Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Politisi Daerah Mengidam CSR!

"GELAGAT mengidam dana CSR—corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan)—belakangan terlihat di kalangan politisi daerah, eksekutif, dan legislatif!" ujar Umar. "Ada kepala daerah mengundang pengusaha di daerahnya membahas pengelolaan CSR pengusaha tersebut, ada pula kalangan DPRD yang bicara CSR sebagai sumber pendapatan asli daerah—PAD!"

"Dana CSR itu penyisihan sebagian keuntungan bersih perusahaan berdasar UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal 74 menetapkan pewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan!" timpal Amir. "Tapi sejauh ini belum ada peraturan pemerintah (PP) pelaksanaan pasal tersebut! Kementerian Lingkungan Hidup yang menyusun peraturan dimaksud Desember 2010 menyatakan, rancangan aturan itu selesai Juni 2011. Jadi kalau selama ini sudah ada perusahaan mengeluarkan CSR 2,5% sampai 5%, semata inisiatif dan kebijakan perusahaan itu sendiri!"

"Berarti, sebelum ada regulasi standar tentang CSR, langkah kepala daerah dan anggota DPRD itu tak ada salahnya!" tegas Umar. "Namun agar tak kontroversial nantinya, lebih baik jika para politisi daerah menunggu selesainya peraturan tentang
CSR yang sedang disiapkan Pemerintah Pusat!"

"Meski demikian, ada baiknya politisi daerah tak terlalu berharap bisa menambah penerimaan kas daerahnya—kemudian dialirkan ke sakunya--dana CSR! Karena setoran perusahaan ke kas negara telah dilakukan lewat mekanisme beraneka pajak, lalu dana bagi hasil pajak itu telah dialirkan kas negara ke kas semua daerah!" jelas Amir.

"Justru filosofi CSR itu agar perusahaan memiliki arti sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat sekitar di lingkungan operasi usahanya! Tidak enclave (tertutup dari kepentingan) warga sekitar seperti perusahaan di zaman penjajah karena merasa cukup hanya dengan membayar pajak!"

"Semangat enclavism masih ada pada sejumlah pengusaha! Mereka mengajukan judicial review Pasal 74 UU 40/2007 itu ke MK, dengan alasan CSR tumpang-tindih dengan pajak! Tapi, sampai kini belum berhasil!" sambut Umar. "Jadi, kalau pemerintah daerah membuat ketentuan menarik CSR untuk kas daerah, justru membuktikan terjadinya tumpang-tindih itu! Di lain sisi, dengan itu pula pemerintah merampas bagian warga sekitar lokasi perusahaan karena kalau diproses lewat keranjang APBD, bagian terbesar dananya justru nyasar ke pos belanja elite politisi daerah!"

"Lagi pula, kalau politisi daerah memaksa harus menyicip CSR, namanya harus diubah!" tegas Amir. "Jadi CPR, corporate politician responsibility!" ***

Selanjutnya.....

Pemimpin yang Jatuh dari Langit!

"ADA SMS dari Imron!" ujar Umar. "Kisah empat tokoh—George, Nirwan, Nurdin, dan Arifin!"
"Bagaimana kisahnya?" timpal Amir.
"Saat pesawat melaju di udara, George berkata mau menyenangkan seseorang di bawah sana, ia buka pintu dan melemparkan uang ratusan ribu satu lembar!" Umar membaca SMS. "Nirwan pun bangkit mau menyenangkan lebih banyak orang dan melempar lima lembar uang ratusan ribu! Nurdin tanpa bicara mengeluarkan segepok uang ratusan ribu, lalu menebarnya keluar pesawat!"
"Cuma guyon biasa dari internet!" potong Amir.
"Klimaksnya pada giliran Arifin!" tegas Umar. "Diam-diam Arifin menyergap Nurdin dan melemparnya keluar pesawat, kemudian berkata, 'Aku menyenangkan orang seluruh negeri!"

"Sarkas banget guyon Imron!" entak Amir. "Tapi untuk kubu Nurdin yang kekeuh meski dicerca dari segala penjuru negeri, guyon begitu justru dijadikan penguat ketokohan Nurdin—yang selalu siap parasut untuk kondisi apa pun! Kejatuhannya dari pesawat itu dieksploitasi dengan publikasi Nurdin adalah pemimpin yang jatuh dari langit! Dengan begitu, di kalangan pendukungnya Nurdin didaulat sebagai pemimpin sakti dan sakral!"

"Buat pendukung yang tak kenal hukum sebab-akibat, Nurdin didaulat tanpa daya kritis!" tukas Umar. "Pendukungnya tak goyah menghadapi demo di seluruh negeri menuntut Nurdin mundur karena organisasinya telah menghabiskan banyak APBD tanpa prestasi yang bisa dibanggakan!"
"Hal yang membuat lebih banyak orang marah pada Nurdin adalah permainan politisnya yang membunuh karier dan masa depan bibit-bibit muda milik paling berharga negeri ini, demi kepentingan kekuasaannya!" timpal Amir. "Tindakan membunuh karier bibit-bibit muda itu justru jadi bukti ketakmampuannya memimpin, sebab tanpa bibit muda itu di arena kelas rendah saja tim negeri kita dikecundangi secara telak!"

"Mendidihnya keinginan rakyat seantero negeri untuk menurunkan Nurdin, bahkan dengan revolusi yang sedang bergelora, akan selalu bisa ditangkis dengan kesaktian pemimpin yang jatuh dari langit itu!" tegas Umar. "Kecuali..!"
"Kecuali apa?" kejar Amir.
"Kecuali pemerintah berani bertindak tegas menyelamatkan organisasi milik bangsa yang dikuasai selayak milik pribadi dan golongan oleh Nurdin cs itu!" jelas Umar.

"Dengan risiko, demi menegakkan kedaulatan bangsa dan membenahi secara menyeluruh organisasi itu, pemerintah harus bertindak! Tapi justru terkait tindakan yang butuh nyali itu sulit ditagih dari pemerintah!"

Selanjutnya.....

Wajah Penguasa di Antrean Truk!


"BUDI ke mana?" tanya Umar. "Lama tak terlihat!"

"Kemarin aku jumpa, dia teller di bank!" jawab Amir.

"Apa? Pemuda sebaik Budi mabuk di bank!" timpal Umar. "Dia teler alkohol atau pil?"

"Bukan teler akibat alkohol atau narkoba!" jelas Amir. "Maksudku teller, dia jadi pegawai bank yang melayani nasabah di counter! Kau sendiri pergi ke mana, lebih seminggu tak kelihatan?"

"Ternyata justru aku yang teler di antrean truk Bakauheni dan Merak!" jawab Umar.

"Sopir truk tanteku cuti menikahkan adiknya di kampung, aku jadi sopir pengganti! Di Bakau tertahan tiga hari, kembalinya di Merak malah empat hari! Sepanjang tertahan itu aku benar-benar teler, kepala pusing tak bisa tidur, karena sebentar-sebentar truk di antrean harus digerakkan ke depan!"

"Selama teler di antrean truk, apa yang terbayang dalam pandanganmu?" tanya Amir.

"Mula-mula segala macam gambaran melintas dalam pandanganku!" jawab Umar. "Tapi semakin lama antre semakin lelah, rasa kesal pun menyala dalam dada, yang terbayang dalam pandanganku justru wajah penguasa saat menjanjikan jika dia terpilih jadi pemimpin kehidupan masyarakat terutama sosial ekonominya dijamin lebih baik! Tapi antrean truk yang menyengsarakan sopir itu membuktikan kondisi sosial ekonomi yang lebih buruk, janji penguasa itu cuma pepesan kosong!"

"Lamunan telermu itu terlalu jauh!" entak Amir. "Antrean truk cuma sepanjang 19 km di tol jalur ke Merak itu bukan bagian dari janji penguasa!"

"Lantas kehidupan di mana yang jadi bagian janji penguasa, dalam kelambu?" timpal Umar. "Justru kenyataan hidup lebih buruk di jalan umum itu bisa disebut sebagai wajah kegagalan penguasa dari janjinya menjadikan hidup rakyat lebih baik!"

"Tapi penguasa bisa mengelak, itu cuma urusan bawahan, bahkan tanggung jawab petugas di Merak dan Bakau!" kilah Amir.

"Dengan kemacetan yang sudah terjadi demikian lama, di luar otoritas petugas di Merak dan Bakau mendatangkan kapal dari jalur pelayaran lain ke jalur mereka! Juga di luar otoritas mereka untuk menunda atau mengubah jadwal wajib dok kapal! Jadi nyata, jalan keluar masalah itu berada pada kekuasaan di atas petugas di Merak dan Bakau!" tegas Umar. "Artinya, jalan keluar itu di lingkaran kekuasaan terdekat penguasa! Karena lingkar atas itu kekuasaan tak mampu mengatasi masalah, kondisi nyata jadi lebih buruk, bertentangan dengan janji penguasa atas kehidupan lebih baik!"

"Kalau begitu judulnya bukan ASDP tak berdaya!" timpal Amir. "Tapi, pemerintah tak berdaya!" ***

Selanjutnya.....

Lampung, Provinsi Terkorup Keempat!


"ICW—Indonesia Corruption Watch—dalam siaran persnya Rabu (23-2) menempatkan Lampung pada 2010 sebagai provinsi terkorup keempat nasional dengan 10 kasus!" ujar Umar.

"Terkorup satu ditempati Sumut (26 kasus), kedua Jawa Barat (16 kasus), dan Jawa Tengah dengan 14 kasus di posisi ketiga!" (MI, 24-1)

"Lebih memprihatinkan dari laporan ICW itu terjadinya pergeseran korupsi yang signifikan ke daerah-daerah!" timpal Amir. "Selain itu, terkait pelakunya, melibatkan banyak eksekutif dan legislatif, para pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan stafnya, serta pengusaha rekanan dari unsur pimpinan sampai petugas lapangan!"

"Dilihat pelakunya yang melibatkan dari kalangan atas eksekutif, legislatif, dan pengusaha, sampai pejabat level menengah dan stafnya itu, terlihat korupsi di daerah telah merebak ke semua cabang kekuasaan, selain politik dan birokrasi, juga ekonomi!" tegas Umar. "Terlibatnya pelaku bisnis dalam korupsi di daerah tentu saja bukan semata akibat ketamakan pengusaha, tapi tak terlepas dengan kekuasaan politik dan brokrasi yang kepentingannya juga harus dijadikan orientasi (tujuan bersama) oleh pelaku bisnis rekanannya!"

"Tujuan bersama seperti apa?" kejar Amir.

"Orientasinya pada kekuasaan, terkait dari usaha mendapatkannya sampai mempertahankannya!" tukas Umar. "Budiman Tanuredjo menulis dalam 'Sisi Lain' (Kompas, 24-1), biaya demokrasi yang mahal sebagai penyebab terjadinya korupsi di daerah. Biaya untuk bertarung menjadi gubernur bisa berkisar Rp80 miliar (tergantung daerahnya) sementara pendapatan gubenur tak akan sebesar itu. Lalu dari mana biaya itu dipeoleh? Ya, tentu diupayakan kembali saat menjadi gubernur atau bupati. Itulah model politik transaksional yang kini sedang terjadi!"

"Mainan seperti itu bukan hal asing di daerah!" timpal Amir. "Kuncinya pada kelihaian berselancar di sela ranjau hukum korupsi, dan keberuntungan—dalam arti jauh dari nasib sial! Kalau sedang sial, ahli berselancar pun dia, ada saja ranjau yang menjerat! Sehingga, meski tak semua, siapa paling lihai berselancar di sela hukum, punya peluang meraih dan mempertahankan kekuasaan!"

"Dengan Lampung di ranking atas nasional untuk provinsi terkorup itu, artinya masih banyak kasus korupsi yang tersingkap, tampak banyak politisi, birokrat, dan pengusaha yang masih kurang lihai berselancar di sela ranjau hukum korupsi!" tegas Umar. "Untuk itu, ranking Lampung bisa dihapus dari level terkorup nasional, jika yang lihai mau berbagi 'ilmu' agar jumlah kasus korupsi turun!" ***

Selanjutnya.....

Pemiskinan Petani Pangan!


"WACANA nasional pemiskinan petani pangan yang semakin meluas, jika ditarik ke Lampung tak nyambung! Bahkan jadi anomali data statistika pertanian Lampung yang sedang berkibar indah!" ujar Umar. "Meskipun, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila Bustanul Arifin menegaskan, mau menggunakan perhitungan model apa saja, dengan kepemilikan; lahan sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup mendasar mereka, petani pangan!"(Kompas, 23-2)

"Memang, dengan data statistika sektor pertanian Lampung bersimpul nilai tukar petani (NTP) akhir triwulan IV 2010 pada 118,1, tertinggi nasional, kurang pas menarik kasus pemiskinan petani pangan ke Lampung!" sambut Amir. "Tapi kita juga harus fair, selain NTP itu didongkrak oleh harga hasil perkebunan yang sedang meroket, karet 1 dolar AS per kg, harga tertinggi sepanjang abad, CPO sawit tembus Rp10 ribu per kg, kakao di atas Rp20 ribu per kg, kopi Rp18 ribu per kg, lada hitam di atas Rp40 ribu! Sedang beras, triwulan IV 2010 itu masa paceklik, sehingga kalaupun harga beras tinggi yang menikmati pedagang—petani lahan sempit saat paceklik justru membeli beras!"

"Maksudmu, meski statistika pertanian Lampung menunjukkan kondisi terbaik, kemungkinan ada kelompok petani yang tak terwakili oleh statistika itu, seperti petani pangan berlahan sempit—yang justru mayoritas petani pangan—sebaiknya tetap diberi perhatian demi usaha perbaikan nasibnya?" tukas Umar. "Mereka perlu perhatian justru saat pekerja sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan di Lampung naik 15,36% (Agustus 2009—Agustus 2010) diserbu pekerja yang beralih dari sektor lain! Sebab, daya tarik naiknya harga komoditas itu mengundang lebih banyak semut ke pinggan yang sama, hingga meski pada statistika kinerja tampak baik, perebutan kue di pinggan subsektor pangan bisa menekan bagian mereka!"

"Layak diingat pula, kinerja sektor pertanian Lampung tercatat indah dalam statistika itu baru mulai triwulan III 2010!" timpal Amir. "Dengan itu diharapkan bisa efektif menghapus stigma-stigma negatif tentang Lampung, seperti provinsi IPM terendah di Sumatera, atau termiskin kedua di Sumatera setelah Aceh, dan seterusnya!"

"Stigma-stigma itu hilang jika realitas kemiskinan juga habis dieliminasi!" tegas Umar. "Dari catatan Bank Indonesia (Lampost, 21-2) stigma itu terkait pada 220 ribu jiwa penganggur terbuka, kalau di Lampung ada 2.200 desa, maka rata-rata di setiap desa terdapat 100 penganggur alias satu SSSK—satuan stigma setingkat kompi!" ***

Selanjutnya.....

Yang Asam Gratis, Kritik pun Mandul!


"SEKILO jeruknya berapa, Bang?" tanya pembeli.

"Sepuluh ribu!" jawab si abang, penjual.

"Mahal sekali!" tukas pembeli. "Dijamin manis?"

"Kalau tak manis tak usah bayar!" tegas penjual.

"Kalau begitu saya minta dua kilo, tapi yang asam saja!" ujar pembeli.

"Kasihan, Neng...!" sambut penjual. "Yang asam pagi-pagi buta, sebelum subuh, sudah habis!"

"Memangnya pagi buta sebelum subuh yang asam ada?" kejar pembeli.

"Sebelum subuh berarti belum gosok gigi, mulut kita semua asam!" jawab penjual.

"Setiap orang mendapatkan yang asam itu secara gratis!"

"Kalau cuma itu yang gratis, percuma!" timpal pembeli. "Tapi kalau yang gratis seperti fasilitas yang diperoleh anggota DPRD, gratis jalan-jalan melancong dengan dalih studi banding, atau malah gratis jalan-jalan dapat uang bekal lebih besar saat melakukan bimbingan teknis—bimtek! Gratis yang begitu, baru mantap!"

"Itu bukan gratis, Neng!" tegas penjual. "Itu uang rakyat, yang melalui konspirasi antara legislatif dan eksekutif—kedua pihak saling memahami mitra-kuasanya memuaskan kepentingan dengan menghabiskan uang rakyat itu! Akibatnya, fungsi legislatif mengontrol eksekutif pun tak jalan!"

"Kalau dengan itu fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif jadi mandul, memang bukan gratis, malah jauh lebh mahal lagi harga studi banding dan bimtek itu—terutama bagi rakyat yang membiayai mereka!" tukas pembeli. "Perlu kritik dan kontrol terhadap legislatif agar fungsi kontrolnya pada eksekutif tak mandul!"

"Sudah capek media massa mengkritik legislatif semua jenjang! Tapi tampaknya kalangan wakil rakyat sudah imun dari kritik, hingga tak mau peduli lagi setajam apa pun kritik media massa disajikan!" tegas penjual. "Dengan tak mempan lagi kritik media pada legislatif, yang menikmati hasilnya justru eksekutif—menjadi nyaman tanpa adanya kritik dan kontrol efektif dari legislatif!"

"Rupanya itu penyebabnya, kalangan eksekutif—terutama di pusat—
belakangan ini jadi alergi kritik!" timpal pembeli. "Kalau di masa Orde Baru alergi itu masih ditutup-tutupi, eksekutif rezim sekarang justru ditunjukkan secara terbuka, bahkan dengan pernyataan yang esensinya menggelisahkan warga karena melanggar UU Pers—membatasi kebebasan pers!"

"Pernyataan yang bisa menggelisahkan itu seperti yang asam di pagi buta dipaksakan ke muka kita!" tegas penjual. "Kasihan pejabat eksekutif yang memaksa diri menebar bau busuk dari asam napasnya itu ke ruang publik!" ***

Selanjutnya.....

Perang Saudara, Peluru Terakhir Tentara Libia!


"SAIF Khadafi, putra penguasa Libia yang sedang digoyang demonstran antipemerintah, berkata di televisi negerinya terancam perang saudara—civil war!" ujar Umar. "Untuk itu di sela serbuan militer yang sejak Kamis lalu telah menewaskan lebih 200 pemrotes di Benghazi dan sehari Minggu saja lebih 60 tewas di Tripoli, Saif menjamin, tentara Libia mendukung ayahnya sampai peluru terakhir!"

"Proses maraknya revolusi di Libia memang lebih cepat hingga sejak Minggu dijadikan breaking news oleh Aljazeera, meski krisis di sejumlah negeri Timur Tengah juga menjurus kian serius—Yaman, Aljazair, Iran, dan Bahrain!" sambut Amir. "Revolusi yang lebih cepat marak dan penindasan lebih kejam di Libia jauh lebih menarik perhatian dunia karena Libia pemilik cadangan minyak bumi terbesar di Afrika, 44 miliar barel, dengan produksi 1,8 juta barel per hari, negara OPEC dengan pendapatan per kapita tertinggi di Afrika!"

"Memang, pendapatan per kapita penduduk Libia yang berjumlah hampir 6,5 juta jiwa itu sebesar 11 ribu dolar AS!" timpal Umar. "Meski begitu, suatu revolusi terbukti tak bisa dicegah terjadi akibat ketimpangan di antara penduduk yang tak terlalu banyak itu terjadi mencolok sekali! Kelompok yang berkuasa berfoya-foya dengan limpahan hasil ekspor minyak ke Eropa dan Amerika Serikat, sementara mayoritas rakyatnya kelimpungan menahan lapar menghadapi keterbatasan sumber alam negerinya! Berdasar kenyataan itulah serikat buruh muslim sedunia mendesak Khadafi segera hengkang atau akan diadili rakyat! Juga para menteri luar negeri Eropa membuat pernyataan bersama mengecam tindak kekerasan terhadap demonstran di Libia oleh rezim Khadafi!"

"Tapi paling menarik ancaman para kepala suku Libia, jika pembantaian yang mengakibatkan pertumpahan darah rakyat itu tak dihentikan, mereka akan memblokir ekspor minyak!" tegas Amir. "Melihat bersatunya kepala suku Libia itu, kalaupun terjadi perang saudara bukan konflik horizontal seperti di negeri Afrika umumnya, tapi konflik vertikal—
rakyat lawan pemerintah!"

"Perang model itu bahkan telah dimulai dengan penembakan tentara terhadap demonstran di jalanan Benghazi dan Tripoli, diperkuat sesumbar peluru terakhir Saif! tukas Umar. "Sedemikian membaja tekad rakyat dalam revolusi, dihadapi sedemikian keras pula tindakan rezim dalam mempertahankan kekuasaannya, siapa pun jadi pemenangnya, darah yang tertumpah bisa menjadi rekor dalam perang saudara di Afrika! Sebab, penguasanya amat kaya, mampu membeli senjata pemusnah massa jenis apa saja!" ***

Selanjutnya.....

Cara Elite ‘Ad Hoc’, Rakyat Permanen!


SESAMPAI rumah nenek di desa, Tini membongkar isi tasnya. Adik sepupu yang menemaninya heran, melihat banyak ragam obat antinyamuk dibawa Tini—ada semprotan, ada olesan ke kulit tangan dan kaki, ada melingkar untuk dibakar, ada yang pakai colokan listrik! Setiap jenis dia bawa lebih dari satu merek dagang pula!
"Mau pameran obat antinyamuk?" tanya sepupu.

"Semua untuk dipakai sendiri!" jawab Tini. "Ngeri berita akibat serangan nyamuk! Bisa demam berdarah, malaria, cikungunya, kaki gajah! Jadi bawa penangkal lewat semua cara, oles, bakar, semprot, listrik, lalu setiap cara bawa dua merek untuk alternatif jika yang satu tak ampuh!"


"Kalian orang kota besar suka berlebihan!" tukas sepupu. "Untuk menghindari gigitan nyamuk saja pakai demikian banyak cara dan demikian banyak merek! Semua cara bersifat ad hoc—sementara alias darurat—sampai terbukti mengecewakan dan beralih ke cara lain, begitu pula merknya!"

"Enak saja menuduh orang kota besar suka cara ad hoc!" entak Tini. "Memang kalian orang desa bisa mengatasi masalah secara permanen, tak gonta-ganti cara yang setiap cara bisa gagal? Beri contoh, cara mengatasi nyamuk, seperti apa?"

"Cara umum warga desa mengatasi nyamuk tak gonta-ganti alat dengan kelambu!" jawab sepupu. "Selain tak setiap kali gonta-ganti alat, kelambu bisa dipakai sampai 10 tahun! Beda cara elite kota besar, nyaris dalam segala hal—terutama dalam politik—selalu lebih suka cara ad hoc! Bahkan atas konstitusi yang mendasar dalam kehidupan bernegara bangsa, digunakan cara-cara ad hoc dengan membentuk berbagai komisi negara independen, melapisi organ negara yang permanen—seperti KPK melapisi kepolisian dan kejaksaan! Atau di DPR bekerja secara ad hoc lewat panitia kerja—panja—ini-itu, seolah kalau tak dibentuk panitia-panitiaan itu DPR tak bekerja!"

"Ternyata kau benar, elite kota besar cenderung berpikir dan bekerja dalam potongan-potongan kecil—ad hoc, tidak komprehensif! Tak seperti warga desa, yang justru bersifat permanen!" timpal Tini. "Mungkin itu yang membuat cara kerja elite dianggap aneh oleh warga desa dan rakyat jelata umumnya! Sekaligus, karena tak nyambung dengan cara berpikir rakyat kebanyakan, banyak solusi yang dibuat elite tidak efektif!"
"Solusi elite, terutama yang berkuasa, banyak tak efektif bukan cuma karena tak nyambung dengan cara berpikir rakyat! Juga, karena tak nyambung dengan kepentingan rakyat, akibat solusinya lebih berorientasi pada kepentingan kekuasaan!" tegas sepupu. "Dan itu, kepentingan ad hoc banget!" ***

Selanjutnya.....

Petani Panen Setiap Hari!


sampai manipulasi yang berakibat tanaman kekurangan pupuk subsidi!"

"Intinya, kehidupan generasi penerus akan lebih buruk jika hanya mampu SATU keluarga, empat abang-beradik mendapat wasiat dari almarhum ayahnya, agar berusaha yang panen setiap hari dan hasilnya langsung bisa jadi duit! Dengan itu kehidupan keluarga mereka setiap hari terjamin! Lalu, setiap anak harus mengelola jenis usaha berbeda! Itu agar mereka tak bersaing saling mematikan usaha di antara keluarga!
Memenuhi wasiat itu, anak pertama berternak ayam petelur, setiap hari panen telur. Anak kedua usaha membuat taoge, setiap hari panen taoge! Anak ketiga membuat tempe, setiap hari panen tempe. Anak keempat bingung mau usaha apa? Ternak bebek petelur, sejenis usaha ayam petelur. Mau buat oncom, sejenis usaha membuat tempe!

"Bantu, dong!" entak si bungsu ke tiga abangnya. "Harus usaha apa gue yang panen setiap hari?"

"Bertanam jamur!" ujar abangnya. "Panen setiap hari, diminati warga kelas atas, jadi harganya selalu bagus! Kau belajar dulu ke sentra jamur!"

"Oke, gampang soal belajar itu!" sambut adik. "Cuma, aku tak habis pikir, kenapa ayah memberi wasiat untuk berusaha yang setiap hari panen, lantas setiap kita jenis usahanya harus berbeda?"

"Berdasar pengalamannya sendiri, bertani dengan tanaman padi yang setahun panen satu kali, sekali gagal panen keluarga menderita dari tahun itu ke tahun berikutnya!" jelas abang. "Agar dengan jenis usaha berbeda, karena ayah bersama kakak dan adiknya semua bertanam padi, saat gagal panen semua mengalaminya, tak ada yang bisa menolong di antara keluarga! Itu pengalaman pahit yang harus tak terulang pada anaknya!"

"Lebih gawat lagi jika tanpa wasiat itu keluarga kita berempat jadi sama-sama hanya bertanam padi di sawah warisan yang sama!" timpal abang kedua. "Sudahlah setiap keluarga kita bergantung hanya pada seperempat dari tanah warisan itu, yang pasti hasilnya tak sebanyak panenan ayah, sedang jika gagal panen keluarga kita berempat menderita bersamaan, tak bisa saling menolong!"

"Tapi itulah gambaran realitas kehidupan generasi penerus petani kita!" tegas adik.

"Dengan warisan tanah kian menyempit dan ancaman gagal panen yang kian banyak penyebabnya, cuaca ekstrem, berbagai jenis hama wereng, tikus dan lainnya, mengulangi penderitaan generasi pendahulunya!" tegas abang. "Tapi, nasib generasi penerus diharapkan lebih baik justru dengan persiapan lebih matang guna mengulangi penderitaan yang sama!" ***

Selanjutnya.....

Lebih 500 Anak Terjerumus ke Dunia Prostitusi!


"HASIL survei dan pendampingan Lembaga Advokasi Anak (Lada) Lampung, lebih dari 500 anak usia 14—17 tahun di Bandar Lampung jadi korban eksploitasi seksual, terjerumus ke dunia prostitusi!" ujar Umar. "Lada yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga pemerhati anak yang tergabung dalam Koalisi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (KP ESKA) menemukan kebutuhan ekonomi dan gaya hidup hedonis (konsumtif materialistik) sebagai penyebab anak-anak di bawah umur itu terjerat di dunia hitam!"

"Catatan para aktivis itu penting, agar anak-anak yang terjerumus itu diperlakukan sebagai korban, bukan pelaku!" sambut Amir. "Penanganannya bukan hanya dengan razia, tapi lebih tepat dengan bimbingan konseling serta dengan memenuhi kebutuhan dasar anak!"

"KP ESKA Lampung yang berhasil mendampingi lebih 100 anak usia 14—17 tahun di berbagai lokasi di Bandar Lampung menyatakan Pemprov dan Pemkot Bandar Lampung belum punya rencana kegiatan yang jelas untuk merehabilitasi anak-anak yang jadi korban itu!" tukas Umar. "Dinas Sosial hanya merazia, memanggil orang tuanya, dan dipulangkan! Kalau cuma begitu, kata aktivis, peluang mereka kembali ke dunia prostitusi sangat besar! Metode itulah yang harus diubah!"

"Harapan para aktivis agar Dinas Sosial Pemprov dan Pemkot-Pemkab di Lampung merespons hal memprihatinkan itu dengan program yang sesuai tantangannya wajar saja!" timpal Amir. "Karena Dinas Sosial sebagai lembaga public servant harus bisa menjadi andalan mengatasi bencana sosial seperti dialami anak-anak yang terjerumus itu! Namun, program rehabilitasi itu akan selalu kewalahan menampung korban baru, jika sumber bencananya dibiarkan tetap beroperasi!"

"Itu dia!" tegas Umar. "Meski Bandar Lampung tenang, ada perda melarang lokalisasi prostitusi, dari catatan para aktivis KP ESKA diketahui banyak lokasi yang masih beroperasi di mana anak-anak di bawah umur itu terjerat! Untuk itu, pihak yang berwajib bersama Dinas Sosial dan para aktivis sebaiknya bekerja sama—didukung Pol. PP—menutup dan menghentikan operasi lokasi-lokasi prostitusi yang diam-diam tetap jalan itu!"

"Memang, merehabilitasi para korbannya saja tak akan ada habisnya, jika sumber penyakitnya tak dihentikan!" timpal Amir. "Cuma aneh, meski ada perda yang melarang kegiatannya, dari waktu ke waktu operasi tempat-tempat seperti itu tetap nyaman saja! Tanpa kecuali korbannya anak-anak perempuan usia 14—17 tahun semakin masif!" ***

Selanjutnya.....

Negara tak Bisa Membubarkan Ormas Anarkis!


"TAHU, setiap kau bertingkah, uban ibu bertambah satu!" ujar ibu dengan nada kesal pada anaknya.

"Berarti ibu dulu sangat banyak tingkah!" timpal anak. "Lihat kepala nenek, penuh uban!"

"Uban nenek bukan karena tingkah ibu!" bantah ibu. "Tapi karena nenek banyak pikiran!"

"Ah, ibu seperti aparat penegak hukum, saja! Suka mengalihkan arah logika kenyataan terkait diri atau tugasnya!" tukas anak. "Contohnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di forum Hari Pers Nasional (9-2) menegaskan agar organisasi massa (ormas) yang melakukan kekerasan ditindak tegas! Aparat penegak hukum dia perintahkan agar dicarikan cara yang sah dan legal agar ormas anarkis itu bisa dibubarkan! Ternyata sampai hari terakhir, aparat menyatakan belum melihat adanya ormas pelaku kekerasan!"

"Peristiwa kekerasan itu memang ada dan nyata, seperti halnya uban di kepala nenek!" timpal ibu. "Tapi aparat keamanan belum bisa memastikan itu akibat tindakan ormas anarkis—seperti tak bisa dipastikan uban nenek akibat banyak pikiran!"

"Tapi kasihan Presiden, seolah di forum nasional yang amat penting itu dia bicara asal bunyii tanpa didukung fakta yang kuat tentang adanya ormas anarkis di balik berbagai peristiwa kekerasan yang merebak akhir-akhir ini!" tegas anak. "Seyogianya, Presiden bicara didasari fakta dari aparat penegak hukum, saat Presiden bicara suatu masalah aparat melengkapi dan menunjukkan buktinya, hingga Presiden tak dituduh berbohong!"

"Masalahnya, aparat penegak hukum belum bisa menemukan cara yang sah dan legal untuk membubarkan ormas anarkis!" kilah ibu. "Kalau buru-buru disebutkan nama ormasnya padahal dasar tindakan hukumnya tanggung, bisa kena serangan balik yang menjadikan usaha negara menghentikan kekerasan malah jadi preseden buruk! Sekarang saja sudah ada yang menantang akan melakukan perlawanan dan menjatuhkan Presiden jika ormasnya dibubarkan!"

"Lantas apa arti penegasan Presiden, kalau aparat penegak hukum tak berusaha keras menjalankan, malah klepek-klepek kekurangan dasar bertindak, sehingga pihak yang merasa bisa jadi sasaran justru menggertak lebih galak!" tukas anak. "Kalau negara memang wajib melindungi setiap warga negara dari kekerasan, seharusnya aturannya bisa disiapkan sesegera mungkin saat diperlukan untuk menindak setiap pelaku kekerasan baik perorangan maupun organisasi! Kalau itu saja—
membubarkan ormas anarkis—tak bisa dilakukan, berarti negara tak mampu melindungi setiap warga negara dari kekerasan!" ***

Selanjutnya.....

Panen Tiba, Harga Gabah pun Jatuh!


"MUSIM panen tiba, kenapa malah pulang dengan wajah cemberut?" tanya istri.

"Biasa! Saat panen harga gabah jatuh! Nanti di masa paceklik, saat kita harus beli beras, harganya malambung lagi!" jawab suami. "Gabah kering panen (GKP) yang semula Rp3.600 per kg, kini jadi Rp2.800 per kg! Minggu depan saat kita panen jangan-jangan turun lebih rendah lagi!"

"Kalau menjualnya ke Talangpadang?" kejar istri.

"Harga di Gunungalip selalu sama dengan di Talangpadang maupun Kotaagung!" jawab suami. "Itu menguntungkan petani kawasan ini, karena beras Talangpadang punya standar kualitas yang terkenal di Provinsi Lampung sehingga sejatuh-jatuhnya harga selalu tetap di atas HPP—harga pembelian pemerintah—kini Rp2.500 per kg!"

"Kalau bisa bertahan di atas HPP lumayan karena harga cabai merah sekali jatuh telak sekali!" timpal istri. "Di Lampung Selatan, kata tetangga, cabai merah keriting yang pekan lalu masih Rp40 ribu per kilo, pekan ini sudah jadi Rp15 ribu per kg. Tapi di Bandar Lampug masih Rp30 ribu per kg, dan di sini yang dekat Gisting, daerah produsen cabai, masih Rp25 ribu per kg!"

"Mungkin di Lampung Selatan ada kelebihan produksi lokal!" tukas suami. "Padahal Lampung Selatan terdekat untuk menyeberang ke Jakarta!"

"Pada hari-hari itu antrean truk di Bakauheni kan sampai lebih lima kilometer! Kalau dipaksakan untuk dibawa ke Jakarta, cabainya bisa busuk!" timpal istri. "Jangan-jangan yang diobral Rp15 ribu per kg itu cabai yang bisa busuk kalau dibawa ke Jakarta karena truknya macet empat hari!"

"Itu risiko pedagang! Tapi bahwa harga cabai saat panen juga akan turun seperti gabah, tak aneh!" tegas suami. "Masalahnya, bagaimana harga produk pertanian bisa stabil di semua musim—terutama di masa panen—agar panenan bisa dinikmati petani!"

"Untuk bisa begitu diperlukan pemerintahan yang orangnya pintar, tak cuma pintar ngomong, tapi mewujudkan janji dan rencana jadi kenyataan!" timpal istri. "Seperti di Jepang, kata adik tetangga yang baru pulang dari sana, harga beras stabil dari tahun ke tahun 300 yen per kg sehingga petani bisa menikmati hasilnya!"

"Memang kita perlu orang pintar untuk itu! Seperti pengadaan garam dengan produk lokal!" tegas suami. "Untuk kebutuhan garam nasional tiga juta ton setahun, pada 2010 kita impor 2,976 juta ton, alias 99 persen lebih! Itu terjadi di negeri kepulauan, pantainya cukup untuk produksi garam! Tapi tak ada orang cukup pintar yang mengatur di pemerintahan, begitulah jadinya!" ***


Selanjutnya.....

Importir Terbesar Gandum, Garam, Kedelai, dan Beras!


DIBERI ibunya sarapan mi instan, Umar yang baru semalam tiba di kampung menggerutu,

"Dari kota sudah membayangkan bangun pagi di desa sarapan getuk dengan kopi tubruk, malah jumpa yang sudah bosan kita santap sehari-hari di kota!"

"Ssstt..!" sambut Amir yang menemani Umar ke kampung. "Subuh tadi kudengar ibumu mengetok warung sebelah, untuk menyiapkan sarapan yang istimewa menyambut kepulanganmu!"

"Tapi apa jadinya negeri kita kalau warga desa sudah meninggalkan singkong dan ketan sebagai sarapan, malah ikut sarapan berbahan gandum alias terigu!" entak Umar.

"Sekarang saja impor gandum kita sudah 5,8 juta ton per tahun, setara empat juta ton terigu!"

"Kalau gandum kita impor masih wajar, karena gandum tanaman subtropis belum bisa ditanam di negeri kita!" sambut Amir. "Yang gila ternyata kita impor garam, padahal kita negeri kepulauan dengan pantai mengitari setiap pulau! Wajarnya, Indonesia jadi eksportir garam terbesar di dunia!"

"Tapi kenyataan justru sebaliknya, Indonesia yang berpenduduk terbesar keempat dunia ini malah jadi importir garam terbesar dunia!" tukas Umar. "Dari kebutuhan untuk konsumsi dan industri nasional tiga juta ton per tahun, pada 2010 PN Garam hanya memproduksi 23 ribu ton, sedang sisanya sebesar 2,976 juta ton dipenuhi garam impor dari Australia dan India!" (Kompas, 14-2)

"Begitulah! Apa pun alasannya, kalau produksi PN Garam tak sampai satu persen dari kebutuhan nasional, lantas produksi garam rakyat kalaupun ada kecil sekali dibanding impor, pasti ada yang tak beres!" timpal Amir. "Misalnya, dengan harga garam Australia Rp800/kg, dan garam India Rp650/kg, garam rakyat dipatok Kepmendag No. 21/2007 untuk kualitas satu Rp325/kg, kualitas dua Rp250/kg. Apa artinya itu, entahlah! Ayo kita makan tempe dan tahu gorengnya!"

"Tunggu dulu!" potong Umar. "Tahu dan tempe ini meski makanan sehari-hari bangsa kita, kedelai bahannya sebagian besar kita impor juga! Menurut catatan Sucofindo, dari Januari sampai Agustus 2010, impor kedelai kita 1.243.400 ton! Kalau kuartal terakhir trennya sama, berarti satu tahun impor kedelai kita sekitar dua juta ton!"

"Lo kok nasinya tak disentuh?" tegur ibu Umar.

"Kini makan nasi juga harus dikurangi, Bu!" jawab Amir. "Karena impor beras kita sudah terbesar di dunia, 1,2 juta ton sampai 1,5 juta ton per tahun!"

"Itu belum cukup! Kini bersiap menggenjot impor gula!" timpal Umar. "Kian kuatlah posisi Indonesia sebagai negara agraris yang jadi pengimpor hasil-hasil pertanian terbesar di dunia!" ***

Selanjutnya.....

Gizi Buruk 2011,Buah Indonesia Sehat 2010!

"MUNCULNYA kasus gizi buruk di Lampung dengan tewasnya Susanti di RSUD Z.A. Pagaralam Way Kanan (Lampost, 8-2) awal 2011, menjadi ironi program Indonesia Sehat 2010 yang dilaksanakan sepanjang dekade awal abad 21 ini!" ujar Umar. "Mungkin itu terjadi akibat program Indonesia Sehat 2010 hanya digesa di sektor kesehatan, padahal masalah kesehatan tak bisa dilepaskan dari faktor sosial-ekonomi dan sektor-sektor lain!"

"Tak kalah penting bidang budaya, terkait pola hidup!" timpal Amir. "Realitas gizi buruk (busung lapar) sebagai buah program Indonesia Sehat 2010 jelas memprihatinkan karena secara budaya dalam pola hidup sang brokrat busung lapar itu dianggap soal biasa hingga tak membuatnya risi meski itu tanggung jawab yang tak dipenuhinya!"

"Bisa beri contoh birokrat seperti itu?" kejar Umar.

"Contohnya seorang pasien perutnya gembung ditanya dokter, 'Apa tak ada nafsu makan?' Dijawab pasien, 'Kalau nafsu makan luar biasa besarnya! Cuma yang mau dimakan, tak ada!" tutur Amir. "Kenapa tak ada yang dimakan, kan ada jatah raskin!' timpal dokter. "Walah Dokter, jatah raskin untuk bulan lalu saja sampai hari ini belum diterima! Apa Dokter tak baca koran?' tukas pasien. Itu contoh pola hidup birokrat yang menganggap enteng orang melarat, sehingga menangani jatah raskin sering terlambat, tak peduli perut si miskin tak bisa menunggu! Dokter menukas, kalau perut warga miskin terutama
balitanya banyak yang gembung berkepanjangan seperti ini, bisa menyulut bencana gizi buruk!"

"Gizi buruk 2011 yang muncul di Lampung sebagai antiklimaks Program Indonesia Sehat 2010, selain tak harus dilihat hanya sebagai kelemahan aparat sektor kesehatan, dukungan sektor-sektor lain juga tak cukup diukur sekadar nilai material atau rupiah bantuan yang dikucurkan, tapi juga harus dilihat dari dimensi budaya pola hidup birokratnya dalam menangani bantuan tersebut!" tukas Umar. "Kalau sekadar mencurahkan materi atau uang sudah merasa cukup, tak beda memberi rumput pada sapi, tak ada dimensi budayanya karena tanpa sentuhan kemanusiaan! Karena dengan begitu ia tangani si miskin tanpa tanggung jawab untuk sukses tugasnya demi rasa kasih sayang pribadinya kepada warga miskin yang perbaikan nasibnya diamanatkan negara ke pundaknya!"

"Padahal biasanya penguasa, asal sudah menyiapkan dana program kemiskinan—memadai atau tidak—merasa selesai tanggung jawabnya!" timpal Amir. "Kalau muncul kasus gizi buruk, yang disalahkan pola hidup si miskin, meski penyebab sebenarnya pola hidup birokratnya!" ***

Selanjutnya.....

Revolusi Berhasil Jatuhkan Mubarak!


"KHUTBAH Jumat di lapangan tempat jemaah antipemerintah berkumpul di seantero Mesir yang menegaskan perjuangan rakyat menurunkan Mubarak seperti perjuangan Nabi Musa melawan Firaun, membuat Mubarak yang 30 tahun piawai memimpin Mesir dengan retorika habis kamus!" ujar Umar. "Sebab, tindakan dan penyiksaannya yang kejam secara fisik dan mental terhadap setiap yang dituduh sebagai warga Persaudaraan Muslim—Ikhwanul Muslimin—bukan rahasia bagi umum! Itu membuat penyamaan dirinya dengan Firaun cukup telak—ia pun keluar dari istana!"

"Sepandai-pandai tupai meloncat sekali-sekali jatuh juga!" sambut Amir. "Begitulah Mubarak si jago retorika! Setelah pidato sebelumnya berhasil membawa para pemimpin dunia bisa menerima peralihan kekuasaan secara damai di Mesir lewat pemilu September, pidatonya Rabu malam yang berisi penyerahan tugas-tugas kepresidenan pada Wakil Presiden Omar Suleiman, menjadi blunder! Pelimpahan kekuasaan seperti itu tak dikenal dalam konstitusi Mesir! Pelanggaran konstitusi itu memaksa ia menyerahkan kekuasaan ke Dewan Militer!"

"Setelah target utama revolusi menjatuhkan Hosni Mubarak berhasil, kini rakyat Mesir menghadapi masalah baru, kepemimpinan Dewan Militer!" tegas Umar. "Bukan rahasia umum pula, belanja militer Mesir diperoleh dari Amerika Serikat (AS) sebesar Rp12 triliun per tahun—lebih dua kali lipat jatah raskin untuk 75 juta warga miskin Indoneisa per tahun! Artinya, bukan mustahil rakyat Mesir lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya! Tak diragukan Dewan Militer bisa dikendalikan AS, sedang AS dikendalikan kepentingan Israel!"

"Itu yang membuat tawar-menawar kepentingan front-front oposisi dalam proses pembentukan pemerintahan baru di Mesir bisa berjalan alot!" timpal Amir. "Tak mudah mempertemukan kepentingan rakyat Mesir yang diemban front-front oposisi itu dengan kepentingan AS dan Israel yang diemban Dewan Militer! Belum lagi sikap dasar Ikhwanul Muslimin yang apriori menolak kerja sama dengan segala bentuk kepentingan berbau AS dan Israel! Padahal Ikhwanul Muslimin satu-satunya organisasi massa di Mesir yang well organized sampai ke basis!"

"Dengan kenyataan yang tak bisa diubah—Dewan Militer pengemban kepentingan AS-Israel, maka Ikhwanul Muslimin yang tak berambisi kekuasaan itu tak akan masuk dalam aliansi Dewan Militer!" tegas Umar. "Ikhwanul Muslimin lebih bertumpu pada pemilu yang jujur dan adil, mendukung partai-partai proreformasi mengubah konstitusi dan UU Mesir agar lebih manusiawi!"

Selanjutnya.....

‘Absolut Power’, Tanpa Kontrol yang Efektif!


"GAMBARAN tentang absolut power (kekuasaan atau penguasa absolut) itu hanya dalam bentuk kerajaan atau raja otoriter, tak ada lembaga wakil rakyat, tak ada pers, tidaklah salah, tapi tak lagi sepenuhnya benar!" ujar Umar.

"Manuatu Pacifique contoh praktek absolut power, meski di republik itu presiden, gubernur, dan kepala distrik (bupati) dipilih langsung oleh rakyat, juga wakil rakyat pusat sampai distrik! Bahkan, penerbitan pers harian eksis di kawasan distrik, plang nama LSM mencolok nyaris di setiap simpang!"

"Lantas bagaimana ceritanya negeri yang peranti demokrasinya lengkap itu malah jadi contoh praktek absolut power?" tanya Amir.

"Karena semua peranti demokrasi itu, lembaga dan prosesnya sekadar formalitas! Prakteknya, simpang-siur konspirasi kekuasaan! Semua itu menghasilkan tak adanya kontrol yang efektif terhadap kekuasaan sehingga kekuasaan penguasa jadi absolut!" jawab Umar. "Memang ada dewan perwakilan rakyat distrik (DPRD) yang punya kewenangan mengontrol kepala distrik! Tapi kewenangan itu ditukar permen—perjalanan meninjau—kapan pun DPRD mau dan sejumlah kepentingan Dewan lainnya! Maka, tak ada lagi kontrol yang efektif, yang terjadi justru konspirasi mengelabui rakyat oleh kepala distrik dan DPRD guna meloloskan kepentingan masing-masing!"

"Jadi begitulah salah satu bentuk kekinian dari absolut power!" tebak Amir. "Tapi bagaimana dengan pers yang sudah terbit harian di tingkat distrik, lalu LSM yang menjamur di tiap simpang?"

"Tentang pers distrik, rupanya semakin terbatas skala pasarnya, kian besar ketergantungan untuk bertahan hidupnya pada penguasa distrik!" tukas Umar. "Sedang para juru wartanya, asal sudah diajak jalan-jalan ke luar negeri, langsung merasa sebagai bagian atau bahkan sebagai the guardian, pengawal sang penguasa! Lain hal lagi LSM, yang di negeri itu semula tempat orang pintar yang tak masuk birokrasi pemerintah atau partai politik, kini cuma dijadikan sarana untuk dapat proyek dari pemerintahan distrik! Satu atau dua proyek setahun cukup untuk membuatnya jinak!"

"Kalau pers dan LSM lokal distrik sudah jadi seperti itu, sedang DPRD berkonspirasi mengelabui rakyat bersama kepala distrik yang semestinya sasaran kontrolnya, jelas tak ada lagi kontrol yang efektif terhadap kekuasaan penguasa hingga menjadi absolut power!" timpal Amir. "Tapi, kisah negeri Pasifik itu terasa tak asing bagi kita di Indonesia!"

"Indonesia sebelah mana?" entak Umar. "Pasti bukan Indonesia sebelah sini!" ***


Selanjutnya.....

'Absolut Power Corrupts Absolutely'!


"PRESIDEN Yudhoyono bicara hakikat kekuasaan pada Hari Pers Nasional 2011 di Kupang, NTT. Ia kutip simpul Lord Acton: power tend to corrupt, absolut power corrupts absolutely!" ujar Umar. "Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut (tak terkontrol), korupsi secara absolut—tak terkontrol—pula, alias lebih telak!"

"Lewat simpul itu Presiden menekankan perlunya kontrol pers untuk menciptakan keseimbangan pemerintahan, stabilitas politik dan keamanan!" sambut Amir. "Intinya, kekuasaan tak boleh jalan tanpa kontrol! Kekuasaan mesti dikontrol oleh kekuasaan yang lain! sekarang kekuasaan sudah tak terpusat pada eksekutif dan militer lagi, tapi tersebar selain di legislatif, yudikatif, dan pers, juga mahkamah konstitusi, LSM, komisi-komisi negara independen dari Komnas HAM sampai KPK, dan sebagainya!"

"Masalahnya kekuasaan yang (maunya) absolut sering alergi terhadap kririk atau kontrol, sehingga kritik atau kontrol tak lagi dilihat secara fungsional untuk menjaga berbagai keseimbangan di seputar kekuasaan seperti dimaksud Presiden!" tukas Umar. "Akibatnya, kritik atau kontrol yang disampaikan secara proporsional sekalipun dicap destruktif, lantas esensi kritik atau kontrol itu dikesampingkan! Konsekuensinya, kesalahan-kesalahan yang telanjur kaprah berjalan semakin sistemik!"

"Bertolak dari pemikiran Lord Acton itu perlu dipahami, kecenderungan kekuasaan untuk korupsi dalam arti luas baik dalam arti penyimpangan kekuasaan (abuse of power) maupun maksimalisasi benefit-benefit untuk kepentingan kekuasaan dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya!" timpal Amir. "Abuse of power dengan peraihan benefit untuk kepentingan kekuasaan yang berjalan sistemik dalam setiap proses pelaksanaan tugas-tanggung jawab penguasa itulah yang menjelmakan kekuasaan jadi absolut power, sehingga salah satu bentuk korupsi yang absolut bisa dilihat pada benefit-benefit yang diperoleh kekuasaan justru dalam pelaksanaan tugasnya itu!"

"Dengan salah satu bentuk korupsi yang absolut sedemikian rupa, tersistem dalam tugas penguasa absolut (absolut power), sang penguasa bahkan bisa melakukan korupsi yang absolut itu dengan program yang bersifat kebal kritik!" tegas Umar. "Contohnya, ia bagi-bagikan uang negara kepada kaum miskin seolah itu semata berkat kemurahan hatinya, agar warga miskin memberikan suara untuk partai maupun dirinya saat pemilu, pers sukar mengeritiknya karena bisa terkesan anti terhadap program membantu kaum miskin! Jadi, semakin absolut kekuasaan, kian absolut (sukar dikritik) pula korupsinya!" ***

Selanjutnya.....

Akal-akalan buat Kelulusan Baru!


"SISTEM kelulusan baru SMP dan SMA memadukan hasil ujian nasional (UN) 60% dengan 40% proses di sekolah terdiri dari UAS (ujian akhir sekolah) 60% dan rapor 40%, mau dibuat akal-akalan!" ujar Umar. "Ada sekolah mengumpulkan fotokopi rapor, untuk SMP semester 1—5, dan SMA 3—5! Dengan share rapor pada nilai total 16% (40% dari 40%), selain guna menjaga tercapainya nilai minimum kelulusan 5,5, akal-akalan pada rapor untuk menghindari ada mata pelajaran bernilai di bawah 4--bisa membatalkan kelulusan!"

"Akal-akalan paling seru bisa terjadi pada UAS, dengan share untuk kelulusan 60% dari 40%!" tukas Amir. "Kemungkinan akal-akalan terbuka untuk menjaga reputasi sekolah, karena UAS itu otoritas internal sekolah! Kontrol dari pihak luar sukar dilakukan, kecuali pihak sekolah sendiri memberi akses untuk membuktikan reputasi sekolahnya dicapai dengan cara bersih dan jujur! Tapi apa ada sekolah berani melakukan itu, kita tunggu saatnya tiba!"

"Justru sebelum saatnya tiba, usaha keras harus dilakukan untuk mendorong semua sekolah membangun nyali dan membulatkan tekad agar berani menempuh cara jujur dan bersih!" tegas Umar. "Sebab, cara akal-akalan untuk menjaga gengsi hanya meletakkan bangunan reputasi sekolah di atas fondasi yang rapuh—kepalsuan dan dusta! Amat menyedihkan jika reputasi sekolah ditopang dengan nilai-nilai yang negatif bagi moralitas generasi muda!"

"Itu dia! Sesuai tujuan perbaikan penentuan kelulusan murid lewat memadukan faktor UN dan proses di sekolah agar kualitas lulusan efektif dalam kecerdasan dan hasil proses persekolahan, akal-akalan menodai tujuan itu jelas harus dihindarkan!" timpal Amir. "Sebaliknya, perbaikan penentuan kelulusan ini dijadikan peluang menata sekolah berorientasi pada dasar-dasar moralitas, agar dunia pendidikan tak dijadikan tempat belajar akal-akalan mencundangi moralitas!"

"Untuk mengujudkan orientasi pada moralitas itu bahkan lebih mudah, yakni dengan menempuh cara bersih dan jujur!" tegas Umar. "Tekankan pada para murid untuk belajar dan berusaha keras meraih nilai terbaik dalam kegiatan belajar sehari-hari, dalam UAS, maupun UN! Jika semua tahapan proses itu mencapai hasil terbaik, tak perlu lagi guru atau sekolah membuat akal-akalan untuk mengesankan murid mereka hebat! Karena yang harus dibuktikan guru dan sekolah adalah, tanpa akal-akalan pun murid mereka memang hebat—mencapai nilai tinggi dengan moralitas yang tinggi pula!" ***

Selanjutnya.....

Gizi Buruk Muncul Lagi di Lampung!


"SUSANTI usia tujuh tahun berat badannya hanya 11 kg, dinyatakan menderita gizi buruk!" ujar Umar. "Warga Dusun Sinarogan, Sinargading, Kasui, itu meninggal dalam perawatan RSUD Z.A. Pagaralam, Way Kanan, Senin (7-2) pagi!"

"Gizi buruk bukan penyakit ujug-ujug!" sambut Amir. "Seperti nasib Susanti, gizi buruk bukan sekadar bawaan lahir yang membuat tubuhnya rentan penyakit dan lambat tumbuh, tapi juga bawaan persentase tertinggi warga miskin (lebih dari 40% jumlah rumah tangga) yang diterima Way Kanan saat jadi kabupaten!"

"Jadi, kalau 'puncak gunung es' kasus gizi buruk untuk Provinsi Lampung kali ini muncul di Way Kanan, justru alamiah!" tegas Umar. "Tapi harus diingat, puncak gunung es itu mencuat ke atas didorong oleh naiknya timbunan di bawahnya! Artinya, kabupaten lain yang sebelumnya pernah jadi tempat kemunculan gunung es gizi buruk supaya beres-beres agar kali ini lolos dari giliran!"

"Untuk 'beres-beres' itu, bagi kepala daerah yang mengenal baik daerahnya—karena gizi buruk bukan masalah ujug-ujug—akan dengan mudah mengetahui lokasi kawasan rawan gizi!" timpal Amir. "Dari kawasan itu bisa muncul penderita gizi buruk ketika ada trigger factor yang memicunya! Kenaikan harga pangan yang serentak dalam waktu panjang misalnya, seperti tercermin pada inflasi kelompok pangan 2010 setinggi 15,64%, bisa menjadi pemicu letusan gizi buruk secara luas! Apalagi di tengah kesulitan dengan kenaikan harga serentak dalam waktu panjang itu, pembagian jatah raskin sering tersendat pula! Jadilah kenyataan baru, penyakit gizi buruk dengan gejala fisik busung lapar itu bukan semata akibat kesalahan bunda mengandung, tapi juga bisa akibat jatah raskin kurang lancar!"

"Pemicu yang tampak amat sepele bagi warga yang tidak serbakekurangan!" tukas Umar.

"Tapi lain hal bagi mereka yang jatah raskin (15 kg/bukan/keluarga) hanya cukup menyambung hidup untuk 10 hari, sedang 20 hari berikutnya antara ada dan tiada—tak ada jaminan kebutuhan dasar itu terpenuhi! Ketakpastian datangnya jatah raskin periode berikutnya jadi masalah serius!"

"Itu yang kurang dipahami para pengelola raskin, sehingga soal giling-menggiling ulang beras mutu rendah agar terlihat layak untuk raskin, sering mengganggu ketepatan waktu distribusinya!" timpal Amir. "Konon lagi setelah kasus raskin yang mutunya kurang layak distribusi penyidikannya dihentikan yang berwajib, eksesnya mengancam penderita gizi buruk yang menerima raskin terlambat dengan mutu lebih rendah pula!" ***

Selanjutnya.....

Kekerasan Atas Nama Agama!


"AGAMA seharusnya menjadi wajah manusia yang paling arif dan penuh kasih sayang pada sesama!" ujar Umar. "Karena itu, jika atas nama agama wajah manusia berubah jadi bengis, kejam, dan tega melakukan kekerasan bukan hanya pada harta benda tapi juga menghilangkan nyawa manusia tanpa berdasar putusan (vonis) hukum negara maupun hukum syariah yang khusus terkait nama seseorang tersebut, tak aneh jika dianggap mengejutkan!"

"Yang aneh jika wajah agama yang bengis dan kejam itu cenderung makin terlembaga, peristiwa yang dianggap mengejutkan itu terjadi berulang-ulang sehingga menjadi rutin, sedang negara tak mampu berbuat sesuatu kecuali menegaskan negara tak akan tunduk pada kekerasan atas nama agama!" sambut Amir. "Jelas, penegasan itu saja tak cukup untuk menghentikan kekerasan atas nama agama yang semakin marak itu, karena sebenarnya negara bisa berbuat lebih tegas—namun tak dilakukan!"

"Kemampuan negara sebenarnya bisa berbuat lebih tegas tapi tak diakukan, sebaliknya malah melakukan pembiaran terhadap berulangnya kekerasan atas nama agama itu terjadi, yang oleh tokoh lintas agama dinilai sebagai kebohongan publik dari penyelenggara negara!" tukas Umar. "Artinya perlu komitmen baru yang lebih konsekuen dari penyelenggara negara dalam melindungi setiap warga negara dan penduduk dari kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun, terutama kekerasan atas nama agama! Hanya bila kekerasan itu bisa dihentikan oleh negara lewat semua kekuatan aparatnya, semua pihak bisa saksama mendalami pokok masalahnya guna mencari jalan keluar tanpa kekerasan!"

"Tepatnya, tradisi menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah harus dihentikan total!" timpal Amir. "Khusus mengenai Ahmadiyah sebagai sasaran kekerasan, masalahnya kembali ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membuat fatwa Ahmadiyah ajaran sesat! Setelah dengan fatwa itu wajah agama pada bagian tertentu secara terbatas berubah menjadi bengis dan kejam, layak jika MUI mem-follow up akibat fatwa itu dalam berbagai eksesnya sebagai langkah preventif ke depan—baik ke lingkungan umat sendiri, maupun ke pihak Ahmadiyah! Langkah preventif MUI dimaksud seperti apa, tentu tak layak kita mengajari ikan berenang!"

"Dari semua usaha itu diharapkan, wajah agama bisa kembali bersih dengan pancaran arif dan kasih sayangnya!" tegas Umar. "Karena wajah agama memang bukan bengis dan kejam!" ***

Selanjutnya.....

Indonesia tanpa Indo!


"ANDAI Indonesia tanpa Indo, tayangan sinetron di televisi negeri ini tak didominasi artis tampan dan cantik berkuit putih dengan mata biru!" ujar Umar. "Ceritanya juga tak berputar-putar di rumah mewah dengan gaya hidup yang jauh dari realitas mayoritas warga bangsanya! Cerita yang lebih realistis dengan konflik-konklik nyata yang dihadapi warga biasa seperti di Papua, atau Ambon, NTT, bahkan Nias, dan Mentawai, akan terakomodasi lebih memadai jika mendapat porsi jam tayang lebih proporsional!"

"Di sepak bola juga tak perlu terlalu mengandalkan naturalisasi pemain-pemain Indo sekadar untuk bisa juara di kawasan ASEAN!" timpal Amir. "Cukup pemain lokal pilihan dari Sabang sampai Merauke, asal dilatih dengan baik di bawah manajemen sepak bola nasional yang 'mumpuni', bisa diharap untuk tampil pada kompetisi antarbangsa di tingkat lebih tinggi! Jangan pula sampai terjadi, kehadiran atlet naturalisasi justru menyingkirkan kesempatan yang sebenarnya menjadi peluang atlet lokal, hingga seperti di sinetron, peluang artis lokal semakin terdesak dan terus mengecil!"


"Jadi beda dari film India dan China yang justru lebih menonjolkan aspek lokal baik artis maupun ceritanya!" tegas Umar. "Pengaruhnya sebagai dambaan bagi remaja putri dan ibu-ibu muda juga berbeda! Di Indonesia, remaja putri dan ibu-ibu muda yang aslinya berkulit hitam manis mendambakan kulitnya berubah menjadi putih seperti artis Indo, idolanya! Tak kepalang, krim pemutih kulit pun dipakainya overdosis, sehari seharusnya cukup satu kali, mereka pakai dua atau tiga kali, semakin penasaran ketika kulitnya yang hitam manis tak kunjung jadi putih seperti Indo!"

"Itu belum terkait arti tontonan sebagai tuntunan yang justru merupakan esensi sajian cerita untuk memperkaya khazanah tentang kehidupan bagi penontonnya!" timpal Amir. "Karena cerita-cerita sinetron diangkat dari konflik kelas sosial yang berbeda dari mayoritas warga penontonnya, konten dan konteksnya tak nyambung dengan realitas hidup mayoritas penonton—akibatnya, fungsi sinetron itu tak lebih sekadar jual impian gaya hidup yang tak mungkin terwujud!"

"Jelas beda jika Indonesia tanpa (berlebihan mengeksploitasi dan menononjolkan) Indo, potensi artis dan cerita lokal dari Sabang sampai Merauke bisa digalang sehingga jauh lebih kaya dengan keanekaragaman hikmah yang sekaligus memperkuat integritas bangsa!" tegas Umar. "Tapi hal terakhir itu mustahil karena industri hiburan dikuasai segelintir orang, bukan lagi milik sebuah bangsa!" ***

Selanjutnya.....

Dua Lusin Politisi Dijebloskan ke Bui!


"GENAP dua lusin politisi dijebloskan KPK ke bui dalam seminggu, 28 Januari—4 Februari," ujar Umar. "Semua mantan anggota DPR 1999-2004, di antaranya kini jadi anggota DPR lagi! Mereka dibui terkait cek pelawat yang mereka terima dalam pemilihan deputi senior gubernur BI Miranda Gultom!"

"Kupingku jadi gatal mendengar kau gunakan hitungan lusinan buat para politisi yang dijebloskan KPK ke bui!" sambut Amir. "Hitungan itu lazim dipakai saat orang membeli piring atau gelas, kenapa kau pakai itungan itu?"

"Hanya karena bilangannya pas dua lusin!" jawab Umar. "Soal kenapa politisi yang terlibat kasus korupsi jumlahnya jadi lebih mudah pakai hitungan lusinan, seperti hitungan piring dan gelas di pasar, tanyakan ke kalangan politisi!"

"Jawabannya pasti seperti kebanyakan tersangka koruptor, hanya karena sedang sial!" timpal Amir. "Pasalnya, sesama koruptor saling tahu mereka korupsi, tapi hanya yang kebetulan sedang sial saja kasus korupsinya terbongkar!"

"Tapi banyak juga yang tak percaya pada faktor sial itu! Mereka lebih percaya adanya konspirasi antarkekuasaan yang membuat penindakan kasus korupsi di kalangan politisi bisa dilakukan secara lusinan begitu!" tukas Umar.

"Kecurigaan pada konspirasi itu ditunjukkan dengan tak mengakui status deponeering atas dua pimpinan KPK yang mendapat keringanan itu lewat 'order' Presiden kepada Jaksa Agung! Utang budi atas deponeering itu dibayar dengan tebang pilih kasus korupsi demi menguntungkan kubu konspiratornya!"

"Tapi mengingkari deponeering dengan alasan DPR menganut asas legalitas, juga keliru!" timpal Amir. "Sebab hak deponeering Jaksa Agung itu didapat dalam UU Kejaksaan yang dibuat oleh DPR sendiri! Justru DPR yang kehilangan legalitas kelembagaan dirinya saat mereka tidak mengakui UU ciptaan lembaganya sendiri!"

"Itu yang membuat kepastian hukum di-negeri kita sukar terwujud, karena di antara penegak hukum menggunakan hukum hanya pada bagian yang menguntungan dirinya saja!" tegas Umar. "Kalau DPR menolak UU ciptaannya sendiri, apalagi pihak-pihak lain yang cuma konsumen hukum dengan kebebasan memilih yang mana pun paling menguntungkan untuk dipakainya!"

"Masalahnya, yang paling menguntungkan itu tak menjamin lolos dari jerat sial ataupun konspirasi antarkekuasaan, kemungkinan terlibat kelompok besar dalam suatu cabang kekuasaan bukan mustahil!" timpal Amir. "Penggunaan hitungan lusinan untuk kelompok-besar yang terlibat kasus seperti itu nantinya akan jadi kelaziman juga!" ***

Selanjutnya.....

'Day of Departure', Rakyat Mesir Usir Presiden Mubarak!


"LEBIH satu juta orang—begitu narasi Aljazeera—massa antipemerintah berkumpul di Lapangan At-Tahrir, Kairo, Jumat (4-2), dalam demo bertajuk Day of Departure—hari keberangkatan—Presiden Hosni Mubarak ke luar negeri setelah dipaksa rakyatnya mundur dari jabatan!" ujar Umar. "Menurut Aljazeera, di seantero negeri Mesir rakyat menggelar demo Day of Departure! Meski hingga tengah malam WIB Mubarak masih bertahan dengan alasan dia cemas kalau mundur Mesir tenggelam dalam chaos—kekacauan!"

"Cinta Hosni Mubarak pada jabatan rupanya tak kepalang, mengalahkan rasa malu atas kenyataan dirinya telah diusir oleh rakyatnya dari negerinya sendiri!" timpal Amir.

"Lebih tak punya rasa malu lagi, aksi jutaan rakyat Mesir mengusir dirinya itu disiarkan langsung sejumlah televisi dunia, CNN, BBC, Aljazeera, Euro News, Sky News, dan lainnya, sehingga keburukan kekuasaan dan dirinya telah dibeberkan ke publik sejagat! Ini menjadi alasan, tokoh-tokoh dari segala penjuru dunia mendesak dia mundur sesegera mungkin—immediately!"

"Lebih konyol lagi, tekanan untuk lebih cepat mundur dari segala penjuru dunia itu didorong oleh tindakan rezimnya yang salah kaprah dalam menangani demonstrasi sejuta warga hari Rabu!" sambut Umar. "Warga yang sedang melakukan aksi damai itu diserang gang propemerintah sepanjang sore dan malam dengan batu dan molotov, hingga jatuh belasan korban tewas dan 1.200 luka! Sejumlah pemuda yang baru menemui El-Baradei ditangkap, wartawan di-sweeping dari hotel-hotel tempat mereka menginap—yang menunjukkan rezim diktator Mesir memang tak tahu norma demokrasi universal atas kebebasan berekspresi dan kebebasan pers—ini ditegaskan Hillary Clinton dalam pernyataannya!"

"Pokoknya keburukan perlakuan kepada rakyat dan warga sipil justru ditunjukkan penguasa lewat salah tingkahnya yan kelewat batas dalam memperlakukan pemrotes!" tegas Amir. "Dari situ tecermin betapa jauh lebih buruk lagi perlakuan rezim pada rakyat, seperti seenaknya mereka melempari massa dengan molotov sepanjang Rabu malam!"

"Berbagai kenyataan buruk itu diangkat dalam kutbah Jumat di Lapangan At-Tahrir, seperti hukum darurat merupakan bagian gelap dalam sejarah Mesir!" timpal Umar.

"Revolusi ini, kata katib, bukan untuk tujuan-tujuan ideologis atau agama terentu! Aljazeera memberi catatan khusus, mereka yang masuk ke Lapangan At-Tahrir tak memandang usia, gender, dan agama! Agaknya rezim Mubarak telah menabrak segala norma sehingga semua bangkit melawan!" ***

Selanjutnya.....

Keselamatan Penyeberangan Merak-Bakau!


"JAMINAN keamanan-keselamatan penumpang kapal penyeberangan Merak-Bakauheni terbukti belum menjadi prioritas pelayanan!" ujar Umar. "Ketika terjadi kebakaran di KMP Laut Teduh 2 (28-1), saat diketahui api masih kecil seharusnya bisa dipadamkan dengan fasilitas pemadam kebakaran yang semestinya tersedia dalam kapal, mulai hose (selang pemadam dengan semburan air laut yang tak terbatas) sampai berbagai ukuran racun api! Ternyata semua alat pengamanan itu tidak ada, hingga kebakaran membesar dengan pesat!"

"Lebih celaka lagi jumlah sekoci (life boat) tidak cukup, anak buah kapal (ABK) menyelamatkan diri duluan meninggalkan para penumpang panik di atas kapal yang terbakar!" timpal Amir. "Tanpa panduan ABK, para penumpang—juga perempuan dan anak-anak—meloncat dari atas kapal ke laut dengan ketinggian sekitar 30 meter, lebih tinggi dari atas pohon kelapa!"

"Saat kebakaran kapal terjadi, negara tak hadir di lokasi!" tukas Umar. "Padahal negara merupakan pihak yang berkewajiban menyediakan sarana transportasi yang aman dan nyaman bagi setiap warga negara dan penduduk negerinya, serta berkewajiban melindungi setiap warga negara dan penduduk dari segala bentuk ancaman yang bisa mencederai diri maupun mengakibatkan kerugian atas harta bendanya!"

"Kerugian atas harta benda korban belum dapat perhatian hingga hari ini, padahal penumpang melepas semua bawaannya saat menyelamatkan diri!" sambut Amir. "Juga nasib 93 kendaraan—mobil, bus, truk—
bersama muatan yang hangus dalam kapal! Satu keluarga korban asal Lampung Timur yang memakai mobil rental dituntut segera mengganti mobil yang terbakar, padahal asuransi atas mobil yang terbakar di kapal itu belum jelas!"

"Semua kealpaan negara dari tanggung jawabnya terhadap warga negara dan penduduk baik untuk pelayanan publik maupun untuk perlindungan dari bencana itu tak bisa ditoleransi atas peristiwa yang telah terjadi akibat segala peranti tidak berfungsi!" tegas Umar. "KNKT—
Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi harus bisa memastikan siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab—termasuk pengusaha kapal terkait peranti yang tak berfungsi! Pada operasional rutin selanjutnya, semua peranti keamanan pelayaran dan penumpang itu disusun dalam check list, setiap kali di-cross check berfungsi atau tidaknya sebelum kapal berangkat! Demi keselamatan penyeberangan, salah satu saja peranti keamanan pelayaran dan penumpang tidak berfungsi, keberangkatan kapal harus ditunda!" ***

Selanjutnya.....

'People Power' Menjatuhkan Hosni Mubarak!


"SATU juta rakyat Mesir berhimpun di lapangan At-Tahrir, Kairo, Selasa (1-2), dalam gerakan people power menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak yang berkuasa sebagai tiran sepanjang 30 tahun!" ujar Umar. "Jumlah massa yang besar juga berhimpun di kota-kota besar Mesir, Alexandria, Ismailia dan lain-lain, mendukung people power yang telah berlangsung sejak 25 Januari, menewaskan lebih 150 demonstran, 4.000-an luka, 500-an hilang!"

"Bisakah people power menjatuhkan sang diktator Hosni Mubarak?" timpal Amir.

"Masalahnya, sejak Anwar Sadat dan Menachem Begin diperkuat Jimmy Carter menandatangani perjanjian Camp David 1978, kekuasaan status quo Mubarak selaku penerus Sadat selalu dalam 'perlindungan' Israel dan Amerika Serikat—AS! Lebih lagi di era Obama, yang memilih Kairo sebagai tempat pertama ia bicara kepada dunia Islam selaku Presiden AS! Artinya, meski juru bicara Gedung Putih membuat pernyataan mendukung perjuangan rakyat Mesir, di balik layar terjadinya double standard pihak AS untuk tetap mendukung kepentingan Israel agar Mubarak tak jatuh, bukan hal aneh!"

"Menurut pengalaman awal kemerdekaan Israel dideklarasikan Prancis, Inggris, dan AS (1947), lalu satu juta pemuda Arab menduduki kawasan yang disebut sebagai wilayah Israel itu di bawah komando Hasan Al Banna, AS membuat ultimatum pada Pemerintah Mesir untuk menarik pemuda Arab dari wilayah Israel!" tukas Umar. "Kemudian, atas konspirasi Israel dan sekutunya, Al Banna dan sederet elite Ikhwanul Muslimin tewas dalam serangkai pembunuhan politik! Faktor AS-Israel itu justru yang membuat rezim Mubarak selama berkuasa amat sadis dalam menangani lawan-lawan politiknya—terbersit dalam novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburachman El Shirazy! Faktor ini pula yang membuat proses konsolidasi gerakan people power lambat dalam memunculkan tokoh-tokoh alternatif calon pemimpin baru negerinya!"

"Selain faktor AS-Israel di belakang Mubarak, serta kurangnya tokoh alternatif dalam kepemimpinan gerakan, juga tidak setiap people power berhasil menjatuhkan rezim yang dilawannya!" tegas Amir. "Contohnya people power Kaus Merah, satu bulan menguasai pusat kota Bangkok dan bandara, gagal menjatuhkan penguasa militer, bahkan disapu bersih militer! Ini tak boleh diremehkan, bisa jadi model bagi penguasa untuk menggilas people power dengan kekerasan militer!"

"Tapi beda Mesir yang telanjur jatuh banyak korban tewas!" timpal Umar. "Kekerasan militer bisa mempercepat kejatuhan Mubarak, yang telah menggunakan itu sepanjang 30 tahun menindas warga sipil!" ***

Selanjutnya.....