyek!"

"Tapi kenapa pernah ada bupati dibui karena kasus korupsi?" potong Amir.

"Mungkin karena dia melanggar tabu prinsip 'bos terima bersih'

ikut cawe-cawe!" tegas Umar. "Atau terseret kesalahan yang terjadi di pihak mitra, seperti bank bangkrut, hingga menjurus ke pemegang otoritas penempatan uang pemda otoritas mana tak dimiliki bawahan! Itu pun, bisa kena jika ada penyimpangan prosedur penempatan uang dan penggunaannya!"

"Dengan prinsip itu berarti pejabat pelaksana wajib membersihkan segala kaitan proses dengan bos, terutama secara administratif?" timpal Amir.


"Itu hanya salah satu dimensinya" tegas Umar. "Secara komprehensif prinsip 'bos terima bersih' meliputi dimensi formal dan nonformal, terkait 'disiplin' bawahan dan bos sendiri untuk menjaga tradisi dengan tidak melanggar tabu-tabunya, hingga ketika seorang pejabat pelaksana terjerat kasus korupsi tak satu pun kaitan atau jejak yang secara hukum bisa melibatkan bos! Itu terlihat pada kasus-kasus korupsi di Lampung selama ini!"

"Kalau begitu bisa disebut, kecuali yang terjadi di luar stelsel tradisi birokrasi tersebut, secara de jure bukan saja tak ada kepala daerah di Lampung (bisa) terlibat korupsi, bahkan mustahil terlibat korupsi!" timpal Amir. "Itu karena stelsel birokrasi yang telah mentradisi berorientasi mensterilkan posisi kepala daerah dari kaitan kasus korupsi, dengan membatasinya�andai terjadi kecelakaan�hanya pada tingkat pejabat pelaksana!"

"Kira-kira begitu!" tukas Umar. "Konsekuensinya, tak mudah mencari pejabat pelaksana yang sesuai disiplin akademik dan bidang tugasnya terkait tingkat strategis pos anggaran di dinasnya�agar tak terjadi kecelakaan! Ini salah satu motif banyak pejabat bertugas di bidang yang tak sesuai disiplin akademiknya, juga rolling pejabat yang kerap dilakukan, untuk mencari siapa paling aman di pos anggaran dinas paling strategis!"

"Tak ayal, jika tradisi stelsel birokrasi di tingkat pejabat pelaksana berjalan baik, terhindar dari terjadinya kecelakaan, kasus korupsi takkan mencuat!" timpal Amir. "Artinya, seorang pejabat kena kasus korupsi cuma karena sedang sial, terjadi kecelakaan!"


Selanjutnya.....

4 Prioritas Kajati Menindak Korupsi!


"KAJATI—kepala Kejaksaan Tinggi—Lampung Arminsyah menetapkan empat prioritas dalam menindak kasus korupsi: pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan infrastruktur!" ujar Umar. "Infrastruktur masuk prioritas atas saran Wakil Gubernur Joko Umar Said berdasar kenyataan, kerusakan jalan menonjol mencerminkan kualitas pekerjaan pemeliharaan selalu di bawah standar!"

"Pendidikan 'disakralkan' Arminsyah untuk selalu bersih dari korupsi karena tempat menempa generasi muda itu menentukan kualitas moral bangsa di masa depan!" sambut Amir. "Ia beri contoh seorang ibu membawa anaknya meminta kepala sekolah menerima anaknya itu dengan menyuap! Sejak kecil anak diajari mencapai tujuan dengan cara kotor! Ke depan bisa ditebak bakal seperti apa moralitas anak tersebut!"

"Sebagai tempat menggodok generas muda, jika dunia pendidikan kotor dan korup, out put-nya yang paling mungkin hanyalah generasi yang kotor dan korup!" tegas Umar.

"Untuk itu, bisa dipahami kenapa dunia pendidikan harus 'disakralkan', tidak dikotori oleh korupsi!"

"Di bidang kesehatan tempat menolong orang menderita sakit, korupsi bisa mereduksi kualitas pertolongan menjadi tak maksimal, secara fisik dan mental menambah beban derita pasien!" timpal Amir. "Prioritas menindak korupsi bidang kesehatan jadi bagian dari usaha meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada rakyat!"

"Lalu prioritas menindak korupsi dalam pelayanan publik, dengan pelayanan publik di Lampung dari survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terburuk kedua nasional, menuntut usaha lebih serius!" tegas Umar. "Di pelayanan publik Arminsyah gambarkan korupsi berlangsung sejak lahir sampai mati! Dari mengurus akta lahir sampai tempat makam di kuburan (di kota besar) orang dibuat terkait dengan tindak koruptif!"

"Untuk prioritas itu, Arminsyah perlu dukungan internal dan eksternal!" timpal Amir.

"Di internal, menekan jajarannya bekerja serius dan tak macam-macam, ia bentuk gugus andalan provos, mengawasi personalia jaksa dan semua aspek kasus yang ditangani! Dengan itu, belum sebulan ia bertugas di Lampung telah meningkatkan 13 kasus ke penyidikan!"

"Untuk dukungan eksternal, ia siapkan bank data untuk wartawan mengikuti proses yang ditangani bukan hanya kasus korupsi, melainkan juga kasus-kasus lain!" tambah Umar.

"Buat publik masih disiapkan website untuk warga bisa mengakses kegiatan kejaksaan
dan perkembangan kasus! Dengan itu, para koruptor di Lampung bisa jadi cuma soal waktu saja untuk mendapat giliran!" ***


Selanjutnya.....

Gayus, Bisa Masuk Kelas ‘Mastermind’!


"FENOMENA Gayus H.P. Tambunan, pegawai Ditjen Pajak golongan III/a yang bermain mafia terkait pajak triliunan rupiah, 'mengatur' mafia hukum di level Bareskrim Polri, kejaksaan, dan pengadilan hingga dirinya divonis bebas, terakhir taklukkan petugas rutan andalan Polri, menunjukkan tindak kriminalnya bisa masuk kelas mastermind!" ujar Umar. "Mastermind itu serial televisi di Fox Crime bulan lalu, pilihan kisah nyata penjahat berotak cemerlang dari seantero dunia! Salah satunya dari Indonesia, kasus tambang emas palsu Busang, Kalimantan, mastermind Michael de Guzman pada 1996 meraup 6 miliar dolar Kanada (4,4 miliar dolar AS) dari bursa saham Toronto, Kanada!"

"Dibanding geolog asal Filipina De Guzman dan perusahaan Bre-X menipu data lapangan emas di Busang jadi skandal bursa terbesar sepanjang sejarah, dari hasil dan level kejahatan Gayus tak ada apa-apanya!" sambut Amir. "Tapi dilihat dari posisinya hanya pegawai rendahan, bekerja belum lama, sedang yang ia olah pajak konglomerat bernilai triliunan, menaklukkan kepolisian di pucuk paling angker, Bareskrim, lalu petugas rutan andalan Polri, tak berlebihan memasukkan Gayus Tambunan dalam kelas mastermind!"

"Dari kiprahnya di mafia pajak dan mafia hukum, tampak Gayus cerdas membaca kelemahan peraturan dan kelemahan mental para pejabat untuk mencari celah berselancar hingga mulus ia lakukan!" tegas Umar. "Kalau saja Komjen Pol. Susno Duadji tidak dijepit kolega hingga meniup peluit mengungkap kasusnya, Gayus yang sudah divonis bebas mungkin tak terjerat lagi!"

"Tantangan besar bangsa ini ditunjukkan Gayus, betapa banyak celah kelemahan dalam peraturan perundangan, berpadu lemahnya mentalitas pejabat di birokrasi pemerintah (pajak) dan penegak hukum hingga mudah dia dikte!" timpal Amir. "Tanpa adanya usaha penambalan celah-celah itu secara signifikan, bahkan Gayus masih memainkan itu di sidang pengadilan—menuding tokoh-tokoh besar terkait kasusnya tapi tak ikut diadili—tak ayal semua bentuk kelemahan itu masih berjalan dan dieksploitasi!"

"Bagi mastermind Gayus, dengan celah kelemahan itu bukan mustahil ia akan bisa lolos lagi!" tegas Umar. "Seperti mastermind Michael de Guzman, saat ditangkap aparat hukum di tengah hutan Kalimantan ia loncat bunuh diri dari heli yang membawanya! Namun, situs thecanadianencyclopedia.com menulis, Bre-X geologist Mike de Guzman rumoured to be alive—Guzman masih hidup! Sebab, saat ia meloncat dari heli bukan terjun bebas, tapi diberi parasut oleh aparat hukum!" ***

Selanjutnya.....

Gayus Tambunan Bikin Heboh Lagi!


"GAYUS H.P. Tambunan, tersangka kasus korupsi terkait mafia pajak, bikin heboh lagi!" ujar Umar. "Ia keluar rumah tahanan selama tiga hari tanpa izin pengadilan! Pada periode sama, ada penonton tenis turnamen Commonwealth Bank di Hotel Westin Bali mirip Gayus pakai wig dan kaca mata! Foto itu beredar di media massa!"

"Entah bagaimana Gayus mengatur hingga bisa melenggang keluar rumah tahanan, tampak pelajaran sepahit apa pun tak membuat aparat jera!" sambut Amir. "Seberapa besar sih Gayus memberi uang, pasti jauh sebanding dari risiko yang harus dipikul dalam kedinasan dan lebih buruk lagi, pukulan mental yang harus dialami keluarga di rumah! Belum lagi ekses mencemari nama lembaga tampatnya mengabdi!"

"Gawatnya, Gayus mengakui ada keluar rumah tahanan tiga hari untuk berobat tanpa izin dari pengadilan! Jadi, pokok masalahnya benar!" tegas Umar. "Sedang kaitan dengan foto mirip dirinya, Gayus membantah dia ke Bali! Namun, justru ini ditangani Satgas Antimafia Hukum Kepresidenan dengan membentuk tim investigasi! Soalnya, dengan alasan untuk menonton turnamen tenis yang sama, konglomerat Aburizal Bakrie juga ada di Bali—juru bicara keluarga Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, menegaskan kehadiran Aburizal itu tak ada kaitan dengan Gayus!" (Kompas, [11-11])

"Untuk semua itu, Gayus tak bisa dilihat sebagai orang lugu! Hingga, layak disimak ada apa di balik tindakan Gayus membuat heboh itu!" timpal Amir. "Gelagatnya, terakhir ini Gayus membuat sidang pengadilan sebagai pentas untuk menjadikan dirinya primadona yang disayangi penonton lewat tudingan makin luas atas jaringan tokoh yang terlibat kasusnya—termasuk kaitannya dengan aliran dana Bakrie Group!"

"Tingkah Gayus terakhir tak lepas dari usahanya di sidang pengadilan untuk melawan proses yang cenderung membonsai kasusnya, yang diadili cuma yang kecil-kecil!" tegas Umar. "Itu sejalan pernyataan penasihat hukumnya, Adnan Buyung Nasution, persidangan Gayus ternyata tak membongkar seluruh jaringan mafia pajak dan mafia hukum! Padahal ini masalah besar, tetapi yang disidang, kecil-kecil! Kasusnya seperti dibonsai!" (Politik Indonesia, [11-10])

"Untuk itu memang harus ada yang menindaklanjuti fakta-fakta baru dari persidangan yang diungkap Gayus, untuk diselidiki dan disidik dalam kasus mafia pajak dan mafia hukum!" timpal Amir. "Tim investigasi yang dibentuk Satgas Antimafia Hukum untuk kasus Gayus terakhir, bisa menjadi pintu masuk membersihkan mafia hukum dalam skala luas dan komprehensif!" ***

Selanjutnya.....

Empat Relawan Tagana, Pahlawan Kemanusiaan!


"EMPAT relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang gugur terjebak erupsi terbesar Merapi akhir pekan lalu akibat lebih mengutamakan jiwa orang lain dari jiwanya sendiri, layak disebut pahlawan kemanusiaan!" ujar Umar. "Keempat relawan itu Ariatno, Samiyo, Supriyadi, dan Supriyanto, gugur di Dusun Glagaharjo, Umbulharjo, Cangkringan, 10 km dari Merapi saat mengevakuasi warga!"

"Kita doakan pengorbanan mereka diterima di sisi-Nya sebagai syuhada—pahlawan!" sambut Amir. "Kita ucapkan turut berdukacita pada keluarga besar Tagana di seantero negeri, semoga diberi ketabahan atas musibah ini! Selanjutnya menarik pelajaran dari peristiwa itu, karena negeri kita rawan bencana, peran Tagana ke depan relevan!"

"Pelajaran terpenting, gugur itu sudah takdir! Tapi banyak pahlawan menerima tanda jasa semasih hidup—
living hero!" tegas Umar. "Untuk itu, tanpa mengurangi arti pengorbanan relawan yang gugur, para relawan Tagana yang bisa kapan saja bertugas operasi kemanusiaan agar lebih banyak melatih diri meningkatkan kesiapan fisik, mental, teknis, dan disiplin kerja sama tim! Kualitas terbaik relawan bencana pada kemampuannya dengan perhitungan matang menyelamatkan korban dan dirinya dari bencana!"

"Hal itu berlaku bagi semua kelompok relawan kemanusiaan! Semua kualifikasi fisik, mental, dan teknis harus dipenuhi agar selain pelaksanaan tugasnya efektif, juga tidak cuma menambah jumlah korban!" timpal Amir. "Pentingnya hal itu karena dalam bantuan kemanusiaan, keselamatan jiwa korban yang ditolong justru tergantung pada keselamatan jiwa relawan penolongnya! Dasar semangat kepahlawanan dan penghargaannya berorientasi pada living hero—pahlawan hidup!"

"Berdasar prinsip itu, dengan tulus kita daulat sebagai pahlawan kemanusiaan semua mereka yang pada hari-hari terakhir ini tak kenal lelah di kawasan bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi menolong korban bencana!" tegas Umar. "Mereka itu anggota TNI, Polri, dan relawan dari berbagai LSM dan organisasi masyarakat! Mereka kita daulat sebagai living humanity hero—pahlawan kemanusiaan yang hidup!"

"Dengan tetap memberi rasa hormat yang tinggi pada para pahlawan yang telah gugur, hormat dan salut kita kepada para pahlawan hidup justru bisa menjadi teladan bagi generasi muda guna berjiwa mulia dengan semangat pahlawan!" timpal Amir. "Jika bisa menjadi pahlawan dengan tetap hidup, pengembangan jiwa kepahlawanan pada generasi muda bisa lebih efektif! Mau jadi pahlawan, siapa takut?"

Selanjutnya.....

Obama Tiba, Eling dan Waspada! (2)


"OBAMA berhasil mengatasi krisis ekonomi negerinya yang memuncak saat ia terpilih, kini mulai tumbuh!" ujar Umar. "Namun, dampak krisisnya terlalu dalam, pengangguran nyaris dua digit, pemulihan terasa lamban! Ini membuat Partai Demokrat kalah dalam Pemilu DPR pekan lalu!"

"Apa artinya itu bagi kunjungan Obama?" sela Amir.

"Obama harus kompromis pada kapitalis besar negerinya yang bercokol di balik Partai Republik! Itu hal penting untuk eling dan waspada menerima Obama!" tegas Umar.

"Meski jumlah perusahaan raksasa AS di Indonesia tak lebih dari bilangan jari, eksplorasinya mendominasi kekayaan alam negeri kita dengan bagi hasil tak adil, tapi mereka nilai kurang besar juga!"

"Seperti kasus Blok Natuna D-Alpha, lokasi deposit gas terbesar dunia, bagi hasilnya nol persen buat Indonesia!" timpal Amir. "Meski kontrak ExxonMobil di Blok itu habis akhir 2005 dan telah dialihkan ke Pertamina dengan kebebasan cari mitra baru, usaha ExxonMobil untuk tetap eksis di Blok itu membuat Pertamina hingga kini belum menetapkan mitra baru!"

"Maka harus eling dan waspada, karena sektor energi dan sumber daya mineral masuk agenda utama kunjungan Obama!" tukas Umar. "Siapa tahu, solusi Blok Natuna dijadikan oleh-oleh terindah buat Obama!"

"Eling dan waspada juga perlu atas eksploitasi terhadap realitas Indonesia berpenduduk muslim terbesar dunia!" timpal Amir. "Obama diprediksi gagal janji mulai menarik pasukan AS dari Irak dan Afghanistan dua tahun sejak ia dilantik—tenggatnya tersisa 50 hari! AS justru menambah pasukan baru di Afghanistan! Untuk itu, Indonesia paling ampuh jika dijadikan kurir AS untuk membuat dunia Islam memahami kesulitan AS angkat kaki dari area ekspansi militernya! Artinya, jangan bangga jika Obama mendaulat Indonesia sebagai 'juru bicaranya' ke dunia Islam karena posisi Indonesia jadi dilematis—menjustifikasi hal yang merugikan dunia Islam!"

"Gelagat ke arah itu, sejak tak pernah tegas dan seriusnya sikap pemerintah Indonesia memprotes ekspansi AS ke Afghanistan dan Irak, mereduksi posisi ideal Indonesia di dunia Islam!" tegas Umar. "Posisi seharusnya, Indonesia tampil elegan sebagai juru bicara dunia Islam terhadap (dalam arti againts to) AS dan sekutunya! Sayang, posisi itu diambil Iran (ekstrem) dan Mesir (moderat)—sedang Indonesia ambivalen—fisik di dunia Islam, bayangannya di barisan AS—demi kepentingan nasional yang berorientasi neolib global!"

"Kunjungan Obama bisa memperkuat ambivalensi politik dunia Islam Indonesia!" timpal Amir. "Ambivalen, kanan-kiri oke akibat jatuh ke lain hati!" *** (Habis)


Selanjutnya.....

Obama Tiba, Eling dan Waspada! (1)


"UNTUK kunjungan Presiden AS Barack Obama yang tiba hari ini di Jakarta, Indonesianis negerinya R. William Liddle mengingatkan lewat kolomnya (Kompas, 3-11) agar pemerintah dan masyarakat Indonesia eling dan waspada!" ujar Umar. "Itu dia tekankan karena Amerika, termasuk presidennya, gampang terdestruksi!"

"Kalau maksudnya sering tak konsisten akibat kuatnya dinamika tarik-menarik kepentingan politik dalam negerinya, kita maklum!" sambut Amir. "Apalagi kunjungan ini dilakukan ketika Partai Demokrat pendukung Obama baru kalah pemilu DPR 183 lawan 239 kursi untuk keunggulan Partai Republik! Jangankan komitmen di luar, komitmen di dalam negerinya juga di ambang terdekstruksi!"

"Liddle memang meminta agar realistis, jangan berharap terlalu muluk!" tegas Umar.

"Sekadar romantisme Obama itu Presiden AS yang masa kecil pernah tinggal di Indonesia, bolehlah! Tapi perhatian pribadi dengan perhatian seorang presiden, bisa jauh berbeda! Terutama dikaitkan dengan kapasitas Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi dunia di mata AS, yang belum masuk kelompok prioritas! Meski Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar dunia, saat pertama harus bicara pada dunia Islam Obama memilih dari Mesir! Saat mencari mitra yang bisa membantu mengatasi kebangkrutan ekonomi negerinya saat ia terpilih menjadi presiden, pilihan kunjungan pertama Obama ke Asia Timur justru China, yang punya mata uang dolar berlimpah ketika AS butuh itu untuk bailout! Untuk tujuan itu, Indonesia tak masuk itungan pun!"

"Ketika AS sendiri masih nrethek mencari bantuan dari luar untuk pemulihan ekonomi domestiknya, berharap bantuan ekonomi yang signifikan dari negeri itu jelas anomalik!" timpal Amir. "Untuk itu, hasil kunjungan Obama bagi ekonomi Indonesia mudah diprediksi akan terbatas pada penajaman dalam program-progran yang sudah ada! Tambah dikit-dikit-lah, ketimbang kagak!"

"Di sisi kita, ge-er kunjungan Obama akan bisa meningkatkan grade diplomasi Indonesia di mata dunia, yang kini belum masuk kelompok penentu, cuma menggantang asap!" tegas Umar. "Karena grade diplomasi lebih ditentukan kapasitas SDM dalam kiprahnya di pentas politik dunia, padahal kini periode kelangkaan terburuk dalam pemilikan barisan diplomat ulung! Lebih sedih lagi, kita cuma masuk barisan pucuk eru—ikut arah angin!"

"Dengan demikian kita harus eling dan waspada dalam menyambut Obama bukan semata karena presiden dan Pemerintah AS mudah terdestruksi!" timpal Amir. "Tapi lebih lagi karena menyadari, kita terbelit kelemahan dalam berbagai hal!"

Selanjutnya.....

Menyesuaikan Diri di Lokasi Bencana!

"MAHASISWA muslim di Gifu University, Jepang, membangun masjid swadaya dekat kampusnya! Pemerintah lokal (Perfecture) bukan menyodorkan SKB menteri syarat membangun rumah ibadah, tapi syarat untuk mendirikan bangunan publik!" ujar Umar. "Itu, berupa anyaman tulang beton fondasi dan pilar dengan besi sebesar jempol kaki yang sangat padat, standar tahan gempa 10 SR!"

"Sadar bencana warga Jepang tersistem secara implementatif dalam masyarakat! Menyesuaikan diri hidup di lokasi bencana, Jepang rawan gempa seperti Indonesia!" sambut Amir. "Selain fondasi dan rangka kokoh, ada yang membangun rumah dengan gliding—

rumahnya bergerak saat gempa tapi tidak rusak! Sekat antarruang dalam rumah berbahan amat ringan, kertas! Jika gempa tak membahayakan penghuninya!"

"Orang Jepang memang tinggi sadar bencananya, tsunami dan minamata—pencemaran lingkungan mematikan—istilah formal yang dipakai dunia, dari bahasa Jepang!" timpal
Umar. "Sebaliknya kita, prioritasnya membuat UU penanggulangan bencana, isinya justru prosedur birokratis yang bisa memperlambat proses bantuan! Sedang penyesuaian diri hidup di lokasi bencana—di batas tiga lempeng bumi yang saling mendesak 7 cm per tahun dan dalam cincin gunung api—dalam tahap wacana saja pun belum komprehensif!"

"Bahkan sadar bencana elite bangsa kita buruk!" tegas Amir. "Selain anggota DPR, juga Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Boyolali meninggalkan rakyatnya dirajam bencana tsunami Mentawai dan letusan Merapi yang terdahsyat 100 tahun terakhir—melewati batas daya rekam seismograf!"

"Untuk membangun kesadaran menyesuaikan diri hidup di lokasi bencana, berarti kita harus mulai dari wacana belum komprehensif!" timpal Umar. "Wacana itu muncul di Lampung pascagempa Liwa 1994! Tapi dengan elite nasional sedemikian, wacana itu tak berkembang! Tak salah wacana itu digulirkan lagi dari Lampung! Kalangan intelektual Unila bersama Anshori Djausal (mantan presiden International Ferrocement Society—

IFS) sebagai inventor bahan bangunan antisipasi gempa, mungkin bisa mendesain komprehensif rancangan menyesuaikan diri di lokasi bencana, dari mindset sadar bencana sampai implementasinya!"

"Usaha itu punya momentum, kebetulan staf ahli presiden bidang bencana alam anak Lampung, Andi Arief!" tegas Amir. "Dari penyiapan desain, kampanye ke elite nasional dan akar rumput, sampai dorongan implementasinya, bisa diproses lewat semangat demimu Lampungku, untukmu Indonesiaku! Kenapa tidak?" ***






Selanjutnya.....

Letusan Merapi 'Still Going Strong'!

"LETUSAN Merapi eskalatif—terus membesar lebih dahsyat!" ujar Umar. "Dari mana energi baru itu diperoleh Merapi setelah lebih 10 hari puluhan juta meter kubik isi perutnya dia muntahkan?"

"Magma setiap gunung api tersimpan dalam kantong antarlapisan bumi, meski saling terpisah berjajar jadi cincin api di Indonesia!" jawab Amir. "Panas dalam kantong itu ribuan derajat Celsius, materi di dinding luluh jadi materi baru dalam kantong! Proses itu mengepulkan asap lewat kepundan! Logikanya, usai pembuangan material dari kantongnya perlu waktu lagi untuk membuat materi baru! Tapi Merapi unik, kian banyak materinya dibuang justru tambah eskalatif! Ini yang membuat ahli gunung api menahan diri dari berprediksi apa yang terjadi berikutnya!"

"Apa tak mungkin gas inti bumi—yang membawa bumi melayang di orbit—merembes dari
celah lapisan bumi ke kantong magma Merapi?" kejar Umar.

"Bisa saja, asal magma dalam kantong-kantong lapisan bumi juga dari sana!" jawab Amir. "Sebagian magma dalam kantong-kantong lapisan bumi itu belum dapat saluran keluar jadi gunung api! Sehingga, bisa akibat gegar letusan Merapi atau gempa lain membuka saluran kantong magma lain tembus ke kantong Merapi! Kantong lain ini yang mendukung eskalasi Merapi dengan energi baru!"

"Tapi bagaimana kalau energi baru Merapi datang dari rembesan inti bumi?" tanya Umar.

"Kenapa itu terus yang kau kejar?" balik Amir.

"Karena jika itu terjadi, letusan Merapi yang still going strong bisa mengangkat derajatnya menjadi super-volcano!" tegas Umar. "Siapa bisa memastikan bukan itu yang terjadi?"

"Pelajaran buat apa lagi bagi bangsa ini dengan bencana lebih dahsyat?" tanya Amir.

"Tiada sesuatu pun terjadi tanpa izin-Nya!" tegas Umar. "Pelajaran awal Merapi disambut dengan kesombongan pemimpin kita! Karena lewat APBN Depsos bisa membantu pengungsi Rp3.500/orang/hari, bantuan asing untuk bencana Merapi ditolak! Padahal, aspek kemanusiaan bencana itu menarik simpati dan empati umat sejagat! Ditimpa kemalangan melarang pelayat datang!"

"Sombong dengan Rp3.500/orang/hari, bencana pun eskalatif!" timpal Amir. "Kekeliruan itu sudah dikoreksi, pemimpin nasional mengambil-alih krisis Merapi, Jumat! All out! Presiden bertugas di Yogya, soal dana berapa pun tak masalah lagi—sapi rakyat di area maut dibeli pemerintah Rp10 juta per ekor setelah paginya 69 orang tewas dan 71 luka serius akibat nekat cari pakan sapinya!"

"Begitu?" sambut Umar. "Mari tundukkan hati mohon ampun atas kesombongan dan kesalahan pada Sang Khalik, agar bangsa kita dijauhkan dari segala bencana!"










Selanjutnya.....

Pelayanan Publik, Tujuan Reformasi!


"KENAPA pelayanan publik terasa familiar tapi prakteknya jauh panggang dari api?" tukas Umar.

"Karena pelayanan publik itu tujuan reformasi, dalam arti reformasi birokrasi sebagai proses mengubah pola pikir (mindset) dan orientasi sikap-tindak semua aparatur lembaga negara dan pemerintah untuk menjadikan mereka sebagai pelayan rakyat!" timpal Amir. "Reformasi yang telah berjalan sejauh ini baru sebatas gedombrengan 'musiknya', sedang tarian dan nyanyian para artisnya acak-kadut, jauh dari idealnya! Apalagi penghayatan tarian dan nyanyiannya!"

"Apa tujuan reformasi bukan kesejahteraan rakyat?" kejar Umar.

"Kesejahteraan rakyat itu tujuan pelayanan publik! Jadi, kalau pelayanan publiknya baik, pencapaiannya lebih mulus!" jawab Amir. "Untuk itu, reformasi memformasi ulang mindset dan orientasi semua kelembagaan dan aparaturnya, dari realitas yang bertentangan dengan fungsi dan perannya! Gejalanya, jangankan melayani rakyat agar cepat mencapai kesejahteraan, justru lembaga dan aparaturnya merongrong distribusi kesejahteraan, seperti gurita pula, mengisap nilai tambah produksi rakyat dengan tingkat korupsi tinggi! Dari situ muncul ungkapan, jika pemerintah tidur justru rakyat bisa lebih makmur!"

"Itu berarti, reformasi birokrasi menjadi kunci proses reformasi di semua bidang!" timpal Umar. "Tapi, meski reformasi telah berjalan sejauh ini, grand design reformasi birokrasi baru disusun untuk dijadikan Peraturan Presiden dengan tahapan program selesai tahun 2025! (Kompas, 4-11) Artinya, reformasi yang selama ini dilihat dari peran negara menyejahterakan rakyatnya lewat pelayanan publik, sebenarnya belum melangkah ke mana pun!"

"Karena reformasi birokrasi untuk menciptakan pelayanan publik yang ideal, langkahnya yang efektif memang belum dimulai!" tegas Amir. "Hiruk-pikuk yang heboh selama ini cuma retorikanya! Jadi, dengan grand design reformasi birokrasi yang bertujuan akhir menciptakan pelayanan publik ideal itu bisa disebut, program reformasi saat ini dalam transisi dari tahap retorika menuju aksi!"

"Langkah awal implementasi grand design reformasi birokrasi bersasaran akhir pelayanan publik itu diisyaratkan Wakil Presiden Boediono (Kompas, idem) setelah KPK merilis indeks integritas pelayanan publik yang secara nasional rendah, dengan menyatakan pemerintah akan menentukan indikator yang seharusnya dicapai pada setiap periode waktu!" timpal Umar. "Dari situ tampak, sebagai tujuan reformasi, pelayanan publik itu masih jauh, bahkan jauh sekali!" ***

Selanjutnya.....

Pelayanan Publik, Budaya Mutakhir!


"PELAYANAN publik sebagai tugas aparat negara/pemerintah melayani rakyat, diakui merupakan hal baru bagi kita yang berlatar sejarah kerajaan feodal dan penjajah, di mana bukan aparat yang melayani rakyat tapi rakyat yang wajib melayani para tuan di pemerintahan!" ujar Umar. "Karena itu, kalau pelaksanaan pelayanan publik di daerah kita kurang memadai, diharap maklum saja!"

"Tapi excuse begitu tak mendidik! Apalagi dalam ngelelet tak memperbaiki pelayanan publik itu demi memanfaatkan kelemahan yang ada untuk keuntungan pribadi pengelolanya!" timpal Amir. "Tak mendidik, karena pelayanan publik budaya mutakhir yang negara-negara maju saja tak henti melatih pegawainya agar tak tertinggal zaman! Negara-negara Eropa misal, meski telah memiliki standar nilai pelayanan publik tinggi—
integrity, accountability, fairness, equity—tetap kerja sama dengan OECD untuk melakukan training teratur dikelola konsultan strategi manajemen terkemuka dunia, Sigma!" (www.oecd.org/puma/sigmaweb)

"Sudah mencapai standar nilai tinggi buat apa repot training terus?" kejar Umar.

"Dalam prakata Sigma untuk laporan program itu dinyatakan, 'Large international enterprises spend a significant share of their budgets on staff training. Training in the public sector should be just as important as training in the private sector. If not, the public sector may be unable to carry out its tasks efficiently and effectively, thus hindering it from properly serving the citizens and the economy," jawab Amir. "Artinya, 'Perusahaan-perusahaan raksasa dunia membelanjakan suatu jumlah penting anggaran mereka untuk training staf. Training di sektor publik haruslah sepenting training di sektor swasta. Jika tidak, sektor publik mungkin tak mampu menangani tugas-tugasnya secara efisien dan efektif, hingga membuatnya tak bisa melayani dengan sempurna warga negara dan ekonomi."

"Huahaha..! Kita sudah kena, ditelan mentah oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia itu!" Umar terbahak. "Akibat para pejabat kita yang melayani tak terlatih sebanding dengan mereka, dalam bagi hasil kita yang punya gunung emas cuma dapat di bawah 10%, sedang mereka yang tinggal mengeruk dapat lebih 90%!"

"Itu contoh telak pelayanan publik adalah budaya mutakhir!" tegas Amir. "Tertinggal dari lajunya bukan saja rakyat jadi korban ketidakefisienan dan ketidakefektifan pelayanan publik, malah negara-bangsa dirugikan cuma jadi penonton perusahaan-perusahaan raksasa dunia pesta pora dengan kekayaan alam negeri kita!"

Selanjutnya.....

Orientasi Status, Hambatan Kultur Pelayanan Publik!


"BURUKNYA pelayanan publik tak lepas dari faktor kultur aktornya, budaya dominan dan sub-budaya lingkungan kerja—birokrasi pemerintah daerah!" ujar Umar. "Kesadaran dasar aktor berperan jadi pelayan publik belum terbentuk, budaya dominan telah mematangkan orientasinya jadi PNS sebagai tongkrongan status sosial kelas priayi amtenar!"

"Masuk ke subkultur birokrasi pemerintahan yang telanjur keruh oleh budaya koruptif pula! Klop, sang aktor bukan jenis 'makhluk' ideal bagi peran pelayan!" timpal Amir. "Dari ketiga dimensi itulah harus bertolak—aktor, budaya dominan, dan sub-budaya birokrasi pemerintahan daerah—jika ingin memperbaiki pelayanan publik di Provinsi Lampung, setelah Bandar Lampung sebagai barometernya mendapat stigma pelayanan publik terburuk kedua nasional!"

"Orientasi status dan lingkungan kerja koruptif sebagai hambatan kultural mewujudkan birokrasi pemerintahan daerah sebagai pelayan publik, tak mudah dieliminasi!" sambut Umar. "Berbagai usaha dan cara telah dicoba, termasuk resep good governance yang sebenarnya rigid, tapi terlaksana cuma sebatas formalitas! Esensinya yang efektif berjalan tetap begitu-begitu juga! Di lain pihak, paduan orientasi status dan lingkungan kerja koruptif itu klop pula bagi mendukung gaya hidup kelas menengah priayi amtenar yang cenderung konsumtif! Tantangannya jadi lebih berat!"

"Dalam sejarah peradaban, untuk mengubah masyarakat dari budaya yang sudah mapan, perlu hadirnya seorang wali!" tegas Amir. "Artinya, ada seorang pemimpin visioner dengan paradigma baru yang mampu mengujudkannya jadi realitas! Dengan kapasitas wali, berarti sikap dan perilaku pribadinya memikat ditiru, hingga perubahan berjalan simultan pada aktor dan budayanya!"

"Dari mana datangnya pemimpin seperti itu?" sela Umar. "Dalam masyarakat kelas menengah konsumtif dan mayoritas kelas bawah melarat, memilih pemimpin lebih ditentukan oleh paket pemenuhan kebutuhan sesaat, hingga yang selalu diperoleh justru pemimpin produk sistem lama!"

"Dari pengalaman era reformasi, sebelum hadir pemimpin seperti itu untuk skala nasional atau provinsi, kabupaten Jembrana, Sragen, dan Solok terbukti bisa mengujudkan good governance cukup lumayan!" tegas Amir. "Kuncinya pada pemimpin visioner yang mampu mengujudkan paradigma baru itu! Hingga meski ramai eksekutif dan legislatif dari seluruh negeri studi banding ke tiga kabupaten itu, tak satu pun berhasil meniru untuk daerahnya! Karena hambatan kulturalnya melekat pada diri mereka, orientasi aktornya!"

Selanjutnya.....

Pelayanan Publik Bandar Lampung Terburuk Nasional!


"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—umumkan hasil survei indeks integritas pelayanan publik, Bandar Lampung terburuk kedua nasional!" ujar Umar. "Terburuk pertama disandang Medan!"

"Kalau Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumut tak mengejutkan, karena warganya sendiri suka terus terang menyebut Sumut itu akronim dari Semua Urusan Mesti Uang Tunai!" sambut Amir. "Tapi Bandar Lampung, akronim apa sebagai cerminan ibu kota Provinsi Lampung?"

"Bisa jadi Lampung itu—Laju, Asal Mau Pengertian Uang Ngurusnya!" tegas Umar. "Jadi, kalau tak mau pengertian, urusan tak lancar! Masih kuat pamrihnya! Pelayanan publik di Lampung belum dijalankan secara tulus oleh unsur-unsur birokrasi pemerintahan—abdi atau pelayan masyarakat!"

"Hasil survei KPK membuktikan begitu!" timpal Amir. "Medan jadi barometer provinsinya, begitu juga Bandar Lampung! Karena, warga berurusan di semua jajaran birokrasi cenderung mendapat perlakuan dan respons dengan kebiasaan sama yang terlembaga! Artinya, usaha berbenah tak cukup hanya dilakukan Pemkot Bandar Lampung—meski tetap prioritas—tapi harus dilakukan serentak pada semua jajaran birokrasi pemerintahan di Provinsi Lampung! Karena, untuk mengubah kebiasaan bersifat umum yang terlembaga dalam birokrasi dan masyarakat itu tak bisa dilakukan parsial dan terbatas—agar tak cuma hangat-hangat tahi ayam!"

"Masalahnya, di Lampung belum ada ditonjolkan praktek pelayanan publik yang dijamin bersih dari pungli dengan pelaksanaan terbuka dan rigid, jika ketahuan pungli ditindak tegas!" ujar Umar. "Soal ketentuan tertulis larangan pungli, atau usaha meniru one stop service dengan pelayanan satu atap atau satu pintu, boleh-boleh saja! Hasil survei KPK membuktikan, semua itu sekadar basa-basi dan formalitas sok good governance belaka!"

"Repotnya menjamin bebas pungli akibat kenyataan tak ada urusan yang betul-betul bebas pungutan, karena setiap SKPD bertugas menyetor ke kas pendapatan daerah!" tukas Amir. "Dengan begitu, saat warga membayar kepada petugas, semisal di pos retribusi, tak terlihat jika di dalamnya ada unsur punglinya!"

"Celakanya di Lampung, bukan usaha mengurangi aneka pungutan resmi itu yang dilakukan agar pungli bawaannya bisa dihabisi! Justru jenis pungutan yang terus bertambah!" timpal Umar. "Misal di RSUDAM, pasien miskin yang datang berkondisi darurat kritis, hingga berkas Jamkesmas-nya belum lengkap, justru diminta uang jaminan pelayanan dan jaminan menebus obat! (Tribun Lampung, 1-11) Ketentuan tak tertulis itu jelas bisa menyulitkan pasien miskin!" ***

Selanjutnya.....

Gempa, Tsunami, Gunung Meletus, Picu 'Kiamat 2012'!


"KIAMAT 2012 versi Hollywood berlatar mitologi suku Maya, dipicu oleh gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api—seperti urutan bencana yang baru terjadi di Indonesia!" ujar Umar. "Gempa di Brasil pemicu tsunami awalnya cuma 8,4 SR—lebih kecil dari tsunami Aceh 9 SR! Tapi penyebabnya, pergeseran lempeng bumi 23 derajat, menyulut meletusnya kaldera Supervolcano Yellowstone di AS memicu tsunami dahsyat di seantero bumi!"

"Kecuali China yang membangun tujuh 'bahtera baja super' mirip perahu Nuh buat para pemimpin negara-negara sedunia, cendekiawan dan flora-fauna terpilih, serta keluarga orang terkaya dunia yang membiayai pembuatan bahtera dengan 1 miliar dolar AS per seat, semua pemerintah di dunia gagal mengatasi bencana di negerinya!" sambut Amir.

"Presiden AS tak ikut Airforce One terbang ke China bergabung 'bahtera Nuh' di pegunungan Himalaya! Ia memilih seperti nakhoda, tenggelam bersama negeri dan rakyatnya ditelan tsunami!"

"Begitulah cerita film Kiamat 2012 yang diputar berulang-ulang televisi HBO pekan ini, relevan dengan 'Pray for Indonesia' warga dunia buat bencana akhir Oktober 2010!" timpal Umar. "Di film itu, semua bahtera made in China selamat! Pada hari ke 27 bulan 1 tahun 0001—almanak baru pascakiamat—cuaca kembali cerah dengan perubahan peta bumi, benua Afrika jadi lebih tinggi! Ke Tanjung Harapan itulah umat manusia memulai kehidupan baru!"

"Dari situ bisa ditarik pelajaran buat Indonesia yang hidup di tepi lempeng bumi Eurasia dalam interaksinya dengan lempeng Indoaustralia, lempeng Pasifik, serta dalam cincin api terbesar dunia tempat 13,3% gunung api di bumi berada, hingga jadi langganan gempa, tsunami, dan letusan gunung!" tegas Amir. "Indonesia juga punya Supervolcano Toba, yang saat meletus antara 69.000-77.000 tahun lalu (Wikipedia) bumi bukan hanya gelap 27 hari seperti letusan Supervolcano Yellowstone dalam Kiamat 2012, tapi setahun lebih hingga flora-fauna di muka bumi punah!"

"Inti pelajaran itu, jika selama ini pergeseran akibat benturan lempeng Eurasia-Indoaustralia hanya 0,00 sekian derajat saja sudah menyulut gempa dan tsunami Aceh-Nias, Pandanaran, dan Mentawai, layak dipelajari dan 'wajib' hukumnya untuk menghitung persiapan menghadapi jika benturan lempeng menggeser permukaan bumi sampai derajat berdigit!" timpal Umar. "Artinya, kita punya kesiapan tanggap bencana efektif yang tangguh, tak cuma retorika mirip Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang berakibat, tsunami Mentawai jadi bencana kebijakan!"

Selanjutnya.....